Anda di halaman 1dari 321

** ***

***** Sunan Gisik memiliki*****


***** nama asli Sayyid Ali Murtadlo, *****
Beliau adalah adik dari Syaikh Maulana Ibrahim As-Samarqandi bin Jamaluddin Akbar Khan  bin Ahmad
Jalaludin Khan bin Abdullah Khan bin Abdul Malik al-Muhajir bin Alawi Ammil Faqih bin Muhammad
Sohibul Mirbath bin Ali Kholi’ Qosam bin Alawi ats-Tsani bin Muhammad Sohibus Saumi’ah bin Alawi
Awwal bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali Uraidhi bin
Ja’far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib,
suami Fatimah az-Zahra binti Nabi Muhammad SAW.

Ibu beliau bernama Dewi Candrawulan (Chandravati). Dewi Candrawulan merupakan putri Sultan
Kuthara (Kerajaan Champa) yang bernama Bong Tak Keng dari pernikahannya dengan Putri Indravarman
VI (Putri Raja Champa). Bong Tak Keng berasal dari Suku Hui beragama Islam yang  mendapat amanah
menjadi pimpinan Komunitas Cina di Champa sekaligus Duta Cina untuk Champa oleh Laksamana Cheng
Ho (Sam Po Bo/Haji Mahmud Shams) dari Dinasti Ming. Nama Sunan Gisik bermakna guru agama atau
tokoh yang dihormati yang berada di pesisir. Sunan adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan
dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Sedangkan dalam catatan Cina, kata
sunan yang menjadi panggilan para anggota wali, dipercaya berasal dari dialek Hokkian ‘Su’ dan ‘Nan’.
‘Su’ merupakan kependekan dari kata ‘Suhu atau Saihu’ yg berarti guru. Sementara ‘Nan’ berarti berarti
selatan. Gisik dalam bahasa jawa berarti pantai, yakni merujuk pada lokasi dakwah Sunan Gisik berada di
pesisir Gresik yang memiliki geografis perbukitan (giri) sekaligus pesisir (gisik). Dalam menyebarkan
agama Islam, Sunan Gisik melakukan perjalanan dakwah ke tanah Jawa bersama ayah dan adiknya.
Sebagaimana disebutkan diatas, ayah Sunan Gisik adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan
adiknya bernama Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel). Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit,
melainkan mendarat di Tuban dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat sekitar. Akan tetapi,
tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia,
beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.
Selanjutnya Sunan Gisik meneruskan perjalanannya, beliau berdakwah keliling ke daerah Madura disini
beliau mendapat sebutan "Sunan Lembayung". Beliau juga berdakwah di Nusa Tenggara hingga ke Bima,
disana beliau mendapat sebutan “Raja Pandhita Bima”. Banyak diantara keturunan beliau menjadi
penyebar agama Islam dan juga raja baik di Madura maupun di Nusa Tenggara. Dalam rantai silsilah Raja
Bima yang tercantum dalam Bo’ sangaji Kai, beserta penjelasan-penjelasannya, kita akan dibuat sedikit
terkejut dengan munculnya nama-nama dan istilah islam yang disebutkan. Hal ini dapat dijumpai pada
kepemimpinan Rumata Mawa’a Bilmana. Jadi sebelum Abdul Kahir I, kerajaan Bima pernah dipimpin
oleh seorang Raja Muslim, yakni Sunan Gisik sendiri. Nama beliau kurang terekam secara maknawiyah
dalam dialek Bima saat itu, karena catatan mengenai beliau justru ada dalam riwayat resmi keturunan
para walisongo. Dalam catatan sejarah menjelaskan bahwa beliau merupakan penyebar agama Islam
pertama di Nusa Tenggara Barat yang kelak menjadi pondasi cikal bakal kerajaan Bima yang bernafaskan
Islam “Ahlussunah wal Jamaah”. Setelah berhasil mengIslamkan daerah Madura dan Nusa Tenggara
yang masyarakatnya semula kental suasana Budha dan Hindhu, Sunan Gisik diminta kembali ke Gresik.
Pada 9 April 1419 Syekh Maulana Malik Ibrahim Wafat, beliau menggatikan peran Syekh Maulana Malik
Ibrahim sebagai imam penyebaran Islam di Gresik. Beliau berdakwah di Gresik mendapat beberapa
sebutan yakni “Raja Pandhita Wunut” serta sebutan yang sangat melekat dan banyak dikenal
masyarakat adalah “Raden Santri”. Sunan Gisik menikah dengan Rara Siti Taltun atau RA. Madu Retno
binti Aryo Baribin dan mempunyai 4 anak bernama Usman Haji (Sunan Ngudung), Haji Usman, Nyai
Gede Tundo, dan Ali Musytar. selanjutnya Usman Haji setelah dewasa meminang putri Tumenggung
Wilwatikta dan mempunyai anak bernama Amir Haji atau Dja’far Sodiq atau (Sunan Kudus), dan Dewi
Sujinah. Haji Usman menikah dengan Siti Syari’at mempunyai anak bernama Amir Hasan (Sunan
Manyuran). Sedangkan Nyai Gede Tundo menikah dengan Kholifah Husain (Sunan Kertoyoso)
mempunyai anak Kholifah Suhuroh. Selain Rara Siti Taltun, Raden Santri juga menikah dengan Dyah
Retno Maningjum Binti Arya Tejo. Sunan Gisik wafat pada tahun 1317 Saka/1449 M atau bertepatan
dengan 15 Muharam abad ke-8 Hijriyah. Haul beliau diperingati setiap tanggal 15 Muharram. Beliau
dimakamkan di Desa Bedilan, Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik. Makam beliau hanya berjarak 100 M
utara Alon-alon Gresik, atau hanya berjarak 200 M utara makam Syekh Maulana Malik Ibrahim.
Beberapa nama lain/gelar beliau di antaranya:      1. Raja Pandhita Bima (ketika berdakwah di NTB)     2.
Sunan Lembayung (ketika berdakwah di Madura)     3. Raja Pandhita Wunut         4. Dian Santri Ali     5.
Raden Samat     6. Raden Atmaja     7. Ngali Murtolo     8. Ali Hutomo     9. Ali Musada     10. Sunan
Lembayung Fadl     11. Fadl As-Samarqandiy

Oleh Wahyu Firmansyah Sumber: https://nu.or.id/esai/sejarah-sunan-gisik-raden-santri-l1TvQ

****************************************

***** Sunan Gisik memiliki*****


Nama asli Sayyid Ali Murtadlo, Beberapa nama lain/gelar beliau di antaranya:   
1. Raja Pandhita Bima (ketika berdakwah di NTB)  

2. Sunan Lembayung (ketika berdakwah di Madura)    

3. Raja Pandhita Wunut      

 4. Dian Santri Ali    

5. Raden Samat    

6. Raden Atmaja    

7. Ngali Murtolo    

8. Ali Hutomo    

9. Ali Musada    

10. Sunan Lembayung Fadl    

11. Fadl As-Samarqandiy

** Amira Fathimah Binti Amir Husain


Orang:861640
Hirarki Lengkap
Keturunan (Inventaris)

Marga (saat dilahirkan) Timuriyyah

Jenis Kelamin Wanita

Nama lengkap (saat


Amira Fathimah Binti Amir Husain
dilahirkan)

Orang Tua

♂ Amir Husain [Timuriyyah]

Momen penting
lahir: Menikah Tahun 1295 M

perkawinan: ♂ 1. Asy Syaikh Sayyid Husain Jamaluddin Akbar al-Azmatkhan al-Husaini [Azmatkhan] b. ~ 1310
d. ~ 1453

1297 kelahiran anak: Samarqand, Uzbekistan, ♂ 1. Asy. Sayyid Maulana Maliq Ibrahim [Azmatkhan] b. 1297 d.


1419- Sunan Ampel itu asal Champa jadi Raja di Surabaya. Kok bisa ?

R. Rachmat ato Sunan Ampel datang ke Majapahit bersama ayahnya Ibrahim Samarkand, lidah
orang Jawa lebih dikenal Ibrahim Asmarakhondi dari Zamarkhan, bahkan kakeknya berasal dari
lebih utara lagi di Tulen ato Zarkhastan (di utara Cina selatan Rusia).

Seperti ditulis KH.Dr. Agus Sunyoto dlm bukunya, Sunan Ampel Raja Surabaya, memang posisi R.
Rahmat ya Sunan Ampel itu Raja Surabaya. Ia peroleh kedudukan itu dari Arya Lembusora putra Arya
Teja Tuban. Seperti ditulis serat Walisana yg dinikahi Raden Rachmat itu Nyai Ageng Manila putri Arya
Lembusora. Sebagai penguasa syahbandar Tuban pelabuhan besar di Majapahit, anak-2 Arya Teja banyak
menjadi bupati, diantaranya Arya Lembusora menduduki pelabuhan Surabaya. Pada saat Arya Lembusora
mangkat, Raden Rachmat selaku menantu menggantikan kedudukan mertua sebagai penguasa Surabaya.
Sedjarah Regent Soerabaya mencatat sbb :

# punika panjenengan ing kabupaten surapringga, kanjeng sinuhun ngAmpeldenta, nami pangeran rachmat,
jejuluk seh mahdum, seda kesareaken ing ngampel#
Bahkan menurut Babad Ngampeldenta, pengangkatan resmi R. Rachmat sebagai imam di Surabaya dng gelar
Sunan dari kata Susuhunan berkedudukan wali di Ngampeldenta dilakukan pejabat Majapahit, Pecat Tandha di
Terung bernama Arya Sena. Lembaga Riset Islam Pesantren Luhur Sunan Giri di Malang (1975),
pengangkatan ini karena hubungan baik dng Raja Majapahit, R. Rachmat diberi ijin tinggal di Ampel bersama
keluarga diserahkan oleh Raja Majapahit.
Pengangkatan ini menurut sumber legenda Islam yg dicatat H.J. De Graf & Th. G.Th. Pigeaut dalam Kerajaan-
kerajaan Islam di Jawa : Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1986).

Jika arek Suroboyo memanggil ibunya dng "mak" begitulah orang Champa lazim ketika memanggil ibunya
juga dng "mak". Tapi Sunan Ampel tak pernah mengajari anak-2nya dng bahasa asal, Kanjeng Sunan selalu
mengajari dng bahasa Jawa, begitu juga ketika mengajar agama Islam, kitab-2 itu selalu diterjemahkan dng
bahasa Jawa. Dan - itu diwariskan hingga kini sampai ke wilayah Cirebon - Jawa Barat. Jadi yg sangat berjasa
memasyarakatkan bahasa Jawa termasuk mendidik masyarakat sopan santun itu adalah pondok pesantren.

Caption > Raja Surabaya pertama memerintah dari dalam masjid Ampeldenta

Sumber ssuwito
******* SEJARAH AL IMAM ASSAYYID RADEN AHMAD RAHMATULOH ADZMATKHAN (SUNAN
AMPEL)

Saya kagum dengan Imam Ahmad Rahmatillah (Kanjeng Sunan Ampel) anaknya ada 11, Putra-
putrinya menjadi orang-orang yang sangat luar biasa, yaitu:

1. Sayyid Hasyim atau Maulana Qosim (Kanjeng Sunan Drajad), ahli ekonomi, ahli
tasawuf, ahli sastra dan seniman.

Menurut Syaikhina Maulana al-Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, dalam Kitab Sejarah Walisongo
yang berasal dari catatan KHR. Abdullah bin Nuh Bogor, diterangkan bahwa Kanjeng Sunan Drajat
adalah Bapak pendiri Al-Aitam Pertama (Rumah Yatim Pertama).

Kanjeng Sunan Drajat Pendiri rumah yatim pertama bedanya tidak membuat bangunan. Yang
mengumpulkan anak yatim pertama. Tiap hari di temui setiap rumahnya yang ada yatimnya
kemudian dikumpulkan di Masjid, maghrib diajak belajar, isya' sudah makan bersama kemudian
diajak pulang kerumahnya masing masing. Melakukan itu semua setiap hari, kantongnya tidak
pernah rapat.

Makanya sejak wafatnya Kanjeng Sunan Drajat, dari anak anak sampai orang orang tua semuanya
menangisi karena kehilangan seorang pengayom dan pelindung umat. Karena Sunan Drajat
Mengikuti sunahnya Kanjeng Nabi Saw.

2. Gurunya para Ratu, gurunya para Wali dan Ulama', gurunya para Senopati, Sulthan, Adipati, dan
para santri. Yaitu Al Imam Quthbil Ghaust Sayyidi Ibrahim Alias Kanjeng Sunan Bonang. Sampai
ada pepatah, kalau kamu masuk ke Jawa tidak Ziarah ke Tuban, sama saja kamu masuk Madinah
tetapi tidak bisa Ziarah ke Kanjeng Nabi Saw. Itu menunjukkan pangkatnya Kanjeng Sunan Bonang.

3. Orang yang paling terkenal, Orang yang sangat arif bijaksana dalam menentukan hukum menjadi
peranan di Demak, yaitu Sayyid Zainal Abidin (Kanjeng Sunan Qodhi Demak),

4. Ahli ekonomi, yang berhasil luar biasa, ahli fiqih dan muhaddits, yaitu Al-Imam Sunan Kudus
(Imam Asqolani, Ibnu Hajarnya tanah Jawa). Yang diterapkan Kanjeng Sunan Kudus, sehingga
Pangeran Poncowati tunduk kepada Kanjeng Sunan Kudus karena Kanjeng Sunan Kudus melarang
hari raya besar memotong sapi, bukan mengharamkan. Karena Mayoritas pada waktu itu agamanya
Hindu. Kanjeng Sunan Kudus tidak mau melukai diantara agama, menjaga kesatuan dan persatuan
dan menjaga bagaimana rahmatal lil 'alamin. Dengan sajak dan sastranya, pidatonya Beliau
Radhiallahu ta'ala anhu tentang masalah sapi, dengan mengetahui kebijakan yang luar biasa,
langsung Pangeran Poncowati taslim, menyerahkan kerajaannya kepada Kanjeng Sunan Kudus Bin
Ahmad Rahmatillah (Kanjeng Sunan Ampel). Salah satu Nasab ada yang bilang kalau Kanjeng
Sunan Kudus adalah anak dari Sunan Usman Haji. Tapi saya melihat dari kitab Maktab Daimi
maupun di Mesir dan ahli Nasab semua mengakui anak dari Kanjeng Sunan Ampel.

5. Sayyidi Abdul Jalil (Sunan Bagus Jepara), seorang tasawuf, sufi tapi fuqaha yang luar biasa.

6. Sayyid Ahmad Husyamuddin (Sunan Lamongan), waktu lahirnya persis sama seperti wafatnya
Kanjeng Sunan Ampel. Makanya dinamai Ahmad bin Ahmad. Ahmad Husyamuddin Bin Ahmad
Rahmatillah, itu adat orang Arab. Kalau ditinggal wafat oleh Ayahnya pasti dinamai sama dengan
Ayahnya.

7. Putrinya Kanjeng Sunan Ampel, Waliyyah, Khafizhoh, Alimah, Sayyidah 'Asyiqoh binti Ahmad
Rahmatillah, yang menjadi istrinya Maulana Sulthan Abdul Fatah Demak.

8. Dewi Ruqoyyah, istrinya Al Imam Muhammad Ainul Yaqin (Kanjeng Sunan Giri).
9. Dewi Aisyah, istrinya Maulana Syarif Hidayatullah (Kanjeng Sunan Gunung Jati).

10. Dewi Muthmainnah, istri dari alim alimnya para Walisongo di jaman itu, yaitu Sayyid
Abdurrahman Ar Rum.

11. Dewi Hafshah, Istri dari Sayyid Ahmad Ibnu Yahya Al-Yamani.

Inilah yang saya kagum, putra putrinya menjadi orang yang sangat luar biasa. Itulah tanda,
bagaimana generasi tua bisa melahirkan generasi penerus yang luar biasa.

Mudah mudahan ini menjadi contoh bagi kita semua, mampukah atau tidak akan bisa melahirkan
generasi penerus pembangunan agama, umat dan bangsa ini hingga lahirlah bangsa bangsa, umat
umat indonesia siap menjawab tantangan umat dan bangsa, sehingga kita tidak menjadi golongan
yang mengecewakan sesepuh, leluhur dan para ulama kita. Semoga kita tidak menjadi orang orang
yang mengecewakan Baginda Nabi Saw, Ulama, dan leluhur-leluhur kita. Wallahu a'lam.

───────────────────────

Mauidhoh hasanah dari Syaikhina Maulana al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin
Yahya, Rais Aam Idarah Aliyah Jam’iyyah Ahlith Thoriqah al- Mu’tabaroh an-Nahdliyyah (JATMAN)
saat Haul Kanjeng Sunan Ampel Surabaya.
#Copaz2018

********

1300 kelahiran anak: Samarkand, Uzbekistan, ♂ 2. Pangeran Pebahar As-Samarqandiy [Azmatkhan] b.


1300
1302- kelahiran anak: Samarkand, Uzbekistan, ♂ 3. Fadhal As-Samarqandiy
(Sunan Lembayung) [Azmatkhan] b. 1302
♀ Dewi Sari

perkawinan: ♂ 11.3.1. Sunan Ngudung ( Utsman Haji )

1305 kelahiran anak: Samarkand, Uzbekistan, ♂ 4. Sunan Kramasari As-Samarqandiy (Sayyid Sembahan


Dewa Agung) [Azmatkhan] b. 1305
1307 kelahiran anak: Samarkand, Uzbekistan, ♂ 5. Syekh Yusuf Shiddiq As-Samarqandiy [Azmatkhan] b.
1307
Pangeran Purna Jiwa: Sunan Cendana
Kwanyar, Bangkalan
matamaduranews.com–BANGKALAN-Seperti namanya, keharuman sosok Sunan
Cendana menyelimuti Madura dan sekitarnya. Berawal dari wilayah pesisir selatan
Bangkalan, jejaknya menyinari Pulau Garam ini.

Lahir dengan nama Sayyid Zainal ‘Abidin di lingkungan tembok istana Giri Kedaton pada
sekitar akhir dari abad ke-16, atau sekitar pertengahan kedua dari kurun 1500-an
Masehi.

Ibunya adalah salah satu putri dari Kangjeng Suhunan Kulon alias Sunan Ali Sumodiro.
Sunan Kulon merupakan putra ketiga dari salah satu tokoh utama Wali Sanga; Kangjeng
Susuhunan Giri yang berjuluk Prabu Satmata.

Dari garis ayah, Sayyid Zainal Abidin merupakan cucu Kangjeng Susuhunan Drajat, putra
Kangjeng Susuhunan Ampel. Ayahnya, yaitu Sayyid Khathib alias Raden Bandardaya
adalah putra Suhunan Drajat (dalam catatan lain disebut jika Sayyid Khathib adalah
putra Pangeran Musa bin Suhunan Drajat).

Dari sinilah nasab kedua orang tua beliau bertemu. Ayah Suhunan Giri, yaitu Sayyid
Ishaq atau Maulana Ishaq bersaudara dengan Sunan Ampel, alias sama-sama putra
Sayyid Ibrahim Zainal Akbar Ba’alawi (Ibrahim Asmara).

Sedang Sunan Giri sendiri diambil sebagai menantu oleh Sunan Ampel. Secara
genealogi, garis keluarga ini bersusur galur pada keluarga saadah Ba’alawi di
Hadhramaut Yaman, melalui jalur al-Imam al-Quthb ‘Alwi ‘Ammil Faqih hingga Sayyidina
al-Husain, putra Sayyidatina Fathimah binti Rasulullah SAW.

Jalur Da’wah
Keluarga Ba’alawi sejak awal memang dikenal sebagai keluarga da’i penjelajah. Jalur
da’wah keluarga ini begitu mendunia. Sehingga kebanyakan dari tokoh-tokoh utama
keluarga ini selalu besar dan berakhir di luar kampung kelahirannya.

Seperti Sayyid Ibrahim Asmara ayah Sunan Ampel yang hijrah ke Campa dan menikah
disana. Putra-putranya, termasuk Sunan Ampel sendiri hijrah ke tanah Jawa yang
mukim di Ampel, Denta. Begitu seterusnya, hingga Sayyid Zainal ‘Abidin yang keluar dari
tembok istana Giri Kedaton dan bermukim di salah satu wilayah pesisir di Madura Barat.
Kiprah da’wah Sayyid Zainal Abidin kemungkinan diawali dari tingkat elit atau keluarga
bangsawan. Hal itu bisa dilihat dari catatan kehidupan beliau yang sering dimintai
nasehat, buah pikiran maupun tenaganya oleh kerajaan Mataram Islam di Jawa.

Tentu saja itu sebelum terjadi perselisihan antara keraton Mataram dan keraton Giri,
yang mana Mataram menganggap Giri sebagai saingan besar yang kemudian berujung
pada tragedi besar membumi hanguskan Giri Kedaton.

Dalam sejarah kuna, Sayyid Zainal Abidin pernah diangkat sebagai penasehat atau
Senapati Mataram dan diminta bantuannya oleh Sunan Amangkurat Mataram untuk
mengatasi pemberontakan Blambangan. Saat itu Sayyid Zainal Abidin membawa
saudara sepupunya yang bernama Kiai Wongso, dan berhasil mengatasi dengan mudah
pemberontakan tersebut.

Atas keberhasilannya, Raja Mataram menganugerahkan gelar Pangeran Purna Jiwa


(atau Purna jaya) pada Sayyid Zainal Abidin, dan Kiai Wongso digelari Pangeran Macan
Wulung. Macan Wulung ini merupakan salah satu adipati Sumenep yang terkenal, yang
bernama lain Tumenggung Yudonegoro.

-+Setelah itu Pangeran Purnajiwa mengundurkan diri sebagai penasehat keraton dan
hijrah ke Pasuruan. Di sana beliau dikeramatkan. Namun sifat dasar para ‘arifbillah,
memang kebanyakan tidak suka dikeramatkan. Lalu beliaupun hijrah mencari tempat
lain.

Sasarannya kali ini adalah Madura. Apalagi di Madura memang banyak sanak-familinya.
Salah satu paman beliau (adik dari ibu), bermukim di Sampang, yaitu Pangeran Khathib
Sampang atau yang dikenal dengan nama Khathib Mantu.

Konon dari riwayat dan sumber manuskrip kuna, Pangeran Purnajiwa menyeberangi
selat Madura dengan perantara ikan Mondung atau hiu. Beliau kemudian mendarat di
pesisir selatan Madura atau tepatnya di daerah Kwanyar Bangkalan.

Di sana ada sisa peninggalan beliau berupa sumur di tepi pantai yang mengeluarkan
sumber dari bekas tancapan tongkat beliau. Beliau juga dikisahkan bertapa di dalam
pohon Cendana, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Cendana atau Kiai
Cendana.

Setelah karomah beliau itu diketahui masyarakat, beliau kemudian menuju Sampang
dan bermukim di daerah pamannya, Khathib Mantu.
Namun kemudian beliau disusul oleh Panembahan Cakraningrat dan diminta untuk
kembali ke Bangkalan untuk dijadikan mustika atau jimatnya Bangkalan.

Sebuah peristiwa yang terukir dalam sejarah, dan keluarlah untaian doa mulia beliau
yang masyhur hingga kini, bunyinya: Allaahumma zid ‘alainaa wa ‘alaihim, wa ma’a
aulaadinaa wa aulaadihim, ni’mataddunya wa ni’matal aakhirah, ghafarallaahu lanaa wa
lahum bi rahmatikaa yaa arhamarraahimiin.

Penerusnya
Begitu keramatnya Sunan Cendana, sehingga hampir kebanyakan tokoh ulama besar
Madura, dan sebagian besar di Jawa Timur, menuliskan nasabnya pada beliau, meski
dari jalur perempuan. Keturunan Sunan Cendana memang menyebar luas.

Sehingga tak bisa dipungkiri sanad keilmuan agama Islam di Madura dan sekitarnya
bermuara pada Sunan Cendana, baik melalui sanad nasab maupun hubungan guru-
murid.

Dari catatan manuskrip kuna, Sunan Cendana diketahui memiliki enam putra putri, yaitu
Kiai Adipati Putramenggala (Sampang), Kiai Jasad (Gresik), Nyai Kumala (Tanjung,
Sampang), Nyai Shalih, Nyai Nur (Omben, Sampang), dan Nyai Aminah (Lembung,
Bangkalan).

Kiai Putramenggala bergelar Panembahan Sampang dan menurunkan banyak


bangsawan dan ulama hingga ke Pamekasan dan Sumenep.

Begitu juga saudara-saudara beliau, seperti Kiai Jasad yang menurunkan banyak ulama
besar di daerah Tapal kuda dan Sumenep. Kemudian Nyai Kumala (isteri Kiai Abdullah
bin Khatib Pesapen bin Khathib Mantu) yang merupakan leluhur para kiai besar di
Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.

Salah satu keturunan Nyai Kumala adalah Kiai Abdul Azhim (leluhur Syaikhana Khalil
Bangkalan), dan Kiai Abdul Qidam, Arsoji, Pamekasan.

R B M Farhan Muzammily
https://id.rodovid.org/wk/Orang:861640
1. Asy. Sayyid Maulana Maliq Ibrahim b. 1297 d. 1419
Orang:321552

Hirarki Lengkap
Keturunan (Inventaris)

Marga (saat dilahirkan) Azmatkhan

Jenis Kelamin Pria

Nama lengkap (saat dilahirkan) 1. Asy. Sayyid Maulana Maliq Ibrahim

Nama lainnya Syekh Mawlana Maghribi

Orang Tua

♂ 1. Asy Syaikh Sayyid Husain Jamaluddin Akbar al-Azmatkhan al-Husaini [Azmatkhan] b. ~ 1310 d. ~
1453
♀ Amira Fathimah Binti Amir Husain [Timuriyyah]
Momen penting

1297 lahir: Samarqand, Uzbekistan
kelahiran anak: ♀ 1.5. Syarifah Sarah [Azmatkhan]
kelahiran anak: ♂ 1.1. Maulana Maghribi II/ Maulana Malik Maghribi [Azmatkhan]
kelahiran anak: ♂ 1.2. Maulana Malik Israfil [Azmatkhan]
kelahiran anak: ♂ 1.11. Yusuf Al-Maghribi. [Azmatkhan]
kelahiran anak: ♂ 1.10. Abbas Al-Maghribi [Azmatkhan]
kelahiran anak: ♂ 1.4. Maulana Moqfaroh / Maulana Maghfarah Al-Maghribi [Azmatkhan]
kelahiran anak: ♂ 1.3. R. Kidang Telangkas (Jaka Tarub) / Abdurrahim Al-Maghribi [Azmatkhan]
kelahiran anak: ♂ Syarif Abdullah [Azmatkhan]
CONF: Datang Ke Jawa tahun 1404
imigrasi: WISATA ZIARAH KE SYEKH MAULANA MAGHRIBI PARANGTRITIS
perkawinan:
perkawinan: ♀ 4.3.1.2. Dewi Rasa Wulan-Cloning1 [Azmatkhan]
1419 wafat: Desa Gapurosukolilo-Kota Gresik-Jawa Timur
Catatan-catatan
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang

http://aisasholikha.wordpress.com/wali-songo/ http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gresik http://www.scribd.com/
doc/4578135/Maulana-Malik-Ibrahim

Official Link. Adm: Hilal Achmar.

Maulana Malik Ibrahim, dikenal juga dengan sebutan Maghribi atau Syekh Maghribi.Meskipun beliau bukan asli
orang Jawa, namun beliau telah berjasa kepadamasyarakat. Karena beliaulah yang mula pertama
memasukkan islam ke tanah Jawa.Sehingga berkat usaha dan jasanya, penduduk pulau jawa yang
kebanyakan masihberagama Hindu dan Buddha di kala itu, akhirnya mulai banyak memeluk agama
Islam.Adapun dari kalangan orang-orang Hindu, hanya dari kasta-kasta Waisya dan Syudrayang dapat di ajak
memeluk agama Islam. Sedang dari kasta-kasta Brahmana danKsatria pada umumnya tidak suka memeluk
Islam, bahkan tidak sedikit dari kalanganBrahmana yang lari sampai ke pulai Bali, serta menetap disanalah
mereka akhirnyamempertahankan diri hinggga sekarang, dan agama mereka kemudian dikenal
dengansebutan agama Hindu Bali.Apabila dikalangan kaum Brahmana dan Ksatria tidak sukamasuk agama
Islam, hal itu mudah dimengerti karena bagi mereka tentunya agak beratuntuk duduk sejajar bersama-sama
dengan kaum Waisya dan Syudra yang selama ini mereka hina.Sudah barang tentu dengan adanya konsepsi
Islam yang radikal dan revoulsionerdalam bidang sosial, sukar sekali untuk diterima dengan kedua belah
tangan terbukaoleh mereka. Sebab bukankah meerka selama ini telah didewa-dewakan, tiba-tibaturun tahta,
duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan bekas hamba sahayamereka, rakyat jelata yang selama ini
telah memuja serta mendewa-dewakan mereka.Maulana Malik Ibrahim mulai menyiarkan agama Islam di
tanah Jawa didaerah JawaTimur. Dari sanalah dia memulai menyingsingkan lengan bajunya, berjuang
untukmengembangkan agama Islam.Adapun caranya pertama-tama ialah dengan jalam mendekati pergaulan
dengan anaknegeri. Dengan budi bahasa yang ramah tamah serta ketinggian akhlak, sebagaimanadiajarkan
oleh Islam, hal itu senantiasa diperlihatkannya didalam pergaulansehari-hari. Beliau tidak menentang secara
tajam kepada agama dan kepercayaanhidup dari penduduk asli. Begitu pula beliau tidak menentang secara
spontanterhadap adat istiadat yang ada serta berlaku dalam masyarakat kita yang masihmemeluk agama
Hindu dan Buddha itu, melainkan beliau hanya memperlihatkankaindahan dan ketinggian ajaran-ajaran dan
didikan yang dibawa oleh Islam. Berkatkeramah tamahannya serta budi bahasa dan pergaulannya yang sopan
santun itulah,banyak anak negeri yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.Untuk mempersiapkan kadur
ummat yang terdidik bagi melanjutkan perjuangan gunamenegakkan ajaran-ajaran Islam di tanah air kita, maka
dibukanyalah pesantren-pesantren yang merupakan perguruan Islam tempat mendidik serta menggembleng
parasiswa sebagai calon mubaligh Islam untuk masa depan. Bertambah banyak orang yang masuk Islam,
bertambah berat pula tugas dan pekerjaannya. tentu saja orang-orangitu tidak dibiarkan begitu saja. Mereka
harus diberi didikan dan penerangansecukupnya sehingga keimanannya menjadi kuat dan keyakinannya
menjadi kokoh.Didalam usaha yang sedemikian itu, beliau kemudian menerima tawaran dari rajanegeri
Cheermen, raja Cheermen itu sangat berhajat untuk meng-Islam-kan rajaMajapahit yang masih beragama
Hindu. Seperti ternyata kemudian, dari hasildidikannya akhirnya tersebar diseluruh penjuru tanah air mubaligh-
mubaligh islamyang dengan tiada jemu-jemunya menyiarkan ajaran-ajaran agamanya.Dalam riwayat
dikatakan, bahwa maulana maghribi itu adalah keturunan dari ZainulAbidin Bin Hassan Bin Ali ra, keterangan
ini menurut buku karangan Sir ThomasStamford Raffles. Sebagaimana diketahui, Stamford Raffles (1781-
1826) adalahseorang ahli politik Inggris, serta bekas letnan Gubernur Inggris ditanah Jawadari tahun 1811-
1816 M. Adapun bukunya yang terkenal mengenai tanah Jawa adalah :"History of Java" yang ditulisnya pada
tahun 1817 M. Mengenai filsafat Ketuhannya,diantaranya Syekh Maulana Malik Ibrahim pernah mengatakan
apakah yang dinamakannyaAllah itu ? ujarnya "Yang dinamakan Allah ialah sesungguhnya yang diperlukan
adanya,...............?Menurut setengah riwayat mengatakan, bahwa beliau berasal dari Persia. Bahkandikatakan
bahwa Maulana Malik Ibrahim beripar dengan raja di negeri Cheermen.Mengenai letak negeri Cheermen itu
terletak di Hindustan,sedangkan ahli sejarahyang lain mengatakan bahwa letaknya Cheermen adalah di
Indonesia. Adapun mengenainama kedua orang tuanya, kapan beliau dilahirkan serta dimana, dalam hal ini
belumdiketahui dengan pasti. ada yang mengatakan bahwa beliau berasal dari Kasyan(Persia).Bilamana
beliau meninggal dunia ? Kalau ditilik dari batu nisan yang terdapat padamakam Maulana Malik Ibrahim di
Gresik, dekat Surabaya terukir sebagai tahunmeninggalnya 882 H, atau tahun 1419 M. Didalam sumber
menyebutkan, bahwa beliauitu berasal dari Gujarat India, yang rupanya disamping berniaga, beliau
jugamenyiarkan agama Islam Makam Maulana Malik Ibrahim yang terletak dikampung Gapuradi Gresik,
sekarang jalan yang menuju kemakam tersebut diberi nama jalan MalikIbrahim. Dalam sejarah beliau dianggap
sebagai pejuang seta pelopor dalammenyebarkan agama Islam ditanah Jawa, dan besar pula jasa beliau
terhadap agama dan masyarakat. http://www.scribd.com/doc/4578135/Maulana-Malik-Ibrahim

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang
dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapurosukolilo,
kota Gresik, Jawa Timur. Asal keturunan
Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun
pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan
masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari wilayah Arab Maghrib di Afrika
Utara.

Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang
mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana
Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.[1]

Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik,
Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, "Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal
berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah
menetap bersama para Mahomedans[2] lainnya di Desa Leran di Jang'gala".[3]

Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas
baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia
berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.[4]

Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan
keturunan Rasulullah SAW, melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far
ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal,
Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-
Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-
Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim,[5][6][7][8] yang berarti ia adalah keturunan orang
Hadrami yang berhijrah. Penyebaran agama

Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di
tanah Jawa, dan merupakan wali senior di antara para Walisongo lainnya.[9] Beberapa versi babad
menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa
Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia
lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa
Pasucinan, Manyar. Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi
bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang
secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan
dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik
masuk ke dalam agama Islam.[10]

Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim
ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.
[11] Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para
bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal
atau pemodal.[12]

Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota
Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan
memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama
desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut
Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk
dari Asia Barat. [13]

Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran
Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka
agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai
usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat
setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12
Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasti makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-
Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.[14]
Legenda rakyat

Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik berasal dari Persia.
Syeh Maulana Malik Ibrahim dan Syeh Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Syeh Maulana Ahmad
Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Syeh Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di
Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syeh Jumadil Qubro dan kedua anaknya
bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa,
Syeh Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Syeh Maulana Ishak mengislamkan
Samudera Pasai.

Syeh Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri
Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu
Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi
dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya
mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.

Syeh Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat kadang-kadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia
mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya
mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.

Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia
pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut
masih kerabat istrinya. Filsafat
Mengenai filsafat ketuhanannya, disebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim pernah menyatakan mengenai apa
yang dinamakan Allah. Ia berkata: "Yang dinamakan Allah ialah sesungguhnya yang diperlukan ada-Nya."

Wafat

Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, Syeh Maulana Malik
Ibrahim wafat tahun 1419. Makamnya kini terdapat di desa Gapura, Gresik, Jawa Timur.

Inskripsi dalam bahasa Arab yang tertulis pada makamnya adalah sebagai berikut: “ Ini adalah makam
almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada
rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para sultan dan wazir,
siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim
yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga
menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi'ul Awwal 822 Hijriah. ”

Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka
tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur,
Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan
dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu
banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan
Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Arti Walisongo

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan
jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata
songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut
kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat. Lukisan Walisongo

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan
oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).[1] Saat itu, majelis dakwah
Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana
Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik
Isra'il (dari Champa), Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin, dan Syekh
Subakir.
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota
Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim Sunan Ampel atau Raden Rahmat Sunan Bonang atau Raden
Makhdum Ibrahi Sunan Drajat atau Raden Qasim Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq Sunan Giri atau Raden
Paku atau Ainul Yaqin Sunan Kalijaga atau Raden Said Sunan Muria atau Raden Umar Said Sunan Gunung
Jati atau Syarif Hidayatullah

Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka
terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan,
bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Teori keturunan Hadramaut

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah),
Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran
para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif.
Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju
Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):

L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam
bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[5] mengatakan:

”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif.
Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari
mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka
ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah
keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”

van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):

”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa
kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka
mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya
pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena
sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt
(Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan
Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya." Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang
merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini
jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum
Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan
banyak marga Hadramaut lainnya.
Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di
Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat
Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian
besar bermadzhab Hanafi. Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan
mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat
Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat,
Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang
populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-
pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu
Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh
Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.

Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus
sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan
oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat
Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath
ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang
berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak
menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak
lainnya.

[sunting] Teori keturunan Cina

Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa
(1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia.[6] Pendapat
tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan
Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.[rujukan?]

Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa
sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji
melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja
Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman.
Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya
sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg.
Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van
Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui
sangat detail dan banyak dijadikan referensi.

Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in
Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula
tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat
dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan [7].
[sunting] Sumber tertulis tentang Walisongo
Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga
karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang
merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi. Mantan
Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan
tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia
menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan
bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.

Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin
Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-
Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri,
Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.

Lihat pula

Mazhab Syafi'i Suku Arab-Indonesia Syekh Muhammad Shahib Mirbath Sunan Bayat Ki Ageng Pandan
Arang Syekh Siti Jenar Resident Poortman Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini

Pranala luar

(Inggris) Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of Kubrawiyya influence in
early Indonesian Islam Online publication of Martin van Bruinessen, by Universiteit Utrecht (Indonesia)
Syekh Hasanuddin: Pendiri Pesantren Pertama di Jawa Barat Republika Online: Jumat, 28 April 2006

Referensi ^ a b Dahlan, KH. Mohammad. Haul Sunan Ampel Ke-555, Penerbit Yayasan Makam Sunan
Ampel, hlm 1-2, Surabaya, 1979. ^ Meinsma, J.J., 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam
Dumugi ing Tahun 1647. S'Gravenhage. ^ Istilah maqam, selain berarti kubur juga dapat berarti tempat
menetap atau tempat yang pernah dikunjungi seorang tokoh; contohnya seperti makam Nabi Ibrahim di
Masjidil Haram. ^ Lihat pula: Pangeran Sabrang Lor. ^ van den Berg, Lodewijk Willem Christiaan,
1886. Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien. Impr. du gouvernement, Batavia. ^
Muljana, Slamet (21 Januari 2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam
di Nusantara. LkiS. hlm. xxvi + 302 hlm.. ISBN 9799798451163. ^ Russell Jones, review on Chinese
Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries written by H. J. de Graaf; Th. G. Th. Pigeaud; M. C.
Ricklefs, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 50, No. 2.
(1987), hlm. 423-424.

Synopsis “Wali Songo”

The composition of the nine saints varies, depending on different sources. The following list is widely
accepted, but its authenticity relies much on repeated citations of a handful of early sources, reinforced
as “facts” in school textbooks and other modern accounts. This list differs somewhat from the names
suggested in the Babad Tanah Jawi manuscripts.

One theory about the variation of composition is: “The most probable explanation is that there was a
loose council of nine religious leaders, and that as older members retired or passed away, new members
were brought into this council.”[5] However, it should be borne in mind that the term “wali songo” was
created retroactively by historians, and so there was no official “group of nine” that had membership.
Further, the differences in chronology of the wali suggest that there might never have been a time when
nine of them were alive contemporaneously.

Some of the family relationships described below are well-documented; others are less certain. Even
today, it is common in Java for a family friend to be called “uncle” or “brother” despite the lack of blood
relationship.

Maulana Malik Ibrahim also called Sunan Gresik: Arrived on Java 1404 CE, died in 1419 CE, buried in
Gresik, East Java. Activities included commerce, healing, and improvement of agricultural techniques.
Father of Sunan Ampel and uncle of Sunan Giri.

Sunan Ampel: Born in Champa in 1401 CE, died in 1481 CE in Demak, Central Java. Can be considered a
focal point of the wali songo: he was the son of Sunan Gresik and the father of Sunan Bonang and Sunan
Dradjat. Sunan Ampel was also the cousin and father-in-law of Sunan Giri. In addition, Sunan Ampel was
the grandfather of Sunan Kudus. Sunan Bonang in turn taught Sunan Kalijaga, who was the father of
Sunan Muria. Sunan Ampel was also the teacher of Raden Patah.

Sunan Giri: Born in Blambangan (now Banyuwangi, the easternmost part of Java) in 1442 CE. His father
Maulana Ishak was the brother of Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri’s grave is in Gresik near Surabaya.

Sunan Bonang: Born in 1465 CE in Rembang (near Tuban) on the north coast of Central Java. Died in
1525 CE. Brother of Sunan Drajat. Composed songs for gamelan orchestra.

Sunan Drajat: Born in 1470 CE. Brother of Sunan Bonang. Composed songs for gamelan orchestra.

Sunan Kudus: Died 1550 CE, buried in Kudus. Possible originator of wayang golek puppetry.

Sunan Kalijaga: Buried in Kadilangu. Used wayang kulit shadow puppets and gamelan music to convey
spiritual teachings.

Sunan Muria: Buried in Gunung Muria, Kudus. Son of Sunan Kalijaga and Dewi Soejinah (sister of Sunan
Giri), thus grandson of Maulana Ishak.

Sunan Gunung Jati: Buried in Cirebon. Founder and first ruler of the Banten Sultanate.

MAKAM PARA AULIYA' WA SHOLIHIN DI PULAU


MADURA
1. Syeikh Kholifah Khusen /Sunan Kertoyoso & Nyai Gedhe Tondho
Di Martajasah bangkalan Madura

2. Syaikhona Moh. Kholil bin Abdul Lathif


Syeikh Kyai Asrori
Syeikh Kyai Kafaal
Di Martajasah bangkalan Madura

3. Syeikh 'Abdul 'Adzim


Syeikh Al Habib Abdul Qodir bin Ali Baacin
Di Martajasah bangkalan Madura

4. Syeikhah Siti Maisyaroh / Buju' Sara


Syeikh Sayyid Abdullah
Syeikh Sayyid Syarifuddin
Di Martajasah bangkalan Madura

5. Syeikh Kyai Ghozali /Buju' Kalla


Syeikh Sayyid Abdullah
Syeikh Sayyid Abdurrahman bin Abdullah
Syeikh Sulthan Abdul Majid
Di Mlajah Bangkalan Madura

6. Syeikh Sayyid Abu Bakar & Nyai Syarifah Siti Maisima


Di Patemonan Burdijah Bangkalan Madura

7. Syeikh Buju' Kamsiyah


Di Rangkamisba Ketingan Bangkalan Madura
8. Syeikh Sayyid Khusein / Buju' Jimat
Di Banyu Sangkah Tanjung Bumi Bangkalan Madura

9. Syeikhah Siti Maryam / Buju' Pacar


Di Banyu Sangkah Tanjung Bumi Bangkalan Madura

10.Nyai Syarifah Ambami /Cucu sunan Giri ( Isteri Panembahan Cakraningrat I )


Di Air Mata Arosbaya Bangkalan Madura

11. Panembahan Pragalbo /Pangeran Islam onggu' 


Panembahan Lemah Duwur / Pangeran Pratanu
Raden Koro / Ayahanda Pangeran Cokroningrat
Lokasi Di Makam Agung Arosbaya Bangkalan Madura

12. Syeikh Sayyid Ali Abu Nahas / Buju' Geger


Sayyidah Juriyah
Syeikh Kyai Ahmad / Buju' Sanding
Putri Koening / Dewi Darkum
Di Gunung Geger Bangkalan Madura

13. Kanjeng Sunan Cendana /Sayyid Zainal Abidin & Syeikhah Nyai Siti Marhamah

Syeikh Kyai Haji Zainal Abidin / Mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah


Lokasi Di Kampung Masjid Ketitang Kwanyar Bangkalan Madura

14. Syeikh Sayyid Abdurrahman bin Rotib / Buju' Le Pale & Nyai Karomah
Di  Lek Pale Kwanyar Ketitang Bangkalan Madura

15. Syeikh Abu Rizal / Buju' Guwah & Nyai Siti Maryam
Syeikh Buju' Karputih
Di Ketitang Kwanyar Bangkalan Madura

16. Syeikh Buju' Beringin / Mbah Rabit


Di Kwanyar barat Bangkalan Madura

17. Syeikh Muhaimin /Buju' Kramat


Syeikh Kyai Murtadho & Nyai Rohana
Di Tibul Kwanyar Barat Bangkalan Madura
18. Syeikh Kyai Rotah / Buju' Kabuan 
Di Kwanyar Bangkalan Madura

19. Syeikh Shomadani


Di Telembak Pakaan Dajah Galis Bangkalan Madura

20. Syeikh Kyai Ma'sum & Syeikh Kyai Munawi 


Di Pakaan Dajah Galis Bangkalan Madura

21. Al 'Arif Billah Syeikh Sayyid Abdurrahman Al Qodri / Buju' cleret 


Lokasi Di Gunung Sleret Galis Bangkalan Madura

22. Syeikh Sayyid Muhsin


Di Galis Bangkalan Madura

23. Syeikh Sayyid Abdullah bin Ali Akbar


Di Tengginan Klampis Bangkalan Madura**
http://muhammadnadir.blogspot.com/2020/03/daftar-makam-auliya-sholihin-di-
pulau_21.html **http://www.pariamantoday.com/2018/12/mengenal-
sutan-darab-ulama-besar.html

Pauhkambar - Ustad Abdul Somad (UAS) dijadwalkan bakal


melaunching Pusat Kajian Mahzab Syafii Kabupaten
Padangpariaman, Sumatera Barat pada 21Januari 2019
mendatang di lapangan sepak bola Gempar Parik, Pauhkambar. 
** https://www.facebook.com/296016733747444/photos/muhaditihin-melayu-
bergelar-musnid-ad-dunyasyeikh-muhmmad-yasin-fadaniseorang-
ul/2105495446132888/ ** Kisah Wali Allah
19 SAp1rhi3fs94lmt or20128d  · 

MUHADITIHIN MELAYU BERGELAR MUSNID AD-DUNYA


SYEIKH MUHMMAD YASIN FADANI

Seorang ulama melayu tersohor di dalam dunia hadith di tanah arab dan sebenar-benar pakar hadith yang mengambil ilmu dari
ratusan guru yang belajar berpuluh-puluh tahun. Muridnya adalah ulama arab yang hebat-hebat.
Semuga dengan melihat biografi beliau kita rasa insaf dan tidak mudah mengaku alim dalam ilmu hadith dengan hanya belajar
4,5 tahun.

1. Kelahiran Syaikh Yasin Al-Faddani

Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani dilahirkan di tengah keluarga ulama yang taat di Misfalah Makkah pada hari Selasa, 27
Sya’ban 1335H/17 Juni 1917M. Beliau adalah putra dari pasangan Syaikh Muhammad Isa bin Udiq al-Faddani dan Maimunah
binti Abdullah al-Faddani.

Sejak kecil Syaikh Yasin sudah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Bahkan menginjak usia remaja Syaikh Yasin mampu
mengungguli rekan-rekannya dalam hal penguasaan ilmu hadits, fiqih, bahkan para gurunya pun sangat mengaguminya.

2. Nasab Syaikh Yasin Al-Faddani

Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani dilahirkan di tengah keluarga ulama yang taat di Misfalah Makkah pada hari Selasa, 27
Sya’ban 1335H/17 Juni 1917M. Beliau adalah putra dari pasangan Syaikh Muhammad Isa bin Udiq al-Faddani dan Maimunah
binti Abdullah al-Faddani. Beliau adalah Generasi ke 36 dari Rasulullah melalui jalur keturunan dari Sultan Minangkabau bin
Sunan Giri Azmatkhan Al-Husaini.

Catatan Nasab ini berdasarkan Catatan KH. Ali Maksum bin KH. Maksum Azmatkhan (Pesantren Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta), yang diserahkan kepada As-Syaikh Sayyid Bahruddin Azmatkhan, pada tahun 1980.

0-Nabi Muhammad Rasulullah SAW


1.Sayyidah Fatimah Azzahra/Fatimah Al Batul
2.Sayyidina Imam Husain Asshibti/Abu Syuhada
3.As-Sayyid Imam Ali Zaenal Abidin/Ali Al Ausath/Ali Assajad
4.As-Sayyid Imam Muhammad Al Baqir
5.As-Sayyid Imam Ja'far Asshodiq
6.As-Sayyid Imam Ali Al Uraidhi
10.As-Sayyid Imam Muhammad An-Naqib
11.As-Sayyid Imam Isa Arrumi
12.As-Sayyid As-Sayyid Imam Ahmad Al Muhajir
13.As-Sayyid As-Sayyid Imam Ubaidhillah/Abdullah
14.As-Sayyid Imam Alwi Al Mubtakir/Alwi Al Awwal (Cikal Bakal lahirnya keluarga Alawiyyin)
15.As-Sayyid Imam Muhammad Shohibus Souma'ah
16.As-Sayyid Imam Alwi Shohib Baitu Jubair (Alwi Atsani)
17.As-Sayyid Imam Ali Kholi 'Qosam
18.As-Sayyid Imam Muhammad Shohib Mirbath
19.As-Sayyid Imam Alwi Ammil Faqih
20.As-Sayyid Imam Abdul Malik Azmatkhan
21.As-Sayyid Imam Abdullah Amirkhan
22.As-Sayyid Imam Ahmad Syah Jalaluddin
23.As-Sayyid Imam Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro
24.As-Sayyid Ibrahim Zainuddin Akbar As-Samarqandi

24.As-Sayyid Maulana Ishaq


25.Sunan Giri bin Maulana Ishaq
26.Abdurrahman/ Muhammad Syahabuddin I (Sultan Minangkabau) bin Sunan Giri
27.Sultan Nuruddin/ Muhammad Syahabuddin II (L.1520 M) bin Abdurrahman/ Muhammad Syahabuddin I (Sultan
Minangkabau)
28.Sultan Bakilap Alam Sultan Alif 1 (Raja Bagewang) (L.1540M – W. 1580) bin Muhammad Syahabuddin II
29.Sultan Khalifatullah Indermasyah bin Bakilap Alam Sultan Alif 1 (Raja Bagewang)
30.Sultan Ahmadsyah bin Sultan Khalifatullah Indermasyah
31.YDP Pagaruyung Raja Alam Indermasyah bin Sultan Ahmadsyah
32.Sultan Khalifatullah bin YDP Pagaruyung Raja Alam Indermasyah
33.Sultan Tunggal Alam Bagagar / Tangkal Alam Bagagarsyah bin Sultan Khalifatullah
34.Malenggang Alam (Rajo Naro) bin Sultan Tunggal Alam Bagagar / Tangkal Alam Bagagarsyah
35.Syaikh Udiq al-Faddani bin Malenggang Alam (Rajo Naro)
36.Syaikh Muhammad Isa bin Udiq al-Faddani
37.Syaikh Yasin Al-Faddani bin Syaikh Muhammad Isa bin Udiq al-Faddani
3. Pendidikan Syaikh Yasin Al-Faddani
Sejak kecil beliau belajar kepada ayah beliau, Syaikh Muhammad Isa dan dilanjutkan kepada paman beliau, Syaikh Mahmud.
Kepada keduanya, beliau belajar dan menghafal beberapa matan kitab dalam bidang ilmu fiqh, tauhid, faraidh dan musthalah
hadits.

Tahun 1346 H/1928 M beliau melanjutkan pendidikan ke Madrasah ash-Shaulatiyah al-Hindiyah. Beliau menimba ilmu di sani
selama kurang lebih 7 tahun. Guru-guru beliau selama di Madrasah ash-Shaulatiyah adalah Syaikh Muhktar Utsman Makhdum,
Syaikh Hasan al-Masysyath dan al-Habib Muhsin bin Ali al-Musawa (seorang ulama Makkah yang lahir di Palembang tahun
1323 H/1905 M)

** https://www.facebook.com/Kisah-Wali-Allah-
296016733747444/photos/muhaditihin-melayu-bergelar-musnid-ad-dunyasyeikh-
muhmmad-yasin-fadaniseorang-ul/2080833091932457 ** Kisah
Wali Allah
279 0Mauccrhaet 2nh081813ea  · 

MANAQIB MUFTI JAMALUDIN AL-BANJARI


Pengarang Kitab Perukunan

SYEIKH Muhammad Arsyad al-Banjari memperoleh anak dan keturunan yang sangat ramai menjadi ulama. Dalam artikel ini
mengungkapkan anak beliau yang bernama Jamaluddin. Ibu Jamaluddin bernama Go Hwat Nio atau sebutan popular dipanggil
Tuan Guat saja. Tuan Guat adalah seorang Cina yang memeluk Islam oleh Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari sendiri. Adik
beradik daripada ibu ini ada enam orang, yang menjadi ulama besar dan terkenal di antara mereka ialah: 1. Al-`Alim al-`Allamah
Khalifah Hasanuddin. 2. Al-`Alim al-`Allamah Khalifah Zainuddin. 3. Al-`Alim al-`Allamah Mufti Haji Jamaluddin. Tiga orang
lagi yang perempuan, ialah 4. Aisyah 5. Raihanah 6. Hafsah.

Al-`Alim al-`Allamah Khalifah Hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (yang pertama), zuriatnya yang menjadi
ulama, ialah al-`Alim al-`Allamah Mufti Haji Muhammad Khalid, al-`Alim al-Fadhil Haji Muhammad Qaim. Al-`Alim al-
`Allamah Mufti Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (ketiga), zuriatnya yang menjadi ulama, ialah al-
`Alim al-`Allamah Mufti Haji Muhammad Husein, al-`Alim al-Fadhil Qadi Haji Muhammad Amin, al-`Alim al-`Allamah Qadi
Haji Abdus Shamad dan al-`Alim al-‘Allamah Haji Muhammad Thasin. Haji Jamaluddin al-Banjari digelar juga dengan `Surgi
Mukti’, lahir sekitar tahun 1780 M. Tahun wafatnya belum diketahui. Makamnya terletak di Sungai Jingah (Ku’bah), Banjar.

Adik beradik Mufti Haji Jamaluddin yang seayah tetapi berlainan ibu ialah Syarifah, ibunya bernama Tuan Bajut. Adik beradik
Mufti Haji Jamaluddin daripada ibu yang lain pula ialah al-`Alim al-`Allamah Qadi Haji Abu Su`ud, al-`Alim al-`Allamah
Khalifah Haji Abu Na`im, dan al-`Alim al-`Allamah Khalifah Haji Syihabuddin. Ibu mereka bernama Tuan Baiduri. Al-`Alim al-
`Allamah Qadi Haji Abu Su`ud bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, sewaktu kembali daripada menunaikan haji,
berkahwin lagi di Kedah dan memperoleh seorang putera, Mas`ud. Zuriatnya Tuan Husein Kedah, ulama yang terkenal di
Malaysia. Mengenainya telah diperkenalkan di Ruangan Agama, Utusan Malaysia, dengan judul Husein Kedah Al-Banjari,
Generasi Penerus Ulama Banjar pada 16 Ogos 2004. Al-`Alim al-`Allamah Haji Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-
Banjari di Mekah, belajar kepada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Tahun 1258 H./1842 M. raja-raja Riau di Pulau
Penyengat Indera Sakti meminta kesediaannya menjadi guru di Kerajaan Riau. Adik beradik Mufti Haji Jamaluddin daripada ibu
yang lain pula ialah al-`Alim al-`Allamah Haji Abdullah (wafat di Madinah) dan al-`Alim al-Fadhil Abdur Rahim. Beliau
menunaikan haji dengan menaiki kapal layar, kapalnya pecah dan beliau wafat. Ibu kedua-duanya bernama Tuan Lipur. Adik
beradik Mufti Haji Jamaluddin daripada ibu yang lain pula ialah al-`Alim al-`Allamah Mufti Haji Ahmad dan yang perempuan
bernama Shafiyah. Ibu kedua-duanya bernama Ratu Aminah binti Pangeran Thaha bin Sultan Tahmidullah. Pada tarikh 9 Julai
2005, saya dan ahli PENGKAJI bertemu dengan keturunan Shafiyah, Kiyai Haji Muhammad Saman bin Muhammad Saleh di
Hotel Pan Pacific, Kuala Lumpur. Pertemuan yang melibatkan beberapa keturunan tersebut yang berasal dari Sabah dan Banjar
adalah atas kehendak dan diatur oleh Datuk Mohd Ainal bin Haji Abdul Fattah dan kawan-kawan. Kiyai Haji Muhammad Saman
adalah guru agama dari Pesantren Yayasan Nurul Hikmah dan beliau juga aktif mengajar di Sabah. Kami merumuskan kerjasama
penyelidikan dan pengembangan khazanah ulama silam dunia Melayu yang perlu diperkasakan. Disingkatkan riwayatnya bahawa
semua adik beradik Mufti Haji Jamaluddin ada 30 orang daripada ibu seramai 11 orang.
Ahli Keluarga Yang Jadi mufti

Lingkungan keluarga dekat Mufti Haji Jamaluddin yang menjadi mufti disebut oleh Syeikh Abdur Rahman Shiddiq dalam
Syajarah al-Arsyadiyah, ada 10 orang; 1. Al-`Alim al-`Allamah Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 2.
Al-`Alim al-`Allamah Haji Ahmad bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 3. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad As`ad
bin Utsman. 4. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Arsyad bin Mufti Haji Muhammad As`ad. 5. Al-`Alim al-`Allamah Haji
Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 6. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Khalid bin `Allamah
Hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 7. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Nur bin al-‘Alim al-‘Allamah
Qadi Haji Mahmud. 8. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Husein bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 9. Al-`Alim al-
`Allamah Haji Jamaluddin bin Haji Abdul Hamid. 10. Al-`Alim al-`Allamah Syeikh Abdur Rahman Shiddiq bin Haji Muhammad
`Afif bin `Alimul `Allamah Qadi Abu Na`im bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Daripada yang pertama hingga kelima
pada zaman pemerintahan Sultan Banjar. Sedangkan keenam hingga 10 pada zaman penjajahan Belanda.

Daripada maklumat yang lain, golongan keluarga ini yang menjadi Mufti, ialah : 1. Haji Muhammad Husein bin Mufti Haji
Jamaluddin. 2. Haji Abdul Jalil bin Mufti Haji Syihabuddin. 3. Haji Muhammad Yunan bin Mufti Haji Muhammad Amin. 4. Haji
Sa`id bin Haji Abdur Rahman. 5. Haji Mukhtar bin Qadi Haji Hasan. Jadi, bererti 10 orang yang di atas ditambah 5 orang,
kesemuanya 15 orang. Kemungkinan masih ramai yang belum diketahui.

Ahli Keluarga Yang Jadi Qadhi

Keluarga ini yang menjadi qadi, yang telah diketahui sekurang-kurangnya 25 orang, ialah: 1. Al-`Alim al-`Allamah Qadi Abu
Su`ud bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 2. Al-`Alim al-`Allamah Qadi Abu Na`im bin Syeikh Muhammad Arsyad al-
Banjari. 3. Al-`Alim al-`Allamah Haji Mahmud bin Haji Muhammad Yasin. 4. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Amin bin
Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari. 5. Al-`Alim al-Fadhil Haji Muhammad Ali al-Junaidi bin Qadi Haji Muhammad Amin. 6. Al-
`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Sa`id al-Jazuli bin Qadi Haji Su`ud. 7. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Amin bin
Qadi Haji Mahmud. 8. Al-`Alim al-`Allamah Haji Abdus Shamad bin Mufti Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-
Banjari. 9. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Jafri bin Qadi Haji Abdus Shamad. 10. Al-`Alim al-Fadhil Qadi Haji Bajuri.
11. Al-`Alim al-Fadhil Haji Muhammad As`ad bin Mufti Haji Muhammad Nur bin Qadi Haji Mahmud. 12. Haji Ibrahim bin
Mufti Haji Jamaluddin. 13. Haji Abu Talhah bin Qadi Abdus Shamad. 14. Haji Muhammad Thaiyib bin Haji Muhammad Qasim.
15. Haji Muhammad bin Haji Muhammad Qasim. 16. Haji Zainal bin Lebai Darun. 17. Haji Abdur Rahman bin Qadi Haji
Muhammad Sa`id. 18. Haji Qasim bin Mu’min. 19. Haji Muhammad Sa`id bin Mu’min. 20. Haji Muhammad Arsyad bin Qadi
Haji Abdur Rahman. 21. Haji Hasan bin Mufti Haji Muhammad Sa`id. 22. Haji Abdur Rauf. 23. Haji Abdul Jalil bin Qadi Haji
Muhammad Arsyad. 24. Haji Ahmad bin Abu Naim. 25. Haji Muhammad Arsyad bin Qadi Haji Abdur Rauf.

