Anda di halaman 1dari 12

Wali Songo

Kel : 4

Sejarah Indonesia

1. Syekh Syarif Hidayatullah ( Sunan Gunung Jati )

Biografi

Syekh Syarif Hidayatullah adalah nama asli Sunan Gunung Jati. Beliau lahir pada tahun
1448 Masehi. Ayahnya merupakan orang yang berasal dari Mesir dan merupakan
keturunan ke 17 dari Rasulullah SAW bergelar Maulana Muhamad. Sedangkan ibunya
adalah putri dari raja Pajajaran bernama Syarifah Muda’im setelah masuk Islam dan
Nyai Rara Santang adalah nama aslinya.

Ayah dan ibunya menikah dan menjalani kehidupan di Mesir. Sang ayah meninggal
dunia pada saat Syarif masih berusia sangat muda. Setelah kematian sang ayah,
ibunya pun memutuskan untuk kembali ke Jawa. Pada tahun 1470 merupakan pertama
kalinya Syarif menginjakkan kaki di tanah Jawa tepatnya di Cirebon.

Sejarah

Kedatangan Syarif di Jawa disambut baik oleh pamannya yang merupakan seorang
raja Cirebon bernama Raden Walangsungsang. Berkat dukungan dari Kesultanan
Demak dan pamannya, beliau kemudian diangkat sebagai raja kedua Cirebon
menggantikan pamannya pada tahun 1479 Masehi menyandang gelar Maulana Jati.

Sebelum itu, seorang Syarif Hidayatullah dari masa mudanya sangat senang
menghabiskan waktunya untuk mencari ilmu. Bahkan ketika dirinya masih di Mesir, ia
telah berguru ke berbagai macam syekh yang ahli di bidangnya masing-masing.
Bahkan ketika sudah di Indonesia, beliau tiada henti dan bosan dalam mempelajari
ajaran-ajaran Islam.

2. Raden Qasim ( Sunan Drajat )

Biografi

Sunan Drajat adalah salah satu sunan dari sembilan sunan Wali Songo. Nama kecilnya
adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Sunan Drajat
diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Beliau adalah putra dari Sunan Ampel yang
terkenal karena kecerdasannya, dan ia merupakan saudara dari Sunan Bonang.

Raden Qasim memperoleh ilmu keislaman langsung dari ayahnya, Sunan Ampel, yang
memimpin pondok pesantren Ampeldenta, Surabaya. Setelah beranjak remaja, Raden
Qasim merantau ke Cirebon untuk berguru kepada Sunan Gunung Jati.
Sejarah

Di Cirebon, Raden Qasim menikahi putri Sunan Gunung Jati yang bernama Dewi
Sufiyah. Hingga kemudian, Raden Qasim kembali ke Ampeldenta bersama istrinya.
Sesampainya di Ampeldenta, Sunan Ampel meminta Raden Qasim untuk berdakwah di
daerah Gresik.

Raden Qasim menuruti perintah ayahnya, meneruskan perjalanan menuju Gresik. Ia


menetap di Desa Banjarwati dan disambut baik oleh sesepuh kampung yang bernama
Kiai Mayang Madu dan Mbah Banjar.

Di Desa Banjarwati, Raden Qasim dinikahkan dengan putri Kiai Mayang Madu yang
bernama Nyai Kemuning.

Sebagaimana ulama Wali Songo lainnya yang berdakwah lewat seni dan budaya,
Sunan Drajat juga mahir menggubah sejumlah tembang.

Tembang terkenal yang digubahnya adalah tembang tengahan macapat pangkur untuk
menyampaikan ajaran falsafah kehidupan kepada masyarakat.

Sunan Drajat juga pandai mendalang serta sesekali mementaskan pertunjukan wayang
untuk sarana dakwahnya.

3. Maulana Malik Ibrahim ( Sunan Gresik )

Biografi

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah sosok ulama pertama yang diberi
gelar sebagai Wali Songo. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882
H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali
menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik,
Jawa Timur.

Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik
Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa
asli.Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan
menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.

Kelahiran Sunan Gresik Dalam biografi Sunan Gresik disebutkan dalam Babad Tanah
Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-
Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim
Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik lahir
di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.

Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya
dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali,
Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-
Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus
Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-
Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan Ahmad Syah Jalal,
Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.

Sejarah

Menyebarkan Agama Islam

Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama


menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para
Walisongo lainnya. Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai
beberapa orang.

Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah
Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai
menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid
pertama di desa Pasucinan, Manyar.

Dalam biografi Sunan Gresik disebutkan bahwa Pertama-tama yang dilakukannya ialah
mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa
diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari.

Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli,
melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama
Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam
agama Islam.

Menjadi Pedagang

Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan
Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka,
yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.Legenda Rakyat

Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia.
Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari
Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi
ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri.

Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa.
Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik
Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan
Samudera Pasai.Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam
legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia
menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan
Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri.
Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan
meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya
menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.

Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek
Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat
bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang
ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.

Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib,
diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari
Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran,
tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura
Wetan, Gresik, Jawa Timur. Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama
Jalan Malik Ibrahim.

4 .Raden Prawoto ( Sunan Muria )

Biografi

Sunan Muria, lahir dengan nama Raden 'Umar Said, adalah tokoh Walisanga, putra dari
Raden Said (Sunan Kalijaga) dengan Dewi Saroh, putri SyekhMaulana Ishaq, Dewi
Saroh juga keturunan trah Sultan Malikussaleh Kesultanan Samudera Pasai dari jalur
ibu Sultanah Pasai.

Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria),
yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat Sunan Muria
dimakamkan. Sunan Muria wafat pada tahun 1560 M.

Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah putri Sunan Ngudung, adik dari Sunan
Kudus dan Sunan Muria menikah dengan dewi Roroyono Putri Ki Ageng Ngerang
dan Nyai Ageng Ngerang. Sunan Muria menikah dengan dewi sujinah dikaruniai
seorang anak bernama Raden Saridin,Syech Jangkung/Waliyullah Sunan Landoh.

Sedangkan, pernikahan Sunan Muria dengan dewi Roroyono Putri Ki Ageng Ngerang
dan Nyai Ageng Ngerang dikaruniai tiga orang anak sunan nyamplungan, raden ayu
nasiki,pangeran santri, Salah satu putra Sunan Muria yang terkenal ialah (Panembahan
Pangulu) Pangeran Jogodipo , yang makamnya berada satu kompleks di Colo.

Sumber versi catatan sejarah menyebutkan asal usul Sunan Muria sebagai anak
kandung dari sunan ngudung/sunan mandalika sangat tidak sesuai karena bukti
kebenaran otentik dewi sujinah istri sunan muria adalah putri dari Sunan Ngudung
"Raden Usman Haji" bin As-Sayyid Ali Murtadho Sunan Gisik kakak sunan ampel
Sejarah

Sunan Muria atau yang memiliki nama asli Raden Umar Said, awalnya terlibat dalam
pemilihan Raden Patah sebagai pemimpin perdana kerajaan Islam pertama di Jawa
tersebut.

Walaupun termasuk sebagai tokoh yang berpengaruh di Kesultanan Demak, Raden


Umar Said lebih suka tinggal di daerah terpencil dan jauh dari pusat perkotaan dalam
menjalankan dakwahnya.

Selain itu, Sunan Muria juga lebih suka berteman dengan rakyat biasa sambil
mengajarkan keterampilan bercocok tanam, berdagang, dan kesenian. Kedekatan
dengan masyarakat biasa menjadikan Sunan Muria lebih toleran dalam menghadapi
masalah.

Sebagaimana ajaran Islam dari para anggota Wali Songo lainnya, Sunan Muria juga
merangkul tradisi dan budaya masyarakat setempat, serta menyesuaikannya dengan
ajaran Islam.

Salah satu tradisi yang diubah Sunan Muria adalah tradisi bancakan, untuk mengirim
doa kepada leluhur dengan doa-doa Islam. Dari cerita-cerita wayang itulah, Sunan
Muria menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat.

Karena pengaruh yang diberikan, Raden Umar Said dikenal sebagai tokoh penting di
masyarakat Gunung Muria. Dakwahnya pun meluas hingga daerah Jepara, Tayu,
Juwana, hingga sekitar Kudus.

5. Raden Syahid ( Sunan Kalijaga )

Biografi

Sunan Kalijaga, merupakan “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat
Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban
keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta
diperkirakan telah menganut Islam.Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia
juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran
Tuban atau Raden Abdurrahman.

Sejarah

Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang


disandangnya.Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun
Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan
bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan
kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun
ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk
statusnya sebagai ” penghulu suci” kesultanan.Masa hidup Sunan Kalijaga
diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa
akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon
dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati.

Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung
Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama
masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.Dalam dakwah, ia punya pola yang sama
dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang.

Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik


(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah.Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat
akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara
bertahap mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam
sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

6. Ahmad Ramatillah ( Sunan Ampel )

BIOGRAFI

Sunan Ampel dikenal juga dengan nama Sunan Rahamat yang berasal dari nama
asli Sunan Ampel yaitu Raden Mohammad Ali Rahmatullah. Beliau lahir di Kerajaan
Champa, Kota Phan Thiet, Vietnam pada tahun 1401 M. Sunan Ampel mulai
menginjakkan kakinya di tanah Indonesia yaitu lebih tepatnya di Tuban, Jawa Timur
pada tahun 1443 M.

Sunan Ampel memiliki dua orang istri yang bernama Dewi Condrowati atau dikenal
sebagai Nyai Ageng Manila dan Dewi Karimah. Dari pernikahannya dengan Nyai
Ageng Manila, Sunan Ampel dikaruniai lima orang anak yaitu Maulana Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang), Syafuddin atau Raden Qasim (Sunan Drajad), Siti Syari'ah,
Siti Maimunah, dan Siti Hafsah. Sedangkan keturunannya bersama dengan Dewi
Karimah adalah Dewi Murtasiyah (Istri Sunan Giri), Raden Hasamudin, Dewi
Murtasimah, Raden Zainal Abidin, Raden Faqih, dan Pangeran Tumapel.

Sunan Ampel diperkirakan meninggal pada 1467 Masehi. Dikisahkan Babad Gresik,
Sunan Ampel wafat ketika bersujud di Masjid. Sunan Ampel dimakamkan di barat
Masjid Ampel Surabaya. Hingga kini, makamnya kerap dikunjungi masyarakat yang
ingin berziarah.
SEJARAH

Beliau pada saat pertama kedatangannya di Indonesia, menetap di daerah Tuban,


Jawa Timur bersama dengan saudaranya Ali Musada dan Raden Burereh yang
merupakan sadara sepupunya Sunan Ampel.

Selepas dari Tuban, Sunan Ampel Hijrah ke Kerajaan Majapahit untuk menemui sang


bibi yaitu Dewi Sasmitraputri. Tujuan lain dari Sunan Ampel ke Kerajaan Majapahit
adalah karena memenuhi permintaan dari Raja Majapahit yang sedang dalam
keadaan suram sebab para bangsawan kerajaan yang lalai dalam menjalankan
tugasnya dan tenggelam dalam hidup foya-foya dan bermewah-mewahan.

Sunan Ampel pun akhirnya mengemban amanat tersebut dengan cara berdakwah


menyebarkan agama islam di wilayah kerajaan Majapahit dan mengajak para
bangsawan kerajaan untuk kembali ke jalan yang benar. Karena jasanya tersebut,
akhirnya sanga Raja Majapahit, Prabu Brawaijaya memberikan Sunan
Ampel sebidang tanah di wilayah ampeldenta dan membangun sebuah masjid dan
pesantrean disana.

Sunan Ampel terkenal akan caranya berdakwah dengan cara yang damai tanpa
menggunakan kekerasan sama sekali. Beliau melakukan dakwah dengan cara
mengakulturasi beragam aspek budaya yang ada di masyarakat dengan pokok ajaran
islam sehingga mudah diterima oleh masyarakat.

7. Ja'far Shodiq ( Sunan Kudus )

Biografi

Sunan Kudus salah satu seseorang yang sangat berpengaruh dalam penyebaran
Islam di Nusantara, beliau adalah bagian dari wali songo dengan wali yang lainnya.
Nama asli Sunan Kudus adalah Ja'far Shodiq. Beliau lahir pada tahun 1400 M di
Kota Kudus Jawa Tengah. Ja'far Shodiq merupakan putra dari Sunan Ngudung
(H.Raden Ustman) & Syarifah yang merupakan adik dari Sunan Bonang.

Beliau wafat pada tahun 1550 M. Meninggal dunia pada saat menjadi Imam sholat
subuh di Masjid Menara Kudus dalam posisi sujud. Kemudian di makamkan di
lingkungan masjid tersebut. sampai sekarang makam beliau masih ramai dikunjungi
dengan tujuan berziarah atau mendoakan.
SEJARAH
Sunan belajar mengenai agama Islam dengan ayahnya. Selain itu, beliau juga belajar
agama dengan Sunan Ampel dan kyai Teling Sing. Kyai Teling Sing adalah salah
satu ulama yang berasal dari China, beliau datang ke Jawa bersama dengan Cheng-
Hoo. Cheng-Hoo adalah seorang laksamana jenderal China yang datang ke pulau
Jawa untuk menyebarkan agama Islam.

Selama belajar dengan kyai Teling Sing, beliau mewarisi kepribadian yang biasanya
dimiliki oleh orang China. Raamencapai keinginannya. Salah satu keinginan yang
dimiliki oleh Sunan Kudus adalah untuk menyebarkan dan mengenal agama Islam
kepada masyarakat yang beragama Buddha dan Hindu.

