Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PERAN WALISONGO DALAM ISLAMISASI

A. Sejarah Walisongo
Walisongo berarti sembilan orang wali. Sembilan orang wali yang dimaksud
adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Meski
mereka tidak hidup di zaman yang persis sama. Namun satu sama lain mempunyai
keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga ada hubungan erat seperti hubungan
guru dan murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Beliau mempunyai anak yang bernama
Sunan Ampel. Sunan Giri pula adalah anak saudara Maulana Malik Ibrahim yang berarti
juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel.
Sunan Kalijaga pula merupakan sahabat dan juga murid Sunan Bonang. Sunan Muria
merupakan anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus juga murid kepada Sunan Kalijaga.
Sunan Gunung Jati adalah sahabat para sunan-sunan yang lain kecuali Maulana Malik
Ibrahim yang terlebih dahulu meninggal dunia.
Mereka semua tinggal di pantai utara Pulau Jawa dari awal abad 15 hingga
pertengahan abad 16 yaitu di tiga wilayah penting (Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa
Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah serta Cirebon di Jawa Barat). Mereka
adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada zamannya. Mereka
mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru seperti dalam bentuk kesehatan, bercocok
tanam, perniagaan, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di
masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara.
Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama tetapi ia juga merupakan
pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah penyumbang
karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga ke hari ini. Sementara Sunan Muria
adalah pemimpin agama yang sangat rapat dengan rakyat jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya
Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Mereka mempunyai peranan
penting seperti Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi
Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang dianggap oleh kolonialis sebagai "paus dari
11
Timur" serta Sunan Kalijaga telah mencipta karya kesenian dengan menggunakan gaya
dan cara yang dapat dipahami oleh masyarakat Jawa dengan tidak meninggalkan
kebudayaan Hindu dan Budha.1
Sejarah walisongo berkaitan dengan penyebaran Dakwah Islamiyah di Tanah Jawa.
Kesuksesan perjuangan para Wali ini tercatat dengan tinta emas. Dengan didukung
penuh oleh kesultanan Demak Bintoro, Agama Islam kemudian dianut oleh sebagian
besar masyarakat Jawa, mulai dari perkotaan, pedesaan, dan pegunungan. Islam benar-
benar menjadi agama yang mengakar. Para wali ini mendirikan masjid, baik sebagai
tempat ibadah maupun sebagai tempat mengajarkan agama. Konon, mereka mengajarkan
agama di serambi masjid yang kelak dijadikan sebagai lembaga pendidikan tertua di
Jawa yang sifatnya lebih demokratis. Pada masa awal perkembangan Islam, sistem
seperti ini disebut ”gurukula”, yaitu seorang guru menyampaikan ajarannya kepada
beberapa murid yang duduk di depannya, sifatnya tidak masal bahkan rahasia seperti
yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar. Selain prinsip-prinsip keimanan dalam Islam,
ibadah, masalah moral juga diajarkan ilmu-ilmu kanuragan, kekebalan, dan bela diri.
Sebenarnya Walisongo adalah nama suatu dewan dakwah atau dewan mubaligh.
Apabila ada salah seorang wali tersebut pergi atau wafat maka akan segera diganti oleh
wali lainnya. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam
budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga
berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di
Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah
secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Berikut ini beberapa sejarah singkat dan kiprah dari masing-masing anggota dari
Walisongo, yaitu:
1. Maulana Malik Ibrahim (Wafat 1419)
Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan
lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Ibrahim adalah anak
dari seorang ulama Persia yang menetap di Samarkand yang bernama Maulana
Jumadil Kubro.2
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa –sekarang Kamboja-
selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia menikahi seorang putri raja dan

1
A.G. Muhaimin, Ibid., hlm. 8-11.
2
Beliau diyakini sebagai keturunan kesepuluh dari cucu Nabi Muhammad yang bernama Husein.

