Anda di halaman 1dari 32

NAMA – NAMA WALISONGO

(9 WALI ALLAH)
1.SUNAN GRESIK
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama

salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama

Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapurosukolilo, kota Gresik, Jawa

Timur.

Maulana Malik Ibrahim atau sunan gresik dianggap termasuk salah

seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan

merupakan wali senior di antara para Walisongo lainnya. Beberapa versi sejarah

menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya

pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan

Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama

Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa

Pasucinan, Manyar.

Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui

pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam

pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan

hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan

yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat

yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.

Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama

yang dilakukan Sunan Gresik ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan


terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar. Perdagangan

membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para

bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai

pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.

Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian

melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun

tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya

sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal

dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur

kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim

hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.

Dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan

menegakkan ajaran-ajaran Islam, Sunan Gresik membuka pesantren-pesantren

yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam pada masa selanjutnya.

Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya

menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi,

masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau

haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada

prasasti makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan

(pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur

harisa.

Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Syeh Maulana Malik Ibrahim

atau Sunan Gresik berasal dari Persia. Syeh Maulana Malik Ibrahim dan Syeh

Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Syeh Maulana Ahmad Jumadil Kubro,

atau Syekh Jumadil Qubro. Syeh Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal
di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syeh Jumadil

Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu

mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Syeh Maulana Malik

Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Syeh Maulana Ishak

mengislamkan Samudera Pasai.

Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik disebutkan bermukim di

Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga

belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat

atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup

menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan

keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan

agama Islam di pulau Jawa.

Syeh Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat kadang-kadang juga

disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok

tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya mencari

tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan

perang saudara.

Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya.

Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang

berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat

istrinya.

Mengenai filsafat ketuhanannya, disebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim

pernah menyatakan mengenai apa yang dinamakan Allah. Ia berkata: "Yang

dinamakan Allah ialah sesungguhnya yang diperlukan ada-Nya."


Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, Syeh

Maulana Malik Ibrahim wafat tahun 1419. Makamnya kini terdapat di desa Gapura, Gresik,

Jawa Timur.

Tulisan dalam bahasa Arab yang tertulis pada makamnya adalah sebagai berikut:

“ Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat


pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya
Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para
sultan dan wazir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan
syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan
kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan
semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi'ul
Awwal 822 Hijriah. ”
2. Sunan ampeL(raden rahmat)
Sunan Ampel adalah salah seorang wali di antara Walisongo yang

menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Ia lahir 1401 di Champa. Ada dua

pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie

mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja.

Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini

bernama Jeumpa.

Menurut beberapa riwayat, orang tua Raden Rahmat, nama lain Sunan

Ampel, adalah Maulana Malik Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar

Dwarawati). Dalam catatan Kronik Cina dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel

dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa

(suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan

Komunitas Cina di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu -

menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat

kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai

kapten Cina di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong

Swi Hoo sebagai kapten Cina di Jiaotung (Bangil).

Sementara itu seorang putri dari Kyai Bantong (versi Babad Tanah Jawi)

alias Syaikh Bantong (alias Tan Go Hwat menurut Purwaka Caruban Nagari)

menikah dengan Prabu Brawijaya V (alias Bhre Kertabhumi) kemudian melahirkan

Raden Fatah. Namun tidak diketahui apakah ada hubungan antara Ma Hong Fu

dengan Kyai Bantong. Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid

Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa permaisuri Prabu Brawijaya yang

merupakan seorang muslimah.


Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim (putra

Haji Bong Tak Keng), keturunan suku Hui dari Yunnan yang merupakan

percampuran bangsa Han/Tionghoa dengan bangsa Arab dan Asia Tengah

(Samarkand/Asmarakandi). Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh/Abu

Hurairah (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit mengunjungi bibi mereka bernama

Dwarawati puteri raja Champa yang menjadi permaisuri raja Brawijaya. Raja

Champa saat itu merupakan seorang muallaf. Raden Rahmat, Raden Santri dan

Raden Burereh akhirnya tidak kembali ke negerinya karena Kerajaan Champa

dihancurkan oleh Kerajaan Veit Nam.

