"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan.
Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga
dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri
adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan
Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat
sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan
Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim
yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16 di tiga
wilayah penting. Yakni Surabaya, Gresik, Lamongan di Jawa Timur, Demak, Kudus, Muria
di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi
pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban
baru, mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian,
kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu.
Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur nusantara. Sunan Giri
dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan
Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa
hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Wali Songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di
Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan
mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya
terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat
"sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai
dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu
Majapahit, Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari timur" hingga Sunan
Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami
masyarakat Jawa, yakni nuansa Hindu dan Budha.
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Sunan Gresik di anggap sebagai salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di
Pulau Jawa, beberapa versi mengatakan bahwa kedatangannya di sertai oleh beberapa orang.
Daerah yang di tujunya pertama kali adalah Sembolo , sekarang adalah daerah Leran ,
Kecamatan Manyar , yaitu 9 kilometer ke utara kota Gresik, beliau lalu menyebarkan dan
menyiarkan agama Islam di Tanah Jawa bagian Timur, dengan mendirikan masjid pertama di
Desa Pasucian Manyar.
Dalam penyebaran Agama Islam , pertama-tama yang beliau lakukan adalah dengan cara
mendekati masyarakat melalui pergaulan. Dengan menggunakan budi bahasa yang lembut.
Beliau tidak menentang agama dan juga kepercayaan hidup dari penduduk asli , melainkan
beliau hanya memperlihatkan keindahan dan kebaikan yang di bawa dalam Agama Islam.
Akhirnya berkat keramah-tamahan serta kelembutannya banyak masyarakat yang tertarik dan
masuk ke dalam agama Islam.
Setelah beliau memikat hati masyarakat , akhirnya Sunan Gresik mulai berdagang di Pelabuhan
terbuka , sehingga memudahkan beliau untuk bertemu dengan banyak masyarakat bahkan dari
kalangan raja dan juga bangsawan . setelah beliau cukup di segani oleh masyarakat , kemudian
Maulana Malik Ibrahim melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan . Meskipun
Raja Majapahit tidak masuk islam namun ia menerima Sunan Gresik dengan baik, bahkan ia
memberikan sebidang tanah di pinggiran Kota Gresik dan daerah tersebut dinamakan Gapura dan
di bangunlah pesantren – pesantren di daerah tersebut sebagai tempat untuk menyebarkan agama
islam.
Metode Dakwah Sunan Gresik ( Maulana Malik Ibrahim )
Dengan cara berdagang
Dengan cara bergaul atau melakukan pendekatan dengan masyarakat luas
Dengan cara membuka pengobatan gratis
NAhrisya - 2023
Wali Songo
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Raden Rahmatullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel adalah satu dari
sekian banyak waratsatul anbiya’ yang dipercaya oleh Allah swt. untuk meneruskan estafet
perjuangan Rasulullah Saw. Beliau adalah sosok ulama teladan sekaligus waliyyun min
auliyaillah’. Tipe pemimpin ideal ada di sini: muballigh ulung, cendekiawan sejati, dan penuh
perhitungan dalam setiap langkah menapaki terjalnya jalan dakwah dan menghadapi
tantangan masyarakat yang sebelumnya telah mempunyai keyakinan yang membumi akan
faham budhisme, hinduisme dan kepercayaan “isme-isme” yang lain, jauh sebelum sunan
Ampel datang menebarkan ajaran rahmatan lil alamin.
Sebuah langkah tepat beliau lakukan sebagai strategi awal dalam metodologi dakwahnya,
yaitu pembauran dengan masyarakat akar rumput yang merupakan titik sentral dari
sasaran dakwahnya. Saat itulah kecendekiaan dan intlektualitasnya benar-benar teruji. Tidak
NAhrisya - 2023
Wali Songo
mudah tentunya. Di tempat yang sangat asing, jumud dan kolot, seorang pendatang dari
negeri Campa berusaha untuk beradaptasi dengan kultur-sosial yang tidak pernah dikenal
sebelumnya. Dengan diplomasinya yang gemilang, Kanjeng Sunan Ampel berhasil
mensejajarkan kaum Muslimin kala itu dengan kalangan “elite” dalam kasta-kasta mesyarakat
dan pemerintahan Majapahit. Pemerintahan Majapahit pun sangat menghormati dan
menghargai hak-hak dan kewajiban orang Islam, bahkan tidak sedikit dari punggawa kerajaan
yang akhirnya memeluk agama Islam sebagai way of life-nya.
