Anda di halaman 1dari 22

SUNAN GRESIK

Islam menyebar di Pulau Jawa tidak terlepas dari peran walisongo atau wali sembilan.
Walisongo yang pertama menyebarkan Islam di tanah Jawa adalah Sunan Gresik pada abad
ke-14 Masehi.Sunan Gresik memiliki nama asli Syekh Maulana Malik Ibrahim. Sebutan lain
untuk ayah Sunan Ampel adalah Maulana Maghribi. Namun, lebih akrab disapanya adalah
Sunan Gresik karena ia berdakwah di wilayah Gresik, Jawa Timur.
Sunan Gresik berdakwah untuk masyarakat di sekitar pelabuhan yang mayoritas
memeluk agama Hindu dan Buddha. Cara dakwahnya yang mudah dipahami menarik simpati
masyarakat untuk mengenal dan memeluk Islam.Bahkan, Raja Brawijaya memberikan
kepercayaan kepada Sunan Gresik untuk menyebarkan Islam di Jawa. Oleh Raja Majapahit itu,
Sunan Gresik juga diangkat sebagai Syahbandar atau kepala pelabuhan
Untuk memudahkan dalam penyebaran agama Islam, Sunan Gresik mendirikan
pesantren di Desa Sembalo, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik. Pesantren ini menjadi
pusat pembelajaran agama Islam di masa itu. Selain mendirikan pesantren, Sunan Gresik juga
membangun masjid Pesucinan. Konon, masjid ini merupakan masjid tertua yang ada di Pulau
Jawa.
✓ MASJID SYEKH MAULANA MALIK

Sebagai wali yang pertama menyebarkan agama Islam di Jawa, Sunan Gresik sangat
cerdas dalam cara dakwahnya. Bapak Sunan Ampel ini sukses menarik simpati masyarakat
Jawa untuk belajar Islam. Banyak yang awalnya beragama Hindu dan Budha kemudian
mengucapkan dua kalimat syahadat. Kesuksesan cara dakwah Sunan Gresik dapat dilihat dari
jumlah pemeluk agama Islam yang terus bertambah. Selain dikenal sebagai seorang wali yang
menyebarkan Islam, kakek Sunan Bonang dan Sunan Drajat ini juga menjadi seorang tabib. Ia
banyak mengobati masyarakat terutama dari kalangan menengah ke bawah secara gratis.
Sunan Gresik memanfaatkan kemampuan mengobati orang itu sebagai strategi berdakwah.

1
Nilai-nilai yang mencerminkan Islam ia terapkan dalam praktik pengobatan ini. Dalam
pengobatannya, Sunan Gresik tak membeda-bedakan golongan masyarakat. Golongan
masyarakat kelas atas, tengah, maupun bawah di mata Sunan Gresik adalah sama. Inilah yang
disukai oleh masyarakat. Keahlian mengobati orang yang sakit juga terdengar hingga telinga
sang raja Majapahit. Akhirnya Sunan Gresik diundang untuk mengobati istri raja yang sedang
sakit.Bukan hanya mengobati orang yang sakit, Sunan Gresik juga gemar berdagang dan
bertani.
Ia mengajarkan masyarakat Jawa bagaimana cara berdagang yang baik dan
benar.Kemudian bagaimana cara bertani dan bercocok tanam yang bisa mendapatkan hasil
panen maksimal. Tentu saja Sunan Gresik memberikan ilmu-ilmu tersebut secara gratis.
Dengan menerapkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan pribadinya, banyak masyarakat
yang tertarik dengan Islam. Akhirnya mereka berbondong-bondong untuk mengucapkan dua
kalimat syahadat dan memeluk agama Islam tanpa ada paksaan.
Sunan Gresik meninggal pada Senin, 12 Rabbiul Awwal 822 H atau tepat di tahun 1419
M. Tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai haul Sunan Gresik yang setiap tahunnya
diikuti jemaah lokal maupun luar daerah dari berbagai penjuru. Sunan Gresik dimakamkan di
Jalan Malik Ibrahim di Desa Gapura Sukolilo. Jaraknya sekitar 200 m dari Alun-alun Gresik.
Akses ke makam Sunan Gresik mudah dijangkau dengan transportasi umum. Makam Sunan
Gresik sering diziarahi dan menjadi salah satu destinasi wisata religi di Gresik. Makam Sunan
Gresik yang bangunannya punya ciri khas ini dikelilingi oleh pemakaman keluarga dan umum.
Termasuk salah satunya adalah makam Bupati Gresik pertama yaitu Raden Pusponegoro
MAKAM SUNAN GRESIK