Pada zaman itu mayoritas masyarakat memeluk agama Hindu dan Budha. Tidak
mudah dalam memperkenalkan dan mengajari agama Islam, namun tidak bagi Sunan
Kudus. Beliau menggunakan metode syiar atau pendekatan budaya. Sehingga
dengan mudah diterima masyarakat seperti membangun masjid yang mempunyai
menara seperti bangunan candi Hindu dan membangun tempat wudhu yang
mempunyai berbentuk pancuran sebanyak delapan titik pancuran. Setiap pancuran
diberi arca Kebo Gumarang yang dihormati di agama Budha.

Kebesaran hati dan kesabaran Sunan Kudus tidak hanya dalam menyampaikan
dakwahnya saja, namun juga meninggalkan sejarah yang pantas untuk dilestarikan.
Tokoh penting dalam masyarakat Islam dan menjadi panutan menjadikan beliau
masih dikenang sampai sekarang.

8. Raden Makhdum Ibrahim ( Sunan Bonang )

Biografi
Raden Makhdum Ibrahim atau yang dikenal sebagai Sunan Bonang, merupakan
salah satu dari sembilan wali yang berperan dalam menyiarkan Islam di Indonesia.
Sunan Bonang sendiri merupakan putra pertama dari Sunan Ampel (Surabaya).
Beliau juga merupakan seorang guru sekaligus imam besar yang sangat terkenal dan
dihormati di pulau Jawa. Dan sebagai waliyullah, sunan Bonang banyak dianugerahi
dengan ilmu yang sangat tinggi. Sunan Bonang lahir sekitar 1465 M. Beliau
merupakan putra dari Sunan Ampel dan Dewi Condrowati, atau yang biasa disebut
Nyai Ageng Manila. Maka dari itu, Sunan Bonang juga merupakan cucu dari Syekh
Maulana Malik Ibrahim, yang jika diteruskan akan bertemu dengan silsilah Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan ibunya, merupakan putri dari seorang adipati Tuban
yakni Aryo Tejo.
Nama asli Sunan Bonang yaitu Syekh Maulana Makdum Ibrahim atau Raden
Makdum Ibrahim. Beliau juga merupakan kakak dari Raden Qosim atau yang dikenal
sebagai Sunan Drajad. Sejak kecil Sunan Bonang telah dibekali dengan ajaran
agama Islam oleh ayahnya dengan tekun dan disiplin. Bahkan Sunan Bonang yang
masih muda pernah melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan latihan atau
riyadhoh sebagai seorang wali.

Saat masih remaja,Sunan. Bonang pernah menyeberang hingga ke daerah Pasai,


Aceh untuk mendapatkan ajaran agama Islam dari Syekh Maulana Ishak bersama
dengan Raden Paku (Sunan Giri). Setelah kembali ke tanah Jawa, beliau menetap di
daerah Bonang atau pantai utara. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Beliau
tidak menikah dan tidak memiliki keturunan, karena lebih memilih mengabdikan hidup
untuk menyebarkan agama Islam.

Sejarah
Perjalanan berdakwah beliau dimulai dari kota Kediri, Jawa Timur. Saat itu beliau
mendirikan sebuah langgar atau musala yang berlokasi di pinggir Sungai Brantas,
tepatnya di Desa Singkal.Setelah berdakwah di sana, Sunan Bonang lalu
melanjutkan dakwahnya ke Demak, Jawa Tengah. Saat di Demak, beliau tinggal di
Desa Bonang. Konon, beliau juga mendapat julukan sebagai Sunan Bonang karena
lama bermukim di desa ini.Untuk berdakwah di Pulau Jawa tentunya tidaklah mudah
karena pada masa itu masyarakat Jawa punya adat istiadat yang sangat kental dan
kebanyakan masih memegang teguh unsur kejawen.

Sunan bonang memiliki ide untuk membuat sebuah alat musik yang kemudian
dinamakan sebagai alat musik bonang.
Saat akan memulai dakwahnya, Sunan Bonang akan memainkan gamelan bonang
tersebut sehingga keluar suara merdu dan bisa menarik perhatian banyak orang.
Sambil memainkan alat musik, beliau akan menyanyikan tembang atau lagu yang di
dalamnya berisi ajaran-ajaran Islam. Dari sinilah masyarakat setempat lambat laun
mulai tertarik untuk mempelajari Islam.