Aktiviti

Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan Islam secara mendalam daripada ayahnya,
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Selain sebagai Mufti Martapura, Haji Jamaluddin juga giat mengajar sama ada orang
awam atau pun golongan istana kesultanan Banjar. Haji Jamaluddin, Mufti Martapura yang paling besar pengaruhnya pada masa
pemerintahan Sultan Adam (1825 M – 1857 M), beberapa orang peneliti sejarah berpendapat bahawa Undang-Undang Sultan
Adam (1251 H / 1835 M) adalah banyak dipengaruhi oleh pendapat dan pandangan Mufti Haji Jamaluddin. Sebagai bukti pada
Fasal 31, terdapat nama beliau, tertulis sebagai berikut, “Sekalian kepala-kepala jangan ada yang menyalahi pitua Haji
Jamaluddin ini namun orang lain yang menyalahi apabila ikam tiada kawa manangat lekas-lekas bapadah kayah di aku.” Fasal 31
tersebut ditulis dengan sangat panjang. Menurut kertas kerja Abdurrahman S.H. (sekarang Hakim Agung Indonesia) tertulis
dalam bahasa Banjar huruf Latin / Rumi ejaan lama, seperti huruf `u’ masih menggunakan `oe’. Abdurrahman S.H. juga
mencantumkan dalam kertas kerjanya itu teks dalam bahasa Belanda. Beliau menyimpulkan Fasal 31 tersebut bahawa
“tentang tata pemerintahan hanyalah bagian pertama saja sedang bagian akhir adalah mengenai nazar.” Selanjutnya
Abdurrahman S.H. memberi komentar, “Tetapi yang penting di sini adalah suatu hal yang luar biasa bagi seorang
ulama kalau fatwanya dimasukkan ke dalam salah satu pasal daripada undang-undang kerajaan sehingga mempunyai
otoritas tersendiri sebagai hukum negara. Suatu hal yang jarang terjadi di mana-mana.”

Selain hal-hal yang tersebut di atas, Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari adalah seolah-olah sebagai seorang pendamai
perselisihan keluarga Diraja Banjar dan pemegang “Surat Wasiat Sultan Adam”. Dalam bulan Disember 1855 Sultan
Adam menulis surat wasiat yang kandungannya bertujuan pengganti Sultan Adam sebagai sultan ialah Pangeran
Hidayatullah. Kepada puteranya Pangeran Prabu Anom, dan cucunya Pangeran Tamjidillah diancam dengan
hukuman mati, jika menghalangi surat wasiat itu. Surat Wasiat Sultan Adam yang tersebut juga dipegang oleh Mufti
Haji Jamaluddin al-Banjari.

Penulisan

Karya Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari yang paling terkenal di seluruh dunia Melayu ialah `Perukunan
Jamaluddin’. Pada semua cetakan `Perukunan Jamaluddin’ dapat dipastikan bahawa kitab yang tersebut memang
karya beliau. Namun masih ada pendapat yang mengatakan bahawa kitab tersebut adalah karya saudara
perempuannya bernama Syarifah binti Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Pendapat yang lain pula ada yang
mengatakan adalah karya anak saudaranya yang bernama Fatimah. Pada pandangan saya, sebelum menghuraikan
mengenai ini perlulah kita mengenali pelbagai versi kitab yang dinamakan Perukunan. Setelah kita mengenali
pelbagai versi, barulah kita dapat menentukan pengarangnya. Ada yang dinamakan `Perukunan’ saja. Ada yang
dinamakan Perukunan Jamaluddin. Ada yang dinamakan Perukunan Besar. Ada yang dinamakan Perukunan
Melayu. Ada yang dinamakan Perukunan Jawa. Ada yang dinamakan Perukunan Sunda. Dan terakhir sekali ada
yang dinamakan Perukunan Bugis. Tiga jenis `Perukunan’ yang terakhir Jawa,Sunda dan Bugis tidak perlu
dibicarakan di sini kerana ketiga-tiganya hanyalah merupakan terjemahan saja daripada Perukunan Melayu. Terlebih
dulu di bawah ini diambil data beberapa buah cetakan awal `Perukunan’ yang dinisbahkan sebagai karya Mufti Haji
Jamaluddin al-Banjari, iaitu yang dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1315 H/1897 M. Pada kulit
depan tertulis, “Ini kitab yang bernama Perukunan karangan asy-Syeikh al-`Alim Mufti Haji Jamaluddin ibnu al-
Marhum al-`Alim al-Fadhil asy-Syeikh Muhammad Arsyad Mufti Banjari.” Karya Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari
yang lain, yang kurang diketahui umum, Bulugh al-Maram fi Takhalluf al-Muafiq fi al-Qiyam (1247 H/1831 M).

Wallahua'lam

** Kisah Wali Allah


2 Ap1r4i1lo2 m2250nhimrtd2i18  · 

:: Bagaimana al-Azhar Membesarkan Syaikh Shalih al-Ja’fari? ::


Salah satu guru dari Maulana Syaikh Ali Jum’ah adalah Syaikh Shalih al-Ja’fari al-Azhari.
Beliau adalah Syaikh Shalih bin Muhamad Shalih bi Muhamad Rifa’i al-Ja’fari al-Husaini. Beliau adalah keturunan
dari Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin imam al-Husain, Radhiallahu `anhum.
Beliau lahir di Danqala, Sudan pada tahun 1328 H. Beliau mengikuti thariqah Idrisiyah, dan mursyid beliau adalah
Syaikh Muhamad Abdul Āly.

Berikut beberapa kisah beliau dengan al-Azhar al-Syarif:

~ Syaikh Shalih al-Ja’fari berkata:

• Sebelum saya pergi ke al-Azhar, ada seorang yang membawa kitab Syarh Nawawi `Ala Shahīh Muslim, jilid 1, ke
rumah saya. Saya lalu meminjamnya untuk mempelajarinya. Tak lama setelah itu saya bermimpi melihat Sayyidi
Muhamad Abdul Āly duduk di kursi, dan di sampingnya ada bekal perjalanan jauh. Dalam mimpi ini saya
mendengar bahwa beliau akan pergi ke al-Azhar, Mesir. Saya menghampiri dan mencium tangan beliau. Dan beliau
langsung berkata dengan nada keras kepada saya: Ilmu ini wajib dicari dan diambil dari hati para ulama, bukan dari
(hanya dengan membaca) kitab!!
'Ilmu ini wajib dicari dan diambil dari hati para ulama, bukan dari (hanya dengan membaca) kitab!! '
Beliau terus mengulang perkataan ini hingga saya terbangun dan Allah mengilhami saya agar segera pergi ke Mesir,
mencari ilmu dari para ulama al-Azhar.

• Setelah sampai di Mesir, saya pergi ke rumah Syaikh Muhamad Habibullah al-Syinqiti, pengarang kitab Zādu al-
Muslim, fīmā ittafaqa `alaihi al-Bukhāri wa Muslim. Saya bermaksud untuk berguru dan menjadi pembaca tetap
dalam majelis hadis beliau. Setelah mengetuk pintu, beliau menyambut saya dengan baik di kunjungan pertama ini.
Saya langsung mencium tangan beliau, dan beliau langsung berkata kepada saya: Kamu lah yang akan menjadi
pembaca resmi majelis hadis saya pada tahun ini..!

Alhamdulillah.. Saya terus belajar kepada beliau selama 15 tahun hingga beliau wafat.

Beliau mengizinkan saya untuk mengajar murid-murid beliau sambil menunggu kedatangan beliau di majelis.
Terkadang ada orang-orang yang mencegah dan mengganggu saya saat menyampaikan pelajaran. Dan anehnya,
setelah tiba, beliau berbisik di telinga saya: Mereka mengganggumu saat kamu mengajar, padahal kamu lebih baik
dari pada mereka!! Seolah beliau melihat apa yang terjadi sebelum beliau tiba di majelis.

Biasanya, ketika berhalangan, beliau memerintahkan orang dekat beliau untuk menyampaikan perintah mengajar
kepada saya. Tidak pernah beliau menulis perintah mengajar kepada saya kecuali sekali. Kala itu beliau mengirim
kepada saya surat yang tertulis: ‘Saya mengizinkanmu untuk menjadi pengganti saya dalam mengajar’. Saya heran
tidak memahami kenapa beliau sekarang memberi perintah tertulis. Subhanallah, di tengah saya mengajar, ada
seorang pengurus masjid datang memeriksa saya:
‘Apakah kamu mendapat izin mengajar?’
Saya jawab: Ya
Dia bertanya: Apakah kamu punya izin tertulis?
Saya takjub, dan langsung menyerahkan surat izin mengajar yang ditulis sendiri oleh Syaikh Muhamad Habibullah
al-Syinqiti. Sungguh ini salah satu karomah beliau.

Beliau sangat menyayangi saya dan berkata: Kamu adalah berkah majelis ini. Saya memberimu ijazah (izin)
meriwayatkan seluruh ijazah dan kitab yang saya miliki.

• Saya juga berguru kepada Syaikh Yusuf al-Dijwi. Saya selalu menghadiri majelis beliau setelah salat Subuh di
masjid al-Azhar selama 7 tahun.
Suatu saat beliau membaca hadis tentang pertanyaan malaikat di kubur, dari kitab Shahih al-Bukhari. Sebelum
menghadiri majelis ini, saya telah mempelajari penjelasan hadis tersebut dari kitab Syarh al-Kirmani. Kemudian saat
menjelaskan hadis ini, beliau menepuk dada saya dan berkata: Saya sudah mempelajari penjelasan al-Kirmani
tentang hadis ini, terutama dalam masalah yang kamu pikirkan sekarang. Kenapa kamu tidak mengingatkan saya
agar orang-orang di majelis ini juga mengetahuinya??

Beliau juga berkata kepada saya: Kamu orang yang penuh berkah wahai Syaikh Shalih, Semoga kamu bermanfaat
untuk umat Islam.

• Saya juga belajar kepada Syaikh Ali al-Syayib. Beliau salah satu ulama besar yang terkenal saleh. Setiap kali
beliau di makam imam al-Husain, beliau sangat khusyuk dan berkeringat, seolah beliau menyaksikan sesuatu di
hadapannya.

Suatu malam saya bermimpi melihat Rasulullah. Beliau menjelaskan kepada saya tentang sebuah permasalah ilmiah
yang sebelumnya telah saya pahami dengan salah. Rasulullah menegur saya dengan perkataan: ‘Yā Walad (wahai
anak kecil)!’.
Kemuidan pagi harinya saya menghadiri majelis Syaikh Ali al-Syayib. Di tengah majelis, saya bertanya-tanya di
dalam hati saya tentanga mimpi tadi, mengapa Rasulullah memanggil saya ‘Yā walad’?. Saat itu juga Syaik Ali al-
Syayib menoleh kepada saya dan berkata: Kami berkata padamu ‘Yā Walad’ karena kami berbicara sesuai dengan
gaya bicara orang Arab asli, bukan berarti bahwa kamu adalah anak kecil..!!.

(Bersumber dari http://algaafary.com/temps/?p=267) 

Lihat Lebih Sedikit

— bersama Nizhamuddin Mohd Zain. ***

1
Silsilah Nasab Kyai Ageng Giring IV Berdasarkan
Babad Sunan Tembayat dan Kitab Sujarah Giring
• Nabi Muhammad SAW
• Fatimah Az-Zahra
• Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahra
• Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin
• Sayyidina Muhammad Al Baqir
• Sayyidina Ja’far As-Sodiq
• Sayyid Al-Imam Ali Uradhi
• Sayyid Muhammad An-Naqib
• Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi
• Ahmad al-Muhajir
• Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah
• Sayyid Alawi Awwal
• Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah
• Sayyid Alawi Ats-Tsani
• Sayyid Ali Kholi’ Qosam
• Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
• Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut)
• Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India)
• Sayyid Abdullah Al-’Azhomatu Khan
• Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan
• Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan
• Sayyid Maulana  Ibrahim Asmoroqandi / Syech Syamsu Tamres
• Adipati Andayaningrat / Kyai Ageng Penging Sepuh / Kyai Ageng Wuking I
• Kyai Ageng Giring I
• Kyai Ageng Giring II
• Kyai Ageng Giring III
• Kyai Ageng Giring IV

**https://radenayulina.wordpress.com/2019/08/05/silsilah-nasab-kyai-ageng-
giring-iv-berdasarkan-babad-sunan-tembayat-dan-kitab-sujarah-giring/
Raden Ayu Linawati
"Mengungkap Fakta Meluruskan Sejarah Berdasarkan Manuskrip Kuno, Kitab Kitab
Kuno dan Ranji Ranji Silsilah Kuno Yang Merupakan Peninggalan Leluhur Tujuh
Turunan."

https://sarkub.tumblr.com/post/150167052671/buku-buku-karya-raden-ayu-lina-
penulis-ranji/amp
**** https://faktualnews.co/2018/08/05/kisah-legenda-ki-ageng-menak-sopal-

Kisah
penyebaran-agama-islam-di-trenggalek/92307/

Legenda Ki Ageng Menak Sopal, Penyebaran


Agama Islam di Trenggalek
Wisata   Minggu, 5 Agustus 2018 | 12:28 WIB   Penulis: Suparni PB

FaktualNews.co/Suparni PB/

Bupati Trenggalek, Emil Dardak saat berziarah di makam Ki Ageng Minak Sopal

*****************************

** https://id.rodovid.org/wk/Istimewa:Tree/321552*

Syarif Muhammad Kebungsuan Pengging (Jaka Sengara)


Orang:26351

Hirarki Lengkap
Keturunan (Inventaris)

Marga (saat dilahirkan) Pengging

Jenis Kelamin Pria


Nama lengkap (saat dilahirkan) Syarif Muhammad Kebungsuan Pengging

Nama belakang lainnya Jaka Sengara

Nama lainnya Pangeran Handayaningrat

Orang Tua
♂ 1. Asy Syaikh Sayyid Husain Jamaluddin Akbar al-Azmatkhan al-Husaini  [Azmatkhan] b. ~ 1310 d. ~ 1453

Momen penting
kelahiran anak: ♂ Ki Ageng Kebo Kenongo [Pengging]
pekerjaan: Pengging, Adipati Pengging bergelar Andayaningrat atau Ki Ageng Pengging I
perkawinan:

Catatan-catatan
Kata Pengantar
Dewasa ini Maguindanao adalah salah satu provinsi yang terletak di pulau Mindanao di Filipina Selatan.
Mayoritas penduduk provinsi ini memeluk agama Islam, Sebagai sebuah kesultanan, Maguindanao
mengalami masa kejayaan selama abad ke 17 ketika diperintah oleh dua orang sultan secara berturut-
turut yaitu Sultan Kudarat (1619-1671) dan Sultan Barahaman (1671-1699) yang memerintah dengan
sikap tegas. Mereka berdua adalah pemimpin yang memiliki ketrampilan diplomatik yang mereka
pergunakan untuk saling memainkan para ekspansionis Eropa yaitu bangsa Spanyol, Portugis, Inggris dan
Belanda; dan mereka berhasil menjalankan perdagangan yang menguntungkan dengan dukungan dari
pengikutnya. Kedua sultan berhasil melebarkan wawasan kekuasaannya dengan membangun kerjasama
dengan para datu petinggi, yaitu para pemimpin setempat, dan dengan demikian menambah jumlah
pengikutnya. Melalui jaringan kerjasama tersebut, mereka menerima upeti dalam bentuk hasil
pertanian, kehutanan serta hasil kelautan serta juga para budak sehingga mereka mampu memupuk
kekayaan serta memperkuat wibawa mereka.

********
HomeSejarahTokoh

Kisah Perjalanan Dakwah Sunan


Gisik dan para Dzurriyahnya di
Pelosok Nusantara
 Netizen Word  02 May 2020

 Kyai Ageng Nur Shodiq Al Hafidz Waliyullah, Penghafal Al- Qur'an Pertama di Ponorogo

 Kisah Perjalanan Syekh Abdul Muhyi dan Gua Pamijahan

 Masjid Tegalsari Ponorogo

Sunan Gisik memiliki nama asli Sayyid Fadhal Ali Murtadlo, beliau adalah putra dari Syaikh
Maulana Ibrahim As-Samarqandi bin Jamaluddin Akbar Khan bin Ahmad Jalaludin Khan bin
Abdullah Khan bin Abdul Malik al-Muhajir bin Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Sohibul
Mirbath bin Ali Kholi’ Qosam bin Alawi ats-Tsani bin Muhammad Sohibus Saumi’ah bin Alawi
Awwal bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali
Uraidhi bin Ja’far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husein bin
Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah az-Zahra binti Nabi Muhammad SAW. Ibu beliau bernama
Dewi Candrawulan (Chandravati).

Dewi Candrawulan merupakan putri Sultan Kuthara (Kerajaan Champa) yang bernama Bong Tak
Keng dari pernikahannya dengan Putri Indravarman VI (Putri Raja Champa).

Bong Tak Keng berasal dari Suku Hui beragama Islam yang mendapat amanah menjadi
pimpinan Komunitas Cina di Champa sekaligus Duta Cina untuk Champa oleh Laksamana
Cheng Ho (Sam Po Bo/Haji Mahmud Shams) dari Dinasti Ming.

Dewi Candrawulan (istri Sayyid Ibrahim Akbar Samarkandi) yang berputra Sayyid Ali Murtadha
dan Sayyid Ali Rahmat (Suban Ampel) adalah saudari kandung putri Dwarawati istri Prabu
Brawijaya dari Majapahit yang melahirkan Raden Patah, Sultan Demak pertama.

Nama Sunan Gisik bermakna guru agama atau tokoh yang dihormati yang berada di pesisir.
Sunan adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati, biasanya karena kedudukan
dan jasanya di masyarakat.

Sedangkan dalam catatan Cina, kata sunan yang menjadi panggilan para anggota wali,
dipercaya berasal dari dialek Hokkian ‘Su’ dan ‘Nan’. ‘Su’ merupakan kependekan dari kata ‘Suhu
atau Saihu’ yg berarti guru. Sementara ‘Nan’ berarti berarti selatan.

Gisik dalam bahasa jawa berarti pantai, yakni merujuk pada lokasi dakwah Sunan Gisik berada
di pesisir Gresik yang memiliki geografis perbukitan (giri) sekaligus pesisir (gisik).

Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Gisik melakukan perjalanan dakwah ke tanah Jawa
bersama ayah dan adiknya. Sebagaimana disebutkan diatas, ayah Sunan Gisik adalah Syekh
Maulana Ibrahim Akbar Samarakandi dan adiknya bernama Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan
Ampel).

Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban dan menyebarkan
agama Islam kepada masyarakat sekitar. Akan tetapi, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh
Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan di desa
tersebut yang masih termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.

Selanjutnya Sunan Gisik meneruskan perjalanannya, beliau berdakwah keliling ke daerah


Madura disini beliau mendapat sebutan "Sunan Lembayung Fadhal."
Sunan Lembayung Fadhal menyebarkan agama Islam di Sapudi.

Hingga saat ini, makamnya (petilasan?) tetap dikeramatkan oleh warga Sapudi. Orang
menyebutnya dengan Rato Pandita. Kuburannya saat ini disebut Asta Nyamplong.

Menurut cerita tutur, nama sepudi berasal dari kata-kata sepuhdhewe (bahasa jawa) dengan
artian “yang tua sendiri”atau lebih tua (awal) masuknya agama Islam di Sumenep.

Banyak diantara keturunan beliau menjadi penyebar agama Islam dan juga raja baik di Madura
maupun di Nusa Tenggara. Beliau juga berdakwah di Nusa Tenggara hingga ke Bima, disana
beliau mendapat sebutan “Raja Pandhita Bima”.

Dalam rantai silsilah Raja Bima yang tercantum dalam Bo’ sangaji Kai, beserta penjelasan-
penjelasannya, kita akan dibuat sedikit terkejut dengan munculnya nama-nama dan istilah islam
yang disebutkan.

Hal ini dapat dijumpai pada kepemimpinan Rumata Mawa’a Bilmana. Jadi sebelum Abdul Kahir
I, kerajaan Bima pernah dipimpin oleh seorang Raja Muslim, yakni Sunan Gisik sendiri sebagai
utusan dari kerajaan Majapahit.

Sebagaimana diketahui Sayyid Nurul Alam salah satu paman Sunan Gisik telah diangkat
sebagai Pate Arya Gajahmada di Kelantan dan kerajaan Bima sendiri termasuk salah satu yang
kerajaan ditaklukkan Majapahit.

Nama beliau kurang terekam secara maknawiyah dalam dialek Bima saat itu, karena catatan
mengenai beliau justru ada dalam riwayat resmi keturunan para Walisongo.

Dalam catatan sejarah menjelaskan bahwa beliau merupakan penyebar agama Islam pertama
di Nusa Tenggara Barat yang kelak menjadi pondasi cikal bakal kerajaan Bima yang
bernafaskan Islam “Ahlussunah wal Jamaah”.

Setelah berhasil mengislamkan daerah Madura dan Nusa Tenggara yang masyarakatnya
semula kental suasana Budha dan Hindhu, Sunan Gisik diminta kembali ke Gresik.

Pada 9 April 1419 Syekh Maulana Malik Ibrahim Wafat, beliau menggatikan peran Syekh
Maulana Malik Ibrahim sebagai imam penyebaran Islam di Gresik.
Beliau berdakwah di Gresik mendapat beberapa sebutan yakni “Raja Pandhita Wunut” serta
sebutan yang sangat melekat dan banyak dikenal masyarakat adalah “Raden Santri”.

Sunan Gisik menikah dengan Rara Siti Taltun atau RA. Madu Retno binti Aryo Baribin dan
mempunyai 4 anak bernama :
1. Usman Haji (Sunan Ngudung),
2. Haji Usman,
3. Nyai Gede Tundo, dan
4. Sayyid Ali Musytar (Panembahan Blingi).

1. Usman Haji (Sunan Ngudung) setelah dewasa meminang putri Tumenggung Wilwatikta dan
mempunyai anak bernama Amir Haji atau Dja’far Sodiq atau (Sunan Kudus), dan Dewi Sujinah,
istri Sunan Muria.
Sunan Kudus mempunyai putra Sunan Pakaos. Sedangkan Sunan Pakaos mempunyai putra
sebanyak 12 orang.

Putra yang kesembilan bernama Sayyid Ahmad Baidlawi atau Pangeran Katandur. Saat ini,
makamnya ada di Desa Bangkal, Sumenep dan sampai sekarang lebih dikenal dengan Asta
Karang Sabu.

Syech Ahmad Baidawi (Katandur) diperkirakan datang ke Sumenep, pada abat ke-17. Kala itu,
pemerintahan dipimpin Pangeran Lor dan Pangeran Wetan, sekitar tahun 1550-an. Diantara
keturunan beliau adalah Kyai Kholil Bangkalan.

2. Haji Usman menikah dengan Siti Syari’at mempunyai anak bernama Amir Hasan (Sunan
Manyuran Mandalika, (Lombok) dan mempunyai anak Raden Bindara Dwiryapadha atau Sunan
Paddusan yang menyebarkan Islam pada sekitar tahun 1450an di Parsanga, Sumenep. (Menjadi
menantu Jokotole, Madura).

Parsanga berasal dari dua suku kata, yakni Paregi dan Sanga’. Paregi artinya sumur sedangkan
sanga berarti sembilan yang menunjukkan jumlah dari sumur yang dibuat oleh Raden Bindara
Dwiryapadha dalam menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.

Dijelaskan, bahwa setiap orang yang akan masuk Islam, diharuskan melalui proses dimandikan.
Baru berikrar dengan membaca dua kalimat syahadat dan diajarkan ilmu-ilmu agama. Warga
Madura menyebut “Edudus" atau dimandikan.

Dari kebiasaan itu, Raden Bindara Dwiryapadha mendapat julukan Sunan Paddusan atau orang
yang ahli dalam memandikan warga yang akan masuk Islam.
3. Sedangkan Nyai Gede Tondo menikah dengan Kholifah Husain (Sunan Kertoyoso) Sampang
mempunyai anak Kholifah Suhuroh.

4. Sayyid Ali Musytar (Panembahan Blingi) memimpin pemerintahan di Sumenep menggantikan


R. Agung Rawit, yaitu antara tahun 1386-1399 M dengan gelar Tumenggung Ario Polang Jiwo.

Panembahan Blingi mempunyai dua orang putra bernama Adipodai (Panembahan Winakrama)
dan Adirasa (Panembahan Wirabata).
Dalam buku Babad Songennep (1914) karya Raden Werdisastra, nama Panembahan Blingi atau
Balinge memang disebut sebagai sesepuh di Pulau Sepudi, ayah dari dua bersaudara pertapa
sakti: Adipoday dan Adirasa.

Selain dengan Rara Siti Taltun, Sunan Gisik (Raden Santri) juga menikah dengan Dyah Retno
Maningjum Binti Arya Tejo. Sunan Gisik wafat pada tahun 1317 Saka/1449 M atau bertepatan
dengan 15 Muharam abad ke-8 Hijriyah.

Haul beliau diperingati setiap tanggal 15 Muharram. Beliau dimakamkan di Desa Bedilan,
Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik. Makam beliau hanya berjarak 100 M utara Alon-alon
Gresik, atau hanya berjarak 200 M utara makam Syekh Maulana Malik Ibrahim.

Beberapa nama lain/gelar beliau di antaranya:


1. Raja Pandhita Bima (ketika berdakwah di NTB)
2. Sunan Lembayung (ketika berdakwah di Madura)
3. Raja Pandhita Wunut
4. Dian Santri Ali
5. Raden Samat
6. Raden Atmaja
7. Ngali Murtolo
8. Ali Hutomo
9. Ali Musada

10. Sunan Lembayung Fadl


11. Fadl As-Samarqandiy.

Menurut Tubagus Nur Fadlil Banten, Sunan Kudus tercatat mempunyai 2 istri yaitu dengan putri
Sunan Bonang yaitu Dewi Ruhil dan dengan putri Pangeran Pecat tandha Terung.
Dengan Dewi Ruhil menurunkan seorang putra bernama Amir Hasan.

Sementara yang dengan puteri Pangeran Pecat tandha Terung menurunkan 8 anak, yaitu:
1. Nyi Ageng Pembayun
2. Panembahan Palembang
3. Panembahan Mekaos Onggokusumo
4. Panembahan Kodi
5. Panembahan Karimun
6. Panembahan Joko
7. Ratu Pakojo
8. Prodobinabar menikah dengan Pangeran Poncowati yang menjadi senopatinya Sunan Kudus.

Tetapi menurut silsilah Sunan Ngampeldento di Surabaya yang sampai ke ibunya Hingkang
Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana II dari buku milik Kantor Tepas Darah Dalem
Karaton Yogyakarta.

Susuhunan Kudus menikah tiga kali yaitu dengan:


1. Putri dari Ki Ageng Lepen Padang
2. Putri dari Adipati di Terung,
3. Putri dari Adipati di Kanduruh.

Pernikahan dengan Putri Lepen Padang berputra/putri:


1. Nyahi Hageng Pambayun.
2. Panembahan Kali di Poncowati Demak disebut dengan nama Pangeran Haryo Poncowati
setelah menggantikan ayahandanya bernama Panembahan Kudus.
3. Sayid Shaleh (Pangeran Pakahos) yang menurunkan Chatib Banom Kudus dan Sayid Ahmad
Baidhawi atau Pangeran Katandur Sumenep.
4. Pangeran Pangeran Gegeneng.

Pernikahan dengan Putri Adipati Terung (Raden Kusen) berputra:


1. Amir Hamzah atau PANGERAN PALEMBANG (Kemas Syahid w. 1550) setelah menggantikan
ayah mertua bernama PANEMBAHAN PALEMBANG
Pernikahan dengan Putri Adipati Kanduruh berputrakan:
1. Panembahan Sujak.
2. Ratu Makaya alias Ratu Makasar menikah dengan Pangeran Singobarong.
3. Pangeran Prada Binnabar.

Terlepas dari perbedaan itu ternyata masih banyak keturunan Sunan Kudus yang belum tertulis
seperti Sayyidah R. A. Nyai Segati / Pangeran Bayat putri Sunan Kudus yang membuka desa dan
menyebarkan Islam di Tegalsari Garung Wonosobo dan lainnya.

Kemudian Sayyidah R. A. Nyai Segati menurunkan Sayyidah R. A. Nyai Bekel Karangkobar yang
menurunkan para ulama di Banjarnegara, Wonosobo. Purworejo dan Kebumen. (*)
________________________
Sumber:
- Web nu or id - sejarah Sunan Gisik, Raden Santri.

- Serat Panengen Awit Kangjeng Nabi Adam”, atau "Serat Panengen" milik Kantor Tepas Darah
Dalem Karaton Yogyakarta yang telah ditransliterasikan dari tulisan huruf Jawa ke huruf Latin
oleh Raden Wedana Laksitowandowo pada 3 September 2005 M, halaman 34-42.

1. https://www.netizenword.com/2020/05/kisah-perjalanan-dakwah-sunan-gisik-dan.html

2. https://www.mangkunegara.com/search/label/Sejarah

3. https://twitter.com/masma2d/status/1396819577741340674
Syeikh Muhammad Azhari Al-Falimbani
٢٠٢٠ ‫ يناير‬٣ · 

#Makam zuriat Sunan Kudus di Palembang...Alfatihah


#info
Susuhunan Kudus menikah tiga kali, pertama menikahi putrinya Kyai ageng Lepenpodang,
kedua menikahi putri adipati di Terung,
ketiga menikahi putri adipati di Kanduruh,
berputra semuanya delapan:
1.Putri dari ibu berasal dari Lepen Padang, bernama
- Nyai ageng Pambayun.
2.Laki-laki dari ibu berasal dari Lepen Padang, bernama
- Panembahan Kali rumah tinggal diPoncowati tanah Demak disebut dengan nama Pangeran Haryo
Poncowati setelah menggantikan ayahandanya bernama Panembahan Kudus.
3.Laki-laki dari ibu putrinya Hadipati Terung, bernama
- PANGERAN PALEMBANG setelah menggantikan ayah mertua bernama PANEMBAHAN
PALEMBANG
4.Laki-laki dari ibu berasal dari Lepen Padang, bernama
- Pangeran Pakaos yang menurunkan Chatib Banom Kudus.
5.Laki-laki dari ibu berasal dari Lepen Padang, bernama
- Pangeran Pangeran Gegeneng.
6.Laki-laki dari ibu putrinya adipati Kanduruh, bernama
- Panembahan Sujak.
7.Putri dari ibu putrinya Hadipati Kanduruh, bernama
- Ratu Makaya alias Ratu Makasar menikah dengan Pangeran Singobarong.
8.Laki-laki dari ibu putrinya Hadipati Kanduruh, bernama
- Pangeran Prada Binnabar.
Pertanyaan:
Siapakah PANGERAN PALEMBANG bin Susuhunan Kudus, yang menggatikan ayah mertuanya
PANEMBAHAN PALEMBANG?
sumber: kutipan dari halaman 38-42 hal keturunan Sunan Ngampeldhento di Surabaya yang sampai
ke ibunya Hingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana II dari buku milik Kantor Tepas
Darah Dalem Karaton Yogyakarta yang berjudul “Serat Panengen Awit Kanjeng Nabi Adam”, atau
"Serat Panengen" yang telah ditransliterasikan dari tulisan huruf Jawa ke huruf Latin oleh Raden
Wedana Laksitowandowo pada 3 September 2005 M, setebal 224 halaman...
*
https://www.facebook.com/kyaisheikh/photos/pcb.943093702752813/943093026086214/?
type=3&theater

*
**
**
Ahmad Baso

9 October

Makam seorang tokoh Muslim pembawa Islam dari Bugis Makassar bernama Male Daeng Pandita, bertahun Sya'ban 804
H/Maret-April 1402 M., berlokasi di Alangan Damit, Brunei.

Siapakah Male Daeng Pandita ini? Kita cek data-data historis berikut:
Nama Raja Pandita di abad itu dipakai oleh saudara Kangjeng Sunan Ampel, Sayid Ali Rahmatullah bin Syekh Ibrahim Asmoro.
Tahun 1420 M sudah disebut utusan Makassar ke Malaka dan Pasai.
Naskah Babad Ampel Denta yg berkisah tentang Syekh Ibrahim Asmoro bin Syekh Jumadil Kubro (Sayid al-Husain jamaluddin)
di Campa menyebut jaringan pedagang Bugis di Campa.

Kesimpulan: Male Daeng Pandita kemungkinan adalah salah satu jaringan Islamisasi Nusantara asal Makassar yg dibawa oleh
Syekh Jumadil Kubro (Sayid al-Husain jamaluddin) dan putranya, sebelum kakek Sunan Ampel itu tiba ke Tanah Bugis pasca
1420-an.

barakah ..
***** SUNAN AMPEL.RUMAH NDERES
28 May 2020 · 
Hidrochin Sabarudin

28 May 2020

Silsilah Pangeran Musyarif


Syarif Abdurrahman Panatagama di Arisbanggi adalah seorang ulama yang mempunyai hubungan
kekerabatan dengan Ampel Surabaya, sedangka n hubungannya dengan Raden Mas Ayu Ireng Putri Pangeran Pratanu
Lemah Duwur Penguasa Bhang Kulon Madura Barat... ✍️

Menurut tutur masyarakat dan dari beberapa cacatan sesepuh bahwa Pangeran Musyarif datang ke
Madura pertama mendarat di Pelabuhan Arosbaya yang dikenal dengan Tanjung Modung, yang
sekarang atas dari bekas Pelabuhan tersebut di desa Tolbuk Kecamatan Klampis, kemudian Pangeran
Musyarif melanjutkan perjalanannya ke Jurusan Timur, dan sampailah di suatu tempat Pangeran
Musyarif beristirahat dan mendirikan bangunan kecil yang dinamakan Pelenggihan.

Sampai sekarang tempat tersebut masih dianggap sangat sakrar oleh masyarakat dan apabila ada hari-
hari besar Islam masih digunakan oleh masyarakatb setempat.

Setelah habis melepas lelah dan dahaga, Pangeran Musyarif lantas melanjutkan perjalanannya ke arah
Selatan, sesampainya disuatu desa yang bernama Budha, Pangeran Musyarif mendirikan bangunan
bangunan untuk berteduh dan beristirahat, akhirnya daerah yang ditempati oleh Pangeran Musyarif
dinamakan Kampung Pondok.

Menurut cerita R. Siti Rahmah yang katanya masih ada darah keturunan dari Pangeran Musyarif, bahwa
Pangeran Musyarif yang dalam mengemban misinya dalam menyebarkan Agama Islam di Desa Budha
itu, juga mengajarkan cara bercocok tanam pada rakyat kecil disekitar daerah yang ditempati. Oleh
karena itu maka banyak santri-santrinya yang baru memeluk agama Islam.

Dengan tata krama dan sifat-sifat ajaran Islam yang lemah lembut maka Pangeran Muyarif mendapat
tempat dihati kalangan masyarakat. Sangat dimungkinkan bahwa tempat itu sekarang masih amat
subur, dan pertanian masyarakat desa tidak kalah baiknya dengan daerah-daerah lainnya.

Tidak jauh dari Kampung ± 1 km, arah Selatan, terdapat sebuah mata air yang agak aneh/asing, yang
disebut masyarakat setempat sumber Banjer yang termasuk Wilayah Desa Campor Kecamatan
Arosbaya.
Menurut cerita juru kunci sumber tersebut yaitu Pak Gupat, kolam inilah yang dulunya untuk bersuci
Pangeran Musyarif dan para santrinya, yang pada saat ini masih dianggap angker dan sakrar oleh
masyarakat sekitarnya. Khususnya pada hari malam Jum’at Wage banyak kalangan masyarakat yang
selamatan di mata air tersebut.

Keanehan tersebut yakni air yang keluar dari lubang mata air tesebut diliputi pasir keras, pasir pantai
dan binatang-binatang laut. Hal ini kalau kita hubungkan dengan jaman Prasejarah bahwa dataran yang
pertama kali adalah Gunung Geger masuk akal, sebab daerah sekitarnya masih merupakan pantai
(Riwayat R. Segoro).

Memang tidak jauh dari mata air itu terdapat sumber air yang debitnya lebih besar yaitu Sumber
Kemarong.

Pangeran Musyarif tidak mengenal lelah dan putus asa dalam menyebarkan dan mengenalkan agama
Islam, Ia masuk dan keluar kampung selalu berdakwah dan memberi pengertian serta penjelasan
tentang tata cara dan tata krama dalam agama Islam.

Pada suatu hari Pangeran Musyarif bersama santri-santrinya mencoba menyebarkan agama Islam ke
kampung di balik bukit/Gunung Conggreng (Gunung Kembar), dalam perjalanannya Pangeran Musyarif
sampailah pada puncak gunung tersebut, dan beristirahat disana. Pada waktu itu, waktu mendirikan
sholat tersebut telah sampai pada waktunya.

Pangeran Musyarif lantas beradzan di puncak Gunung Conggreng/Gunung Kembar, dengan suara yang
syahdu dan sangat asing bagi orang-orang kampung dibalik bukit itu dan sangat terheran-heran, bahkan
ada yang menertawai beliau. Setelah melaksanakan shalat bersama dengan para santrinya, Pangeran
Musyarif keudian melanjutkan perjalanan ke arah Timur dan sesampainya di suatu tempat, para
pengikutnya merasa kehausan, setelah mencari air kesana kemari tidak menemukan, maka para santri
tersebut memohon kepada Pangeran Musyarif agar memberikan petunjuk kepadanya.

Dengan Ridho Allah SWT, Pangeran Musyarif mencoba berbuat sesuatu untuk membuka bongkahan
batu yang berada tepat dihadapannya., maka keluarlah air yang sangat jernih, dan sumur/bekas
bongkahan batu itu dinamakan Sumur Complong yang sekaran terletak di wilayah Desa Kampak
Kecamatan Geger.

Sumur tersebut masih dikeramatkan oleh penduduk setempat, sumur bertuah itu bila pada hari Jum’at
Wage banyak orang yang mengambil airnya, konon air tersebut bisa dijadikan syarat dalam
menyembuhkan penyakit apapun.

Tidak lama setelah itu, usaha Pangeran Musyarif untuk mengislamkan dan menyebarkan agama Islam
tercium oleh Penguasa Plakaran (Kiai Pragalbo) yang pada waktu itu masih beragama Hindu, maka
ditugaskannya punggawa untuk memanggil dan menangkap Pangeran Musyarif. Telah dikisahkan bahwa
utusan pertama telah gagal untuk menangkap Pangeran Musyarif, dan barulah utusan yang kedua
kalinya diterima oleh Pangeran Musyarif, yang isinya Pangeran Musyarif mau menghadap Penguasa
Plakaran asalkan (dengan syarat) binatang-binatang yang menimbulkan najis supaya disingkirkan (anjing
dan babi), dan syarat itupun telah dipenuhi oleh Penguasa Plakaran.

Sesampainya di Plakaran, maka Pangeran Musyarif menjelaskan dan memberikan contoh-contoh tindak
tanduk dalam agama Islam. Setelah Penguasa Plakaran dan Putra Mahkota (R. Pratanu) mengerti dan
paham tentang ajaran baru itu, maka Pangeran Musyarif diperkenankan tinggal di kalangan Kraton. Dan
menurut babat-babat setelah itu Pangeran Musyarif diangkat sebagai Penghulu Kerajaan.
Dalam pemerintahannya Pusat Pemerintahan dipindahkan ke Arosbaya dengan nama Kota Anyar, hal ini
terjadi pada tahun 1531 – 1592 Masehi.

Setelah wafatnya Pangeran Pratanu (Ki Lemah Duwur) Penguasa Bhangkulon Madura Barat di
Arisbanggi, diganti oleh puteranya yaitu : Pangeran Tengah tahun 1592-1620.
Pada jaman beliau memerintah di Arosbaya, terjadi peristiwa berdarah yaitu tanggal 6 Desember 1596
dan tanggal 5 Pebruari 1597.

Pada tanggal 6 Desember 1596, 4 buah kapal VOC untuk pertama kalinya berlabuh di Arosbaya yaitu :
1. Amsterdam,
2. Houtman,
3. Kaerel, dan
4. Mauritius
Utusan Pangeran Tengah yaitu Kiyai Ronggo dan P. Musyarif, karena kesalah pahaman, mestinya kedua
orang utusan itu seharusnya naik kekapal Mauritius, tetapi utusan tersebut naik ke kapal Amsterdam.

Terjadilah perkelahian dan kedua utusan Pangeran Tengah tersebut gugur.

Kemudian pembalasanpun terjadi terhadap peristiwa tangal 6 Desember 1596 itu, dan terjadi pada
tanggal 5 Pebruari 1597, ketika kapal belanda berlabuh di Arosabaya langsung diserbu oleh Masyarakat
Arosbaya.

Pangeran Tengah mempunyai putra bernama R. Prasena, dari Ibu Permaisuri Ratu Ibu Madegan
Sampang.

Pangeran MAS 1621-1624, Beliau adalah adik Pangeran Tengah, diangkat oleh Pangeran Tengah, karena
putranya R. Prasena masih kecil dititipkan di Madegan Sampang.

Pada masa pemerintahannya Pangeran Mas Kraton Bhangkulon Madura Barat di Arisbanggi mendapat
serangan dari Sultan Agung Mataram, yang akhirnya Arosbaya jatuh ke Mataram.

R. Prasena Pangeran Tjakraningrat I Tahun 1624 - 1648.

Raden Prasena, putera Pangeran Tengah dari Arosbaya disertai Pangeran Sentomerto, saudara dari
ibunya yang berasal dari Sampang, dibawa oleh Panembahan Juru Kitting beserta 1000 orang Sampang
lainnya ke Mataram, Di Mataram R. Prasena diterima dengan senang hati oleh Sultan Agung, yang
selanjutnya diangkat sebagai anak.

Bahkan, kemudian R. Prasena dinobatkan sebagai penguasa Madura yang bergelar Tjakraningrat I, dan
dianugerahi hadiah uang sebesar 20 ribu gulden dan berhak memakai payung kebesaran berwarna
emas. Sebaliknya, Tjakraningrat I diwajibkan hadir di Mataram setahun sekali. Karena selain menjadi
penguasa Madura, dia juga punya tugas-tugas penting di Mataram.

Sementara pemerintahan di Sampang dipercayakan kepada Pangeran Santomerto.

Tjakraningrat I kemudian menikah dengan adik Sultan Agung, namun hingga istrinya meninggal dia tidak
mendapat keturunan.
Kemudian R. Prasena Tjakraningrat I menikah dengan Ratu Ibu Sjarifah Ambami, yang masih keturunan
Sunan Giri, dari perkawinannya mempunyai tiga orang anak, yaitu : 1. RA. Atmodjonegoro,
2. R. Undagan dan 3. Ratu Mertoparti.

R. Prasena juga dikawinkan dengan Putri Sultan Agung Kanjeng Ratu Mas Sekar mempunyai putra dan
putri :
1. Raden Demang Melayakusuma (Ayah R. Nila Prawata Pangeran Trunojoyo)
2. Raden Ayu Ketib Grobogan

Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645 yang kemudian diganti oleh Amangkurat I, R. Prasena
Tjakraningrat I harus menghadapai pemberontakan Pangeran Alit, adik raja.

Tusukan keris Setan Kober milik Pangeran Alit menyebabkan Tjakraningrat I tewas seketika, demikian
pula dengan puteranya RA Atmojonegoro, begitu melihat ayahnya tewas dia segera menyerang
Pangeran Alit, tapi dia bernasib sama seperti ayahnya.

Sehingga beliau dikenal dengan sebutan R. Prasena Pangeran Tjakraningrat I Panembahan Sidhingmagiri
ditempat Astana Imogiri inilah beserta putranya RA. Atmodjonegoro beliau dimakamkan beserta putra²
Sultan Agung.

Dalam perkawinannya Pangeran Musyarif dengan Raden Mas Ayu Ireng, Pangeran Musyarif mempunyai
putra yang bernama :
1. Syarif Kaffie yang kemudian menyebarkan agama Islam di Pulau Pinang (Philipina),
2. Raden Masigit yang dijadikan putra menantu oleh Pangeran Tjakraningrat IV Panembahan
Sidhingkaap,
menantu itu kemudian bergelar Raden Ongkowidjoyo, berputra : Raden Ario Suriowinoto, yang diambil
putra menantu oleh Panembahan Tjakradiningrat V (Sidho Mukti) dengan putrinya yang bernama Raden
Ayu Angger, akan tetapi tidak mempunyai keturunan. Tetapi dengan selirnya mempunyai dua orang
putra yang bernama :
1. Raden Suriowinoto dan 2. Raden Surikusumo

Demikian sekilas biografi beliau Pangeran Musyarif Syarif Abdurrahman Panatagama... Maaf apabila ada
tutur kata yang kurang dalam penjelasan tersebut.

Sumber :
https://bangkalanmemory.blogspot.com/…/penyebaran-agama-isl…

#LaskarTjakraningrat
**
****
** Hidrochin Sabarudin Yang Jelas kalau dari pihak Kraton Bhangkulon sudah saya tulis di TS itu, dari Perkawinan
dengan Raden Mas Ayu Ireng berputra 2 orang :
1. Sayyid Kaffie yang diutus menyebar Agama Islam ke Philippina
2. Raden Sayyidin yang bergelar Pangeran Tengah Arosbaya (bukan ayahanda R. Prasena Pangeran Tjakraningrat I
Panembahan Sidhingmagiri) kemudian kawin dengan cucu R. Djoerit Pangeran Tjakraningrat IV Panembahan
Sidhingmagiri putri dari Pangeran Padmonegoro**
****
SUNAN AMPEL.RUMAH NDERES
24 May 2020 · 
Teguh Tembang Macapat

24 May 2020

Islam masa lampau Vs Kapitayan

Langar dari kata sangar pamujan/sentong kosong..(sang hayang taya) sang maha ada
Bisa di artikan LA ILA HAILLALLOH,,tiada tuhan selain Alloh(ada)

Begitulah Mbah sunan Ampel mengetrapkan Islam di Nusantara mengusung budaya lokal
Dalam konsep (topo Pendem)Alloh tandur PENGERAN

Klo kapitayan tempat ibadah ny di sebut sangar pamujan/sentong kosong,,


Maka Mbah sunan apel juga membuat bangunan segi empat mirip sentong kosong dan sangar pamujan
Yg di sebut LANGGAR..

Klo kapitayan upacara penyembahan d pimpin


Sesepuh di ikuti SAISTRI..perempuan dan laki laki..
Maka Mbah sunan apel juga mengetrapkan sholat dengan iman dan di ikuti SAITRI
SAITRI DI RUBAH BELIO MENJADI SANTRI(dari kata SAITRI) ustoyon muriten2..
Jika kapitayan menyebut,,tuhan dengan sebutan sang hayang taya,, maka Mbah sunan Ampel menyebut Alloh dengan sebutan
pengeran..

Jika kapitayan Mempercayai..kematian seseorang dengan konsep mukso rengkarnasi ngaben,,


Maka Mbah sunan Ampel,,menerangkan kalimat inalilahi,waina'nirojiun,, dengan bahasa lokal dengan sebutan Ojo lali Sangkan
PARANING dumadi..mati dalam iman dan Islam kembali kepada sang pengeran..

Dengan Arip ny Mbah suana mengetrapkan Islam dengan mengusung budaya lokal,,saling menjaga tidak menabrakan peradapan
yg ada
Maka Islam mulai di terima di Jawa,,,
Dan Islam mulai berkembang,,,

Dan Islam di teruskan oleh murid ny sunan AMPEL,,


bergelar Mbah sunan BONANG..
Jika kapitayan berdoa dengan berkidung
Maka Mbah sunan BONANG melantunkan ayat Qur'an dengan cengkok KiDUNG..

Karna kidung adalah doa,, dengan hati tenang dan hening ,,


Maka tercipta lah irama Ning Nang neng Gung,,(kidung)
Yang di serap Mbah sunan Bonang menjadi alat musik gamelan,,(semua akan kembali kepada sang pengeran ,gamelan)

Gamelan adalah di ciptakan belio untuk dakwah Islam membercantik budaya lokal yaitu kidung ,,kebiasaan orang Jawa berdoa
dengam kidung,,,ngending,,,
Maka Islam mulai tersebar luas di nusantara

Dan Akir ny Islam di teruskan oleh murit ny sunan BONANG,,,


yang bergelar sunan KALI JAGA
Dalam konsep yang sudah ada,,,
Dengan TEMBUNG TEMBANG DAN TATANAN

Tembung mu kui Urep kui Urup

Tembang mu kui tembang macapat(11 perjalanan manusia dari kandungan sampai Ke,,liang lahat)

Tatanan mu kui pagelaran wayang kulit..


Mengusung cerita baik dan buruk kehidupan manusia
Dan akan mendapat saafaat denga crita jimat jamus KLIMO SODO..

Itulah ringkasan ulama Nusantara di jaman kewalian,,tidak menabrakan budaya dan tradisi
Maka Islam berkembang luas sampai detik ini

********************* Perjalanan Dakwah Sunan Gisik dan para Dzurriyatnya di Pelosok Nusantara
Sunan Gisik memiliki nama asli Sayyid Fadhal Ali Murtadlo, beliau adalah putra dari Syaikh
Maulana Ibrahim As-Samarqandi bin Jamaluddin Akbar Khan bin Ahmad Jalaludin Khan bin
Abdullah Khan bin Abdul Malik al-Muhajir bin Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Sohibul
Mirbath bin Ali Kholi’ Qosam bin Alawi ats-Tsani bin Muhammad Sohibus Saumi’ah bin Alawi
Awwal bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali
Uraidhi bin Ja’far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husein bin
Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah az-Zahra binti Nabi Muhammad SAW.
Ibu beliau bernama Dewi Candrawulan (Chandravati). Dewi Candrawulan merupakan putri Sultan
Kuthara (Kerajaan Champa) yang bernama Bong Tak Keng dari pernikahannya dengan Putri
Indravarman VI (Putri Raja Champa). Bong Tak Keng berasal dari Suku Hui beragama Islam yang
mendapat amanah menjadi pimpinan Komunitas Cina di Champa sekaligus Duta Cina untuk Champa
oleh Laksamana Cheng Ho (Sam Po Bo/Haji Mahmud Shams) dari Dinasti Ming.
Dewi Candrawulan (istri Sayyid Ibrahim Akbar Samarkandi) yang berputra Sayyid Ali Murtadha dan
Sayyid Ali Rahmat (Suban Ampel) adalah saudari kandung putri Dwarawati istri Prabu Brawijaya
dari Majapahit yang melahirkan Raden Patah, Sultan Demak pertama.
Nama Sunan Gisik bermakna guru agama atau tokoh yang dihormati yang berada di pesisir. Sunan
adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya
di masyarakat.
Sedangkan dalam catatan Cina, kata sunan yang menjadi panggilan para anggota wali, dipercaya
berasal dari dialek Hokkian ‘Su’ dan ‘Nan’. ‘Su’ merupakan kependekan dari kata ‘Suhu atau Saihu’
yg berarti guru. Sementara ‘Nan’ berarti berarti selatan.
Gisik dalam bahasa jawa berarti pantai, yakni merujuk pada lokasi dakwah Sunan Gisik berada di
pesisir Gresik yang memiliki geografis perbukitan (giri) sekaligus pesisir (gisik).
==============================
Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Gisik melakukan perjalanan dakwah ke tanah Jawa
bersama ayah dan adiknya. Sebagaimana disebutkan diatas, ayah Sunan Gisik adalah Syekh Maulana
Ibrahim Akbar Samarakandi dan adiknya bernama Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel).
Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban dan menyebarkan agama
Islam kepada masyarakat sekitar. Akan tetapi, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim
Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih
termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.
Selanjutnya Sunan Gisik meneruskan perjalanannya, beliau berdakwah keliling ke daerah Madura
disini beliau mendapat sebutan "Sunan Lembayung Fadhal." Sunan Lembayung Fadhal menyebarkan
agama Islam di Sapudi.
Hingga saat ini, makamnya (petilasan?) tetap dikeramatkan oleh warga Sapudi. Orang menyebutnya
dengan Rato Pandita. Kuburannya saat ini disebut Asta Nyamplong.
Menurut cerita tutur, nama sepudi berasal dari kata-kata sepuhdhewe (bahasa jawa) dengan artian
“yang tua sendiri”atau lebih tua (awal) masuknya agama Islam di Sumenep.
Banyak diantara keturunan beliau menjadi penyebar agama Islam dan juga raja baik di Madura
maupun di Nusa Tenggara. Beliau juga berdakwah di Nusa Tenggara hingga ke Bima, disana beliau
mendapat sebutan “Raja Pandhita Bima”.
Dalam rantai silsilah Raja Bima yang tercantum dalam Bo’ sangaji Kai, beserta penjelasan-
penjelasannya, kita akan dibuat sedikit terkejut dengan munculnya nama-nama dan istilah islam yang
disebutkan.
Hal ini dapat dijumpai pada kepemimpinan Rumata Mawa’a Bilmana. Jadi sebelum Abdul Kahir I,
kerajaan Bima pernah dipimpin oleh seorang Raja Muslim, yakni Sunan Gisik sendiri sebagai utusan
dari kerajaan Majapahit.
Sebagaimana diketahui Sayyid Nurul Alam salah satu paman Sunan Gisik telah diangkat sebagai
Pate Arya Gajahmada di Kelantan dan kerajaan Bima sendiri termasuk salah satu yang kerajaan
ditaklukkan Majapahit.
Nama beliau kurang terekam secara maknawiyah dalam dialek Bima saat itu, karena catatan
mengenai beliau justru ada dalam riwayat resmi keturunan para Walisongo.
Dalam catatan sejarah menjelaskan bahwa beliau merupakan penyebar agama Islam pertama di Nusa
Tenggara Barat yang kelak menjadi pondasi cikal bakal kerajaan Bima yang bernafaskan Islam
“Ahlussunah wal Jamaah”.
Setelah berhasil mengislamkan daerah Madura dan Nusa Tenggara yang masyarakatnya semula
kental suasana Budha dan Hindhu, Sunan Gisik diminta kembali ke Gresik.
Pada 9 April 1419 Syekh Maulana Malik Ibrahim Wafat, beliau menggatikan peran Syekh Maulana
Malik Ibrahim sebagai imam penyebaran Islam di Gresik. Beliau berdakwah di Gresik mendapat
beberapa sebutan yakni “Raja Pandhita Wunut” serta sebutan yang sangat melekat dan banyak
dikenal masyarakat adalah “Raden Santri”.
===============================
Sunan Gisik menikah dengan Rara Siti Taltun atau RA. Madu Retno binti Aryo Baribin dan
mempunyai 4 anak bernama:
1.. Usman Haji (Sunan Ngudung),
2. Haji Usman,
3. Nyai Gede Tundo, dan
4. Sayyid Ali Musytar (Panembahan Blingi)
1. Usman Haji (Sunan Ngudung) setelah dewasa meminang putri Tumenggung Wilwatikta dan
mempunyai anak bernama Amir Haji atau Dja’far Sodiq atau (Sunan Kudus), dan Dewi Sujinah, istri
Sunan Muria.
Sunan Kudus mempunyai putra Sunan Pakaos. Sedangkan Sunan Pakaos mempunyai putra sebanyak
12 orang. Putra yang kesembilan bernama Sayyid Ahmad Baidlawi atau Pangeran Katandur. Saat ini,
makamnya ada di Desa Bangkal, Sumenep dan sampai sekarang lebih dikenal dengan Asta Karang
Sabu.
Syech Ahmad Baidawi (Katandur) diperkirakan datang ke Sumenep, pada abat ke-17. Kala itu,
pemerintahan dipimpin Pangeran Lor dan Pangeran Wetan, sekitar tahun 1550-an. Diantara
keturunan beliau adalah Kyai Kholil Bangkalan.
2. Haji Usman menikah dengan Siti Syari’at mempunyai anak bernama Amir Hasan (Sunan
Manyuran Mandalika, (Lombok) dan mempunyai anak Raden Bindara Dwiryapadha atau Sunan
Paddusan yang menyebarkan Islam pada sekitar tahun 1450an di Parsanga, Sumenep. (Menjadi
menantu Jokotole, Madura).
Parsanga berasal dari dua suku kata, yakni Paregi dan Sanga’. Paregi artinya sumur sedangkan sanga
berarti sembilan yang menunjukkan jumlah dari sumur yang dibuat oleh Raden Bindara
Dwiryapadha dalam menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.
Dijelaskan, bahwa setiap orang yang akan masuk Islam, diharuskan melalui proses dimandikan. Baru
berikrar dengan membaca dua kalimat syahadat dan diajarkan ilmu-ilmu agama. Warga Madura
menyebut “Edudus" atau dimandikan.
Dari kebiasaan itu, Raden Bindara Dwiryapadha mendapat julukan Sunan Paddusan atau orang yang
ahli dalam memandikan warga yang akan masuk Islam.
3. Sedangkan Nyai Gede Tondo menikah dengan Kholifah Husain (Sunan Kertoyoso) Sampang
mempunyai anak Kholifah Suhuroh.
4. Sayyid Ali Musytar (Panembahan Blingi) memimpin pemerintahan di Sumenep menggantikan R.
Agung Rawit, yaitu antara tahun 1386-1399 M dengan gelar Tumenggung Ario Polang Jiwo.
Panembahan Blingi mempunyai dua orang putra bernama Adipodai (Panembahan Winakrama) dan
Adirasa (Panembahan Wirabata).
Dalam buku Babad Songennep (1914) karya Raden Werdisastra, nama Panembahan Blingi atau
Balinge memang disebut sebagai sesepuh di Pulau Sepudi, ayah dari dua bersaudara pertapa sakti:
Adipoday dan Adirasa.
Selain dengan Rara Siti Taltun, Sunan Gisik (Raden Santri) juga menikah dengan Dyah Retno
Maningjum Binti Arya Tejo. Sunan Gisik wafat pada tahun 1317 Saka/1449 M atau bertepatan
dengan 15 Muharam abad ke-8 Hijriyah.
===============================
Haul beliau diperingati setiap tanggal 15 Muharram. Beliau dimakamkan di Desa Bedilan,
Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik. Makam beliau hanya berjarak 100 M utara Alon-alon Gresik,
atau hanya berjarak 200 M utara makam Syekh Maulana Malik Ibrahim.
Beberapa nama lain/gelar beliau di antaranya:
1. Raja Pandhita Bima (ketika berdakwah di NTB)
2. Sunan Lembayung (ketika berdakwah di Madura)
3. Raja Pandhita Wunut
4. Dian Santri Ali
5. Raden Samat
6. Raden Atmaja
7. Ngali Murtolo
8. Ali Hutomo
9. Ali Musada
10. Sunan Lembayung Fadl
11. Fadl As-Samarqandiy
===============================
Menurut Tubagus Nur Fadlil Banten, Sunan Kudus tercatat mempunyai 2 istri yaitu dengan putri
Sunan Bonang yaitu Dewi Ruhil dan dengan putri Pangeran Pecat tandha Terung.
Dengan Dewi Ruhil menurunkan seorang putra bernama Amir Hasan.
Sementara yang dengan puteri Pangeran Pecat tandha Terung menurunkan 8 anak, yaitu:
1. Nyi Ageng Pembayun
2. Panembahan Palembang
3. Panembahan Mekaos Onggokusumo
4. Panembahan Kodi
5. Panembahan Karimun
6. Panembahan Joko
7. Ratu Pakojo
8. Prodobinabar menikah dengan Pangeran Poncowati yang menjadi senopatinya Sunan Kudus.
Tetapi menurut silsilah Sunan Ngampeldento di Surabaya yang sampai ke ibunya Hingkang Sinuhun
Kangjeng Susuhunan Paku Buwana II dari buku milik Kantor Tepas Darah Dalem Karaton
Yogyakarta, Susuhunan Kudus menikah tiga kali yaitu dengan:
1. Putri dari Ki Ageng Lepen Padang
2. Putri dari Adipati di Terung,
3. Putri dari Adipati di Kanduruh
Pernikahan dengan Putri Lepen Padang berputra/putri:
1. Nyahi Hageng Pambayun.
2. Panembahan Kali di Poncowati Demak disebut dengan nama Pangeran Haryo Poncowati setelah
menggantikan ayahandanya bernama Panembahan Kudus.
3. Sayid Shaleh (Pangeran Pakahos) yang menurunkan Chatib Banom Kudus dan Sayid Ahmad
Baidhawi atau Pangeran Katandur Sumenep.
4. Pangeran Pangeran Gegeneng.
Pernikahan dengan Putri Adipati Terung (Raden Kusen) berputra:
1. Amir Hamzah atau PANGERAN PALEMBANG (Kemas Syahid w. 1550) setelah menggantikan
ayah mertua bernama PANEMBAHAN PALEMBANG
Pernikahan dengan Putri Adipati Kanduruh berputrakan:
1. Panembahan Sujak.
2. Ratu Makaya alias Ratu Makasar menikah dengan Pangeran Singobarong.
3. Pangeran Prada Binnabar.
Terlepas dari perbedaan itu ternyata masih banyak keturunan Sunan Kudus yang belum tertulis
seperti Sayyidah R. A. Nyai Segati / Pangeran Bayat putri Sunan Kudus yang membuka desa dan
menyebarkan Islam di Tegalsari Garung Wonosobo dan lainnya.
Sayyidah R. A. Nyai Segati menurunkan Sayyidah R. A. Nyai Bekel Karangkobar yang menurunkan
para ulama di Banjarnegara, Wonosobo. Purworejo dan Kebumen. Wallahu A'lam.
===============================

****  October 2020 · 

Gunung Srandil Dalam Riwayat Sunan Pasocen Madura


"Munculnya Satrio Piningit Sang Ratu Adil"

Gunung Srandil Mandala Giri merupakan tempat sakral yang termaktub dalam sebuah kitab salah satu
leluhur Madura. Gunung yang memuat nilai mistis-religius-budaya ini terdapat di desa Glempangpasir
kecamatan Adipala kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Gunung Srandil ini sendiri merupakan sebuah bukit
berhutan yang di dalamnya terdapat banyak tempat-tempat penembahan atau dalam bahasa Madura yaitu
Pasocen yang artinya tempat bersuci atau bertapa.

Srandil mengandung arti "Sarana Lan Adil" yaitu tempat untuk mengasah diri untuk mencari keadilan apabila
sudah tidak ada jalan keluar untuk sebuah masalah yang sulit dipecahkan. Srandil merupakan tempat bertapa
Panceraning Bumi atau mencari suatu ketenangan batin agar dapat menemukan penyelesaian masalah.