2
SUNAN AMPEL

R. Ahmad Rahmatullah atau yang dikenal dengan Sunan Ampel adalah seorang wali
yang menyebarkan ajaran Islam di Tanah Jawa. Ia lahir pada tahun 1401 di daerah Champa,
Vietnam.Beliau menjadi pemimpin Wali Songo menggantikan Sunan Gresik yang wafat
pada tahun 1419.Sunan Ampel adalah Putra dari Syaikh Ibrahim As-Samarqandi dengan
Dewi Candrawulan. Sunan Ampel juga merupakan keponakan Dyah Dwarawati, istri Bhre
Kertabhumi raja Majapahit.Dalam catatan Kronik Tiongkok dari Klenteng Sam Po Kong,
Sunan Ampel alias Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng – seorang Tionghoa (suku
Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas
Tionghoa di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu – menantu Haji
Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit,
sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Tionghoa di Tuban. Haji
Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten Tionghoa
di Jiaotung
KETURUNAN
Isteri pertama adalah Dyah Candrawati alias Nyai Ageng Manila binti Arya Teja
Al-Abbasyi, berputera:

1. Maulana Mahdum Ibrahim/Raden Mahdum Ibrahim/ Sunan Bonang/Bong Ang


2. Syarifuddin/Raden Qasim/ Sunan Drajat
3. Siti Syari’ah/ Nyai Ageng Maloka/ Nyai Ageng Manyuran
4. Siti Muthmainnah
5. Siti Hafsah
Isteri kedua adalah Dyah Karimah binti Ki Kembang Kuning, melahirkan
beberapa anak yaitu :
1. Dewi Murtashiyah yang menjadi istri Sunan Giri.[3]
2. Dewi Asyiqah/ Istri Raden Patah
3. Raden Husamuddin (Sunan Lamongan)
4. Raden Zainal Abidin (Sunan Demak)
5. Pangeran Tumapel / Pangeran Lamongan/ Sayyid Maulana Hamzah,
ayah dari Sunan Tembayat.
6. Raden Faqih (Sunan Ampel 2)

3
SEJARAH
Sunan Ampel (Raden Rahmat) datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui
bibinya, Dyah Dwarawati. Dyah Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah
dengan raja Majapahit yang bergelar Bhre Kertabhumi
AJARAN
Mohlimo atau Molimo, Moh (tidak mau), limo (lima), adalah falsafah dakwah Sunan
Ampel untuk memperbaiki kerusakan akhlak di tengah masyarakat pada zaman itu yaitu:

1. Moh Mabok: tidak mau minum minuman keras, khamr dan sejenisnya.
2. Moh Main: tidak mau main judi, togel, taruhan dan sejenisnya.
3. Moh Madon: tidak mau berbuat zina, homoseks, lesbian dan sejenisnya.
4. Moh Madat: tidak mau memakai narkoba dan sejenisnya.
5. Moh Maling: tidak mau mencuri, korupsi, merampok dan sejenisnya.
MAKAM

Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak. Dan yang menjadi
penerus untuk melanjutkan perjuangan dakwah dia di Kota Demak adalah Raden Zainal Abidin
yang dikenal dengan Sunan Demak, dia merupakan putra dia dari istri dewi Karimah.Sehingga
Putra Raden Zainal Abidin yang terakhir tercatat menjadi Imam Masjid Agung tersebut yang
bernama Raden Zakaria (Pangeran Sotopuro).
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak. Namun, ia dimakamkan
di Kota Surabaya, Jawa Timur. Lokasi makamnya berada di Masjid Ampel.

4
SUNAN GIRI

Sunan Giri adalah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang
berkedudukan di daerah Kabupaten Gresik. Sunan Giri membangun Giri Kedaton sebagai
pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa yang pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok,
Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.Sunan Giri memiliki beberapa nama, yakni Raden Paku,
Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin dan Jaka Samudra. Ia lahir di
Blambangan tahun 1442 dan dimakamkan di desa Giri, Kebomas Gresik.
Pendidikan dan Pengembangan Keilmuan
Menurut Hoesein Djajadiningrat dalam Sadjarah Banten (1983), Nyai Pinatih adalah
janda kaya raya di Gresik, bersuami Koja Mahdum Syahbandar, seorang asing di Majapahit.
Nama Pinatih sendiri sejatinya berkaitan dengan nama keluarga dari Ksatria Manggis di Bali
(Eiseman, 1988), yang merupakan keturunan penguasa Lumajang, Menak Koncar, salah
seorang keluarga Maharaja Majapahit yang awal sekali memeluk Islam.Bayi yang tersangkut
di kapal itu diambil oleh awak kapal dan diserahkan kepada Nyai Pinatih yang kemudian
memungutnya menjadi anak angkat. Karena ditemukan di laut, maka bayi itu dinamai Jaka
Samudra. Setelah cukup umur, Jaka Samudra dikirim ke Ampeldenta untuk berguru kepada
Sunan Ampel. Menurut Babad Tanah Jawi, sesuai pesan Maulana Ishak, oleh Sunan Ampel
nama Jaka Samudra diganti menjadi Raden Paku.
Dakwah dan kesenian
Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan
Raden ‘Ainul Yaqin kembali ke Giri. Dalam Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa Raden Paku
dan Raden Mahdum Ibrahim pernah bermaksud pergi ke Mekkah untuk menuntut ilmu
sekaligus berhaji. Namun, keduanya hanya sampai di Malaka dan bertemu dengan Maulana
Ishak, ayah kandung Raden Paku. Keduanya diberi pelajaran tentang berbagai macam ilmu
keislaman, termasuk ilmu tasawuf. Di dalam sumber yang dicatat pada silsilah Bupati Gresik
pertama bernama Kyai Tumenggung Pusponegoro, terdapat silsilah tarekat Syathariyah yang
menyebut nama Syaikh Maulana Ishak dan Raden Paku Sunan Giri sebagai guru Tarekat
Syathariyah, yang menunjuk bahwa aliran tasawuf yang diajarkan Maulana Ishak dan Raden
Paku adalah Tarekat Syathariyah.udian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah
perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah,
ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal
sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke

5
Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera (terutama bagian selatan) dan Maluku.
Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton,
yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya
ditumbangkan oleh Sultan Agung.Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering
dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak
seperti Jelungan, dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa)
seperti Asmaradana dan Pucung.