Kalau metodologi dakwah Sunan Ampel dengan masyarakat akar rumput dilakukan dengan
cara pembauran dan pendekatan, beda halnya dengan metode yang ditempuh ketika
menghadapi orang-orang cerdik-cendikia. Pendekatan intelektual dengan memberikan
pemahaman logis adalah alternatif yang beliau tempuh. Hal ini sebagaimana tercermin dalam
dialognya dengan seorang biksu Budha.
Suatu ketika, seorang biksu datang menemui Sunan Ampel. Kemudian terjadilah percakapan
seputar akidah berikut:
Biksu: Setiap hari Tuan sembahyang menghadap ke arah kiblat. Apakah Tuhan Tuan ada di
sana?”
Sunan Ampel: Setiap hari Anda memasukkan makanan ke dalam perut agar Anda bisa
bertahan hidup. Apakah hidup Anda ada di dalam perut?”
Biksu itu diam tidak menjawab. Tapi dia bertanya lagi, “Apa maksud tuan berkata begitu?”
“Saya sembahyang menghadap kiblat, tidak berarti Tuhan berada di sana. Saya tidak
tahu Tuhan berada di mana. Sebab, kalau manusia dapat mengetahui keberadaan
tuhannya, lantas apa bedanya manusia dengan Tuhan? Kalau demikian buat apa saya
sembahyang?!”
Cerita berakhir. Dan si biksu kemudian masuk Islam karena ia gamang akan otentisitas
ajaran agamanya.
Satu ending yang sangat memuaskan. Tidak hanya bagi si pelaku cerita, tapi juga untuk kita:
sebuah pelajaran tentang metedologi dakwah di hadapan orang yang tidak bertuhankan
Tuhan. Sunan Ampel.: etos dakwah di tanah Jawa di samping icon Sunan Kalijaga, di sisi
yang lain. Beliau adalah satu dari sekian banyak wali Allah yang menghabiskan hidupnya
hanya untuk berdakwah di jalan-Nya. Metodologi dakwahnya memang tidak sama dengan
metodologi ala Sunan Kalijaga atau Sunan Muria, yang menggunakan pendekatan seni-
budaya Jawa sebagai media dakwahnya. Sunan Ampel lebih menggunakan pendekatan
intelektual—dengan memberikan pemahaman tentang Islam melalui wacana intelektual dan
diskusi yang cerdas dan kritis serta dapat dinalar oleh akal. Cerita di atas adalah bukti
sejarahnya.
Dialog Sunan Ampel-biksu telah mengingatkan kita kepada jawaban Nabi Ibrahim as.
dilontarkan kepada raja Namrudz ketika beliau dituduh menghancurkan tuhan-tuhan mereka,
“Bahkan, Tuhan yang paling besar inilah yang melakukannya”. Bedanya, Namrudz tidak
pernah mau menerima kebenaran itu meski dia mengetahuinya. Kemudian kita bertanya,
mungkinkah orang sekelas biksu dapat ditaklukkan hanya dengan melalui pendekatan
budaya? Bisa jadi, tapi mungkin sulit.
Urgensitas budaya sebagai media dakwah alternatif memang tak bisa dibantah. Sejarah juga
membuktikan bahwa pendekatan kultur-budaya yang dimainkan oleh Sunan Kalijaga berhasil
dengan sangat gemilang. Tapi, sejatinya, pendekatan kultur-budaya hanya relevan untuk
komunitas masyarakat kelas menengah ke bawah. Sedang untuk obyek intelektual kelas atas
mungkin sangat pas bila menggunakan jalur seperti yang ditempuh Sunan Ampel.
Dus, dengan dua metodologi yang dipakainya, beliau telah berhasil menciptakan harmoni
antara ulama dan umara, antara akar rumput dan kalangan pemerintahan, walaupun masih
berada dalam sekat tertentu, karena beliau–sebagai sosok da’i yang mempertaruhkan
hidupnya untuk berdakwah dan mengayomi umat–tetap indipenden dan konsisten dengan
NAhrisya - 2023
Wali Songo
posisinya sebagai ulama. Beliau tidak pernah dan memang tidak sudi menggunakan alat
kekuasaan sebagai kendaraan dakwahnya.