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin , nama asli Sunan Ampel adalah

Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Dia datang ke Majapahit menyusul/menengok

kakaknya yang diambil istri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat itu bernama

Dipati Hangrok dengan mangkubuminya Patih Maudara (kelak Brawijaya VII) . Dipati

Hangrok (alias Girindrawardhana alias Brawijaya VI) telah memerintahkan

menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah

perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai keberatan jika

Putrinya dijadikan istri Raja Majapahit, tetapi karena takut binasa kerajaannya

akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai dengan Raja Majapahit

memperoleh anak laki-laki.

Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke

Pasai. Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah untuk

menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Anak laki-laki dari Putri

Pasai dengan raja Majapahit tersebut kemudian dinikahkan dengan puteri raja Bali.

Putra dari Putri Pasai tersebut wafat ketika istrinya Putri dari raja Bali mengandung

tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka
ketika lahir bayi ini (cucu Putri Pasai dan Brawijaya VI) dihanyutkan ke laut, tetapi

kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut

Pangeran Giri. Kelak ketika terjadi huru-hara di ibukota Majapahit, Putri Pasai pergi

ke tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar

memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu

sendiri merasa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang

proses islamisasi tersebut.

Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk

beralih kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari Raja

Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi

Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu beristrikan puteri dari petinggi

daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua

seorang perempuan diambil sebagai istri oleh Sunan Kudus (tepatnya Sunan Kudus

senior/Undung/Ngudung), sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang.

Raja Bungsu sendiri disebut sebagai Pangeran Makhdum.

Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan Champa dari sebelah

ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah keturunan langsung dari Ahmad al-

Muhajir, Hadhramaut. Bermakna mereka termasuk keluarga besar Saadah BaAlawi.

Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak. Dan

yang menjadi penerus untuk melanjutkan perjuangan dakwah dia di Kota Demak

adalah Raden Zainal Abidin yang dikenal dengan Sunan Demak, dia merupakan

putra dia dari istri dewi Karimah.Sehingga Putra Raden Zainal Abidin yang terakhir

tercatat menjadi Imam Masjid Agung tersebut yang bernama Raden Zakaria

(Pangeran Sotopuro).
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan

dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.


3. Sunan derajad (syarifudin)
Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Nama kecilnya

adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra

dari Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang. Ketika dewasa, Sunan

Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran, Kabupaten

Lamongan.

Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim

putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai

pelajaran islam ia menyebarkan agama Islam di desa Drajat sebagai tanah perdikan

di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar

Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka 1442/1520 masehi.

Sunan Drajat bernama kecil Raden Syarifuddin atau Raden Qosim putra

Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, ia mengambil

tempat di Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai

pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali

keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36

tahun.

Ia sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat

memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Ia terlebih dahulu mengusahakan

kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi

lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas

kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah

karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang

mempunyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan

usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur

bagi warganya, ia memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan

Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.

Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam

sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap

makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut sebagai berikut :

1. Memangun resep tyasing Sasoma (kita selalu membuat senang hati orang

lain)

2. Jroning suka kudu éling lan waspada (di dalam suasana riang kita harus tetap

ingat dan waspada)

3. Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (dalam

perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala

bentuk rintangan)

4. Mèpèr Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)

5. Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh

keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita

luhur).

6. Mulya guna Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita

capai dengan salat lima waktu)

7. Mènèhana teken marang wong kang wuta, Mènèhana mangan marang wong

kang luwé, Mènèhana busana marang wong kang wuda, Mènèhana ngiyup

marang wong kang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai,

Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada

orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)
Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta

tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa - sisa gamelan Singo mengkok-nya Sunan

Drajat kini tersimpan di Museum Daerah.

Untuk menghormati jasa - jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar

agama Islam di wilayah Lamongan dan untuk melestarikan budaya serta benda--

benda bersejarah peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya

yang berjasa pada penyiaran agama Islam, Pemerintah Kabupaten Lamongan

mendirikan Museum Daerah Sunan Drajat disebelah timur Makam. Museum ini telah

diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur tanggal 1 Maret 1992.

Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad Faried, S.H. untuk menyelamatkan

dan melestarikan warisan sejarah bangsa ini mendapat dukungan penuh Gubernur

Jawa Timur dengan alokasi dana APBD I yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran

Cungkup dan pembangunan Gapura Paduraksa senilai Rp.98 juta dan anggaran

Rp.100 juta 202 ribu untuk pembangunan kembali Mesjid Sunan Drajat yang

diresmikan oleh Menteri Penerangan RI tanggal 27 Juni 1993. Pada tahun 1993

sampai 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat

dilanjutkan dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paséban, balé ranté

serta Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa Timur sebesar RP. 131 juta yang

diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi Sudirman tanggal 14 Januari 1994.


4.Sunan bonang (makdum ibrahim)
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana

Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang

adalah sebuah desa di kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang diduga adalah

Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias

Sunan Ampel.

Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada

di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban.

Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat dia meninggal, kabar

wafatnya dia sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid

sangat mengagumi dia sampai ingin membawa jenazah dia ke Madura. Namun,

murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan

pakaian-pakaian dia. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang

berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah

Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya.

Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang

tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al

Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa,

berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.

Ada pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan

merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut

Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes,

seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan

dianggapkan sebagai karyanya. Dia juga menulis sebuah kitab yang berisikan
tentang Ilmu Tasawwuf berjudul Tanbihul Ghofilin. Kitab setebal 234 hlmn ini sudah

sangat populer dikalangan para santri.

Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan

estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan

Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya

ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan

transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan

Bonang.

Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai

membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan

tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa.

Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia

mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian dia

kombinasi dengan kesimbangan pernapasan , yang disebut dengan rahasia Alif Lam

Mim ( ‫ ) م ل ا‬yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga

menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Dia ambil dari seni bentuk huruf

Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'. Ia

menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan

tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis

artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan

nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-

Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak

murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Salat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu

yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh


generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga

Dalam Silat Tauhid Indonesia.


5. Sunan kalijaga (raden mas said/jaka said)
Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah seorang tokoh Wali Songo

yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya

memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di

Kadilangu, Demak.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun.

Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478),

Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang

yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan

Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung

Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan

salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden

Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau

Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya,

Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat

Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan

Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.

Mengenai asal usulnya, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa ia

juga masih keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli.

Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang

silsilahnya sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sementara itu

menurut Babad Tuban menyatakan bahwa Aria Teja alias 'Abdul Rahman berhasil

mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan

ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Menurut catatan Tome Pires, penguasa
Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban.

Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain

seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki silsilah

dengan Ibnu Abbas, paman Muhammad. Sunan Kalijaga mempunyai tiga anak salah

satunya adalah Umar Said atau Sunan Muria.

Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi

Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria),

Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah. Maulana Ishak memiliki anak bernama Sunan Giri

dan Dewi Saroh. Mereka adalah kakak beradik.

Menurut cerita, Sebelum menjadi Walisongo, Raden Said adalah seorang

perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi.

Dan hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang-orang yang miskin. Suatu

hari, Saat Raden Said berada di hutan, ia melihat seseorang kakek tua yang

bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu dilihat seperti

tongkat emas, ia merampas tongkat itu. Katanya, hasil rampokan itu akan ia bagikan

kepada orang yang miskin.

Tetapi, Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu. Ia menasihati

Raden Said bahwa Allah tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan

Bonang menunjukan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin

mendapatkan harta tanpa berusaha, maka ambillah buah aren emas yang

ditunjukkan oleh Sunan Bonang. Karena itu, Raden Said ingin menjadi murid Sunan

Bonang. Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke Sungai. Raden Said berkata

bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk

bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said

tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden
Said lalu melaksanakan perintah tersebut. Karena itu,ia menjadi tertidur dalam waktu

lama. Karena lamanya ia tertidur, tanpa disadari akar dan rerumputan telah

menutupi dirinya. Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang datang dan membangunkan

Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya yang ditanjapkan ke sungai, maka

Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga. Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan

diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya

dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat

dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf"

-bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan

sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat

akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara

bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam

sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan,

ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia

menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana

dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-

gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud,

serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja").

Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid

diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa

memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran,

Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang. Ketika wafat, ia dimakamkan di Desa


Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai

diziarahi orang - orang dari seluruh Indonesia.