Kompleks Makam Sunan Giri


Setelah Sunan Giri wafat pada 1506 M, ia kemudian dimakamkan di Gresik. Lokasi
makam tersebut berada sekitar 22 kilometer barat daya Kota Surabaya.Kompleks makam
Sunan Giri tepatnya berada di Jalan Sunan Giri, Dusun Giri Gajah, Desa Giri, Kecamatan
Kebomas, Kabupaten Gresik.Lokasinya juga cukup mudah dijangkau dengan kendaraan umum
dari Terminal Tambak Oso Wilangun, Surabaya serta Terminal Bunder Kabupaten
Gresik.Kompleks makam Sunan Giri terdiri dari tiga halaman dengan bentuk berundak, dengan
anak tangga sebagai penghubungnya.Teras di kompleks makam ini semakin ke belakang
semakin meninggi dan memiliki batas atau talud pada tiap halaman satu dengan yang
lainnya.Setiap teras memiliki gapura sebagai penanda. Pada teras pertama atau terluar berupa
Gapura Bentar dengan Kala Makara berbentuk sepasang naga.Pada teras kedua juga berupa
Gapura Bentar yang sudah tidak berbentuk, dan pada teras ketiga berupa Gapura Paduraksa,
yang menjadi pintu bagi area inti yaitu cungkup kubur Sunan Giri.

6
SUNAN BONANG

Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang merupakan salah satu ulama anggota Wali
Songo sebagai penebar syiar Islam di Jawa pada abad ke-14 Masehi. Sunan Bonang juga
dikenal sebagai seniman yang berdakwah dengan menggunakan sejumlah perangkat seni,
termasuk gamelan, juga karya sastra. Konon, Raden Makdum Ibrahim adalah penemu salah
satu jenis gamelan dengan tonjolan di bagian tengahnya atau yang kerap disebut bonang. Dari
situlah julukan Sunan Bonang disematkan kepada Raden Makdum Ibrahim.Agus Sunyoto
dalam Atlas Wali Songo (2016) menuliskan bahwa Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang
merupakan putra keempat Raden Rahmat atau Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyai
Ageng Manila, putri Bupati Tuban, Arya Teja.

Raden Makdum Ibrahim lahir pada 1465 M di Surabaya dan tumbuh dalam asuhan
keluarga ningrat yang agamis. Sunan Ampel adalah pendiri sekaligus pengasuh Pesantren
Ampeldenta. Pendidikan Islam diperoleh Raden Makdum Ibrahim pertama kali dari ayahnya
sendiri di pesantren Ampeldenta. Sejak kecil, Sunan Ampel sudah mempersiapkan putranya
itu sebagai penerus untuk mensyiarkan ajaran Islam di bumi Nusantara.Beranjak remaja,
Raden Makdum Ibrahim pergi ke negeri Pasai, Aceh, untuk berguru kepada Syekh Maulana
Ishak, ayahanda Sunan Giri. Sejak kecil, sudah tampak kecerdasan dan keuletan Raden
Makdum Ibrahim dalam menuntut ilmu. Selain dibimbing oleh Sunan Ampel dan Syekh
Maulana Ishak, Raden Makdum Ibrahim juga berguru kepada banyak ulama lainnya. Hingga
akhirnya, Raden Makdum Ibrahim diakui keilmuannya yang mumpuni dalam penguasaan fikih,
ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, dan bela diri silat. Kelak, keterampilan silat Sunan
Bonang berguna ketika ia mengalahkan seorang perampok bernama Raden Said. Raden Said
pun tunduk dan bertobat, kemudian ikut menyebarkan dakwah Islam dan menjadi anggota
Wali Songo yang dikenal dengan nama Sunan Kalijaga.
Asal Usul Nama Sunan Bonang
Dakwah Sunan Bonang dimulai dari Kediri, Jawa Timur. Ia mendirikan langgar atau
musala di tepi Sungai Brantas, tepatnya di Desa Singkal. Diceritakan, Sunan Bonang sempat
mengislamkan Adipati Kediri, Arya Wiranatapada, dan putrinya. Usai dari Kediri, Sunan
Bonang bertolak ke Demak, Jawa Tengah. Oleh Raden Patah, pendiri sekaligus pemimpin
pertama Kesultanan Demak, Sunan Bonang diminta untuk menjadi imam Masjid Demak. Ada
satu lagi versi berbeda terkait penamaan Sunan Bonang yang disematkan kepada Raden

7
Makdum Ibrahim selain dari kisah bahwa ia adalah penemu gamelan jenis bonang. Selama
menjadi imam Masjid Demak, Raden Makdum Ibrahim tinggal di Desa Bonang. Versi kedua
menyebut julukan Sunan Bonang disematkan berdasarkan lokasi tempat tinggalnya tersebut.

