Anda di halaman 1dari 7

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, Biografi Singkat

Surau.co – Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M) adalah tokoh pertama yang
memperkenalkan Islam di Jawa. Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-
Samarkandy lahir di Samarkand, Asia Tengah. Babad Tanah Jawi versi Meinsma
menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy,
berubah menjadi Asmarakandi.

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah
menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra
Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari
seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand.
Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi
Muhammad saw.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas
tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka
adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden
Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik
Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Perjalanan Hidup Maulana Malik Ibrahim

Sunan Gresik atau yang lebih dikenal dengan Maulana Malik Ibrahim adalah salah satu dari
sembilan wali (Walisongo). Menurut para sejarawan, beliau dianggap sebagai wali pertama
yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Beliau dimakamkan di Desa Gapurosukolilo,
Gresik, Jawa Timur.

Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik
Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan
Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal
keturunannya dari wilayah Arab Maghrib di Afrika Utara. Babad Tanah Jawi versi J.J.
Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti
pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa
Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.
Dalam buku The History of Java, mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik,
Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, Syekh Maghribi
merupakan seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan
sepupu raja Chermen (sebuah negara Sabrang), yang menetap bersama para Mahomedans
lainnya di Desa Leran di Jang’gala. Namun, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah
berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di
Desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa beliau berasal dari Kashan, suatu
tempat di Persia (sekarang Iran).

Strategi Dakwah Syekh Maghribi

Adapun dalam berdakwah, para sejarawan menyatakan bahwa Syekh Magribi atau Sunan
Gresik dianggap sebagai wali pertama yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Beliau
datang ke Nusantara (Jawa) tidak sendirian, disertai beberapa orang. Dan, daerah yang
pertama kali disinggahinya ialah Desa Sembalo yang terletak di daerah Leran, Kecamatan
Manyar, sembilan kilometer dari Kota Gresik. Beliau menyebarkan agama Islam dimulai dari
Jawa bagian timur, dengan mendirikan masjid pertama di Desa Pasucinan, Manyar.

Dalam berdakwah, pertama-tama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim atau Syekh
Maghribi adalah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah dan
santun diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam
agama dan kepercayaan hidup dari penduduk pribumi, melainkan hanya memperlihatkan
keindahan dan kebaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya serta
sifatnya yang lembut tersebut membuat masyarakat tertarik untuk memeluk agama Islam.

Setelah berhasil memikat hati masyarakat sekitar, aktivitas selanjutnya yang dilakukan
Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka (sekarang
dinamakan desa Roomo, Manyar). Akivitas berdagang ini membuat beliau dapat berinteraksi
dan lebih dekat dengan masyarakat luas, khususnya dengan orang-orang dari kerajaan dan
para bangsawan yang ikut serta dalam kegiatan perdagangan baik sebagai pelaku jual-beli,
pemilik kapal, maupun pemodal.

Kunjungan ke Daerah Trowulan

Setelah dakwahnya (diterima) oleh masyarakat, Syekh Magribi atau Sunan Gresik kemudian
melakukan kunjungan ke daerah Trowulan, ibukota Majapahit. Meskipun raja Majapahit
tidak masuk Islam, namun kehadiran Maulana Malik Ibrahim disambut dengan baik, bahkan
beliau diberikan sebidang tanah di pinggiran Kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang
dikenal dengan nama desa Gapura.

Selanjutnya, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan


ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan
tempat mendidik pemuka agama Islam pada masa selanjutnya. Setelah selesai membangun
dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, Syeh Maulana Malik Ibrahim wafat
tahun 1419. Makamnya kini terdapat di desa Gapura, Gresik, Jawa Timur.
Biografi Sunan Ampel yang Dikenal dengan Metode Dakwah Moh Limo

Bagi masyarakat Jawa tentu sudah tidak asing lagi dengan Wali Songo. Wali Songo
merupakan kumpulan dari 9 orang wali yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Salah
satunya adalah Sunan Ampel. Sunan Ampel merupakan seorang ulama yang menyebarkan
agama Islam, terutama di daerah Surabaya, Jawa Timur. Salah satu strategi yang digunakan
Sunan Ampel adalah Moh Limo. Untuk mengetahui lebih jelasnya, simak penjelasan tentang
biografi Sunan Ample yang terkenal dengan metode dakwah Moh Limo.