6.Sunan giri(raden paku)
Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri

Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Sunan Giri membangun

Giri Kedaton sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jawa, yang pengaruhnya

bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Sunan Giri

memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan

Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudro. Ia lahir di Blambangan

tahun 1442, dan dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.

Beberapa babad (kitab sejarah dalam bahasa jawa) menceritakan pendapat

yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia

adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah.

Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak

Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan

Majapahit.

Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan

keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal

Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib,

Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus

Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi

al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah

Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Ibrahim

Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul

Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat

pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.


Dalam Hikayat Banjar, Pangeran Giri (alias Sunan Giri) merupakan cucu

Putri Pasai (Jeumpa?) dan Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI). Perkawinan Putri

Pasai dengan Dipati Hangrok melahirkan seorang putera. Putera ini yang tidak

disebutkan namanya menikah dengan puteri Raja Bali, kemudian melahirkan

Pangeran Giri. Putri Pasai adalah puteri Sultan Pasai yang diambil isteri oleh Raja

Majapahit yang bernama Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI). Mangkubumi

Majapahit masa itu adalaha Patih Maudara.

Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang

mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak

Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun

kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah

tersebut. Maka ia dipaksa ayahandanya (Prabu Menak Sembuyu) untuk membuang

anak yang baru dilahirkannya itu. Lalu, Dewi Sekardadu dengan rela

menghanyutkan anaknya itu ke laut/selat bali sekarang ini.

Versi lain menyatakan bahwa pernikahan Maulana Ishaq-Dewi Sekardadu

tidak mendapat respon baik dari dua patih yang sejatinya ingin menyunting dewi

sekardadu (putri tunggal Menak sembuyu sehingga kalau jadi suaminya, merekalah

pewaris tahta kerajaan. Ketika Sunan Giri lahir, untuk mewujudkan ambisinya, kedua

patih membuang bayi sunan giri ke laut yang dimasukkan ke dalam peti.

Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) -

yakni sabar dan sobir - dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang

saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut,

dia menamakan bayi tersebut Joko Samudro.

Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudro dibawa ibunya ke Ampeldenta

(kini di Surabaya) untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama
setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid

kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya beserta Makdhum

Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima

oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudro. Di sinilah, Joko

Samudro yang ternyata bernama Raden Paku mengetahui asal-muasal dan alasan

mengapa dia dulu dibuang.

Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal

dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah

pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa

Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan

Giri.

Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat

penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura,

Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang

sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik

dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh

Sultan Agung.

Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap

berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak

seperti Jelungan, dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental

Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung. Sunan Giri wafat pada tahun Saka Candra

Sengkala “Sayu Sirno Sucining Sukmo” (1428 Saka) di desa Giri, Kebomas, Gresik.
7. Sunan kudus
Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang

tergabung dalam walisongo, yang lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Nama

lengkapnya adalah nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Ia adalah putra dari

pasangan Sunan Ngudung.

Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di

Nusantara. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang

bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi

sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat

menjadi Panglima Perang.

Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-

Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang

beristerikan Fatimah az-Zahra binti Muhammad.

Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia berasal dan lahir di

Al-Quds negara Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah dan kerabatnya berhijrah

ke Tanah Jawa.

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan

Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng

Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi

Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim

Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin

Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali

Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir

bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir
bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi

Muhammad Rasulullah.

“…Orang di tanah Jawa taat serta menganut agama Islam. Mereka

bermusyawarah akan mendirikan masjid di Demak. Para wali saling berbagi tugas,

semua sudah siap sedia. Hanya Sunan Kali Jaga yang masih ketinggalan, bagian

garapannya belum berbentuk, sebab sedang tirakat di Pamantingan. Sekembalinya

ke Demak, masjid sudah akan didirikan. Sunan Kali Jaga segera mengumpulkan

sisa-sisa kayu bekas sudah menjadi tiang.Pagi harinya tanggal 1 bulan Dulkangidah

masjid didirikan dengan sengkalan tahun 1428. Kiblat di masjid searah dengan

ka’bah di Mekkah. Penghulunya Sunan Kudus. Setelah beberapa Jumat berdirinya

masjid tadi, ketika para wali sedang berdzikir bersama di masjid itu, Sunan Kudus

duduk khusuk bertafakur di bawah beduk, tiba-tiba ada bungkusan jatuh dari atas-

buku kulit kambing, di dalamnya ada sajadah serta selendang Kanjeng Rasul.”

“Pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama Islam, kedigdayaan,

dan kekuatan badan. Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu Sunan Kali Jaga dan

Sunan Kudus. Sunan Kudus itu muridnya tiga orang, yaitu Arya Penansang di

Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Yang paling disayang adalah Arya

Penansang.

Waktu itu Sunan Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya dengan Pangeran

Arya Penansang, Sunan Kudus berkata kepada Arya Penansang, “Orang

membunuh sesama guru itu, hukumnya apa?” Perlahan jawab Arya Penangsang,

“Hukumnya harus dibunuh, tetapi saya belum tahu siapa yang berbuat demikian itu.”

Sunan Kudus berkata,”Kakakmu di Prawata.” Arya Penansang setelah mendengar

perintah Sunan Kudus, bersedia membunuh Sunan Prawata. Ia lalu mengutus abdi

pengawalnya bernama Rangkud dan diperintah untuk membunuh Sunan Prawata.


Rangkud lalu berangkat. Sesampai di Prawata ketemu dengan Sunan Prawata yang

sedang sakit dan bersandar pada istrinya. Setelah melihat Rangkud Sunan Prawata

bertanya, “Kamu itu orang siapa?” Rangkud menjawab, “Saya adalah utusan Arya

Penansang, memerintahkan untuk membunuhmu.” Sunan Prawata berkata, “Ya,

terserah, tetapi saya sendiri sajalah yang engkau bunuh, jangan mengikutkan orang

lain.” Rangud lalu menusuk sekuat-kuatnya. Dada Sunan Prawata tembus sampai

ke punggungnya serta menembus dada istrinya. Sunan Prawata setelah melihat

istrinya terluka, segera mencabut kerisnya yang bernama Kyai Betok, lalu

dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud tergores oleh kembang kacang (hiasan pada

pangkal keris), ia jatuh di tanah lalu tewas. Sunan Prawata dan isterinya juga

meninggal dunia. Meninggalnya ber-sinengkalan tahun 1453. Arya Penangsang

begitu tega membunuh Sunan Prawata sebab ayahnya juga dibunuh oleh Sunan

Prawata, saat pulang dari sholat Jum'at. Ia dicegat di tengah jalan oleh utusan

Sunan Prawata bernama Sura Yata. Ki Sura Yata tadi juga sudah dibunuh oleh

teman ayahnya Arya Jipang.

Sunan Prawata tadi mempunyai saudara perempuan namanya Ratu Kali

Nyamat. Dia begitu tidak terima atas kematian saudara laki-lakinya itu. Lalu

berangkat ke Kudus bersama suaminya berniat minta keadilan kepada Sunan

Kudus. Lalu jawab Sunan Kudus, “Kakakmu itu sudah hutang pati pada Arya

Penangsang. Sekarang tinggal membayar hutang itu saja.” Ratu Kali Nyamat

mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat sakit hatinya. Lalu kembali pulang. Di

tengah jalan dibegal utusannya Arya Penansang. Laki-lakinya dibunuh. Ratu Kali

Nyamat sangat terpukul hatinya. Sebab baru saja kehilangan saudaranya, lalu

kehilangan suaminya. Ia jadi sangat menderita. Lalu bertapa telanjang di Bukit Dana

Raja. Sebagai ganti kain untuk menutup auratnya adalah rambutnya yang diurai.
Ratu Kalinyamat berprasetia tidak mau memakai kain selama hidup jika Arya

Penansang belum meninggal. Ia bernadar barangsiapa dapat membunuh Arya

Jipang, dia akan mengabdi kepadanya dan akan menyerahkan seluruh

kekayaannya.