Berdakwah Lewat Seni dan Sastra


Sebagaimana Wali Songo lainnya, Raden Makdum Ibrahim menyebarkan Islam melalui
media seni dan budaya. Ia menggunakan alat musik gamelan untuk menarik simpati rakyat.
Konon, Raden Makdum Ibrahim sering memainkan gamelan berjenis bonang, yaitu perangkat
musik ketuk berbentuk bundar dengan lingkaran menonjol di tengahnya. Jika tonjolan
tersebut diketuk atau dipukul dengan kayu, maka akan muncul bunyi merdu. Raden Makdum
Ibrahim alias Sunan Bonang membunyikan alat musik ini yang membuat penduduk setempat
penasaran dan tertarik. Warga berbondong-bondong ingin mendengarkan alunan tembang
dari gamelan yang dimainkan Sunan Bonang. Ia menggubah sejumlah tembang tengahan
macapat, seperti Kidung Bonang, dan sebagainya. Hingga akhirnya, banyak orang yang
bersedia memeluk agama Islam tanpa paksaan.Sunan Bonang juga mahir memainkan wayang
serta menguasai seni dan sastra Jawa. Dalam pertunjukan wayang, Sunan Bonang
menambahkan ricikan, yaitu kuda, gajah, harimau, garuda, kereta perang, dan rampogani
untuk memperkaya pertunjukannya. Dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam (2013), Hery
Nugroho menuliskan bahwa dakwah Sunan Bonang yang lain adalah melalui penulisan karya
sastra yang bertajuk Suluk Wujil. Saat ini, naskah asli Suluk Wujil disimpan di perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda. Suluk Wujil diakui sebagai salah satu karya sastra terbesar di
Nusantara karena isinya yang indah serta kandungannya yang kaya dalam menafsirkan
kehidupan beragama. Sunan Bonang sangat fokus dalam menjalani perannya sebagai ulama
dan seniman sehingga ia tidak sempat menikah hingga wafatnya pada 1525 M. Makam Sunan
Bonang terletak di kompleks pemakaman Desa Kutorejo, Tuban, Jawa Timur, atau berada di
barat alun-alun dekat Masjid Agung Tuban.

8
SUNAN KALIJAGA

Beliau dikenal sebagai wali yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam di
Pulau Jawa. Selain menjadi Ulama’ ia juga menjadi penasihat keraton, seniman, dan arsitek
yang ulung.Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan
menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti
sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan
sendirinya kebiasaan lama hilang.Oleh karena itulah, beliau menggunakan kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.Metode dakwah tersebut sangat efektif.
Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah
adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.Makamnya berada di
Kadilangu, Demak.Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun.
Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan
Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546
serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati.
Silsilah
Sunan Kalijaga merupakan anggota dewan Wali Songo yang masih keturunan Rakryan
Mantri Arya Wiraraja Makapramuka Sesuai Penetapan Pejabat Majapahit Surat Keputusan
Raja di Prasasti Kudadu halaman II no 7 hari Sabtu legi tanggal 52 bulan bhadrapada tahun
1216 saka/1294 masehi), Pendapat ini didasarkan pada catatan historis Babad Tuban dan data
keluarga besar keturunan Sunan Kalijaga.Di dalam babad tersebut diceritakan, Aria Teja alias
Tumenggung Wilwatikta berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini
putrinya. Dari perkawinan tersebut Aria Teja kemudian memiliki putra bernama Aria Wilatikta.
Catatan Babad Tuban ini diperkuat juga dengan catatan masyhur penulis dan bendahara
Portugis Tome Pires (1468 – 1540).Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun
1400M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban yakni Aria Wilakita, dan Sunan
Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta.

Rekam Jejak
Menjadi Murid Sunan Bonang

Menurut cerita, Sebelum menjadi Walisongo, Raden Said adalah seorang perampok
yang selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi di kerajaannya,

9
merampok orang-orang yang kaya. Hasil curiannya, dan rampokanya itu akan ia bagikan
kepada orang-orang yang miskin.Suatu hari, saat Raden Said berada di hutan, ia melihat
seseorang kakek tua yang bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu jika
dilihat seperti tongkat emas, ia merampas tongkat itu. Katanya, hasil rampokan itu akan ia
bagikan kepada orang yang miskin. Tetapi, Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu.
Ia menasihati Raden Said bahwa Allah S.W.T tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu,
Sunan Bonang menunjukan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin
mendapatkan harta tanpa berusaha, maka ambillah buah aren emas yang ditunjukkan oleh
Sunan Bonang.Karena itu, Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang. Raden Said lalu
menyusul Sunan Bonang ke sungai. Raden Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan
Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang
ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum
Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan perintah tersebut. Karena itu, ia menjadi
tertidur dalam waktu lama. Karena lamanya ia tertidur, tanpa disadari akar dan rerumputan
telah menutupi dirinya.Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang datang dan membangunkan
Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya yang ditanjapkan ke sungai, maka Raden Said
diganti namanya menjadi Kalijaga. Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama
oleh Sunan Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Pernikahan
Berdasarkan naskah Pustaka Darah Agung, Sunan Kalijaga diketahui menikah dengan
Dewi Sarah binti Maulana Ishaq, dan mempunyai 3 putra :
1. Sunan Muria,
2. Dewi Ruqayyah,
3. Dewi Sofiah