Gunung Srandil juga sebagai salah satu obyek yang dikeramatkan oleh kalangan masarakat yang
mempercayainya. Tidak hanya dari kalangan orang-orang penganut kepercayaan (Kejawen) yang berziarah ke
tempat ini, banyak juga dari kalangan agama Hindu, Budha dan Islam. Bukan dari daerah sekitar tempat ini
saja yang berziarah ke Srandil ada juga dari luar Jawa, bahkan ada pula dari Luar Negeri.

Konon Srandil merupakan pepunden tertua di tanah Jawa. Srandil juga merupakan tempat penyebaran
agama Islam di daerah pesisir selatan. Pada masa itu di daerah Srandil kebanyakan dari penduduknya
beragama Hindu, Budha dan sebagian merupakan penganut kepercayaan. Bukti dari penyebaran agama Islam
pada masa itu, di Srandil yaitu dengan adanya salah satu pepunden Syekh Maulana Murahidi (Sultan Marodi)
atau dikenal dengan Mbah Gusti Agung.

Dalam kitab riwayat Sunan Pasocen Bangkalan Madura yang masih keturunan Sunan Ampel Denta,
disebutkan bahwa Sultan Marodi bersaudara dengan Sultan Saldin atau Syekh Maulana Salahuddin Mekkah.
Keduanya merupakan putra Sultan Maulana Maghribi yang masih menyambung pada garis keturunan
Rasulullah Muhammad SAW.

Sultan Marodi memilih Srandil sebagai tempat pertapaan dan khalwatnya. Dari gambaran tempat ini
diramalkan, jika telah sampai waktu yang telah dijanjikan, apabila telah redup cahaya bulan dan bintang.
Serta air berubah warnanya menjadi merah, dari Nusa Jawi akan muncul sang ratu adil. Para raja sama-sama
menantikan kedatangannya. Ia akan muncul di tahun Alif. Sang terpilih akan pergi ke Mekkah dengan
membawa pasukannya.

Ratu Adil dalam pitutur Jawa dikenal juga Satrio Piningit, yang merupakan sebuah ramalan akan datangnya
seorang pemimpin yang menjadi simbol kemakmuran. Ia akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakatnya. Satrio piningit haruslah sinisihan wahyu yang memiliki wahyu keprabon. Dengan sifatnya
yang jujur, tegas, ramah hati, dan cinta kedamaian. Dia disebut juga "Herucakra".

Ramalan tentang datangnya Ratu Adil ini awalnya berasal dari Prabu Jayabaya, penguasa Kediri yang populer
karena digubah oleh Ranggawarsito pada masa Kasuhunan Surakarta. Pertanda kedatangan Ratu Adil adalah
adanya kemelut sosial, malapetaka alam, serta jatuhnya raja besar yang ditakuti. Pemerintahan yang mengganti
raja yang ditakuti tidak berlangsung lama.
Ada 7 macam satrio piningit yang disebutkan. Ketujuh orang tersebut masing-masing: Satrio Kinunjoro
Murwo Kuncoro; Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar; Satrio Jinumput Sumelo Atur; Satrio Lelono
Topo Ngrame; Satrio Piningit Hamong Tuwuh; Satrio Boyong Pambukaning Gapuro; dan Satrio Pinandito
Sinisihan Wahyu.
Secara simbolis, Ratu Adil digambarkan memakai senjata trisula weda. Dalam artian, pengetahuan bermata
tiga yaitu kebenaran, kebijaksanaan, dan keadilan (orang yang memiliki sifat berbudi luhur, bijaksana dan
berwawasan).
Tak hanya itu, dalam ugo wangsit Siliwangi pun tertulis jelas bahwa Ratu Adil atau budak angon (kiasan dari
orang atau golongan rakyat biasa). Ia lahir dari golongan rakyat yang telah lama melupakan keningratannya. Ia
akan ditemani oleh pemuda berjanggut (kiasan untuk orang yang dekat sebagai penasehat). Banyak cerita
tentang sosok Ratu Adil. Tak terkecuali, sosok Ratu Adil ini muncul dan diceritakan dalam kitab peninggalan
leluhur Madura, Sunan Pasocen. Bahkan, sosok sang Ratu Adil lebih jelas runtutan ceritanya.
Selain itu, Pepunden utama Gunung Srandil ini adalah Eyang Semar atau Kaki Tunggul Sabdo Jati Doyo
Amung Rogo. Sedikitnya ada tujuh titik pepunden atau leluhur yang bersemayam, ketujuh titik tersebut terbagi
dalam dua lokasi, yaitu lokasi di bawah ada lima titik pepunden dan dua titik lainnya ada di puncak Gunung
Srandil.
Tiga ajaran utama di balik simbol Kaki Semar di gunung Srandil.
Pertama, Semar yang menjadi pamomong Pandhawa itu memiliki makna simbolis sebagai manusia yang telah
mampu mengendalikan panca inderanya. Dengan mengendalikan panca inderanya, manusia tidak akan mudah
terpikat dengan kemilaunya dunia hingga terperosok ke jurang kesengsaraan.
Kedua, Semar yang bernama lain Badranaya (Nayantaka) itu memiliki makna simbolis sebagai manusia yang
telah mampu mengendalikan empat nafsunya, yakni: Amarah, Lawwamah, Su'iyah, dan Mutmainah. Dengan
mengendalikan seluruh nafsunya itu, manusia niscaya berhasil menjalani hidup sebagaimana yang
diwejangkan Ranggawarsito melalui Serat Kalatidha-nya. Di dalam hidup, manusia hendaklah selalu eling lan
waspada.
Ketiga, Semar merupakan simbolisasi seorang kawulaalit. Manusia yang selalu bersikap rendah hati; bersifat
jujur, sabar, dan penuh kasih pada sesama, serta berpenampilan sederhana. Dengan kepribadiannya itu,
manusia akan menjadi kawula ajiwa bathara. Manusia yang akan pro aktif turut hamemayu hayuning bawana.
Menjaga alam semesta dari kehancuran yang diakibatkan oleh kerakusan manusia. Wallahu a'lamu. (*)
#SunanPasocen
#LaskarTjakraningrat
#MerawatNusantara
#MenjagaNKRI
Sumber Hidrochin Sabaruddin
** RAHASIA KALIMAT SYAHADAT & HONOCOROKO
RAHASIA KALIMAT SYAHADAT & HONOCOROKO
Sebenarnya Ma’rifat itu terdapat pada kata kehendak, itu kehendaknya Allah, gerak, sabda,
semua itu kemauan Allah (Makarti – Jawa), menurut kenyataan yang dikehendaki sebelum
dikerjakan sudah siap, sebelum ditunggu sudah datang; umpama orang akan pergi ke
Yogyakarta, baru berfikir mencari angkot, angkot datang mencari sewa dan tanya dimana
Yogyakarta ya mas?, lalu orang tadi naik angkot ke Yogya, perjalanan itu berarti kehendak
Allah, orang itu menyatu dengan Dat tadi (Allah), sehingga satu sama lain
tidak merasakan hanya menurut kehendaknya. Jadi Dat yang ada pada orang tadi tidak susah-
susah. Yang tadi sudah diterangkan bila Hakikatnya Dat itu ya Afhngal dan Asmanya, artinya ya
aku ya kamu adalah satu, maka tidak mengherankan bila orang itu dikuasai oleh Dat Allah,
kuasa mempercepat, kuasa membelokan tujuan, maka dari orang sebenarnya utusan Dat (sifat
Dat), maka dari itu merasa menjadi utusan, lalu memiliki sifat kuasa-Nya, jadi harus
menyembah dan memuliakan terhadap Dat Allah.
Bisa melaksanakan apa saja dasar kekuasaan, jika makhluk itu utusan Dat yang wajib adanya.
Dibawah ini adanya Wiridan itu artinya kalimat Sahadat yang sudah cocok dengan kebudayaan
Jawa akan diterangkan untuk rumah tangga (tingkatan).
Ucapan Rasullullah terhadap Muaz : “Ma Min Ahadin Yashaduan la illaha illallahu washadu
anna muhammadan rasullullahi sidqan min qalbihi illa ahrramahu allahu alla annari “, satu-
satunya orang yang mengucapkan kalimat Sahadat samapai kehati terhadap Allah pasti tidak
akan tersiksa dineraka.
Wiridan (ajaran) Sahadat begini : “Asyhadu alla illaha illallah wa asyhadu anna muhammadan
rasullullah”, yang artinya aku bersaksi sebenarnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan aku
bersaksi sebenarnya Muhammad itu utusan Allah.
Wiridan (ajaran) rahasia Carakan HO-NO-CO-RO-KO; “Honocoroko Dotosowolo Podojoyonya
Mogobothongo”, artinya ada utusan dua, laki dan perempuan (wanita) berebut kekuatan, sama
saktinya (kuatnya) bergumul mati sama-sama menjadi bangkai (terpuruk) lunglai.
Yang akan diterangkan terlebih dahulu tentang dua kalimat Sahadat dulu, dan selanjutnya
disusul dengan Carakan;
I. Kalimat Sahadat
Di tanah Jawa jika ada temukan (mempertemukan) pengantin umumnya mengucapkan Kalimat
Sahadat, walaupun bukan bahsa Jawa tetapi sudah tradisi menjadi kebudayaan dari masa
terdahulu pada zaman para wali. Dan kalimat Sahadat itu ucapan orang Islam yang belum
mengetahui (pelajaran) rukun-rukun Islam. Jadi mengakui menyembah kepada Allah itu harus
mengetahui arti kalimat Sahadat, lalu di zaman wali kalimat Sahadat itu dipakai pertamanya
mendapat wejangan terhadap siapapun orangnya yang mau berguru, walaupun bahasa Arab
kalimat Sahadat itu menjadi saksi Dat Maha Agung dan Muhammad itu utusan-Nya, arinya
sudah meliputi alam semesta. Di tanah Jawa bahasa Arab itu tinggal memakai (pinjam) dan
bisa dengan bahasa apa saja yang artinya sama. Dan bahasa-bahasa tadi hanya sebagai
tanda. Di kalimat tadi ada kata Muhammad yan mempunyai makna sendiri, sebenarnya Nabi
Muhammad namanya ada 4, dan kata syair kata Hamdun (memuji) Hamida (di puji) lengkap
nama-nama tadi seperti dibawah ini :
a. Hamid, artimya yang di puji.
b. Mahmud, artinya yang mendapat pujian.
c. Ahmad, artinya yang lebih di puji.
d. Muhammad, artinya yang memiliki pujian.
Di dalam kalimat Sahadat tadi Muhammad tidak bisa di ganti dengan kata lain, walaupun ada
akan tetapi artinya yang dipakai ada 2 (dua) unsur :
1. Mengartikan Umpama.
2. Mengartikan Nama.
Diwirid disebut kata-kata (nama-nama) tadi Nur Muhammad, artinya cahaya yang terpuji atau
cahaya yang sempurna. Kata Muhammad itu sifat yang mempunyai pujian. Kalimat mengatakan
Muhammad Rasullullas, siapa yang menjadi utusan Allah , apa Muhammad putra Sayidina
Abdullah di Mekah (Arab), apa Muhammad atau Nur Muhammad?. Keterangannya : pada citra
(Hakikat Allah) dan pecah-pecah hanya orang hidup. Sebenarnya yang dipuji itu sifat orang
hidup yang memiliki sifat 20. jadi yang begitu para Nabi, Wali, Ulama yang mukmin, orang itu
semua sifat Muhammad. Dan keterangan tentang utusan (Rasul) seperti dibawah ini :
Muhammad lalu menjadi utusan Allah , dan Allah itu bisa menjadi Allah-ku, Allah-mu, Allah kita
semua dan seluruh alam. Jadi yang disebut utusan itu ialah utusan Allah-nya sendiri-sendiri,
langsung mengakui mempunyai Allah. Utusan itu sifat hidup, kalau sudah mati (meninggal)
tidak bisa menjadi utusan karena orang mati tidak mempunyai Allah. karena sifat-sifat Dat yang
menghidupi sudah musnah (lihat keterangan Bab Sifat 20).
Di kitab Injil Mutheus 22 (31,52,33) disebut begini : belum pernah membaca kata-kata Allah
kepadamu, Allah ini Allah-nya Abraham, Ishak dan Yakub, Allah itu bukan Allah-nya orang mati
tetapi Allah-nya orang hidup.
Yang menjadi pertanyaan, walaupun mempunyai sifat Muhammad atau Rasul, kenapa bisa
menjadi utusan Nafsu (Syetan) makhluk halus (perewangan-Jawa) atau utusan angkara murka.
Semua itu bagi orang yang belum dalam ilmunya hanya sok (merasa sudah) tahu saja, hanya
baru mencapai tingkat Tarikat, lalu umpama benar mengerjakan membuktikan bahwa menjadi
Utusan Allah, dan harus menjadi Ma’rifat (Islam). Jadi orang itu sebetulnya sudah At-tauhid
(menyatu dengan kehendak Allah), kemudian disebut seorang Islam Sejati (sarino batoro –
Jawa) dan juga menjadi utusan, zaman dulu disebut Nabi, Wali dan cukup disebut Ma’rifatullah.
Pendapat yang salah golongan Wirid mengatakan Muhammad diartikan sebenarnya
Muhammad itu sifatku, Rasul itu rasaku (Rahso-sangsekerta). Rasul itu utusan asal dari bahasa
Arab, Rahso (rasa) asal dari bahasa Sangsekerta (sang sekrit) jadi tidak sesuai. Muhammad itu
Rasul tetapi rasa (rahso) itu rasaku jadi tidak sama. Maka dari itu sudah jelas kalau Muhammad
itu sifat hidup yang lengkap dan menjadi utusan.
Sifat Muhammad sudah lengkap, memiliki sifat 20; Rasa, Perasaan, Pekerjaan, Pikiran (akal
yang sempurna) dan lain-lain. Kenapa bermacam-macam diartikan, Allah itu tidak bisa
disamakan dengan makhluk-makhluk/benda-benda lain, jadi pendapat-pendapat yang salah
harus dijauhi.
Kata-kata tadi terdapat juga di Hidayat jati (buku hidayat jati). Jadi pengarang Hidayat jati
mengutip pendapat para Wali.
Kalau begitu pendapat para Wali tadi yang sudah dianut pada zaman sekarang itu apakah
salah atau tidak? Tetapi semua itu harus bersandar kepada hukum Qiyas (meneliti) pendapat
itu begini :
Muhammad = Rasul.
Rasul = Sifatnya Muhammad.
Sifat Muhammad = Sifatnya Dat.
Sifatnya Dat = menyertai sifat seluruh yang diciptakan dan hidup (kayu, batu, manusia dan lain-
lainnya).
Sifatnya Dat = Hakikatnya Dat.
Hakikatnya Dat = Wujud Sempurna.
Wujud Sempurna = Manusia Hidup.
Manusia Hidup = Memiliki sifatnya Dat / Sifat 20.
Jadi yang merasakan orang hidup (utusan) yang diutus. Jadi bukan salah satunya sifat-sifat tadi
yang disebut utusan, Rasa sejati (Rosone Ingsun – jawa), sifat pribadi (Sipate Ingsun-jawa),
semua itu milik Dat yang wajib adanya (Allah). Kalau diteliti atau dikaji-kaji kata-kata yang diatas
tadi sama dengan Qiyasan Esa, Widhatul Wujud, artinya Chaliq dan makhluk itu satu (lihat
keterangan Bab Dat, Sifat, Asma, Afhngal terdahulu)
II. Carakan.
Sampai sekarang masih menjadi bahan pertanyaan para sejarah dan belum mendapat yang
tepat, contohnya tentang Aji Saka itu siapa dan apa? Apa maknanya Carakan itu?, walaupun
jumlah huruf hanya 20 (dua puluh) tetapi kenyataan bisa mencakup semua makna huruf bahasa
sendiri dan bahasa asing,, karena kata-kata itu berhubungan dengan kalimat Sahadat maka
jumlahnya 20, bisa dijelaskan dengan sifat 20, maka artinya kalimat Carakan seperti dibawah ini
:
a. Wiridan (Pelajaran) Aku bersaksi tidak ada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi
Muhammad utusan Allah.
b. Carakan, ada 2 utusan; laki dan wanita asik perang tanding sampai mati:
Keterangannya begini: ada 2 utusan laki dan perempuan (hidup laki dan perempuan) sama
menjadi utusan Allah supaya berkembang anak beranak. Laki dan perempuan (wanita), bukan
manusia saja tetapi seluruh makhluk didunia ini semua berpasang-pasang menjadi saksi Dat
(Allah), maka dari itu tidak ada barang yang tidak ada, artinya keadaan DAT itu kekal adanya.
Sebenarnya utusan dua jumlahnya, sama jaya, artinya lebih sempurna dari pada makhluk lain,
tidak lain adalah manusia yang diluhurkan dari sifat kekurangan, lengkap terhadap sifat 20
sama-sama memiliki, disebut juga sama kuatnya, artinya walaupun laki atau perempuan sama-
sama umat luhur dan sempurna.
Carakan tadi mengatakan sama-sama tidak berdaya (kehabisan tenaga) atau mati, apa
sebabnya sama-sama menjadi bangkai (tidak berdaya), sehabis perang tanding atau
bersetubuh, tusuk menusuk hingga mati tanpa ada yang melerai, jadi sama mati seperti
bangkai, terpuruk kehabisan tenaga tidak bergerak dan lemas. Laki dan perempuan jadi
sumbernya manusia berkembang. Mengembangakan manusia itu tidak ada putusnya,
berdasarkan Qodrat dan Irodat (sifat 20), lalu menghasilkan kenikmatan (merasakan enak).
Keadaan seperti itu tidak berlangsung lama, jadi mati seperti bangkai itu sebentar kalau terus
mati itu bukan utusan untuk mengembangkan manusia (umat-Nya). Orang Jawa setiap saat
menyebut kata-kata (Kalimat-kalimat jawa) yang terdapat pada Carakan, terbukti setiap berkata
pasti memakai kata HA. NA. KA. PA. RA. WA. Jadi orang Jawa setiap hari tidak ketinggalan
mengatakan Carakan, setiap kata pasti memakai salah satu dari Carakan tentang berfikir,
bertengkar tetap memakai huruf yang 20 / Carakan seperti ini : HA-NA-CA-RA-KA DA-TA-SA-
WA-LA PA-DA-JA-YA-NYA MA-GA-BA-THA-NGA.
Rahasia yang tersimpan dicarakan itu tidak akan hilang tetapi tetap laki perempuan semua
menyebutkan kata-kata yang ada pada Carakan 20 (jumlah 20 itu sifat Allah).
Keadaan nama Muhammad itu Hakikatnya DAT itu yang mencari orang yang sudah mempunyai
ilmu atau orang yang sudah mengetahui rahasia hidup, artinya begini : apa saja yang yang
tertulis dikitab-kitab suci (Al-Qur’an, Injil, Jabur dll) pasti bisa dicari, dipelajari, diteliti karena
kitab itu untuk orang-orang yang hidup. Jadi artinya pendapat itu sangat sulit, susah sekali.
Rahasia isi kitab Qur’an dan kitab-kitab lainnya bisa diketahui oleh orang yang berilmu. kita
ulang lagi tentang kalimat Carakan, semua itu kalau bukan orang kaya ilmu tidak bisa mencari
(meneliti). Kalimat Sahadat untuk agama Islam itu sebenarnya kalimat yang tidak abadi, oleh
karena menurut umum orang-orang kalau menyebut kalimat Sahadat itu hanya bertepatan
pesta perkawinan, mengkhitankan (sunat) anaknya, kalau tidak, tidak pernah diucapkan. Kalau
kata Carakan tiap menit tiap detik diucapkan selama hidup, maka untuk menjadi utusan lalu
memiliki sifat Muhammmad atau menjadi penanam, penangkar, mengadakan, membuktikan
adanya utusan-utusan itu abadi, dan kalau perlu harus di ingatkan;
1. Kalimat Sahadat, rukun Islam itu saksi adanya Dat Allah, walaupun tidak dipanggil, di
bicarakan, dipikir-pikir dan lain-lain. Dat tetap adanya dan berubah-ubah dan sifat Muhammad
itu tetap ada dan pasti ujud (bentuk nyata), tetapi jika masih hidup bergerak-gerak. Jadi yang
memngucap dan menyaksikan itu orang hidup.
2. Carakan itu rahasia, sulit, artinya rahasianya yang mengatakan; ada Muhammad, ada ujud
sifat 20. adanya abadinya Dat (Allah) tetap tarik menarik dan setiap hari kita merasakan, kita
buktikan tetap bergerak (makarti – Jawa), tidak mati, masih bisa berberbicara dan melanjutkan
dua-duanya yang tersebut diatas tadi saling bantu membantu, satu diantara dua bersatu
(Widhatul Wujud), Esa, artinya tidak ada, dua tetapi satu (menyatu-At’tauhid).
Rahasia yang terdapat di Carakan, sebuah buku karangan seorang Mangku negaran,
diterangkan begini :
1. Hananira Sejatine Wahananing Hyang,
2. Nadyan ora kasat-kasat pasti ana,
3. Careming Hyang yekti tan ceta wineca,
4. Rasakena rakete lan angganira,
5. Kawruhana ywa kongsi kurang weweka,
6. Dadi sasar yen sira nora waspada,
7. Tamatna prahaning Hyang sung sasmita,
8. Sasmitane kang kongsi bisa karasa,
9. Waspadakna wewadi kang sira gawa (sipat Rasul / Muhammad),
10. Lalekna yen sira tumekeng lalis (sekarat) (5),
11. Pati sasar tan wun manggya papa,
12. Dasar beda lan kang wus kalis ing goda; (Islam / Ma’rifat),
13. Jangkane mung jenak jenjeming jiwarja,
14. Yitnanana liyep luyuting pralaya (angracuta yen pinuju sekarat ),
15. Nyata sonya nyenyet labeting kadonyan,
16. Madyeng ngalam paruntunan (?) aywa samar,
17. Gayuhane tanalijan (tan ana lijan) mung sarwa arga,
18. Bali Murba Misesa ing njero-njaba (Widhatulwujud, Esa, Suwiji),
19. Tukulane wida darja tebah nista,
20. Ngarah-arah ing reh mardi-mardiningrat.
Artinya :
1. Asalmu karena kehendak Allah,
2. Walaupun tidak nampak tetapi ada,
3. Allah yang Kuasa tidak bisa ditebak (dinyatakan),
4. Rasakan dalam tubuhmu,
5. Ketahui sampai kurang waspada,
6. Jadi salah kalau kurang waspada,
7. Nyatakan Allah memberi petunjuk,
8. Petunjuk sampai bisa merasakan,
9. Waspadalah rahasia yang kau bawa (sifat Rasul/Muhammad),
10. Lupakan sampai sekaratil maut (menjelang ajal/koma),
11. Mati yang salah menjadi susah,
12. Dan beda bagi yang tidak tergoda (Islam/Mari’fat),
13. Tujuannya hanya tentram jiwanya,
14. At’tauhid atau khusyuk waktu sekaratil maut,
15. Ternyata sepi (hilang) sifat dunia,
16. Dalam alam barzah ternyata samar (gaib),
17. Tujuan tidak lain hanya satu,
18. Pulang menguasai Lahir Batin (Esa),
19. Tumbuhnya benih menjauhkan aniaya,
20. Hati-hati manuju jalan kedunia.

sumber http://herukristiono1.blogspot.com/2013/04/rahasia-kalimat-syahadat-honocoroko.html
** SILSILAH KERAJAAN MATARAM ISLAM
19 Januari 2012 · 

TEPAS Darah & Silsilah Keluarga


Posted on November 22, 2008. Filed under: Dalem Tepas Darah, Kraton Yogyakarta | Tag:Add new tag,
GBPH Joyokusumo, Kraton Yogyakarta, Penghageng Kawedanan Hageng Panitraputra, Raden Wedana
Murtiwandowo, Romo Murti, Serat Kekancingan, Tepas Darah |
KELUARGA : Ketika Silsilah Keluarga Dianggap Penting
www.kr.co.id, and posted by Cakra Prabu Krisna & tipikor99
Bila kita mengerti asal-usul, maka kita akan menjaga tindak-tanduk, sikap dan perbuatan, karena kita
keturunan dari orang yang punya martabat atau bukan orang sembarangan. Jadi kalau kita tahu asal-usul, maka
bisa menjadi rem bagi kita, saat akan melakukan tindakan yang tidak benar. Hal ini dikatakan, Raden Wedana
Murtiwandowo, yang biasa dipanggil Romo Murti dari Tepas Darah Dalem Kraton Yogyakarta.
Tepas Darah Dalem, merupakan institusi dari Kraton Yogyakarta yang bertugas mengeluarkan serat
kekancingan atau sertifikat silsilah keluarga kraton Yogyakarta. Hingga saat ini, menurut Romo Murti, dirinya
sudah menerima permohonan serat kekancingan hingga keturunan ke 22 dari Panembahan Senopati.
Motivasi para pemohon Serat Kekancingan, ada yang menyebut untuk kepuasan diri, ada juga sebagai tanda
dalam dirinya mengalir darah bangsawan atau keturunan raja-raja. Namun ada juga yang menyebut untuk
mengurus warisan dengan mengetahui silsilah keluarga. Tujuan lainnya, supaya tidak kepaten obor atau bisa
ngumpulke balung pisah keluarga.
Bagi sebagian keluarga, gelar bangsawan masih dianggap penting, tak heran bila ada orangtua yang mengurus
ke Tepas Darah ketika anaknya baru lahir, supaya kelak dalam akte kelahiran sudah tertulis nama gelar
bangsawannya.
Syaratnya, cukup mudah. Bila orangtua sudah memiliki serat kekancingan, maka sang anak tinggal
meneruskan, cukup membawa akte kelahiran yang didukung C1 atau Kartu Keluarga dan KTP. Namun, bila
tidak ada serat kekancingan dari orangtua, nenek atau pendahulunya, bisa dilakukan dengan disumpah terlebih
dahulu. Sebagai saksi sumpah adalah yang punya hubungan darah, seperti ayah/ibu, saudara kandung, bila sulit
bisa sepupu/misan. “Sumpah ini, bukan sembarang sumpah. Sumpahnya menggetarkan, karena harus jujur dan
yakin dirinya masih keturunan darah dalem, keturunan raja-raja,” kata Romo Murti.
Dikisahkan, pernah ada kejadian yang menimpa seseorang yang terpaksa bersumpah palsu karena kepingin
mendapatkan serat kekancingan. Boleh percaya boleh tidak. Sebulan sesudah melakukan sumpah, hidupnya
tidak tenteram. Ibaratnya, yen nang omah kudu mulih, yen lungo pingin mulih. Sampai akhirnya, yang
bersangkutan mendapatkan mimpi hingga tiga kali dan kemudian tersadar. Jangan-jangan, hidupnya tidak
tenteram, karena telah melakukan sumpah palsu. “Tiga bulan kemudian, dia datang dari Surabaya dan
menceritakan mimpi serta kondisi keluarga dan usahanya, setelah nyuwun ngapuro kalian ingkang nggawe
urip, kemudian hidupnya kembali normal, begitu juga usahanya lancar kembali,” kata Romo Murti sambil
menyebut peristiwa ini hendaknya menjadi pengingat bagi mereka yang berniat mencari serat kekancingan
untuk bersikap benar.
Para pemohon serat kekancingan tidak hanya dari Yogya saja, namun juga dari Bandung, Jakarta, Purwokerto
dan Kebumen, Semarang. Keturunan Cina dari Purwokerto juga banyak yang mendatangi Tepas Dalem. Di
antaranya adalah dari keturunan Kolopaking III yang beristrikan keturunan Cina.
Sedang untuk pemohon serat kekancingan dari luar negeri, di antaranya dari Belanda, Belgia dan Inggris atau
negara Eropa lainnya. “Kebetulan ada pemohon dari Belanda yang setelah dirunut ternyata masih keturunan
HB II, kebetulan pesarean leluhurnya di Imogiri bersebelahan dengan leluhur saya, jadilah kami seperti
saudara dan tiap tahun sekitar bulan Februari – Maret pasti mengunjungi pesarean Imogiri,” kata Romo Murti.
Biaya untuk mengurus serat kekancingan? Ternyata cukup murah, hanya Rp 25 ribu plus biaya materai Rp 6
ribu. Namun, untuk waktu penyelesaiannya, tidak bisa pasti. Pasalnya, harus menunggu keluangan waktu
GBPH H Joyokusumo selaku Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura untuk menandatangani. Di samping
itu, satu keluarga kadang mengurus sampai 10 serat kekancingan untuk kerabatnya.
Jumlah peminat serat kekancingan, ternyata terus meningkat. Sejak awal tahun 2008 ini, paling tidak sudah ada
800 pemohon yang masuk.
Sedang yang datang ke Tepas Darah Dalem juga dari berbagai kalangan, mulai artis sampai pejabat. “Kalau
ditelisik, biasanya keturunan darah dalem itu, banyak lho yang njago lurah. Kalau dihitung-hitung, juga banyak
pejabat masih keturunan darah dalem, seperti Presiden SBY, masih keturunan HB II dan pak Prabowo,
keturunan HB II,” kata Romo Murti.
Serat kekancingan yang berupa sertifikat ditulis dalam huruf Jawa, namun untuk mempermudah membacanya,
ada salinannya dalam huruf latin dalam bahasa Indonesia supaya mudah dimengerti, (Hanik Atfiati)-c
Sumber: Kedaulatan Rakyat online http://222.124.164.132/web/detail.php… Oktober 2008.
dari link:
http://cakrakrisna.wordpress.com/…/tepas-darah-silsilah-ke…/
***

***
** S Trisasongko Hutomo
Like This Page · 1 May · 

#SID
#HistoryToday
#Konspirasi

HISTORY TODAY ON 1 MAY: Lahirnya Gerakan Illuminati

Pada tanggal 1 Mei 1776 Adam Weishaupt, seorang profesor hukum di Universitas Ingolstadt, mendirikan
Ordo Illuminati, sebuah organisasi rahasia yang dibentuk untuk menentang pengaruh agama pada masyarakat
dan penyalahgunaan kekuasaan oleh negara dengan mengembangkan ruang yang aman. untuk kritik, debat dan
kebebasan berbicara. Terinspirasi oleh filsuf Freemason dan Pencerahan Prancis, Weishaupt percaya bahwa
masyarakat seharusnya tidak lagi didikte oleh nilai-nilai religius; sebaliknya dia ingin menciptakan keadaan
kebebasan dan kesetaraan moral di mana pengetahuan tidak dibatasi oleh prasangka agama. namun
konservatisme agama dan politik menguasai Ingolstadt pada saat itu, dan materi pelajaran yang diajarkan di
universitas yang dikendalikan Jesuit tempat kuliah Weishaupt diawasi dengan ketat.

Setelah awalnya memilih sendiri lima mahasiswa hukumnya yang paling berbakat untuk bergabung, jaringan
tersebut berkembang pesat, anggotanya menyebarkan tujuan pencerahan Weishaupt dengan ajaran radikal,
sementara pada saat yang sama menciptakan jaringan informan yang rumit yang melaporkan perilaku negara
dantokoh agama dalam upaya untuk membangun kekayaan informasi yang berpotensi dimanfaatkan Illuminati
dalam ajaran mereka. Dengan bantuan diplomat Jerman terkemuka Baron Adolf Franz Friedrich, Freiherr von
Knigge - yang membantu merekrut loge Freemason untuk tujuan Illuminati - kelompok klandestin berkembang
menjadi lebih dari 2.000 anggota di seluruh Bavaria, Prancis, Hongaria, Italia, dan Polandia, di antara tempat-
tempat lain.

Namun, organisasi ini tidak bertahan untuk waktu yang lama. Hanya satu dekade setelah pembentukannya,
perkumpulan rahasia itu disusupi oleh otoritas Bavaria setelah tulisan-tulisan radikal anti-negara dicegat oleh
otoritas pemerintah. Illuminati ditutup dan Weishaupt diusir dari Ingolstadt untuk menjalani sisa hidupnya di
kota Gotha di Jerman, sekitar 300 km di utara. Namun, gagasan tentang masyarakat rahasia yang memberontak
terhadap negara telah menangkap imajinasi sejak saat itu, dikemas dalam teori konspirasi yang dibuat oleh
mereka yang percaya bahwa Illuminati tidak pernah benar-benar dibubarkan. Sebuah klaim yang telah banyak
dibantah oleh para sejarawan.

Meski begitu, para ahli teori konspirasi mengatakan bahwa organisasi tersebut telah diam-diam bekerja di
belakang layar untuk menumbangkan otoritas. Illuminati telah disarankan sebagai pihak yang bertanggung
jawab atas Revolusi Prancis, pembunuhan presiden AS John F Kennedy dan bahkan serangan teror ke gedung
WTC pada 11 September 2001, dan telah menjadi terkenal melalui buku dan film seperti Angels and Demons
karya Dan Brown. Nah, itulah sekelumit sejarah mengenai Illuminati, bahasanya agak sedikit kaku karena
memang ini adalah terjemahan dari artikel luar ngeri yang dimuat oleh www.bbc.com.
*

**

https://www.bbc.com/travel/article/20171127-the-birthplace-of-the-
illuminati*
*** SILSILAH ( GARIS KETURUNAN ) DARI PRABU BRAWIJOYO,
PANAMBAHAN SENOPATI S/D KYAI AGENG DERPOYUDO

H.M.S. Citrosuhartoyo menulis surat kepada Kraton Ngayogyakarto sehubungan dengan informasi silsilah
KYAI AGENG DERPOYUDO ini di kutip dari data/arsip Dinas Pariwisata Kab. Dati II Karanganyar, silsilah tsb
telah ditanggapi oleh Kraton Ngayogyakarto benar dan cocok adanya, dalam silsilah tersebut H.M.S
Citrosuhartoyo termasuk generasi ke IX Trah Kyai Ageng Derpoyudo.

Adapun data tsb kami dokumenkan sbb:


[sunting]Sumber-sumber

* https://www.google.com/search?q=Serat+Panengen
%22+milik+Kantor+Tepas+Darah+Dalem+Karaton+Yogyakarta&tbm=isch&source=iu&ictx=1&fir=zYk5Uy
kjspNuaM%2 -M* 2. Struktural Kraton 3. Perubahan Nama Gelar 2. Struktural Kraton 3. Perubahan
Nama Gelar*** 2. Struktural Kraton 3. Perubahan Nama Gelar*
14.3. Maulana Muhammad Al-Baqir (Syekh Subaqir) /
Arya Teja III (Haryo Tejo Kusumo)
Orang:850544

Hirarki Lengkap
Keturunan (Inventaris)

Marga (saat dilahirkan) Azmatkhan

Jenis Kelamin Pria

Nama lengkap (saat dilahirkan) 14.3. Maulana Muhammad Al-Baqir (Syekh Subaqir) / Arya Teja III

Nama belakang lainnya Haryo Tejo Kusumo

Orang Tua

♂ 14. Sayyid Ali Nurul Alam / Ali Nuruddin (1) / Maulana Malik Israil al-Azmatkhan al-Husaini [Azmatkhan] b.
1402
Momen penting

kelahiran anak: ♀ Raden Ayu Candrawati [Majapahit Girindrawardhana]


kelahiran anak: ♂ 4.3.1. Raden Ahmad Sahuri / Raden Sahur / Tumenggung Wilwatikta (Adipati Tuban
VIII) [Arya Teja]
perkawinan: ♀ Raden Ayu Arya Teja / Raden Ayu Haryo Tejo [Ronggolawe]
perkawinan: ♀ Putri Lembu Suro [?]
1401 - 1419 pekerjaan: Tuban, Adipati Tuban VII
************
Syekh
Maulana Ishaq
Lahir 1317 M
Nasarabad, India
Meninggal
Zaman Akhir Majapahit
Organisasi Majelis Dakwah Walisongo
Orang tua Jamaluddin Akbar al-Husaini (bapak)
Putri Nizamul Muluk (ibu)
Keluarga Azmatkhan
Syekh
Maulana Ishaq
Lahir 1317 M
Nasarabad, India
Meninggal
Zaman Akhir Majapahit
Organisasi Majelis Dakwah Walisongo
Orang tua Jamaluddin Akbar al-Husaini (bapak)
Putri Nizamul Muluk (ibu)
Keluarga Azmatkhan
1.

Biografi Maulana Ishaqh


ttps://www.el-zeno.com/2016/11/biografi-maulana-ishaq.html
Maulana Ishaq adalah anak dari Sayyid Husain Jamaluddin. Yang bergelar Syekh Jumadil Kubro. Maulana Ishaq adalah adik dari Maulana Malik Asmaraqandi [Sunan Gresik]
Pembaca perlu membedakan antara Syaikh Jumadil Kubro [ayah Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak ini] dengan Maulana Ahmad Jamadil Kubro. Dua orang yang berbeda.
Sama dengan kakaknya, yaitu Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi [Sunan Gresik]. Maka Maulana Ishaq dilahirkan di Samarkand, Uzbekistan. Dahulu bagian dari wilayah Kerajaan Turki Utsmani. Dalam satu data, ditemukan bahwa Maulana Ishaq ini adalah masih kerabat dan guru dari
Laksamana Cheng Ho.
Nasab keluarga Maulana Ishaq yang lengkap dan benar adalah: Maulana Ishaq bin Husein Jamaluddin [Syaikh Jumadil Kubro] bin Ahmad
Syah Jalaluddin bin 'Abdullah Khan bin Abdul Malik
Azmatkhan bin 'Alwi 'Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath bin 'Ali Khali Qasam bin 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Muhammad Maula
Ash-Shaouma'ah bin 'Alwi Al-Mubtakir bin 'Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin 'Isa An-Naqib bin Muhammad An-Naqib bin 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin
Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah athimah Az- Zahra binti Nabi Muhammadasulullah Saw.© Biografi Maulana Ishaq - EL-ZE *** athimah Az-Zahra binti Nabi Muhammadasulullah Saw.© Biografi Maulana

Ishaq - EL-ZE ***

***“Syeik Jumadil Kubra nama lain dari


Syeik Jamaluddin Husein Al Akbar,
********* Tuan Faqih Jalaluddin, dan Misteri Silsilah Wali Songo ?
Posted on 21 Desember 2016 | 7 Komentar

Pada periode pemerintahan Sultan Abdurrahman (1659-1706), di Kesultanan Palembang Darussalam dikenal
seorang ulama yang bernama Kiai Haji Agus Khotib Komad, sementara di era Sultan Muhammad Mansur
(1706-1718), tokoh ulama terkemuka pada masa itu adalah Tuan Faqih Jalaluddin yang mengajarkan ilmu Al-
Qur’an dan Ilmu Ushuluddin.

Tuan Faqih Jalaluddin, dikenal juga sebagai penyebar Islam di daerah Komering Ilir dan Komering Ulu, beliau
masih menjalankan dakwahnya hingga masa pemerintahan Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno (1718-1724)
dan juga pada masa Sultan Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo (1724-1757) sampai akhir hayatnya pada
tahun 1748 (sumber : Peran Ulama di Kesultanan Palembang, Penyebar Islam di Nusantara, Kesultanan
Palembang, dan tulisan Djohan Hanafiah, “Perang Palembang Melawan VOC”, link).
Pada abad ke-18 Masehi, para santri yang dibesarkan di Kesultanan Palembang, banyak yang berguru
kepada Tuan Faqih Jalaluddin, salah satunya adalah Syekh Abdussomad al Palembani (kelahiran Palembang,
tahun 1736, sumber : syekh abdussomad al palembani).
Kelak Syekh Abdussomad al Palembani dikenal sebagai ulama terkemuka di tingkat Internasional,
sebagaimana penyelusuran Azyumardi Azra, dalam bukunya “ Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVII Melacak Akar-Akar Pembaruan Islam di Indonesia”.

Misteri Silsilah Walisongo


Selain ulama dan penyebar Islam, Tuan Guru Faqih Jalaluddin dipercaya sebagai orang yang ahli dibidang
genealogy. Melalui tulisan peninggalannya, ahli nasab Habib Ali bin Ja’far Assegaf (1889-1982), menemukan
nama Sayyid Jamaluddin Husein bin Ahmad bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shohib
Mirbath, yang merupakan leluhur walisongo (sumber : Madawis, Habib Ali Assegaf).
Keberadaan silsilah wali songo tersebut, menarik minat sejarawan Dr. Gobbe dari Voor Inlandsche Zaken, ia
berniat untuk mengambilnya, akan tetapi Habib Ali bin Ja’far Assegaf mengelak dan mengatakan bahwa
silsilah tersebut tidak ada.

Sebelum wafat, Habib Ali Assegaf berpesan agar apapun yang berkenaan dengan silsilah dan hasil sensus
Alawiyin yang telah dilaksanakannya agar dijaga dengan baik (sumber : benmashoor).
Dokumen asli catatan silsilah peninggalan Tuan Faqih Jalaluddin ini, masih tersimpan di perpustakaan milik
almarhum Syed Alwi bin Thahir al Haddad, beliau semasa hidupnya pernah menjabat sebagai Mufti
Kesultanan Johor (sumber : zuriat kesultanan palembang dalam catatan tarsilah brunei). 
Catatan Penambahan :
1. Berdasarkan tulisan di harian Sripo “3 Juli 2013” halaman 14, Tuan Guru Faqih Jalaluddin diinformasikan
berasal dari Surabaya, beliau hijrah ke Palembang bersama ayahnya Raden Kamaluddin.
2.  Di masa Kesultanan Palembang Darussalam, disekitar Masjid Agung terdapat pemukiman bagi keluarga
alim ulama yang dikenal sebagai “Guguk Pengulon”. Salah satu keluarga besar yang tinggal di wilayah itu
adalah keluarga Tuan Faqih Jalaluddin, melalui keturunan anak beliau : Kiagus Haji Imron dan Kiagus
Syamsuddin (Sumber : Guguk Pengulon, tulisan Kms. Andi Syarifuddin, Harian Sriwijaya Pos, 3 April 1999).

WaLlahu a’lamu bishshawab


Kerajaan Palembang
10:26 2 comments

Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Arkeologi


Kerajaan dan Kesultanan Palembang

Yusuf Yordan

(1112022000008)

Fakultas Adab dan Humaniora

Prodi Sejarah Kebudayaan Islam

Pengantar
Menelaah dan membahas tentang sejarah kerajaan di Indonesia dalam putaran waktu, bak
disadarkan akan kegemilangan prestasi serta segenap kemajuan didalamnya. Mulai dari kerajaan
samudra pasai dan seterusnya. Namun dalam perjalanannya, banyak sekali mengalami pasang surut dan
jatuh bangun dalam pemerintahannya.

Di tengah haru biru aktifitas di masa lampau tersembul beragam kronik yang tak habis untuk
dipelajari. Salah satunya yang paling mengesankan adalah berdirinya bentangan dinasti-dinasti atau
kerajaan - kerajaan Islam yang telah menjadi karakteristik Negara Indonesia selama berabad-abad.
Realita kerajaan – kerajaan tersebut telah membangun dan membentuk kesatuan didalamnya.

Satu tema yang tak boleh lekang dari perbincangan sejarah kerjaaan Indonesia adalah mengenai
terbentuknya dinasti-dinasti kerajaan Palembang yang pada masanya banyak sekali mengalami pelbagai
revolusi. Hal ini terjadi akibat banyak faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar pemerintahan itu
sendiri. Maka pembahasan yang memadai terkait hal itu tentu menjadi suatu pemikiran yang perlu
diperhatikan dan dipahami. Pelbagai bentuk pembaruan pemerintahan dan kekuasaan tentu menjadi
sinyalemen betapa pentingnya dinasti-dinasti Palembang pada zamannya yang membentuk suatu
peradaban.
Guna memudahkan pembahasan, penulis akan mencoba untuk mengulas sebuah pemerintahan
kerajaan Palembang atau kesultanan Palembang terjadi dalam abad ke–17M dan ke-8M sampai dengan
awal abad ke-19M Tempatnya adalah dikota Palempang dan sekitarnya. Mulai dari mengenai sejarah
berdirinya, pemerintahannya, kemajuan-kemajuan yang dicapai serta sebab kemunduran dan
keruntuhan kerajaan Palembang.

Isi

A.   Latar belakang berdirinya kerajaan Palembang


Sejarah kerajaan Palembang atau kesultanan Palembang terjadi dalam abad ke-17 M dan ke-18
M sampai dengan awal abad ke-19 M. Tempatnya adalah di kota Palempang dan sekitarnya, baik
disebelah sungai Musi maupun di hulu dan anak-anaknya, yang dikenal dengan Batanghan Sembilan.
Letaknya tidak terlalu jauh dan Kuala (- 90 KM) vang bermuara di selat Bangka.

Kota Palembang semula termasuk wilavah kerajaan Budha Sriwijaya yang berkuasa dari tahun
683 M sampai kira-kira tahun 1371 M. Catatan mengenai waktu berakhirnya kerjaan Sriwijaya
bermacam-macam, yang pasti setelah runtuhnya kerajaan ini mengalami kekosongan kekuasaan, dan
menjadi taklukan kerajaan Majapahit pada pertengahan abad ke-15 sampai tahun 1527 M.

Salah seorang adipati Majapahit yang berkuasa di Palembang adalah Aryo Damar (1455-1478),
putra dari Prabu Brawijaya (1447-1451) Aryo Damar kawin dengan putri Campa bekas istri Brawijaya, Sn
Kertabumi (1474-1478) dengan membawaanak Raden Fatah vang lahir di Palembang dan dibesarkan
oleh ayah tirinva yakni Aryo Damar (1455). Kemudian ia menjadi pendiri kerajaan Demak pada tahun
1478.[1]

Setelah runtuhnya kerajaan Majapahit Palembang menjadi daerah pelindung (protektorat) dari
kerajaan Demak-Pajang dan Mataram di Jawa. Semula hubungan ini berjalan baik dan teratur, namun
perkembangan keadaan membawa perubahan, khususnya semasa kerajaan Mataram.

Dalam sejarah kerajaan Mataram nampak sekali, bahwa hunbungan antara pusat dan daerah
tidak selalu berjalan dengan baik, sebagai mana pengalaman penguasa-penguasa Palembang pra
kesultanan, yang mendapat perlakuan tidak menenangkan dalam hubungannya dengan kerajaan
Mataram, begitu juga Kyai Mas Endi, Pangeran Ario Kesumo Abdirronim sesudah menggantikan
kedudukan kakaknya.

Pangeran Sedo Ing Rajek sebagai penguasa Mataram di Palembang mengalami hal yang sama,
dimana beliau pada tahun 1668 mengirim urusan ke Mataram, tetapi ditolak oleh Amangkurat I. Dengan
adanya hal ini maka beliau memelaskan ïkatan dengan Mataram. Maka menjadilah Palembang berdiri
sendiri sebagai kesultanan Palembang Darussalam.[2]

Kapan hal ini mulai terjadi, tidak didapatkan keterangan-keterangan yang pasti. Disebutkan oleh
P. Deroo Defaille dalam bukunya Dari Zaman Kesultanan Palembang sebagai berikut: Pangeran Ratu
dalam tahun 1675 memakai gelar Sultan dan dalam tahun 1681 namanya Sultan Djamaluddin dan
temyata orangnya sama dengan Sultan Ratu Abdurrahman dari tahun1690 yang dalam cerita terkenal
dengan Sunan Tjadebalang, yang sebetulnya Tjandiwalang.

B.   Masa Kejayaan Kerajaan Palembang


Berbicara mengenai kerajaan Sriwijaya memang tidak ada habis-habisnya. Kali ini saya akan
membahas mengenai masa-masa keemasan kerajaan Sriwijaya. Palembang dalam bagian kedua abad
ke-18 telah menuju ke hari depan yang baik, yaitu pada masa Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin H.
Ia menjalankan pemerintahan secara bijaksana. Perdagangan berkembang pesat dan timah telah
memperkaya kerajaan. Di Kesultanan Palembang hak pemakaian tanah diserahkan kepada marga
dengan menghormati batas-batas antara marga yang telah ditetapkan.

 keputusan hukuman dalam kesultanan Palembang terletak ditangan raja atau pembesar-pembesar
kerajaan. Jika terjadi perselisihan diantara marga raja dapat bertindak sebagai penengah, demikian juga
dalam perselisihan masalah tanah. Raja berhak menerima jasa-jasa dari penduduknya. Selain pajak,
pendapatan lain kesultanan adalah "dibantukan" yakni suatu perdagangan monopoli primitif yang tidak
berdasarkan pengertian melayu.

Dalam sistem ini raja atau pembesar pembesar kerajaan tertinggi membeli barang dengan harga
vang murah dan harga pasar. Inilah yang disebut dengan "beli-beli natal". Pendapatan vang terpenting
adalah dari monopoli yang ditetapkan, yaitu duapuluh ribu pikul dalam setahun. Keuntungan dari hasil
jual beli inilah yang dipergunakan oleh sultan untuk membangun kembali keraton.

C.    Pemerintah, Ekonomi dan Politik

1.      Pemerintahan
Wilayah kesultanan Palembang Darussalam kira-kira meliputi wilayah keresidenan Palembang dulu
pada waktu pemerintahan Belanda ditambah dengan Rejang-Amput Petulai (lebong) dan Belalu,
disebelah selatan dari danau Ranau. Pusat pemerintahan kesultanan berada di kota Palembang dimana
pemerintahan dikendalikan oleh putra mahkota, yang juga penasehat sultan langsung, wakil dan
pengganti.

2.      Ekonomi

Perekonomian kesultanan Palembang, sesuai dengan letaknya, sangat dipengaruhi oleh


perdagangan luar dan dalam negeri. Perdagangan diadakan dengan pulau Jawa, Riau, Malaka, negri
Siam dan negri Cina. Disamping itu, datang pula dari pulau-pulau lainnya perahu-perahu yang membawa
dan mengambil barang dagangan. Komoditi yang terpenting adalah hasil pertambangan timah.

3.      Politik

Politik yang dijalankan di kesultanan selama berdirinya +/- 50 tahun, membuktikan telah berhasilnya
menciptakan pemerintahan vang stabil, dimana ketentraman dan keamanan penduduk dan
perdagangan terpelihara dengan baik. Demikian juga hubungan dengan negara-negara tetangga
umumnya terjalin dengan baik, hanya ada satu kali perang saja sewaktu pra-kesultanan pada tahun 1596
dengan Banten vang berlatar belakang pertikaian ekonomi untuk memperebutkan pangkalan
perdagangan di selat Malaka.[3]

Prestasi politik pada masa pemerintahan Sultan Susuhunan Abdurrahman vang paling menentukan
bagi perkembangan kesultanan Palembang Darussalam, adalah kebijaksanaannya untuk meiepaskan diri
dari ikatan perlindungan (protektorat) Mataram kira-kira pada tahun 1675 tanpa menimbulkan
penindasan dan peperangan. Hubungannya dengan Mataram tetap terpelihara dengan baik. Yang
mendapat tantangan berat adalah politik dalam menghadapi imperialisme dan kolonialisme Eropa
(Belanda dan Inggris) dengan kelebihan teknologi alat perangnya dan kelicikan politiknya, sehingga
banvak mendatangkan kerugian kepada pihak kesultanan, dan akhirnya mengakibatkan hilangnya
eksistensi kesultanan itu sendiri. Politik imperialis dan kolonialis ini yang dikenal dengan "Belanda minta
tanah" dengan taktik tipu muslihatnva devide et impera.

D.   Peran Ulama di Kesultanan atau kerajaan Palembang


Sejarah penyebaran agama Islam di kesultanan ini tak terlepas dari seorang yang lazim dinamakan
Kyai atau guru mengaji. Pada periode pemerintahan Kyai Mas Endi Pangeran Ario Kesumo Abdurrahman
(1659-1706) terkenal seorang ulama vang bernama K.H. Agus Khotib Komad seorang ahli tafsir Al-Qur'an
dan Fiqih, Tuan Faqih Jalaluddin mengajarkan ilmu Al-Qur"an dan Ilmu Ushuluddin seorang ulama
terkenal pada periode Sultan Mansur Joyo Ing Lago (1700-1714). Ulama ini masih menjalankan
dakwahnya hingga masa pemerintahan Sultan Agung Komaruddin Sri Terung (1714-1724) juga pada
masa Sultan Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo (1724-1758) sampai akhir hayatnya pada tahun 1748.
Sebulan setelah beliau wafat Sultan Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo mendirikan masjid untuk wakaf
kaum muslimin pada tanggal 25 Juni 1748. Masjid tersebut masih ada hingga sekarang dan dikenal
dengan nama Masjid Agung.

Pada masa Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin Adikesumo (1758-1776) lahir di Palembang
seorang ulama besar yang bernama Syekh Abdussomad Al-Palembani, beliau aktif mengembangkan
agama Islam pada masa Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Beliau memiliki reputasi
internasional. pernah belajar di Mekkah. dan pad abad ke-18 M. ia kembali ke Palembang dengan
membawa mutiara baru dalam Islam. Mutiara tersebut adalah Methode baru untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Ketika ia berada di Mekah sempat hubungan korespondensi dengan Pangeran
Mangkubumi di Yogyakarta.

Mangkunegara di Susuhunan Prabu Djaka di Surakarta. Surat-surat yang dikirim kepada penguasa
formal tradisional, tidak hanya berisikan soal-soal ilmu agama saja tapi juga hal-hal yang menyangkut
politik dalam kaitannva dengan kolonialisme Belanda. Dengan demikian ia telah memberikan inspirasi
baru berdasarkan doktrin agama, untuk membangkitkan kembali rasa patriotisme dalam menentang
penjajah.[4]

Terlepas pada suatu pemikiran apakah beliau termasuk golongan tasawuf Al-Ghozali atau Wahdatul
wujud yang pernah diajarkan oleh Ibnu Arabi, Beliau telah menerjemahkan kitab karangannya sendiri
yang bernama Sair al-Salikin dan Hidayat al-Salikm yang sampai sekarang masih banvak dibaca di negara-
negara Asean yang meliputi Philiphina selatan, Brunai, Malaysia, Thailand Selatan, Singapura dan
Indonesia. Begitu penting dan terhormatnya kedudukan ulama disamping sultan, sampai-sampai ulama
mendapat tempat tersendiri disamping sultan. Dapat pula kita perhatikan posisi makam-makam para
sultan Palembang disampingnya terlihat makam ulama-ulama beserta permaisuri.[5]

E.   Masa Kemunduran Kerajaan Palembang


Setelah meninggalnya Sultan Badaruddin pada tahun 1804 yang memerintah kurang lebih 27 tahun
lalu digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Badaruddin. Ia merupakan raja yang terakhir memerintah
secara despotis. punya kepribadian yang kuat, berbakat serta terampil dalam diplomasi atau strategi
perang. Juga perhatian luas dalam berbagai bidang diantaranya pada bidang sastra.

      Dengan kemerosotan VOC pada akhir abad ke-18 praktis monopolinya di Palembang tidak dapat
dipertahankan lagi dan faktorainya di tempat itu hampir lenyap. Krisis ekonomi dan politik yang dihadapi
VOC dan kemudian pemerintah Belanda mempercepat peralihan kekuasaan ke tangan Inggris dan
akhirnya Palembang jatuh ke tangan ekspedisi Inggris Gillespie pada tanggal 24 April 1812.

Pimpinan pertahanan kerajaan ada ditangan Pangeran Adipati Ahmad Najamuddi. seorang saudara
sultan yang tidak menunjukkan loyalitasnya kepada kakaknya. bahkan bersedia berunding dengan
Inggris pada tanggal 17 Mei 1812 yang menentukan bahwa PA. Ahmad Najamuddin menjadi sultan
Palembang dengan syarat Palembang harus menyerahkan Bangka dan Belitung kepada Inggris.
Sementara itu Sultan Badaruddin membangun pertahanan yang kuat di hulu sungai Musi, bermula di
Buaya Langu setelah serangan ekspedisi Inggris gagal terhadap kubu tersebut, maka pertahanan
dipindahkan lebih kehulu lagi yaitu di Muara Rawas.

Setelah dengan aksi militer Inggris mengalami kegagalan maka ditempuhnya jalan diplomasi dan
mengirim Robinsin untuk berunding. Pada tanggal 29 Juni 1812 ditandatangani perjanjian yang
menetapkan bahwa sultan Badaruddin diakui sebagai sultan Palembang dan PA. Ahmad Najamuddin
diturunkan dari tahtanya.

Pada tanggal 15 Juli sultan Badaruddin tiba di Palembang dan bersemayam di keraton besar sedang
PA. Ahmad Najamuddin pindah kekeraton lama. Terangnya pemainan politik Inggris semakin
mengurangi kekuasaan sultan dan kondisi kontrak lebih diperberat. Waktu Belanda menerima kembali
daerah jajahannya dari Inggris, politik langsung membalik situasi seperti yang diciptakan oleh Inggris.

Sultan Ahmad Najamuddin adalah penguasa yang lemah berbeda dengan Sultan Baharudin yang
kala itu sedang menguasai politik. Eksploitasi feodalistis dikalangan keluarga sultan merajalela, banvak
perampokan dalam kekosongan kekuasaan didaerah, dan akhir situasi minp dengan anarki.

Mununghe selaku kuasa usaha Belanda bertekad menanam kekuasaan yang kuat di Palembang
maka untuk tujuan itu disodorkan kontrak dengan kedua tokoh tersebut (20-24 Juni 1818). Meski
kesultanan tidak dihapus, namun kekuasaan sultan lambat laun semakin berkurang. Sultan Palembang
dan saudaranya untuk kedua kalinya diturunkan dari tahtanya. Keduanya mendapat daerah
kekuasaanuntuk diambil hasilnya sebagai sarana penghidupannya, sedang sebagian besar daerah
Palembang dikuasai Belanda.

Najamuddin yang dibelakangkan oleh intervensi Belanda, berusaha memperoleh bantuan Inggris.
Usaha Raffles untuk memberi bantuan yang diharapkan itu gagal, dan akhirnya ia sebagai faktor yang
membahayakan pemerintahan Belanda diamankan di Batavia. Sementara didaerah pedalaman bergolak
terus, antara lain karena tercipta vakum politik dan ruang sosial yang leluasa bagi unsur-unsur bawah
tanah untuk beragitasi. Orang-orang minangkabau dan Melayu yang menjadi pengikut Sultan
Badaruddin sewaktu dia mengungsi ke hulu sungai Musi melakukan perlawanan terhadap expedisi
Belanda yang terpaksa kembali ke Palembang tanpa dapat mengamankan daerah hulu.

Ada kecurigaan pada Muntinghe bahwa sultan Badaruddin ada dibelakang pergolakan di hulu sungai
Musi. Beliau dituntut agar meredakan para pemberontakan, lagi pula putra mahkota agar diserahkan
untuk dipindah ke Batavia. Kegentingan memuncak waktu perundingan antara Muntinghe dan sultan
menemui jalan buntu. Sultan menolak untuk menyerahkan putra mahkota pada tanggal 12 Juni 1819,
kapal-kapal VOC ditembaki hingga Muntighe meninggalkan Palembang menuju ke Muntok.

Pergolakan menjalar ke Bangka, Lingga dan Riau, dimana aksiaksi perlawanan terhadap Belanda
Terjadi, kesemuanya karena mendapat angin dari Palembang yang berhasil mengenyahkan Belanda.
Sultan Badaruddin sebagai ahli strategis tetap waspada dan membangun pertahanan kuat di sepanjang
sungai Musi dan Muara sampai Palembang.

Sebelum mengirim ekspedisi, Belanda mengangkat putra Ahmad Najamuddin, yaitu Prabu Anom
sebagai sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin. Ekspedisi mulai menyerang pertahanan di Plaju pada
tanggal 20 Juni 1821, tetapi dipukul mundur oleh pasukan Palembang. Baru pada serangan kedua pada
malam 24 Juni Plaju dapat direbut, dan Palembang dapat terbuka bagi angkatan perang Belanda.

Dalam menghadapi situasi itu, sultan Badaruddin mencoba berunding dan tidak lagi melakukan
perlawanan. Tanggal 1 Juni keraton diduduki Belanda, kemudian baik kekuasaan sipil maupun militer
ada ditangan Belanda dan pada tanggal 12 Juli Residen Overste Keer secara resmi memegang jabatannya
dan empat hari kemudian sultan Ahmad Najamuddin dinobatkan.

Pemberontakan dibawah P. Abdurrahman dan Jayaningrat pada tanggal 22 November 1821 yang
gagal memberi alasan kepada Belanda untuk menamatkan kesultanan Palembang. Susuhunan (ayah
sultan Ahmad) diamankan ke Batavia sedang sultan mengungsi ke hulu sungai Musi untuk meneruskan
perlaw anannya. Setelah bertahan selama delapan bulan ia pun ditawan dan diasingkan di Manado
dimana ia meninggal pada tahun 1844. Dengan demikian berakhirlah dinasti Palembang yang berkuasa
selam beberapa abad itu.[6]

Kesimpulan
            Jika kita tarik benang merahnya dari Kerajaan atau kesultanan Palembang merupakan kerajaan
yang cukup tua dan sudah tidak asing lagi bagi kita. Karena kerajaan Palembang juga merupakan salah
satu kerajaan maritime terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara pada abad ke 7-15M.

            Bukan hanya itu bahkan kerajaan Palembang juga sempat mencapai masa kejayaannya dibawah
pimpinan Sultan Badaruddin karena sikapnya yang bijaksana dan dapat mengelola hasil kerajaan seperti
timah dengan bijak. Sampai masa keruntuhan kerajaan Palembang setelah sepeninggalan Sultan
Badaruddin pada tahun 1804 yang memerintah kurang lebih 27 tahun lalu digantikan oleh putranya
Sultan Mahmud Badaruddin.