12
dikaruniai dengan dua orang putra yaitu Raden Rahmat (kelak dikenal dengan nama
Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Setelah merasa cukup
menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim
pun memutuskan untuk berhijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Daerah
yang ditujunya pertama kali yakni Desa Sembalo yang pada saat itu masih
merupakan wilayah kekuasaan Majapahit.
Aktifitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara
membuka warung, yang menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain
itu, secara khusus Malik Ibrahim juga bekerja sebagai tabib yang membantu
mengobati masyarakat secara gratis. Bahkan konon katanya, beliau pernah diundang
untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri
yang dimaksudkan itu masih memiliki hubungan kerabat dengan istrinya.
Selain berdagang dan menjadi tabib, Maulana Malik Ibrahim juga
mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam kepada masyarakat kelas bawah yang
selama ini disisihkan oleh ajaran Hindu. Hal ini membuatnya telah berhasil
mendapatkan simpati dari masyarakat yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi
dan perang saudara. Beliau meninggal pada tahun 1419 M setelah selesai
membangun dan menata pondok pesantren yang akan digunakan sebagai tempat
belajar agama di Leran. Hingga saat ini, makamnya yang berada di kampung
Gapura, Gresik, Jawa Timur itu pun masih menjadi tujuan wisata Walisongo.
2. Sunan Ampel
Sunan Ampel merupakan putra pertama Maulana Malik Ibrahim, yang pada
saat kecilnya lebih dikenal dengan nama Raden Rahmat. Beliau lahir di Campa pada
1401 Masehi. Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid
Ali Murtadho, sang adik. Di Jawa ia langsung pergi ke Majapahit menemui bibinya,
seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting oleh salah seorang
Raja Majapahit yang beragama Hindu dan bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari
perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri, diantaranya adalah
Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak hendak didirikan,
Sunan Ampel turut memprakarsai lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa. Beliau
pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V yang
merupakan Raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

13
Sunan Ampel membangun pondok pesantren di Ampel Denta yang merupakan
daerah yang dihadiahkan oleh Raja Majapahit. Pada pertengahan abad ke-15,
pesantren tersebut berhasil menjadi pusat pendidikan agama Islam yang sangat
berpengaruh di wilayah Nusantara hingga mancanegara. Di antara para santri yang
dididik dan diperintahkannya untuk menyebarkan dakwah Islam, Sunan Ampel juga
memberikan tugas untuk berdakwah kepada Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri
tersebut kemudian berdakwah di pelosok Jawa dan Madura.
Meski Sunan Ampel telah menganut Madzhab Hanafi dalam fiqh atau hukum
Islam. Namun, beliau tidak memperkenalkan madzhab tersebut sebagai materi
pelajarannya. Beliau justru hanya memberikan pengajaran sederhana yang
menekankan pada penanaman akidah dan ibadah melalui istilah "Mo Limo" (moh
main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Istilah ini digunakan
sebagai bentuk seruan untuk tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak
mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina. Sunan Ampel diperkirakan
wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid
Ampel, Surabaya.
3. Sunan Giri
Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri
Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Beliau lahir di
Blambangan pada tahun 1442 M. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan
antara lain yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul
Yaqin dan Joko Samudra.
Sunan Giri merupakan keturunan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam
dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah
Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Setelah tiga tahun berguru kepada
ayahnya, Raden Paku pergi ke Jawa lalu mendirikan sebuah pesantren yang diberi
nama Pesantren Giri di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas. Dalam
Bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan
sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran
agama Islam di Jawa. Bahkan pesantern ini terkenal sampai ke Madura, Lombok,
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai
menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan

14
sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan
Agung.
Ada beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungan
dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan,
Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti
Asmaradana dan Pucung. Setelah Sunan Giri wafat, beliau pun dimakamkan di Desa
Giri, Kebomas, Gresik.
