2) Pengajian (Faqih)
Kegiatan pengajian adalah menyampaikan materi-materi keagamaan kepada
orang lain juga mempunyai makna dakwah, yaitu menyeru orang lain untuk
meninggalkan perkara yang dilarang oleh Allah dan melaksanakan hal-hal yang
diperintahkan oleh Allah untuk mendapatkan ridha-Nya. Orang yang
menyampaikan materi-materi keagamaan di acara pengajian biasa disebut
mubaligh, ustadz, atau da’i, yaitu orang yang menyeru/mengajak kepada orang lain
ke jalan Allah.
Ragam dan jenis pengajian sangat variatif. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor lain antara lain tempat, waktu, metode, peristiwa, peserta/pengunjung, dan
penyelenggara. Dari situ, muncul macam-macam istilah pengajian seperti pengajian
Ahad Pon, Jum’at Wage, Ahad pagi, malam Jum’at, pengajian umum, pengajian
akbar, pengajian padang bulan, pengajian haji, pengajian pengantin, pengajian
bapak-bapak, pengajian ibu-ibu, bandongan, sorogan, dan sebagainya.
4) Sekaten (Wildan)
Kegiatan ini merupakan upacara untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad
Saw. (Maulud) di lingkungan Kraton Yogyakarta. Selain pada momen Maulud,
upacara Sekaten diselenggarakan pula pada bulan Besar (Dzulhijjah). Dalam
perayaan ini, gamelan Sekaten diarak dari keraton ke halaman Masjid Agung
Yogyakarta dan dibunyikan siang-malam sejak seminggu sebelum tanggal 12 Rabi’ul
Awal.
5) Grebek Maulud (Zamzam)
Acara ini merupakan puncak peringatan Maulud. Pada malam tanggal 11 Rabi’ul
Awal, Sultan beserta pembesar Kraton Yogyakarta hadir di Masjid Agung. Acara
dilanjutkan dengan pembacaan riwayat Nabi Muhammad Saw. dan ceramah
agama.
6) Takbiran (Ardyansyah)
Kegiatan ini dilakukan pada malam 1 Syawal (Idul Fitri) dengan mengucapkan takbir
bersama-sama di masjid/mushala. Tidak jarang kegiatan dilakukan berkeliling
kampung atau melintasi jalan raya sebagai syiar dakwah (takbir keliling).
7) Likuran (Faqih)
Budaya ini diselenggarakan setiap malam tanggal 21 Ramadhan. Kearifan lokal
tersebut masih berjalan dengan baik di lingkungan Kraton Surakarta dan
Yogyakarta. Selikuran berasal dari kata selikur yang berarti dua puluh satu.
Perayaan tersebut diselenggarakan dalam rangka menyambut datangnya malam
Lailatul Qadar yang menurut ajaran Islam diyakini terjadi pada sepertiga terakhir
bulan Ramadhan.
8) Megengan (Abyan)
Upacara ini diadakan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Kegiatan
utamanya adalah menabuh beduk yang ada di masjid sebagai tanda bahwa besok
sudah memasuki bulan Ramadhan dan semua umat Islam wajib melaksanakan
puasa. Upacara tersebut masih terpelihara dengan baik di daerah Kudus dan
Semarang.
9) Suranan (Wildan)
Dalam penanggalan Jawa, bulan Muharram disebut Suro. Pada bulan tersebut,
masyarakat biasa berziarah ke makam para wali. Selain itu, mereka membagikan
makanan khas berupa bubur suro yang melambangkan tanda syukur kepada Allah
Swt.
3) Rokat (Wildan)
Di Madura, rokat dilakukan dengan maksud jika dalam suatu keluarga hanya ada
satu orang laki-laki dari lima bersaudara (pandapa lema’) maka harus diadakan
acara rokat. Acara ini biasanya dilaksanakan dengan mengundang topeng (nangge’
topeng) yang diiringi dengan alunan musik gamelan Madura sembari dibacakan
macapat atau mamaca.
4) Muludhen (Zamzam)
Kegiatan ini dilakukan menyambut Maulid Nabi Muhammad Saw. sebagai salah
satu bentuk pengejawantahan rasa cinta umat Islam kepada Rasul-Nya. Perayaan
Maulid dilakukan dengan membaca Barzanji, Diba’i, atau al-Burdah. Dalam hal ini,
Barzanji dan Diba’i adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang
kehidupan Muhammad Saw., mencakup silsilah keturunannya, masa kanakkanak,
remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-
sifat mulia yang dimiliki Rasulullah Saw., serta berbagai peristiwa untuk dijadikan
teladan bagi umat manusia. Adapun Al-Burdah adalah kumpulan syair-syair pujian
kepada Rasulullah Saw yang disusun oleh al-Bushiri.
c. Kearifan Lokal di Sunda
1) Upacara Tingkeban (Ardyansyah)
Upacara ini diselenggarakan pada saat seorang ibu hamil dan usia kandungannya
mencapai 7 bulan. Hal itu dilaksanakan agar bayi yang di dalam kandungan serta
ibu yang melahirkan selamat. Tingkeban berasal dari kata tingkeb yang artinya
tutup. Maksudnya, si ibu yang sedang mengandung tujuh bulan tidak boleh
bercampur dengan suaminya sampai empat puluh hari sesudah persalinan dan
jangan bekerja terlalu berat. karena bayi yang dikandung sudah besar. Larangan ini
dimaksudkan untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan.