Biografi Sunan Ampel yang Dikenal dengan Metode Dakwah Moh Limo

Dikutip dari buku 9 Sunan karya Noer Al (2019), Sunan Ampel yang benama asli Sayyid Ali
Rahmarullah atau Raden Rahmat, lahir di Champa, Vietnam pada tahun 1401 dari pasangan
Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik dengan Siti Fatimah binti Ali Nurul.
Nama Ampel sendiri identik dari nama tempat yang ditempatinya, yakni daerah Ampel atau
Ample Denta yang sekarang menjadi bagian dari Surabaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban yang bernama Nyai Ageng
Manila. Dari perkawinannya, mereka dikaruniai beberapa putra dan putri, di antaranya adalah
Sunan Bonang dan Sunan Drajat.

Perjuangan Sunan Ampel

Pada suatu waktu, kerajaan Majapahit dalam masa-masa suram, karena para adipati dan
para pembesar kerajaan melupakan tugas mereka sebagai pemimpin dan gema berfoya-foya.
Prabu Brawijaya sebagai raja merasa sedih mengetahui keadaan tersebut. Melihat keadaan
tersebut, saah satu permaisuri mengusulkan untuk mendatangkan keponakannya sendiri
Sayyid Ali Rahmatullah.
Raja Majapahit mengirim utusan untuk menjemput Sayyid Ali Rahmatullah. Sayyid Ali
Rahmatullah menginjakkan kakinya ke tanah Jawa bersama ayahnya Maulana Malik Ibrahim
atau Sunan Gresik dan kakaknya. Namun dalam perjalanan mereka berpisah. Sang ayah dan
kakak berhenti di daerah Tuban untuk beristirahat dan berdakwah di daerah tersebut.
Kemudian Raden Rahmat melanjutkan perjalanan hingga tiba di Majapahit.
Sesampainya di Majapahit, Sayyid Ali Rahmatullah menyanggupi tugas yang diamanatkan
oleh Prabu Brawijaya. Berkat kesabaran dan kewibawaannya, Raden Rahmat berhasil
mengatasi permasalahan kerajaan Majapahit.
Sebagai rasa terima kasih, Prabu Brawijaya menjodohkan Sayyid Ali Rahmatullah bersama
putrinya yang bernama Dewi Conrdowati. Sehingga nama Sayyid Ali Rahmatullah berganti
nama menjadi Raden Rahmat.

Cara Dakwah Sunan Ampel

Cara yang ditempuh Sunan Ampel dalam berdakwah terbilang singkat dan cepat. Hal ini
dikaranakan metode dakwahnya yang menggunakkan falsafah Moh Limo yang artinya tidak
melakukan lima hal tercela. Falsafah tersebut adalah:

 Moh Main yang artinya Tidak Mau Berjudi


 Moh Ngombe yang artinya Tidak Mau Mabuk
 Moh Maling yang artinya Tidak Mau Mencuri
 Moh Madat yang artinya Tidak Mau Menghisap Candu
 Moh Madon yang artinya Tidak Mau Melakukan Zina

Sunan Ampel dikenal dengan kepekaan dalam melakukan adaptasi tehadap lingkungan
setempat. Caranya adalah menerima siapapun, baik dari bangsawan maupun rakyat biasa
untuk belajar kepadanya di sebuah pesantren.
Dalam kehidupan pesantren, meskipun Sunan Ampel menganut madzhab Hanafiyah, namun
beliau sangat toleran pada penganut mazhab lainnya. Dengan toleransi ini membuat para
muridnya memiliki banyak cara pandang dan mendapatkan banyak pengikut.
Sunan Bonang dan Peran Pentingnya dalam Mengembangkan Islam di
Indonesia