Walaupun putra dari Sultan Badaruddin memiliki kepribadian yang kuat, berbakat serta terampil
dalam diplomasi atau strategi perang tetapi kehancuran dari kerajaan atau kesultanan Palembang tidak
bisa dihelakkan walaupun dari ada beberapa factor yang mendukung hancurnya kerajaan Palembang.
Daftar Pustaka
·         Gadjannata K.H.O. Sri- Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan.

·         Marwati Djuned. Sejarah Xasional Indonesia. jilid IV

·         Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Adab XVI & XVII, (Yogyakarta; Kurnia Kalam Sejahtera,
1995)

[1] Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Adab XVI & XVII, (Yogyakarta; Kurnia Kalam Sejahtera,
1995) hlm. 45
[2] Marwati Djuned. Sejarah Xasional Indonesia. jilid IV

[3] Ibid, Kerajaan Islam Nusantara Adab XVI & XVII, hlm. 47

[4] Ibid, Kerajaan Islam Nusantara Adab XVI & XVII, hlm. 49

[5] Gadjannata K.H.O. Sri- Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan

hlm. 212.

[6] Ibid, Kerajaan Islam Nusantara Adab XVI & XVII, hlm. 51

Konsep Pemikiran Tasawuf


12:52 1 comment
Ahklak Tasawuf
Konsep Pemikiran Tasawuf

Oleh: Yusuf Yordan 

(1112022000008)

A.Wahdatul Wujud

Salah satu paham tasawuf yang mengundang kontroversi sangat luas adalah pemikiran tentang
wihdatul wujud. Pemikiran kontroversi ini dikemukakan oleh ibnu Arabi. Sekaligus ia merupakan
pemimpin dan pendiri aliran ini. Aliran yang berdiri pada tahun-tahun pertama abad ke-7 H ini berumur
lebih kurang dua abad.

Secara bahasa Wahdat al-wujud terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat
artinya sendiri tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.[1] Dengan demikian wahdat al-
wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam.
Dikalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat di bagi-
bagi pada bagian yang lebih kecil. Adapun mengenai maksud kata “wujud” (being, al-wujud) dan
perkataan, “Tuhan Adalah Wujud Mutlak” (Allah huwa al-wujud al-haqq), A.E. Affii Menjelaskan bahwa
ada dua pengertian yang berbeda dalam memahami istilah “wujud”.Pertama, sebagai suatu konsep: ide
tentang “wujud” eksistensi (wujud bi al-ma’na al-masdari) atau kedua dapat berarti yang mempunyai
wujud, yakni yang ada (exist) atau yang hidup (subsits/wujud bi al-ma’na maujud). Jadi, istilah “Wujud
Mutlak” (Al-wujud Al-Mutlaq) atau “wujud universal” (Al-Wujud Al-Kulli). Yang digunakan ibnu Arabi dan
murid-muridnya adalah menunjukkan suatu realitas yang merupakan puncak dari semua yang ada.

Pengertian wahdatul yang terakhir itulah yang selanjutnya digunakan oleh sufi, yaitu paham
bahwa antara manusia dan tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih
lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, karena dalam paham wahdat al-wujud, nasut yang
ada dalam hulul di ubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (tuhan). Khalq dan haqq
adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam
disebut haqq. Kata-kata khalq dan haqq ini merupakan paham kata al-‘arad (accident) dan al-jauhar
(substance) dan al-zahir (lahir/ luar /tampak), dan al-batin (dalam, tidak tampak).[2] 

Inti ajaran tasawuf Wahdatul wujud diterangkan ibnu Arabi dengan menekankan pengertian
kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence). Maksudnya, seluruh yang ada, walaupun tampaknya,
sebenarnya tidak ada dan kebenarannya bergantung pada tuhan sang pencipta. Yang tampak hanya
bayang-bayang dari yang satu (tuhan). Seandainya tuhan, yang merupakan sumber bayang-bayang, tidak
ada, yang lainpun tidak ada karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki
wujud hanya tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya satu wujud, yaitu wujud tuhan, sedangkan yang
lainnya hanya merupakan bayang-bayang.

Wahdatul Wujud adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun
demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu
wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya.
Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para
wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama
alim.

B.Insan Kamil

Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah faham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut
Al-jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, Al-jili memperkuatnya dengan hadits; “Allah
menciptakan adam dalam bentuk yang Maharahman.” Hadits lainnya; “Allah menciptakan Adam dalam
bentuk diri-Nya.” Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu
berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu.

Proses yang terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan menciptakan subtansi, Huwiyah Tuhan
dihadapkan dengan Huwiyah Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam, dan akhirnya Adam
berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya.[3] Melaui konsep ini, kita memahami bahwa
Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala
kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama Ilahiah. Al-Jili berpendapat bahwa
nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu
kemestian yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki
tempat berwujud, melainkan kepada insan kamil.

Lebih lanjut, Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil
adalah bagaikan cermin di mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya kecuali melihat
cermin itu. begitu pula halnya dengan insan kamil, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat dirinya,
kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui
cermin insan kamil. Inilah maksud ayat: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu
amat dzalim dan amat bodoh.” (Q.S Al-Ahzab: 33). Al-jili berkata bahwa duplikasi Al-kamal
(kesempurnaan) dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan.

Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘aradhi, termasuk bayi yang
berada dalam kandungan ibunya. Al-Kamal dalam konsep Al-Jili mungkin dimiliki oleh manusia secara
professional (bi al-quwah) dan mungkin pula secara aktual (bi al-fiil) seperti yang terdapat dalam wali-
wali dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda. Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi
terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW sehingga manusia lainnya, baik nabi-nabi ataupun wali-wali,
bila dibandingkan dengan Muhammad bagaikan al-kamil (yang sempurna) dengan al-kamal (yang paling
sempurna) atau al-fadhil (yang utama) dengan al-afdhal (yang paling utama).

Insan kamil menurut konsep Al-Jali ialah perencanaan dzat Allah (Nuktah Al-Haqq) melalui
proses empat tajalli seperti tersebut di atas sekaligus sebagai proses maujudat yang terhimpun dalam
diri Muhamad SAW.

Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jili dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep
ittihad Ibn Arabi, yaitu integrirasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur
Muhammad. Adapun Ibn Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad, ketika
menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW.

C. Mahabbah

                Cinta atau yang dikenal dalam bahasa Arab Mahabbah berasal dari kata ‫ محبة‬, ‫ يحب‬, ‫أحب‬, yang
secara bahasa berarti mencintai secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam . Dalam Al-
Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan, Mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al Baghd (benci).
[4] Al- Mahabbah dapat pula berarti al Wadud, yakni yang sangat pengasih atau penyayang.[5]

            Selain itu, al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan
dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya
seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada
sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja pada pekerjaannya. Mahabbah
pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sunguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai
tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak,yaitu cinta kepada Tuhan .

            Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran
dalam tasawwuf. Dalam hubungan ini, objek mahabbah lebih ditunjukkan kepada Tuhan. Dari sekian
banyak arti mahabbah yang dikemukakan di atas , tampaknya ada juga yang cocok dengan arti
mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam
secara ruhani kepada Tuhan.[6] Mahabbah dalam pengertian tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh
Al-Qusyairi sebagai berikut: “Al-Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya
adalah disaksikan nya (kemutlakan) Allah Swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga
menyatakan cinta kepada yang dikasiha-Nya”.[7]

            Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil
bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat
yang melimpah.[8] Mahabbah berbeda dengan al Raghbah. Mahabbah adalah cinta yang tidak dibarengi
dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al Raghbah adalah cinta yang disertai
dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu, meskipun harus mengorbankan segalanya.[9]

Menurut Harun Nasution, pengertian mahabbah adalah:

1.    Patuh kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.


2.    Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.

3.    Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,yaitu Tuhan .

Menurut Al-Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, ada tiga macam tingkatan
mahabbah, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq, dan mahabbah orang yang arif.

A. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan berzikir, memuji Allah, suka
menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Allah.

B. Mahabbah orang shidiq adalah cinta dari seseorang yang kenal kepada Allah, kepada kebesaran-Nya,
kepada kekuasaan-Nya, kepada ilmu-Nya, dan lain-lain. Juga cinta yang dapat menghilangkan tabir yang
memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada
pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta
tingkat kedua ini membuat seseorang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri,
sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.

C. Mahabbah orang yang arif adalah cinta dari seseorang yang tahu betul kepada Tuhan. Yang dilihat
dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri
yang mencintai.[10]

Dari ketiga tingkatan mahabbah yang dikemukakan oleh Harun Nasution tersebut tampak
menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-
Nya melalui dzikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya
menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang
ingin dituju oleh mahabbah ini.

Dengan urain tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu
keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk
kedalam diri yang mencintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit
dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu, uraian di atas juga
menggambarkan bahwa mahabbah adalah merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan
senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam karena hal bukan
diperoleh atas usaha manusia, melainkan karena anugrah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula
dengan maqam, hal bersifat semaentara, datang dan pergi, sebagaimana datang dan perginya seorang
sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.

 Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk-beluk” cinta atau mahabbah
tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada dasarnya merupakan sebuah sikap operasional. Dengan
kata lain, konsep mahabbah (cinta kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang memungkinkan
Islam membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya bukanlah sebutan untuk emosi
semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin saja, akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki
kecenderungan pada kegiatan nyata sekaligus menjadi sumber keutamaan moral.
Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat Islam, term “cinta” atau “mahabbah” telah menjadi
salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi. Mereka menggeser penekanan cinta kearah idealisme
emosional yang dibatinkan secara murni. Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu istilah yang
hampir selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam penempatannya maupun dalam
pengertiannya. Kalau makrifat merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang
mahabbah adalah merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa terisi oleh
rasa kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan
kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta,
tetapi”diri yang dicintai”. Oleh karena itu menurut al-Gazali, mahabbah itu adalah manifestasi dari
makrifat kepada Tuhan.

Demikian cintanya orang-orang sufi kepada Tuhan, mereka rela mengorbankan dirinya demi
memenuhi keinginan Tuhannya. Olehnya itu, cinta atau mahabbah pada hakikatnya adalah lupa
terhadap kepentingan diri sendiri, karena mendahulukan kepentingan yang dicintainya yaitu Tuhan.
Mahabbah adalah suatu ajaran tentang cinta atau kecintaan kepada Allah. Tetapi bagaimana bentuk
pelaksanaan kecintaan kepada Allah itu tidak bisa dirumuskan secara pasti karena hal itu menyangkut
perasaan dan penghayatan subyektif tiap sufi.

D. Filsafat Iluminasi

            Selanjutnya konsep Filsafat Iluminasi yang dibangunnya juga merupakan sebuah kritik
epistemologis terhadap kaum paripatetik yang selalu mengajukan formula-formula dalam memahami
hakikat ketuhanan. Kaum paripatetik selalu menggunakan ‘Ilm al-Hushuli sebagai epistemologinya,
sementara itu bagi Suhrawardi epistemology kaum paripatetik tidak mampu memberikan pengetahuan
yang sejati.

Pengetahuan hushuli terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh
dengan memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui indra yang dimiliki, manusia
mampu menangkap dan menggambarkan segala objek indrawi sesuai dengan justifikasi indrawi yaitu
melihat, mendengar, meraba, mencium dan merasa. Kedua diperoleh melalui sarana daya pikir
(observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala objek rasio dalam bentuk spiritual (ma’qulat) secara
silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada hal-hal yang belum diketahui.

Sementara itu untuk melawan epistemology kaum paripatetik, Suhrawardi memperkenalkan


epistemology Hudhuri atau pengetahuan dengan kehadiran (observasi rohani) yaitu pengetahuan yang
bersumber langsung dari pemberi pengetahuan tertinggi berdasarkan musyahadat (pengungkapan tabir)
dan iluminasi. Konsep ilmu hudhuri ini dikembangkan Suhrawardî dengan penekanan pada aspek
ketekunan dalam mujahadat, riyadhat dan ‘ibadat dari pada memaksimalkan fungsi rasio, atau dengan
kata lain ilmuh hudhuri lebih menekankan olah dzikir dari pada olah pikir.

Konsep epistemologi Hudhuri ini dimulainya dengan menjelaskan hakikat cahaya. Menurut
Suhrawardi, cahaya adalah sesuatu hal yang tak perlu dijelaskan atau diterangi lagi karena ia sudah
terang dengan sendirinya. Selanjutnya cahaya ini terbagi pada dua jenis yaitu pertama cahaya murni
atau Nur Al-Mujarrad yang merupakan cahaya yang berdiri sendiri dan cahaya temaram atau Nur Al-
Aridh yang merupakan cahaya yang tidak mandiri.

Konsep epistemologis inilah yang akhirnya memberikan pengetahuan pada manusia yaitu
dengan memaksimalkan oleh dzikirnya agar tetap dekat dengan Tuhan atau Nur al-Anwar dan
mendapatkan Iluminasi pengetahuan. Selain itu Suhrawardi menegaskan bahwa disamping ada dasar
pengetahuan akan tetapi pengetahuan yang sebenarnya ialah sesuatu yang datang dari dalam dirinya
sendiri dalam makna lahir dari pengenalan terhadap dirinya sendiri, hal inilah yang dalam ajaran tasawuf
dikenal dengan ma’rifah. Dalam tradisi tasawuf, ma’rifah adalah konsep tertinggi dalam perjalanan
manusia yang dalam hal ini juga berarti pengetahuan yang Ilahi. Dari sini cahaya dipancarkan kepada
setiap orang yang dikehendaki-Nya yaitu melalui pengungkapan tabir yang akhirnya terpatri dalam diri
manusia dan dengan sadar menghilangkan keragu-raguan.

Daftar Pustaka
Al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, (Mesir, Dar al-Kahir, 1978)

Harun Nasution, dkk, Ensiklopedia Islam, Jambatan, (Jakarta,Juz II, 1992)

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983)

Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, (Mesir, Dar al-Kairo, 1978)

Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990)

Artikel Menarik :
******Dalam Silsilah Palembang, Tumenggung Mancanegara (Pangeran Manchu
Negoro) adalah kakek dari Sultan Abdurrahman, pendiri kesultanan Palembang Darussalam.

Dengan mangacu kepada Tarsilah  Brunei dan Silsilah Palembang, Nasab Sultan Abdul Rahman
sampai kepada Sunan Giri, adalah sebagai berikut :

1.  Sultan Abdul Rahman  [bin]


2.  Pangeran Seda ing Pasarean (merupakan saudara dari Mas Ayu Siti Aisyah, permaisuri Sultan Brunei,
Sultan Abdul Jalilul Akbar) [bin]
3.  Maulana Fadlallah Pangeran Manconegara (dalam Tarsilah Brunei bernama Pangiran Manchu Negoro)
[bin]
4.  Adipati Panca Tanda (dalam silsilah Palembang disebut juga Ki Paca Tanda, sementara dalam Tarsilah
Brunei disebut Pangiran Manchu Tando) [bin]
5.  Maulana Ali Mahmud Nuruddin Pangeran Wiro Kusumo (dalam silsilah Palembang disebut juga
Pangeran Arya Kesuma Cerbon, sementara dalam Tarsilah Brunei disebut Sunan Dalam Ali Zainal Abidin
Wirakusuma) [bin]
6.  Sunan Giri, yang juga dikenal sebagai Maulana Muhammad Ainul Yaqin
WaLlahu a’lamu bishshawab

Catatan Penambahan :
1. Data Pendukung

a. Sumber : kerajaannusantara.com

b. Sumber : royalark.net (Brunei)

c. Sumber : tanjungsapuh.blogspot.com

d. Sumber : kanzumqalam.com
e. Sumber : pioneertempatan.com

2. Jika diperhatikan dari sisi masa kehidupan, putra dan putri Tumenggung Manco Nagara, terlihat
bahwa mereka berada pada era yang sama…
a.  Mas Ayu Siti Aisyah binti Pangeran (Kyai) Tumenggung Manchu Negoro , merupakan isteri dari Sultan
Brunei, Sultan Abdul Jalilul Akbar, dengan masa periode pemerintahan  1598-1659.
b.  Ratu Sinuhun binti Tumenggung Manco Negara, merupakan istri Penguasa Palembang, Pangeran
Sido Ing Kenayan. dengan masa periode pemerintahan  1636—1642.
c.  Pangeran Seda ing Pasarean bin Tumenggung Manco Negara, menjadi Penguasa Palembang dengan
masa pemerintahan  1642-1643.
3. Berdasarkan catatan Tuan Guru Jalaluddin bil Faqih (ulama yang hidup dimasa Sultan
Muhammad Mansur, 1706 – 1714 ), terdapat Nasab sebagai berikut :

Raden Ario Sultan Muhammad Mansur Jayo ing lago bin Sultan Abdul Rakhman Kyai Mas Hindi Sayidul
iman Sunan Cinde Welang bin Jamaluddin Mangkurat Kyai Gede ing Pasarean bin Maulana Fadlallah
Pangeran Manconegara bin Maulana Abdullah Pangeran Adipati Sumedang Negara bin Maulana Ali
Mahmud Nuruddin Pangeran Wiro Kusumo bin Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri

Pada Nasab di atas, tercatat ayahanda Pangeran Manconegara adalah Maulana Abdullah Adipati
Sumedang Negara, yang merupakan saudara dari Adipati Panca Tanda (Pangiran Manchu Tando).

Dokumen asli catatan nasab ini, masih tersimpan di perpustakaan alm. Syed Alwi bin Thahir al Haddad,
beliau semasa hidupnya menjabat sebagai Mufti Kesultanan Johor.
4. Hubungan kekerabatan antara Giri Kedaton, Kesultanan Brunei dan Kesultanan Palembang,
dapat dilihat pada diagram silsilah berikut :
Data Pendukung Tarsilah Brunei :
*****

**

******
Memang, bukannya tak mungkin Gajah Mada orang Bima. ”Jejak-jejak” masa silam
yang diduga berhubungan dengan Sang Mahapatih terserak di berbagai tempat di ujung
timur Pulau Sumbawa itu.

”Kata orang, kuburan Gajah Mada ada di daerah Donggo,” ujar perempuan tokoh
masyarakat dan peneliti sejarah Bima, Siti Maryam Rachmat (86), yang beberapa waktu
lalu ditemui di rumahnya di Kota Bima. Donggo adalah daerah kecamatan yang berada
di antara kaki-kaki Gunung Salunga dan Gunung Soromandi (4.775 meter di atas
permukaan laut), gunung tertinggi di wilayah Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat,
sekarang.

Jejak Wali Songo dan Tapak Gajah Mada di Bima


Reply

 
Berita Utama, Breaking News, Historia
 
5/29/2017 08:08:00 PM

A+A-

PRINTEMAIL

Naskah Kuni Warisan Kesultanan Bima.  GOOGLE/www.gemalapuri.blogspot.com

Oleh: Gatot Widakdo (www.kompas.com)


SERBA-SERBI - Situs beria kompas.com di konten websitenya yang berlabel Travel mengurai
tulisan tentang 'Jejak Gajah Mada sampai Wali Songo di Tanah Mbojo'.

Diwartakan tahun 2013 lalu, bahwa sebagian orang Bima percaya, Gajah Mada sebetulnya juga
orang Bima. Bagi awam, ini keyakinan yang agak janggal. Apa mungkin kerajaan Jawa
Majapahit mau mengangkat seorang ”asing” sebagai mahapatih alias panglima perangnya?

Silsilah Raja Bima. GOOGLE/www.http://danambozo.blogspot.co.id


Siti Maryam (86) (Almarhumah) menambahkan, sampai awal zaman
kemerdekaan, kuburan itu masih sering ”diupacarai” masyarakat sekitar. ”Tempat yang
diduga makam itu juga sudah sering diteliti para ahli, termasuk oleh arkeolog dari
Universitas Indonesia, tapi saya belum pernah mendengar hasilnya,” tambahnya.

Seorang warga Sumbawa lain yang juga penggemar sejarah menulis, di Donggo,
tepatnya di Desa Padende, terdapat dua peninggalan purbakala. Pertama, batu
berbentuk lesung yang oleh masyarakat sekitar disebut Wadu Nocu (Batu Lesung). Yang
kedua, apa yang disebut Tolo Wadu Tunti (Sawah Batu Tulis), sawah di mana ada batu
bertulis.

****
Tokoh yang memegang peran utama dalam Perkembangan sejarah Bima pada awal abad XX adalah salah seorang
putra sultan Ibrahim (Sultan XIII) dengan permaisurinya Siti Fatimah Binti Lalu Yusuf Ruma Sakuru yaitu Sultan
Muhammad Salahuddin. Lahir di Bima pada tanggal 15 Zulhijah 1306 H (14 juli 1889), memiliki 11 orang saudara.
Tiga saudara seayah seibu masing – masing bernama Abdullah (Ruma Haji), Abdul Qadim (Ruma Siso), dan
Nazaruddin (Ruma Uwi). Saudara seayah terdiri dari Siti Hafsah, Abdul Azis, Sirajuddin (Ruma Lo), ibunda ketiganya
bernama, Siti Aminah,  kemudian Siti Aminah (Ruma Gowa) ibundanya karaeng Bonto Ramba Putri, Karaeng
Mandale, Siti Aisyah (Ibundanya bernama Baena), Lala Ncandi (Ibunya bernama Aisyah), Ahmad (Ibunya bernama
Sakinah) dan La Muhammad (Ibunya bernama (Hamidah).

Sultan Muhammad Salahuddin menikah dengan Siti Maryam Binti Muhammad Qurais, kemudian menikah lagi
dengan Siti Aisyah, putri Sultan Muhammad Sirajuddin (Sultan Dompu) dengan permaisurinya Siti Maryam Binti
Muhammad Qurays. Dari pernikahan pertama tersebut mempunya lima orang putri yaitu, Siti Fatimah, Siti Aisyah,
Siti Hadijah, Siti Kalisom dan Siti Saleha. Sedangkan Dari pernikahannya dengan Siti Aisyah putri Sultan Dompu
memperoleh seorang putra bernama Abdul Kahir (Sultan Abdul Kahir II), Siti Maryam (Ruma Mari), Siti Halimah
(Ruma Emi) dan Siti Jahara (Ruma Joha).
Mulai usia kanak – kanak Salahuddin telah mendapat pendidikan agama dan ilmu pemerintahan dari ulama dan
pejabat istana. Sepanjang perkembangan umurnya, Muhammad Salahuddin menekuni ilmu tauhid, serta siasat
(politik), dan sangat rajin mempelajari ilmu Al-Qur’an serta Hadits. Selain mendapat bimbingan dari ulama lokal,
Salahuddin kecil berguru pada ulama yang didatangkan dari batavia(Jakarta) yaitu H. Hasan dan Syekh Abdul
Wahab dari Mekah. Sultan Muhammad Salahuddin merupakan murid yang rajin dan cerdas serta rajin membaca. Di
perpustakaan pribadinya mempunyai koleksi buku – buku bermutu karangan ulama besar seperti Imam Safi’i. Koleksi
buku – bukunya masih dirawat dengan baik oleh anak cucunya. Muhammad Salahuddin juga gemar menulis, salah
satu buku karangannya adalah “Nurul Mubin” diterbitkan oleh percetakan “Syamsiah Solo” sebanyak tiga kali dan
penerbitan terakhir pada tahun 1942. Nama Nurul Mubin juga menjadi nama salah satu panti asuhan di kota Bima
yang beralamat di jalan soekarno –Hatta depan Paruga Nae Kota
Bima**********************************************************************Nama panjang adalah Syaikh
Abdul Qarib bin Abdul Akhir yang terletak di dusun Telaga Pakamban Daja Pragaan Sumenep,
tepat di utara Bhuju' Pote 300m.
(Sumber: dr masyarakat primumi Telaga asli, bahwa Bujhu' [madura;sebutan untuk orang alim atau
orang terhormat] di Telaga hanya ada dua, yaitu Bujhu' Pote dan Bujhu' Agung Damar, ''sejak dulu
begitu" katanya.
Namun akhir-akhir ini setiap makam yang luas dan terlihat lama sekarang mulai ada yang
menyebutnya Bujhu', karenanya makam Nanggher mulai ada sebagian yang menyebut Bujhu'
nangger atas dasar karena merupakan tempat pemakaman yang luas)

Sunan ampel

Sunan drajat-lamongan

Sayyis musa /sunan pakuan

Moh khotib-bandar dayo-sedayu gesik

Sunsn cendana - bangkalan

Kiya syis - sumenep

Ki abdul karim

Dzu sidqi – rubaru

Abdul akhir-ganding

Abdul qorib – pakambvan daya

Catatan Bang Nayar

Catatan Kecil Belajar Dan Berbagi

Top of Form

Bottom of Form
 Home  Catatan Kecil  Cerita Rakyat  Silsilah  Silsilah Nyai Deningsih Desa Mano'an Putri Kyai Muzakki Buju'
Batu Kolong (Takolong)

Silsilah Nyai Deningsih Desa Mano'an Putri Kyai


Muzakki Buju' Batu Kolong (Takolong)
Oleh: Bang Nayar Pada: 11/13/2018

Silsilah Nyai Deningsih Desa Mano'an - Nyai Deningsih adalah salah satu dari
putri Buju' Takolong atau yang terkenal sebutan Kiai Muzakki Buju' Batu
Kolong.

Maaf ini catatan pribadi untuk di ketahui kami sekeluarga dari garis keturunan
Nyai Daningsih, apabila ada kesalahan mohon di kritisi untuk mencari yang
lebih benar.

Dari berbagai sumber kami mencoba mengumpulkan data-data garis silsilahnya


beliau sebagai berikut:

Silsilah Nyai Deningsih Dari Jalur Sunan Giri

Nabi Muhammad SAW.


1. Sayyidatina Fatimah Az-Zahro 2. Sayyidina Hasan Al-Mujtaba
3. Sayyid Hasan Al-Mustanna
4. Sayyid Abdulloh Al-Kamil (Imaamal Madinatul Munawwaroh)
5. Sayyid Musa Al-Jawun
6. Sayyid Abdulloh At-Tsani
7. Sayyid Musa At-Tsani
8. Sayyid Dawud (Amir Makkah)
9. Sayyid Muhammad
10. Sayyid Yahya Az-zahid
11. Sayyid Abdullah
12. Sayyid Abu Sholeh Musa Janki Dausat
13. Sayyid Syekh Abdul Qodir Al-Jilani
14. Sayyid Shaleh
15. Sayyid Abdul Aziz
16. Sayyid Abdurrozzaq
17. Sayyid Abdul Jabbar
18. Sayyid Syu'aib
19. Sayyid Abdul Qodir
20. Sayyid Junaidi
21. Sayyid Ibrohim Maulana Ishaq
22. Sayyid Ya'qub (Syekh Wali Lanang)
23. Sayyid Maulana Ainul Yaqin Sunan Giri)
24. Sayyid Muhammad Ali Sunan Kulon
25. Nyai Fatimah Gede Kedaton
26. Raden Zainal Abidin Sunan Cendana
27. Nyai Kumala. (istri Kyai Abdullah Surowikromo Tanjung)
28. Nyai Halimah Selase.
29. Kyai Abdul Adzim Sohib
30. Kyai Muzakki Batokolong
31. Nyai Daningsih Istri Puju Rasse Mano’an

Silsilah Nyai Deningsih Dari Jalur Sunan Ampel

Nabi Muhammad SAW.


1. Sayyidatina Fatimah Az-Zahro 2. Sayyidina Husain
3. Sayyid Ali Zainal Abidin
4. Sayyidina Muhammad Al-Baqir
5. Sayyidina Ja’far As-Shodiq
6. Sayyid Ali Uraidhi
7. Sayyid Muhammad An-Naqib
8. Sayyid Isa Ar-Rumi
9. Sayyid Ahmad Al-Muhajir
10. Sayyid Ubaidillah
11. Sayyid Alwi Awwal
12. Sayyid Muhammad Sohibus shoumiah
13. Sayyid Alwi Ats-Tsani
14. Sayyid Ali Kholi’ Qosam
15. Sayyid Muhammad Shohib Marbath
16. Sayyid Alwi Ammil Faqih
17. Sayyid Abdul Malik Azmat Khan
18. Sayyid Al-Amir Abdullah Khan
19. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin
20. Muhammad Jamaluddin Akbar
21. Syekh Maulana Ibrahim Asmoro Qondi
22. Maulana Rahmatullah Sunan Ampel
23. Raden Qosim (Sunan Derajat)
24. Pangeran Musa Sunan Pakuan
25. Raden Khotib Bandar Doyo Sunan Mufti 
26. Raden Zainal Abidin Sunan Cendana
27. Nyai Kumala. (istri Kyai Abdullah Surowikromo Tanjung)
28. Nyai Halimah Selase.
29. Kyai Abdul Adzim Sohib
30. Kyai Muzakki Buju' Batokolong
31. Nyai Daningsih

Keturunan dari Sunan Ampel yaitu  Raden Khotib Bandar Doyo Sunan Mufti
dan keturunan Sunan Giri, Nyai Fatimah Gede kedaton menikah sehingga
melahirkan Raden Zainal Abidin / Sunan Cendana.

Raden Muhammad Ali Sunan Kulon memiliki beberapa putra putri diantaranya
adalah: Nyai Halimah Gede Kedaton, Raden Zainal Abidin Khotib Mantoh dan
Pengeran Kebak (Khotib).

Kami hanya menulis 3 nama dari Putra Sunan Kulon untuk mempermudah
pemahaman jalur garis keturunannya yang tersambung dengan nyai Deningsih.

Silsilah Nyai Deningsih Dari Jalur Khotib Mantoh ke Sunan Giri

Maulana Ainul Yaqin / Sunan Giri 


Raden Muhammad Ali Sunan Kulon 
Raden Zainal Abidin Khotib Mantoh
Kiai Khotib Pasepen Tonjung
Kyai Abdullah Surowikromo Tanjung. (suami Nyai Kumala) 
Nyai Halimah Selase. 
Kyai Abdul Adzim Sohib 
Kyai Muzakki Batokolong Makam di Kolak sukolilo labeng 
Nyai Deningsih Istri Puju Rasse Mano’an 
Silsilah Nyai Deningsih Dari Jalur Kiai Ajie Selase ke Sunan Giri

Maulana Ainul Yaqin / Sunan Giri 


Raden Muhammad Ali Sunan Kulon 
Pengeran Kebak Khotib
Syekh Rabet Abdul Jalil
Syekh Abdur Rahman
Syekh Hasan Badrul Budur.
Syekh Abdullah Martolaksono
Kiai Abdul Mufidz Aji Selase (Suami Nyai Halimah Selase)

Kyai Abdul Adzim Sohib 

Kyai Muzakki Batokolong Makam di Kolak sukolilo labeng 

Nyai Deningsih Istri Puju Rasse Mano’an

Untuk memahami garis sambung dari beberapa jalur silsilah ini yang akhirnya mengerucut ke Nyai
Deningsih berikut penjelasanya.

Raden Khotib Bandar Doyo Sunan Mufti bin Sunan Pakuan bin Sunan Drajat bin Sunan Ampel menikah
dengan Nyai Halimah Gede Kadaton binti Sunan Kulon bin Sunan Giri, dikaruniai putra bernama Raden
Zainal Abidin Sunan Cendana Kabenyar.

Salah satu putri Sunan cendana yang bernama Nyai Kumala menikah dengan Kyai Abdullah Surowikromo
bin Kiai Khotib Pasepen bin Kiai Khotib Mantoh bin Sunan Kulon bin Sunan Giri.

Dari pernikahan mereka berdua lahirlah seorang putri bernama Nyai Halimah Selase yang kemudian
menikah dengan Kiai Abdul Mufidz Aji Selase bin Abdullah bin Hasan Badrul Budur bin Abdurrahman bin
Rabet Abdul Jalil bin Pangeran Kebak bin Sunan Giri.

Dari pernikahan mereka lahirlah Kiai Abdul Adzim Sohib yang merupakan orang tua Kiai Muzakki Puju'
Batokolong.

Kiai Muzakki memiliki puluhan putra putri di antaranya adalah Nyai Deningsih yang makamnya sekarang
ada di desa Mano'an Kec. Kokop Bangkalan menikah dengan Buju' Rasse (Nama asli belum ketahuan).

Untuk mencocokkan silsilah dari Deningsih ke bawah silahkan di sambung sendiri urutannya.
Kiai Muzakki Buju' Takolong

Nyai Deningsih Buju' Rasse

Buju' Enni' (Ju' Kene')

Emba Nur Sidin

Emba Nur Asmat

Emba Esa (biasa dipanggil Bu emba dimakamkan di pekuburan tengkinah Desa Manoan)


............

............

Kiai Muzakki Buju' Takolong

Nyai Deningsih Buju' Rasse

Ju' Rodiyeh

Ju' Senni

Ju' Satria

Emba Sura (istri Ba Congkene')

Rasu'din

............

Catatan: Tulisan dalam artikel ini masih bersifat sementara yang selalu siap
menerima masukan dan kritikan untuk menemukan kebenarannya.
Tolong masukkan di kolom komentar!

Silsilah Sunan Giri ada 2 versi


Versi pertama, Maulana Ishaq putra Sayyid Ibrahim Zainuddin As-Samarqandi berarti saudara kandung
Sunan Ampel
.
Versi kedua, Maulana Ishaq putra Syaikh Jumadil Qubro / Jamaluddin Akbar al-Husain.

Untuk sementara ini penulis lebih condong menulis mengikutin versi pertama sambil mencari kevalidan
di masing-masing versi.
https://matamaduranews.com/jejak-khatib-mantu-madegan-pusaka-giri-di-pulau-garam/

Mengenal Tokoh-tokoh Giri


*****

Kedaton di Pulau Garam


Mata Madura - 14/06/2020

BAGIKAN: 
 

Komentar (0)

Kolase kompleks makam tokoh-tokoh Madura jebolan Giri Kedaton. (Foto/Istimewa) - ()

Penulis M Farhan
matamaduranews.com-MADURA-Peradaban Madura digerakkan oleh tokoh-tokoh yang
kebanyakan berasal dari luar pulau.

Tokoh-tokoh ini bersusur galur atau mengakar pada keluarga tertentu. Salah satunya dari
keluarga Giri Kedaton.

Giri Kedaton merupakan pusat dakwah dan penyebaran agama Islam yang dimotori oleh Raden
Paku alias Suhunan Giri yang bergelar Prabu Satmata Tanpasama.

Sunan Giri merupakan tokoh populer di antara Wali Sembilan di tanah Jawa. Beliau bahkan
diakui sebagai pentahbis para Raja Islam di Nusantara.

Kawasan Giri atau Pesantren Giri berkembang menjadi sebuah sistem pemerintahan tersendiri.
Meski diketahui, Wali Sanga ikut mendirikan kesultanan Demak, sebagai sistem pemerintahan
pasca runtuhnya Majapahit.

Pesantren Giri selanjutnya dikenal dengan sebutan Giri Kedaton. Nama besar Sunan Giri hingga
beberapa generasi begitu dihormati oleh penguasa sentral tanah Jawa.

Pecahan keluarga Giri juga banyak menyebar dalam rangka meneruskan perjuangan
pendahulunya. Salah satu lokasi yang banyak menjadi sasaran anak panah dakwah keluarga
Giri adalah nusa Madura.

Di Madura, sejak sekitar abad 16, anggota keluarga bangsawan Giri banyak berperan penting
dalam pembumian Islam. Mata Madura mencoba mengulas beberapa tokoh utamanya.

Pangeran Khotib Manto

Pangeran Khotib ini dikenal dengan beberapa nama. Di antaranya Pangeran Khatib Sampang,
dan Pangeran Pakebunan.

Disebut Khatib Manto karena diambil sebagai menantu oleh Panembahan Lemah Duwur,
Arosbaya.

Pangeran Khotib merupakan salah satu anak Sunan Kulon. Sunan Kulon adalah anak Sunan Giri.

Beliau berdomisili di Sampang dan hingga akhir hayatnya meninggal dunia di sana. Makamnya
berada di dekat Masjid Madegan, Sampang.

Kiai Cendana

Lahir dari rahim Nyai Gede Kedaton, salah satu putri Sunan Kulon. Jadi Kiai Cendana adalah
keponakan Pangeran Khatib Manto.

Ayahnya adalah Raden Khatib alias Bandardayo. Dari garis ayahnya nasab Kiai Cendana
bersambung hingga Sunan Ampel.
Nama aslinya Zainal Abidin. Beliau dikenal juga dengan gelar Pangeran Purna Jiwa (dalam versi
lain Purna Jaya).

Hijrah ke kawasan Kwanyar, Bangkalan. Beliau juga dikenal dengan sebutan Kiai Kwanyar.

Pangean Ronggo

Tidak banyak keterangan seputar kehidupannya. Nama beliau sering dikutip dalam sejarah
genealogi penguasa Madura Barat.

Pangeran Ronggo adalah anak Pangeran Mas Peganten.

Mas Peganten adalah anak Pangeran Waringin Pitu. Sedang Waringin Pitu adalah anak Nyai
Ageng Sawo di Giri.

Nyai Ageng Sawo merupakan anak perempuan Sunan Giri. Suaminya, Kiai Ageng Sawo atau
Pangeran Sawo adalah cucu dari garis laki-laki Sunan Ampel.

Pangean Ronggo menetap di Nepa, Sampang.

Pangeran Karangantang

Karangantang merupakan nama tempat di Sampang. Pangeran Karangantang bermakna


pangeran di Karangantang.

Beliau adalah anak Pangeran Gebak di Giri. Pangeran Gebak adalah anak Sunan Kulon. Jadi
beliau bersaudara dengan Pangeran Khotib Manto dan Nyai Gede Kedaton.

Rato Ebu Syarifah Ambami

Nama aslinya ialah Syarifah Ambami. Beliau adalah putri Pangeran Ronggo, di Nepa, Sampang.
Jika ditarik ke atas, Syarifah Ambami adalah keturunan Sunan Giri sekaligus Sunan Ampel.

Sebutan Ratu Ibu pada Syarifah Ambami, karena dari beliaulah lahir putra mahkota Madura
Barat. Yaitu Raden Undakan, alias Panembahan Cakraningrat II alias Siding Kamal.
Panembahan ini dikenal kekeramatannya, seperti salah satunya kisah pasca wafatnya, yang
membuat waktu terhenti sementara.

Dalam kisah Madura Barat, Pangeran Cakraningrat I lebih sering ada di Mataram ketimbang di
wilayah kekuasaannya. Sehingga sang Ratu lebih banyak ditinggal. Oleh karenanya, Ratu Ibu
Syarifah Ambami lebih banyak mengasingkan diri atau beruzlah (bertapa) di Arosbaya.

Suatu saat, Ratu Ibu didatangi Nabi Khaidir, dan diperkenankan mengajukan sebuah pemintaan.
Sang Ratu menginginkan agar Madura Barat dipimpin anaknya hingga tujuh turun. Cakraningrat
I yang mendengar kejadian itu menegur isterinya. “Kenapa engkau hanya meminta tujuh turun,
bukan sampai seterusnya?”

Mendengar suaminya kecewa, Sang Ratu kembali meneruskan tapanya hingga wafat dan
dimakamkan di Aermata Arosbaya beserta raja-raja Bangkalan, keturunannya.
Pangeran Pulangjiwo

Raden Kaskiyan nama kecilnya. Beliau adalah putra Pangeran Karangantang, Sampang.

Setelah dewasa, Kaskiyan diambil sebagai menantu oleh Tumenggung Yudanegara alias
Pangeran Macan Ulung, Raja Sumenep.

Raden Kaskiyan lantas menggantikan mertuanya sebagai penguasa Sumenep dengan gelar
Pangeran Pulangjiwo.

Beliau dikenal sebagai raja yang arif dan keramat. Dalam kisah babad, jenazahnya lenyap saat
dikuburkan. Makamnya berada di kompleks utama Asta Tinggi Sumenep.

RM Farhan

******************

****Nyai
Aminah Lembung; Waliyah
Rupawan dari Madura Barat
Mata Madura - 29/06/2018
BAGIKAN: 

Pasarean Nyai Aminah Lembung (kanan) di Desa Somorkoneng, Bangkalan. (Foto/RM Farhan) - ()

Penulis Mata Madura

 | 

Matamaduranews.com–BANGKALAN-Untuk ketiga kalinya Mata Madura mengangkat


profil tokoh perempuan di rubrik Jejak Ulama Madura. Dan seperti tokoh pertama dan
kedua, tokoh ketiga juga berasal dari Madura Barat alias Bangkalan. Ketiganya juga
memiliki benang merah dengan tokoh sentral ulama besar sepuh Bangkalan, yaitu
Sunan Cendana alias Sayyid Zainal Abidin, cucu Sunan Kulon dari Giri Kedaton.

Tokoh sebelumnya Nyai Selase atau Nyai Tepi Selase adalah cucu Sunan Cendana.
Sementara yang kedua, Nyai Cendana ialah isteri Sunan Cendana: ibunda Ulama
Madura. Dan yang akan diulas kali ini ialah Nyai Aminah atau Nyai Lembung, salah satu
putri Sunan Cendana.

***

Menurut catatan Bangkalan, isteri Sunan Cendana lebih dari satu. Isteri padmi atau
utama ialah Putri Pangeran Bukabu, yaitu yang dikenal dengan Nyai Cendana. Dengan
Nyai Cendana ini, sang Sunan masih memiliki hubungan darah yang cukup dekat.
Antara Sunan Cendana dengan Pangeran Bukabu, sang mertua, masih terhitung
saudara sepupu. Ibunda keduanya bersaudara, yakni sama-sama putri Sunan Kulon bin
Sunan Giri ke-I.

Di pasarean Sunan Cendana di Kwanyar, Asta Sang Wali tersebut bersanding dengan
Nyai Cendana dalam satu pagar atau kawasan utama. Tidak diketahui di mana letak
makam isteri-isteri beliau yang lain.

“Tidak ada riwayat mengenai letak makam isteri Sunan Cendana kecuali isteri pertama
beliau ini,” kata Bindara Yahya atau Lora Yahya, asli Petapan, Labang Bangkalan. Yahya
merupakan salah satu keturunan Sunan Cendana dari isteri padminya tersebut.

Dari Nyai Cendana binti Pangeran Bukabu, lahirlah beberapa anak Sunan Cendana seperti Kiai
Putramenggolo (Panembahan Sampang), dan Nyai Tanjung atau Nyai Kumala (Ibunda Nyai Selase).
Sementara dari isteri lainnya, lahirlah Nyai Aminah ini.

“Menurut catatan silsilah ibu Nyai Aminah asli tanah Bangkalan ini,” kata Bindara Yahya.

Mengenai jumlah isteri dan sekaligus anak-anak Sunan Cendana masih belum final. Karena dalam upaya
penelusuran jejak tokoh ulama awal Madura, seperti salah satunya digiatkan oleh Tim 5wali Institute
dan NAAT (Naqobah Ansab Auliya Tis’ah) Madura, mulai bermunculan data-data baru di luar daftar yang
tercatat di catatan masyhur Madura Barat dan Timur.

“Ini yang lantas dikaji lagi (data baru; red). Karena adanya riwayat anak Sunan Cendana banyak. Seperti
adanya info bahwa sampai berjumlah 80 orang,” kata Ustadz Muhsin Basyaiban, salah satu anggota
NAAT Madura.

Perlu diketahui, dalam catatan masyhur (yang merupakan paduan catatan Madura Barat dan Sumenep),
anak-anak Sunan Cendana di antaranya; Kiai Putramenggolo, Nyai Kumala, Nyai Nur, Kiai Irsyad (Gresik),
Nyai Aminah, Kiai Hakimuddin (Teja), Nyai Shaleh, dan Kiai Syits (Sumenep).

“Nama Panembahan Sampang atau yang di Bangkalan disebut Kiai Putramenggolo atau Sunan
Putramenggolo tercatat di Sumenep juga selain di Bangkalan. Begitu juga Nyai Aminah atau Nyai
Lembung. Sedang Kiai Hakimuddin dan Kiai Syits hanya tercatat di Sumenep, sedang di Bangkalan tidak.
Sama seperti Nyai Nur dan Nyai Shaleh, serta Kiai Irsyad yang tak tercatat di Sumenep,” kata R B Ja’far
Shadiq, salah satu anggota Tim 5wali Institute pada Mata Madura.

Dengan demikian, menurut Ja’far, kedua data bisa dipadukan karena memiliki sumber dan riwayat
turun-temurun. “Seperti yang tercatat di Sumenep itu ada di catatan silsilah keluarga keraton Sumenep.
Begitu juga yang di Bangkalan rata-rata dicatat dan diriwayatkan oleh keluarga kiai-kiai di sana,” imbuh
Ja’far.

Beberapa anak Sunan Cendana memang menjadi leluhur para bangsawan di Sumenep, seperti Kiai
Putramenggala, Kiai Hakimuddin, Nyai Lembung, dan Kiai Syits.

Kembali pada Nyai Aminah atau Nyai Lembung. Seperti halnya banyak tokoh-tokoh ulama perempuan
lainnya di Madura, tidak banyak informasi mengenai kehidupan beliau. Rata-rata catatan dan riwayat
yang ada hanya seputar keterkaitan genealogi atau asal-usul beberapa tokoh-tokoh ulama dan umara
besar di Madura saja pada tokoh semisal Nyai Lembung ini.

Beberapa info yang diketahui seperti misalnya nama suami Nyai Lembung, dan sekaligus daftar putra-
putri beliau. Ditambah sepotong riwayat semisal karomah atau kepribadian.

Menurut kisah tutur beberapa sumber yang memiliki garis genealogi pada Sunan Cendana, khususnya
via Nyai Lembung, sang Nyai ini digambarkan sebagai sosok perempuan yang menawan dan cantik
secara lahir dan batin. Sehingga ada riwayat turun-temurun, barangsiapa yang ingin dikarunia anak
perempuan dengan paras cantik, dianjurkan agar bertawasul pada beliau.

“Riwayat ini benar-benar terkenal di kawasan Madura Barat. Bahkan sudah biasa diamalkan oleh umum,
kendati tidak memiliki garis silsilah hingga Nyai Lembung,” kata Bindara Yahya, yang juga merupakan
salah satu anggota NAAT.

*****

Nyai Aminah berdomisili dan sekaligus dimakamkan di Lembung, dekat Kwanyar. Sehingga laqob
Lembung ditorehkan pada nama beliau.

Suami Nyai Aminah ialah Kiai Abdullah yang juga dikenal dengan laqob Lembung. Kiai Lembung ini
merupakan salah satu anak Pangeran Khatib Mantu, Madegan Sampang. Sehingga hubungan Kiai
Lembung dengan Sunan Cendana, mertuanya, juga masih terhitung saudara sepupu. Ibunda Sunan
Cendana, Nyai Gede Kedaton, merupakan saudara kandung Pangeran Khatib Mantu, yaitu sama-sama
anak Sunan Kulon, Giri Kedaton. Kiai Abdulla Lembung / gelar Kiai Palakaran.

Dalam catatan Bangkalan yang dipajang di komplek pasarean Nyai Lembung, sang Nyai memiliki 13
putra-putri. Yaitu, Buju’ Pejaten alias Kiai Muhibbuddin, Kiai Abdurrahman (Angsokah, Blega), Buju’
Gumbing (Blega), Kiai Sajid (Sampang), Nyai Jrengi’ (Sampang), Nyai Qomina, Nyai Qodi Bagandan
Pamekasan (isteri K. Ashar Seda Bulangan), Nyai Barangbang (isteri K. Ali Barangbang Sumenep), Nyai
Kwanyar, Nyai Prajjan Sampang (isteri K. Abdul Allam Prajjan), Nyai Labbuwan, Nyai Toronan
Pamekasan, dan Nyai Miskiyah.

Dari 13 putra-putri Nyai Lembung dan Kiai Abdullah ini, keturunannya menyebar ke seluruh Madura dan
Tapal kuda. Dan melalui pertautan dengan garis-garis lainnya, bisa dikata tokoh-tokoh pesantren di
Madura dan tapal kuda masih memiliki garis nasab hingga Nyai Lembung. Begitu juga tokoh-tokoh
pemimpin pemerintahannya.

R B Moh Farhan Muzammily

Songay Raja, dan Buju’ Alwi


***

Janggu’: Penerus Estafet “Kajunilan”


Khatib Mantu
Mata Madura - 22/01/2020

BAGIKAN: 
 

Komentar (0)

Pintu masuk, salah satu ornamen yang terdapat di Asta Madegan Sampang. (Foto/Istimewa) - ()

Penulis M Farhan

 | 

Editor

matamaduranews.com-SAMPANG-Salah satu ijazah ilmu “kajunilan” di Madura disebut bersanad


pada Pangeran Khathib Mantu. Songay Raja, begitu jenis ilmu khusus keselamatan, khususnya fisik ini.
Tidak sembarang orang bisa memiliki amalan ini. Karena syarat dan konsekuensi yang berat.

Umumnya tak ada wirid dan laku riyadlah yang khusus. Setelah Khathib Mantu, ijazah ini turun pada
salah satu anggota keluarganya, Kiai Alwi, atau Buju’ Alwi Janggu’. Dari beliaulah ijazah amalan ini terus
mengalir.
Pangeran Khathib Mantu dikenal dalam catatan sejarah awal Madura Barat, atau
Madura pada umumnya. Sang pangeran merupakan salah satu anggota bangsawan Giri
Kedaton yang hijrah ke pulau Garam.

Di samping beliau, ada kemenakannya, ulama besar legendaris Madura; Sunan


Cendana, Kwanyar. Ada lagi Pangeran Karangantang, Sampang; ayah Pangeran
Pulangjiwo, adipati Sumenep (m. 1672-1678).

Pangeran Karangantang atau Syaikh Rabet ini adalah anak Pangeran Gebak, saudara
kandung Khathib Mantu. Keduanya, bersama ibunda Sunan Giri merupakan tiga dari
beberapa putra-putri Sunan Kulon bin Sunan Giri I.

Selain itu juga ada Pangeran Ronggo, di Nepa. Juga Sampang. Yaitu ayah dari Syarifah
Ambami alias Ratu Ibu Arosbaya, permaisuri Pangeran Cakraningrat I (m. 1624-1648).
Sehingga bisa dikata, trah Giri pada perkembangan selanjutkan banyak berperan dalam
Islamisasi dan pembumian ajaran-ajaran leluhurnya: Wali Sanga, di Madura.

Kembali pada Khathib Mantu. Beliau bernama asli Zainal Abidin. Dikenal juga sebagai
Pangeran Pakebunan. Gelar Khathib Mantu didapat setelah mempersunting salah satu
putri Panembahan Lemah Duwur, salah satu penguasa awal kawasan Madura Barat.

Tidak banyak disebut mengenai riwayat Khathib Mantu ini. Beberapa catatan hanya
menyebut di antaranya beliau berdomisili di Madegan, Sampang. Bahkan pasarean
beliau juga ada di situ. Dekat dengan kompleks Pasarean Rato Ebu Madegan (ibunda
Cakraningrat I). Hanya sayang, kijing beliau sudah tidak original, seperti banyak makam
kuna lainnya, berganti baju keramik toko.

Asal-usul Buju’ Janggu’

Pangeran Khathib Mantu dikabarkan memiliki banyak anak. Salah satu riwayat dari
Bindara Muhsin Basyaiban, pemerhati silsilah asal Bangkalan, mengatakan bahwa
Khathib Mantu berputra 60 orang.

“Namun hanya riwayat. Tidak ada rinciannya siapa saja,” kata Muhsin, pada Mata
Madura.

Berdasar data yang dikumpulkan sebuah perkumpulan kajian nasab ulama-ulama


Madura, NAAT (Naqobah Ansab Auliya Tis’ah), paling sedikitnya enam nama yang
berhasil terdata.
Mereka ialah Kiai Abdullah Lembung, Kiai Abdul Jabbar alias Buju’ Napo, Kiai Baligho
alias Buju’ Keppay, Kiai Khathib Paseppen, Nyai Brotoyudo, dan Nyai Alwi atau Nyai
Janggu’.

“Namun mengenai Nyai Alwi ini ada pendapat yang menyatakan bahwa yang putranya
Khathib Mantu ialah Kiai Alwi,” kata Bindara Ilzam, dari NAAT, beberapa waktu silam.

Salah satu alasan ialah, dalam riwayat masyhur, Khathib Mantu menurunkan ijazah
Songay Raja kepada Kiai Alwi. Konon, di beberapa kalangan keturunan Khathib Mantu,
yang bisa mengijazahkan ilmu ini hanya keturunan Khathib Mantu dari jalur laki-laki.

“Namun memang kenyataannya ada yang justru dari jalur perempuan, juga bisa
mengijazahkan ini,” tambah Ilzam.

Mengenai nasab Kiai Alwi, baik Muhsin dan Ilzam mengatakan bahwa ada versi yang
menerangkannya. Salah satunya ialah catatan di Pamekasan yang menyebut Kiai Alwi
ini putra Kiai Aji Toket. Aji Toket merupakan putra Sunan Kidul. Sedang Sunan Kidul
adalah saudara Sunan Kulon, yakni sama-sama anak Sunan Giri I.

Jika versi ini berhasil dikaji dan hasilnya menguatkan catatan tersebut, maka hubungan
Kiai Alwi dan isterinya adalah hubungan saudara sepupu dua kali (dupopo; Madura).
Karena antara Khathib Mantu dan Aji Toket bersaudara sepupu.

Penerus Estafet Songay Raja

Seperti disebut dimuka, Kiai Alwi merupakan satu-satunya keluarga Khathib Mantu yang
menerima ijazah ilmu Songay Raja. Konon, ilmu ini merupakan karomah yang dimiliki
Khathib Mantu. Sebagian pendapat menyatakan ilmu ini didapatkan langsung dari
Nabiyallah Khidr ‘alaihissalam; pentahbis para wali.

Menurut KH Ali Muqit, salah satu tokoh pesantren di Temporan, Jember. Ilmu Songay
Raja bisa didapat tanpa amalan khusus. Orang yang mau mendapatkan ilmu ini hanya
perlu menerima atau mendapatkan talqin dari pemilik ijazah.

“Kalau sudah ditalqin, otomatis sudah masuk,” kata kiai muda, cucu Kiai Abdul Aziz bin
Abdul Hamid bin Itsbat, pendiri Ponpes Alwafa,Temporan (Tempurejo) ini.

Hanya menurut Ra Ali, panggilan Ali Muqit, orang yang mau ditalqin itu harus ikhlas.
“Karena ilmu ini tak bisa dilepaskan lagi. Syarat utama harus menghindari dosa besar,
khususnya zina. Jika sampai melanggar, maka resiko adzab berupa penyakit yang
membuat badan menjadi busuk hingga ajal menjemput,” imbuhnya.
Ilmu Songay Raja hingga saat ini masih bisa didapat dari kalangan ulama tertentu yang
memiliki kewenangan atau ijin mengijazahkan. Dan sanad ijazah itu bersambung hingga
Kiai Alwi Janggu’ dan Pangeran Khathib Mantu.

Kiai Alwi atau Buju’ Janggu’ wafat dan dimakamkan di Omben, Sampang. Sebutan
Janggu’ konon menurut salah satu riwayat karena beliau memelihara jenggot yang
sangat panjang. Beberapa keturunannya menyebar di Madura dan sebagian menjadi
tokoh-tokoh ulama besar di masanya. Seperti di antaranya K. H. Jazuli, Tattangoh,
Pamekasan.

RM Farhan

*************

Jejak Khatib Mantu Madegan, Pusaka Giri


di Pulau Garam
Mata Madura - 23/01/2020

BAGIKAN: 
 

Komentar (0)

Kolase Pasaean Khatib Manto beberapa tahun lalu, di Asta Madegan, Sampang. (Foto/Istimewa) - ()

Penulis M Farhan

matamaduranews.com-SAMPANG-Sampang merupakan pusat pemerintahan awal di kawasan


Madura Barat. Di masa akhir kejayaan Majapahit, sistem pemerintahan di kota Bahari ini masih bersifat
sederhana. Penguasa saat itu semacam wakil kuasa dari kerajaan Majapahit.

Tak seperti Sumenep yang sudah mengenal istilah kadipaten dengan adipati sebagai penguasanya,
daerah Sampang dipimpin oleh kamituwo. Yang pertama tercatat ialah Ario Lembupetteng, seorang
pangeran dari Majapahit.
Pengaruh Majapahit yang memudar akibat perang saudara dan desakan fisik para pemberontak
membuat gerakan Islamisasi di Jawa dan Madura menjadi agak mudah. Islam yang tak mengenal konsep
kasta dan tidak menghantam langsung budaya asal atau setempat mampu menarik simpati masyarakat.

Gerakan itu tentu tak lepas dari perjuangan Wali Sanga yang rata-rata merupakan pendatang dan
berasal dari golongan saadah (kata jamak dari sayyid atau keturunan Rasulullah SAW.

Di Madura Barat, Islam mulai menjadi agama resmi di masa pemerintahan Kiai Pratanu (1531 – 1592 M)
yang lantas bergelar Panembahan Lemah Duwur, keturunan keenam Lembupetteng dan Aria Damar.
Perpaduan darah Majapahit dan Giri Kedaton.

Beberapa nama generasi awal ulama di pulau Garam juga bertaut nasab pada tokoh-tokoh Wali Sanga.

Di ujung Timur, nama Sunan Paddusan dan Pangeran Katandur tercatat berperan besar dalam
pembumian Islam di Sumenep. Sunan Paddusan adalah kemenakan Sunan Ampel, sedang Pangeran
Katandur adalah cucu Sunan Kudus.

Sebelum Sunan Paddusan, sang ayah, yakni Sayyid Ali Murtadlo alias Sunan Lembayung atau Raden
Santri telah menjejakkan kaki sucinya di bumi Sepudi dalam rangka syi’ar Islam.

Di ujung Barat ada nama Sunan Cendana, di Kwanyar. Sunan Cendana adalah cucu Sunan Drajat, Sedayu
dari pihak ayah; dan cicit Sunan Giri dari sisi ibu. Sebelum Sunan Cendana, sang paman, sudah lebih dulu
mengukir jejak di Madura, Pangeran Khatib Mantu.

Panutan di Kota Bahari

“Perilakunya menjadi panutan, dan ucapannya dipatuhi masyarakat”. Begitu salah satu penggalan
deskripsi hidup “Pusaka Keramat” dari Giri ini, yang dibungkus papan pigura sedang di sisi makam.
Makam yang dimaksud ialah tempat peristirahatan terakhir Pangeran Khatib Mantu.

Pangeran Khathib Mantu merupakan salah satu tokoh ulama besar generasi awal di kawasan kabupaten
Sampang. Pengaruh beliau meluas tak hanya di kawasan Madura Barat. Beliau dikenal sebagai tokoh
alim besar dan seorang Wali Agung.

Banyak tokoh ulama di Madura dan luar Madura yang memiliki sanad keilmuan hingga beliau. Salah satu
amalan ijazah terkenal di Madura dan Jawa diyakini bersanad tunggal pada beliau, yaitu ijazah
wirid Songay Raja (Sungai besar).

Sumber kedatangan Pangeran Khathib Mantu banyak tertera di beberapa lembar catatan silsilah
keturunannya. Di pasareannya juga ada semacam deskripsi siapa dan bagaimana mengenai tokoh besar
ini.

Nama beliau juga tercatat dalam buku “Sedjarah Tjaranja Pemerintahan di Daerah-daerah di Kepulauan
Madura”, tulisan Zainalfattah alias Raden Tumenggung Ario Notoadikusumo, Bupati Pamekasan.

Dalam buku tersebut, Pangeran ini ditulis Pangeran Khathib Sampang, putra Pangeran Kulon I bin Sunan
Giri I. Beliau disebut menikah dengan Ratu Kasindaran, janda Pangeran Kasindaran. Ratu Kasindaran
adalah salah satu putri dari Kiai Pratanu atau Panembahan Lemah Duwur.
Sementara di naskah-naskah kuna Madura tercatat Pangeran Khathib Mantu atau Tib Manto, salah satu
putra dari Panembahan Kulon (di pasareannya, di kompleks Asta Giri tertulis Sunan Kulon) bin Sunan
Giri, pendiri sekaligus penguasa pertama Keraton Giri atau Giri Kedaton, Gresik.

Dalam naskah-naskah yang bersumber pada catatan luar Madura, seperti yang bersumber pada catatan-
catatan silsilah Giri Kedaton, Pangeran Khathib Mantu merupakan putra Sunan Kulon dari isteri pertama.

Beliau bersaudara satu ibu dengan Nyai Gede Kedatun (ibunda Sunan Cendana), Ratu Gede Mataram,
dan Nyai Gede Kentil (isteri Pangeran Kabu-kabu). Putra Sunan Kulon lainnya ialah Pangeran Kebak
(Gebak), Pangeran Dukat, Pangeran Waridi, Pangeran Jaladasi, Pangeran Waruju, dan lain-lain.

Di catatan lain, Pangeran Khathib Mantu ini tertulis Pangeran Khathib Pakebunan. Ini rupanya sesuai
dengan naskah manuskrip di Pamekasan yang diterjemahkan oleh Drs Abdul Halim Bahwi, bahwa Sunan
Cendana pada waktu ke Madura sempat tinggal bersama pamannya yang bernama Khathib Pakebunan
di Sampang.

Istilah Mantu itu karena beliau ini dijadikan menantu oleh penguasa Madura Barat. Beliau lantas juga
dianugerahi tanah perdikan atau mardikan (merdeka) oleh sang mertua. Lokasi pasarean Khathib Mantu
juga satu komplek dengan pasarean Ratu Ibu di Kampung Madegan, Desa Polagan, Kecamatan Sampang.