Maka tidak berlebihan jika beliau mendapat prototype sebagai wali sejati, wali dalam
pengertian “kekasih Allah” di dunia, bukan wali dengan arti penguasa setempat sebagaimana
mispersepsi sebagian pemerhati sejarah (yang mungkin juga tidak mengakui adanya wali
Allah yang lain). Karena kalau kita merunut sejarah, maka akan menghasilkan sebuah
hipotesa sebagaimana di atas. Terbukti, beliau, sekali lagi, tidak mau menggunakan kendaraan
kekuasaan sebagai piranti memuluskan dakwahnya.
Ala kulli hal, metode dakwah Sunan Ampel melengkapi strategi dakwah walisongo secara
umum, untuk menjadi satu kesatuan yang nyaris sempurna guna memuluskan misi mulia yang
mereka emban: menyebarkan risalah Islam di tanah jawa. Dan, karena jasa-jasa mulianya
inilah, ribuan atau bahkan jutaan doa senantiasa mengalir, setiap saat, di setiap denyut doa
umat Islam, hingga dunia enggan meneruskan sejarahnya.
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam
aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi
adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang
ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya
beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura.
Sang murid sangat mengagumi beliau sampai ingin membawa
jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat
membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan
membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. Saat melewati
Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid
dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya.
Silsilah
Terdapat silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang dan Nabi Muhammad
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin
Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
Maulana Malik Ibrahim bin
Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) bin
Ahmad Jalaludin Khan bin
Abdullah Khan bin
Abdul Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin
Alawi Ammil Faqih (dari Hadramaut) bin
Muhammad Sohib Mirbath (dari Hadramaut) bin
Ali Kholi’ Qosam bin
Alawi Ats-Tsani bin
Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
Alawi Awwal bin
Ubaidullah bin
Ahmad al-Muhajir bin
Isa Ar-Rumi bin
Muhammad An-Naqib bin
Ali Uradhi bin
Ja’afar As-Sodiq bin
Muhammad Al Baqir bin
Ali Zainal ‘Abidin bin
Hussain bin
Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad).
Karya Sastra
Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain
Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr. Sunan Bonang juga
menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih
sering dinyanyikan orang.
Apa pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya
Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau
NAhrisya - 2023
Wali Songo
buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap
bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.
Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir)
yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan
pernafasan[rujukan?] yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim yang artinya hanya Allah
SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang
Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf
Alif dan diakhiri huruf Ya’. Ia menciptakan
Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat
mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-
muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya
diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur’an. Penekanan keilmuan yang diciptakan
Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Sholat dan
dzikir.
Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia
oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam
Silat Tauhid Indonesia.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi. Dengan demikian
Raden Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah puteri Raja
Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit.
Sebagai seorang wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se tanah jawa,
tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil Raden Makdum
Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan rahasia bahwa latihan atau riadha para wali itu lebih berat daripada orang awam.
Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga
mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu
masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai.
Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari
Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai.
Seperti ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan Parsi atau Iran.
Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa.
Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan
Giri.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem,
Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau
adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau
bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi pendengarnya.
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang
ingin mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang
sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat
Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut
simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan
ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan
senang hati, bukan dengan paksaan.
Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau
Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang
dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.
3. Karya Satra
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra
Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan
makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di perpustakaan Universitas
Leiden, Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf) atau
tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan dengan sekar
atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa
disebut wirid.
Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan beliau di Pulau Bawean.
Tetapi murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenasah beliau
dimakamkan di dekat ayahnya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain
kafan pembungkus jenasah mereka pun tak mau kalah. Jenasah yang sudah dibungkus dengan
kain kafan milik orang bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk
membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenasah Sunan Bonang
kedalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa kain kafan
jenasah tertinggal satu.
Kapal layar segera bergerak ke arah Surabaya, tetapi ketika berada diperairan Tuban tiba-tiba
kapal yang dipergunakan tidak bisa bergerak akhirnya jenasah Sunan Bonang dimakamkan di
Tuban yaitu sebelah barat Mesjid Jami’ Tuban.
Sementara kain kafannya yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenasahnya. Orang-
orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh khidmat.
Dengan demikian ada dua jenasah Sunan Bonang, inilah karomah atau kelebihan yang
diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan diantara murid-
muridnya.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli adalah yang berada
dikota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak yang diziarahi orang darisegala
tanah air.
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Sementara itu, Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Asmarakandi merupakan anak dari seorang
ulama besar dari Persia, yakni Syekh Jamaludin Akbar atau Jumadil Kubro yang dipercaya
sebagai keturunan ke-10 Sayidina Husein, cucu dari Nabi Muhammad SAW.
