Sejarah Walisongo
Songo Walisongo dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke
14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-
Gresik, Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan
Cirebon di Jawa Barat.
Sejarah masuknya Islam ke wilayah Nusantara sudah berlangsung demikian lama,
sebagian berpendapat bahwa Islam masuk pada abad ke-7 M yang datang lansung dari
Arab. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk pada abad ke-13, dan ada juga yang
berpendapat bahwa Islam masuk pada sekitar abad ke 9 M atau 11 M. Perbedaan pendapat
tersebut dari pendekatan historis semuanya benar, hal tersebut didasar bukti-bukti sejarah
serta penelitian para sejarawan yang menggunakan pendekatan dan metodenya masing-
masing.
Penyebaran islam di Indonesia tak lepas dari peran tokoh serta ulama yang hidup pada
saat itu, dan diantara tokoh yang sangat berjasa dalam proses Islamisasi di Nusantara
terutama di tanah Jawa adalah “Walisongo”. Peran Walisongo dalam proses Islamisasi di
tanah Jawa sangat besar. Tokoh Walisongo yang begitu dekat dikalangan masyarakat
muslim kultural Jawa sangat mereka hormati. Hal ini karena ajaran-ajaran dan dakwahnya
yang unik serta sosoknya yang menjadi teladan serta ramah terhadap masyarakat Jawa
sehingga dengan mudah Islam menyebar ke seluruh wilayah Nusantara.
Walisongo menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa yang terbagi dari Surabaya
Gresik-Lamongan JawaTimur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa
Barat. Keberhasilan Islamisasi Jawa merupakan hasil perjuangan dan kerja keras
Walisongo. Proses Islamisasi berjalan dengan damai, baik politik maupun kultural,
meskipun terdapat konflik itupun sangat kecil sehingga tidak mengesankan sebagai perang
maupun kekerasan ataupun pemaksaan budaya. Penduduk Jawa menganut dengan suka
rela. Walisongo menerapkan metode dakwah yang lentur atau baik sehingga dapat
diterima baik oleh masyarakat jawa. Kehadiran para Wali ditengah-tengah Pulau Jawa
tidak dianggap sebagai ancaman.
Para Wali ini menyebarkan agama Islam dengan menggunakan pendekatan budaya
dengan cara akuluturasi seni budaya lokal yang dikemas dengan Islam seperti wayang,
tembang jawa, gamelan, upacara-upacara adat yang digabungkan dengan Islam dan
dengan kepiawaan para Wali menggunakan unsur-unsur lama (Hindu-Buddha) sebagai
media dakwah mereka dan sedikit demi sedikit memasukan nilai-nilai ajaran agama islam
kedalam unsur tersebut atau dapat disebut metode sinkretisme yang berarti
pencampuradukan sebagai unsur aliran atau paham sehingga yang bentuk abstrak yang
berbeda membentuk keserasiaan.
Kata “wali” berasal dari bahasa Arab yang artinya pembela, teman dekat, dan
pemimpin. Dalam pemakaiannya wali biasanya di artikan sebagai orang yang dekat
dengan Allah SWT. Adapun kata “songo” berasal dari bahasa Jawa yang artinya sembilan.
Maka, Wali Songo secara umum diartikan sebagai sembilan wali yang dianggap telah
dekat dengan Allah SWT dan terus-menerus beribadah kepada-Nya serta memiliki
kemampuan-kemampuan diluar kebiasaan manusia.
Di dalam konteks pemahaman masyarakat Jawa, yang dimaksud dengan wali adalah
seseorang yang memiliki kekuatan supranatural yang diperoleh karena kedekatannya
kepada Allah SWT. Oleh karena itu, menurut pemahaman masyarakat Jawa, wali dapat
menjadi wasilah atau perantara yang menghubungkan antara manusia dengan Allah. Hal
itulah yang tertanam dalam masyarakat Jawa, sehingga sampai sekarang makam-makam
para wali itu selalu penuh oleh peziarah, terutama pada hari-hari tertentu sesuai dengan
hari-hari penting masing-masing makam wali. Kebanyakan para peziarah itu menjadikan
para wali yang telah wafat itu sebagai wasilah atas doa-doanya kepada Allah dan mereka
mempercayai bahwa doa-doa mereka akan menjadi cepat terkabul jika dipanjatkan di
dekat makam para wali itu. Berdasarkan beberapa penelitian, jumlah wali itu ada banyak.