Ratu Ibu Madegan ini adalah isteri Raden Koro alias Pangeran Tengah, Arosbaya. Pangeran Tengah
adalah putra Lemah Duwur, sekaligus juga saudara ipar Khathib Mantu. Jadi baik Ratu Ibu maupun
Pangeran Khathib Mantu sama-sama menantu Lemah Duwur, Arosbaya.

Ratu Ibu Madegan sendiri adalah putri dari Kiai Pradata alias Pangeran Suhra Jamburingin. Pangeran
Suhra adalah saudara Panembahan Lemah Duwur. Keduanya sama-sama putra Kiai Pragalba Arosbaya.

Pernikahan Ratu Ibu dan Raden Koro adalah pernikahan sepupu. Dari pernikahan tersebut lahirlah
Raden Prasena yang kemudian bergelar Pangeran Adipati Cakraningrat ke-I (1624 – 1648 M).

Songay Raja

Dalam sebuah deskripsi di pasarean Pangeran Khathib Mantu disebut jika sang Wali ini adalah tokoh tiga
disiplin ilmu yang meliputi Fiqh, Tauhid, dan Tashauf.  Pangeran Khathib juga disebut sebagai pemilik
ijazah dzikir dan wirid Songay raja seperti yang juga telah disebut di muka.

Dalam beberapa riwayat lisan turun-temurun, wirid ini didapat langsung oleh Pangeran Khathib dari
Nabi Khidhir alaihissalam. Konon wiridan tersebut tidak boleh ditulis.

“Penerima wiridan ini hanya langsung menghafal kalimat wirid yang diucapkan guru. Yang saya pernah
dengar sang guru hanya bisa mengulang hingga maksimal tiga kali. Jadi penerima ijazah wirid ini
haruslah memiliki daya hafal yang kuat. Ya, yang ditakdirkan mewarisi ijazah tersebut pasti bisa
menghafalnya langsung,” kata Bindara Nurkhalish, salah satu warga Bangkalan yang memiliki garis nasab
ke Pangeran Khathib Mantu kepada Mata Madura.

Tidak banyak riwayat lisan mengenai Pangeran Khathib. Apalagi literatur tertulis, hampir tak banyak
ditemui. Namun dari saking banyaknya kalangan ulama besar periode-periode selanjutnya yang menulis
garis silsilah hingga Pangeran Khathib menandakan beliau sebagai sosok yang begitu dibanggakan.
Tak hanya itu, posisinya sebagai cucu Wali Agung dari Giri Kedaton, menantu penguasa Madura Barat,
dan kapasitas keilmuannya yang diakui sejak dulu kala lebih menonjolkan sisi keulamaannya dibanding
sebagai sosok bangsawan utama. Beliau laksana pusaka keramat Giri di Pulau ini.

Keturunan

Pangeran Khathib Mantu dalam riwayat yang masyhur disebut memiliki banyak putra-putri. Jumlah yang
diketahui ada 66 orang. Namun di antara 66 putra-putri beliau itu hanya beberapa orang yang bisa
diidentifikasi namanya. Di antaranya Mas Ayu Joyomerto, lalu Kiai Abdullah (Lembung, Bangkalan).

Kiai Abdullah Lembung menikah dengan putri Sunan Cendana yang bernama Nyai Aminah atau Nyai
Lembung.

Setelah Kiai Abdullah, tercatat nama Kiai Khathib Pesapen, Kiai Abdul Jabbar alias Buju’ Napo, dan Buju’
Keppay atau Kiai Baligho.

RM Farhan

http://talimulquranalasror.blogspot.com/2015/03/kumpulan-hadits-tentang-cobaan-hidup.html

Kumpulan Hadits Tentang Cobaan Hidup

ِ ‫َولَ َن ْبلُ َو َّن ُك ْم َح َّتى َنعْ لَ َم ْالم َُجا ِه ِدي َْن ِم ْن ُك ْم َوالص‬
‫َّاب ِري َْن‬

“Sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sekalian agar Kami mengetahui orang-orang yang
berjuang dan orang-orang yang sabar di antara kamu sekalian.” (QS. Muhammad : 31)

ٍ ‫َّابر ُْو َن أَجْ َر ُه ْم ِب َغي ِْر ح َِسا‬


‫ب‬ ِ ‫إِ َّن َما ي َُو َّفى الص‬
“Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”
(QS. Az-Zumar : 10)
                                             

ُ‫ إِاَّل َك َّف َر هَّللا ُ ِب َها مِنْ َخ َطا َياه‬€‫ب َواَل َه ٍّم َواَل ح ُْز ٍن َواَل أَ ًذى َواَل غَ ٍّم َح َّتى ال َّش ْو َك ِة ُي َشا ُك َها‬ َ ‫ب َواَل َو‬
ٍ ‫ص‬ َ ‫َما يُصِ يْبُ ْالمُسْ ِل َم مِنْ َن‬
ٍ ‫ص‬

“Tidaklah seorang muslim tertimpa kecelakaan, kemiskinan, kegundahan, kesedihan, kesakitan maupun
keduka-citaan bahkan tertusuk duri sekalipun, niscaya Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan apa
yang menimpanya itu.” (HR. Bukhari)

ٍ ‫َما مِنْ مُسْ ل ٍِم يُصِ ْي ُب ُه أَ ًذى مِنْ َم َر‬


ُّ ‫ض َف َما سِ َواهُ إِاَّل َح َّط هَّللا ُ ِب ِه َس ِّي َئا ِت ِه َك َما َتح‬
‫ُط ال َّش َج َرةُ َو َر َق َها‬

"Tidak ada seorang muslim yang tertimpa cobaan berupa sakit maupun selainnya, melainkan
dihapuskan oleh Allah Ta'ala dosa-dosanya, seperti sebatang pohon yang menggugurkan daunnya."
(HR. Muslim)

‫َما يُصِ يْبُ ْالم ُْؤم َِن مِنْ َش ْو َك ٍة َف َما َف ْو َق َها إِاَّل َر َف َع ُه هَّللا ُ ِب َها دَ َر َج ًة أَ ْو َح َّط َع ْن ُه ِب َها َخطِ ْي َئ ًة‬

"Tidak ada satu pun musibah (cobaan) yang menimpa seorang muslim berupa duri atau yang
semisalnya, melainkan dengannya Allah akan mengangkat derajatnya atau menghapus
kesalahannya." (HR. Muslim)

‫ُصابُ ِب َها ْالمُسْ لِ ُم إِاَّل ُك ِّف َر ِب َها َع ْن ُه َح َّتى ال َّش ْو َك ِة ُي َشا ُك َها‬
َ ‫َما مِنْ مُصِ ْي َب ٍة ي‬

"Tidak ada satu pun musibah (cobaan) yang menimpa seorang muslim, melainkan dosanya dihapus
oleh Allah Ta'ala karenanya, sekalipun musibah itu hanya karena tertusuk duri." (HR. Muslim)

‫ت َع ْن ُه ِب َها َخطِ ْي َئ ٌة‬ َّ ‫ب هَّللا ُ لَ ُه ِب َها َح َس َن ًة أَ ْو ح‬


ْ ‫ُط‬ َ ‫َما مِنْ َشيْ ٍء يُصِ يْبُ ْالم ُْؤم َِن َح َّتى ال َّش ْو َك ِة ُتصِ ْي ُب ُه إِاَّل َك َت‬
"Tidak ada satu pun musibah (cobaan) yang menimpa seorang mukmin walaupun berupa duri,
melainkan dengannya Allah akan mencatat untuknya satu kebaikan atau menghapus satu
kesalahannya." (HR. Muslim)

‫ ُد َعلَى‬€€ْ‫اس أَ َش ُّد َباَل ًء َقا َل اَأْل َ ْن ِب َيا ُء ُث َّم اأْل َ ْم َث ُل َفاأْل َ ْم َث ُل ُي ْب َتلَى ْال َعب‬
ِ ‫ت َيا َرس ُْو َل هَّللا ِ أَيُّ ال َّن‬ ُ ‫قُ ْل‬ ‫اص َقا َل‬ٍ ‫ْن أَ ِبي َو َّق‬ ِ ‫ْن َسعْ ٍد َعنْ أَ ِب ْي ِه َسعْ ِد ب‬ ِ ‫بب‬ِ ‫َعنْ مُصْ َع‬
‫ي َعلَى‬€ ‫مْش‬ ِ ‫ ُه َي‬€‫ ِد َح َّتى َي ْت ُر َك‬€‫ب ِد ْي ِن ِه َف َما َيب َْر ُح ْال َباَل ُء ِب ْال َع ْب‬ ِ ‫ان فِي ِد ْي ِن ِه ِر َّق ٌة ا ْب ُتل َِي َعلَى َح َس‬ َ ‫ان فِي ِد ْي ِن ِه ص ُْلبًا ا ْش َت َّد َباَل ؤُ هُ َوإِنْ َك‬ َ ‫ب ِد ْي ِن ِه َفإِنْ َك‬ِ ‫َح َس‬
‫ض َو َما َعلَ ْي ِه مِنْ َخطِ ْي َئ ٍة‬ ِ ْ‫اأْل َر‬

Dari Mush'ab bin Sa'd dari Ayahnya Sa'd bin Abu Waqash dia berkata, Saya bertanya, "Wahai
Rasulullah, siapakah orang yang paling keras cobaannya?" beliau menjawab: "Para Nabi, kemudian
kalangan selanjutnya (yang lebih utama) dan selanjutnya. Seorang hamba akan diuji sesuai kadar
agamanya (keimanannya). Jika keimanannya kuat maka cobaannya pun akan semakin berat. Jika
keimanannya lemah maka ia akan diuji sesuai dengan kadar imannya. Tidaklah cobaan ini akan
diangkat dari seorang hamba hingga Allah membiarkan mereka berjalan di muka bumi dengan
tanpa dosa." (HR. Ibnu Majah)

ُ ‫ افِ َفقُ ْل‬€‫ت َحرَّ هُ َبي َْن َيدَيَّ َف ْوقَ اللِّ َح‬
‫ت‬ ُ ‫ت َيدِي َعلَ ْي ِه َف َو َج ْد‬ ُ ْ‫ضع‬ َ ‫ك َف َو‬ ُ ‫ُوع‬َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوه َُو ي‬ َ ِّ‫ت َعلَى ال َّن ِبي‬ َ  ‫َعنْ أَ ِبي َس ِع ْي ٍد ْال ُخ ْد ِريِّ َقا َل‬
ُ ‫دَخ ْل‬
‫ا‬€€‫ت َي‬ُ ‫ا ُء قُ ْل‬€€‫ا َل اَأْل َ ْن ِب َي‬€€‫ ُّد َباَل ًء َق‬€‫اس أَ َش‬
ِ ‫ ْو َل هَّللا ِ أَيُّ ال َّن‬€‫ت َيا َر ُس‬ ُ ‫ُضعَّفُ َل َنا اأْل َجْ ُر قُ ْل‬ َ ‫ُضعَّفُ لَ َنا ْال َباَل ُء َوي‬ َ ‫كي‬ َ ‫َيا َرس ُْو َل هَّللا ِ َما أَ َش َّد َها َعلَي‬
َ ِ‫ْك َقا َل إِ َّنا َك َذل‬
ْ €‫ر ُح ِب‬€
‫ا‬€‫ال َباَل ِء َك َم‬€ َ ‫ ُد ُه ْم لَ َي ْف‬€‫ان أَ َح‬€
َ €‫ان أَ َح ُد ُه ْم َل ُي ْب َتلَى ِب ْال َف ْق ِر َح َّتى َما َي ِج ُد أَ َح ُد ُه ْم إِاَّل ْال َع َبا َء َة ي َُحوِّ ْي َها َوإِنْ َك‬
َ ‫َرس ُْو َل هَّللا ِ ُث َّم َمنْ َقا َل ُث َّم الصَّالِح ُْو َن إِنْ َك‬
‫َي ْف َر ُح أَ َح ُد ُك ْم ِبالرَّ َخا ِء‬
Dari Abu Sa'id Al-Khudri dia berkata, Aku pernah menjenguk Nabi saw. ketika beliau sedang sakit
panas, aku meletakkan tanganku dan aku mendapati panasnya terasa hingga di atas selimut. Aku
lalu berkata, "Wahai Rasulullah, alangkah panasnya sakit yang menimpa dirimu." Beliau bersabda:
"Sesungguhnya begitulah kita, ketika dilipatgandakan cobaan bagi kita maka akan dilipatgandakan pula
pahalanya." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat cobaannya?" Beliau
menjawab: "Para Nabi." Aku bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, kemudian siapa lagi?" Beliau
menjawab: "Kemudian orang-orang yang shalih, salah seorang di antara mereka ada yang dicoba
dengan kefakiran sehingga tidak menemukan kecuali mantel untuk dia pakai, dan ada salah seorang dari
mereka yang senang dengan cobaan sebagaimana salah seorang dari kalian senang dengan
kemewahan." (HR. Ibnu Majah)

َ ِّ‫عِ َظ ُم ْال َج َزا ِء َم َع عِ َظ ِم ْال َباَل ِء َوإِنَّ هَّللا َ إِ َذا أَ َحبَّ َق ْومًا ا ْب َتاَل ُه ْم َف َمنْ َرضِ َي َفلَ ُه الر‬
ُ ‫ضا َو َمنْ َس ِخ َط َفلَ ُه الس ُّْخ‬
‫ط‬

"Besarnya pahala sesuai dengan besarnya cobaan, dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu
kaum maka Dia akan menguji mereka. Oleh karena itu, barangsiapa yang ridha (menerima cobaan
tersebut) maka baginya keridhaan (Allah), dan barangsiapa murka maka baginya kemurkaan (Allah)."
(HR. Ibnu Majah)

‫ك َث َوابًا د ُْو َن ْال َج َّن ِة‬ َ ْ‫ص َبرْ تَ َواحْ َت َسبْتَ عِ ْن َد الص َّْد َم ِة اأْل ُولَى لَ ْم أَر‬
َ َ‫ض ل‬ َ ْ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل َيقُ ْو ُل هَّللا ُ ُسب َْحا َن ُه اب َْن آدَ َم إِن‬
َ ِّ‫َع ِن ال َّن ِبي‬

Dari Nabi saw., beliau bersabda: Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman: "Hai anak Adam, jika kamu
bersabar dan ikhlas saat tertimpa musibah, maka Aku tidak akan meridhai bagimu sebuah pahala
kecuali surga." (HR. Ibnu Majah)

‫َمنْ ي ُِر ِد هَّللا ُ ِب ِه َخيْرً ا يُصِ بْ ِم ْن ُه‬

“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik maka ditimpakan musibah (ujian)
kepadanya.” (HR. Bukhari)

‫ضا ِء َو َش َما َت ِة اأْل َعْ دَ ا ِء‬


َ ‫َت َع َّو ُذ ْوا ِباهَّلل ِ مِنْ َج ْه ِد ْال َباَل ِء َودَ َركِ ال َّش َقا ِء َوس ُْو ِء ْال َق‬

"Mintalah perlindungan kepada Allah dari cobaan yang menyulitkan, kesengsaraan yang menderitakan,
takdir yang buruk dan cacian musuh." (HR. Bukhari)
al-Faqier Ila Rahmati Rabbih

Saifurroyya

03-03-15, Kaliwungu Kota Santri

Hidup Adalah Ujian


Posted by Saifur Ashaqi

» artikel pilihan

» Sunday, 1 March 2015

Hidup, terkadang manusia sering lupa apa sebenarnya hidup itu. Kita menjalani hidup
namun kita tidak tahu untuk apa kita hidup? Siapa yang menghidupkan kita? Mengapa kita
dihidupkan? dan Bagaimana kita menjalani hidup?

Pertanyaan-pertanyaan diatas akan menggugah pikiran dan hati kita untuk menerjemahkan
pengertian hidup yang sebenarnya. Penjelasan pertama tentang, untuk apa kita hidup?. Allah swt.
telah menjelaskan dengan gamblang dalam beberapa firman-Nya :

ُ ُ
ِ ‫ َما أ ِري ُد ِم ْن ُه ْم مِنْ ِر ْز ٍق َو َما أ ِري ُد أَنْ ي ُْط ِعم‬. ‫ُون‬
‫ُون‬ َ ‫ت ْال ِجنَّ َواإل ْن‬
ِ ‫س إِال ِل َيعْ ُبد‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak
menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku
makan.” (QS. Adz-Dzariyat : 56 - 57)

َ ‫َّك َح َّتى َيأْ ِت َي‬


ُ‫ك ْال َيقِين‬ َ ‫َواعْ ب ُْد َرب‬
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai datang kepadamu suatu keyakinan (kematian).” (QS. Al-Hijr :
99)

Kita hidup di dunia hanya untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah yang dimaksud di sini
bukan hanya ibadah yang bersifat ‘ubudiyyah saja, akan tetapi ibadah yang bersifat ‘amaliyyah juga.
Ibadah yang bersifat ‘ubudiyyah seperti menjalankan shalat, puasa, haji, zakat dan lain-lain.
Sedangkan ibadah yang bersifat ‘amaliyyah seperti sedekah, membantu orang lain, bekerja untuk
membiayai keluarga, menuntut ilmu dan lain-lain. Semua itu akan bernilai ibadah manakala
diniatkan untuk beribadah atau mengabdi hanya kepada-Nya.

Pertanyaan yang kedua, siapa yang menghidupkan kita?. Jawabannya pasti Allah swt. Dia-
lah yang menciptakan, memberi rezeki, melindungi dan memelihara kita.

‫ال إِلَ َه إِال ه َُو َخال ُِق ُك ِّل َشيْ ٍء َفاعْ ُبدُوهُ َوه َُو َعلَى ُك ِّل َشيْ ٍء َوكِي ٌل‬

“Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia,
dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.” (QS. Al-An’am : 102)

‫قُ ِل هَّللا ُ َخال ُِق ُك ِّل َشيْ ٍء َوه َُو ْال َوا ِح ُد ْال َقهَّا ُر‬

“Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha
Perkasa." (QS. Ar-Ra’d : 16)

Allah swt. sebagai Pencipta segala sesuatu termasuk manusia telah menegaskan bahwa :

‫هَّللا ُ الَّذِي َخلَ َق ُك ْم ُث َّم َر َز َق ُك ْم ُث َّم ُيمِي ُت ُك ْم ُث َّم يُحْ ِيي ُك ْم‬

“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, kemudian mematikanmu, kemudian
menghidupkanmu (kembali).” (QS. Ar-Rum : 40)
Jadi, jelaslah bahwa Allah swt. telah menciptakan kita dan menanggung semua kebutuhan
yang dibutuhkan kita. Akan tetapi, mengapa banyak manusia yang mengingkarinya? Jawabannya
ada pada diri manusia itu sendiri. Mereka punya akal, mengapa mereka tidak gunakan akalnya
untuk berfikir. Mereka punya hati, mengapa mereka tidak mau menginstropeksi diri. Dan mereka
punya kemampuan, mengapa mereka tidak gunakan untuk mengabdi kepada Tuhan.

Pertanyaan yang ketiga, mengapa kita dihidupkan?.Kita diciptakan oleh Allah swt. atas
kehendak-Nya. Allah swt. menciptakan kita di dunia untuk menguji dan memberi penghormatan
sebagai khalifah di muka bumi ini. Sebagaimana difirmankan dalam ayat-Nya.

‫ا َل إِ ِّني‬€‫ك َق‬
َ €َ‫ ِّدسُ ل‬€‫ك َو ُن َق‬ ُ ِ‫ض َخلِي َف ًة َقالُوا أَ َتجْ َع ُل فِي َها َمنْ ُي ْفسِ ُد فِي َها َو َيسْ ف‬
َ ‫ ِد‬€ْ‫ك ال ِّد َما َء َو َنحْ نُ ُن َس ِّب ُح ِب َحم‬ َ ‫َوإِ ْذ َقا َل َر ُّب‬
ِ ْ‫ك ل ِْل َمال ِئ َك ِة إِ ِّني َجاعِ ٌل فِي األر‬
َ ‫أَعْ لَ ُم َما ال َتعْ لَم‬
‫ُون‬

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah : 30)

Jadi, kita dihidupkan oleh Allah swt. di muka bumi untuk menjadi khalifah. Banyak
penafsiran yang mengartikan arti khalifah. Ada yang menafsirkan, manusia diciptakan sebagai
pelestari bumi, agar bumi tetap lestari dan terpelihara dengan baik. Namun, seiring perjalanan
bumi, ternyata manusia lebih banyak yang menjadi perusak dibanding pelestari. Karena Allah swt.
telah menjelaskan :

َ ‫ون نِعْ َم َة هَّللا ِ ُث َّم ُي ْن ِكرُو َن َها َوأَ ْك َث ُر ُه ُم ْال َكافِر‬


‫ُون‬ َ ُ‫َيعْ ِرف‬

“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl : 83)
َ ‫اس َولَكِنَّ أَ ْك َث َر ُه ْم ال َي ْش ُكر‬
‫ُون‬ ِ ‫ك َل ُذو َفضْ ٍل َعلَى ال َّن‬
َ ‫َوإِنَّ َر َّب‬

“Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai karunia yang besar (yang diberikan-Nya) kepada
manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri (nya).” (QS. An-Naml : 73)

Kita diciptakan oleh Allah swt. atas kehendak-Nya. Namun, di balik penciptaan itu, Allah akan
menguji dan memberikan penghormatan besar kepada manusia. Jika manusia dapat bersabar
dalam menghadapi ujian itu, maka Allah akan memuliakannya. Akan tetapi jika manusia tidak mau
bersabar dan cenderung ingkar terhadap ujian Allah, maka Allah akan menghinakannya.
Sebagaimana janji Allah dalam firman-Nya :

ٍ ‫ِين ا َّت َق ْوا َف ْو َق ُه ْم َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة َوهَّللا ُ َيرْ ُز ُق َمنْ َي َشا ُء ِب َغي ِْر ِح َسا‬
‫ب‬ َ ‫ِين آ َم ُنوا َوالَّذ‬ َ ‫ِين َك َفرُوا ْال َح َياةُ ال ُّد ْن َيا َو َيسْ َخر‬
َ ‫ُون م َِن الَّذ‬ َ ‫ُزي َِّن لِلَّذ‬

“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina
orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari
kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. Al-
Baqrah : 212)

Pertanyaan yang terakhir, bagaimana kita menjalani hidup?. Menjalani hidup harus didasari
dengan kesabaran dan ketaatan kepada Allah swt. Sebab, pada hakikatnya hidup adalah cobaan.
Kebaikan yang kita terima dan keburukan yang kita alami semata-mata hanyalah cobaan dari Allah
swt.

َ ‫ت َو َنبْلُو ُك ْم ِبال َّشرِّ َو ْال َخي ِْر فِ ْت َن ًة َوإِلَ ْي َنا ُترْ َجع‬
‫ُون‬ ِ ‫س َذا ِئ َق ُة ْال َم ْو‬
ٍ ‫ُك ُّل َن ْف‬

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu akan
dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya’ : 35)

Hidup yang kita jalani ini hanyalah sebuah ujian dari Allah swt. Barangsiapa yang sabar
dalam menghadapi ujian ini, maka ia akan memperoleh kehidupan yang hakiki dan mulia di sisi-
Nya. Namun, jika ia tidak mau bersabar, maka Allah swt. akan menghinakannya. Sebab, Allah swt.
hanya akan memandang amal dan keikhlasan kita dalam menjalani hidup, bukan kemewahan dan
kesombongan kita.

َ ‫إِ َّن َما ْال َح َياةُ ال ُّد ْن َيا لَ ِعبٌ َولَهْوٌ َوإِنْ ُت ْؤ ِم ُنوا َو َت َّتقُوا ي ُْؤ ِت ُك ْم أُج‬
‫ُور ُك ْم َوال َيسْ أ َ ْل ُك ْم أَ ْم َوالَ ُك ْم‬

“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman serta
bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu. ” (QS.
Muhammad : 36)

Maka, jelaslah bahwa kita hidup di dunia ada yang menghendaki. Dan Dzat yang
menghendaki akan memberi ujian dan penghormatan besar bagi siapa saja yang mau bersabar
dalam menjalankan amal dan ibadah kepada-Nya. Allah swt. telah menciptakan kita sekaligus
mencukupi kebutuhan kita. Namun, kebanyakan di antara kita mengingkari dan melupakan nikmat
yang diberikan Allah kepada mereka.

Hanya orang-orang yang mau bersabar dalam beramal ibadah-lah yang akan mendapat
keuntungan yang besar. Mereka sabar menjalani kehidupan, mereka sabar menghadapi cobaan, dan
mereka sabar menunaikan amalan-amalan.
َ ُ‫ص َبرُوا أَجْ َر ُه ْم ِبأَحْ َس ِن َما َكا ُنوا َيعْ َمل‬
‫ون‬ ٍ ‫َما عِ ْندَ ُك ْم َي ْن َف ُد َو َما عِ ْندَ هَّللا ِ َب‬
َ ‫اق َولَ َنجْ ِزيَنَّ الَّذ‬
َ ‫ِين‬

“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya
Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl : 96)

Wallahu A’lam

al-Faqier Ila Rahmati Rabbih

Saifurroyya

02-03-15, Kaliwungu Kota Santr

Ternyata Orang Mati Dapat Melihat Keadaan Orang


Yang Masih Hidup
Posted by Saifur Ashaqi

» artikel

» Friday, 4 October 2013

Goresan Pendek Kang Alawy Ali

Kemarin saat membuka inbox, salah satu sahabat bertanya kepadaku, "Kenapa sih kalau
menjelang ramadhan orang-orang banyak yang ke pemakaman? Ngapain?"

Aku jawab pendek, "Kirim doa".

Mungkin bisa jadi terlintas pertanyaan lanjutan di hati sahabat kita tadi, "emangnya
nyampe kiriman doa kita ke orang mati? Emangnya dia tahu apa kalau kita kunjungi?"
Dalam salah satu kitab (buku) yang membahas hal ini, buku berjudul "Ar-Ruh", penulisnya,
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah membeber banyak dalil bahwa orang yang telah meninggal dunia tahu
jika diziarahi dan menjawab salam jika disalami. Sebuah hadits dari Nabi menjelaskan: "Jika
seseorang berziarah kepada makam saudaranya, dan duduk dekat pusara saudaranya itu, maka
saudaranya yang telah meninggal itu akan merasa tenang dan menjawab salamnya, sampai orang tadi
berdiri pergi meninggalkan pemakaman".

Bahkan di halaman-halaman berikutnya Ibnu Qoyyim menjelaskan banyak pendapat


sekaligus dalil bahwa perbuatan dan tindakan orang-orang yang masih hidup disiarkan secara live
kepada kerabatnya yang telah meninggal dunia; jika mereka melihat amal keluarganya itu bagus,
mereka akan gembira dan bahagia.

Hmm, oke, sekarang? Apakah ruh-ruh orang yang telah meninggal itu juga saling bertemu
dan berkunjung?

Ibnu Qoyyim mengklasifikasikan ruh menjadi dua:

- Ruh yang disiksa

- Ruh yang bergelimang nikmat

Ruh-ruh yang disiksa, tersibukkan oleh siksaan yang dialaminya sehingga tidak sempat
saling bertemu atau berkunjung. Sedangkan ruh yang mendapat nikmat, dalam keadaan bebas tidak
ditahan sehingga bisa ke mana saja untuk saling berkunjung, bahkan memperbincangkan masa lalu
mereka saat hidup di dunia.
Lalu, apakah ruh-ruh orang yang meninggal bisa bertemu dengan yang masih hidup?

Kata Ibnu Qoyyim, bisa, melalui mediasi dunia mimpi saat orang yang masih hidup sedang
tidur, saling bicara, ngobrol tentang apa saja, bahkan tentang yang terjadi di dunia, dan cerita soal
ini sangat banyak sekali kita dengar. Salah satunya terjadi di zaman Nabi, dialami oleh sahabat-
sahabat beliau.

Diceritakan, dua sahabat Nabi yang saling berteman karib, Auf bin Malik dan Sha'b bin
Jutsamah, keduanya membuat kesepakatan, jika salah satu dari keduanya meninggal duluan, maka
jika bisa, yang meninggal harus datang di mimpi yang masih hidup.

Beberapa waktu kemudian Sha'b meninggal, dan dia datang ke mimpi Auf, Auf pun
melihatnya di mimpi dan keduanya mulai berbincang.

"Apa yang kau alami di sana?" Tanya Auf.


"Diampuni dosa-dosaku, alhamdulillah," jawab Sha'b. Hanya saja Auf melihat bercak hitam
di leher Sha'b.

"Apa ini?" Tanya Auf.

"Oh, ini sebab hutangku pada seorang yahudi, 10 Dinar, belum aku bayar, tolong bayarkan,
uangnya ada di kotak di rumahku, tempatnya di sudut." Kata Sha'b.

"Auf, aku beri tahu kamu, semua kabar keluargaku sepeninggalku, seluruhnya sampai
padaku, bahkan kucing kami yang barusan mati beberapa hari lalu," lanjut Sha'b menutup
pertemuan itu.

Setelah itu Auf terbangun dengan penuh ketakjuban, dan segera bergegas ke rumah
sahabatnya untuk membuktikan apakah mimpi itu benar. Sesampai di rumah sang sahabat,
ternyata apa yang dikatakan di mimpi tadi benar. Uang 10 Dinar juga ditemukan di sebuah kotak di
sudut rumah, dan oleh Auf diambil untuk dibayarkan pada Yahudi tadi.

Namun Auf bertanya pada Yahudi tadi apa benar Sha'b berhutang padanya 10 Dinar dan
belum sempat dibayar? Yahudi tadi membenarkan jika Sha'b berhutang padanya.

Setelah itu Auf kembali ke rumah Sha'b, dan bertanya pada Istri Sha'b, apakah terjadi
sesuatu di rumah ini? Istri Sha'b menjawab, tidak terjadi apa-apa, kecuali kucing yang mati
beberapa hari lalu.

Percaya atau tidak, kembali ke teman-teman. Dan aku pribadi juga punya cerita senada. Usai
kakekku meninggal, sekitar beberapa bulan kemudian beliau datang ke mimpi Babaku,
memberitahukan bahwa engsel pintu kamar mandi rusak, disuruh segera memperbaiki agar pintu
tidak lepas menimpa cucu-cucunya.
Ketika bangun, baba masih menganggap itu mimpi biasa, dan baba ke kamar mandi seperti
biasa, dan saat membuka pintu, ternyata engselnya terlepas beneran. Setelah itu pintu tadi segera
dibenahi babaku.

Oke, sekarang, apa mungkin menghadiahkan pahala amal ke orang yang telah meninggal?

Kenapa tidak? Haji atas nama orang meninggal (Haji Badal) saja bisa, yang artinya
pahalanya tentu buat orang tadi. Begitupula amal yang lain semisal shalat, puasa, umroh, bacaan
qur'an, sedekah, dan doa, semuanya bisa denga niat melakukan amal-amal itu untuk dihadiahkan
pada ruh orang yang telah meninggal, dan pahala itu sampai kepada mereka atas izin Allah sebagai
sebuah parcel yang sangat berharga. Tentang ini dijelaskan juga secara rinci dan panjang lebar
dengan dalil-dalil shahih oleh Ibnu Qoyyim di kitabnya tadi, "Ar-Ruh".

Soal ruh memang penuh misteri, hanya sedikit pengetahuan kita tentang inti seluruh
makhluk hidup itu. Sebagian tentang ruh dari sisi lain pernah juga aku ungkap di salah satu bukuku,
"Bengkel Jiwa" (Hasfa Publisher, Agustus 2011).

(Yas-alunaka anir ruh, qul-ir ruh min amri Robbi, wa maa utitum minal ilmi illa qolila) Mereka
bertanya kepadamu tentang ruh, katakan bahwa ruh adalah urusan Tuhanku, dan kalian tidak
diberi pengetahuan tentangnya kecuali sedikit saja.

Saifurroyya
Sumber : alawyaly.blogspot.com

Hikmah Di Balik Kisah Kurban Qabil dan Habil

Ajaran kurban yang disyari'atkan dalam Islam sesungguhnya telah jauh mengakar dalam
sejarah umat manusia. Tercatat dalam sejarah, bahwa ibadah kurban telah dimulai sejak nenek
moyang manusia pertama sebagaimana dikisahkan Al-Quran (Al-Maidah: 27).

"Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Qabil dan Habil) menurut yang sebenarnya,
ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang mereka berdua
(Habil) dan tidak diterima yang lain (Qabil)."

Dari kisah yang dapat dijumpai, para ahli tafsir menyatakan bahwa peristiwa kurban yang
dilakukan dua bersaudara dari putra Adam as. adalah merupakan solusi dari polemik perang dingin
yang terjadi antara keduanya dalam mempersunting wanita cantik rupawan bernama Iklimah
sebagai pasangan hidup.

Ucapan Nabi Adam As. yang bersumber dari wahyu yang disampaikan kepada kedua
putranya, seperti dikutip tafsir Ibnu Katsir: "Wahai anakku (Qabil dan Habil) hendaknya masing-
masing diantara kalian menyerahkan kurban, maka siapa diantara kalian berdua yang kurbannya
diterima Allah SWT dialah yang berhak menikahinva (Iklimah)."

Pada akhir kisah disebutkan, ternyata kurban yang diterima Allah SWT adalah yang
didasarkan atas keikhlasan dan ketaqwaan kepada-Nya, yaitu kurban Habil yang berupa seekor
domba yang besar dan bagus. Sementara kurban Qabil ditolak karena dilakukan atas dasar hasud
(kedengkian). Karena kebakhilannya, ia juga memilihkan domba peliharaannya yang kurus untuk
untuk dikurbankan.

Qabil yang kalah dalam sayembara kurban akhirnya ia memutuskan untuk membunuh
saudaranva sendiri. Peristiwa ini adalah awal kali terjadinya pembunuhan dalam sejarah umat
manusia.
Patut kita renungkan, mengapa Al-Quran melukiskan Habil sebagai orang yang lemah?
Mengapa ia tidak mau membela diri ketika hendak dibunuh saudaranya ? Mengapa pula qurban
Habil menyebabkan ia menjadi korban?

Sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa Habil tidak membela diri karena ia sengaja memilih
kematian di tangan saudaranya. Ia ingin memberikan pelajaran kepada umat manusia bahwa
pelaku kezaliman dan kedengkian tidak akan pernah menang untuk selama-lamanya. Bahwa
kedengkian dan ketamakan adalah akar perseteruan dan permusuhan umat manusia di muka bumi.

Kisah Mbah Arwani Membaiat Ruh-Ruh Yang Suci


Posted by Saifur Ashaqi

» Kisah Kiai Arwani

» Thursday, 6 May 2021


KH. Abdullah Sa'ad Ahmadi berkisah dalam bukunya yang berjudul “Tahu Menceng”, kisah ini bersumber
dari KH. Ma'ruf Irsyad.

KH. Ma'ruf Irsyad bercerita, suatu hari KH. Hamid Kajoran, Magelang, hendak berziarah ke makam KH.
Arwani Amin Kudus. Saat itu, beliau sudah tiba di komplek Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an Kudus. Namun,
tiba-tiba beliau berhenti di depan Masjid Busyro Lathief (tepatnya di sebelah selatan Ndalem KH.M. Ulil
Albab Arwani), dan beliau mengajak para santri yang mendampingi untuk pulang. KH. Hamid Kajoran
memutuskan untuk membatalkan rencana semula, yaitu berziarah ke makam KH. Arwani Amin.

Tentu saja, para santri kaget. Bukankah KH. Hamid Kajoran telah sampai di Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an
(komplek makam KH. Arwani Amin)? 

Kemudian, salah seorang santri bertanya kepada beliau, "Wonten napa Mbah Yai?” (Ada apa, Mbah Kiai?)

KH. Hamid Kajoran menjawab, "Apa kowe ora ngerti?” (Apa kamu tidak tahu?)

Santri beliau kebingungan, "Ngertos punapa, Mbah Yai?” (Tahu tentang apa, Mbah Kiai?)

Beliau kembali menjawab, "Saiki, Mbah Arwani lagi ngenekke bai'at marang arwah-arwah muqoddasah neng
alam kubure. Aku kuwatir yen aku moro neng makam, tekaku ngganggu Mbah Arwani” (Sekarang, Mbah
Arwani sedang mengadakan pembaiatan kepada arwah-arwah suci di alam kuburnya. Aku khawatir jika aku ke
makam, kedatanganku mengganggu Mbah Arwani).

Baca juga: Kisah Mbah Arwani Jadi Rebutan Para Bidadari

Kemudian beliau memerintahkan, "Balik... Balik!" (Pulang…Pulang)

Para santri pun dengan takdzim mengikuti beliau. KH. Hamid Kajoran dengan kejernihan mata batinnya
mampu melihat langsung kehidupan barzakhiyah (alam kubur) KH. Arwani Amin.
Cerita di atas adalah bukti kehidupan barzakhiyah (alam kubur) KH. Arwani Amin yang terhubung dengan
guru-guru (wali-wali) yang masih hidup di dunia. Bagi kaum santri khususnya, yakinlah masih banyak cerita-
cerita lainnya yang menjadi pengalaman para wali, terutama murid-murid kinasih beliau, yang setia
mentarbiyah ruhaninya di pondok-pondok cabang Arwaniyah.

Untuk KH. Arwani Amin, KH. Ma'ruf Irsyad, dan KH. Abdullah Sa'ad Ahmadi, lahumul fatihah… 
(Akhmad Musta'in, di akun facebooknya)

Sumber: ngopibareng.id
Nyai Hj. Nur Ishmah, Ulama Perempuan Yang Ahli
Qur'an
Posted by Saifur Ashaqi

» Kisah Kiai Arwani

» Sunday, 20 September 2020

 
Bu Is, begitulah santri-santri putra Yanbu'ul Qur'an Pusat menyebutnya. Beliau adalah putri ulama sekaligus
wali besar dari Kajen Pati, yaitu KH. Abdullah Zein Salam (Mbah Abdullah Salam). 

Dari kecil hingga remaja beliau dididik di lingkungan pesantren milik abahnya hingga akhirnya bisa
menguasai ulumussyariah. 

Setelah beranjak dewasa, beliau dipondokkan abahnya di pesantren asuhan KH.M. Arwani (Mbah Arwani),
tepatnya di Pondok Tahfidh Yanbu'ul Qur'an Kudus. 

Perlu diketahui, Mbah Abdullah Salam adalah santrinya Mbah Arwani. Mbah Abdullah Salam adalah santri
pertama yang khatam Qira'ah Sab'ah di hadapan Mbah Arwani. Mbah Arwani sendiri adalah satu-satunya
santri Mbah Munawir yang bisa khatam Qira'ah Sab'ah 30 juz bil-ghaib. Bahkan menurut satu riwayat, usai
Mbah Arwani bisa khatam Qira’ah Sab’ah di hadapan Mbah Munawir, teman-teman sepondoknya merasa
bahagia dan mengarak Mbah Arwani.
Saat beliau mondok di Yanbu'ul Qur'an Kudus, santri putri hanya ada beberapa saja. Mungkin hanya putri kiai
atau orang-orang yang mengenal Mbah Arwani.

Menurut satu riwayat, beliau adalah santri putri terakhir yang bisa mengkhatamkan Qira'ah Sab'ah 30 juz bil-
ghaib di hadapan Mbah Arwani. Bahkan, menurut satu cerita, beliau pernah semaan 30 juz bil-ghaib tanpa satu
pun ada yang salah atau lupa. Subhanallah...

Baca: Cara Mendidik Anak Menurut KH. Abdullah Salam

Setelah menguasai ulumussyariah dan ulumulqur'an, beliau pun kembali ke tanah kelahirannya. Dan akhirnya,
beliau menikah dengan Syaikhuna KH.M. Ulinnuha Arwani. Perlu diketahui juga, Syaikhuna KH.M. Ulinnuha
Arwani sendiri adalah santrinya Mbah Abdullah Salam.

Atau dengan kata lain, beliau dengan Syaikhuna KH.M. Ulinnuha Arwani sama-sama "dipek mantu" (diambil
menantu) oleh gurunya masing-masing.

Akhirnya, beliau pun mengasuh santri-santri putri Yanbu'ul Qur'an Pusat bersama Nyai Hj. Zuhairah binti KH.
Sya'roni Ahmadi (istri Syaikhuna KH.M. Ulil Albab Arwani). 
 
Istiqomah dan ramah, adalah diantara sikap dari beberapa sikap baik yang melekat pada diri beliau. Dari
didikan dan bimbingan beliaulah, lahir hafidzah-hafidzah handal yang sudah tersebar dimana-mana. Dan tidak
sedikit santri-santri beliau yang menjadi pengasuh pondok. Semoga amal dan pengabdian beliau diterima Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan beliau ditempatkan di tempat terbaik di sisi-Nya. Laha al-Fatihah...

Wallahu A'lam

Al-Faqir ila Rahmati Rabbih


Saifur Ashaqi
Kaliwungu Kota Santri

Rasulullah Pernah Menyebut Bangsa Indonesi

Tatkala salah satu guru Prof. DR. al-Muhaddits as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki
dan Al-'Allamah al-'Arif billah Syaikh Utsman bersama rombongan ulama lainnya pergi berziarah ke
Makam Rasulullah saw., tiba-tiba beliau diberikan kasyaf (tersingkapnya hijab) oleh Allah swt.
dapat berjumpa dengan Rasulullah saw. 

Di belakang Nabi Muhammad saw. sangat banyak orang yang berkerumunan. Ketika ditanya
oleh guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki itu: “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang itu?”

Rasulullah saw. pun menjawab: “Mereka adalah umatku yang sangat aku cintai.”

Baca: Rasulullah Merestui Dakwah NU

Dan diantara sekumpulan orang yang banyak itu ada sebagian kelompok yang sangat
banyak jumlahnya. Lalu guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki bertanya lagi: “Ya Rasulullah,
siapakah mereka yang berkelompok sangat banyak itu?”

Baca: Kisah Sekelompok Umat Islam Indonesia Berbaris Di Depan Rasulullah

Rasulullah saw. kemudian menjawab: “Mereka


adalah bangsa Indonesia yang
sangat banyak mencintaiku dan aku mencintai mereka.”

Baca juga: Jenazah Sayyid Muhammad al-Maliki Masih Utuh


Akhirnya, guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki itu menangis terharu dan terkejut. Lalu
beliau keluar dan bertanya kepada jama’ah: “Mana orang Indonesia? Aku sangat cinta kepada
Indonesia.” (Dikutip dari ceramah Syaikh KH. Muhyiddin Abdul Qadir al-Manafi).
Bukti kecintaan as-Sayyid Muhammad al-Maliki kepada orang Indonesia adalah dengan
membangunkan Pesantren khusus untuk orang Indonesia di Mekkah. Dan beliau sangat senang dan
bahagia apabila ada orang/ulama Indonesia yang menyempatkan bersilaturrahim di rumahnya.
Bahkan beliau sering memberikan buah tangan (hadiah) kepada orang/ulama Indonesia yang
bersilaturrahim tersebut.

Oleh Saifurroyya Dari Berbagai Sumber

Kisah Sayyidah Khadijah Dapat Salam Dari Allah


Posted by Saifur Ashaqi
» Hadis Qudsi

» Sunday, 14 October 2018

Zuhair bin Harb bercerita kepada kami, Ibnu Fudhail bercerita kepada kami, dari Umarah dari Abu Zur‘ah dari
Abu Hurairah ra., ia berkata, “Inilah Khadijah, datang kepadamu membawa tempat yang ada makanan atau
tempat yang ada minuman. Sampaikanlah salam kepadanya dari Tuhannya, dan berilah ia kabar gembira
dengan rumah dari permata yang berlubang tengahnya, tidak ada kegaduhan dan tidak ada kelelahan di sana.”
(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Tauhid, Bab Firman Allah Ta‘ala, Mereka Ingin Mengganti
Firman Allah, Jilid IX halaman 144)

Qutaibah bin Sa‘id bercerita kepada kami, Muhammad bin Fudhail bercerita kepada kami dari Umarah dari
Abu Zur‘ah dari Abu Hurairah ra. ia berkata, “Jibril as. datang kepada Nabi saw. lalu ia berkata, ‘Wahai
Rasulullah, ini Khadijah datang dengan membawa tempat, di dalamnya ada lauk-pauk, atau makanan atau
minuman. Jika ia datang kepadamu sampaikanlah salam dari Tuhannya dan dariku. Berilah kabar gembira
dengan rumah di surga dari permata yang berlubang tengahnya, tidak ada kegaduhan dan kelelahan di sana.’”
(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Manakib, Bab Nabi Muhammad Menikahi Khadijah dan
Keutamaan Khadijah ra.)

Imam Bukhari ra. meriwayatkan pula dalam bab tersebut dengan dua riwayat, yaitu dari Aisyah dan dari
Abdullah bin Abu Aufa ra. hanya terbatas berita gembira di surga, tanpa menyebutkan salam.

Penjelasan Hadis
Dalam hadis tersebut, Jibril berkata kepada Nabi saw., “Ini Khadijah datang kepadamu, maka sampaikanlah
salam dari Tuhannya, dan berilah kabar gembira dengan gedung di surga dari mutiara yang berlubang di
tengahnya, yang tidak ada kegaduhan dan tidak ada kelelahan di sana sebagai balasan yang sempurna karena
ketika Nabi saw. mengajak kepada Islam, ia mengikuti ajakan itu tanpa susah-payah, bahkan ia menghilangkan
kelelahan pada diri beliau dan menghibur beliau dari setiap sesuatu yang menakutkan, maka pantaslah
manakala ia mendapatkan rumah di surga dengan sifat-sifat yang sepadan dengan amal-amalnya.

Al-Qasthalani ra. dalam Bab “Nabi saw. Memperistri Khadijah ra. dan Keutamaannya”, beliau mengatakan,
Jibril as. datang kepada Nabi saw. dan dalam riwayat Ath-Thabrani dari Sa‘id bin Katsir bahwa hal itu terjadi
di Gua Hira. Jibril as. berkata, “Wahai Rasulullah! Ini Khadijah telah datang kepadamu dengan membawa
tempat yang berisi lauk, atau makanan. Dalam riwayat Ath-Thabrani, makanan itu berupa hais (kurma campur
samin), atau minuman. Apabila ia telah datang kepadamu, maka sampaikanlah salam dari Tuhannya dan
dariku.” Hal yang demikian ini khusus diberikan kepada Khadijah, tidak diberikan kepada orang lain. Ath-
Thabrani menambahkan dalam riwayat tersebut, Khadijah menjawab: “Dialah Yang Mahasejahtera, daripada-
Nya kesejahteraan itu, dan semoga kesejahteraan atas Jibril.” 

An-Nasa'i menambahkan dari hadis Anas bin Malik: “Dan semoga atas engkau wahai Rasulullah
kesejahteraan, rahmat dan berkah Allah.”

Khadijah menjawab salam dengan memuji Allah, kemudian ia mengubah jawaban itu disesuaikan dengan yang
patut untuk Allah dan yang lain-Nya. Hal ini menunjukkan kesempurnaan akalnya Khadijah. Dan berilah kabar
gembira dengan gedung di surga dari permata yang berlubang di tengah, tidak gaduh dan tidak lelah, agar
rumahnya yang diberikan oleh Tuhannya sebagai kabar gembira itu sesuai dengan sifat yang terwujud dalam
perbuatannya dan keadaannya.

Sebagian sifatnya yang khusus adalah selamanya ia tidak pernah berbuat buruk kepada Nabi dan tidak pernah
membuat beliau marah. Al-Isma‘ili dari riwayat Fadhl bin Dakin menyebutkan: “Khadijah tidak pernah dengki
kepada seorang wanita, Khadijah tidak didengki ketika Nabi saw. memberinya kabar gembira dengan rumah di
surga yang terbuat dari permata yang berlubang. Jika beliau menyembelih kambing, maka teman-teman
akrabnya (Khadijah) diberi hadiah semuanya (sekenyangnya).”

Dalam riwayat yang kedua disebutkan: “(Aisyah berkata), saya tidak cemburu terhadap seorang wanita pun,
seperti cemburu saya kepada Khadijah, karena seringnya Rasulullah saw. menyebutkannya.” Aisyah berkata,
“Beliau menikah dengan saya 3 (tiga) tahun sesudah Khadijah wafat, dan Jibril as., menyuruh memberinya
kabar gembira dengan rumah di surga dari permata.”
Dalam riwayat Abdullah bin Abu Aufa: “Dari Isma‘il bin Khalid, ia berkata, saya berkata kepada Abdullah bin
Abu Aufa, ‘Apakah Nabi saw. memberi kabar gembira kepada Khadijah?’ Ia menjawab, ‘Ya, dengan rumah
dari permata yang berlubang, yang tidak ada kegaduhan dan tidak ada kelelahan di sana.’”

(Dikutip dari Al-Qasthalani, Jilid X halaman 435)

Wallahu A’lam

adalah keturunan *********
*

*
Lokasi : Kel. Gedongombo, Kec. Semanding
Rasulullah Saw.© Biografi Maulana Ishaq - EL-ZE ***

+ 1 KM kearah selatan dari pusat kota


Menurut penuturan Syekh Abu Al-Fadl (Mbah Ndol) Maulana Ishaq adalah saudara Syekh Ibrahim
Asmoroqondi (ayah Sunan Ampel). Jadi beliau adalah anak dari Syekh
Jumadil Qubro.Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anakyang bersama-sama dengannya datang
ke pulau Jawa.yaituMaulana IbrahimAsmoroqondi(Sunan Gesik) dan Maulana Ishaq. Syekh
Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana IbrahimAsmoroqondi ke Champa lalu ke
Jawa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai dan Blam- bangan.Sayyid
Maulana Ishak mempersunting putri Raja Blamban- gan Menak Sambuyu yang bernama Dewi
Sekardadu, dan mempunyai seorang putera yang bernama Ainul Yakin atau Raden Paku
(Sunan Giri).
Makam Syekh Maulana Ishaqal-Maghrobi berada di Desa Gedong- Ombo, Kecamatan
Semanding, Tuban. Masuk Gang Syeh Maulana, perempatan pabrik kapur sebelum Pasar Baru
Tuban. Sebutan SyekhMaulana al-Maghribi ini kemungkinan merupakan asal muasal nenek
moyangnya, yaitu daerah Maghribi atau Maroko di Afrika Utara.Di area makamSyekh Maulana
juga terdapat makamHabib Abdul Qodir bin Alwy Assegaf dan Habib Idrus bin Salim.
Makam Syekh Maulana al-Maghrobi ini juga ditemukan di beberapa tempat lain, seperti di
daerah Gresik, Cirebon, dan di daerah Bantul. Di daerah Jatinom, Klaten, ada juga makam Ki
Ageng Gribig, yang juga dikaitkan dengan Syekh Maulana Maghribi. Di daerah wisata
Baturaden (Banyumas) juga terdapat sebuah petilasan Mbah Atas Angin yang konon
merupakan nama lain untuk Syekh Maulana Maghribi. Di Wonobodro, Batang, Jawa Tengah,
ada pula Makam Syekh Maulana Maghribi.Lalu ada makam Syekh Maulana Maghribi di
Kawedanan Comal, Pemalang.
Demikian terkenalnya Syekh Maulana al-Maghrobi sehingga diklaim dimakamkan di banyak
tempat yang lokasinya saling berjauhan satu dengan lainnya. Dengan begitu banyaknya tempat
yang diklaim sebagai Makam Syekh Maulana Maghribi, tentunya hanya ada satu yang benar,
dan sisanya barangkali adalah petilasan, atau tempat dimana Syekh Maulana Maghribi pernah
singgah.
diolah dari berbagai sumber &&&&

SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG


Dening Mbah Guru
Kawetokake dening
Dewan Pengandhar Sabda Badra Santri
ing
Padhepokan Argasoka

——————————————————————————
Sagunging kahormatan
Nuwun
Purwaka

Buku sejarah punika nyatheti wiwit ing taun Masehi 1931, saking kepek cathetan tuwin pangandikanipun
Eyang Buyut canggah guru desa, tuwin Eyang Pandhita Kanung ing Pareden Kendheng Ngargapura,
Pomahan, Sukalila lan Prawata.

Piweling tuwin pamantos-wantosipun para swargi Eyang Panembahan Kanung punika: “Nggeeerr anak
putuku.. Tak weling poma-poma aja nganti dilirwakake!!! Sejarahe canggah wareng leluhur Kanung iki
aja nganti keprungu lan diweruhi dening wong sabrang ngatas angin Maghribi. Yen nganti keprojol,
awake dhewe mesthi bakal cilaka lan bilahi; klakon dibuwang neng Sawahlunta. Emrehe disirik wong
Mutihan wong Kutha.. Mbesok yen wong Kebo Bule wis mulih ning kandhange, crita sejarahe leluhur
Kanung iki bakal dilari digoleki dening priyagung Jawa kang mamestri  ngleluri kabudayan Jawa. Lhah
ing kono anak putuku tedhake wong Kanung aja tidha-tidha supaya mangastuti medhar mbabar sejarahe
luhure dhewe iki: Sura Dira Jaya-ning Rat bakal lebur dening Pangastuti!!!”

Mila ingkang mekaten punika sejarahipun leluhur Kanung punika selaminipun jaman penjajahan Landi
tuwin Nippong sami sireb kependhem ing pranataning Panguwasa. Nembe jaman Kemerdekaan R.I.
punika riwayatipun tiyang Kanung punika wiwit trubus muncul malih. Sanajana taksih wonten Priyantun
ingkang ngencepi tuwin mitenah, ngendikanipun: “Tatacara Kuna-Endra wis kependhem wis ilang sirna,
kok arep dithukulake maneh. Kolod Mbaahh, kolod. Wis ora njamani!!!”

Tumrap kita para sutresna sejarah leluhur Kanung tuwin ngrawat lan memundhi punden leluhur Kanung
punika perlu nguri-uri memetri Seni-Budaya Jawi piwulangipun swargi leluhur canggah wareng; wonten
bukti kubur patilasanipun nyangkleg wonten ing bumi papan panggenan kita, ing negari kita.

Wusana sampun kirang ing pamengku, Nuwun!!!

Katiti ing Padhepokan Argosoka, 28 Juni 1996.


Pambabar buku sejarah

ttd

Kacorek kaleresaken

——————————————————————————————————
Sejarah Kawitane :
Ana Wong JAWA lan Wong KANUNG
dening : Mbah Guru
Pet
a Jawa Dwipa
I. Jaman JAMAJUJA (Puluhan ewu tahun kepungkur)

Dhek jaman semana Pegunungan Kendheng kuwi wujude ana pegunungan 2 (loro):
1. Pegunungan Kendheng Kidul, karan Pegunungan Kendheng tuwa.
2. Pegunungan Kendheng Lor, karan Nusa Kendheng.

1. Pegunungan Kendheng Kidul

Kuwi dununge wiwit saka wetan Pegunungan Kabuh, Kabupaten Jombang, mbanjeng mujur mengulon
tutug Pegunungan Masaran, Kabupaten Sragen.

Sabab saka anane lindhu prakempa Gunung Lawu jaman sangang ewu tahun kepungkur, ndadekake
Pegunungan Watujago bengkah omblah-omblah mujur mengulon; wasana dadi Lembah Ngawi kanggo
dalan iline Bengawan Sala nrabas menggok ngalor tutug Cepu.

Sakdurunge ana lindhu gedhe, Pegunungan Watujago tutug Pegunungan Masaran kuwi dienggoni menusa
sing isih wuda mblejed, wujude kaya kethek-rangutan gedhe pangane rupa kewan: kodok, kadal, ula,
cacing, jangkrik, walang, sarta woh-wohan: mulwa, srikaya, mete, dhuwet, popohan, nanas lan liya-
liyane.

Kabeh mau mung cukup ngapek utawa nyekel ning alas panggonane urip neng kono. Panggonane turu
ning gowok sing dhuwur utawa pang-pang gedhe, durung ana sing wani turu ning guwa; sabab guwa-
guwa kuwi mesthi dienggoni macan gembong. Wong mau yen mati bangkene diumbar ngenggon kono
nuli ditinggal lunga, wekasane diothel-othel dipangan kewan galak; balunge pating kececer ning kana-
kana katut banjire Bengawan Sala padha nyangrah ning mbereman Gemolong, Kalijambe, Kabupaten
Sragen, wasana kurugan lumpur lan padhas linede Bengawan Sala, uga ana sing tutug mbereman
Ngandong, Kabupaten Ngawi.

Wong pulo liya sing wis padha duwe tata-budaya, olehi ngarani wong ngono mau aran Wong Legena.
Uga ana sing ngarani Gandaruwo. Ana maneh sing ngarani Kethek Limuri.

2. Pegunungan Kendheng Lor

Pegunungan Kendheng Lor (Nusa Kendheng) watara limang ewu taun kepungkur wis dienggoni wong
sing luwih maju tinimbang wong Legena, wong-wong mau wis bisa gegaweyan gaman-watu diasah
landhep. Nusa Kendheng kuwi nalika semana isih wujud Pulo gedhe cawang telu kang kinilung Teluk
Lodhan lan Segara; ing sisih wetan ngongkang Telok Lodhan lan Segara Kening. Sisih kidul keledan
Segara Selat Kendheng-Kidul lan Segara Teluk Lusi. Sisih kulon Segara Teluk Serang kang tepuk karo
Segara Selat Murya. Sisih lor Teluk Juwana lan Samodra Jawa kang jembar lerab-lerab. Gunung Murya
isih wujud gunung geni dhuwur-ngukusan, dikilung segara.

Nusa Kendheng kuwi ora duwe tanah ngare lembah banthak tadhah udan kang ngembong banyu; wujude
mung pegunungan alelengkeh jurang lan gompeng; ing sawetara gompeng ana guwa-guwane padhas sing
jembare mung sarompok teba. Neng bumi Nusa Kendheng kono kuwi ora ana thethukulan pari lan
jumawud, sing ana mung jalinthing, canthel, lan jagung-kodhok kang thukul subur neng lelowah sing
ngembes; wohe dadi pangane kethek, bethet lan bantheng. Ning alas kono lebeng wite: jati, trenggulun,
sawo-kecik, mete, klethuk, lan mulwa.

Gisike-pesisir nggenggeng wit: krambil, bogor (tal), jambe. Pesisire sing wujud rawa-embet klethukulan:
rembulung, bongaow, sarta brayo kang nrecel riyel. Ning punthuk pegenengan sing dhuwur-dhuwur ketel
suket-kalanjana lan alang-alang sing dienggoni grombolane bantheng. Bantheng wadon aran Jawi. Sing
gemati banget (jawa banget) ning pedhet-pedhete. Ing wayah bengi jawi-jawi mau yen padha turu padha
kupeng adu bokong karo jawi-Jawi liyane ngilung pedhet-pedhete. Dene bantheng-lanang sing mbenguk
padha kekiter njaga grombolane, aja nganti dimunasika kewan-galak.

Nalika semana Pegunungan Kendheng Lor kuwi wis didunungi menusa wong asli pribumi kono. Dedege
endhek pawakane cilik, kulite nembaga. Kauripane isih wlaha lugu deles, nanging wis nduwe kemajuwan.
Tatabudaya gegaweyan; sandhangane rupa cawed saka lulup waru diperut-alus dienam, utawa lulang
kewan diucel nganti lemes. Uripe sagotrah manggon ning guwa-guwa padhas mau, kekancan karo asu-
gladag sakirike sing wis padha kawong lulud melu manggon cedhak guwa kono.

Bocah-bocah cilik karo kirik kerep padha gojeg kekuwelan nanging nyakote ora tenanan, mung padha
ngos-ngosan pating krenggos. Panguripane wong-wong mau saka kekrapa, nyelog, memed, lan
mbebedag-ajag. Gamane rupa payal, panah, bedhor, sing digawe saka watu-jae kempling diasah mlingir
landhep banget. Yen luru pangan asu-asu kuwi mesthi melu kekinthil utawa jejigar sesanderan ngoyak
kewan nuronan, uga sok melu nyelog ndukiri palapendhem-alasan. Oleh-olehane pangan digawa mulih
dirantengi mung dikoprok thok, yen wis mateng nuli dioser-oseri awu rencek-sangkrah segara dadine
mbanjur krasa asin; nuli dipangan kepyah-kepyah sabrayate uga asu-asu sakirike padha melu mangan
bebarengan. Genine entuke saka wit kang kobong disamber bledheg, pang-pang garing ana genine
mengangah merga gesekan karo pang-pang liyane ing mangsa ketiga-ngangkang. Geni kuwi digawe totor
marong rina-wengi ning sacedhake guwa kono; yen bengi ngiras digawe memedeni kewan galak supaya
ora wani nyedhaki guwa kono; kawuwuhan kewan-kewan galak kuwi padha giris dijegogi asu-gladhak
sepirang-pirang swarane mawurahan rame. Yen pinuju padhang rembulan wong-wong mau padha
seneng-seneng ning sak njabane guwa, pada jejogedan lan gegandhangan sarta keplok-keplok lan anyul-
anyul cangkeme mecucu kaya cupu, tunggak-tunggak utawa kayu sing ngglonthong dithuthuki digawe
tetabuhan. Wong asli dhek jaman JAMAJUJA sing uripe isih sarwa deles prasaja wlaha ngono mau
diarani Wong Suku Lingga.