Ibu dari Sunan Drajat merupakan putri dari adipati Tuban yaitu Arya Teja IV, dan masih
memiliki nasab dengan Ronggolawe. Ketika masih muda Sunan Drajat sering dipanggil dengan
nama Raden Syarifuddin.
Selain itu beliau juga memiliki gelar Sunan Mayang Madu yang diberikan oleh Sultan Demak
pertama (Raden Patah), dan masih banyak gelar lainnya seperti Sunan Muryapada, Maulana
Hasyim, dan Syekh Masakeh.
Sejarah Riyadhoh dan Istri Istri Sunan Drajat
Sama halnya Sunan Bonang, Sunan Drajat juga dibekali dengan ilmu agama oleh ayahnya
secara teratur di pondok pesantren Ampel Denta Surabaya. Selain itu, beliau juga pernah
berguru agama Islam pada Sunan Gunung Jati yang berada di Cirebon.
Meskipun sebelumnya Sunan Gunung Jati atau yang memiliki nama asli Syarif Hidayatullah
adalah murid dari Sunan Ampel sendiri yang ditugaskan di daerah Cirebon.
Saat di daerah Cirebon, Sunan Drajat sering disebut dengan Syekh Syarifuddin. Di sana beliau
turut membantu Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan dakwah agama Islam. Beliau
kemudian menikah dengan Dewi Sufiyah yang merupakan putri dari Sunan Gunung Jati, dan
dikaruniai anak bernama Pangeran Trenggana, Pangeran Sandi, dan Dewi Wuryan.
Selain itu, beliau juga menikah dengan Nyai Kemuning dan Nyai Retno Ayu Candrawati.
Nyai Kemuning merupakan putri dari Mbah Mayang Madu yang merupakan seorang tetua
desa Jelak.
Beliau merupakan orang yang telah menolong Sunan Drajat disaat terdampar dalam
perjalanan dakwahnya menuju ke pesisir Gresik. Di lain sisi, Sunan Drajat juga menikahi
Nyai Retno Ayu Candrawati yang merupakan putri dari Raden Suryadilaga, seorang adipati di
kawasan Kediri.
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Namun, dalam perjalanannya mengarungi lautan, perahu yang ditumpangi beliau mengalami
musibah ombak besar hingga akhirnya tenggelam dan menyebabkan beliau terdampar di
daerah pesisir Lamongan.
1. Perjalanan di Tengah Laut
Alkisah setelah belajar di Ampel Denta, Sunan Drajat memperoleh tugas dakwah pertama dari
Sunan Ampel untuk memusatkan penyebaran Islam di daerah pesisir Gresik. Namun di tengah
perjalanan dari Surabaya menggunakan perahu, beliau dihantam oleh ombak yang cukup
besar sehingga membuat perahunya tenggelam.
Beliau bertahan dengan berpegangan pada dayung perahu, yang pada akhirnya diselamatkan
oleh ikan cucut dan ikan talang (cakalang).
Jika kita mengambil hikmah dari ketiga kisah tersebut maka harusnya kita belajar dari ikan
yang tidak pernah terlepas dari lingkungannya (air).
Sama seperti ikan yang hidup di air maka manusia juga tidak boleh terlepas dari tanggung
jawabnya di lingkungan masyarakat. Ia harusnya menolong dan membantu bilamana dalam
lingkungan tersebut mengalami keterbelakangan, bodoh, miskin, atau sebagainya.
Dan sebagaimana ikan yang memasuki lorong-lorong bebatuan untuk mencari kebaikan, maka
manusia juga harus bisa membaca, mendengarkan, dan mencari tahu apa yang tengah
diinginkan oleh masyarakat
Di desa Jelak tersebut, beliau mendapat sambutan yang hangat oleh tetua kampung yaitu
Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar yang diyakini sudah masuk Islam dengan bantuan
pendakwah yang berasal dari Surabaya.
Sunan Drajat berhasil mengubah desa Jelak yang tadinya hanyalah kampung kecil dan
terpencil menjadi desa yang berkembang dan ramai. Nama desa tersebut akhirnya diubah
menjadi desa Banjaranyar.
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Untuk menempati lahan tersebut, beliau bersama dengan Sunan Bonang meminta izin kepada
Sultan Demak I dan mendapatkan ketetapan pemberian tanah tersebut tahun 1486 M.