4. Sunan Bonang
Sunan Bonang merupakan anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana
Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Beliau lahir pada
tahun 1465 M. Ibunya bernama Nyi Ageng Manila, yang merupakan puteri seorang
adipati di Tuban. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel
Denta. Setelah cukup dewasa, beliau pun memutuskan berdakwah mulai dari Kediri
hingga ke berbagai pelosok Pulau Jawa. Di sana beliau mendirikan Masjid Sangkal
Daha.
Beliau kemudian bermukim di Desa Bonang, Lasem, Jawa Tengah yang
terletak sekitar kurang lebih 15 kilometer Timur kota Rembang. Di desa itu beliau
membangun tempat pesujudan atau zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal
dengan nama Watu Layar. Beliau pun kemudian dikenal sebagai imam pertama
Kesultanan Demak dan juga sebagai panglima tertinggi di sana. Meskipun demikian,
Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-
daerah terpencil. Adapun daerah-daerah terpencil yang pernah disinggahinya antara
lain Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia
meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung,
setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
Ajaran yang diperkenalkan oleh Sunan Bonang adalah perpaduan antara aliran
ahlussunnah bergaya tasawuf dengan salafi. Meskipun beliau menguasai ilmu fiqh,
ushuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Akan tetapi, ajaran Sunan Bonang
berintikan pada filsafat cinta ('isyq). Hal ini membuatnya terlihat mirip dengan gaya
Jalalludin Rumi. Menurut beliau, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif
(makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin.
Adapun media pengajarannya itu sendiri disampaikan melalui media kesenian
yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan
murid utamanya yaitu Sunan Kalijaga. Sunan Bonang banyak melahirkan karya
15
sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah suluk wijil yang
dipengaruhi oleh Kitab Al-Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899).
Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan
estetika Hindu menjadi gamelan khas Jawa yang menggunakan instrumen bonang.
Beliau juga menggubah liriknya dengan lirik-lirik yang mencirikan kecintaan pada
kehidupan transedental (alam malakut). Salah satu contoh hasil karyanya adalah
tembang "Tombo Ati". Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang
yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan
memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa
ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah
(peneguhan).
5. Sunan Drajat
Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 M. Beliau adalah putra dari
Sunan Ampel. Dengan kata lain, beliau adalah saudara Sunan Bonang. Semasa
kecilnya, Sunan Drajat bernama Raden Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan
Ampel yang terkenal cerdas. Setelah menguasai ilmu agama Islam dikuasai, beliau
pun kemudian tinggal di Desa Drajat wilayah Kecamatan Pacitan, Kabupaten
Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad 15 dan 16 M. Beliau
memegang otonomi Kerajaan Demak selama 36 tahun di wilayah Perdikan, Drajat.
Pemikiran kesufian Sunan Drajat yang menonjol adalah upaya menyadarkan
manusia dari ambisi jabatan dan kedudukan, yang akan mendorong manusia untuk
menikmati dunia dengan pola hidup berfoya-foya dan memuaskan nafsu perut. Ia
berpendapat bahwa perut adalah sumber segala syahwat dan penyakit jasmani dan
rohani. Jika perut diisi dengan makanan yang enak, maka akan timbul nafsu serakah,
yang kemudian diiringi dengan munculnya nafsu-nafsu yang lain, seperti syahwat
kelamin, permabukan, perjudian, dan lain sebagainya
Selain dikenal sebagai seorang wali, beliau juga dikenal sebagai tokoh yang
berjiwa sosial dan sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Beliau terlebih
dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman tentang
ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk
mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usaha ke arah itu menjadi
lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur
wilayahnya yang mempunyai otonomi.
16
Beliau bahkan mendapatkan gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah
yang merupakan Sultan Demak kala itu, pada tahun saka 1442 atau 1520 M.