SIGEG
II. Jaman KUNA-MAKUNA (Sadurunge Tahun Masehi, Nabi Isa el masih durung miyos)

Wong Nusa Bruney-kidul sing manggon ning saurute pesisire Teluk Sampit sarta neng tepis kiwa tengene
Bengawan Sampit-hilir, ing sawijining wektu ketrajang pageblug-gedhe. Jare wong-wong Sampit kuwi
padha digrowoti Setan Blarutan-sogrok weteng; nganti akeh banget wong-wong sing padha mati, luwih-
luwih bocah cilik sing isih demolan. Wong-wong sing isih urip padha miris banget, nuli padha ngungsi
minggat ngumbara lelayaran mengidul nyabrang samodra Bruney; tumuju ning Nusa Kendheng. Setan
Blarutan ora wani nyabrang samodra nututi wong-wong ngungsi mau, jare wedi kesiku Bathari Hwa Ruh
Na, ratune Jim-Samodra.

Mangkate wong-wong ning Nusa Kendheng dipangar sani dening Kie Seng Dhang, sawijining wong tuwa
Sampit sing wegig lan akeh pengalamane, wong sing jangklanglana ning manca negara. Sawise lelayar
sepuluh dina sepuluh wengi, ing wayah pajar bang-bang-wetan katon regemenge Gunung Nusa Kendheng
(saiki Gunung Ngargapura Lasem); gisik sawetane Ngargapura katon sesawangan (pemandhangan, saiki
dadi desa Pandhangan) kang ngresepake pandulu. Puncake Gunung Ngargapura katon ampak-ampak
memplak, langit resik ngalela warnane biru-lasuardi; ombak agilir-gilir lindhuk nyempyok gisik pesisir
sawetane Ngargapura.

Yaaa neng bumi kono kuwi wiwite wong-wong Sampit padha ndarat cakalbakal dadi bangsa-anyar, aran
Wong Jawa.

Let sapenginang (wong-wong wadon Sampit padha seneng nginang nglenthusi woh jambe sing isih enom,
arane Mucang), prau-prau mau wis padha mepet gisik (palwa-palwa = palwangan. Plawangan, saiki dadi
desa Plawangan), para Pandhega mbuwang dandhan padha ndokok (menaruk-naruk, saiki dadi desa
Narukan) praune jejer-jejer urut gisik mbanjeng mengidul. Nenek-nenek padha ndisiki mudhun saka prau
kanthi mbuwang susure tepes-jambe ning segara, minangka sarat mbuwang sebel saka negarane. Nyi
Seng Dhang nguculi udhete ngrogoh cepuk isi lemah-lebu saka bumi Sampit, disawurake ning gisike
bumi Ngarga Kendheng; nuli sembahyang sujud sumungkem Pretiwi lan tumenga Angkasa. Wong-wong
wadon liyane padha melu sembahyang bebarengan, ing pamuji: “Muga-muga sagotrah krandahe sing
padha neneka kuwi padha entuka Kabekjan lan Karahayon pindhah tetruka ning bumi kono, tulusa trah-
tumerah turun-tumurun bebranahan nganti pirang-pirang jaman dadi bangsa-anyar neng Nusa Kendheng.”

Wong-wong lanang nuli padha nusul munggah dharatan luru papan panggonan sing nyangkleg ning Tuk,
kanthi enthuk pituduh lan pangeguh saka kakek Kie Seng Dhang sing lakune wis sempoyongan astane
digandheng putune Putri-kinasih umur 12 tahun; praupane ayu pindha golek-kencana, asmane Nie Rah
Kie.

Kakek Kie Seng Dhang mlaku nusup-nusup ning alas bebondhotan, sawise oleh papan kang cocog lan
gathuk nuli prentah ning kabeh krandahe diutus mbubak grumbul nebang kekayon digawe teba. Putri Nie
Rah Kie weruh kembang warnane putih-memplak anjrah nedhenge medem uga ana sing isih kundhup
gandane amrik-wangi, wite pating grembel ngoyod ning gompeng. Sang putri kesengsem banget nuli
matur ning Eyange. “Besuk yen wis duwe omah lan karasan arep nandur kembang sing warnane putih
ngresepake banget ngono kuwi.” Kembang mau dijenengke kembang Melathi dening Sang Putri.
Watara patang sasi alas kuwi wis dadi papan-pomahan lan pekarangan; nalika kuwi tepak mangsa Labuh
wayahe boros padha trubus, uler jati padha dadi ungker, woh-wohan padha medhohi, palapendhem akeh
sing isih bentet; ndadekake wong-wong seneng ayem ngrasa ora kekurangan pangan.

Minangka kanggo mengeti asal-usule Kie Seng Dhang kuwi saka desa Tanjung-matalayur sawetane
Teluk Sampit bumi Nusa Bruney pesisir kidul, mula punjere desa cakal bakal sing didunungi Kie Seng
Dhang sagotrah-krandahe mbanjur dijengke desa Tanjungputri (saiki dadi desa Tanjungsari, Kecamatan
Pandhangan/ Kragan Kabupaten Rembang).

Sawise dadi karas-pekarangan lan pomahan, ing sawijining dina wong-wong mau padha ngumpul ning
Balepaguyuban Tanjungputri, perlu ngrembug Tatapranata lan Tataraharjane desa disesepuhi kakek Kie
Seng Dhang. Giliging gawe putusan:

1. Ngangkat Kie Seng Dhang diwisudha dadi Sesepuh lan Dhatu Tanjungputri ing salawase Urip,
mrenata bumi Pegunungan lan Pesisire Ngargapura, wiwit Pandhangan tutug teluk Lodhan sing
gisike wujud Wedhi-malela. Teluk kuwi nggenggeng alase wit Pung kang ketel sirung, ing sisih
wetan ana bregade wit Pung-gedhe banget cacahe ana telu (=Sam, saiki dadi desa Sampung).
2. Bumi Nusa-Kendheng diganti aran: Tanah Jawi, nulad arane Bantheng-wadon (jenenge: Jawi)
sing dikramatake dening wong Lingga.
3. Awake dhewe kuwi wis ora aran wong Sampit maneh, ngganti aran; wong Jawa, Nulad watake
bantheng-wadhon kang jawa-banget (=gemati, ngerti, wigati) mring pedhet-pedhete. (Bumine
aran: Tanah Jawi, menusane aran: Wong Jawa).
4. Wong-wong kuwi nuli menehi tetenger Tahun, wiwite dadi Wong Jawa, diarani (Tahun Jawa
Hwuning: 1 = 230 tahun sakdurunge tahun Masehi); sarta digawekake Lambang-Reca watu-item
gedhene sak-menusa, pethane Kie Seng Dhang ndodhok ning Pongol sawetane Gunung Tunggul.
Para tetuwa diwajibake nganggo kalung rambute dewe ditampar, lan diwenehi mendhel/
gandhul singg digawe saka Watu-jae wilis gedhene sajenthik-manis; memper recane Kie Seng
Dhang.

Wong-wong mau padha Prasetya-Suci

1. Wong Jawa turun-temurun tutug Jaman apa wae tetep padha ngrungkepi Tatapercayaan-Suci
Hwuning, naluri saka leluhur Nusa Bruney bangsa Chaow (=inggatan=ngumbara) saka Nusa-
Hainan; jaman Jamajuja 3000 taun kepungkur (1000 taun sakdurunge Nabi Isa el Masih miyos).
Guru-guru Agung bawana Masriki uga durung miyos neng Alam-ndonya, yakuwi: 1. Laow Tze
Tao, 2. Hud Tze Buddha, 3. Kong Tze Khonghucu. Wondene asal-usule bangsa Chaow sing
kawitan kuwi wong saka negara China, tepise bengawan Yang Tze Kiang udhik diapit
Pegunungan Kwen Lun lan Pegunungan Tang La, Propinsi Ching Wai. Wong-wong mau sumebar
mengidul ning bumi Tiongkok-Kidul (Nalika 4000 taun kepungkur=2000 taun sakdurunge taun
Masehi), ngliwati sakidule Pegunungan Yun Lin. Ngliwati Propinsi Yunan, Propinsi Kwang Sie,
Propinsi Kwang Tung. Nuli nyabrang segara munggah dharatan Nusa-Heinan, sabanjure nuli
nyabrang mlebu Nusa-Bruney; sumebar anjrah dadi banbgsa-anyar suku Dhayak rupa-rupa
jenenge manut arane Bengawan-bengawan kono (Barito: Maanyan-siung. Kayan: Apokayan,
Kenya. Segah: Segal. Maham. Punan. Sampit). Sawise dadi wong Dhayak Sampit nuli ngumbara
maneh nyabrang samodra ngancik Nusa-Kendheng, malih ngganti aran: Bangsa Jawa.
2. Ing mbesuk Wong-wong Jawa neng Negara ngendi wae tansah padha nguri-uri ngagungake Ke-
Jawane, lan mekarake Senibudaya Jawa.
3. Wong Jawa sing nyingkur/nyepele ke-Jawa-ne bakal dadi wong Jawa-jawal sing ora nduwe
Dhangkel lan Oyod-lajer. Uripe tansah Nglindur lan Mbangkong nganti ngaya ngayal-andupara,
nguber kaendahane Jodhog-layung ing wayah surup Sandyakala.

Kakek Kie Seng Dhang ngasta pemrentahan Banjar (=desa gedhe) Tanjungputri genep 30 taun, yoswa 90
taun wis wiwit loyo lan ngrasa wegah; pamrentahan nuli dipasrahake Putri Nie Rah Kie kanthi diwakili
garwane yakuwi: Bandhol Hang Lhe Lesy kepala Pelaut pesisir Pandhangan sapengidul. Bareng Putri Nie
Rah Kie nyekel pangwasa Banjar Tanjungputri, bandhol Hang Lhe Lesy nggawe pranatan Pemrentahan:
Sang Putri Nie Rah Kie dikeker dipingit sajrone Tamansari Kedhaton, ora ana wong lanang sing kena
meruhi ragane (praupan lan blegere) Sang Putri; kejaba garwane lan putra-putrine sarta para Emban.
Undhang-undhang pranatan Pemrentahan didhawuhake saka Kaputren kedhaton Tanjungputri Kraga
(=ngeker raga=kerraga=keraga; saiki dadi Kragan) liwat Emban-keparak; nuli diterusake ning
Nayakapraja-priya.

Sawise Kie Seng Dhang seda layone ditunu, awu layone dikubur sacedhake Tuk/ sumberan lan didodoki
tetenger watu mecongol diayomi wit Wringin-Brahmastana. Minangka Leluhur (=Dhanhyang) sing
cakalbakal desa kono, mula asmane Kie Seng Dhang dipepundhi Trah tedhak turune lan kawula-rakyate;
panjenengane minangka Dhanhyang Pundhen kanthi dipengeti tembung “Tuk” ning kabeh desa diganti
tembung Sendhang. Ngapek saka tembung Seng Dhang (Yakuwi: Sendhangmulya, Sendhangwaru,
Sendanggayam, lan liya-liyane).

Reliqe (200 taun durung Masehi) dirawati dipepetri Trah tedhak turune digawa ning negara liya digawe
tumbal dipendhem ning Taman Pundhen Agung. Wong-wong Tanjungputri yen mati layone ditunu ning
gisik Pandhangan, awu-layone dilarung dikelemake ning segara. Asmane suwargi Putri Nie Rah Kie
disungging dening tukang Patung wujud Reca-emas didokok ning candhi gunung Tunggul.

Pamrentahan Kraga Tanjungputri klakon madeg nganti pirang-pirang turunan ora ana sambekala, saben
ganti Pemimpin mesthi milih Putri kang Witjaksana trah-tedhak turune Putri Nie Rah Kie; lan uga
ngeker-raga ning Taman Kedhaton Tanjungputri. Wong-wong Jawa Kraga kuwi uripe wis padha seneng-
ayem, sebab padha cepak rejekine sembada sandang pangan lan bale-pomahane, sarta pada tetep
ngrungkebi ngluhurake Tata Budidaya Suci Jawa Hwuning.

SIGEG

Nalika jamane wong-wong Sampit ngumbara ngungsi pindhah ning bumi Nusa Kendheng Ngargapura,
iwak Pesut (=iwak Lodhan Bengawan Sampit sing lulut karo Menusa) akeh sing padha melu atut pindah
ngumbara; amnggon ning segara Teluk sakidul wetane Gunung Ngargapura, sing wasana Teluk mau
mbanjur karan dadi Teluk Lodhan. Nalika jaman semana gisike Teluk Lodhan mau sepi mamring tidhem-
premanem durung kejamah menusa; sing manggon bumi Teluk kono mau mung sarupane mauk-segara
lan manuk-alas; sarta penyu lan bulus sing arep padha ngendog. Kadhang kala ana Jawi (=bantheng
wadon) alas-kono, karo pedhete pada dhede klekaran ning pawedhen ngangetake awak; lawas-lawas Jawi
karo iwak Lodhan kuwi padha kawong bisa urip rukun ning gisik kono. Babon iwak Lodhan yen arep
manak saben dina nyrondholi nyurungi ganggeng-sangu sing tuwuh anjrah pating krembyah ning segara
Teluk kono diunggahake ning gisik; ganggeng-sangu ning ngumbruk ning kono nuli dipangan Jawi sing
nedhenge lagi nyusoni pedhete, ndadekake awake krasa seger susune mangkah-mangkah. Bareng babon
Pesut krasa arep nglairake nuli nglangi mlumah sarta ngambang, Duplonge (=bayi Pesut) lahiir krogal-
krogel ambegan nyerot hawa tumumpang ning wetenge biyunge; Dhuplong kuwi sawise bisa nglangi nuli
munggah gisik kanthi gampang ora kesrimpet sangu sing pating krembyah; duplong kuwi arep dhedhe
ngangetake awak. Bareng mambu gandane susu Jawi nuli krogal-krogel marani babon Jawi sing lagi
nglekar nuli ndesel-ndesel ngenyut susu sing mangkah-mangkah kuwi. Babon Jawi ora kaget mandar
aring sarta ndilati Dhuplong sing isih gupak banyu ari-ari; sanalika pedhet Jawi mandar nggeblas lunga
lan gebres-gebres sabab mambu gandane ari-ari dhuplong, nuli nyingkir marani sangu nyengguti pupuse
sing isih enom-enom. Bareng si Dhuplong wis wareg nggone nyusu nuli kosal-kosel marani biyunge sing
isih nunggoni ning banyunan segara.

Pesut sing padha bebarengan ngumbara ngalih manggon Telok Lodhan kono mau sasuwene 130 taun, wis
padha nak-kumanak tangkar-tumangkar uripe padha  jenak-aring kumpul kambi kewan rupa-rupa ning
teluk kono. Karo wong Kraga Tanjungputri sing pinuju ning segara, pesut-pesut mau mandar isih wani
nyedhak sarta lulut nyrondol-nyrondol.

Wong Jawa Kraga yen luru pangan ora gelem nglanjak tutug Teluk Lodhan sing dienggoni Pesut lan
Bantheng sing padha urip rukun mengkono mau, apa maneh ngganggu utawa mateni kewan loro kuwi;
wong Jawa mandar sirik lan wedi banget ning pamanti-wantine Dhanhyang luluhur: “Anak-putu Kraga
aja nganti sing munasika Pesut lan Jawi kuwi, apa maneh nganti mateni.” Wong jawa tedhak turune wong
Sampit mau sasuwene 130 taun uga wis padha bebranahan sumebar sepegunungan Ngargapura, dedunung
gegobrolan-gegrombolan sagotrah-krandahe. Nalika semana wong Jawa mau wis padha ingon-ingon
wedhus-kacangan entuke saka mbasangi cempe-alasan, diipuk-ipuk digemateni dicancang ning cagak
amben, kumpul sajromah karo menusa. Bareng wis dadi wedhus bisa lulud nganti nak-kumanak
bebranahan, wedhus-wedhus kuwi dikandhangi ning karasan dikilung bethek sarta dicepaki rambanan;
rina wengi dijaga asu-gladhak sing wis pomah lan mendara. Wong-wong pomahan nggone nduwe pikiran
ngingu wedhus ngono kuwi, perlune yen nduwe gawe butuh masak daging kanggo lawuh-nyomok ora
ndadak nunggu dhisik ajag kewan ning alas. Asu-gladhak sing wis ewonan taun urip kumpul karo menusa
dijak ajag, njaga omah njaga rumangkang lan rewang gawe liyane mandar mung diumbar turu ning latar
ngringkel utawa ning emper-gandhok.

Sasuwene wong Jawa lan iwak-Lodhan (Pesut-pesut) kuwi dedunung neng bumi Ngargapura wis 130
taun (Taun Jawa-Hwuning wis taun 130 = Tahun Masehi durung ana), wektu kuwi ana wong neneka
pindhahan saka Nusa Tempabesi ndharat ning Tanah Jawi pongol Lodhan segara kening, bebadra bubak
bumi alas Pung cikalbakal nggawe desa urut pesisir sawetane Teluk Lodhan; desa mau karan desa
Sampung. Wong neneka kuwi wis akeh sing pinter nggawe prau-gedhe, cekung dhasare awak-prau lan
anthok-cocoke sing digawe saka kayu-pung sing kuwat krendhem banyu asing (Ing jaman saiki tedhak-
turune wong-wong mau padha dadi wong ahli nggawe prau ing Desa Bulu, Kecamatan Bulu, kabupaten
Tuban). Liya kuwi wong-wong mau uga pinter nenukang maneka-warna; dadi Undhagi tukang kayu,
Pandhe tukang wesi, Gemblak tukang kuningan, Sayang tukang temnbaga, Kundhi tukang grabah lan
Jlagra tukang umpak-watu sakane omah; tata-pakaryane wong-wong mau aran Kabudayan Sampung.

Kanggo njembarake papan panggonane, wong-wong mau padha nekad ngrambah alas nglanjak bumi
Teluk Lodhan. Wong saka Nusa Tempabesi kuwi Kapercayan/Agamane ngadhep-manembah ning Dewa
Srengenge/Geni, dewa Samodra/Banyu, dewa Angkasa/Angin, dewa Bumi/Naga Ijo. Wong-wong kuwi
ora sirik mangan daging Bantheng lan iwak Pesut; nggone nglanjak bumi Lodhan kuwi mandar ngrasa
luwih kebeneran sabab bisa mbebedag-ajag lan misaya iwak kanthi sakatoge. Kang mengkono mau
ndadekake kewan-kewan kang biyene padha urip tentrem aring malih dadi kobrak giris kesid; temahan
padha minggat sumebar saparan-paran. Pesut lan Bantheng mau padha minggat sumebar mengidul
nyabrang segara tumuju ning bumi Nusa Kendheng Kidul, sing alase isih lebeng ketel gung liwang-
liwung durung dijamah menusa; segarane cethek ombake lindhuk akeh iwake cilik-cilik maneka warna,
ndadekake jenake Pesut-pesut mau gampang oleh pangan. Grombolane Bantheng liyane ana sing terus
ngumbara ngidul-ngetan nyabrang segara Supitan-Kamput, nuli terus munggah ning alas-alas gerotan
Pegunungan Brahma-Mahameru sapengetan tutug alas gerotan Pegunungan Raung (Saurute Bengawan
Brantas dhek Jaman-Jamajuja isih wujud Segara-selat kang ngilung Gunung Kawi, kamput, Ajar-smara,
lan Penanggungan.
Desa Sampung sawise madeg 75 taun ngalami kertaharja, wonge padha berag-berag omahe panggungan
bebanjengan saurute pesisir, praune mangkal jejer-jejer mengulon tutug Teluk Lodhan. Sasuwene 75 taun
kuwi wong-wong Sampung mau wis akeh sing padha sambung srawung karo wong Kraga-Tanjungputri,
mandar wis akeh sing padha campur jodhon sesilangan. Kabisane gegaweyan wong Sampung padha
ditulad wong-wong Kraga. Sabalike Kapercayan-suci Hwuning lan Kabudayan wong Jawa Kraga-
Tanjungputri padha ditulad wong Sampung, sebab ragade Upacara-Hwuning luwih entheng lan irid;
ilmune luwih blag-blagan Kanyatan gampang. Beda karo Agama-kapercayaane wong Sampung kang
sarwa andupara khayal, ilmune rumit ruwed pujamantrane dawa ngalur-alur ndrememel ngeselake; ragade
Tata-Upacara akeh bange, sajene ngambrah-ambrah. Kang mengkono mau ndadekake wong-wong
Sampung padha bosen, wekasane mbanjur malih seneng ngalih ganti ngrungkepi kapercayan-suci
Hwuning, cawuh luluh karo kabudayan Jawa Kraga Tanjungputri; mandar mbanjur gemang ngakoni aran
wong Sampung-Tempabesi maneh, malih ngaku dadi wong Jawa-Sampung.

Ing taun Jawa Hwuning 205, wong-wong Jawa-Sampung wis akeh sing padha misah maneh, bebadra
sumebar ngidul-ngetan butuh panggonan sing luwih subur loh jinawi ning bumi Nusa Mahameru; srana
nyabrang Segara-supitan Kamput kang jembar lerab-lerab wiwit Teluk-Popoh mengalor; mberemane
Segara-supitan dadi rawa bening lan rawa Gesikan terus mengalor ngliwati Tulungagung, Kedhiri lan
Kertasana; tutug Megaluh (Jombang) tumlaweng menggok ngetan ngliwati Plosso tutug Teluk-Tarik
anjog segara Medunten. Bumi Nusa Mahameru sapengetan tutug Pegunungan Raung mau diganti aran
dijenengake Nusa Jawa-Pegon, wonge uga karan wong Jawa-Pegon.

Ing taun Jawa-Hwuning 205 kuwi wong Jawa Kraga sakwise Pitung-turunan (Anak, putu, buyut,
canggah, wareng, udheg-udheg, gantung, siwur) wiwit saka Putri Nie Rah Kie, cacah jiwane wong kono
mau wis dadi akeh banget; mandar omahe wong Pandhangan tutug Narukan wis jejel riyel. Mulane wong-
wong mau banjur padha misah tertruka ning bumi sengkaning-gunung saurute Pegunungan Ngargapura
kang lelowahe subur banget kethukulan pring-ori dhedapuran bunge nrecel riyel. Ring ilen-ilen banyu
kang muleg-muleg selane watu-watu akeh iwake-jambrung pating sriwed nyisili lumute watu.

Semono uga wong-wong Trah-tedhake Putri Nie Rah Kie krandhan gisik uga melu pindhah bebadra;
sarehne wis kulina urip ning bumi Belahan mula gemang melu tertruka ning bumi sengkaning-gunung,
milih panggonan sing nyangkleg segara yakuwi ning perenge Gunung Ngargapurasing sisih lor
(Kecamatan Sluke) kang ngungkurake juran jero lan rungkud; desa kuwi disenengake: Terahan (Trah =
tedhake Putri Nie Rah Kie). Bumi sing banthak wujud gisik mawa Teluk kanggo mangkal prau-prau
manca sing padha mampir arep ngapek banyu omben, mbanjur katelah aran desa Pangkalan.

Wanita Terahan lan Pangkalan kuwi misuwur akeh sing manis-ayu, sarta isih padha nerusake naluri
Adatcarane Wanita Leluhure ing Tanjungputri; wanita-wanita mau padha seneng nandur wis kembang
Melathi kembange kanggo ngrengga raga yen dhong nekani Pahargyan, yakuwi nganggo cundhuk
Melathi-sisir nyisip nglaweng ning gelungan, sesumping Melathi-ronyok, kalung ronce gegombyok
kembang Kanthil; dene pedinane saben rampung reresik-awak mesthi cundhukan kembang Melathi kuwi.
Tumrap wong-wong Priya kanggo renggan Omcen-oncen Surengpati dikalungake ning mendahake Keris.
Yen pinuju dina Suci kanggo sawur-nyadran ning kubure Sembok-Semak, uga ning Pundhen-Leluhur
Nyai Dhanhyang/Kaki Dhanhyang sing cakalbakal desa; disajeni ubarampe sajen sapepake lan karangan
kembang Melathi sarta kutug dupa pratus-wangi.

Tutug jaman-saiki para Wanita Wirya Wicaksana sing rumasa isih Trah-tedhak Tanjungputri senajan
dedunung ning negara kana-kana, senajan sauwit-wong uwit para Wanita mau isih merlokake nandur
kembang Melathi; utawa ngrengga sarira ngagem kembang kang ngresepake-ati kuwi. Minagka sarat
ngluhurake drajad, sarta mengeti memundhi asmane Putri Leluhure, yakuwi Putri Nie Rah Kie, Dattsu
Dewi Sibah, sarta Maharani Bre Lasem I Dewi Indu Purnamawulan; lan Putri-puri Kriyan putra Eyang
Mpu Guru Pr. Santibadra. (Suwargi putri Cempa Bie Nang Tie lan putri Malokhah uga sengsem melu
ngagem kembang Melathi kuwi). Uga Raden Adjeng Kartini.

SIGEG
III. Jaman KUNA-KOBRA (Ing taun Jawa-Hwuning: 230 Masehi: 1)

Kacarita ing sawijining bengi nalikane wong-wong Pambelah Pandhangan lagi padha jejagongan ning
gisik kang ngilak-ilak, padha omong-omong nyatur. Kawitane nggone ndarat Leluhure ning gisik bumi
Pandhangan kono kuwi dietung-etung wis ana 10 = sepuluh turunan.

Ketitik neng blandar-tongciet dalem Pedhanyangan Tanjungputri ana toletan-enjet 230 dulit (=1 dulit =
pendhak Labuh = 1 taun); toletan kuwi minangka papeling nggone ndarat Leluhure lawase wis ana 230
pendhak mangsa labuh (=230 taun). Nggone ngetung 10 tutunan kuwi wiwit saka Dhanhyang Kie Seng
Dhang. Nalika padha jejagongan kuwi dumadakan wong-wong mau padha kaget sebab weruh Kaelokan:
Ning langit tencebing cakrawala sisih lor-kulon ana sorote Lintang-kemukus nglandeng sumorod ngidul-
ngetan, ngliwati sandhuwure segara Jawa lan segara Kening.

Wayah esuke wong-wong padha umyeg nyatur wahanane Lintang-kemukus mau; ana wong sing
nyarawidekake ning Nujum sing waskitha, wedhar wasitane: “Neng Bawana negara Maghribi rajane lagi
nglumpukake Kawulane mlebu ning kutha, perlu diwilang cacah-jiwane. Ana kang sejodho, sing lanang
pagaweyane tukang-undhagi; sing wadon lagi ngandheg tuwa, wong mau ora keduman pondhokan mung
entuk panggonan kandhang wedhus pinggir desa. Dumadakan ning kandhang kono wong wadon mau
mbabarake jabang-bayi lanang; wecane Sang Nujum: “Besuk jabang-bayi kuwi yen wis diwasa bakal dadi
Raja Binanthara-nyakrawati, nanging ora kagungan Keraton ora tau pinarak dhampar-kencana, ora
kagungan prajurit kang asikep gegaman perang; nelukake musuh ora kanthi merangi lan milara, mung
kanthi Perbawa (Ambek asih pari-tesnane). Gesange ora kagungan Wibawa (Kamulyan sugih rajabrana),
mung nyandhang sapala kandhang langit kemul mega ngumbara ndlajah desa milangkori, medhar Wasita
“Begja Rahayu”. Wong-wong Pambelah mengeng nggagas wahanane weca sing aneh banget ngono kuwi.
Let seminggu sawise wong-wong Kraga padha weruh Kaelokan ngono mau, wong Sampung akeh sing
padha ngimpi; rumangsane akeh iwak Pesut-Lodhan lan Bantheng padha ngamuk liwung ngrusak Banjar
Sampung ngebrukake omah lan nguber-uber wong padha dipateni.

Ora gantalan dina sawijining bengi angler-anglere wong padha turu dumadakan ana prahara gedhe; angin
sindhung-riwut segara Jawa lan segara kening kaya dilebur, alun gedhe gumulung nglanjak dharatan lan
Teluk Lodhan; perenge Gunung Ngarga sisih wetan padha longsor. Thukule prahara gedhe ngono kuwi
sabab Gunung Agung Sengkapura njeblug (Ing taun Jawa-Hwuning 230 = Masehi 1). Pulo Baweyan
Sengkapura sirna separo, mblabare blegedaba muncrate lumpur-panas lan watu-watu mengangah kontal
ning angkasa, sarta udan awu sumebar tutug ngendi-ngendi ngurugi Segara Jawa. Teluk Lodhan malih
dadi dharatan Kragan, Sarang, Sedhan (Kabupaten Rembang). Segara Kening malih dadi dharatan Pesisir
Lor Kabupaten Tuban. Ing sisih kidul nyisa mberemake kali-gedhe (Bengawan Solo) wiwit Kradenan
ngglendheng mengalor tutug Cepu, nuli mbelok mengetan dadi bengawan Kethek; mbanjur amber dadi
rawa Widhang tutug bumi-embet Pangkah/ Sidayu, iline muntah ning Segara-supitan Medunten.

In taun Masehi: 50 dharatan tilase Segara mau wis malih dadi alas-bebondhotan kaselanan palakirna
warna-warna. Wong-wong Tanjungputri salore Ngargapura wiwit padha wani lan seneng bebadra bubak
desa ning Pesisir-lor Segara kening, sing bumine sela-selane watu-gamping tutug tepise segara padha
ngetuk, mbrubul banyune tawa bening nyarong. Bumi bubakan mau dijenengake, desa Mituk (Saiki dadi
desa Beti = Bektiharjo).
Ing taun Masehi: 100, desa Mituk kuwi wis dadi Banjar gedhe mbanjeng mengalor ngliwati bumi
pagenengan sing lemahe warna Kuning semu Abang; sarehne wis dadi Banjar gedhe tur nyangkleg
segara, para Pambelah/ Nelayan nggawe plabuhan ning pesisire; plabuhan kuwi dadi bantarane para
Pelaut/ Pedagang saka manca negara, padha gancol sarupane barang-kebutuhan bisa tinemu ning pasar
Mituk kono. Misuwure ning negara-manca, banjar kuwi ora diarani banjar Mituk, nanging diarani banjar:
Sitijenar. Wong-wong saka Tanjungputri Jawa-Hwuning kang cacah jiwane luwih akeh, padha saeka-
praya ngangkat sawijining wong Wegig Wiled Trah-tedhak Tanjungputri, asmane Hang Tsu Hwan,
diwisudha dadi Dhatu (kepala Adat) banjar Sitijenar. Nalika pamisudhan dikepkyakake, Dhatu Hang Tsu
Hwan ngundhangake ning para Sumewa; papan Pasawuwan-agung mau didadekake punjere kutha
Sitijenar, dijenengake Kutha Begja-Agung (ucape umum salah-kaprah ngarani Bejagung).

In taun masehi: 107, Dhatu Hang Tsu Hwan wis bisa ngirup Banjar-banjar pesisir-lor tanah Jawa, kutha
Begja-Agung nuli didadekake punjer Pangesuhe banjar-banjar mau; dijenengake Negara Jawa Purwa.
Wiwit jaman pamrentahan Hang Tsu Hwan wong-wong Nusa Jawa-Pegon kuwi wis akeh sing padha
nggrancol ning Banjar Sitijenar, pangesthine Nusa Jawa-Pegon kuwi supaya luluh dadi siji karo negarane
Dhatu Hang Tsu Hwan (Nggone ngarani ngaub pangwasane Dhatu Hang Tu-Ban = pamrentah Tuban.

SIGEG.
IV. Jaman JAWA-DWIPA (JAWA-Pegon lan JAWA-Purwa)

Ing taun Masehi: 110, bumi Jawa-Pegon kuwi dihoregake Lindhu prakempa marambah-rambah asale saka
Gunung Kamput; gunung kang ngongkang Segara-supitan Kamput padha horeg ngengkrog-engkrog sora
banget, bregad-gedhe pada rungkat rubuh pating slayah; perenge gunung-gunung pada longsor nglongsori
Segara-supitan Kamput. Liya dina kawuwuhan Gunung Kamput njeblug ngetokake blegedaba bulah-
bulah mawalikan mblabar ning Segara-supitan; udan awu sumebar tutug ngendi-endi. Wong-wong
Sitijenar nyawang langit peteng kaya kesaput mendhung ngendhanu ngono kuwi padha miris banget, ora
ana wani metu saka ngomah sabab bledug-awu ngampak-ampak mlepegi napas, godhong gedhang padha
sengkleh kabotan awu nemplek nglapis lumahe.

Bareng wis klakon setaun kaanan sing mengkono mau wis sirep tidhem, Segara-supitan Kamput katon
malih dadi ciyut kali sapralimane, ganti wujud dadi bengawan ambane bisa disabrangi nganggo gethek-
gedebog; wong-wong menehi aran: Kali Brantas (Nalika Taun Masehi: 111).

Wong-wong Nusa pegon sangsaya wuwuh adrenge nggone nedya manunggalake negarane karo negara
Jawa-Purwa, mula nuli padha usul ning Dhatu Hang Tsu Hwan. Saka kawicaksanane Sang Dhatu
pamonthane wong-wong kuwi enggal dileksanani, kanthi disekseni wong-wong saka negara liya,
Gembleng cawuh manunggale negara Jawa-Pegon karo Jawa Purwa (P = (aksara Jawa) = loro)
dijenengake: Nusa Jawa-Dwipa. Nalika taun Masehi 115.

In taun Masehi: 385, wong-wong banjar Terahan sing cacah jiwane wis padhet, padha lunga misah
bebadra cakalbakal ning bumi Argasoka, yakuwi perenge Gunung Ngargapura sing sisih kulon; papane
ngongkang Segara-teluk, sing sisih lor kadhangan Punthuk Ngendhen, Kecamatan Lasem. Segara-teluk
kuwi mbanjeng mengetan nuli mbelok mengidul urut perenge Pegunungan Argasoka, ning pepereng
pegunungan kono kuwi akeh wite Pucang lan Resula blukange warnane kuning-gadhing tuwuh
nggenggeng ledhung-ledhung. Saka bumi bubakan kono yen nyawang mengulon katon Pulo Maura
dikilung segara, pulo kuwi wujud gunung-gedhe masung pucake mawa kawah-geni ngetokake kukus
kumebul nglandeng ning langit; ing sisih kidule katon benggang karo pegunungan Sukalila-Prawata
keledan Segara supitan Maura. Wong-wong bebadra kuwi dipangarsani kanoman umur 35 taun asmane
Hang Sam Badra, sawijining Klana kang adoh tebane ning Sabrang lan Negara kana-kana. Mula kuwi
dening wong-wong bebadra mau mbanjur ngangkat dheweke diwisudha dadi Dhatu ning kono; bumi
cakalbakal kuwi katelah aran Pucangsula (Saiki tilase dadi desa Logadhing-Sriamba, Kecamatan Lasem).
Sawise desa kono madeg 15 taun malih dadi Banjar-gedhe sebab akeh wong neneka saka negara Sabrang
melu bebadra ning kono; wong-wong manca mau sawise kumpul srawung karo wong Pucangsula,
temahan padha malih ganti seneng ngrungkepi Kapercayan-Suci Hwuning lan Budibudaya Jawa,
wekasane mbanjur luluh dadi wong Jawa-Dwipa.

Wiwit bebadra dadi Wong Jawa ning Tanjungputri ing taun Jawa-Hwuning: 1 nganti bebranahan mencar
sumebar sepegunungan Kendheng Ngargapura suwene wis 617 taun, durung ana wong Wegig gong
Wicaksana mulangake medhar Larasing Kapercayan-suci Hwuning. Wong-wong nggone ngrungkepi
ngedhep/ manembah Hyang Tata Maha Das kuwi yaa mung atut-grubyug kaprah lumrahe wong akeh
padha krukunan nindakake Tatacara susilatama lan setya ning Negara. Lagi jaman madege banjar
Pucangsula kuwi Kapercayan-suci Hwuning bisa dingerteni/diwikani dilelaras

dening para Wegig, para Pandhita; saka leladi pangastutine Panembahan Guru Dhatu hang Sam Badra
kang merlokake nyambi mulang para Kasepuhan Kanung (=sengkaning gunung); ing taun Masehi: 387,
manggon ning Pasraman punthuk Punggur Gunung Tapa’an (Desa Warugunung, Kecamatan Pancur,
Kabupaten Rembang).

Ing taun Masehi: 390, Dhatu Hang Sam Bandra nggawe plabuhan lan galangan-prau (=dhak-palwa) ning
Sunglon Bugel utowo Gunung Bugel (Tilase saiki dadi pategalan lan kali aran Palwadhak; sakidule desa
Tulis, Kecamatan Lasem). Prau-prau kuwi kanggo sesambungan Pemrentahan Pucangsula karo Banjar-
banjar wilayahe saurute pesisir Jawa (Pantura), wiwit banjar-Losari teluk-Tanjung (Kabupaten Brebes),
mengetan tutug banjar-Rabwan (Kabupaten Batang) lan Banjar-Tugu (Kabupaten Semarang), nuli banjar
Purwata lan banjar-Tanjungmaja (Kabupaten Kudus), gisike pulo Maura sisih wetan yakuwi banjar-Tayu
lan banjar-Blengon (Kecamatan Kelet, Kabupaten Jepara). Plabuan Pucangsula dumunung saelore
galangan prau digawekake Gapura madhep mengulon ngadhepake Segara-teluk Kendheng (Saiki dadi
desa Gepura) saka gapura kono digawekake ratan ndladag urut urut perenge Pegunungan Argasoka tutug
punjere kutha Pucangsula.

Pangwasane Dhatu Hang Sam Badra dibantu Putra-putrine isih kenya yoswa 22 taun, rupane ayu banget
pindha Widadari Wilutama; asmane Dewi Sie Bah Ha (=Sibah); sang Dewi ngasta pangwasa Angkatan
Laut Segara Jawa-Dwipa kanthi kekuwatan Kapal-perang sing prajurite dumadi saka wong-wong kang
kenthug kuwat lan pinter ulah kridhane perang, kanthi sikeb gegaman kang ampuh mawa racun-aneh;
negara liya ora ana sing duwe lan ara ana sing bisa nggawe. Sang Dewi melu nylirani lelayaran ning
samodra kanthi nitih Kapal-gedhe kang mligi dinayakani prajurit Wanita sing wanter lan kendel, uga
sikeb gegaman kang mawa racun wujud Tulup-paser sing bisa nylorod adoh; sarta patrem-Tubrem yen
disawatake musuh lamun mlesed, patrem mau bisa munyer bali maneh niba sacedhake sing nyawatake
(Kaya bumerang). Wondene juru-mudhine sarta tukang welahe Kapal-kaputren mau wong lanang kang
kuwat lan bandhol, nanging dipilih wong sing Peloh lan wis ilang prasa-Asmarane. Mula negara manca
mau padha wedi lan sungkan ning Dewe Sibah lan negara Pucangsula.

Sang Dewi nggone ngwasani segara Jawa-Dwipa kanthi nggunakake kapal-perang kuwi perlu nganggo
nglabrag nyirnakake Bajag-bajag kang gumendhung lan kumendel sing mung nggunakake prau-prau
knothing sarta gaman pedhang lan clengkreng, dumeh praune bisa cukat rikat kanggo ngoyak prau-prau
dagang memangsane utawa ndarat mrawasa Desa.

Bajag-bajag sing nggawe werid rengkede Segara-supitan Medunten kuwi wekasane sirna sa-Benggol-
benggole lan sasudhunge. Wasana pesisir Segara Jawa-Pegon sisih wetan mau dadi tidhem lerem, banjar-
banjar bisa bali madeg kanthi tata-tentrem sarta bisa sesambungan karo Pemrentahan Pucangsula.
Putri Sibah saliyane nyirnakake Bajag-bajag, merlokake narik Upeti ning kapal-kapal dagang kang liwat
segara Jawa; isine kapal sing rupa beras lan pari sarta sembet-tenun cita-sutra uga gaman-pertukangan,
ditarik upeti sapra-limane; sing gemang mbayar mesthi dilabrag ditelukake kapale dibeskup. Nakodha
kapal sing rupane bagus utawa penumpang sing bagus mesthi ditawan dilebokake kamar-kamar Kaputren.
Kawegigan lan Kaprawirane wong-wong bagus mau didadar dening Sang Dewi; yen bisa lulus
pendadarane sarta bisa ngalahake kasektene Dewi Sibah rila dadi jatukramane. Sabalike yen kawitan
didadar Kawegigan wis ora lulus, wong tawanan kuwi nuli diwetokake saka kamar pendadaran
dipasrahake Nayaka-wanita kapal Kaputren; mangsa borong digawe apa kono.
Ora nganti sesasi neng kamar-tawanan pangwasane Nayaka wanita mau, awake wong-bagus tawanan
kuwi malih rusak ora kuwat ngglawat; wekasane nuli dijegurake samodra dadi mangsane iwak Undhuk-
undhuk-gedhe kang rakus banget. Misuwure jare digawe sajen Ratune Jim Dhuyung-jaran, sing
nguwasani Samodra Jawa-Purwa. Mula kuwi kapal dagang sing liwat segara Jawa gamang nggunakake
Nakodha sing bagus rupane; dene wong bagus penumpang sing wani nekad mati-mati yen wis ngerti
rasane ngalami nyatane, yaa sumangga mangsa borong!!! Asmane Dewi Sibah nganti kaloka ning negara
Sabrang kana-kana, sang Dewi nganti diparabi: Mani Dattsu Asva Dev, tegese Mustjikane Dewi-bajag
Dhuyung-jaran.

Wong-wong tanah Jawa wiwit jaman Kuna-makuna mula sing mung kulina mangan sega-jagung, sega-
canthel, lan rupa-rupa palapendhem, sawise ngenal Pari lan mangan Sega-beras olehe narik upeti saka
wong dagang negara Siyem lan Cempa lembah Bengawan Mekong, sang Dewi Sibah nuli mrentahake
lan nyontoni wong-wong wadon Pucangsula diajak wiwit nandur pari lan adang sega-beras (wiwit taun
Masehi 396), wiwi jaman kuwi wong-wong Jawa padha nganggep Dewi Sibah kuwi titise Widadari-
pangan utawa Dewine Pari, iya Mbok Dewi Sri (Wong Sunda ngarani: Sang Hyang Seri). Uga ing sajrone
taun 396 kuwi, ing sawijining dina kapale Dattsu Dewi Sibah dhog mangkal ning gisike Nusa Jawa-
Dwipa bontos kulon wates gisike Negara liya bontos wetan, dumadakan ana wong bagus isih enom
menganggo ciri Rsi marani kapale sang Dewi; wong kuwi nuli ditakoni Nayaka kapal Kaputren:

“Ana wigati apa? Asmane sapa? Saka ngendi pinangkane?”

Jawabe Rsi bagus:

“Perlu arep nunut ning Nusa Jawa-Dwipa, nedya mulang nyebar Agama Hindhu Shiwa. Asma: Rsi
Agastya Kumbayani. Asal saka negara Menak, krajan Idriya-Satwamayu.”

Sang Rsi ditampa diwenehi panggonan ning senthong-tamu Kapal Kaputren; sawise kapal-kapale Dattsu
Dewi Sibah mancal bali ning Nusa Jawa, Rsi Agastya nuli didadar Kawegigan sakehing ilmu dening Sang
Dewi; sajroning telung dina bisa lulus. Nuli ganti didadar Kasektene lan Kaprawirane perang, jebule Sri
Dattsu sing mandar kasoran nganti lemes daya kakuwatane; saking ngrasa wirang Dewi Sibah munthab
bramantya mawinga-winga, nuli ngunus Curiga-racun kang bisa nggawe pati kanggo mungkasi
pendadaran.

Sapandurat Dattsu-ayu nyawang praupan baguse sang Rsi netrane sing mulem-tajem, polatane tetep
sumeh jatmika ora nggragap ora miris nyawang landhepe curiga; uga ora males bramantya sumringah
ngangah-angah, mandar sorote netrane kang aliyep-asmara nrawung nembus jantunge Sang dewi;
ndadekake panone Sang Dewi sumrepet peteng kantaka, raga lemes niba ning jrambah palagan; curiga
gogrog uwal saka astane. Sang Rsi trengginas nyaut Sang dewi dibopong disarekake ning tilamrum;
bareng Sri Dattsu punggun-punggun wungu marlupa, Sang Rsi nglelipur ngrerapu sarta nyepat-domba
nagih janji sayembarane, nanging dileksanani yen wis tutug dalem kedhaton Pucangsula disekseni Rama-
Ibu sarta para kadang kadeyan kawula-dasih.
Para Kenya Nayaka kapal kaputren padha rerasan ngungun banget, adat saben lagi telung dina wae wong
Bagus-tawanan wis mesthi diwetokake dipasrahake ning Nayaka Putri; nanging wektu kuwi nganti
pitung-dina pitung-bengi tawanan Rsi Bagus kuwi kok ora diwetok-wetokake; weruh-weruh jebul kapale
wis padha labuh ning Pucangsula, Sang Dewi Dattsu wis runtung-runtung sekalihan karo Rsi Agastya
tumuju ning Kedhaton dipethuk Rama Ibune. Dhatu Hang Sambadra sakulawargane padha mengayu-
bagya karenan ing galih, dene Sang Putri wis entuk calok jatukrama isih enom bagus rupane tur sembada
sakabehane. Pahargyan palakraman let telung dina nuli dikepyakake. Sang Rsi cumondhok kumpul
Maratuwa nganti rong taun, mandar Dewi Sibah lagi karo-tengah pendhak wis ngemban mutra kakung,
diparingi asma: Arya Asvendra. Rsi Agastya nggone arep mulangake Agama Hindhu Shiwa Maha-Dewa
nedya diterusake dhasar Maratuwane maringi panggonan ning bumi Rabwan tutug Batur. Nanging sawise
klebon ilmu Kapramanan Jawa-Hwuning saka Maratuwa lan saka Garwane, pikire arep mulangake
Agama Hidhu Shiwa Maha-Dewa malih luntur; nedya diganti mulangake Agama Hindhu Shiwa Guru-
Dewa, mikani Dhiri-pribadi lan jantraning dumadi; sarta pangastuti bekti ning Sembok-Semak.

In taun: 412 Masehi ana Klana Sramana Agama Buddha asama: Pha Hie Yen lelayar saka Nalandha
India, nedya bali mulih ning Tsang-An (Tiongkok); dumadakan lagi tutug Samodra Jawa-Dwipa ana
angin topan gedhe, praune nuli mangkal ning plabuhan Pucangsula nyuwun tulung lereb ning kono
sasuwene angin prahara durung sirep; Sramana Hwesio Pha Hie Yen ditampa disesuba dening Dhatu
Hang Sambadra, saben dina diajak wawan-sabda bab rupa-rupa pengalamane Sang Hwesio nggone lelana
ning manca-negara. Hwesio Pha Hie yen nyritakake Piwulange Sang Guru Agung Sidharta Buddha
Gotama, yakuwi: Sranane bisa manjing Nirwana supaya medhot blenggune kadonyan; kanthi liwat laku
kang aran: Astha Arya Marga, tegese Laku Agung Wolu. Piwulang kuwi mirib Kapercayan-suci Jawa-
Hwuning kang dirungkepi dening Pendhita-pendhita siswane Dhatu Hang Sambadra wong saka
sengkaning-gunung, yakuwi: Sranane bisa nggayuh Katentreman supaya medhot Pangangsa-Pepenginan;
kanthi liwat laku kang aran: Endriya pra Astha, tegese Tumemen ning Budipakarti Wolu. Mula Dhatu
Hang Sambadra karo rayine Pandhita Jana-Bandra sayuk banget nggathukake intisarine piwulange Sang
Buddha kuwi cawuh-luluh karo larase Kapramanan Jawa-Hwuning.

Ing taun Masehi: 415, Dhatu Hang Sambadra seleh kedhaton, pemrentahan Pucangsula dipasrahake Dewi
Sibah diwisudha ditetepake dadi Dattsu-agung (=Prabu-putri). Rsi Agastya dadi Kepala banjar Rabwan
lan banjar Batur tutug Pegunungan Dieng, kebawah negara Pucangsula, uga adhike Dewi Sibah asma:
Dewi Sie Mah Ha (= Simah ), kang dadi Adipati-anom Medhangkamulaan teluk Lusi (kabupaten
Blora) diwisudha diangkat dadi Dattsu, dipindah ning banjae-gedhe Blengoh didadekake Keraton keling
(Arane woh-bogor wadon sing wis tuwa-alot, yen isih enom diarani Siwalan). Saiki tilase dadi ara-ara
Keratonan desa Blengoh, Kecamatan Keled, Kabupaten Jepara. Pangwasane Dattsu Simah diwarangkani
kakunge aasma: hang Saburadhampuawang Segara Teluk Kendheng lan samodra Jawa. Sarta diemong
diayomi Rama-paman Bhikku Buddha Kanung Janabadra ing Pasraman Tunahan. Nalika Dewi Sibah wis
jumeneng dadi Dattsu Pucangsula, sang Dewi yasa Udhang-undhang tata Budibudaya Jawa Hwuning
ditetepake dadi  Pranatane negara Pucangsula; saben sesasi sepisan diwulangke ning para Pandhita
sengkaning-gunung Kendheng Ngargapura, manggon ning Kedhaton Pucangsula. Undhang-undhang
kuwi dijenengake: Endrya pra Astha, ngrungkepi piwulange Ramane nggone nggawe jeneng Ilmu kuwi
(Undhang-undhang ditetepake ing taun Masehi: 416). Para Pandhita para Kasepuhan nerusake mulangake
Ilmu-pranatan mau ning para Siswane, sumrambah wong-wong kang maju-pikirane ning desa
sengkaning-gunung. Ing pemburi taun-taun sabanjure wong-wong kang padha ngrungkebi nyeceb Ilmu
Endriya pra Astha kuwi kasebut aran Wong Kanung. Isine Undhang-undhang pranatan kuwi ana 8
(wolung) bab:

Unen-unen Pranatan yakuwi :


1. Tunemen nyambut gawe ngudi rejeki kanggo murakabi Brayate, lan ora srei drengki kemeren
ning liyan.
2. Nyembah mundhi-bekti ning wong tuwane-sakloron; sambat nyebut: Adhuh Sembooooook,
Gusti kula! (=Sembok kuwi wong sing bagus atine sa-ndonya), Adhuh Semaaaaaak, Pangeran
kula! (=Semak/Bapak kuwi pangengerane wong sagotrah anak-bojone).
3. Ngleluri mundhi Pundhen Nyai-Dhanhyang Kaki-Dhanhyang sing cakalbakal desane. Sarta emoh
nganggu Manuk-manuk sing padha manggon ning bregat Pundhen, utawa ning bregat-bregat
liyane kana-kana.
4. Sayuk rukun karo tangga-teparo lan sadulure, bebarengan gotong-royong ing wulan Purnama
Badrapada; bresih desa, ratan, sendhang, karas pekarangan; sarta memetri nguri Bregat
(=September).
5. Mangastuti rembugan nggathukake pinemu, kanggo pituduh mbangun majune Desane, lan
njaga kaamanane.
6. Nguri-uri ngluhurake Budipakarti Seni-Budaya Jawa.
7. Mikani ning Bumi dununge kabeh Titah kasinungan Sang Urip kang Maha Esa, mikani ning
Langit dununge/ manunggale Urip Agung Sang Nyawa kang Maha Das. Wong mati ragane dadi
Mayit lebur ing Bumi, Jiwane dadi Yitma nunggal ning Langit.
8. Setya pranatane Negara lan Sabda wasitane Sesepuh Agung Manggala Praja.

Eyang Dhatu Hang Sambadra sawise misudha Putra-putrine nuli nilar praja dadi Sramana dhedhepok ning
punggur Gunung Tapa’an, lan mulangake Ilmu Tatapranatan Endrya pra Astha ning para Siswa Wong-
wong Kanung. Pasraman Gunung Tapa’an kono digawekake Tamansari tinanduran kembang-kembang
maneka-warna: Mlathi, Kanthil, Gadhing, Kenanga, Mawar, Pacar-kuku, Kemuning, Gambir. Neng kono
akeh Bregat ngrembuyung edhum, padha dienggoni nusuh manuk-manuk rupa-rupa; pakange bregat
kethukulan: Aggrek, simbar lan kece pating grembel. Tarulata padha mrambat pepuletan pating klewer,
kembange selang-seling putih biru, jambon lan wungu. Taman-sari kuwi dijenengake: Taman Argasoka;
para cantrik, cekel, manguyu padha surti gambyak ngrawati Taman-sari kuwi.

Eyang Panembahan Hang Sambadra dadi Sramana ning Gunung Tapa’an kono tutug sepuh, seda ing taun
Masehi: 425. Awu layone dipetak (dikubur) dadi sakluwat karo Reliqe Eyang Dhanhyang Kie Seng
Dhang ning satengahe punggur Pudhen Tapa’an; ditengeri Watu-alam tilas pamujane Nini Ampu, watu
kuwi nongol sa-ndhuwure gumuk Pundhen. Sawise Eyang Panembahan seda, negara Pucangsula akeh
owah-owahan wiwit ing taun Masehi: 426.

1. Dattsu-Agung Dewi Sibah ngangkat putra Arya Asvendra dadi Dhatu-anom Pucangsula,
manggon ning bumi Gebang sunglon Bugel. Arya Asvendra ngrungkepi Agama Hindu Kanung
Shiwa Guru Dewa wulangane Ramane, ning punthuk Gebang dheweke nggawe:
1.1.     Pamujan, Lingga-Yoni nglambangke bakti-tresnane ning Sembok-Semake (Ibu-Ramane).
1.2.     Pamujan Lembu-Nandhi ndepok, nglambangake Tatakan kekuwatane Kawula-rakyate.
1.3.     Pamujan reca Dewa Shiwa Guru Dewa, nglambangake Ramane: Rsi Agastya kuwi Guru-
Agung Ilmu Kaprajan lan Kasekten-mandraguna.
1.4.     Pamujan reca Ganapati Dewane Kawicaksanan putrane Bathara Guru, nglambangake:
Slirane dhewe kuwi putrane Guru Rsi Agastya.
2. Angkatan Laut Pucangsula dipindhah ning negara Keling dikwasakake Dewi Simah, dibantu
garwa hang Sabura; nanging isih kebawah negara Pucangsula.
3. Rsi Agastya diwisudha diunggahake dadi Dhatu Batur, punjere banjar didadekake kutha aran:
Batur-retna. Banjar Rabwan dadi Plabuhane negara Baturetna.
Let sawetara taun wong-wong Endrya-Satvamayu krungu warta yen Rsi Agastya jumeneng Dhatu ning
negara Baturretna, wong-wong mau banjur akeh kang padha nusul pindhah bebadra ning bumi Dieng
kang subur digawe ulah petanen. Wong-wong kang ora dadi tani, diprentahake nyambut gawe
ngumpulake wlirang saka peperenge kawah Dieng; wlirange kanggo pedagangan negara Baturretna
diganjolake barang-barang petukangan lan kain sutra karo Pedagang saka negara China, liwat plabuhan
banjar Rabwan. Negara Baturretna bareng dadi gedhe lan makmur, Dhatu Rsi Agastya nuli mrentahake
tukang-tukang ahli pahat batu wong-wong saka Endrya-Satvamayu, diutus nggawe Candhi sepirang-
pirang; saben candhi mawa reca Shiwa Bathara Guru; dununge candhi ning bumi punggur Gunung Dieng.
Saben candhi kanggo Pamujane Sramana Shiwa Guru saka Pasraman kana-kana wilayahe negara
Baturretna. Kaendahan lan kaelokane Pasraman Dieng kang akeh banget candhine Shiwa Guru Dewa,
kang kinilung tlaga lan gunung-gunung sesawangane ngresepake ati. Para Sramana menehi jeneng:
Pasraman-agung Endrya pra-Astha.

4. Dattsu-agung Dewi Sibah nayogyani ning kaipe Hang Sabura nedya ngedhuk wlirang ning bumi
leluwah sawetane Gunung Dieng, sarta nggawe desa ning saelore Kejajar kanggo panggonane wong-
wong kang padha nyambut gawe ngedhuk wlirang mau. Wlirang kuwi uga diganjolake karo Pedagang
saka negara China.

Pengangkutane wlirang digawekake dalan liwat: Jlumprit, Adireja, Candhirata, Sukareja, mengetan ning
Singaraja nuli nganti diemot prau liwat bengawan Bodri. Sungabane bengawan-Bodri ning teluk Bodri
segara Jawa digawe plabuhan dagang kang sesambungan dagang karo negara Sabrang kana-kana; papane
Teluk Bodri kuwi diapit-apit Punthuk-punthuk gunung Singaraja, kaanane luwih sembada omber banget
nyenengake tinimbang plabuhan banjar Rabwan. Mula pedagang wlirang kliwat plabuhan Bodri kuwi
malih luwih reja lan maju.

Saka anane sesambungan dagang wlirang karo negara-negara China, negara loro: Keling lan Baturretna
kuwi malih dadi sugih lan makmur. Nanging mbanjur nukulake kamurkan, sii lan sijine rebut nguwasani:
“Kriwikan dadi Grojogan”. Wekasane dadi perang bandawala. Ing taun Masehi: 436. Sarehne Kawula-
rakyat sing dijak bebadra biyen nganti dadi negara Keling lan Baturretna kuwi, asal-usule sedulur wong
Kanung Indriya pra Astha Pucangsula, mula peperangan kuwi katelah aran: Perang sedulur Endriya pra
Astha.

Ing sajrone perang brubuh Rsi Agastya gugur ning palagan, wong-wong Baturretna saprajurite padha giris
buyar mlayu mulih asal-negarane ning Endriya Satvamayu. Kutha Baturretna lan Pasraman Candhi Dieng
sarta penambangan wlirang dijegi prajurit Keling kang padha makuwon ning Adireja, pangwasane Dhatu
Rsi Agastya dadi cures ganti dikwasani Hang Sabura panglima Angkatan laut keling. Arya Asvendra
krungu yen ramane gugur sarta negarane dikwasani paman-Hang Sabura, sakala pikire kobar nedya
ngrebut negarane swargi-Ramane kang dadi hak-warisane. Sedyane Arya Asvendra wis dipenggak Ibu
Dattsu Pandhita Dewi Sibah, nanging meksa nglimpe Ibune; dheweke mbudalake prajurit Sandi liwat alas
Rabwan lan Bawang nusup mengidul nedya ngrebut Pasraman-agung Dieng dhisik, lan panggonan-
panggonan wlirang. Tiba apese Arya Asvendra, lagi bisa nrobos beteng-pungkuran Candhi dheweke wis
kena tulup-paser mawa racun saka Prajurit-seluman Keling kang padha njaga Candhi. Wasana Arya
Asvendra gugur ngrungkepi sangarepe Candhi Sumbadra pamujane Sramana saka Pucangsula, prajurite
Arya Asvendra kang perang ning alas-gedhe Rabwan akeh kang padha gugur; mayite pating glethak
saenggon-enggon ning alas kono ora ana sing ngrawat, yitmane klambrangan dadi memedi Setan-Roban.

Sebab saka anane perang sedulur kuwi, Dattsu–agung Dewi Sibah ngrasa angles ing panggalih; ewuh aya
ing pambudi. Arep ngrewangi negara Baturretna ateges nataki garwa Rsi Agastya. Arep ngrewangi negara
Keling ateges nataki sedulur-adhik Dattsu Dewi Simah. Mula puntoning panggalih mbanjur nilar praja
lumengser mertapa ning Pasraman Taman Argasoka Gunung Tapa’an, pemrentahan Pucangsula
dipasrahake Pepatih; kang didhawuhi ora kena nyampuri urusane Perang-sedulur. Dewi Sibah seda ing
nalika taun Masehi: 445, awu-layon dikubur ning Pundhen Gunung Tapa’an.

SIGEG
V. Gunung-Gunung JAWA-PURWA padha njeblug

In tahun Masehi: 450, Gunung Dieng njeblug; Candhi Pasraman-agung Endriya pra Astha rusak korat-
karit, para Sramana sing isih slamet padha ngungsi sumebar saparan-paran ngumpul ning pertapan-
pertapane Wong agama Hindhu-Kanung, yakuwi wong Agama Hindhu kang muja nggawe pamujan
Lingga-Yoni sarta Lembu Nandhi ning Pertapan-pertapan sakubenge Pegunungan Gemawang
(Kecamatan Jumo, Kabupaten Temanggung).

Ing taun Masehi: 470, Gunung Ungaran nusul njeblug kawahe sing sisih wetan jebrol nyisa dadi kawah-
mati Rawa Pening.
Bledegaba bulah-bulah gumulung gedhe blabar ngalor-ngetan mlebu segara Jawa,
gumulunge alun nyempyok gompenge Pegunungan Kendheng-kidul,
dadi pada longsor ngurug segara Teluk Lusi lan segara Jawa;
wasana mbanjur
dadi dharatan Kabupaten Purwadadi, Kabupaten semarang, Kabupaten Demak, Kecamatan gajah.
Nyisa mberemane kali Tanggulangin sing banyune wutah ning sunglon Welahan
(Biyen desa kuwi isih ngongkan segara Jawa).
Banyu tuk saka sela-selane gompengane Kendheng-kidul kuwi padha nglumpuk dadi kali:
Jlagung Tuntang,
Serang,
Lusi
lan Bengawan Juwana/ Silugangga (=Jratun Seluna).

Kawahe Gunung Ungaran sing wis matigenine ngembos-embos njedhul ngalor mengetan ning satengah-
tengahe dharatan tilase segara Teluk Lusi; geni mau rina-wengi murub gumrebet manther-anther ora ana
pegote dadi Mrapen (Api-Abadi), ning desa Mintheng, Kecamatan  Gubug, Kabupaten Purwadadi.

Manut dongeng Legenda: geni Mrapen kuwi tilas besalene Empu Ramadi Dewa tukang gawe keris;
sawijining dina dheweke dijak ranjen para Dewa perlu ngethok puncake Gunung Maha Meru kang tansah
dipeneki Kethek-kethek padha dolanan uthik-uthik lintang; Empu Ramadi ugik, merga lagi nggawe keris-
pusaka Kahyangan Suralaya. Wasana dadi perangrame Dewa-dewa padha ngrubut Empu Ramadi sa-
besalene diurug lemah kedhukane Gunung Maha Meru. Sarehne Empu Ramadi sekti tan kena ning pati,
senajan wis diurugi lemah saka puncake gunung, ewosamana tetep isih urip sagenine besalen kang dadi
geni Mrapen tutug wektu iki.