Akan tetapi, yang popular di Jawa hanya sembilan orang. Mereka adalah Sunan Gresik,
Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus,
Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.
B. Tokoh Walisongo
1 . Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Sunan Gresik dianggap sebagai orang pertama yang
menyebarkan Islam di Jawa. Maulana Malik Ibrahim atau
Maulana Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan
lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad
14. Babad Tanah Jawi menyebutnya Asmarakandi,
mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap Al-
Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi. Maulana
Malik Ibrahim kadang juga disebut
sebagai Syekh Maghribi. Zuhri, mengaitkan kata Maghribi sebagai tempat asal
Maulana Malik Ibrahim. Bagi Zuhri, Maghribi atau Biladul Maghribi adalah sebuah
negeri di Afrika Utara, yaitu Maroko.
Maulana Malik Ibrahim sebelum tiba di Jawa pernah singgah dan bermukim di lain
Campa. Di sini ia menikahi putri raja. Dari perkawinannya, dikaruniai seorang putra
bernama raden Rahmat yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Ampel Surabaya.
Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M, Maulana Malik
Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Beberapa versi menyatakan
bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali
yakni desa Sembalo, daerah, yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit.
Desa Sembalo sekarang. adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara
kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara
membuka warung. Warung itu 10 menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah.
Selain itu, secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati
masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati
istri raja yang berasal dari Campa. Ada dugaan, kemungkinan permaisuri tersebut
masih kerabat istrinya.
2. Sunan Ampel
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia
hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah
dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe,
moh maling, moh madat, dan moh madon).
Mo limo dimaksud adalah seruan untuk bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia
"tidak berjudi, tidak minum minuman keras, dijuluki Sunan Giri." tidak mencuri, tidak
menggunakan narkotik, dan tidak berzina." Sunan Ampel diperkirakan wafat pada
tahun 1481 M., di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
3. Sunan Giri
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren Sunan Ampel, tempat Raden Patah
belajar. la sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia
membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam
bahasa jawa, bukit adalah ‘giri’. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu.
Ketika Raden Fattah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak
sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam
Babad Demak Selanjutnya. Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. la diakui juga
sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan setanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran
Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat
II pada Abad 18. Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang
gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga
Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua
sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih
Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni
yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lirilir dan cublak suweng
disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -
lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
4. Sunan Bonang
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'. Sangat mirip dengan
kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang. cinta sama dengan iman, pengetahuan
intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah Swt atau haq al yaqin. Ajaran tersebut
disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam
hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga. Sunan
Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya
adalah "Sulik Wijil yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr
(wafat pada 899 M. Suluknya banyak menggunakan tamail cermin, bangau atau burung
laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi
serta Hamzah Fansuri. Sunan Sunan Bonang adalah penciota dending “darma”.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika
Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti
sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki
nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut).
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius
penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir tafsir khas
Islam. Kisah perseteruan Pandawa Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan
antara nafi (peniadaan) dan isbah (peneguhan)" dalam
Syahadah.
5. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga tidak pernah padam dalam memori kolektif masyarakat pesisir utara
Jawa Tengah hingga Cirebon. Terutama caranya berdakwah, yang dianggap berbeda
dengan metode para wali yang lain. la memadukan dakwah dengan seni budaya yang
mengakar di masyarakat. Misalnya lewat wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik, yang
sangat populer pada masa itu. Babad dan serat mencatat Sunan Kalijaga sebagai
penggubah beberapa tembang, di antaranya Dandanggula Semarangan merupakan
perpaduan melodi Arab dan Jawa.
Tembang lainnya adalah Ilir-Ilir. Meski ada yang menyebutnya karya Sunan Bonang.
Liriknya punya tafsir yang sarat dengan dakwah. Misalnya tak jo royo-royo dak senggah
penganten anyar. Ungkapan ijo royo-royo bermakna hijau, lambang Islam. Sedangkan
Islam, sebagai agama baru, ditamsilkan sebagai penganten anyar, alias pengantin baru.
Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang diberi nama Kanjeng
Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan itu kini disimpan di Keraton
Yogyakarta dan Keraton Surakarta, seiring dengan berpindahnya kekuasan Islam ke
Mataram. Pasangan gamelan itu kini dikenal sebagai gamelan Sekaten." Selain dakwah
dengan kontak budaya, kisah spektakuler lainnya adalah pendirian Masjid Agung Demak.
Babad Demak menyebutkan, masjid itu berdiri pada 1477, berdasarkan candrasengkala
"Lawang Tra Gunaning wafat tidak memperoleh keturunan. Janma" -bermakna angka
1399 tahun Saka.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk
Islam melalui Sunan Kalijaga. Diantaranya adalah Adipati
Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang
(sekarang Kotagede Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di
Kadilangu Selatan Demak.
Pada tahun 1479 M, dengan persetujuan Sri Mangana, Sunan Gunung Djati
diangkat menjadi tumengning di Caruban bergelar Susuhunan Jati atau juga dipanggil
Sunan Gunung Djati, atau Sinuhun Caruban. Para wali pun menyambut baik penobatan
itu dan meneguhkan kekuasaan Sunan Gunung Djati sebagai Penegak Panatagama.
Setelah menjadi tumenggung, Sunan Gunung Djati berkunjung ke daerah Pasambangan.
Di sini bertemu dengan Syarifah Baghdad, adik Syarif Abdurrahman atau Maulara
Abdurrahman Bagdad yang bergelar pangeran Dipongayun atau pangeran Panjunan.
Mereka pun menikah. Dari pernikahannya. dikaruniai dua orang putera, bernama
Pangeran Jayakelana dan Pangeran Bratakelana atau Pangeran Gung Anom. Selanjutnya,
Sunan Gunung Djati juga menikah dengan Nyai Tepasari, puteri Ki Gedeng Tepasan dari
Majapahit. Dari pernikahannya tersebut, "Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa
Islam di lahir Nyai Ratu Ayu dan pangeran Mohammad Arifin atau lebih dikenal dengan
pangeran Pasarean yang kemudian menjadi putera mahkota dan kelak melahirkan raja-
raja di Cirebon..
Setelah diantara para puteranya ada yang dewasa, dalam upaya akselerasi ajaran
Islam ke masyarakat pedalaman tatar Sunda, Sunan Gunung Djati melakukan dua
tahapan kebijakan strategis, yaitu:
Kedua :Setelah agama Islam menyebar hampir di seluruh tatar Sunda, Sunan
Gunung Djati juga mengadakan pembagian tugas dengan mengangkat empat orang
Kepala Daerah, masing-masing sebagai berikut:
7. Sunan Drajat
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya
yaitu secara langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian,
cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria.
Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk
petuah "berilah tongkat pada si buta atau beri makan pada yang lapar atau beri pakaian
pada yang telanjang.
Sunan Drajat mampu mengetuk hati orang-orang kaya untuk mengeluarkan zakat
dan dana-dana lain yang diperlukan untuk menolong kesengsaraan masyarakat
sekitarnya. Diorganisirlah cara memungut zakat dan infaq. Kemudian dilaksanakan
praktek tashorruf yang tepat untuk tujuan menanggulangi bahaya kemelaratan rohani
maupun jasmani masyarakat Gresik dan sekitarnya. Sunan Drajat juga dikenal sebagai
seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondoknya, ia banyak memelihara anak
yatim dan fakir miskin.
Dalam waktu yang singkat telah banyak orang-orang yang berguru kepada beliau.
Setahun kemudian Sunan Drajat mendapat ilham agar pindah ke daerah sebelah selatan
kira- kira 1 km dari desa itu. di sana beliau itu mushalla atau surau yang sekaligus di
manfaatkan untuk tempat berdakwah. 3 tahun tinggal di daerah itu, beliau mendapat
ilham lagi agar pindah tempat ke 1 bukit. Dan di tempat baru itu beliau berdakwah
dengan menggunakan kesenian rakyat, yaitu dengan menabuh seperangkat gamelan
untuk orang, setalah itu lalu di beri ceramah agama.