Sunan Kalijaga juga memiliki istri bernama Dewi Sarokah, yang merupakan puteri
Sunan Gunung Jati dan memperoleh 5 orang anak, yaitu :
1. Kanjeng Ratu Pembayun yang menjadi isteri Sultan Trenggono
2. Nyai Ageng Panenggak yang kemudian kawin dengan Kyai Ageng Pakar.
3. Sunan Hadi, kelak menggantikan Sunan Kalijaga sebagai Kepala
Perdikan Kadilangu.
4. Raden Abdurrahman.
5. Raden Ayu Penengah (Ibu dari Ki Panjawi.
Selain itu, Sunan Kalijaga juga menikah dengan Syarifah Zainab putri Syekh Siti Jenar
Dan memperoleh seorang putri bernama Nyai Ratu Mandoko (Ibu dari Sultan Hadiwijaya).
Penerus Dakwah
Setelah Sunan Kalijaga Wafat, Perjuangan dakwah dilanjutkan oleh putranya sendiri
yakni Sunan Hadi sebagai pemimpin kadilangu, pada tahun 1601 masehi gelar berubah
menjadi Panembahan Hadi, (karena gelar Sunan digunakan Sunan Hanyokrowati sebagai Raja
Mataram) sampai dengan keturunan sekarang trah Panembahan widjil di kadilangu Demak.

10
Pemakaman
Sunan Kalijaga wafat pada tanggal 12 Muharram 1513 saka (sekitar 17 Oktober 1592
M).Beliau dimakamkan di Daerah Kadilangu, Kabupaten Demak. Makam ini hingga sekarang,
ramai diziarahi orang – orang dari seluruh indonesia.Haul Sunan Kalijaga diperingati setiap
tanggal 10 Muharram oleh masyarakat di Kadilangu, Demak.
Warisan Budaya

Berikut adalah daftar warisan budaya dari Sunan Kalijaga, yaitu :


➢ Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk
sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir
dan Gundul-gundul Pacul.
➢ Dialah Penggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud,
serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (“Petruk Jadi Ratu”).
➢ Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta
masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
➢ Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan
Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari
tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

11
SUNAN KUDUS

Sunan Kudus adalah salah satu ulama Wali Songo yang melakukan penyebaran atau
penyiaran agama Islam di tanah Jawa. Ia terkenal sebagai sunan yang mampu menyebarkan
agama Islam melalui pendekatan kebudayaan tanpa melakukan kekerasan.Sunan Kudus
adalah Ulama dan Panglima perang Kesultanan Demak yang termasuk dalam anggota dewan
Wali Songo. Nama lahirnya adalah Ja’far Ash-Shadiq. Ia adalah putra Sunan Ngudung dan Dewi
Sari binti Ahmad Wilwatikta

Asal Usul Sunan Kudus


Ja’far Shadiq atau yang akrab dikenal dengan Sunan Kudus merupakan salah satu
penyebar agama Islam di Pulau Jawa khususnya di daerah Kudus, Jawa Tengah. Sunan Kudus
adalah putra dari Raden Utsman Haji alias Sunan Ngudung di Jipang Panolan (letaknya di
sebelah utara Kota Blora) dengan Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang.Di dalam babad
tanah Jawa disebutkan bahwa Raden Utsman Haji yang merupakan ayah kandung Sunan
Kudus pernah memimpin pasukan Majapahit. Sunan Ngundung selaku senopati Demak
bertarung dengan sengit melawan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam
pertempuran tersebut Sunan Ngundung gugur, sehingga kedudukannya sebagai senopati
Demak digantikan oleh Sunan Kudus.Sementara ibu Sunan Kudus merupakan putri dari Sunan
Bonang. Ia dilahirkan pada tanggal 9 September 1400M. Dengan demikian Sunan Kudus
adalah cucu dari Sunan Bonang, sehingga silsilahnya pun mengikuti silsilah Sunan Bonang,
yakni masih beraliran atau keturunan langsung dari Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad
SAW. Namun terdapat sejumlah versi lain mengenai asal usul Sunan Kudus. Ada yang
mengatakan bahwa Sunan Kudus merupakan cucu Sunan Ampel. Versi lain ada yang
menyebutkan bahwa Sunan Kudus merupakan keturunan Persia. Sementara itu ada pula yang
menuturkan bahwa Sunan Kudus adalah asli orang Jawa. Akan tetapi jika dilihat berbagai
macam versi tersebut yang paling rasional adalah versi pertama yang menyebutkan bahwa
Sunan Kudus merupakan cucu Sunan Bonang.
Cara Berdakwa Sunan Kudus
❖ Strategi dakwah melalui pendekatan massa.
❖ Melakukan pendekatan berdasarkan kepercayaan masyarakat
setempat
❖ Tidak melakukan atau menggunakan jalan kekerasan
❖ Mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi
diusahakan untuk mempengaruhinya dan memasukan nilai ajaran Islam
❖ Menghindari konfrontasi secara langsung. Dengan prinsip mengambil
ikan tanpa membuat keruh airnya