Bledegabane kawah Ungaran sing wis sirep ngembos-embos njebrot wujud endhut manget-manget ngemu
uyah, bola bali mlembung sa-kebo mbanjur mbledhos kumeluk ngganda wlirang; rina-wengi nyuwara
Bledhag-bledhug. Linede mblabar ngamblah-amblah nganti salapangan-alun-alun, banyune lined dialap
wong-wong desa Kuwu, Kecamatan Kuwu/Wirasari, Kabupaten Purwadadi/Grobogan; digodhog digawe
uyah diarani uyah bledhug Kuwu.

Ing taun Masehi: 471, Gunung Maura (Murya) uga njeblug pegunungane sing sisih kidul-wetan pedhot
misah dadi Gunung Pati Ayam. Lambene kawah sing jebrol blegedabane mblabar mengidul ngurug
Segara supitan Maura, mbajur malih dadi dharatan Kudus, Pati, Juana; nyisa wujud rawa-rawa gedhe
wilayah Undhak’an  lan bengawan Silugangga.
Blagedeba sing mbludag mengetan nukulake alun omak gedhe nglanjak nyempyok gompenge
Pegunungan Ngargapura tumlaweng mengulon tutug Kayen; gumulung baline ombak-gedhe nyered
perenge gunung-gunung gompenge padha longsor ngurug segara Teluk-Kendheng, wasana malih dadi
tanah ngare: Kayen, Jakenan, kaliori, Rembang, Sulang, lasem lan pamotan. Longsoran perenge Gunung
Ngargapura sing sisih kulon ngesuk bumi Argasoka, lemahe malik numpleg ngurug desa-desa tegal
pesawahan Pucangsula padha kependhem. (Saiki malih dadi desa: Ngendhen, Lagadhing, Sendangsari,
Topar, Klindon, Warugunung). Kraton Pucangsula Endriya pra Astha kesered gumulung baline alun,
sakehing wewangunan, omah, candhi, kedhaton, lan liya-liyane keblebeg ambles satengahe Ceruk segara
Teluk Juwana; wasana padha sirna ludhes kakubur ning dhasare segara. Mung nyisa pundhen Tapa’an
kubur awu layone Kakek-moyang panembahan Kanung, leluhure wong-wong Ngargapura Lasem; lan
guwa-guwa tilas pertapaan, sarta sawetara reca Lembu nandhi, Ganapati, Lingga; uga grewalan-pecahan
Altar-pamujan sisa tilas gempurane VOC kerja-paksa nggawe ratan-gedhe Daendelsstraat nalika tahun
Masehi: 1809-1810.

Sabanjure bumi Argasoka dadi pusa ora ana sing ngenggoni, wekasane dadi grumbul bebondhotan
rungkud sirung; kawuwuhan disirik wong dikhandhakake jare: Kuwi lemah singit-sangar panggonane
Setan Brahala Dhemit. Wong-wong Kanung sing manggon Ceriwik lan pegunungan Sindawaya isih
padha slamet, sing giris padha ngungsi ning perenge Gunung Buthak Pamotan sapengulon tutug wetan
Todhanan; wong-wong mau ning bumi kono malih ganti aran Wong Kanor. Sing manggon Todhanan
sapengulon tutug Sukolilo, Kabupaten Pati sarta pulo-pulo Rawa desa Kuthuk, Galiran, Kaliyasa, Ngelo,
Karangrawa; malih ganti aran Wong Sikeb (=wong Samin). Wong-wong suku Kanung, Kanor, Sikeb mau
sanajan wis ngalih ning kana-kana lan ganti arane Suku, nanging Adat-tatacara Budipakarti Kanung isih
tetep dirungkepi naluri leluhur Pucangsula Endriya pra Astha. Yen didhawuhi Pamrentah-Negara mlebu
Agama apa wae iya ora suwala mung manut kersane sing mrentah. Nanging tumindake ya mung angger:
Rubuh-gedhang, obor-blarak = ora tulus suwe mlebu ning nalare.

Sawise 149 taun saka penjebluge Gunung Murya, owahe segara Teluk Serang lan Selat Maura kang malih
dadi dharatan, isih nyisa segara Selat Welahan lan Rawa-gedhe Bengawan Silugangga, sarta Teluk
Juwana; ngilung Gunung Maura. Bumi dharatan anyar perenge Gunung Murya sing sisih kidul mau,
luwih saka satus taun wis dadi alas pejaten kang ngongkang Rawa-gedhe selat Murya. Ing taun Masehi:
620, bumi kono kuwi wis dienggoni wong bebadra saka negara Keling Dattsu Dewi Simah, wong
Pegunungan Ngargapura, lan wong Pegunungan Sukalila. Ana kanoman gegedhug A.L. Keling kang isih
Trah-darah turun kaping enem saka Hang Sabura/ Dewi Simah, asmane: Hang Anggana; dheweke ngajak
wong-wong Pelaut negara Keling lan Petani pokol sing bebadra mau, dijak mbubak alas pejaten nggawe
desa lan plabuhan sing gisike nggenggeng karangkitri rupa-rupa, bareng wis dadi desa karan: Getas-
Pejaten, plabuhane karan: Tanjungkarang.

VI. Kawitane dumadine negara KUDUS

Ing taun Masehi: 645, sebab saka wuwuh rejane banjar Getaspejaten, Dhatu Hang Anggana nuli ngelar
panggonan kuwi mekar mengalor sarta yasa punjere kutha nganggo asmane dhewekke katelah aran
Rananggana (Rana + Anggana = Hang Anggana bandhol paprangan). Saiki aran kutha: Kudus. Wektu
kuwi wis akeh wong saka India kidul negara Chola sing padha dagang-ganjol ning pasar Tanjungkarang,
wong negara Chola mau ngijolake: Babut-prangwedani gambar Pura/Candhi Hindhu, lan minyak-wangi
Yasmin/ Tagara, sarta pratus wangi; negara Rananggana ngijoli kayu-jati glondhong, kapuk randhu lan
lenga klenthik-klapa. Wong negara Chola kuwi agamane Hindhu Shiwa Maha Dewa, jare Agama kuwi
Agung luwih bener lan luwih suci tinimbang Tata Budibudaya suci Jawa-Hwuning. Sabab saka sambung
rapete Penggedhe Rananggana karo Juragan-juragan negara Chola, wasana Penggedhe-penggedhe lan
wong dhuwuran. Rananggana kuwi wiwit padha kapilut niru Kabudayane wong Chola mau; mlebune
Kabudayan Chola ning negara Rananggana ndeseg Tata Budibudaya suci Jawa-Hwuning sing dianggep
remeh lan asor. Sarehne kalah birawa kalah gebyar, Penggedhe-penggedhe lan wong Enom-kutha sing
umur 18 taun sapengisor padha berag padha ngrasa gagah nggunakake Budayane wong sabrang Ngatas-
Angin; luwih-luwih para Wanitane padha anut-ngrubyug: “Kaya Belo melu seton. Kaya bebek
nyemplung kedhokan.” Nanging kawula rakyat Cilik ning Karangpadesan, pegunungan lan bumi Rawa,
ora mreduli ora nggubris anjrahe Kabudayan manca ngono mau. Wong-wong mau mung botha-bathu
mledreng nyambut gawe butuh rejeki kanggo nyampeti krandhah anak-bojone. Dhatu Hang Anggana
sarehne wong wegig lan wicaksana, mula uga ngguyubi melu mlebu Agama-Hindhu nanging dudu
Hindhu Shiwa, dheweke ngarang Agama Hindhu-Kanung. Sabab ngrumangsani nggone dadi Dhatu-
Agung ning negara Rananggana kuwi saka dhukungane kekwatane wong-wong Kanung kang uga isih
Wangsane dhewe. Mula wujude Pamujan utawa Pura-purane negara Rananggana kuwi ora niru cakrik
Hindhu Chola utawa Hindhu Dieng, dheweke nggawe Pamujan Lembu-Nandhi ndepok ning Altar
nglambangake Kekwatane Rakyate, sarta Lingga-Yoni wujud Lumpang-Alu gedhe banget,
nglambangake: Hang Anggana Dhatu Agung kang mundhi-bekti Sembok/Semake sarta Dhanhyang
Leluhure. (Dununge Sanggar-pamujan  kuwi saiki dadi desa Demangan, kakilung gendhong-gendhong
Pabrik Rokok).

Saterue nuli nggawe Pamujan Merudhandha-Agung (Saiki isih wujud Menara Kudus cedhak mesjid
Kudus-kulon). Merudhandha kuwi nglambangake ke-Agungane negara Rananggana; puncak tengahe
Merudhandha didokoki Oncor-prunggu ana pahatane gambar Manyura ngingel, oncore tumumpang ajug-
ajug (=Tajug) emas, rina wengi tansah murub nganggo lenga klentik-klapa; dijaga/dirawat Pendhita
Hindhu Kanung wong 4 padha ganti saben 4 jam. Oncor kuwi nglambangake Kaluhurane lan
Kawicaksanane Hang Anggana; pisungsung saudagar China krajan Tsang Tai Tsung. Ring gisik tepine
bengawan Silugangga (Juwana) para Pambelah/Pelayar/Pelaut digawekake candhi pamujane Dewi Hwa
Ruh Na recane wujud Dewi Ratune Samodra njoget tetayungan. Saiki tilase candhi-candhi mau wis kari
wujud Pura padhang gogrog ning desa: Jatiwetan, Loramkulon, Njepang lan Temulus. Sarehne Rakyat
Rananggana kuwi agamane Hindhu Kanung pamuja Lembu nandhi, mula wong-wong mau padha sirik
banget mbeleh sapi lan gemang mangan daginge; nganti jaman pangwasane Shunan Tajug-Islam tutug
jaman saiki isih dadi Adat-kapercayan, tembunge: “Juuuug… juug, mangan daging sapi kuwi ora ilok
Naang/Noook!!!”. Hang Anggana seda in taun Masehi: 660, awu layone dilarung dikelemake ning
sumuran sangisor-dhasare Merudandha; ning wektu sabanjure banyu sumur kuwi kanggo mbabtis wong
kang arep dadi Pandhita kanung. Rembesane banyu sumur kuwi njedhul tutug gompinge Kali Gelis;
gomping kuwi ditembok dhuwur dhasare digawekake jedhingan, banyune kanggo: Siraman ngruwat-
sangkalane Bocah kang wiwit demolan dibarengi Kethok-kuncung.

VII. Adege negara MEDHANG-Metaram I

In taun Masehi: 725, ana wong Kanung wegig saka Medhang-Kamulaan (Teluk Lusi Blora) kang isih
klebu trah-tedhake Dattsu Dewi Simah, asmane Hang Sanjaya. Dheweke ngajak wong-wong Medhang
Kamulaan, wong-wong Keling lan wong-wong Rananggana, diajak bebadra nggalang Banjar papane ning
bumi sawetane Gunung Dieng, punjere Banjar dumunung ning Adireja sawetane Gunung Buthak
(Kabupaten Temanggung). Wong-wong mau ngumpul ning wong-wong Kanung sisane panjebluge
Gunung Dieng sing manggon desa-desa: Gemawang, Kemiri, Limbangan, Boja,; wong-wong mau
Agamane Hindhu-Kanung pemuja Lembu-Nandhi lan Lingga-Yoni. Hang Sanjaya nggone nggalang
banjar lan punjere kutha dumunung ning Adireja kuwi perlune:

1. Nedya nguripake penambangan wlirang sing wis pusa kanggo pedagangan maneh karo negara
China.
2. Supaya bisa cedhak nggone ngirup Desa-desa sing biyene dadi Krerehane Leluhur Endriya pra
Astha.
Sesambungan dagang karo negara Sabrang nggunakake plabuhan Teluk-Bodri sing ngongkang segara
Jawa, nuli munggah pagenengan Singaraja, Sukareja, lan Candhirata mbanjur tutug Adireja. Hang
Sanjaya menehi jeneng negarane mau aran: Medhang-Metriyem (Tegese: Babone saka Medhang), lawas-
lawas tembung kuwi malih luntur dadi: Medhang-Metaram.

Wong Medhang-Metaram kuwi agamane rupa-rupa:

1. Hang Sanjaya dhewe agamane Buddha-Kanung naluri saka Leluhur Keling Bhikku Janabadra.
2. Wong-wong pinter mentereng-kutha agamane Hindhu-Chola.
3. Wong kolod pemuja Lingga-Yoni pemundhi Sembok/Semak isih agama Hindhu-Kanung.
4. Wong Cilik Sudra-papa urip rekasa rejekine ora mingsra, ora butuh ning Agama ora mikir swarga-
neraka. Butuhe mung ngupaboga nggo nyampeti kaluwarga.

Wong Medhang-Metaram kuwi sanajan Kapercayan lan Agamane rupa-rupa, nanging padha bisa rukun
gotong-royong setya ning Negara/Praja. Nalika netepake adege negara Medhang-Metaram lan Undhang-
undhang pranatane Praja, swarane sing menang: Wong sing ngagungake Sastra Palawa lan Taun Syaka.

Swarane wong sing ngugemi sastra lan titi taun jawa Hwuning dadi kalah, dianggep Kolod wis ora
njamani (Sanepane dianggep kaya Baya-putih sing wis tuwek-loyo). Wusanane sastra Jawa-Purwa
karangane Dattsu Agung Pucangsula Dewi Sibah, lan taun Jawa-Hwuning karangane Dhanhyang Kie
Seng Dhang malih ora dikanggokake dadi kabur ilang. Negara Medhang-Metaram ngganti resmi
ngunakake sastra Palawa lan taun Syaka nalika taun 654 (=Tahun Masehi: 732).

Tan Syaka kuwi taun Pengetan nalika jumenenge Raja Khaniska I wangsa Kushana, diwisuda dadi
Narendra negara Chola India Kidul. Dadi dudu asli taune wong Jawa-Purwa.

Dongeng Crita-Legendha :

Pujangga Jawa nggawe crita Aji Saka (=Kabudayan Saka) ngalahake Baya-Putih (=Kabudayan Suci
Jawa-Hwuning). Matine sampyuh perang abdi-loro Dora Sambada rebutan kerise Bendarane dikarang
digawe Crita dumadine Sastra Jawa-Legena (Jawa-anyar):

HA NA CA RA KA
DA TA SA WA LA
PA DHA JA YA NYA
MA GA BA THA NGA
SIGEG
VII. Dumadine negara LASEM

Sawise panjebluge Gunung Murya (Taun Masehi: 471), segara Teluk Kendheng kang keblabaran
blegedebane Gunung Murya lan klongsoran lemah gompinge Pegunungan Kendheng-gamping mau, ing
taun Masehi: 850, wis malih dadi dharatan: Pamotan, Sulang, lasem, Rembang lan Juwana; wujude bumi
isih katon banthak ngilak-ilak cengkar, ning kana kene mung ana grumbul rerungkudan sarta wit Bogor
(=Tal) kang nggrembel gegrombolan. Mung sing cendhak perenge gunung, sing isih akeh wit-witane
subur ledhung-ledhung. Ing nalika jaman kuwi wis ana wong Kanung saka desa Criwik lan Sindawaya
padha mudhun bebadra mbubak bumi nyithak tegal sawah karasan pekarangan ning bumi pagenengan
sakulone Gunung Bugel, dipangarsani wong aran: Ki Wekel. Wong-wong mau padha dadi Tani-pokol
nandur jagung-kodhok, kacang-tholo, lan tela elung; desa bubakan-mau katelah aran desa: Tegalamba lan
Karas (Karasmula, Karasgedhe, Karaskepoh). Wong-wong liyane sing uga lunga bebadra nanging
gemang bubak adoh-adoh, mung terima padha bubak ning perenge Gunung Bugel lan Gunung Gebang
sarta lembah sakulone nggunung sing lemahe padha nyumber banyune ngembong dadi rawa, akeh iwake
kutuk lan iwak sili gedhe-gedhe; bumi kono sing didadekake desa karan desa Sumbersili (=saiki desa:
Sumbergirang, dipangarsani adhike Ki Wekel asmane: Ki Welug, wong pinter sing akeh akale. Wong
Sumbersili kuwi panggaotane mung Tani-ngothek undhuh-undhuh woh-wohan kebon-alas utawa memet
iwak rawa; wong-wong mau nduweni kapercayaan: Titah kuwi wis duwe jadhangan pangan nalika
Tumitah-Urip; sing nandur jambu-klethuk kuwi Semut-getem nggondhol wiji jambu kletuk didokok
elenge ngisor watu. Codhot, kalong, lawa nggondol woh-wohan pelok beton lan kebroke padha rugol
thukul saenggon-enggon. Mula ora ana carane wong tani-ngothek kuwi padha repot-repot nenandur; wit
woh-ohan rak wis padha thukul-Dhewe amrah-saenggon-enggon, iwak-iwak wis padha bebranahan
tengkar-tumengkar Dhewe. Menusa ora nandur ora ngingoni mungkari krapa kari memet misaya masang
wuwu.

Ing taun Masehi: 870, ana wong neneka saka negara Siyem, nedya bebadra cakalbakal ning bumi pesisir
kulone Gunung Argasoka, ndharate ning Sunglon ereng-erenge Pongol pesisir mau; bareng wis mantrah
desa kono mau dijenengake: Pereng. Nggone bebadra mau dipangarsani Bhikku Agama Buddha asmane:
Gam Swi Lang, krandhah wargane padha nggalangake Sanggar lan Pasraman ning bumi sakidule pongol
pereng madhep ngulon. Wong-wong Jawa-Kanung nggone ngarani Pasraman mau aran: Gambiran
(=Saka asma: Gam Swi Lang owah aran: Gambiran). Kakek Gam Swi Lang mulangake Agama Buddha-
Kanung mundhi ngluhurake asmane Dattsu Dewi Sibah; tumrape wong Siyem Dattsu Dewi Sibah kuwi
dianggep Maharani sing wis sarira Bodhisatva. Citrane Sang Dewi dipetha diukir wujud reca Bodhisatva-
Avalokitesvara cakrik Reca negara Keling/Keled Bodhisatva ngagem makutha Praba-kudhup Melathi;
reca didokok ning altar saburine reca Sang Buddha. Wong Jawa-Kanung lan wong Siyem kuwi lawas-
lawas padha sambung jodhon sesilangan, ora ana sing mbedakake Trah asline utawa Kapercayan
Agamane.

Ing taun Masehi: 880, Ki Welug nyuwita Bhikku Gam Swi Lang perlu meguru Ilmu Agama Buddha lan
ilmu-ilmu liyane. Sawise bontos lan lulus sakeehing piwulang, Ki Welug diparingi titel Pujangga lan
asma Wisudhan Kapujanggan, asma: Mbo Widyabadra. Sawise mulih nuli mulangake Ilmu-Karya ning
krandhah rakyate. Sing luwih elok wong Sumbersili mau diwulang nggawe panganan:

1. Woh Kamala dibesta gula digawe manisan.


2. Olah-olahan lawuhan: Iwak rawa sawise diresiki nuli diwadhahi klenthing disap-sap sega-jagung
lan uyah, diperem limang dina nganti bosok gandane buwadheg arane: Bekasem (utawa: Masin).
Ngolahe: Dibothok diuled karo krambil enom parudan, digawe lawuh mangan sega-jagung
jangane elung utawa kangkung kela-asem rasane ngabelani banget.

Lebar mangan nganti ateb swarane seru: “Hwaeeeek. Aduh Semboooook segere!!!” Nuli ngenyut
manisan Kamala karo lenger-lenger lungguh lincak ora klamben kringete gumrobyos, silir-silir angin
semribit saka Gunung Bugel karo mambu gandane kembang sangketan sengir-wangi; uripe wong Tani-
ngothek Sumbersili sing kayangono kuwi wis ngrasa girang seneng ayem. Ki Welug Widyabadra ngajak
wong Sumbersili nggawe bata gedhe-gedhe perlu digawe tembok nanggul sumberan kang mili pating
sreweh mbleberi Desa, banyune diilekake mlebu kali Semangu lan Kemandhung mbajur ajor kali
tegalamba terus mlebu rawa Narukan. Liya kuwi wong-wong mau diwulang dadi Kundhi nggawe grabah-
lemah, jothoke karan: Kundhen. Uga diwulang dadi Pandhe jothoke karan: Pandheyan. Wong-wong
wadon Kundhen diwulang nggawe Ampo-lempeng, lemahe ngapek saka gompeng Palwadhak sing ana
lempunge kete-kuning yen wis dadi Ampo rasane rada gurih. Wondene wong-wong Tani-pokol
Tegalamba diwulang nandur pari sing tanpa mbutuhake diembong banyu, bibite saka sumbangane wong-
wong Siyem arane pari Gaga-rancah, dadine beras aran: Krotog. (Aja diucapake muni: Gogo dipangan
kebo loro!! Benere diucapake muni pari Gaga, sing nandur wong tegalamba lan wong Karasmula,
ditandur kulone desa).

Adege banjar Karanggan dadi Kutha LASEM

Wong Kanung Tani-ngothek lan Tani-pokol dipimpin Mpu Widyabadra kuwi padha guyub lan seneng
banget, dheweke nuli diangkat dadi Rangga (=Pemimpin Karya) sarta pindhah nggawe panggonan karan
banjar: Ke-ranggan = Kranggan. Ora lawas banjar Kranggan kuwi malih reja kaya kutha, mbanjur
dijenengake, kutha Lasem. Ngapek aran saka tembung: Kama-la lan Beka-sem. Nalika ditetepake dadi
kutha Lasem ing masa Bedhidhing taun Masehi: 21 Juni 882 kanthi pahargyan gedhen. Mpu Widyabadra
nggawe pengetan Candrasengkala Taun Syaka: 804 = (Akarya: 4, kombuling: 0, manggala; 8) : Akarya
kombuling manggala.

Sasedane Mpu Widyabadra (Ki Rangga) ing taun Masehi: 920, kutha Lasem-Argasoka suwene nganti 425
taun tutug pangwasane Mpu Metthabadra ing taun Masehi: 1345, ora ana dahuru lan sambekala. Negara
Lasem kuwi bumine cengkar uripe Rakyate kontit-kawuri banget katimbang karo Rakyate negara-negara
gedhe Gunung Kidul (Mataram-Parambwana, Daha, Kedhiri, Singasari); nanging pikire wong Lasem
kuwi padha ayem-mlekedhem sabar-darana. Mulane negara-negara gedhe mau ora ana sing sudi nglajak
utawa njajah. Lagi wiwit jaman Pangwasane Prabu Ayam-Wuruk Majapait, birawane Patih Arya
Gajah bandhol-perang Panglima Angkatan Laut Majapait wong saka desa Mada (salore Kecamatan
Plosso, Kabupaten Jombang); Akuwu Lasem Mpu Metthabadra ditelukake, pemrentahan Lasem digingsir
digantekake Wakile yakuwi Dhampuawang Pr. Rajasawardhana kaipe Prabu Ayam-Wuruk.

Adege Kraton LASEM Dewi Indu-Purnamawulan

Prabu Ayam-Wuruk tindak Lasem karo rayi nak-dulur misan Dewi Indu Purnamawulan garwa Pr.
Rajasawardhana. Dewi Indu diwisudha dadi Prabu-putri Lasem; ing nalika taun Masehi: 1351,
manggon Puri Kriyan (Tilase saiki dadi Wisma Yatim Piatu Jl. Raya Lasem) Kaendahane lan
Tataraharjane kutha Lasem kecathet ning buku Sabda Badra-Santi dening Mpu Santibadra.

Kraton Majapait ambruk

Jamane Sri Kertabhumi (Kertawijaya) ratu Majapait, kaluhurane nanendra wis malih surem, awit para
Penggedhe nayaka-praja wis padha mangro-tingal ora bekti ning Narendra; pikire ora setya ning Praja:

1. Padha slingkuh ngenthu-enthu donya-rajabrana.


2. Wis ganti ngidhep ing Gusti ning Agama liya, ora ngidhep Agamane negara Majapait.
3. Penggedhe-penggedhe pesisir lor wilayahe Majapit wis padha mbalela, malih ganti bekti ning
Shunan Seh maulana Maghribi.
4. Uripe Kawula rakyat majapait wis klendran ora kopen, bumi alas lan bengawan Brantas
diebrakake Penggedhe; bregat-bregat dutebangi kanggo mbangun dalem brenggi.
5. Sri Kertabumi dimusuhi Girindrawardhana Adipati Kedhiri rebutan waris kuwasa Tedhak Leluhur
Kedhiri. Girindrawardhana gemang dikwasani Sri Kertabumi Majapait, wekasane thukul daruru
pembrontakan ning Kutha Majapait.

Negara Majapait diprawasa kedhiri, dipit karo negara Pesisir kang musat ning Kashunanan Gresik.
Negara Majapahait rontog rusak korat-karit sirna ing taun Syaka: 1400, di Candrasengkala: (Sirna: 0,
wuk: 0, kertaning: 4, bumi: 1) = Taun Masehi 1478.
Nalika geger pembrontakan kuwi ana Mpu Guru asmane Pr. Santibadra, pujangga Seni Budaya Majapait
pangkat: Tumenggung ing Wilwatikta; ditawan Penggedhe-pembrontak Majapait, nanging Mpu Guru bisa
lolos kondur ning Lasem karo abdine telu. (Kacritakake ning buku Sabda Badra-Santi). Satekane Lasem
kojur, awit kutha Lasem wis dadi negara Islam dikwasani Adipati-putri Maulani Malokhah, kang isih
kapernah putra mantu-ponakan dhewe. Eyang Pr. Mbu Guru trima ngalah lumengser dadi Sramana
mertapa ning Gunung Tapa’an-Ngargasoka, ngiras mulangake Ilmu Endriya pra Astha ning para
Pendhita-pendhita Kanung Ngargapura Lasem, sarta ngarang Pustaka Sabda Badra-Santi (Begja-
Rahayu). Nggone dadi Sramana ning kono tutug sepuh seda ing taun Masehi: 1527, awu-layone dikubur
ning pundhen Tapa’an kono nunggal sakluwat kumpul karo awu-layone para Dhanhyang leluhur Agung
Ngargapura Lasem, yakuwi:

1. Eyang Kie Seng Dhang Dhatu Tanjungputri, seda ing taun Jawa-Hwuning: 30 (=200 taun
sadurunge Taun Masehi). Sing dikubur ning kono mung Reliqe, dudu awu-layone.
2. Eyang Hang Sambadra Dhatu Pucangsula, seda ing taun Masehi: 425.
3. Eyang Dewi Si Ba Ha (Dewi Sibah) Dattsu Pucangsula, seda ing taun Masehi: 445.
4. Eyang Rangga Widyabadra, Mpu sing cakalbakal kutha Lasem; seda ing taun Masehi: 920.

Mula ning Pundhen Gunung Tapa’an kuwi sejatine ana kubur awu-layone leluhur Agung lima. Asmane
sing nonjol-kaloka mung Eyang Mpu Guru Pr. Santibadra, sabab Eyang Mpu Guru wis ninggali Karangan
Sloka wasita Adiluhung Pustaka Sabda Badra-Santi minangka gegaran kanggo Ulah Kautaman tumuju
ning kabegjan lan Karahayon.

Nganti wektu-siki Pundhen Gunung Tapa’an kuwi isih wujud Pundhen kang mung dicungkup sarwa
prasaja-banget, mung nganggo pager bethek-kayu tanpa omah pangauban udan/panas kanggo para
Petirakat Tuguran/Nyekar kang padha rawuh sumewa ning kono. Pangestine Wong-wong nggunung kono
kang padha mbesiki lan memundhi Pundhen Leluhur Ngargapura kuwi padha ngantu-antu.

*** Muga-muga enggal anaa Priyagung/Wiryawan/Dhanawan padha kesdu mangastuti mbangun omah
Pangauban sarta nggawekake dalan tumuju munggah ning laladan Pundhen Tapa’an kono, supaya ing
tembe ndadekake regeng-rejane Desa kono dadi papan Pariwisata; wong desa Ngasinan mbanjur bisa
bukak-dhasar nggawe warung jajanan, panganan lan omben-omben kanggo nglayani para Wisata kang
mbutuhake isen-isen ***

Dhek jaman kuna, suwargi kakek Kanung R. Panji Karsono ing Kemendhung Lasem, sok masitani
krabat-kadange Wong-wong Gunung Ngarga; kanthi dikidungake:

“Mangastuti uggyaning Ibu-pertiwi, sukalila mbangun Taman-Argasoka; Nagri: Jladri ardi wana
khudup-mlathi.”

Dhek biyen dhek isih jaman penjajahan Landa(walondo) laknatolloh, akeh wong-wong Tuwa sing apal
rengeng-rengeng nembangake Slokane Mbah Panji sing aneh ngono kuwi, nanging wong-wong mau ora
ngreti jluntrunge lan tegese Warsitane kidung kuwi. Yen ana wong sing wani takon ning Mbah Buyut
Kanung, jawabe iya mung sarwa pralampita: “Mbesuk nggeeeer! Yen wong Jawa wis akeh sing padha
ra i ketan, wis kemba Mangan-jali ning wong Tuwa; para-putri ora risi nganggo kathok-cekak sa-nduwure
cingklok. Para priyayi dines-resmi kathokan landhung ngagem pici, katon bregas miyatani. Lha ing kono
titi-wancine para Janma kang Luber-arta luhur-budi, pada memetri mbanun Pudhen-suci kapetha Candhi.
Buyut dhewe iki wis ora menangi jaman kuwi!!!!”

TAMAT
Tambahan Keterangan :

Taun Sejarah diganti taun Masehi, kanggo nggampakake pamikire para Sutresna Sejarah.
Negara Pucangsula, Medhang-Kamulaan, Keling, Rananggana, isih nggunakake Taun Jawa Hwuning lan
Sastra Jawa-Purwa.
Negara Medhang-Mataram I, lan Mataram II (Parambwana), wis nggunakake sastra Palawa lan taun
Syaka.
Negara Medhang-Mataram I,. Kedhiri, Majapait, Lasem, nggunakake Taun-Syaka

Babon sejarah :

1. Saka Cathetan lan Critane swargi Kakek-kakek Kanung Ngargapura


2. Saka Critane Singkek-singkek suku Chaow Syuhu-Gwamia, lan Shinsey engkong Tya An guru Bhs
Kwo le Lasem, taun Masehi: 1930
3. Pustaka Sabda Badra-Santi

Ingkang kepengin kagungan Buku-Sejarah punika supados gethok-tular Motocopy.

Nuwun.
Kiriman saking Mas Sariman Lawantiran,Lereng Pegunungan Kendheng Lor, Blora, 13 Januari
2010.

Alang alang kumitir


SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG
Dening Mbah Guru
Kawetokake dening
Dewan Pengandhar Sabda Badra Santi
ing
Padhepokan Argasoka

——————————————————————————

Sagunging kahormatan
Nuwun Purwaka
Buku sejarah punika nyatheti wiwit ing taun Masehi 1931, saking kepek cathetan tuwin pangandikanipun
Eyang Buyut canggah guru desa, tuwin Eyang Pandhita Kanung ing Pareden Kendheng Ngargapura,
Pomahan, Sukalila lan Prawata.

Piweling tuwin pamantos-wantosipun para swargi Eyang Panembahan Kanung punika: “Nggeeerr anak
putuku.. Tak weling poma-poma aja nganti dilirwakake!!! Sejarahe canggah wareng leluhur Kanung iki
aja nganti keprungu lan diweruhi dening wong sabrang ngatas angin Maghribi. Yen nganti keprojol,
awake dhewe mesthi bakal cilaka lan bilahi; klakon dibuwang neng Sawahlunta. Emrehe disirik wong
Mutihan wong Kutha.. Mbesok yen wong Kebo Bule wis mulih ning kandhange, crita sejarahe leluhur
Kanung iki bakal dilari digoleki dening priyagung Jawa kang mamestri  ngleluri kabudayan Jawa. Lhah
ing kono anak putuku tedhake wong Kanung aja tidha-tidha supaya mangastuti medhar mbabar sejarahe
luhure dhewe iki: Sura Dira Jaya-ning Rat bakal lebur dening Pangastuti!!!”

Mila ingkang mekaten punika sejarahipun leluhur Kanung punika selaminipun jaman penjajahan Landi
tuwin Nippong sami sireb kependhem ing pranataning Panguwasa. Nembe jaman Kemerdekaan R.I.
punika riwayatipun tiyang Kanung punika wiwit trubus muncul malih. Sanajana taksih wonten Priyantun
ingkang ngencepi tuwin mitenah, ngendikanipun: “Tatacara Kuna-Endra wis kependhem wis ilang sirna,
kok arep dithukulake maneh. Kolod Mbaahh, kolod. Wis ora njamani!!!”

Tumrap kita para sutresna sejarah leluhur Kanung tuwin ngrawat lan memundhi punden leluhur Kanung
punika perlu nguri-uri memetri Seni-Budaya Jawi piwulangipun swargi leluhur canggah wareng; wonten
bukti kubur patilasanipun nyangkleg wonten ing bumi papan panggenan kita, ing negari kita.

Wusana sampun kirang ing pamengku, Nuwun!!!

Katiti ing Padhepokan Argosoka, 28 Juni 1996.


Pambabar buku sejarah

ttd

Kacorek kaleresaken

——————————————————————————————————
Sejarah Kawitane :
Ana Wong JAWA lan Wong KANUNG
dening : Mbah Guru
Peta Jawa Dwipa
I. Jaman JAMAJUJA (Puluhan ewu tahun kepungkur)

Dhek jaman semana Pegunungan Kendheng kuwi wujude ana pegunungan 2 (loro):
1. Pegunungan Kendheng Kidul, karan Pegunungan Kendheng tuwa.
2. Pegunungan Kendheng Lor, karan Nusa Kendheng.

1. Pegunungan Kendheng Kidul

Kuwi dununge wiwit saka wetan Pegunungan Kabuh, Kabupaten Jombang, mbanjeng mujur mengulon
tutug Pegunungan Masaran, Kabupaten Sragen.

Sabab saka anane lindhu prakempa Gunung Lawu jaman sangang ewu tahun kepungkur, ndadekake
Pegunungan Watujago bengkah omblah-omblah mujur mengulon; wasana dadi Lembah Ngawi kanggo
dalan iline Bengawan Sala nrabas menggok ngalor tutug Cepu.

Sakdurunge ana lindhu gedhe, Pegunungan Watujago tutug Pegunungan Masaran kuwi dienggoni menusa
sing isih wuda mblejed, wujude kaya kethek-rangutan gedhe pangane rupa kewan: kodok, kadal, ula,
cacing, jangkrik, walang, sarta woh-wohan: mulwa, srikaya, mete, dhuwet, popohan, nanas lan liya-
liyane.

Kabeh mau mung cukup ngapek utawa nyekel ning alas panggonane urip neng kono. Panggonane turu
ning gowok sing dhuwur utawa pang-pang gedhe, durung ana sing wani turu ning guwa; sabab guwa-
guwa kuwi mesthi dienggoni macan gembong. Wong mau yen mati bangkene diumbar ngenggon kono
nuli ditinggal lunga, wekasane diothel-othel dipangan kewan galak; balunge pating kececer ning kana-
kana katut banjire Bengawan Sala padha nyangrah ning mbereman Gemolong, Kalijambe, Kabupaten
Sragen, wasana kurugan lumpur lan padhas linede Bengawan Sala, uga ana sing tutug mbereman
Ngandong, Kabupaten Ngawi.

Wong pulo liya sing wis padha duwe tata-budaya, olehi ngarani wong ngono mau aran Wong Legena.
Uga ana sing ngarani Gandaruwo. Ana maneh sing ngarani Kethek Limuri.

2. Pegunungan Kendheng Lor

Pegunungan Kendheng Lor (Nusa Kendheng) watara limang ewu taun kepungkur wis dienggoni wong
sing luwih maju tinimbang wong Legena, wong-wong mau wis bisa gegaweyan gaman-watu diasah
landhep. Nusa Kendheng kuwi nalika semana isih wujud Pulo gedhe cawang telu kang kinilung Teluk
Lodhan lan Segara; ing sisih wetan ngongkang Telok Lodhan lan Segara Kening. Sisih kidul keledan
Segara Selat Kendheng-Kidul lan Segara Teluk Lusi. Sisih kulon Segara Teluk Serang kang tepuk karo
Segara Selat Murya. Sisih lor Teluk Juwana lan Samodra Jawa kang jembar lerab-lerab. Gunung Murya
isih wujud gunung geni dhuwur-ngukusan, dikilung segara.

Nusa Kendheng kuwi ora duwe tanah ngare lembah banthak tadhah udan kang ngembong banyu; wujude
mung pegunungan alelengkeh jurang lan gompeng; ing sawetara gompeng ana guwa-guwane padhas sing
jembare mung sarompok teba. Neng bumi Nusa Kendheng kono kuwi ora ana thethukulan pari lan
jumawud, sing ana mung jalinthing, canthel, lan jagung-kodhok kang thukul subur neng lelowah sing
ngembes; wohe dadi pangane kethek, bethet lan bantheng. Ning alas kono lebeng wite: jati, trenggulun,
sawo-kecik, mete, klethuk, lan mulwa.

Gisike-pesisir nggenggeng wit: krambil, bogor (tal), jambe. Pesisire sing wujud rawa-embet klethukulan:
rembulung, bongaow, sarta brayo kang nrecel riyel. Ning punthuk pegenengan sing dhuwur-dhuwur ketel
suket-kalanjana lan alang-alang sing dienggoni grombolane bantheng. Bantheng wadon aran Jawi. Sing
gemati banget (jawa banget) ning pedhet-pedhete. Ing wayah bengi jawi-jawi mau yen padha turu padha
kupeng adu bokong karo jawi-Jawi liyane ngilung pedhet-pedhete. Dene bantheng-lanang sing mbenguk
padha kekiter njaga grombolane, aja nganti dimunasika kewan-galak.

Nalika semana Pegunungan Kendheng Lor kuwi wis didunungi menusa wong asli pribumi kono. Dedege
endhek pawakane cilik, kulite nembaga. Kauripane isih wlaha lugu deles, nanging wis nduwe kemajuwan.
Tatabudaya gegaweyan; sandhangane rupa cawed saka lulup waru diperut-alus dienam, utawa lulang
kewan diucel nganti lemes. Uripe sagotrah manggon ning guwa-guwa padhas mau, kekancan karo asu-
gladag sakirike sing wis padha kawong lulud melu manggon cedhak guwa kono.

Bocah-bocah cilik karo kirik kerep padha gojeg kekuwelan nanging nyakote ora tenanan, mung padha
ngos-ngosan pating krenggos. Panguripane wong-wong mau saka kekrapa, nyelog, memed, lan
mbebedag-ajag. Gamane rupa payal, panah, bedhor, sing digawe saka watu-jae kempling diasah mlingir
landhep banget. Yen luru pangan asu-asu kuwi mesthi melu kekinthil utawa jejigar sesanderan ngoyak
kewan nuronan, uga sok melu nyelog ndukiri palapendhem-alasan. Oleh-olehane pangan digawa mulih
dirantengi mung dikoprok thok, yen wis mateng nuli dioser-oseri awu rencek-sangkrah segara dadine
mbanjur krasa asin; nuli dipangan kepyah-kepyah sabrayate uga asu-asu sakirike padha melu mangan
bebarengan. Genine entuke saka wit kang kobong disamber bledheg, pang-pang garing ana genine
mengangah merga gesekan karo pang-pang liyane ing mangsa ketiga-ngangkang. Geni kuwi digawe totor
marong rina-wengi ning sacedhake guwa kono; yen bengi ngiras digawe memedeni kewan galak supaya
ora wani nyedhaki guwa kono; kawuwuhan kewan-kewan galak kuwi padha giris dijegogi asu-gladhak
sepirang-pirang swarane mawurahan rame. Yen pinuju padhang rembulan wong-wong mau padha
seneng-seneng ning sak njabane guwa, pada jejogedan lan gegandhangan sarta keplok-keplok lan anyul-
anyul cangkeme mecucu kaya cupu, tunggak-tunggak utawa kayu sing ngglonthong dithuthuki digawe
tetabuhan. Wong asli dhek jaman JAMAJUJA sing uripe isih sarwa deles prasaja wlaha ngono mau
diarani Wong Suku Lingga.

SIGEG
II. Jaman KUNA-MAKUNA (Sadurunge Tahun Masehi, Nabi Isa el masih durung miyos)

Wong Nusa Bruney-kidul sing manggon ning saurute pesisire Teluk Sampit sarta neng tepis kiwa tengene
Bengawan Sampit-hilir, ing sawijining wektu ketrajang pageblug-gedhe. Jare wong-wong Sampit kuwi
padha digrowoti Setan Blarutan-sogrok weteng; nganti akeh banget wong-wong sing padha mati, luwih-
luwih bocah cilik sing isih demolan. Wong-wong sing isih urip padha miris banget, nuli padha ngungsi
minggat ngumbara lelayaran mengidul nyabrang samodra Bruney; tumuju ning Nusa Kendheng. Setan
Blarutan ora wani nyabrang samodra nututi wong-wong ngungsi mau, jare wedi kesiku Bathari Hwa Ruh
Na, ratune Jim-Samodra.

Mangkate wong-wong ning Nusa Kendheng dipangarsani dening Kie Seng Dhang, sawijining wong tuwa
Sampit sing wegig lan akeh pengalamane, wong sing jangklanglana ning manca negara. Sawise lelayar
sepuluh dina sepuluh wengi, ing wayah pajar bang-bang-wetan katon regemenge Gunung Nusa Kendheng
(saiki Gunung Ngargapura Lasem); gisik sawetane Ngargapura katon sesawangan (pemandhangan, saiki
dadi desa Pandhangan) kang ngresepake pandulu. Puncake Gunung Ngargapura katon ampak-ampak
memplak, langit resik ngalela warnane biru-lasuardi; ombak agilir-gilir lindhuk nyempyok gisik pesisir
sawetane Ngargapura.

Yaaa neng bumi kono kuwi wiwite wong-wong Sampit padha ndarat cakalbakal dadi bangsa-anyar, aran
Wong Jawa.

Let sapenginang (wong-wong wadon Sampit padha seneng nginang nglenthusi woh jambe sing isih enom,
arane Mucang), prau-prau mau wis padha mepet gisik (palwa-palwa = palwangan. Plawangan, saiki dadi
desa Plawangan), para Pandhega mbuwang dandhan padha ndokok (menaruk-naruk, saiki dadi desa
Narukan) praune jejer-jejer urut gisik mbanjeng mengidul. Nenek-nenek padha ndisiki mudhun saka prau
kanthi mbuwang susure tepes-jambe ning segara, minangka sarat mbuwang sebel saka negarane. Nyi
Seng Dhang nguculi udhete ngrogoh cepuk isi lemah-lebu saka bumi Sampit, disawurake ning gisike
bumi Ngarga Kendheng; nuli sembahyang sujud sumungkem Pretiwi lan tumenga Angkasa. Wong-wong
wadon liyane padha melu sembahyang bebarengan, ing pamuji: “Muga-muga sagotrah krandahe sing
padha neneka kuwi padha entuka Kabekjan lan Karahayon pindhah tetruka ning bumi kono, tulusa trah-
tumerah turun-tumurun bebranahan nganti pirang-pirang jaman dadi bangsa-anyar neng Nusa Kendheng.”

Wong-wong lanang nuli padha nusul munggah dharatan luru papan panggonan sing nyangkleg ning Tuk,
kanthi enthuk pituduh lan pangeguh saka kakek Kie Seng Dhang sing lakune wis sempoyongan astane
digandheng putune Putri-kinasih umur 12 tahun; praupane ayu pindha golek-kencana, asmane Nie Rah
Kie.

Kakek Kie Seng Dhang mlaku nusup-nusup ning alas bebondhotan, sawise oleh papan kang cocog lan
gathuk nuli prentah ning kabeh krandahe diutus mbubak grumbul nebang kekayon digawe teba. Putri Nie
Rah Kie weruh kembang warnane putih-memplak anjrah nedhenge medem uga ana sing isih kundhup
gandane amrik-wangi, wite pating grembel ngoyod ning gompeng. Sang putri kesengsem banget nuli
matur ning Eyange. “Besuk yen wis duwe omah lan karasan arep nandur kembang sing warnane putih
ngresepake banget ngono kuwi.” Kembang mau dijenengke kembang Melathi dening Sang Putri.
Watara patang sasi alas kuwi wis dadi papan-pomahan lan pekarangan; nalika kuwi tepak mangsa Labuh
wayahe boros padha trubus, uler jati padha dadi ungker, woh-wohan padha medhohi, palapendhem akeh
sing isih bentet; ndadekake wong-wong seneng ayem ngrasa ora kekurangan pangan.

Minangka kanggo mengeti asal-usule Kie Seng Dhang kuwi saka desa Tanjung-matalayur sawetane
Teluk Sampit bumi Nusa Bruney pesisir kidul, mula punjere desa cakal bakal sing didunungi Kie Seng
Dhang sagotrah-krandahe mbanjur dijengke desa Tanjungputri (saiki dadi desa Tanjungsari, Kecamatan
Pandhangan/ Kragan Kabupaten Rembang).

Sawise dadi karas-pekarangan lan pomahan, ing sawijining dina wong-wong mau padha ngumpul ning
Balepaguyuban Tanjungputri, perlu ngrembug Tatapranata lan Tataraharjane desa disesepuhi kakek Kie
Seng Dhang. Giliging gawe putusan:

1. Ngangkat Kie Seng Dhang diwisudha dadi Sesepuh lan Dhatu Tanjungputri ing salawase Urip,
mrenata bumi Pegunungan lan Pesisire Ngargapura, wiwit Pandhangan tutug teluk Lodhan sing
gisike wujud Wedhi-malela. Teluk kuwi nggenggeng alase wit Pung kang ketel sirung, ing sisih
wetan ana bregade wit Pung-gedhe banget cacahe ana telu (=Sam, saiki dadi desa Sampung).
2. Bumi Nusa-Kendheng diganti aran: Tanah Jawi, nulad arane Bantheng-wadon (jenenge: Jawi)
sing dikramatake dening wong Lingga.
3. Awake dhewe kuwi wis ora aran wong Sampit maneh, ngganti aran; wong Jawa, Nulad watake
bantheng-wadhon kang jawa-banget (=gemati, ngerti, wigati) mring pedhet-pedhete. (Bumine
aran: Tanah Jawi, menusane aran: Wong Jawa).
4. Wong-wong kuwi nuli menehi tetenger Tahun, wiwite dadi Wong Jawa, diarani (Tahun Jawa
Hwuning: 1 = 230 tahun sakdurunge tahun Masehi); sarta digawekake Lambang-Reca watu-item
gedhene sak-menusa, pethane Kie Seng Dhang ndodhok ning Pongol sawetane Gunung Tunggul.
Para tetuwa diwajibake nganggo kalung rambute dewe ditampar, lan diwenehi mendhel/
gandhul singg digawe saka Watu-jae wilis gedhene sajenthik-manis; memper recane Kie Seng
Dhang.

Wong-wong mau padha Prasetya-Suci

1. Wong Jawa turun-temurun tutug Jaman apa wae tetep padha ngrungkepi Tatapercayaan-Suci
Hwuning, naluri saka leluhur Nusa Bruney bangsa Chaow (=inggatan=ngumbara) saka Nusa-
Hainan; jaman Jamajuja 3000 taun kepungkur (1000 taun sakdurunge Nabi Isa el Masih miyos).
Guru-guru Agung bawana Masriki uga durung miyos neng Alam-ndonya, yakuwi: 1. Laow Tze
Tao, 2. Hud Tze Buddha, 3. Kong Tze Khonghucu. Wondene asal-usule bangsa Chaow sing
kawitan kuwi wong saka negara China, tepise bengawan Yang Tze Kiang udhik diapit
Pegunungan Kwen Lun lan Pegunungan Tang La, Propinsi Ching Wai. Wong-wong mau sumebar
mengidul ning bumi Tiongkok-Kidul (Nalika 4000 taun kepungkur=2000 taun sakdurunge taun
Masehi), ngliwati sakidule Pegunungan Yun Lin. Ngliwati Propinsi Yunan, Propinsi Kwang Sie,
Propinsi Kwang Tung. Nuli nyabrang segara munggah dharatan Nusa-Heinan, sabanjure nuli
nyabrang mlebu Nusa-Bruney; sumebar anjrah dadi banbgsa-anyar suku Dhayak rupa-rupa
jenenge manut arane Bengawan-bengawan kono (Barito: Maanyan-siung. Kayan: Apokayan,
Kenya. Segah: Segal. Maham. Punan. Sampit). Sawise dadi wong Dhayak Sampit nuli ngumbara
maneh nyabrang samodra ngancik Nusa-Kendheng, malih ngganti aran: Bangsa Jawa.
2. Ing mbesuk Wong-wong Jawa neng Negara ngendi wae tansah padha nguri-uri ngagungake Ke-
Jawane, lan mekarake Senibudaya Jawa.
3. Wong Jawa sing nyingkur/nyepele ke-Jawa-ne bakal dadi wong Jawa-jawal sing ora nduwe
Dhangkel lan Oyod-lajer. Uripe tansah Nglindur lan Mbangkong nganti ngaya ngayal-andupara,
nguber kaendahane Jodhog-layung ing wayah surup Sandyakala.

Kakek Kie Seng Dhang ngasta pemrentahan Banjar (=desa gedhe) Tanjungputri genep 30 taun, yoswa 90
taun wis wiwit loyo lan ngrasa wegah; pamrentahan nuli dipasrahake Putri Nie Rah Kie kanthi diwakili
garwane yakuwi: Bandhol Hang Lhe Lesy kepala Pelaut pesisir Pandhangan sapengidul. Bareng Putri Nie
Rah Kie nyekel pangwasa Banjar Tanjungputri, bandhol Hang Lhe Lesy nggawe pranatan Pemrentahan:
Sang Putri Nie Rah Kie dikeker dipingit sajrone Tamansari Kedhaton, ora ana wong lanang sing kena
meruhi ragane (praupan lan blegere) Sang Putri; kejaba garwane lan putra-putrine sarta para Emban.
Undhang-undhang pranatan Pemrentahan didhawuhake saka Kaputren kedhaton Tanjungputri Kraga
(=ngeker raga=kerraga=keraga; saiki dadi Kragan) liwat Emban-keparak; nuli diterusake ning
Nayakapraja-priya.

Sawise Kie Seng Dhang seda layone ditunu, awu layone dikubur sacedhake Tuk/ sumberan lan didodoki
tetenger watu mecongol diayomi wit Wringin-Brahmastana. Minangka Leluhur (=Dhanhyang) sing
cakalbakal desa kono, mula asmane Kie Seng Dhang dipepundhi Trah tedhak turune lan kawula-rakyate;
panjenengane minangka Dhanhyang Pundhen kanthi dipengeti tembung “Tuk” ning kabeh desa diganti
tembung Sendhang. Ngapek saka tembung Seng Dhang (Yakuwi: Sendhangmulya, Sendhangwaru,
Sendanggayam, lan liya-liyane).

Reliqe (200 taun durung Masehi) dirawati dipepetri Trah tedhak turune digawa ning negara liya digawe
tumbal dipendhem ning Taman Pundhen Agung. Wong-wong Tanjungputri yen mati layone ditunu ning
gisik Pandhangan, awu-layone dilarung dikelemake ning segara. Asmane suwargi Putri Nie Rah Kie
disungging dening tukang Patung wujud Reca-emas didokok ning candhi gunung Tunggul.

Pamrentahan Kraga Tanjungputri klakon madeg nganti pirang-pirang turunan ora ana sambekala, saben
ganti Pemimpin mesthi milih Putri kang Witjaksana trah-tedhak turune Putri Nie Rah Kie; lan uga
ngeker-raga ning Taman Kedhaton Tanjungputri. Wong-wong Jawa Kraga kuwi uripe wis padha seneng-
ayem, sebab padha cepak rejekine sembada sandang pangan lan bale-pomahane, sarta pada tetep
ngrungkebi ngluhurake Tata Budidaya Suci Jawa Hwuning.

SIGEG

Nalika jamane wong-wong Sampit ngumbara ngungsi pindhah ning bumi Nusa Kendheng Ngargapura,
iwak Pesut (=iwak Lodhan Bengawan Sampit sing lulut karo Menusa) akeh sing padha melu atut pindah
ngumbara; amnggon ning segara Teluk sakidul wetane Gunung Ngargapura, sing wasana Teluk mau
mbanjur karan dadi Teluk Lodhan. Nalika jaman semana gisike Teluk Lodhan mau sepi mamring tidhem-
premanem durung kejamah menusa; sing manggon bumi Teluk kono mau mung sarupane mauk-segara
lan manuk-alas; sarta penyu lan bulus sing arep padha ngendog. Kadhang kala ana Jawi (=bantheng
wadon) alas-kono, karo pedhete pada dhede klekaran ning pawedhen ngangetake awak; lawas-lawas Jawi
karo iwak Lodhan kuwi padha kawong bisa urip rukun ning gisik kono. Babon iwak Lodhan yen arep
manak saben dina nyrondholi nyurungi ganggeng-sangu sing tuwuh anjrah pating krembyah ning segara
Teluk kono diunggahake ning gisik; ganggeng-sangu ning ngumbruk ning kono nuli dipangan Jawi sing
nedhenge lagi nyusoni pedhete, ndadekake awake krasa seger susune mangkah-mangkah. Bareng babon
Pesut krasa arep nglairake nuli nglangi mlumah sarta ngambang, Duplonge (=bayi Pesut) lahiir krogal-
krogel ambegan nyerot hawa tumumpang ning wetenge biyunge; Dhuplong kuwi sawise bisa nglangi nuli
munggah gisik kanthi gampang ora kesrimpet sangu sing pating krembyah; duplong kuwi arep dhedhe
ngangetake awak. Bareng mambu gandane susu Jawi nuli krogal-krogel marani babon Jawi sing lagi
nglekar nuli ndesel-ndesel ngenyut susu sing mangkah-mangkah kuwi. Babon Jawi ora kaget mandar
aring sarta ndilati Dhuplong sing isih gupak banyu ari-ari; sanalika pedhet Jawi mandar nggeblas lunga
lan gebres-gebres sabab mambu gandane ari-ari dhuplong, nuli nyingkir marani sangu nyengguti pupuse
sing isih enom-enom. Bareng si Dhuplong wis wareg nggone nyusu nuli kosal-kosel marani biyunge sing
isih nunggoni ning banyunan segara.

Pesut sing padha bebarengan ngumbara ngalih manggon Telok Lodhan kono mau sasuwene 130 taun, wis
padha nak-kumanak tangkar-tumangkar uripe padha  jenak-aring kumpul kambi kewan rupa-rupa ning
teluk kono. Karo wong Kraga Tanjungputri sing pinuju ning segara, pesut-pesut mau mandar isih wani
nyedhak sarta lulut nyrondol-nyrondol.

Wong Jawa Kraga yen luru pangan ora gelem nglanjak tutug Teluk Lodhan sing dienggoni Pesut lan
Bantheng sing padha urip rukun mengkono mau, apa maneh ngganggu utawa mateni kewan loro kuwi;
wong Jawa mandar sirik lan wedi banget ning pamanti-wantine Dhanhyang luluhur: “Anak-putu Kraga
aja nganti sing munasika Pesut lan Jawi kuwi, apa maneh nganti mateni.” Wong jawa tedhak turune wong
Sampit mau sasuwene 130 taun uga wis padha bebranahan sumebar sepegunungan Ngargapura, dedunung
gegobrolan-gegrombolan sagotrah-krandahe. Nalika semana wong Jawa mau wis padha ingon-ingon
wedhus-kacangan entuke saka mbasangi cempe-alasan, diipuk-ipuk digemateni dicancang ning cagak
amben, kumpul sajromah karo menusa. Bareng wis dadi wedhus bisa lulud nganti nak-kumanak
bebranahan, wedhus-wedhus kuwi dikandhangi ning karasan dikilung bethek sarta dicepaki rambanan;
rina wengi dijaga asu-gladhak sing wis pomah lan mendara. Wong-wong pomahan nggone nduwe pikiran
ngingu wedhus ngono kuwi, perlune yen nduwe gawe butuh masak daging kanggo lawuh-nyomok ora
ndadak nunggu dhisik ajag kewan ning alas. Asu-gladhak sing wis ewonan taun urip kumpul karo menusa
dijak ajag, njaga omah njaga rumangkang lan rewang gawe liyane mandar mung diumbar turu ning latar
ngringkel utawa ning emper-gandhok.

Sasuwene wong Jawa lan iwak-Lodhan (Pesut-pesut) kuwi dedunung neng bumi Ngargapura wis 130
taun (Taun Jawa-Hwuning wis taun 130 = Tahun Masehi durung ana), wektu kuwi ana wong neneka
pindhahan saka Nusa Tempabesi ndharat ning Tanah Jawi pongol Lodhan segara kening, bebadra bubak
bumi alas Pung cikalbakal nggawe desa urut pesisir sawetane Teluk Lodhan; desa mau karan desa
Sampung. Wong neneka kuwi wis akeh sing pinter nggawe prau-gedhe, cekung dhasare awak-prau lan
anthok-cocoke sing digawe saka kayu-pung sing kuwat krendhem banyu asing (Ing jaman saiki tedhak-
turune wong-wong mau padha dadi wong ahli nggawe prau ing Desa Bulu, Kecamatan Bulu, kabupaten
Tuban). Liya kuwi wong-wong mau uga pinter nenukang maneka-warna; dadi Undhagi tukang kayu,
Pandhe tukang wesi, Gemblak tukang kuningan, Sayang tukang temnbaga, Kundhi tukang grabah lan
Jlagra tukang umpak-watu sakane omah; tata-pakaryane wong-wong mau aran Kabudayan Sampung.

Kanggo njembarake papan panggonane, wong-wong mau padha nekad ngrambah alas nglanjak bumi
Teluk Lodhan. Wong saka Nusa Tempabesi kuwi Kapercayan/Agamane ngadhep-manembah ning Dewa
Srengenge/Geni, dewa Samodra/Banyu, dewa Angkasa/Angin, dewa Bumi/Naga Ijo. Wong-wong kuwi
ora sirik mangan daging Bantheng lan iwak Pesut; nggone nglanjak bumi Lodhan kuwi mandar ngrasa
luwih kebeneran sabab bisa mbebedag-ajag lan misaya iwak kanthi sakatoge. Kang mengkono mau
ndadekake kewan-kewan kang biyene padha urip tentrem aring malih dadi kobrak giris kesid; temahan
padha minggat sumebar saparan-paran. Pesut lan Bantheng mau padha minggat sumebar mengidul
nyabrang segara tumuju ning bumi Nusa Kendheng Kidul, sing alase isih lebeng ketel gung liwang-
liwung durung dijamah menusa; segarane cethek ombake lindhuk akeh iwake cilik-cilik maneka warna,
ndadekake jenake Pesut-pesut mau gampang oleh pangan. Grombolane Bantheng liyane ana sing terus
ngumbara ngidul-ngetan nyabrang segara Supitan-Kamput, nuli terus munggah ning alas-alas gerotan
Pegunungan Brahma-Mahameru sapengetan tutug alas gerotan Pegunungan Raung (Saurute Bengawan
Brantas dhek Jaman-Jamajuja isih wujud Segara-selat kang ngilung Gunung Kawi, kamput, Ajar-smara,
lan Penanggungan.
Desa Sampung sawise madeg 75 taun ngalami kertaharja, wonge padha berag-berag omahe panggungan
bebanjengan saurute pesisir, praune mangkal jejer-jejer mengulon tutug Teluk Lodhan. Sasuwene 75 taun
kuwi wong-wong Sampung mau wis akeh sing padha sambung srawung karo wong Kraga-Tanjungputri,
mandar wis akeh sing padha campur jodhon sesilangan. Kabisane gegaweyan wong Sampung padha
ditulad wong-wong Kraga. Sabalike Kapercayan-suci Hwuning lan Kabudayan wong Jawa Kraga-
Tanjungputri padha ditulad wong Sampung, sebab ragade Upacara-Hwuning luwih entheng lan irid;
ilmune luwih blag-blagan Kanyatan gampang. Beda karo Agama-kapercayaane wong Sampung kang
sarwa andupara khayal, ilmune rumit ruwed pujamantrane dawa ngalur-alur ndrememel ngeselake; ragade
Tata-Upacara akeh bange, sajene ngambrah-ambrah. Kang mengkono mau ndadekake wong-wong
Sampung padha bosen, wekasane mbanjur malih seneng ngalih ganti ngrungkepi kapercayan-suci
Hwuning, cawuh luluh karo kabudayan Jawa Kraga Tanjungputri; mandar mbanjur gemang ngakoni aran
wong Sampung-Tempabesi maneh, malih ngaku dadi wong Jawa-Sampung.

Ing taun Jawa Hwuning 205, wong-wong Jawa-Sampung wis akeh sing padha misah maneh, bebadra
sumebar ngidul-ngetan butuh panggonan sing luwih subur loh jinawi ning bumi Nusa Mahameru; srana
nyabrang Segara-supitan Kamput kang jembar lerab-lerab wiwit Teluk-Popoh mengalor; mberemane
Segara-supitan dadi rawa bening lan rawa Gesikan terus mengalor ngliwati Tulungagung, Kedhiri lan
Kertasana; tutug Megaluh (Jombang) tumlaweng menggok ngetan ngliwati Plosso tutug Teluk-Tarik
anjog segara Medunten. Bumi Nusa Mahameru sapengetan tutug Pegunungan Raung mau diganti aran
dijenengake Nusa Jawa-Pegon, wonge uga karan wong Jawa-Pegon.