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Sunan Bonang nama aslinya adalah Mahdum Ibrahim.Sunan


Bonang adalah putra keempat Sunan Ampel dari pernikahannya dengan Nyi Ageng Manila,
putri Arya Teja, Bupati Tuban.
Sunan Bonang diperkirakan lahir pada tahun 1465. Silsilah keluarganya bersambung
dengan Rasullah SAW lewat ayahnya, Sunan Ampel, sampai ke Saidina Husein bin Ali dan
Fatimah putri Nabi Muhammad SAW.
Raden Mahdum Ibrahim belajar ilmu agama langsung kepada ayahnya, Sunan Ampel.
Belajar agama di Pesantren Sunan Ampel bersama Raden Paku, Raden Patah dan Raden
Kusen.
Ia juga mengeyam pendidikan agama di Aceh, berguru kepada Syekh Maulana Ishak sewaktu
singgah akan melakukan perjalanan haji ke tanah suci Makkah.
Kecendrungan terhadap seni dan sastra membuatnya banyak belajar kesenian dan
budaya Jawa, tentang kesusatraan Jawa, tembang-tembang jenis macapat yang populer
masa itu kepada ibunya, seorang putri Bupati Tuban yang banyak memahami sastra Jawa.
Mengawali dakwahnya, Raden Mahdum Ibrahim memasuki pedalaman Kediri, Jawa Timur,
dengan mendirikan langgar (mushola) di tepi barat sungai Brantas, desa Singkal, Kabupaten
Nganjuk.

Gaya dakwah yang keras di awal dakwahnya, seperti merusak arca yang dipuja
penduduk, menimbulkan konflik dan banyak tokoh yang
memusuhi Sunan Bonang, terutama tokoh-tokoh ajaran Bhairawa-Tantra, Ki buto Lucoyadan
dan Nyai Plencing.
Dakwah Sunan Bonang belum mencapai keberhasilan, karena masyarakat Kediri masih
belum menerima Islam hingga datang masanya Sunan Prapen tahun 1551 M.

Kegagalan dakwah Sunan Bonang di Kediri, mengantarkannya pindah ke Demak atas


panggilan Raja Demak, Raden Patah, yang mengangkatnya sebagai imam Masjid Demak.
Namun tidak lama kemudian ia melepaskan jabatan sebagai imam, kemudian pindah ke
Lasem dan

mendirikan sebuah zawiah, tempat khusus untuk beribadah dan digunakan juga oleh
para pengamal tasawuf sebagai tempat khalwat (menyendiri).

Kemudian pada usia 30 tahun, Sunan Bonang dijadikan Wali Negara Tuban yang
mengurusi berbagai hal yang menyangkut agama Islam.
Sunan Bonang dikenal sebagai penyebar Islam yang mengusai ilmu fikih, usuluddin,
tasawuf, seni, sastra, arsitektur dan ilmu bela diri atau silat.
Keluasan ilmunya dapat dilihat dari buku-buku sumber yang yang dijadikan rujukan dalam
menulis Naskah Primbon Bonang.
Naskah ini berisi ajaran tasawuf yang bersumber dari kitab-kitab klasik karangan
ulama-ulama Sufi, seperti Imam Gazali, Abu Thalib Al-Makki, dan ulama-ulama lainnya.
Kemampuan Sunan Bonang sebagai dalang pertunjukan wayang, memberikannya
kesempatan menyisipkan dakwah Islam melalui seni yang digemari penduduk pada
zamannya. Ia mencoba menyempurnakan susunan musik gamelan dan menambahkan
irama-irama lagu.
Selain sebagai tokoh penyebar Islam, Sunan Bonang juga dikenal sebagai orang yang
sangat pandai mencari sumber air di tempat-tempat sulit air. Masyarakat mengenalnya
tokoh yang punya banyak kelebihan.
Sementara “kesaktian” yang ditunjukkan Sunan Bonang sebenarnya adalah karamah
yang diberikan Allah SWT hidup tidak menikah atau membujang hingga akhir hayatnya.
Sunan Bonang diperkirakan wafat tahun 1525 M, di makamkan di Tuban, sebelah barat
alun-alun kota Tuban.
Mengembangkan dakwah Islam lewat seni dan budaya
Alat musik bonang selalu digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang.
Alat ini juga digunakan oleh aparat desa untuk mengumpulkan warga jika ada informasi
yang disampaiakan kepada masyarakat.
Kondisi masyarakat yang menyukai pertunjukan wayang dimanfaatkan Sunan Bonang
untuk menarik simpati masyarakat memeluk Islam dengan memasukkan pesan-pesan
dakwah Islam dalam pertunjukan.
Keahlian dan kemampuan Sunan Bonang memahami sastra jawa dan tampil sebagai
dalang, turut berperan melakukan penyempurnaan dalam bertunjukan sebagai berikut:
a) meyempurnakan susunan gamelan
b) menambahkan lagu-lagu,
c) menambahkan ricikan, seperti ricikan kuda, gajah, harimau, garuda, kreta perang, dan
rampongan)
d) menggubah tembang-tembang Jawa dan membuat berbagi jenis gending.
e) Penemu alat musik bonang