Demikiannlah kecerdikan Sunan Drajat dalam mengadakan
pendekatan kepada rakyat dengan menggunakan kesenian
rakyat sebagai media dakwahnya. Sampai sekarang
seperangkat gamelan itu masih tersimpan dengan baik di
museum di dekat makamnya.
8. Sunan Kudus
Sunan Kudus dikenal ketika masih bernama Raden Amir Haji yang menikah dengan
Dewi Siti Rahil binti Sunan Bonang. Hubungannya yang rapat dengan Sunan Bonang hingga
diambil jadi menantunya. Seperti murid-murid pilihan dari Sunan Ampel, Raden Amir Haji
dimasukan sebagai salah seorang Walisongo bergelar syekh Ja'far shidiq atau Sunan Kudus.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Muria Kalijaga. Kemudian ia berkelana
ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah, seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul.
Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga sangat toleran pada budaya
setempat. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan
simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk
menara, gerbang dan pancuran atau padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan
Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Sebagai ulama besar Sunan Kudus terkenal menguasai 'Ulumul Hadis, Ilmu Tafsir
al-Quran, Ilmu Sastra, Mantiq dan terutama Ilmu Fiqih. Oleh karena itu, di antara
walisongo, ia dijuluki waliyul ilmi (gudangnya ilmu). Sementara di bidang kesenian,
Sunan Kudus terkenal ciptaannya, gending maskumambang dan mijil.
9. Sunan Muria
Nama kecilnya adalah Raden Prawoto, atau ada yang menyebutnya Raden Umar Said,
atau Raden Said ibn Raden Syahid Sedangkan nama Muria diambil dari tempat tinggal
terakhirnya di lereng Gunung Muria 18 KM ke sebelah utara kota Kudus. Setelah dewasa
ia memperisteri salah seorang puteri dari Ustman Haji (bernama Dewi Siti Sujinah,
kakak dari Amir Haji (Sunan Kudus).
Sunan Muria terhitung sebagai salah seorang sesepuh kerajaan Demak Bintoro.
Di samping ikut mendukung pembangunan mesjid Demak, ia lebih suka tinggal di
daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. la
lebih suka bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan keterampilan
bercocok tanam, berdagang. dan melaut. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu,
Juana hingga sekitar Kudus dan Pati.
C. Teladan Walisongo
1. Sunan Gresik
Sebagai wali pertama dalam walisongo Sunan Gresik memiliki semangat dakwah
yang sangat besar khususnya dakwah di Pulau Jawa. Beliau dengan ikhlas
menyebarluaskan agama islam baik secara langsung maupun melalu kesenian Jawa.
2. Sunan Ampel
Nilai yang harus diteladani : Toleransi, saling menghargai, kasih sayang pada
sesama.
3. Sunan Giri
4. Sunan Bonang
Dakwahnya melalui kesenian sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil, selain itu
menciptakan tembang tombo ati yang sekarang masih dikenal. Gamelan Jawa
merupakan salah satu budaya Hindu yang diberi nuansa berbeda serta pada pewayangan
dimasukkan cerita Islami
5. Sunan Kalijaga
Lahir tahun 1450 di Tuban dan wafat tahun 1550 di Demak. Metode dakwah yang
digunakannya adalah pemahaman agama berbasis salaf yaitu kesenian dan
kebudayaan. Contoh kesenian dan kebudayaan yang digunakan ialah seni ukir,
wayang, gamelan, dan seni suara untuk menyebarkan agama Islam.
Beberapa lagu terkenal yang diciptakannya adalah Lir Ilir dan Gundul Pacul,
metode tersebut terkesan efektif karena dapat mengambil hati masyarakat.
7. Sunan Drajat
8. Sunan Kudus
Sunan Kudus berasal dari Al-Quds Yerussalem Palestina, putra dari Raden Usman
Haji dengan Syarifah Ruhil. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat dengan
memanfaatkan simbol Hindu-Budha, hal itu terlihat pada arsitektur masjid Kudus.
9. Sunan Muria
D. Kesimpulan