Hutan yang berada di pegunungan tersebut dianggap sangat strategis karena jauh dari banjir
saat musim hujan. Selain itu, pemilihan gunung juga dipercaya dekat dengan Allah
sebagaimana Nabi Musa dan Nabi Muhammad yang mendapatkan wahyu untuk pertama
kalinya.
Menurut beberapa kisah, selama pembukaan lahan, banyak sekali makhluk halus yang marah,
meneror warga, serta menyebarkan penyakit, namun bisa diatasi oleh Sunan Drajat.
Metode Dakwah Sunan Drajat
1. Menjadi Bagian Terpenting Dalam Masyarakat
Untuk bisa dihormati dan diikuti oleh masyarakat maka Sunan Bonang menjadi bagian
terpenting dalam lingkungan dakwahnya. Dalam beberapa naskah disebutkan bahwa beliau
menikahi putri-putri dari petinggi desa atau wilayah kabupaten.
Dengan demikian maka cukup mudah bagi beliau untuk mengajak pemimpin dan
rakyatnya masuk dalam agama Islam, atau mengajak orang-orang yang lebih kaya untuk
menginfakkan sebagian harta mereka pada fakir miskin.
Selain itu, beliau juga mampu mengambil hati masyarakat dengan menyembuhkan warga
yang sakit melalui doa dan juga ramuan tradisional.
Beliau juga terkenal dengan kesaktiannya, terbukti dengan adanya Sumur Lengsanga di
daerah Sumenggah, yang diciptakan dari sembilan lubang bekas umbi hutan yang dicabut
dan akhirnya memancarkan air bening untuk menghilangkan dahaga para pengikutnya
selama perjalanan.
2. Mengayomi Masyarakat
Sunan Drajat kerap sekali memperhatikan rakyatnya, terutama setelah pembukaan lahan
baru di perbukitan Drajat. Beliau sering melakukan ronda atau mengitari perkampungan di
malam hari untuk mengamankan dan melindungi rakyatnya dari gangguan makhluk halus
yang sering meneror warga.
Selain itu, beliau juga mengajarkan kepada muridnya tentang kaidah untuk tidak saling
menyakiti baik secara perkataan maupun perbuatan, seperti: “Hindari pembicaraan yang
menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukannya”.
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Sama seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat juga sering berdakwah melalui adat lokal dan
kesenian tradisional, asalkan tidak menyimpang dari ajaran Islam. Beliau sering
menyampaikan petuah melalui tembang pangkur yang diiringi dengan alat musik gending.
Beberapa tembang pangkur yang diubah telah disimpan rapi di museum Sunan Drajat.
Selain itu, keahlian bermusik Sunan Drajat juga dibuktikan dengan adanya seperangkat
gamelan ‘Singo Mengkok’.
Pertama: “Memangun resep tyasing Sasoma”, artinya kita harus selalu membuat hati orang
lain merasa senang.
Kedua: “Jroning suka kudu éling lan waspada”, maka ketika kita merasa bahagia, kita harus
selalu ingat pada sang Kuasa (bersyukur) dan tetap waspada.
Ketiga: “Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah”, artinya dalam
perjalanan untuk menggapai cita-cita yang luhur maka kita tidak boleh takut dan
mudah putus asa terhadap segala macam rintangan.
Keempat:“Mèpèr Hardaning Pancadriya”, anjuran untuk selalu menekan hawa nafsu yang
bergelora.
Kelima: “Heneng – Hening – Henung”, artinya dalam keadaan diam kita bisa mendapat
keheningan, dan saat keadaan menjadi hening maka disitulah kita mampu
menggapai cita-cita yang mulia.
Keenam: “Mulya guna Panca Waktu”, maknanya adalah suatu kebahagiaan secara lahir dan
batin yang bisa kita peroleh dengan melaksanakan sholat lima waktu.
Ketujuh: Empat ajaran pokok bersosialisasi (catur piwulang) seperti yang dituliskan di atas.
Maknanya yaitu kita harus memberikan ilmu kepada orang yang belum mengerti
(bodoh), kita harus mensejahterakan orang yang miskin, kita harus mengajari
tentang kesusilaan pada orang yang tidak tahu malu, dan kita harus melindungi
orang yang sedang menderita atau terkena musibah.
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Pada masa mudanya beliau merupakan seorang yang giat belajar dalam mencari ilmu,
terutama ilmu agama Islam. Beliau juga pernah berguru kepada Sunan Bonang, Sunan
Gunung Jati dan Sunan Ampel. Menurut cerita sejarah sunan Kalijaga memiliki usia hingga
100 tahun, dengan begitu berarti beliau mengalami berakhirnya kekuasaan kerajaan
Majapahit.