Penghargaan ini diberikan berkat keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan
mengurangi kemiskinan warganya. Berikut ini, 7 ajaran Sunan Drajat yang
terabadikan dalam bentuk tingkatan-tingkatan dari tataran komplek Makam Sunan
Drajat, yaitu:
a. Memangun resep teyasing sasomo artinya kita selalu membuat senang hati
orang lain.
b. Jroning suko kudu eling lan waspodo artinya di dalam suasana riang kita harus
tetap ingat dan waspada.
c. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah artinya dalam
perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk
rintangan.
d. Meper Hardaning Pancadriya artinya kita harus selalu menekan hawa nafsu.
e. Heneng-Hening-Henung artinya dalam keadaan diam kita akan memperoleh
keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita -cita
luhur.
f. Mulyo guno panca waktu artinya suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita
capai dengan salat lima waktu.
g. Menehono teken marang wong kang wuto, menehono mangan marang wong
kang luwe, menehono busono marang wong kang wudo, menehono ngiyup
marang wongkang kodanan artinya berilah ilmu agar orang menjadi pandai,
sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, ajarilah kesusilaan pada
orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita.
6. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1450 M. Ayahnya bernama Arya Wilatikta
yang merupakan seorang Adipati Tuban keturunan dari tokoh pemberontak
Majapahit, Ronggolawe. Pada saat itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut
agama Islam. Semasa kecilnya, Sunan Kalijaga bernama Said. Sama halnya dengan
wali lainnya, beliau juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh
Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun.
Dengan demikian, beliau mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit pada tahun
1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten. Beliau juga menyaksikan
17
lahirnya Kerajaan Pajang pada tahun 1546 M serta awal kehadiran Kerajaan
Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati.
Dalam dakwah, beliau punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat
dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -
bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Pemikiran kesufian yang ditampilkan
Sunan Kalijaga adalah tentang konsep zuhud. Pemikiran zuhud ini berawal dari
upaya membangun kesadaran masyarakat pada arti bekerja dan beramal. Orang
boleh bekerja apa saja asalkan layak bagi martabat manusia. Bekerja untuk
memperoleh makanan yang halal dan pantas untuk diri dan keluarganya. Manusia
berupaya keras untuk memperoleh kekayaan, tetapi tetap diingatkan agar tidak hidup
bermewah-mewahan dan royal terhadap harta. Sebab harta yang dimiliki mereka
sesungguhnya digunakan untuk menunaikan zakat, haji, sosial, dan lainnya. Mencari
harta kekayaan tidak boleh menggunakan jalan yang tercela dan serakah. Oleh
karena itu, meskipun harta dunia itu penting, tetapi harus diperoleh dengan
menggunakan cara yang halal dan menjauhi cara yang haram, bahkan syubhat.
Dibanding dengan keutamaan akhirat maka dunia macam apapun sesungguhnya
sangat kecil. Itulah arti zuhud yang diartikan dalam konsepsi oleh Sunan Kalijaga.
Selain pemikirannya yang luar biasa dalam bidang tasawuf, beliau juga
memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Beliau
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana
dakwahnya. Beliau juga merupakan tokoh pencipta baju takwa, perayaan sekatenan,
grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Beliau adalah
tokoh di balik terciptanya wayang purwa dan wayang kulit Islami yang sekarang kita
kenal. Beliau juga berjasa karena telah membuat corak batik bermotif burung
kakula, yang jika ditulis dalam Bahasa Arab terdiri dari dua bagian yaitu du dan qila
yang berarti peliharalah ucapanmu baik-baik. Selain itu, Lanskap pusat kota berupa
keraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan
Kalijaga.
Metode dakwah yang digunakan secara menarik itu pun berhasil membuat
sebagian besar adipati di Jawa untuk memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di
antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang
(sekarang Kotagede, Yogya). Setelah meninggalnya, Sunan Kalijaga dimakamkan di
Kadilangu yang terletak di sebelah selatan Kota Demak.
7. Sunan Kudus
18
Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq merupakan seorang putra dari pasangan
Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka.
Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang
berkelana hingga ke Jawa. Di Kesultanan Demak, beliau pun diangkat menjadi
panglima perang.