12
Pendekatan Kultural Sunan Kudus
1. Sunan Kudus dikenal menjadi salah satu pendakwah ulung di Tanah
Jawa yang mampu menyebarkan agama Islam dengan cara-cara fleksibel dengan
mengambil hati masyarakat non-islam dengan melakukan pendekatan kebudayaan.
Sehingga agama Islam mampu diterima dengan baik oleh masyarakat setempat tanpa
melakukan tindakan kekerasan. Berbagai macam cara dilakukan oleh Sunan Kudus
dalam melakukan pendekatan kebudayaan. Berikut ini pendekatan kebudayaan yang
telah dilakukan oleh Sunan Kudus.
2. Larangan menyembelih sapi, hal ini Sunan Kudus lakukan sebagai
bentuk menghargai apa yang diyakini oleh umat Hindu yang percaya bahwa sapi
merupakan hewan suci sehingga dilarang untuk disembelih. Selain itu Sunan Kudus
juga membuat menara layaknya candi. Namun, menara tersebut tidak dijadikan
sebagai tempat pemakaman raja atau menyembah roh leluhur melain tempat
mengumandangkan adzan.
3. Membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran berjumlah
delapan, hal ini Sunan Kudus lakukan sebagai bentuk upaya melakukan pendekatan
terhadap umat Buddha dimana jumlah pancuran tersebut bermakna jalan berlipat
delapan atau Sanghika Marga. Selain itu, Sunan Kudus juga memberikan arca kepala
kebo gumerang di atas pancuran tersebut.
4. Menyelenggarakan selamatan mitoni, Sunan Kudus tidak melarang
acara selamatan atau mitoni yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Namun, Sunan
Kudus melakukan perubahan dan memasukan nilai-nilai Islam dalam setiap rangkaian
acaranya. Misalnya mengubah permohonan doa kepada dewa menjadi kepada Allah,
berharap anak tampan seperti Arjuna atau cantik seperti Dewi Ratih dirubah menjadi
tampan seperti Nabi Yusuf dan cantik seperti Maria ibu Nabi Isa. Kemudian menjadi
acara tersebut sebagai momen bersedekah dengan berbagi makanan.
MAKAM SUNAN KUDUS

13
SUNAN MURIA

Sunan Muria adalah Ulama yang termasuk dalam anggota dewan Wali Songo. Nama
lahirnya adalah Umar Said. Ia adalah putra Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh binti Maulana
Ishaq.Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria),
yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat Sunan Muria dimakamkan.
Sunan Muria wafat pada tahun 1560 M.Di dalam tradisi penulisan tembang, Sunan Muria
dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis Sinom dan Kinanthi.
Sunan Muria menjalankan dakwah melalui pendekatan budaya. Dalam seni
pewayangan, misal, Sunan Muria diketahui suka menggelar sejumlah lakon carangan
pertunjukan wayang gubahan Sunan Kalijaga, seperti : Dewa Ruci, Dewa Srani, Jamus
Kalimasada, Begawan Ciptaning, Semar Ambarang Jantur, dan sebagainya.

Melalui media pertunjukan wayang, Sunan Muria memberikan penerangan-


penerangan kepada masyarakat tentang berbagai hal dalam kaitan dengan tauhid. Dengan
pendekatan lewat pertunjukan wayang, tembang-tembang, tradisi-tradisi lama, dan praktik-
praktik keagamaan lama yang sudah diislamkan, Sunan Muria berhasil mengembangkan
dakwah Islam di daerah Jepara, Tayu, Juwana, bahkan sekitar Kudus.

Sumber versi catatan sejarah menyebutkan asal usul Sunan Muria sebagai anak
kandung dari sunan ngudung/sunan mandalika sangat tidak sesuai karena bukti kebenaran
otentik dewi sujinah istri sunan muria adalah putri dari Sunan Ngudung “Raden Usman Haji”
bin As-Sayyid Ali Murtadho Sunan Gisik kakak sunan ampel Ulama pendakwah Islam termuda
di antara Wali Songo adalah Sunan Muria. Ia merupakan putra Sunan Kalijaga. Sunan Muria
melanjutkan strategi dakwah ayahnya dengan menyebarkan ajaran Islam di Jawa melalui
media seni dan budaya.Sunan Muria merupakan anak sulung Sunan Kalijaga dari
pernikahannya dengan Dewi Sarah, putri Maulana Ishak. Nama kecilnya adalah Raden Umar
Said atau ada juga yang menyebutnya Raden Prawoto.Ilmu keislaman diperoleh Raden Umar
Said langsung dari sang ayah. Bberanjak remaja, ia berguru kepada Ki Ageng Ngerang bersama
Sunan Kudus dan Adipati Pathak.Dalam artikel “Menelusuri Jejak dan Warisan Walisongo”
yang terbit di jurnal Wawasan, Wawan Hernawan menuliskan bahwa Raden Umar Said
termasuk tokoh penting dalam Kesultanan Demak.
Raden Umar Said alias Sunan Muria terlibat dalam pemilihan Raden Patah sebagai
pemimpin perdana kerajaan Islam pertama di Jawa tersebut.Kendati termasuk sosok
berpengaruh di Kesultanan Demak, namun Raden Umar Said lebih suka tinggal di daerah
terpencil dan jauh dari pusat perkotaan dalam menjalankan dakwahnya.