Selain itu beliau juga mengalami masa kesultanana Demak, Cirebon dan Banten. Bahkan juag
merasakan kerajaan Pajang yang berdiri pada tahun 1546 Masehi, dan juga kerajaan Mataram
yang di pimpin oleh senopati. Beliau juga di ceritakan ikut serta dalam merancang
pembangunan masjid Agung Demak dan masjid Agung Cirebon.
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Raden Said merupakan putra dari adipati Tuban yang sangat dekat dengan rakyat jelata atau
miskin. Pada saat itu terjadi musim kemarau sangat panjang yang membuat masyarakat gaga
panen, namun dalam waktu yang bersamaan pemerintah pusat memerlukan dana besar untuk
mengatasi pembangunan, dan mau tidak mau rakyat miskin harus membayar pajak yang
tinggi.
Melihat adanya keadaan yang kontradiksi antara pemerintah dan rakyat jelata, Raden Said
yang merasa dekat dengan rakyat jelata, beliau bergerak tanpa pikir panjang untuk membantu
rakyat tersebut. Beliau mencuri hasil bumi untuk di bagikan kepada rakyat yang tidak mampu
tersebut di gudang penyimpanan ayahnya.
Hasil bumi tersebut merupakan upeti dari masyarakat yang akan di setorkan kepada
pemerintah pusat. Biasanya pada malam hari Raden Said bergerak untuk melakukan aksinya
dan hasilnya di bagikan langsung kepada rakyat jelata secara sembunyi-sembunyi tanpa
sepengatahuan rakyat sekalipun.
Seiring berjalannya waktu, penjaga gudang merasa curiga, karena upeti yang ada di gudang
mulai berkurang. Karena penasaran, si penjaga gudang dengan sengaja meninggalkan gudang
dan mengintip dari kejauhan, namun ternayata penjaga gudang berhasil memergoki aksi
Raden Said tersebut, dan kemudian Raden Said di bawa kapada ayahandanya.
Raden Said di marahi habis-habisan oleh ayahandanya, dan beliau mendapatkan hukuman
tidak boleh keluar rumah. Setelah lepas sepekan, Raden Said tidak merasakan jera atas
hukumannya tersebut. Beliau tetap melakukan aksinya di luar istana, yang targetnya adalah
orang-orang kaya dan pelit.
Hasil dari aksinya tersebut kemudian ia bagikan kepada rakyat jelata. Karena aksinya di luar
istana, Raden Said menggunakan pakaian serba hitam dan topeng layaknya seorang ninja.
Hingga suatu hari, Raden Said di jebak oleh perampok asli. Di suatu malam, perampok
tersebut melakukan pemerkosaan sekaligus memperkosa wanita cantik dengan memakai
pakaian yang sama seperti Raden Said ketika melakukan aksinya.Di saat Raden Said ingin
menolong wanita tersebut, perampok yang asli berhasil meloloskan diri. Dengan pakaian yang
sama, Raden Said terjebak dan menjadi kambing hitam masyarakat karena sudah
mengepungnya. Dengan kejadian tersebut ayah Raden Said kecewa terhadapnya dan langsung
mengusirnya.
Dalam catatannya dengan bendaraha portugis Tome Pires (1468-1540), menurutnya penguasa
Tuban pada tahun 1500 Masehi merupakan cucu dari penguasa Islam pertama di Tuban yakni
Aria Wilatikta beserta puteranya sunan Kliajaga atau Raden Mas Said.
NAhrisya - 2023
Wali Songo
bukan sufistik panteistik (pemujaan semata). Beliau juga memilih kesenian sebagai sarana
dakwahnya.
Sunan Kalijaga juga sangat toleran terhadap dengan adanya budaya lokal. Beliau berpendapat
jika masyarakat akan menjauh apabila menuruti keinganannya. Sehingga, mereka harus di
dekati secara bertahap, halus dan pelan-pelan. Beliau mengikuti tradisi, adat-istiadat yang ada
di masyarakat.