9. Muhammad ‘Ain Al-Yaqin ( Sunan Giri )

Biografi
Sunan Giri bergelar Sultan ‘Abd Al-Faqih karena pengetahuannya yang luas
dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan ‘Abd Al-Faqih.
Nama aslinya Muhammad ‘Ain Al-Yaqin dan termasuk keturunan Imam Al-
Muhajir. Dia sempat belajar kepada Sunan Ampel. Ia memiliki nama kecil Raden
Paku, alias Muhammad ‘Ain Al-Yaqin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini
Banyuwangi) pada tahun 1442 M. ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra.
Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh
keluarga ibunya, seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke
laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah
Jawi versi Meinsma).

Ayahnya adalah Maulana Ishak saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim.


Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang
mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga
ke Samudra Pasai. Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya,
Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke
Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah
perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam Bahasa Jawa, bukit adalah
“giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.

SEJARAH.
Berbicara tentang Sunan Giri banyak diliputi legenda. Di satu sisi memang
menyulitkan, tetapi di sisi lain sebagai bukti bahwa beliau memang dihormati dan
dipandang dengan khidmat oleh khalayak ramai, bahkan cenderung berlebihan.
Namun demikian, dari legenda tersebut dapat diperoleh petunjuk tentang alur
sejarahnya.
Nama asli Sunan Giri adalah Raden Paku. Nama ini diberikan oleh Raden
Rahmat (Sunan Ampel) sesuai dengan pesan ayahnya sendiri sebelum
meninggalkan Jawa Timur. Selain itu, beliau memiliki panggilan lain, yaitu Ainul
Yaqin, Abdul Faqih, Prabu Satmata, dan Joko Samudera. Nama ini merupakan
pemberian ibu angkatnya, ketika beliau masih kecil. Sedangkan sebutan Prabu
Satmata adalah suatu gelar kebesaran sebagai anugerah Tuhan ketika beliau
menjabat sebagai raja di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Sunan Giri memiliki
sebuah pesantren,Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat
pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan
masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan
pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan.
Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang
disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut
sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu.
Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak
sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat
dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia
diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke
berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga
Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua
sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.

Ia juga pencipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan,
Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian
pula Gending Asmaradana dan Pucung yang bernuansa Jawa namun syarat
dengan ajaran Islam.

Berbicara tentang Sunan Giri banyak diliputi legenda. Di satu sisi memang
menyulitkan, tetapi di sisi lain sebagai bukti bahwa beliau memang dihormati dan
dipandang dengan khidmat oleh khalayak ramai, bahkan cenderung berlebihan.
Namun demikian, dari legenda tersebut dapat diperoleh petunjuk tentang alur
sejarahnya.

Nama asli Sunan Giri adalah Raden Paku. Nama ini diberikan oleh Raden
Rahmat (Sunan Ampel) sesuai dengan pesan ayahnya sendiri sebelum
meninggalkan Jawa Timur. Selain itu, beliau memiliki panggilan lain, yaitu Ainul
Yaqin, Abdul Faqih, Prabu Satmata, dan Joko Samudera. Nama ini merupakan
pemberian ibu angkatnya, ketika beliau masih kecil. Sedangkan sebutan Prabu
Satmata adalah suatu gelar kebesaran sebagai anugerah Tuhan ketika beliau
menjabat sebagai raja di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur.

Dakwah Sunan Giri banyak melalui berbagai macam metode, mulai dari
pendidikan, budaya, serta politik. Dalam bidang pendidikan, Sunan Giri tidak
hanya didatangi oleh para santrinya dari berbagai daerah, melainkan juga Sunan
Giri tidak segan-segan untuk mendatangi masyarakat dan menyampaikan ajaran
Islam dengan empat mata. Setelah keadaan memungkinkan, masyarakat
dikumpulkan dengan acara-acara selametan, upacara, dan lainnya, yang
kemudian ajaran agama Islam disisipkan lambat laun masyarakat mulai melunak
dan mengikuti ajaran Islam.

Dalam bidang budaya, Sunan Giri mengembangkan dakwah Islam juga dengan
mamanfaatkan seni pertunjukan yang menarik minat masyarakat. Ia juga dikenal
pencipta tembang Asmaradhana dan Pucung, kemudian Padang Bulan, Jor,
Gula Ganti, dan permainan anak-anak Cublak-cublak Suweng. Beliau wafat pada
tahun 1506 M dan dimakamkan di atas bukit di daerah Dusun Giri Gajah, Desa
Giri, Kecamatan Kebomas, Gresik, Jawa Timur.

Anda mungkin juga menyukai