Pada suatu ketika Sunan Kudus sedang berbincang-bincang dengan Arya

Penangsang, Sunan Kudus berkata, “Kakakmu Sunan Prawata dan Kali Nyamat

sekarang sudah mati, tapi belum lega rasanya kalau belum menguasai tanah Jawa

semua. Jika masih ada adikmu Sultan Pajang saya kira tidak mungkin bisa jadi raja,

sebab dia adalah penghalang.” Arya Penansang berkata, “Jika diperkenankan atas

izin Sunan Kudus, Pajang akan saya gempur dengan perang, adik saya di Pajang

akan saya bunuh supaya tidak ada penghalang.” Sunan Kudus menjawab,

“Maksudmu itu saya kurang setuju sebab akan merusak negara serta banyak

korban. Adapun maksud saya, kakakmu di Pajang bisa mati, secara diam-diam saja,

jangan diketahui banyak orang.” Arya Penangsang menjawab sangat setuju. Lalu

mengutus abdi pengawal untuk menculik dan membunuh Sultan Pajang. Utusan

segera berangkat. Datang di Pajang tengah malam, lalu masuk ke dalam istana.

Sultan Pajang sedang tidur berselimut kain kampuh, jarik/kain sarung. Para istrinya

tidur di bawah. Utusan menerjang dan menusuk dengan sekuat tenaga. Sultan

Pajang tidak mempan (kebal), masih enak tidur saja. Kain yang digunakan untuk

berselimut itu pun tidak tertembus. Para isrti terkejut, bangun, menangis, dan

menjerit. Sultan Pajang terkejut juga dan bangun. Kain selimut terlempar menerpa

para utusan itu, mereka terjatuh terkapar di tanah, tidak ada yang dapat pergi.

Sunan Kudus berhasil menampakkan warisan budaya dan tanda dakwah

islamiyahnya yang dikenal dengan pendekatan kultural yang begitu kuat. Hal ini

sangat nampak jelas pada Menara Kudus yang merupakan hasil akulturasi budaya
antara Hindu-China-Islam yang sering dikatakan sebagai representasi menara

multikultural. Aspek material dari Menara Kudus yang membawa kepada

pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan tehadap Sunan Kudus. Oleh

Roland Barthes disebut dengan mitos (myth), yang merupakan system komunikasi

yang memuat pesan (sebuah bentuk penandaan). Ia tak dibatasi oleh obyek

pesannya, tetapi cara penuturan pesannya. Mitos Sunan Kudus selain dapat ditemui

pada peninggalan benda cagar budayanya, juga bisa ditemukan di dalam sejarah,

gambar, legenda, tradisi, ekspresi seni maupun cerita rakyat yang berkembang di

kalangan masyarakat Kudus. Kini ia populer sebagai seorang wali yang toleran, ahli

ilmu, gagah berani, kharismatik, dan seniman.

Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan masyarakat Kudus dan

sekitarnya. Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan

pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang toleran. Tak heran, jika

hingga sekarang makam ia yang berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai

diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut

sebagai bukti bahwa ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru

semakin relevan ditengah arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang

semakin marak dewasa ini.

Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan

Kalijaga. Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan

Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya

setempat. Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap

pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya.

Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum

muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu. Langkah Sunan Kudus tersebut
tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi

sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus

untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh ia. Lama-kelamaan,

bermula dari situ, masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus

mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat.

Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan,

Kota Kudus, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih

bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota

Kudus Jawa Tengah. Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya

kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul

Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti

kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban

kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.

Pada tahun 1550, Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat

Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di

lingkungan Masjid Menara Kudus.


8. Sunan muria(raden umar said)
Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said.

Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah

dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngandung. Nama Sunan Muria sendiri

diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah

utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.

Ada suatu cerita : Pada saat SUNAN MURIA atau RADEN Umar Said

sedang asyik berceramah di padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus,

ketika seorang pemuda datang berkunjung. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu,

Raden Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra Raden Umar. Raden

Umar terkejut mendengarnya. Ia segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang.

Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau meninggalkan padepokan

sebelum Raden Umar mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak, Raden

Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu syarat: Kebo Anabrang harus

memindahkan salah satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto,

ke padepokannya dalam semalam. Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350

kilometer.

Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu enteng saja dipikulnya.

Tetapi, dalam perjalanan, Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari Kadipaten

Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga memerlukan gerbang itu untuk mempersunting

Roro Pujiwati, putri Kiai Ageng Ngerang. Siapa saja yang sanggup membawa

gerbang Majapahit itu ke Juana berhak melamar Roro Pujiwati.

Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing mengeluarkan kesaktiannya.