Sunan Kalijaga meyakini jika Islam sebenarnya sudah di pahami, dengan sendirinya
kebiasaan-kebiasaan lama akan hilang dengan sendirinya. Beliau menggunakan senin ukir,
wayang, gamelan serta seni suara suluk sebagai sarana dakwahnya. Beberapa lagu suluk
ciptaannya yang populer adalah lir-ilir dan gundul-gundul pacul. Metode tersebut di nalian
sangan efektif. Karena sebagain besar adipati Jawa memeluk Islam melalui sunan Kalijaga, di
antaranya ada adipati pandaran, kartasura, kebumen, Banyumas serta Pajang.
6. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)
Sunan Kudus
Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan lahir pada tanggal 9
September 1400 M / 808 H diPalestina. Anak dari Raden
Usman Hajji atau yang dikenal dengan sebutan Sunan
Ngudung, seorang panglima perang Kesultanan Demak
Bintoro. Ayahnya merupakan putra dari Sultan di Palestina
yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita /
Raden Santri).
Kemudian berhijrah sampai ke Pulau Jawa dan tiba di
Kesultanan Islam Demak lalu diangkat menjadi panglima
perang. Sunan Kudus belajar agama dengan ayahnya sendiri
dan kepada Kyai Telingsing serta Sunan Ampel.
Kyai Telingsing merupakan ulama China yang datang ke Jawa bersama Cheng Hoo, yang
kemudian menyebarkan agama Islam dan membuat tali persaudaraan dengan orang Jawa.
Setelah itu beliau berdakwah di tengah-tengah masyarakat yang masih beragama Hindu dan
Budha. Selama hidupnya Ja’far Shadiq menjabat beberapa pekerjaan di Kekhalifahan Islam
Demak, diantaranya adalah.
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Masyarakat Hindu sangat berpegang teguh pada kepercayaannya sehingga metode ini sulit
dilakukan, namun beliau mencoba agar masyarakat memeluk agama Islam. Ja’far Shadiq
mengajarkan bahwa umat Islam bertoleransi tinggi terhadap masyarakat Hindu sehingga
berjalannya waktu mereka mau masuk agama Islam. Ajaran tersebut berupa menghormati
sapi yang dikeramatkan umat Hindu serta membangun menara Masjid yang hampir sama
dengan bangunan candi Hindu.
Dan akhirnya Ja’far Shadiq menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Senopati Demak. Sebagai
seorang Senopati, beliau tetap menyampaikan dakwah didaerah Kudus dan sekitarnya.
Yang disampaikan dalam dakwah mengutamakan sikap tenang dan halus sehingga masyarakat
dapat menerima ajarannya tidak dengan paksaan. Selain itu Sunan ini dikenal sebagai seorang
ulama yang suka mengembara, pernah sampai ke tanah suci untuk menunaikan ibadah Haji.
Saat berada di Mekkah, beliau membantu menyembuhkan warga yang sedang terkena wabah
penyakit. Yang kemudian penguasa Arab memberikan sebuah batu yang berasal dari Baitul
Maqdis. Lalu di bawa pulang batu tersebut ke Jawa dan meletakkannya di area Imam masjid
Kudus yang sudah berdiri kokoh.
2. Keris Cintoko
Pusaka ini merupakan salah satu peninggalan sejarah yang masih dirawat sampai sekarang.
Terdapat ritual rutin setiap tahun usai idul adha yaitu menjamas atau memandikan keris. Acara
ini merupakan suatu rangkaian sakral wujud menghormati peninggalan Sunan Kudus.
Dilakukan saat menyambut tradisi buka luwur (pergantian kerai di cungkup makam).
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Sama dengan Keris Cintoko. Dua tombak ini juga merupakan peninggalan yang masih
dilestarikan sampai sekarang. Upacara tradisi yang sudah berusia ratusan tahun dilaksanakan di
dekat pintu makam Sunan. Sebagai acara sakral menghormati peninggalannya ini dilakukan
dengan cara dijamas atau dimandikan. Selain menjaga pusaka peninggalannya, acara ini
bertujuan mengingat nilai yang terkandung didalamnya yaitu kebijaksanaan dan kekuasaan
(Dapur Panimbal).
4. Tembang Asmarandana
Salah satu peninggalan kesenian yang masih ditembangkan oleh beberapa masyarakat. Melalui
tembang ini Sunan Kudus mengajarkan agama Islam dengan memasukkan lirik yang
terkandung didalamnya. Sehingga dengan mudah diterima baik oleh masyarakat Hindu Budha
saat itu.