Peran Sunan Bonang dalam Mengembangkan Islam di Indonesia

Dalam melakukan dakwah Islam di daerah Jawa, Sunan Bonang punya peran penting dalam
pengembangan syiar Islam, yaitu:

1. Mengembangkan dakwah Islam lewat seni dan budaya


Alat musik bonang selalu digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang.
Alat ini juga digunakan oleh aparat desa untuk mengumpulkan warga jika ada informasi
yang disampaiakan kepada masyarakat.
Kondisi masyarakat yang menyukai pertunjukan wayang dimanfaatkan Sunan Bonang
untuk menarik simpati masyarakat memeluk Islam dengan memasukkan pesan-pesan
dakwah Islam dalam pertunjukan.
Keahlian dan kemampuan Sunan Bonang memahami sastra jawa dan tampil sebagai dalang,
turut berperan melakukan penyempurnaan dalam bertunjukan sebagai berikut:
a) meyempurnakan susunan gamelan
b) menambahkan lagu-lagu,
c) menambahkan ricikan, seperti ricikan kuda, gajah, harimau, garuda, kreta perang, dan
rampongan)
d) menggubah tembang-tembang Jawa dan membuat berbagi jenis gending.
e) Penemu alat musik bonang

2. Memasukkan nilai-nilai keislaman pada tradisi masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa mengenal ritual pancamakara dalam ajaran tantrayana, yaitu sebuah
upacara yang dilakukan dengan duduk mengelilingi makanan.
Di tengah-tengah duduk seorang Cakreswara (imam) sebagai pemimpinya membacakan
mantra-mantra.
Melihat tradisi yang dilakukan masyarakat saat itu, Sunan Bonang mengisi tradisi ini
dengan upacara kenduri atau selamatan dengan doa-doa Islam.
Sebutan Anyakrawati (pemimpin lingkaran cakra) diberikan kepada Sunan Bonang
karena ikut meneruskan tradisi dan mengubah isinya bernilai ajaran Islam.
3. Menyebarkan dakwah melalui karya Sastra Suluk Wujil
Naskah Primbon adalah tulisan Sunan Bonang, memuat ajaran tasawuf yang
mendalam.
Tulisan ini merupkan hasil bacaannya yang bersumber dari
kitab-kitab klasik, berisi ajaran Islam dan nasehat-nasehat para ulama yang merujuk tulisan
ulama sebelumnya, seperti kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Imam Al-Gozali, kitab Talkhis Al-
Minhaj karangan Imam Nawawi, dan kitab-kitab lainnya.
Selain itu, Sunan Bonang juga menulis tentang pengetahuan taswuf yang lebih
mendalam yaitu karyanya berjudul Suluk Wujil, yang ditulis dalam sastra Jawa, berbentuk
tembang.
Karya ini masih tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Anda mungkin juga menyukai