Beliau merupakan murid Sunan Kalijaga. Setelah mendapatkan pendidikan
dari gurunya itu, beliau pun memutuskan untuk berkelana ke berbagai daerah tandus
di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun
meniru pendekatan Sunan Kalijaga yang sangat toleran pada budaya setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus.
Sunan Kudus berdakwah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan
Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur Masjid Kudus dengan bentuk menara, gerbang
dan pancuran atau padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha.
Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing
masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tablighnya. Untuk itu, ia sengaja
menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-
orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka
mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang Surat Al-Baqarah yang berarti sapi
betina. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak
untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan.
Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk
mengikuti kelanjutannya.Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita
1001 malam dari masa Khalifah Abbasiyah. Dengan cara berdakwah seperi itulah,
Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Selain berdakwah, Sunan Kudus juga pernah menjadi seorang Panglima
Perang Kesultanan Demak. Beliau ikut bertempur saat Demak, di bawah
kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya
Penangsang.
8. Sunan Muria
Sunan Muria merupakan putra Dewi Saroh, adik kandung Sunan Giri sekaligus
anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden
Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung
Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil
cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka
19
tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan
agama Islam. Beliau juga bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik
internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Beliau juga dikenal sebagai pribadi yang
mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi
pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan
Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu
hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
9. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun
1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari Raja Pajajaran Raden Manah
Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar
Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu
agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Beliau juga sempat berkelana
ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu
kalangan ulama lain, beliau mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal
sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya anggota Walisongo
yang memimpin pemerintahan. Beliau memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra
Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman
Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, beliau menganut kecenderungan Timur
Tengah yang lugas. Namun beliau juga mendekati rakyat dengan membangun
infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama
putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke
Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan
wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, beliau pun mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni
dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568
M, beliau wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di
daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon
dari arah barat.

B. Pengembangan Ajaran Tasawuf oleh Walisongo


20
1. Tasawuf pada Masa Para Wali
Maraknya pengajian tasawuf dewasa ini, dan kian bertambahnya minat
masyarakat terhadap tasawuf memperlihatkan bahwa sejak awal tarikh Islam di
Nusantara, tasawuf berhasil memikat hati masyarakat luas. Dalam banyak buku
sejarah diuraikan bahwa tasawuf telah mulai berperan dalam penyebaran Islam sejak
abad ke-12 M. Peran tasawuf kian meningkat pada akhir abad ke-13 M dan
sesudahnya, bersamaan munculnya kerajaan Islam pesisir seperti Pereulak, Samudra
Pasai, Malaka, Demak, Ternate, Aceh Darussalam, Banten, Gowa, Palembang, Johor
Riau dan lain-lain. Itu artinya Wali Songo yang sangat berperan dalam penyebaran
Islam di Indonesia khususnya Tanah Jawa, mempunyai andil yang besar dalam
mengajarkan tasawuf kepada masyarakat.
Pada abad ke-12 M, peranan ulama tasawuf sangat dominan di dunia Islam.
Hal ini antara lain disebabkan pengaruh pemikiran Islam al-Ghazali (wafat 111 M),
yang berhasil mengintegrasikan tasawuf ke dalam pemikiran keagamaan Madzab
Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah menyusul penerimaan tasawuf di kalangan masyarakat
menengah. Hal ini juga berlaku di Indonesia, sehingga corak tasawuf yang
berkembang di Indonesia lebih cenderung mengikuti tasawuf yang diusung oleh al-
Ghazali, walaupun tidak menutup kemungkinan berkembang tasawuf dengan corak
warna yang lain.