5. Peninggalan Lainnya
Adalah permintaan kepada masyarakat untuk tidak menyembelih hewan sapi untuk berkurban
saat Idul Adha. Bertujuan untuk menghormati masyarakat Hindu, sehingga mereka mengganti
hewan kurban dengan memotong kerbau. Dan kepercayaan ini masih dianut masyarakat
sampai sekarang.
NAhrisya - 2023
Wali Songo
NAhrisya - 2023
Wali Songo
agama islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut
serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa fisik yang kuat.
Minta Hujan
Banyak cerita mengenai karomah dari Sunan Muria diantaranya adalah benda bekas
peninggalannya diantaranya pelana kuda yang kerap digunakan masyarakat sekitar Gunung
Muria untuk meminta hujan jika terjadi kekeringan di wilayah tersebut. Ritual minta hujan
tersebut dikenal dengan nama guyang cekathak atau memandikan pelana kuda milik Sunan
Muria. Ritual ini biasanya digelar pada hari Jumat Wage di musim kemarau. Ritual diawali
dengan membawa pelana kuda peninggalan Sunan Muria dari Komplek Masjid Muria ke
mata air Sedang Rejoso di Bukit Muria. Di mata air ini, pelana kuda kemudian dicuci lalu
air sendang lalu dipercik-percikan ke warga. Usai mencuci pelana kuda, dilanjutkan
dengan membacakan doa dan menunaikan salat minta hujan (Istisqa). Lalu ditutup dengan
makan bersama dengan lauk-pauk berupa sayuran dipadu dengan parutan kelapa, opor
ayam dan gulai kambing. Disediakan juga makanan penutup berupa minuman khas warga
Kudus berupa dawet yang melambangkan bahwa butiran dawet adalah lambang turunnya
hujan.
Pengobatan
Selain itu air gentong peninggalan Sunan Muria juga diyakini dengan keberkahannya dapat
menyembuhkan dan mencegah penyakit, membersihkan dari kotoran jiwa dan memberikan
manfaat kecerdasan bagi sebagian peziarah dan warga sekitar Gunung Muria.
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Orang Tua
Ayah
Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir
sekitar tahun 1450. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur
Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir
besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh
Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana
Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal
Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib
Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui
cucunya Imam Husain.
Ibu
Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu putri dari Sri Baduga
Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang dan
Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon
Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli
Idhafi Mahdi bin Ahmad. Ia dimakamkan bersebelahan dengan putranya yaitu Sunan Gunung
Jati di Komplek Astana Gunung Sembung ( Cirebon )
Silsilah
Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Al-Khan bin
Sayyid 'Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin
Sayyid 'Ali Nuruddin Al-Khan @ 'Ali Nurul 'Alam bin
Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar al-Husaini bin
Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin
Sayyid Abdullah Al-'Azhomatu Khan bin
Sayyid Amir 'Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu
pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayah dan kakeknua datang ke Nusantara sengaja
untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri dari Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan
Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden
Syarif Hidayatullah.
Perjalanan Hidup
Proses Belajar
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh
Maulana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Datuk
Kahfi ia meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih
diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib
dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana membangun kota Cirebon dan
tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayatullah
mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan
Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.
Pernikahan
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Memasuki usia dewasa sekitar di antara tahun 1470-1480, ia menikahi adik dari Bupati
Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini, ia mendapatkan
seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan
Banten I.
Kesultanan Demak
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan
Demak tahun 1487 yang mana ia memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan
Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini, ia berusia
sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi
Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh
Maulana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunannya juga tapi
dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak,
maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan
Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah
secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-
tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan
Kesultanan Demak sebagai pelopornya.
Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama
kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam
pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Ia ikut
membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih
dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya
Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa
mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di
Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam
pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan
misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat
menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 pada tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal pada tahun 1521 memaksa Syarif
Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat
Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati
Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru
untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke
Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang
telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari
kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota
pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam. Tahun
1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam
yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di
Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan
di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali
ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit
menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan
di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima
Perangnya.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian
besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal
Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan
Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam
sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena
keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke
pemukiman Baduy Luar. Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3
yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2.
Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di
wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika
masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan
sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan
kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh
sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib
sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak
menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan. Bagi para sejarawan,
ia adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya
Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga
1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan
nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggilnya dengan nama lengkap
Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.
NAhrisya - 2023
Wali Songo
NAhrisya - 2023
Wali Songo
Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar agama
kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui
identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya
dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka
diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko
Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa
dia dulu dibuang.
NAhrisya - 2023