Raden Umar terpaksa turun langsung melerai pertengkaran itu. ''Siapa yang

sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah yang berhak,'' kata Raden Umar.
Ternyata, hanya Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya. Ia pun melanjutkan

perjalanan.

Tapi, apa lacur. Begitu melangkahkan kaki, terdengar kokok ayam

bersahutan, pertanda pagi menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun Rondole,

Desa Muktiharjo, yang bejarak lima kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu

gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan penduduk setempat.

Itulah satu cuplikan cerita rakyat tentang Raden Umar Said, yang tak lain

adalah Sunan Muria. Padepokannya di Colo terletak di lereng Gunung Muria, sekitar

800 meter di atas permukaan laut. Toh, kalaupun Kebo Anabrang berhasil, ia akan

sulit menuliskan silsilahnya. Maklum, sampai kini belum ada telaah yang jelas

mengenai asal-usul Sunan Muria.

Satu versi menyebutkan, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Ahli

sejarah A.M. Noertjahjo (1974) dan Solihin Salam (1964, 1974) yakin dengan versi

ini. Berdasarkan penelusuran mereka, pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi

Saroh binti Maulana Is-haq memperoleh tiga anak, yakni Sunan Muria, Dewi

Rukayah, dan Dewi Sofiah.

Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-

negara Islam di Nusantara (1968), Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan ayah

Sunan Muria, Sunan Kalijaga, tak lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie

Cang. Sunan Muria disebut ''tak pandai berbahasa Tionghoa karena berbaur dengan

suku Jawa''.

Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po

Kong, Semarang, pada 1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir

penemuan Slamet ini mengundang heboh. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam
daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. Sayang sekali, belum ada

telaah mendalam mengenai berbagai versi itu.

Reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Gayanya ''moderat'', mengikuti

Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat

kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung

dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya

Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau

menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah

lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom

dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih

lestari.

Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran

Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata

ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar.

Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir

utara.

Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan

yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ''menghanyutkan diri'' dalam

masyarakat. Sampai kini, kompleks makam Sunan Muria, yang terletak di Desa

Colo, tak pernah sepi dari penziarah. ''Kurang lebih ada sekitar 15.000 penziarah

tiap hari,'' tutur Muhammad Shohib, Ketua Yayasan Masjid dan Makam Sunan

Muria.
9. Sunan gunung jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M, namun

ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati

adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo. Sunan

Gunung Jati merupakan satu-satunya Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa

Barat.

Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450.

Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang

Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh

Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra

Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh

Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya

sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.

Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu

putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan

merupakan adik dari Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang yang bergelar

Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada

Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin

Ahmad. Ia dimakamkan bersebelahan dengan putranya yaitu Sunan Gunung Jati di

Komplek Astana Gunung Sembung ( Cirebon ).

Sunan Gunung Jati atau Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan

spiritual dari kakek buyutnya Syekh Maulana Akbar sehingga ketika telah selesai

belajar agama di pesantren Syekh Datuk Kahfi ia meneruskan ke Timur Tengah.

Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah

dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji
untuk umat Islam. Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana

membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur

Tengah Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati mengambil peranan

mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru

dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Memasuki usia dewasa sekitar di antara tahun 1470-1480, ia menikahi adik

dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini, ia

mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang

kelak menjadi Sultan Banten I.

Dalam usia muda, Sunan Gunung Jati ditinggal mati oleh ayahnya. Ia

ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai raja mesir. Tapi anak mudah

yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Ia dan ibunya bermaksud untuk

pulang ke tanah jawa untuk berdakwah di jawa barat. Kemudian, kedudukannya

diberikan kepada adiknya, yaitu Syarif Nurullah. Sewaktu berada di mesir, syarif

hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar di daratan timur tengah. Dalam

usia sangat muda, ilmunya sudah sangat banyak. Maka, ia tidak merasa kesulitan

untuk melakukan dakwah ketika pulang ke tanah leluhurnya, yaitu jawa.

Setelah wafat, Sunan Gunung Jati dimakamkan di bukit kecil bernama

Gunung Sembung. Kompleks makam ini berada di lintasan Jalan Cirebon -

Indramayu, kurang lebih berjarak 4 km dari pusat Kota Cirebon ke arah utara,

tepatnya di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Provinsi

Jawa Barat.

Anda mungkin juga menyukai