Abdul Hadi W. M. dalam tesisnya menulis : “Kitab tasawuf yang paling awal
muncul di Nusantara ialah Bahar al-Lahut (lautan Ketuhanan) karangan `Abdullah
Arif (w. 1214). Isi kitab ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang wujudiyah Ibn
`Arabi dan ajaran persatuan mistikal (fana) al-Hallaj”. Ini menunjukan bahwa
disamping tasawuf sunni juga berkembang tasawuf falsafi di masyarakat. Sehingga
sejarah mencatat di samping Walisongo sebagai pengusung tasawuf sunni juga
muncul Syekh Siti Jenar sebagai penyebar tasawuf falsafi dengan ajaran
manunggaling kawula gusti. Dengan demikian, secara garis besar aliran tasawuf
yang berkembang pada zaman Walisongo dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu :
a. Tasawuf Sunni
Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-
Qur'an dan Al Hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan
maqamat (tingkat rohaniah) mereka pada dua sumber tersebut. Tasawuf sunni
adalah tasawuf yang mengedepankan praktis, maka termasuk di dalamnya
tasawuf akhlaki dan amali.
21
Dalam tasawuf sunni terdapat tiga langkah utama yang yang harus
dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT :
1. Senantiasa mengawasi jiwa (muraqabah) dan menyucikannya dari segala
kotoran.
Firman Allah SWT: "Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya),
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa
itu, dan sesungguhnya rugilah orang yang mengotorinya". Q.S Asy-Syams :
7-10.
2. Memperbanyak dzikrullah.
Firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah
(dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya". Q.S. Al-
Ahzab: 41.
Sabda Rasulullah SAW "Senantiasakanlah lidahmu dalam keadaan
basah mengingat Allah SWT".
3. Zuhud di dunia, tidak terikat dengan dunia dan gemar pada akhirat.
Firman Allah SWT: "Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari
main-main dan senda gurau belaka. Dan sesungguhnya kampung akhirat itu
lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu
memahaminya?". (Al-Anaam : 32).

b. Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal
Tuhan (ma'rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tingkat
yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma'rifatullah) melainkan
yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga
dikatakan tasawuf falsafi adalah tasawuf yang kaya dengan pemikiran-
pemikiran filsafat.
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan
tasawuf sunni. Kalau tasawuf sunni lebih menonjolkan segi praktis, sedangkan
tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis sehingga dalam konsep-konsep
tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-pendekatan
22
filosofis, yang sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya
bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.
2. Implementasi Tasawuf pada Masa Wali Songo
Walisongo sebagai figur agamis menjadi simbol kesalihan masyarakat pada
saat itu. Sehingga apa yang dilakukan oleh para wali menjadi contoh yang baik bagi
masyarakat. Dalam kehidupannya sehari-hari, Walisongo hidup dengan sederhana,
tidak berlebih-lebihan, peduli terhadap fakir miskin, bahkan menjadi pelopor dalam
memberantas kemiskinan dan kebodohan. Dalam memilih tempat tinggal,
Walisongo lebih memilih tempat terpencil, mereka lebih suka hidup di gunung dan
perkampungan daripada di perkotaan. Hal ini sesuai dengan salah satu ajaran
tasawuf yang disebut dengan ‘uzlah (mengasingkan diri).
Pada masa Sunan Giri ajaran tasawuf diadopsi menjadi norma yang harus
dipegang oleh masyarakat, diantara isi dari norma tersebut adalah meper hardaning
pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu). Heneng-hening-henung
(dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening
itulah kita akan mencapai cita-cita luhur). Mulyo guno panca waktu (suatu
kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu).
Walisongo juga mengajak masyarakat untuk selalu berzikir mengingat Allah
SWT dan menumbuhkan kesadaran kehambaan, yang dikemas dalam bentuk karya
seni sesuai dengan budaya setempat, seperti tembang "Tombo Ati", tembang “Lir
Ilir”, "Suluk Wijil" yang dipengaruhi kitab Al-Shidiq, perseteruan Pandawa-Kurawa
yang ditafsirkan sebagai peperangan antara nafi (peniadaan), 'isbah (peneguhan) dan
lain-lain. Di samping implementasi tersebut di atas, masih banyak bentuk
implementasi lain yang tidak diungkapkan di sini karena keterbatasan referensi.