3) Tembuni (Abyan)
Tembuni atau placenta dipandang sebagai saudara bayi sehingga tidak boleh
dibuang sembarangan, yakni harus diadakan upacara waktu menguburnya atau
menghanyutkannya ke sungai. Bersamaan dengan bayi dilahirkan, tembuni
(placenta) yang keluar biasanya dirawat, dibersihkan, dan dimasukkan ke pendil
dicampuri bumbu-bumbu garam, asam, dan gula merah lalu ditutup memakai kain
putih yang telah diberi udara melalui bambu kecil (elekan). Pendil diemban dengan
kain panjang dan dipayungi, biasanya oleh seorang Paraji untuk dikuburkan di
halaman atau area di sekitar rumah. Ada juga yang dihanyutkan ke sungai secara
adat. Upacara penguburan tembuni disertai pembacaan doa selamat dan
menyampaikan hadiah atau tawasul kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan ahli
kubur. Di dekat kuburan tembuni itu dinyalakan cempor/pelita sampai tali pusat
bayi lepas dari perutnya. Upacara pemeliharaan tembuni dimaksudkan agar bayi itu
selamat dan kelak menjadi orang yang bahagia.
4) Gusaran (Wildan)
Budaya gusaran adalah meratakan gigi anak perempuan dengan alat khusus.
Maksud upacara ini adalah agar gigi anak perempuan rata sehingga tampak
bertambah cantik. Upacara gusaran dilaksanakan apabila anak perempuan sudah
berusia tujuh tahun. Jalannya upacara, anak perempuan setelah dirias duduk di
antara para undangan. Selanjutnya, dibacakan doa dan shalawat kepada Nabi
Muhammad Saw. Kemudian, Indung Beurang melaksanakan gusaran terhadap anak
perempuan itu. Setelah selesai, si perempuan dibawa ke tangga rumah untuk
disawer (dinasihati melalui syair lagu). Usai disawer, acara dilanjutkan dengan
makan-makan. Biasanya, dalam upacara gusaran juga dilaksanakan tindikan, yaitu
melubangi daun telinga untuk memasang anting-anting agar kelihatan lebih cantik
lagi.
5) Sunatan/Khitanan (Zamzam)
Kegiatan ini dilakukan dengan maksud agar alat vital anak bersih dari najis. Anak
yang telah menjalani upacara sunatan dianggap telah melaksanakan salah satu
syarat utama sebagai seorang muslim. Upacara sunatan anak perempuan
diselenggarakan pada waktu masih kecil (bayi) supaya tidak malu. Adapun bagi
anak laki-laki, upacara sunatan lazimnya diselenggarakan jika sudah menginjak usia
6 tahun. Dalam upacara sunatan, selain Paraji sunat, diundang juga para tetangga,
handai tolan, serta kerabat.
6) Cucuruk (Ardyansyah)
Kearifan lokal ini biasanya dilakukan oleh kaum ibu yang memasak makanan yang
berbeda-beda. Setelah itu, makanan dikumpulkan di masjid terdekat untuk
dibagikan dan dimakan bersama. Namun demikian, cucurak tidak selalu dilakukan
dengan cara seperti itu. Orang-orang yang makan bersama dengan niat menyambut
datangnya bulan Ramadhan juga sudah dapat dikatakan sebagai cucurak. Niat
menyambut Ramadhan juga harus selalu diingat dalam cucurak, sebab jika hal itu
dilupakan, biasanya mereka akan makan sebanyak-banyaknya dan lupa dengan niat
awal. Cucurak dilakukan untuk menjalin silaturahmi dan saling memaafkan
antarmasyarakat. Selain itu, cucurak juga merupakan bentuk rasa syukur terhadap
rezeki yang telah diberikan Tuhan.
4) Barzanji (Zamzam)
Budaya Melayu ini masih berlangsung hingga kini. Bahkan, pelaksanaannya terus
mengalami perkembangan dengan berbagai inovasi yang ada. Sebagai contoh,
penggunaan alat musik modern untuk mengiringi lantunan Barzanji dan shalawat.
Barzanji menghubungkan praktik budaya Islam masa kini dengan di masa lalu.
Selain itu, melalui Barzanji, masyarakat Melayu Islam dapat mengambil pelajaran
dari kehidupan Nabi Muhammad Saw.
3. Tanya Jawab
4. Kesimpulan
Sebenarnya masih banyak lagi kearifan lokal islam yang bisa kita temui di negara kita.
Namun, seiring waktu berjalan banyak orang yang malas mempelajari dan
mengikuti kearifan lokal
Wildan