14
Sunan Muria suka bergaul dengan rakyat jelata sambil mengajarkan keterampilan
bercocok tanam, berdagang, dan kesenian. Julukan Sunan Muria disematkan karena ia
menetap di Gunung Muria.Gunung Muria terletak di pantai utara Jawa Tengah, sebelah timur
laut Kota Semarang. Gunung ini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kudus, Kabupaten
Jepara, dan wilayah Kabupaten Pati.
Dakwah Sunan Muria
Sebagaimana dakwah ulama Wali Songo lainnya, Sunan Muria juga merangkul tradisi
dan budaya masyarakat setempat, serta menyesuaikannya dengan ajaran Islam.Salah satu
tradisi yang diubah Sunan Muria adalah tradisi bancakan. Fungsi tumpeng diubah menjadi
kenduri untuk mengirim doa kepada leluhur dengan doa-doa Islam di rumah sohibul
hajat.Selain itu, ia juga mengikuti jejak dakwah ayahnya, Sunan Kalijaga, yang menyiarkan
Islam melalui seni-budaya.Sunan Muria mengembangkan penulisan tembang cilik (sekar alit)
jenis Sinom dan Kinanthi. Tembang tersebut masih populer hingga sekarang di kalangan
masyarakat Jawa.Dalam buku Atlas Wali Songo (2013), Agus Sunyoto menyebutkan Sunan
Muria kerap menggelar pertunjukan wayang gubahan ayahnya, seperti Dewa Ruci, Dewa
Srani, Jamus Kalimasada, Begawan Ciptaning, Semar Ambarang, dan sebagainya.Dari cerita-
cerita wayang itulah, Sunan Muria menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat
setempat.Lantaran pengaruhnya itu, Raden Umar Said dikenal sebagai sosok penting di
masyarakat Gunung Muria. Dakwahnya pun meluas hingga daerah Jepara, Tayu, Juwana,
hingga sekitar Kudus.Diceritakan juga bahwa Sunan Muria merupakan pendukung setia
Kesultanan Demak. Karena kedudukan dan pengaruhnya itu, pihak kesultanan memberikan
pengawalan khusus kepada putra Sunan Kalijaga ini.Sunan Muria meninggal dunia pada 1551
M, makamnya terletak di lereng Gunung Muria, Kecamatan Colo, 18 km utara Kota Kudus.Di
sekitar makam Sunan Muria, terdapat 17 makam prajurit dan abdi dalem Kesultanan Demak
yang menjadi pengawal khusus sang ulama.
Pemakaman
Kompleks Makam Sunan Muria berada di Bukit Muria yang terletak di Desa Colo,
Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah dan berada pada ketinggian lebih
dari 1600 meter di atas permukaan laut

15
SUNAN DRAJAT

Sunan Drajat adalah salah satu sunan dari sembilan sunan Wali Songo. Nama kecilnya
adalah Raden Hasyim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Sunan Drajat diperkirakan
lahir pada tahun 1470 Masehi. Beliau adalah putra dari Sunan Ampel yang terkenal karena
kecerdasannya, dan ia merupakan saudara dari Sunan Bonang.Setelah menguasai ajaran
Islam, ia menyebarkan agama Islam di Desa Drajat sebagai tanah perdikan di Kecamatan
Paciran. Di sana ia mendirikan pesantren Dalem Duwur. Tempat ini diberikan oleh Kerajaan
Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka 1442/1520
Masehi.Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari Surabaya maupun Tuban lewat Jalan Raya
Pos (Anyar-Panarukan), dari kota Lamongan dapat ditempuh 50 menit dengan kendaraan
pribadi. Beliau mendapat julukan Sunan Drajat karena pada saat berdakwah di Desa Jelag,
Paciran Lamongan, sempat berdoa “Siapa saja yang belajar ilmu agama di tempat ini, maka
Drajatnya akan diangkat oleh Allah.”
Sunan Drajat Berdakwah dengan Tembang dan Gamelan
Diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung
halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan
Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan
sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.Syahdan, berlayarlah Raden Qasim
dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret
badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim
selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan
talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden
Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak,
Banjarwati. Menurut tarikh, peristiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden
Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.

Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar
di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah
dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah
surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.Jelak, yang semula
Cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai.
Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan,
sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada
musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil

16
Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai
pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu,
untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara
itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus
yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka menteror penduduk pada malam hari, dan
menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi.Setelah
pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun
permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi,
Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman,
dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya.
Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada
penduduk.Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522.Di
tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan
Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan
lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.Sunan Drajat
terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya
kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ‘’Bapang den
simpangi, ana catur mungkur,’’ demikian petuahnya. Maksudnya: “jangan mendengarkan
pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.”Sunan
memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa
memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat
pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan
di pesantren. Selanjutnya, ketiga, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu
masalah.Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat
tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama
melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah:
Paring teken marang kang kalunyon lan wuta;

Paring pangan marang kang kaliren;


Paring sandang marang kang kawudan;
Paring payung kang kodanan.
Artinya:
Berikan tongkat kepada orang buta;

Berikan makan kepada yang kelaparan;


Berikan pakaian kepada yang telanjang;
Dan berikan payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari
perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan

17
makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar,
Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan
salat magrib.‘’Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,’’ katanya dengan nada membujuk.Ia
selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional,
dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur
Lengsanga (leng sanga artinya lubang sembilan –webmaster) di kawasan Sumenggah,
misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.Ketika itu,
Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia
berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang kemudian
menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga
perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan
mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.Peristiwa itu
diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat
adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden
Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif
Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga
kini, memang ada tradisi ‘’saling memuridkan’’. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah
menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan
sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh
Syarifuddin.Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap
dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana
dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan
Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat
dikaruniai tiga putra. Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana.
Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan
bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat
putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.Tak jelas,
apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga
babadipun Para Wali mencatat: ‘’Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga ...’’ Sewaktu
diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di
mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais
naskah kuno untuk menjawabnya. [Endang Sukendar] Selain itu, ajaran Sunan Drajat juga
memberikan penekanan lebih terhadap rasa empati, kedermawanan, pengentasan
kemiskinan, menciptakan kemakmuran, solidaritas, dan gotong royong.

18
SUNAN GUNUNG JATI

Sunan Gunung Jati, lahir dengan nama Hidayatullah atau lebih di kenal sebagai Sayyid
Al-Kamil adalah salah seorang dari Walisongo, ia dilahirkan Tahun 1448 Masehi dari pasangan
Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam dan Nyai Rara Santang, Putri Sri Baduga
Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran (yang setelah masuk Islam berganti nama
menjadi Syarifah Mudaim Syarif Hidayatullah sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi,
yang kemudian dengan dukungan Kesultanan Demak dan Pangeran Walangsungsang atau
Pangeran Cakrabuana (Tumenggung Cirebon pertama sekaligus uwak Syarif Hidayatullah dari
pihak ibu), ia dinobatkan menjadi Tumenggung Cirebon ke-2 pada tahun 1479 dengan gelar
Maulana Jati.Nama Syarif Hidayatullah kemudian diabadikan menjadi nama Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta di daerah Tangerang Selatan, Banten. Sedangkan nama
Sunan Gunung Jati diabadikan menjadi nama Universitas Islam negeri di Bandung, yaitu
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, dan Korem 063/Sunan Gunung Jati di Cirebon
Sunan Gunung Jati, yang memiliki nama asli Syarif Hidayatullah, adalah seorang ulama dan
tokoh penyebar agama Islam di Jawa Barat.Ia mulai menyebarkan agama Islam pada abad ke-
15 dan 16.Tokoh ini lahir di Cirebon pada tahun 1448, namun tanggalnya tidak diketahui
pasti.Sunan Gunung Jati merupakan putra dari Rada Abdullah atau Syarif Abdullah.Sedangkan
ibunya adalah Rara Santang yang merupakan putri dari Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran
dengan gelar Syarifah Mudaim.Saat tinggal di Cirebon, Sunan Gunung Jati memiliki istri
dengan Nyai Ratu Pakungwati
Pernikahan
Memasuki usia dewasa (sekitar tahun 1470 – 1480) ia menikahi adik dari Bupati Banten
saat itu, Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini lahirlah Ratu Wulung Ayu dan Maulana
Hasanuddin. Maulana Hasanuddin inilah yang kelak menjadi Raja Banten pertama.
Wafat
Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berpulang ke rahmatullah pada tanggal
26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 19 September 1568 Masehi.
Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka.Sunan Gunung Jati
meninggal dalam usia 120 tahun, di mana putra dan cucunya tidak sempat memimpin Cirebon
karena meninggal terlebih dahulu. Kepemimpinan Cirebon dipegang sementara oleh
Fatahillah selama 2 tahun, antara tahun 1568 sampai ia wafat di tahun 1570 Masehi. Takhta
Cirebon lalu diwarisi oleh cicitnya, Zainul Arifin yang naik takhta di usia 23 tahun dengan gelar
Panembahan Ratu.Syekh Syarif Hidayatullah kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung

19
Jati oleh warga Cirebon karena ia dimakamkan di komplek pemakaman bukit Gunung Jati,
yang sekarang dikenal dengan nama Astana Gunung Sembung.
MAKAM SUNAN GUNUNG JATI

20
21
22

Anda mungkin juga menyukai