Dalam istilah tasawuf, terdapat juga istilah tarekat. Tarekat adalah perjalanan
seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau
perjalanan yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada
Allah. Istilah tarekat ini tidak saja ditujukan kepada aturan dan cara-cara tertentu
yang digunakan oleh seorang syekh tarekat dan bukan pula terhadap kelompok yang
menjadi pengikut salah seorang syekh tarekat, tetapi melìputi segala aspek ajaran
yang ada di dalam agama Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya,
yang semua itu merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah. Usaha
mendekatkan diri iní biasanya dilakukan di bawah bimbingan seorang guru atau
syekh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan
23
diri kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang di tempuh seseorang
dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah. Gambaran ini menunjukkan bahwa
tarekat adalah tasawuf yang telah berkembang dengan beberapa variasi tertentu,
sesuai dengan spesifikasi yang diberikan seorang guru kepada muridnya.
Dari sisi bahasa, tarekat atau thariqah berasal dari bahasa arab thariqah yang
artinya jalan, keadaan, aliran dalam garis sesuatu. Jamil Shaliba3 mengatakan secara
harfiah, thariqah berarti jalan yang terang, lurus yang memungkinkan sampai pada
tujuan dengan selamat. Di kalangan muhaddisin, Thariqah digambarkan dalam dua
arti yang asasi. Pertama menggambarkan sesuatu yang tidak dibatasi terlebih dahulu
(lancar), dan kedua didasarkan pada sistem yang jelas dibatasi sebelumnya. Selain
itu thariqah juga diartikan sekumpulan cara-cara yang bersifat renungan, dan usaha
inderawi yang mengantarkan pada hakikat, atau suatu data yang benar.
Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering
disebut sebagai tasawuf akhlaqi. Ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang
banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah
kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak dikembangkan para sufi
yang berlatar belakang sebagai filosof di samping sebagai sufi.
Para sufi dan syekh, mursyid (Guru Pembimbing) dalam tarekat, merumuskan
bagaimana sistematika, jalan, cara dan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh para
calon sufi atau murid tarekat dalam mendekatkan diri kepada Allah. Kenyataan
dalam sejarah menunjukkan, bahwa peran serta secara aktif dari pada sufi dan para
syekh, mursyid sangatlah besar dalam mengembangkan agama Islam. Mereka
membina dan membimbing umat yang meliputi segala aspek kehidupannya seperti
mendekatkan diri kepada Allah, membentuk moralitas pergaulan dalam masyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf dan thariqat mempunyai
pengaruh besar dalam berbagai kehidupan sosial, budaya dan pendidikan yang
banyak tergambar dalam dinamika dunia pesantren. Kondisi semacam ini
mempermudah tumbuh dan berkembangnya organisasi-organisasi thariqat yang
berkembang di dunia Islam. Tarekat merupakan bagian dari tasawuf yang berperan
penting dalam melanggengkan ajaran Sufi. Bukan hanya itu, para pengamal tarekat
juga memainkan peranan penting dalam menyebarkan Islam di berbagai kawasan

3
Abuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 269.

24
yang kemudian dikenal sebagai dunia Islam. Peran ini semakin jelas pada saat dunia
Islam mengalami kemunduran secara politik mulai abad ke tiga belas.
Pada saat ini, tarekat justru, secara bertahap mengalami kemajuan.
Perkembangan pesat terjadi pada saat tarekat terjadi pada abad ke lima belas dan
abad ke enam belas. Periode ini menyaksikan bahwa tarekat tidak hanya menjaga
eksistensi Islam di berbagai wilayah di mana ia berkembang, bahkan ia telah
memperluas daerah penyebaran Islam sampai ke dunia Arab seperti kawasan Afrika,
India, Asia Tengah, Cina, dan termasuk Indonesia.

25

Anda mungkin juga menyukai