Ing taun Jawa-Hwuning 205 kuwi wong Jawa Kraga sakwise Pitung-turunan (Anak, putu, buyut,
canggah, wareng, udheg-udheg, gantung, siwur) wiwit saka Putri Nie Rah Kie, cacah jiwane wong kono
mau wis dadi akeh banget; mandar omahe wong Pandhangan tutug Narukan wis jejel riyel. Mulane wong-
wong mau banjur padha misah tertruka ning bumi sengkaning-gunung saurute Pegunungan Ngargapura
kang lelowahe subur banget kethukulan pring-ori dhedapuran bunge nrecel riyel. Ring ilen-ilen banyu
kang muleg-muleg selane watu-watu akeh iwake-jambrung pating sriwed nyisili lumute watu.

Semono uga wong-wong Trah-tedhake Putri Nie Rah Kie krandhan gisik uga melu pindhah bebadra;
sarehne wis kulina urip ning bumi Belahan mula gemang melu tertruka ning bumi sengkaning-gunung,
milih panggonan sing nyangkleg segara yakuwi ning perenge Gunung Ngargapurasing sisih lor
(Kecamatan Sluke) kang ngungkurake juran jero lan rungkud; desa kuwi disenengake: Terahan (Trah =
tedhake Putri Nie Rah Kie). Bumi sing banthak wujud gisik mawa Teluk kanggo mangkal prau-prau
manca sing padha mampir arep ngapek banyu omben, mbanjur katelah aran desa Pangkalan.

Wanita Terahan lan Pangkalan kuwi misuwur akeh sing manis-ayu, sarta isih padha nerusake naluri
Adatcarane Wanita Leluhure ing Tanjungputri; wanita-wanita mau padha seneng nandur wis kembang
Melathi kembange kanggo ngrengga raga yen dhong nekani Pahargyan, yakuwi nganggo cundhuk
Melathi-sisir nyisip nglaweng ning gelungan, sesumping Melathi-ronyok, kalung ronce gegombyok
kembang Kanthil; dene pedinane saben rampung reresik-awak mesthi cundhukan kembang Melathi kuwi.
Tumrap wong-wong Priya kanggo renggan Omcen-oncen Surengpati dikalungake ning mendahake Keris.
Yen pinuju dina Suci kanggo sawur-nyadran ning kubure Sembok-Semak, uga ning Pundhen-Leluhur
Nyai Dhanhyang/Kaki Dhanhyang sing cakalbakal desa; disajeni ubarampe sajen sapepake lan karangan
kembang Melathi sarta kutug dupa pratus-wangi.

Tutug jaman-saiki para Wanita Wirya Wicaksana sing rumasa isih Trah-tedhak Tanjungputri senajan
dedunung ning negara kana-kana, senajan sauwit-wong uwit para Wanita mau isih merlokake nandur
kembang Melathi; utawa ngrengga sarira ngagem kembang kang ngresepake-ati kuwi. Minagka sarat
ngluhurake drajad, sarta mengeti memundhi asmane Putri Leluhure, yakuwi Putri Nie Rah Kie, Dattsu
Dewi Sibah, sarta Maharani Bre Lasem I Dewi Indu Purnamawulan; lan Putri-puri Kriyan putra Eyang
Mpu Guru Pr. Santibadra. (Suwargi putri Cempa Bie Nang Tie lan putri Malokhah uga sengsem melu
ngagem kembang Melathi kuwi). Uga Raden Adjeng Kartini.

SIGEG
III. Jaman KUNA-KOBRA (Ing taun Jawa-Hwuning: 230 Masehi: 1)

Kacarita ing sawijining bengi nalikane wong-wong Pambelah Pandhangan lagi padha jejagongan ning
gisik kang ngilak-ilak, padha omong-omong nyatur. Kawitane nggone ndarat Leluhure ning gisik bumi
Pandhangan kono kuwi dietung-etung wis ana 10 = sepuluh turunan.

Ketitik neng blandar-tongciet dalem Pedhanyangan Tanjungputri ana toletan-enjet 230 dulit (=1 dulit =
pendhak Labuh = 1 taun); toletan kuwi minangka papeling nggone ndarat Leluhure lawase wis ana 230
pendhak mangsa labuh (=230 taun). Nggone ngetung 10 tutunan kuwi wiwit saka Dhanhyang Kie Seng
Dhang. Nalika padha jejagongan kuwi dumadakan wong-wong mau padha kaget sebab weruh Kaelokan:
Ning langit tencebing cakrawala sisih lor-kulon ana sorote Lintang-kemukus nglandeng sumorod ngidul-
ngetan, ngliwati sandhuwure segara Jawa lan segara Kening.

Wayah esuke wong-wong padha umyeg nyatur wahanane Lintang-kemukus mau; ana wong sing
nyarawidekake ning Nujum sing waskitha, wedhar wasitane: “Neng Bawana negara Maghribi rajane lagi
nglumpukake Kawulane mlebu ning kutha, perlu diwilang cacah-jiwane. Ana kang sejodho, sing lanang
pagaweyane tukang-undhagi; sing wadon lagi ngandheg tuwa, wong mau ora keduman pondhokan mung
entuk panggonan kandhang wedhus pinggir desa. Dumadakan ning kandhang kono wong wadon mau
mbabarake jabang-bayi lanang; wecane Sang Nujum: “Besuk jabang-bayi kuwi yen wis diwasa bakal dadi
Raja Binanthara-nyakrawati, nanging ora kagungan Keraton ora tau pinarak dhampar-kencana, ora
kagungan prajurit kang asikep gegaman perang; nelukake musuh ora kanthi merangi lan milara, mung
kanthi Perbawa (Ambek asih pari-tesnane). Gesange ora kagungan Wibawa (Kamulyan sugih rajabrana),
mung nyandhang sapala kandhang langit kemul mega ngumbara ndlajah desa milangkori, medhar Wasita
“Begja Rahayu”. Wong-wong Pambelah mengeng nggagas wahanane weca sing aneh banget ngono kuwi.
Let seminggu sawise wong-wong Kraga padha weruh Kaelokan ngono mau, wong Sampung akeh sing
padha ngimpi; rumangsane akeh iwak Pesut-Lodhan lan Bantheng padha ngamuk liwung ngrusak Banjar
Sampung ngebrukake omah lan nguber-uber wong padha dipateni.

Ora gantalan dina sawijining bengi angler-anglere wong padha turu dumadakan ana prahara gedhe; angin
sindhung-riwut segara Jawa lan segara kening kaya dilebur, alun gedhe gumulung nglanjak dharatan lan
Teluk Lodhan; perenge Gunung Ngarga sisih wetan padha longsor. Thukule prahara gedhe ngono kuwi
sabab Gunung Agung Sengkapura njeblug (Ing taun Jawa-Hwuning 230 = Masehi 1). Pulo Baweyan
Sengkapura sirna separo, mblabare blegedaba muncrate lumpur-panas lan watu-watu mengangah kontal
ning angkasa, sarta udan awu sumebar tutug ngendi-ngendi ngurugi Segara Jawa. Teluk Lodhan malih
dadi dharatan Kragan, Sarang, Sedhan (Kabupaten Rembang). Segara Kening malih dadi dharatan Pesisir
Lor Kabupaten Tuban. Ing sisih kidul nyisa mberemake kali-gedhe (Bengawan Solo) wiwit Kradenan
ngglendheng mengalor tutug Cepu, nuli mbelok mengetan dadi bengawan Kethek; mbanjur amber dadi
rawa Widhang tutug bumi-embet Pangkah/ Sidayu, iline muntah ning Segara-supitan Medunten.

In taun Masehi: 50 dharatan tilase Segara mau wis malih dadi alas-bebondhotan kaselanan palakirna
warna-warna. Wong-wong Tanjungputri salore Ngargapura wiwit padha wani lan seneng bebadra bubak
desa ning Pesisir-lor Segara kening, sing bumine sela-selane watu-gamping tutug tepise segara padha
ngetuk, mbrubul banyune tawa bening nyarong. Bumi bubakan mau dijenengake, desa Mituk (Saiki dadi
desa Beti = Bektiharjo).
Ing taun Masehi: 100, desa Mituk kuwi wis dadi Banjar gedhe mbanjeng mengalor ngliwati bumi
pagenengan sing lemahe warna Kuning semu Abang; sarehne wis dadi Banjar gedhe tur nyangkleg
segara, para Pambelah/ Nelayan nggawe plabuhan ning pesisire; plabuhan kuwi dadi bantarane para
Pelaut/ Pedagang saka manca negara, padha gancol sarupane barang-kebutuhan bisa tinemu ning pasar
Mituk kono. Misuwure ning negara-manca, banjar kuwi ora diarani banjar Mituk, nanging diarani banjar:
Sitijenar. Wong-wong saka Tanjungputri Jawa-Hwuning kang cacah jiwane luwih akeh, padha saeka-
praya ngangkat sawijining wong Wegig Wiled Trah-tedhak Tanjungputri, asmane Hang Tsu Hwan,
diwisudha dadi Dhatu (kepala Adat) banjar Sitijenar. Nalika pamisudhan dikepkyakake, Dhatu Hang Tsu
Hwan ngundhangake ning para Sumewa; papan Pasawuwan-agung mau didadekake punjere kutha
Sitijenar, dijenengake Kutha Begja-Agung (ucape umum salah-kaprah ngarani Bejagung).

In taun masehi: 107, Dhatu Hang Tsu Hwan wis bisa ngirup Banjar-banjar pesisir-lor tanah Jawa, kutha
Begja-Agung nuli didadekake punjer Pangesuhe banjar-banjar mau; dijenengake Negara Jawa Purwa.
Wiwit jaman pamrentahan Hang Tsu Hwan wong-wong Nusa Jawa-Pegon kuwi wis akeh sing padha
nggrancol ning Banjar Sitijenar, pangesthine Nusa Jawa-Pegon kuwi supaya luluh dadi siji karo negarane
Dhatu Hang Tsu Hwan (Nggone ngarani ngaub pangwasane Dhatu Hang Tu-Ban = pamrentah Tuban.

SIGEG.
IV. Jaman JAWA-DWIPA (JAWA-Pegon lan JAWA-Purwa)

Ing taun Masehi: 110, bumi Jawa-Pegon kuwi dihoregake Lindhu prakempa marambah-rambah asale saka
Gunung Kamput; gunung kang ngongkang Segara-supitan Kamput padha horeg ngengkrog-engkrog sora
banget, bregad-gedhe pada rungkat rubuh pating slayah; perenge gunung-gunung pada longsor nglongsori
Segara-supitan Kamput. Liya dina kawuwuhan Gunung Kamput njeblug ngetokake blegedaba bulah-
bulah mawalikan mblabar ning Segara-supitan; udan awu sumebar tutug ngendi-endi. Wong-wong
Sitijenar nyawang langit peteng kaya kesaput mendhung ngendhanu ngono kuwi padha miris banget, ora
ana wani metu saka ngomah sabab bledug-awu ngampak-ampak mlepegi napas, godhong gedhang padha
sengkleh kabotan awu nemplek nglapis lumahe.

Bareng wis klakon setaun kaanan sing mengkono mau wis sirep tidhem, Segara-supitan Kamput katon
malih dadi ciyut kali sapralimane, ganti wujud dadi bengawan ambane bisa disabrangi nganggo gethek-
gedebog; wong-wong menehi aran: Kali Brantas (Nalika Taun Masehi: 111).

Wong-wong Nusa pegon sangsaya wuwuh adrenge nggone nedya manunggalake negarane karo negara
Jawa-Purwa, mula nuli padha usul ning Dhatu Hang Tsu Hwan. Saka kawicaksanane Sang Dhatu
pamonthane wong-wong kuwi enggal dileksanani, kanthi disekseni wong-wong saka negara liya,
Gembleng cawuh manunggale negara Jawa-Pegon karo Jawa Purwa (P = (aksara Jawa) = loro)
dijenengake: Nusa Jawa-Dwipa. Nalika taun Masehi 115.

In taun Masehi: 385, wong-wong banjar Terahan sing cacah jiwane wis padhet, padha lunga misah
bebadra cakalbakal ning bumi Argasoka, yakuwi perenge Gunung Ngargapura sing sisih kulon; papane
ngongkang Segara-teluk, sing sisih lor kadhangan Punthuk Ngendhen, Kecamatan Lasem. Segara-teluk
kuwi mbanjeng mengetan nuli mbelok mengidul urut perenge Pegunungan Argasoka, ning pepereng
pegunungan kono kuwi akeh wite Pucang lan Resula blukange warnane kuning-gadhing tuwuh
nggenggeng ledhung-ledhung. Saka bumi bubakan kono yen nyawang mengulon katon Pulo Maura
dikilung segara, pulo kuwi wujud gunung-gedhe masung pucake mawa kawah-geni ngetokake kukus
kumebul nglandeng ning langit; ing sisih kidule katon benggang karo pegunungan Sukalila-Prawata
keledan Segara supitan Maura. Wong-wong bebadra kuwi dipangarsani kanoman umur 35 taun asmane
Hang Sam Badra, sawijining Klana kang adoh tebane ning Sabrang lan Negara kana-kana. Mula kuwi
dening wong-wong bebadra mau mbanjur ngangkat dheweke diwisudha dadi Dhatu ning kono; bumi
cakalbakal kuwi katelah aran Pucangsula (Saiki tilase dadi desa Logadhing-Sriamba, Kecamatan Lasem).
Sawise desa kono madeg 15 taun malih dadi Banjar-gedhe sebab akeh wong neneka saka negara Sabrang
melu bebadra ning kono; wong-wong manca mau sawise kumpul srawung karo wong Pucangsula,
temahan padha malih ganti seneng ngrungkepi Kapercayan-Suci Hwuning lan Budibudaya Jawa,
wekasane mbanjur luluh dadi wong Jawa-Dwipa.

Wiwit bebadra dadi Wong Jawa ning Tanjungputri ing taun Jawa-Hwuning: 1 nganti bebranahan mencar
sumebar sepegunungan Kendheng Ngargapura suwene wis 617 taun, durung ana wong Wegig gong
Wicaksana mulangake medhar Larasing Kapercayan-suci Hwuning. Wong-wong nggone ngrungkepi
ngedhep/ manembah Hyang Tata Maha Das kuwi yaa mung atut-grubyug kaprah lumrahe wong akeh
padha krukunan nindakake Tatacara susilatama lan setya ning Negara. Lagi jaman madege banjar
Pucangsula kuwi Kapercayan-suci Hwuning bisa dingerteni/diwikani dilelaras

dening para Wegig, para Pandhita; saka leladi pangastutine Panembahan Guru Dhatu hang Sam Badra
kang merlokake nyambi mulang para Kasepuhan Kanung (=sengkaning gunung); ing taun Masehi: 387,
manggon ning Pasraman punthuk Punggur Gunung Tapa’an (Desa Warugunung, Kecamatan Pancur,
Kabupaten Rembang).

Ing taun Masehi: 390, Dhatu Hang Sam Bandra nggawe plabuhan lan galangan-prau (=dhak-palwa) ning
Sunglon Bugel utowo Gunung Bugel (Tilase saiki dadi pategalan lan kali aran Palwadhak; sakidule desa
Tulis, Kecamatan Lasem). Prau-prau kuwi kanggo sesambungan Pemrentahan Pucangsula karo Banjar-
banjar wilayahe saurute pesisir Jawa (Pantura), wiwit banjar-Losari teluk-Tanjung (Kabupaten Brebes),
mengetan tutug banjar-Rabwan (Kabupaten Batang) lan Banjar-Tugu (Kabupaten Semarang), nuli banjar
Purwata lan banjar-Tanjungmaja (Kabupaten Kudus), gisike pulo Maura sisih wetan yakuwi banjar-Tayu
lan banjar-Blengon (Kecamatan Kelet, Kabupaten Jepara). Plabuan Pucangsula dumunung saelore
galangan prau digawekake Gapura madhep mengulon ngadhepake Segara-teluk Kendheng (Saiki dadi
desa Gepura) saka gapura kono digawekake ratan ndladag urut urut perenge Pegunungan Argasoka tutug
punjere kutha Pucangsula.

Pangwasane Dhatu Hang Sam Badra dibantu Putra-putrine isih kenya yoswa 22 taun, rupane ayu banget
pindha Widadari Wilutama; asmane Dewi Sie Bah Ha (=Sibah); sang Dewi ngasta pangwasa Angkatan
Laut Segara Jawa-Dwipa kanthi kekuwatan Kapal-perang sing prajurite dumadi saka wong-wong kang
kenthug kuwat lan pinter ulah kridhane perang, kanthi sikeb gegaman kang ampuh mawa racun-aneh;
negara liya ora ana sing duwe lan ara ana sing bisa nggawe. Sang Dewi melu nylirani lelayaran ning
samodra kanthi nitih Kapal-gedhe kang mligi dinayakani prajurit Wanita sing wanter lan kendel, uga
sikeb gegaman kang mawa racun wujud Tulup-paser sing bisa nylorod adoh; sarta patrem-Tubrem yen
disawatake musuh lamun mlesed, patrem mau bisa munyer bali maneh niba sacedhake sing nyawatake
(Kaya bumerang). Wondene juru-mudhine sarta tukang welahe Kapal-kaputren mau wong lanang kang
kuwat lan bandhol, nanging dipilih wong sing Peloh lan wis ilang prasa-Asmarane. Mula negara manca
mau padha wedi lan sungkan ning Dewe Sibah lan negara Pucangsula.

Sang Dewi nggone ngwasani segara Jawa-Dwipa kanthi nggunakake kapal-perang kuwi perlu nganggo
nglabrag nyirnakake Bajag-bajag kang gumendhung lan kumendel sing mung nggunakake prau-prau
knothing sarta gaman pedhang lan clengkreng, dumeh praune bisa cukat rikat kanggo ngoyak prau-prau
dagang memangsane utawa ndarat mrawasa Desa.

Bajag-bajag sing nggawe werid rengkede Segara-supitan Medunten kuwi wekasane sirna sa-Benggol-
benggole lan sasudhunge. Wasana pesisir Segara Jawa-Pegon sisih wetan mau dadi tidhem lerem, banjar-
banjar bisa bali madeg kanthi tata-tentrem sarta bisa sesambungan karo Pemrentahan Pucangsula.
Putri Sibah saliyane nyirnakake Bajag-bajag, merlokake narik Upeti ning kapal-kapal dagang kang liwat
segara Jawa; isine kapal sing rupa beras lan pari sarta sembet-tenun cita-sutra uga gaman-pertukangan,
ditarik upeti sapra-limane; sing gemang mbayar mesthi dilabrag ditelukake kapale dibeskup. Nakodha
kapal sing rupane bagus utawa penumpang sing bagus mesthi ditawan dilebokake kamar-kamar Kaputren.
Kawegigan lan Kaprawirane wong-wong bagus mau didadar dening Sang Dewi; yen bisa lulus
pendadarane sarta bisa ngalahake kasektene Dewi Sibah rila dadi jatukramane. Sabalike yen kawitan
didadar Kawegigan wis ora lulus, wong tawanan kuwi nuli diwetokake saka kamar pendadaran
dipasrahake Nayaka-wanita kapal Kaputren; mangsa borong digawe apa kono. Ora nganti sesasi neng
kamar-tawanan pangwasane Nayaka wanita mau, awake wong-bagus tawanan kuwi malih rusak ora
kuwat ngglawat; wekasane nuli dijegurake samodra dadi mangsane iwak Undhuk-undhuk-gedhe kang
rakus banget. Misuwure jare digawe sajen Ratune Jim Dhuyung-jaran, sing nguwasani Samodra Jawa-
Purwa. Mula kuwi kapal dagang sing liwat segara Jawa gamang nggunakake Nakodha sing bagus rupane;
dene wong bagus penumpang sing wani nekad mati-mati yen wis ngerti rasane ngalami nyatane, yaa
sumangga mangsa borong!!! Asmane Dewi Sibah nganti kaloka ning negara Sabrang kana-kana, sang
Dewi nganti diparabi: Mani Dattsu Asva Dev, tegese Mustjikane Dewi-bajag Dhuyung-jaran.

Wong-wong tanah Jawa wiwit jaman Kuna-makuna mula sing mung kulina mangan sega-jagung, sega-
canthel, lan rupa-rupa palapendhem, sawise ngenal Pari lan mangan Sega-beras olehe narik upeti saka
wong dagang negara Siyem lan Cempa lembah Bengawan Mekong, sang Dewi Sibah nuli mrentahake lan
nyontoni wong-wong wadon Pucangsula diajak wiwit nandur pari lan adang sega-beras (wiwit taun
Masehi 396), wiwi jaman kuwi wong-wong Jawa padha nganggep Dewi Sibah kuwi titise Widadari-
pangan utawa Dewine Pari, iya Mbok Dewi Sri (Wong Sunda ngarani: Sang Hyang Seri). Uga ing sajrone
taun 396 kuwi, ing sawijining dina kapale Dattsu Dewi Sibah dhog mangkal ning gisike Nusa Jawa-
Dwipa bontos kulon wates gisike Negara liya bontos wetan, dumadakan ana wong bagus isih enom
menganggo ciri Rsi marani kapale sang Dewi; wong kuwi nuli ditakoni Nayaka kapal Kaputren:

“Ana wigati apa? Asmane sapa? Saka ngendi pinangkane?”

Jawabe Rsi bagus:

“Perlu arep nunut ning Nusa Jawa-Dwipa, nedya mulang nyebar Agama Hindhu Shiwa. Asma: Rsi
Agastya Kumbayani. Asal saka negara Menak, krajan Idriya-Satwamayu.”

Sang Rsi ditampa diwenehi panggonan ning senthong-tamu Kapal Kaputren; sawise kapal-kapale Dattsu
Dewi Sibah mancal bali ning Nusa Jawa, Rsi Agastya nuli didadar Kawegigan sakehing ilmu dening Sang
Dewi; sajroning telung dina bisa lulus. Nuli ganti didadar Kasektene lan Kaprawirane perang, jebule Sri
Dattsu sing mandar kasoran nganti lemes daya kakuwatane; saking ngrasa wirang Dewi Sibah munthab
bramantya mawinga-winga, nuli ngunus Curiga-racun kang bisa nggawe pati kanggo mungkasi
pendadaran.

Sapandurat Dattsu-ayu nyawang praupan baguse sang Rsi netrane sing mulem-tajem, polatane tetep
sumeh jatmika ora nggragap ora miris nyawang landhepe curiga; uga ora males bramantya sumringah
ngangah-angah, mandar sorote netrane kang aliyep-asmara nrawung nembus jantunge Sang dewi;
ndadekake panone Sang Dewi sumrepet peteng kantaka, raga lemes niba ning jrambah palagan; curiga
gogrog uwal saka astane. Sang Rsi trengginas nyaut Sang dewi dibopong disarekake ning tilamrum;
bareng Sri Dattsu punggun-punggun wungu marlupa, Sang Rsi nglelipur ngrerapu sarta nyepat-domba
nagih janji sayembarane, nanging dileksanani yen wis tutug dalem kedhaton Pucangsula disekseni Rama-
Ibu sarta para kadang kadeyan kawula-dasih.
Para Kenya Nayaka kapal kaputren padha rerasan ngungun banget, adat saben lagi telung dina wae wong
Bagus-tawanan wis mesthi diwetokake dipasrahake ning Nayaka Putri; nanging wektu kuwi nganti
pitung-dina pitung-bengi tawanan Rsi Bagus kuwi kok ora diwetok-wetokake; weruh-weruh jebul kapale
wis padha labuh ning Pucangsula, Sang Dewi Dattsu wis runtung-runtung sekalihan karo Rsi Agastya
tumuju ning Kedhaton dipethuk Rama Ibune. Dhatu Hang Sambadra sakulawargane padha mengayu-
bagya karenan ing galih, dene Sang Putri wis entuk calok jatukrama isih enom bagus rupane tur sembada
sakabehane. Pahargyan palakraman let telung dina nuli dikepyakake. Sang Rsi cumondhok kumpul
Maratuwa nganti rong taun, mandar Dewi Sibah lagi karo-tengah pendhak wis ngemban mutra kakung,
diparingi asma: Arya Asvendra. Rsi Agastya nggone arep mulangake Agama Hindhu Shiwa Maha-Dewa
nedya diterusake dhasar Maratuwane maringi panggonan ning bumi Rabwan tutug Batur. Nanging sawise
klebon ilmu Kapramanan Jawa-Hwuning saka Maratuwa lan saka Garwane, pikire arep mulangake
Agama Hidhu Shiwa Maha-Dewa malih luntur; nedya diganti mulangake Agama Hindhu Shiwa Guru-
Dewa, mikani Dhiri-pribadi lan jantraning dumadi; sarta pangastuti bekti ning Sembok-Semak.

In taun: 412 Masehi ana Klana Sramana Agama Buddha asama: Pha Hie Yen lelayar saka Nalandha
India, nedya bali mulih ning Tsang-An (Tiongkok); dumadakan lagi tutug Samodra Jawa-Dwipa ana
angin topan gedhe, praune nuli mangkal ning plabuhan Pucangsula nyuwun tulung lereb ning kono
sasuwene angin prahara durung sirep; Sramana Hwesio Pha Hie Yen ditampa disesuba dening Dhatu
Hang Sambadra, saben dina diajak wawan-sabda bab rupa-rupa pengalamane Sang Hwesio nggone lelana
ning manca-negara. Hwesio Pha Hie yen nyritakake Piwulange Sang Guru Agung Sidharta Buddha
Gotama, yakuwi: Sranane bisa manjing Nirwana supaya medhot blenggune kadonyan; kanthi liwat laku
kang aran: Astha Arya Marga, tegese Laku Agung Wolu. Piwulang kuwi mirib Kapercayan-suci Jawa-
Hwuning kang dirungkepi dening Pendhita-pendhita siswane Dhatu Hang Sambadra wong saka
sengkaning-gunung, yakuwi: Sranane bisa nggayuh Katentreman supaya medhot Pangangsa-Pepenginan;
kanthi liwat laku kang aran: Endriya pra Astha, tegese Tumemen ning Budipakarti Wolu. Mula Dhatu
Hang Sambadra karo rayine Pandhita Jana-Bandra sayuk banget nggathukake intisarine piwulange Sang
Buddha kuwi cawuh-luluh karo larase Kapramanan Jawa-Hwuning.

Ing taun Masehi: 415, Dhatu Hang Sambadra seleh kedhaton, pemrentahan Pucangsula dipasrahake Dewi
Sibah diwisudha ditetepake dadi Dattsu-agung (=Prabu-putri). Rsi Agastya dadi Kepala banjar Rabwan
lan banjar Batur tutug Pegunungan Dieng, kebawah negara Pucangsula, uga adhike Dewi Sibah asma:
Dewi Sie Mah Ha (=Simah), kang dadi Adipati-anom Medhangkamulaan teluk Lusi (kabupaten Blora)
diwisudha diangkat dadi Dattsu, dipindah ning banjae-gedhe Blengoh didadekake Keraton keling (Arane
woh-bogor wadon sing wis tuwa-alot, yen isih enom diarani Siwalan). Saiki tilase dadi ara-ara Keratonan
desa Blengoh, Kecamatan Keled, Kabupaten Jepara. Pangwasane Dattsu Simah diwarangkani kakunge
aasma: hang Saburadhampuawang Segara Teluk Kendheng lan samodra Jawa. Sarta diemong diayomi
Rama-paman Bhikku Buddha Kanung Janabadra ing Pasraman Tunahan. Nalika Dewi Sibah wis
jumeneng dadi Dattsu Pucangsula, sang Dewi yasa Udhang-undhang tata Budibudaya Jawa Hwuning
ditetepake dadi  Pranatane negara Pucangsula; saben sesasi sepisan diwulangke ning para Pandhita
sengkaning-gunung Kendheng Ngargapura, manggon ning Kedhaton Pucangsula. Undhang-undhang
kuwi dijenengake: Endrya pra Astha, ngrungkepi piwulange Ramane nggone nggawe jeneng Ilmu kuwi
(Undhang-undhang ditetepake ing taun Masehi: 416). Para Pandhita para Kasepuhan nerusake mulangake
Ilmu-pranatan mau ning para Siswane, sumrambah wong-wong kang maju-pikirane ning desa
sengkaning-gunung. Ing pemburi taun-taun sabanjure wong-wong kang padha ngrungkebi nyeceb Ilmu
Endriya pra Astha kuwi kasebut aran Wong Kanung. Isine Undhang-undhang pranatan kuwi ana 8
(wolung) bab:

Unen-unen Pranatan yakuwi :


1. Tunemen nyambut gawe ngudi rejeki kanggo murakabi Brayate, lan ora srei drengki kemeren
ning liyan.
2. Nyembah mundhi-bekti ning wong tuwane-sakloron; sambat nyebut: Adhuh Sembooooook,
Gusti kula! (=Sembok kuwi wong sing bagus atine sa-ndonya), Adhuh Semaaaaaak, Pangeran
kula! (=Semak/Bapak kuwi pangengerane wong sagotrah anak-bojone).
3. Ngleluri mundhi Pundhen Nyai-Dhanhyang Kaki-Dhanhyang sing cakalbakal desane. Sarta emoh
nganggu Manuk-manuk sing padha manggon ning bregat Pundhen, utawa ning bregat-bregat
liyane kana-kana.
4. Sayuk rukun karo tangga-teparo lan sadulure, bebarengan gotong-royong ing wulan Purnama
Badrapada; bresih desa, ratan, sendhang, karas pekarangan; sarta memetri nguri Bregat
(=September).
5. Mangastuti rembugan nggathukake pinemu, kanggo pituduh mbangun majune Desane, lan
njaga kaamanane.
6. Nguri-uri ngluhurake Budipakarti Seni-Budaya Jawa.
7. Mikani ning Bumi dununge kabeh Titah kasinungan Sang Urip kang Maha Esa, mikani ning Langit
dununge/ manunggale Urip Agung Sang Nyawa kang Maha Das. Wong mati ragane dadi Mayit
lebur ing Bumi, Jiwane dadi Yitma nunggal ning Langit.
8. Setya pranatane Negara lan Sabda wasitane Sesepuh Agung Manggala Praja.

Eyang Dhatu Hang Sambadra sawise misudha Putra-putrine nuli nilar praja dadi Sramana dhedhepok ning
punggur Gunung Tapa’an, lan mulangake Ilmu Tatapranatan Endrya pra Astha ning para Siswa Wong-
wong Kanung. Pasraman Gunung Tapa’an kono digawekake Tamansari tinanduran kembang-kembang
maneka-warna: Mlathi, Kanthil, Gadhing, Kenanga, Mawar, Pacar-kuku, Kemuning, Gambir. Neng kono
akeh Bregat ngrembuyung edhum, padha dienggoni nusuh manuk-manuk rupa-rupa; pakange bregat
kethukulan: Aggrek, simbar lan kece pating grembel. Tarulata padha mrambat pepuletan pating klewer,
kembange selang-seling putih biru, jambon lan wungu. Taman-sari kuwi dijenengake: Taman Argasoka;
para cantrik, cekel, manguyu padha surti gambyak ngrawati Taman-sari kuwi.

Eyang Panembahan Hang Sambadra dadi Sramana ning Gunung Tapa’an kono tutug sepuh, seda ing taun
Masehi: 425. Awu layone dipetak (dikubur) dadi sakluwat karo Reliqe Eyang Dhanhyang Kie Seng
Dhang ning satengahe punggur Pudhen Tapa’an; ditengeri Watu-alam tilas pamujane Nini Ampu, watu
kuwi nongol sa-ndhuwure gumuk Pundhen. Sawise Eyang Panembahan seda, negara Pucangsula akeh
owah-owahan wiwit ing taun Masehi: 426.

1. Dattsu-Agung Dewi Sibah ngangkat putra Arya Asvendra dadi Dhatu-anom Pucangsula, manggon
ning bumi Gebang sunglon Bugel. Arya Asvendra ngrungkepi Agama Hindu Kanung Shiwa Guru
Dewa wulangane Ramane, ning punthuk Gebang dheweke nggawe:
1.1.     Pamujan, Lingga-Yoni nglambangke bakti-tresnane ning Sembok-Semake (Ibu-Ramane).
1.2.     Pamujan Lembu-Nandhi ndepok, nglambangake Tatakan kekuwatane Kawula-rakyate.
1.3.     Pamujan reca Dewa Shiwa Guru Dewa, nglambangake Ramane: Rsi Agastya kuwi Guru-
Agung Ilmu Kaprajan lan Kasekten-mandraguna.
1.4.     Pamujan reca Ganapati Dewane Kawicaksanan putrane Bathara Guru, nglambangake:
Slirane dhewe kuwi putrane Guru Rsi Agastya.
2. Angkatan Laut Pucangsula dipindhah ning negara Keling dikwasakake Dewi Simah, dibantu
garwa hang Sabura; nanging isih kebawah negara Pucangsula.
3. Rsi Agastya diwisudha diunggahake dadi Dhatu Batur, punjere banjar didadekake kutha aran:
Batur-retna. Banjar Rabwan dadi Plabuhane negara Baturetna.
Let sawetara taun wong-wong Endrya-Satvamayu krungu warta yen Rsi Agastya jumeneng Dhatu ning
negara Baturretna, wong-wong mau banjur akeh kang padha nusul pindhah bebadra ning bumi Dieng
kang subur digawe ulah petanen. Wong-wong kang ora dadi tani, diprentahake nyambut gawe
ngumpulake wlirang saka peperenge kawah Dieng; wlirange kanggo pedagangan negara Baturretna
diganjolake barang-barang petukangan lan kain sutra karo Pedagang saka negara China, liwat plabuhan
banjar Rabwan. Negara Baturretna bareng dadi gedhe lan makmur, Dhatu Rsi Agastya nuli mrentahake
tukang-tukang ahli pahat batu wong-wong saka Endrya-Satvamayu, diutus nggawe Candhi sepirang-
pirang; saben candhi mawa reca Shiwa Bathara Guru; dununge candhi ning bumi punggur Gunung Dieng.
Saben candhi kanggo Pamujane Sramana Shiwa Guru saka Pasraman kana-kana wilayahe negara
Baturretna. Kaendahan lan kaelokane Pasraman Dieng kang akeh banget candhine Shiwa Guru Dewa,
kang kinilung tlaga lan gunung-gunung sesawangane ngresepake ati. Para Sramana menehi jeneng:
Pasraman-agung Endrya pra-Astha.

4. Dattsu-agung Dewi Sibah nayogyani ning kaipe Hang Sabura nedya ngedhuk wlirang ning bumi
leluwah sawetane Gunung Dieng, sarta nggawe desa ning saelore Kejajar kanggo panggonane wong-
wong kang padha nyambut gawe ngedhuk wlirang mau. Wlirang kuwi uga diganjolake karo Pedagang
saka negara China.

Pengangkutane wlirang digawekake dalan liwat: Jlumprit, Adireja, Candhirata, Sukareja, mengetan ning
Singaraja nuli nganti diemot prau liwat bengawan Bodri. Sungabane bengawan-Bodri ning teluk Bodri
segara Jawa digawe plabuhan dagang kang sesambungan dagang karo negara Sabrang kana-kana; papane
Teluk Bodri kuwi diapit-apit Punthuk-punthuk gunung Singaraja, kaanane luwih sembada omber banget
nyenengake tinimbang plabuhan banjar Rabwan. Mula pedagang wlirang kliwat plabuhan Bodri kuwi
malih luwih reja lan maju.

Saka anane sesambungan dagang wlirang karo negara-negara China, negara loro: Keling lan Baturretna
kuwi malih dadi sugih lan makmur. Nanging mbanjur nukulake kamurkan, sii lan sijine rebut nguwasani:
“Kriwikan dadi Grojogan”. Wekasane dadi perang bandawala. Ing taun Masehi: 436. Sarehne Kawula-
rakyat sing dijak bebadra biyen nganti dadi negara Keling lan Baturretna kuwi, asal-usule sedulur wong
Kanung Indriya pra Astha Pucangsula, mula peperangan kuwi katelah aran: Perang sedulur Endriya pra
Astha.

Ing sajrone perang brubuh Rsi Agastya gugur ning palagan, wong-wong Baturretna saprajurite padha giris
buyar mlayu mulih asal-negarane ning Endriya Satvamayu. Kutha Baturretna lan Pasraman Candhi Dieng
sarta penambangan wlirang dijegi prajurit Keling kang padha makuwon ning Adireja, pangwasane Dhatu
Rsi Agastya dadi cures ganti dikwasani Hang Sabura panglima Angkatan laut keling. Arya Asvendra
krungu yen ramane gugur sarta negarane dikwasani paman-Hang Sabura, sakala pikire kobar nedya
ngrebut negarane swargi-Ramane kang dadi hak-warisane. Sedyane Arya Asvendra wis dipenggak Ibu
Dattsu Pandhita Dewi Sibah, nanging meksa nglimpe Ibune; dheweke mbudalake prajurit Sandi liwat alas
Rabwan lan Bawang nusup mengidul nedya ngrebut Pasraman-agung Dieng dhisik, lan panggonan-
panggonan wlirang. Tiba apese Arya Asvendra, lagi bisa nrobos beteng-pungkuran Candhi dheweke wis
kena tulup-paser mawa racun saka Prajurit-seluman Keling kang padha njaga Candhi. Wasana Arya
Asvendra gugur ngrungkepi sangarepe Candhi Sumbadra pamujane Sramana saka Pucangsula, prajurite
Arya Asvendra kang perang ning alas-gedhe Rabwan akeh kang padha gugur; mayite pating glethak
saenggon-enggon ning alas kono ora ana sing ngrawat, yitmane klambrangan dadi memedi Setan-Roban.

Sebab saka anane perang sedulur kuwi, Dattsu–agung Dewi Sibah ngrasa angles ing panggalih; ewuh aya
ing pambudi. Arep ngrewangi negara Baturretna ateges nataki garwa Rsi Agastya. Arep ngrewangi negara
Keling ateges nataki sedulur-adhik Dattsu Dewi Simah. Mula puntoning panggalih mbanjur nilar praja
lumengser mertapa ning Pasraman Taman Argasoka Gunung Tapa’an, pemrentahan Pucangsula
dipasrahake Pepatih; kang didhawuhi ora kena nyampuri urusane Perang-sedulur. Dewi Sibah seda ing
nalika taun Masehi: 445, awu-layon dikubur ning Pundhen Gunung Tapa’an.

SIGEG
V. Gunung-Gunung JAWA-PURWA padha njeblug

In tahun Masehi: 450, Gunung Dieng njeblug; Candhi Pasraman-agung Endriya pra Astha rusak korat-
karit, para Sramana sing isih slamet padha ngungsi sumebar saparan-paran ngumpul ning pertapan-
pertapane Wong agama Hindhu-Kanung, yakuwi wong Agama Hindhu kang muja nggawe pamujan
Lingga-Yoni sarta Lembu Nandhi ning Pertapan-pertapan sakubenge Pegunungan Gemawang
(Kecamatan Jumo, Kabupaten Temanggung).

Ing taun Masehi: 470, Gunung Ungaran nusul njeblug kawahe sing sisih wetan jebrol nyisa dadi kawah-
mati Rawa Pening. Bledegaba bulah-bulah gumulung gedhe blabar ngalor-ngetan mlebu segara Jawa,
gumulunge alun nyempyok gompenge Pegunungan Kendheng-kidul, dadi pada longsor ngurug segara
Teluk Lusi lan segara Jawa; wasana mbanjur dadi dharatan Kabupaten Purwadadi, Kabupaten semarang,
Kabupaten Demak, Kecamatan gajah. Nyisa mberemane kali Tanggulangin sing banyune wutah ning
sunglon Welahan (Biyen desa kuwi isih ngongkan segara Jawa). Banyu tuk saka sela-selane gompengane
Kendheng-kidul kuwi padha nglumpuk dadi kali: Jlagung Tuntang, Serang, Lusi lan Bengawan Juwana/
Silugangga (=Jratun Seluna).

Kawahe Gunung Ungaran sing wis matigenine ngembos-embos njedhul ngalor mengetan ning satengah-
tengahe dharatan tilase segara Teluk Lusi; geni mau rina-wengi murub gumrebet manther-anther ora ana
pegote dadi Mrapen (Api-Abadi), ning desa Mintheng, Kecamatan  Gubug, Kabupaten Purwadadi.

Manut dongeng Legenda: geni Mrapen kuwi tilas besalene Empu Ramadi Dewa tukang gawe keris;
sawijining dina dheweke dijak ranjen para Dewa perlu ngethok puncake Gunung Maha Meru kang tansah
dipeneki Kethek-kethek padha dolanan uthik-uthik lintang; Empu Ramadi ugik, merga lagi nggawe keris-
pusaka Kahyangan Suralaya. Wasana dadi perangrame Dewa-dewa padha ngrubut Empu Ramadi sa-
besalene diurug lemah kedhukane Gunung Maha Meru. Sarehne Empu Ramadi sekti tan kena ning pati,
senajan wis diurugi lemah saka puncake gunung, ewosamana tetep isih urip sagenine besalen kang dadi
geni Mrapen tutug wektu iki.

Bledegabane kawah Ungaran sing wis sirep ngembos-embos njebrot wujud endhut manget-manget ngemu
uyah, bola bali mlembung sa-kebo mbanjur mbledhos kumeluk ngganda wlirang; rina-wengi nyuwara
Bledhag-bledhug. Linede mblabar ngamblah-amblah nganti salapangan-alun-alun, banyune lined dialap
wong-wong desa Kuwu, Kecamatan Kuwu/Wirasari, Kabupaten Purwadadi/Grobogan; digodhog digawe
uyah diarani uyah bledhug Kuwu.

Ing taun Masehi: 471, Gunung Maura (Murya) uga njeblug pegunungane sing sisih kidul-wetan pedhot
misah dadi Gunung Pati Ayam. Lambene kawah sing jebrol blegedabane mblabar mengidul ngurug
Segara supitan Maura, mbajur malih dadi dharatan Kudus, Pati, Juana; nyisa wujud rawa-rawa gedhe
wilayah Undhak’an  lan bengawan Silugangga.

Blagedeba sing mbludag mengetan nukulake alun omak gedhe nglanjak nyempyok gompenge
Pegunungan Ngargapura tumlaweng mengulon tutug Kayen; gumulung baline ombak-gedhe nyered
perenge gunung-gunung gompenge padha longsor ngurug segara Teluk-Kendheng, wasana malih dadi
tanah ngare: Kayen, Jakenan, kaliori, Rembang, Sulang, lasem lan pamotan. Longsoran perenge Gunung
Ngargapura sing sisih kulon ngesuk bumi Argasoka, lemahe malik numpleg ngurug desa-desa tegal
pesawahan Pucangsula padha kependhem. (Saiki malih dadi desa: Ngendhen, Lagadhing, Sendangsari,
Topar, Klindon, Warugunung). Kraton Pucangsula Endriya pra Astha kesered gumulung baline alun,
sakehing wewangunan, omah, candhi, kedhaton, lan liya-liyane keblebeg ambles satengahe Ceruk segara
Teluk Juwana; wasana padha sirna ludhes kakubur ning dhasare segara. Mung nyisa pundhen Tapa’an
kubur awu layone Kakek-moyang panembahan Kanung, leluhure wong-wong Ngargapura Lasem; lan
guwa-guwa tilas pertapaan, sarta sawetara reca Lembu nandhi, Ganapati, Lingga; uga grewalan-pecahan
Altar-pamujan sisa tilas gempurane VOC kerja-paksa nggawe ratan-gedhe Daendelsstraat nalika tahun
Masehi: 1809-1810.

Sabanjure bumi Argasoka dadi pusa ora ana sing ngenggoni, wekasane dadi grumbul bebondhotan
rungkud sirung; kawuwuhan disirik wong dikhandhakake jare: Kuwi lemah singit-sangar panggonane
Setan Brahala Dhemit. Wong-wong Kanung sing manggon Ceriwik lan pegunungan Sindawaya isih
padha slamet, sing giris padha ngungsi ning perenge Gunung Buthak Pamotan sapengulon tutug wetan
Todhanan; wong-wong mau ning bumi kono malih ganti aran Wong Kanor. Sing manggon Todhanan
sapengulon tutug Sukolilo, Kabupaten Pati sarta pulo-pulo Rawa desa Kuthuk, Galiran, Kaliyasa, Ngelo,
Karangrawa; malih ganti aran Wong Sikeb (=wong Samin). Wong-wong suku Kanung, Kanor, Sikeb mau
sanajan wis ngalih ning kana-kana lan ganti arane Suku, nanging Adat-tatacara Budipakarti Kanung isih
tetep dirungkepi naluri leluhur Pucangsula Endriya pra Astha. Yen didhawuhi Pamrentah-Negara mlebu
Agama apa wae iya ora suwala mung manut kersane sing mrentah. Nanging tumindake ya mung angger:
Rubuh-gedhang, obor-blarak = ora tulus suwe mlebu ning nalare.

Sawise 149 taun saka penjebluge Gunung Murya, owahe segara Teluk Serang lan Selat Maura kang malih
dadi dharatan, isih nyisa segara Selat Welahan lan Rawa-gedhe Bengawan Silugangga, sarta Teluk
Juwana; ngilung Gunung Maura. Bumi dharatan anyar perenge Gunung Murya sing sisih kidul mau,
luwih saka satus taun wis dadi alas pejaten kang ngongkang Rawa-gedhe selat Murya. Ing taun Masehi:
620, bumi kono kuwi wis dienggoni wong bebadra saka negara Keling Dattsu Dewi Simah, wong
Pegunungan Ngargapura, lan wong Pegunungan Sukalila. Ana kanoman gegedhug A.L. Keling kang isih
Trah-darah turun kaping enem saka Hang Sabura/ Dewi Simah, asmane: Hang Anggana; dheweke ngajak
wong-wong Pelaut negara Keling lan Petani pokol sing bebadra mau, dijak mbubak alas pejaten nggawe
desa lan plabuhan sing gisike nggenggeng karangkitri rupa-rupa, bareng wis dadi desa karan: Getas-
Pejaten, plabuhane karan: Tanjungkarang.

VI. Kawitane dumadine negara KUDUS

Ing taun Masehi: 645, sebab saka wuwuh rejane banjar Getaspejaten, Dhatu Hang Anggana nuli ngelar
panggonan kuwi mekar mengalor sarta yasa punjere kutha nganggo asmane dhewekke katelah aran
Rananggana (Rana + Anggana = Hang Anggana bandhol paprangan). Saiki aran kutha: Kudus. Wektu
kuwi wis akeh wong saka India kidul negara Chola sing padha dagang-ganjol ning pasar Tanjungkarang,
wong negara Chola mau ngijolake: Babut-prangwedani gambar Pura/Candhi Hindhu, lan minyak-wangi
Yasmin/ Tagara, sarta pratus wangi; negara Rananggana ngijoli kayu-jati glondhong, kapuk randhu lan
lenga klenthik-klapa. Wong negara Chola kuwi agamane Hindhu Shiwa Maha Dewa, jare Agama kuwi
Agung luwih bener lan luwih suci tinimbang Tata Budibudaya suci Jawa-Hwuning. Sabab saka sambung
rapete Penggedhe Rananggana karo Juragan-juragan negara Chola, wasana Penggedhe-penggedhe lan
wong dhuwuran. Rananggana kuwi wiwit padha kapilut niru Kabudayane wong Chola mau; mlebune
Kabudayan Chola ning negara Rananggana ndeseg Tata Budibudaya suci Jawa-Hwuning sing dianggep
remeh lan asor. Sarehne kalah birawa kalah gebyar, Penggedhe-penggedhe lan wong Enom-kutha sing
umur 18 taun sapengisor padha berag padha ngrasa gagah nggunakake Budayane wong sabrang Ngatas-
Angin; luwih-luwih para Wanitane padha anut-ngrubyug: “Kaya Belo melu seton. Kaya bebek
nyemplung kedhokan.” Nanging kawula rakyat Cilik ning Karangpadesan, pegunungan lan bumi Rawa,
ora mreduli ora nggubris anjrahe Kabudayan manca ngono mau. Wong-wong mau mung botha-bathu
mledreng nyambut gawe butuh rejeki kanggo nyampeti krandhah anak-bojone. Dhatu Hang Anggana
sarehne wong wegig lan wicaksana, mula uga ngguyubi melu mlebu Agama-Hindhu nanging dudu
Hindhu Shiwa, dheweke ngarang Agama Hindhu-Kanung. Sabab ngrumangsani nggone dadi Dhatu-
Agung ning negara Rananggana kuwi saka dhukungane kekwatane wong-wong Kanung kang uga isih
Wangsane dhewe. Mula wujude Pamujan utawa Pura-purane negara Rananggana kuwi ora niru cakrik
Hindhu Chola utawa Hindhu Dieng, dheweke nggawe Pamujan Lembu-Nandhi ndepok ning Altar
nglambangake Kekwatane Rakyate, sarta Lingga-Yoni wujud Lumpang-Alu gedhe banget,
nglambangake: Hang Anggana Dhatu Agung kang mundhi-bekti Sembok/Semake sarta Dhanhyang
Leluhure. (Dununge Sanggar-pamujan  kuwi saiki dadi desa Demangan, kakilung gendhong-gendhong
Pabrik Rokok).

Saterue nuli nggawe Pamujan Merudhandha-Agung (Saiki isih wujud Menara Kudus cedhak mesjid
Kudus-kulon). Merudhandha kuwi nglambangake ke-Agungane negara Rananggana; puncak tengahe
Merudhandha didokoki Oncor-prunggu ana pahatane gambar Manyura ngingel, oncore tumumpang ajug-
ajug (=Tajug) emas, rina wengi tansah murub nganggo lenga klentik-klapa; dijaga/dirawat Pendhita
Hindhu Kanung wong 4 padha ganti saben 4 jam. Oncor kuwi nglambangake Kaluhurane lan
Kawicaksanane Hang Anggana; pisungsung saudagar China krajan Tsang Tai Tsung. Ring gisik tepine
bengawan Silugangga (Juwana) para Pambelah/Pelayar/Pelaut digawekake candhi pamujane Dewi Hwa
Ruh Na recane wujud Dewi Ratune Samodra njoget tetayungan. Saiki tilase candhi-candhi mau wis kari
wujud Pura padhang gogrog ning desa: Jatiwetan, Loramkulon, Njepang lan Temulus. Sarehne Rakyat
Rananggana kuwi agamane Hindhu Kanung pamuja Lembu nandhi, mula wong-wong mau padha sirik
banget mbeleh sapi lan gemang mangan daginge; nganti jaman pangwasane Shunan Tajug-Islam tutug
jaman saiki isih dadi Adat-kapercayan, tembunge: “Juuuug… juug, mangan daging sapi kuwi ora ilok
Naang/Noook!!!”. Hang Anggana seda in taun Masehi: 660, awu layone dilarung dikelemake ning
sumuran sangisor-dhasare Merudandha; ning wektu sabanjure banyu sumur kuwi kanggo mbabtis wong
kang arep dadi Pandhita kanung. Rembesane banyu sumur kuwi njedhul tutug gompinge Kali Gelis;
gomping kuwi ditembok dhuwur dhasare digawekake jedhingan, banyune kanggo: Siraman ngruwat-
sangkalane Bocah kang wiwit demolan dibarengi Kethok-kuncung.

VII. Adege negara MEDHANG-Metaram I

In taun Masehi: 725, ana wong Kanung wegig saka Medhang-Kamulaan (Teluk Lusi Blora) kang isih
klebu trah-tedhake Dattsu Dewi Simah, asmane Hang Sanjaya. Dheweke ngajak wong-wong Medhang
Kamulaan, wong-wong Keling lan wong-wong Rananggana, diajak bebadra nggalang Banjar papane ning
bumi sawetane Gunung Dieng, punjere Banjar dumunung ning Adireja sawetane Gunung Buthak
(Kabupaten Temanggung). Wong-wong mau ngumpul ning wong-wong Kanung sisane panjebluge
Gunung Dieng sing manggon desa-desa: Gemawang, Kemiri, Limbangan, Boja,; wong-wong mau
Agamane Hindhu-Kanung pemuja Lembu-Nandhi lan Lingga-Yoni. Hang Sanjaya nggone nggalang
banjar lan punjere kutha dumunung ning Adireja kuwi perlune:

1. Nedya nguripake penambangan wlirang sing wis pusa kanggo pedagangan maneh karo negara
China.
2. Supaya bisa cedhak nggone ngirup Desa-desa sing biyene dadi Krerehane Leluhur Endriya pra
Astha.

Sesambungan dagang karo negara Sabrang nggunakake plabuhan Teluk-Bodri sing ngongkang segara
Jawa, nuli munggah pagenengan Singaraja, Sukareja, lan Candhirata mbanjur tutug Adireja. Hang
Sanjaya menehi jeneng negarane mau aran: Medhang-Metriyem (Tegese: Babone saka Medhang), lawas-
lawas tembung kuwi malih luntur dadi: Medhang-Metaram.

Wong Medhang-Metaram kuwi agamane rupa-rupa:


1. Hang Sanjaya dhewe agamane Buddha-Kanung naluri saka Leluhur Keling Bhikku Janabadra.
2. Wong-wong pinter mentereng-kutha agamane Hindhu-Chola.
3. Wong kolod pemuja Lingga-Yoni pemundhi Sembok/Semak isih agama Hindhu-Kanung.
4. Wong Cilik Sudra-papa urip rekasa rejekine ora mingsra, ora butuh ning Agama ora mikir swarga-
neraka. Butuhe mung ngupaboga nggo nyampeti kaluwarga.

Wong Medhang-Metaram kuwi sanajan Kapercayan lan Agamane rupa-rupa, nanging padha bisa rukun
gotong-royong setya ning Negara/Praja. Nalika netepake adege negara Medhang-Metaram lan Undhang-
undhang pranatane Praja, swarane sing menang: Wong sing ngagungake Sastra Palawa lan Taun Syaka.

Swarane wong sing ngugemi sastra lan titi taun jawa Hwuning dadi kalah, dianggep Kolod wis ora
njamani (Sanepane dianggep kaya Baya-putih sing wis tuwek-loyo). Wusanane sastra Jawa-Purwa
karangane Dattsu Agung Pucangsula Dewi Sibah, lan taun Jawa-Hwuning karangane Dhanhyang Kie
Seng Dhang malih ora dikanggokake dadi kabur ilang. Negara Medhang-Metaram ngganti resmi
ngunakake sastra Palawa lan taun Syaka nalika taun 654 (=Tahun Masehi: 732).

Tan Syaka kuwi taun Pengetan nalika jumenenge Raja Khaniska I wangsa Kushana, diwisuda dadi
Narendra negara Chola India Kidul. Dadi dudu asli taune wong Jawa-Purwa.

Dongeng Crita-Legendha :

Pujangga Jawa nggawe crita Aji Saka (=Kabudayan Saka) ngalahake Baya-Putih (=Kabudayan Suci
Jawa-Hwuning). Matine sampyuh perang abdi-loro Dora Sambada rebutan kerise Bendarane dikarang
digawe Crita dumadine Sastra Jawa-Legena (Jawa-anyar):

HA NA CA RA KA
DA TA SA WA LA
PA DHA JA YA NYA
MA GA BA THA NGA
SIGEG
VII. Dumadine negara LASEM

Sawise panjebluge Gunung Murya (Taun Masehi: 471), segara Teluk Kendheng kang keblabaran
blegedebane Gunung Murya lan klongsoran lemah gompinge Pegunungan Kendheng-gamping mau, ing
taun Masehi: 850, wis malih dadi dharatan: Pamotan, Sulang, lasem, Rembang lan Juwana; wujude bumi
isih katon banthak ngilak-ilak cengkar, ning kana kene mung ana grumbul rerungkudan sarta wit Bogor
(=Tal) kang nggrembel gegrombolan. Mung sing cendhak perenge gunung, sing isih akeh wit-witane
subur ledhung-ledhung. Ing nalika jaman kuwi wis ana wong Kanung saka desa Criwik lan Sindawaya
padha mudhun bebadra mbubak bumi nyithak tegal sawah karasan pekarangan ning bumi pagenengan
sakulone Gunung Bugel, dipangarsani wong aran: Ki Wekel. Wong-wong mau padha dadi Tani-pokol
nandur jagung-kodhok, kacang-tholo, lan tela elung; desa bubakan-mau katelah aran desa: Tegalamba lan
Karas (Karasmula, Karasgedhe, Karaskepoh). Wong-wong liyane sing uga lunga bebadra nanging
gemang bubak adoh-adoh, mung terima padha bubak ning perenge Gunung Bugel lan Gunung Gebang
sarta lembah sakulone nggunung sing lemahe padha nyumber banyune ngembong dadi rawa, akeh iwake
kutuk lan iwak sili gedhe-gedhe; bumi kono sing didadekake desa karan desa Sumbersili (=saiki desa:
Sumbergirang, dipangarsani adhike Ki Wekel asmane: Ki Welug, wong pinter sing akeh akale. Wong
Sumbersili kuwi panggaotane mung Tani-ngothek undhuh-undhuh woh-wohan kebon-alas utawa memet
iwak rawa; wong-wong mau nduweni kapercayaan: Titah kuwi wis duwe jadhangan pangan nalika
Tumitah-Urip; sing nandur jambu-klethuk kuwi Semut-getem nggondhol wiji jambu kletuk didokok
elenge ngisor watu. Codhot, kalong, lawa nggondol woh-wohan pelok beton lan kebroke padha rugol
thukul saenggon-enggon. Mula ora ana carane wong tani-ngothek kuwi padha repot-repot nenandur; wit
woh-ohan rak wis padha thukul-Dhewe amrah-saenggon-enggon, iwak-iwak wis padha bebranahan
tengkar-tumengkar Dhewe. Menusa ora nandur ora ngingoni mungkari krapa kari memet misaya masang
wuwu.

Ing taun Masehi: 870, ana wong neneka saka negara Siyem, nedya bebadra cakalbakal ning bumi pesisir
kulone Gunung Argasoka, ndharate ning Sunglon ereng-erenge Pongol pesisir mau; bareng wis mantrah
desa kono mau dijenengake: Pereng. Nggone bebadra mau dipangarsani Bhikku Agama Buddha asmane:
Gam Swi Lang, krandhah wargane padha nggalangake Sanggar lan Pasraman ning bumi sakidule pongol
pereng madhep ngulon. Wong-wong Jawa-Kanung nggone ngarani Pasraman mau aran: Gambiran
(=Saka asma: Gam Swi Lang owah aran: Gambiran). Kakek Gam Swi Lang mulangake Agama Buddha-
Kanung mundhi ngluhurake asmane Dattsu Dewi Sibah; tumrape wong Siyem Dattsu Dewi Sibah kuwi
dianggep Maharani sing wis sarira Bodhisatva. Citrane Sang Dewi dipetha diukir wujud reca Bodhisatva-
Avalokitesvara cakrik Reca negara Keling/Keled Bodhisatva ngagem makutha Praba-kudhup Melathi;
reca didokok ning altar saburine reca Sang Buddha. Wong Jawa-Kanung lan wong Siyem kuwi lawas-
lawas padha sambung jodhon sesilangan, ora ana sing mbedakake Trah asline utawa Kapercayan
Agamane.

Ing taun Masehi: 880, Ki Welug nyuwita Bhikku Gam Swi Lang perlu meguru Ilmu Agama Buddha lan
ilmu-ilmu liyane. Sawise bontos lan lulus sakeehing piwulang, Ki Welug diparingi titel Pujangga lan
asma Wisudhan Kapujanggan, asma: Mbo Widyabadra. Sawise mulih nuli mulangake Ilmu-Karya ning
krandhah rakyate. Sing luwih elok wong Sumbersili mau diwulang nggawe panganan:

1. Woh Kamala dibesta gula digawe manisan.


2. Olah-olahan lawuhan: Iwak rawa sawise diresiki nuli diwadhahi klenthing disap-sap sega-jagung
lan uyah, diperem limang dina nganti bosok gandane buwadheg arane: Bekasem (utawa: Masin).
Ngolahe: Dibothok diuled karo krambil enom parudan, digawe lawuh mangan sega-jagung
jangane elung utawa kangkung kela-asem rasane ngabelani banget.

Lebar mangan nganti ateb swarane seru: “Hwaeeeek. Aduh Semboooook segere!!!” Nuli ngenyut
manisan Kamala karo lenger-lenger lungguh lincak ora klamben kringete gumrobyos, silir-silir angin
semribit saka Gunung Bugel karo mambu gandane kembang sangketan sengir-wangi; uripe wong Tani-
ngothek Sumbersili sing kayangono kuwi wis ngrasa girang seneng ayem. Ki Welug Widyabadra ngajak
wong Sumbersili nggawe bata gedhe-gedhe perlu digawe tembok nanggul sumberan kang mili pating
sreweh mbleberi Desa, banyune diilekake mlebu kali Semangu lan Kemandhung mbajur ajor kali
tegalamba terus mlebu rawa Narukan. Liya kuwi wong-wong mau diwulang dadi Kundhi nggawe grabah-
lemah, jothoke karan: Kundhen. Uga diwulang dadi Pandhe jothoke karan: Pandheyan. Wong-wong
wadon Kundhen diwulang nggawe Ampo-lempeng, lemahe ngapek saka gompeng Palwadhak sing ana
lempunge kete-kuning yen wis dadi Ampo rasane rada gurih. Wondene wong-wong Tani-pokol
Tegalamba diwulang nandur pari sing tanpa mbutuhake diembong banyu, bibite saka sumbangane wong-
wong Siyem arane pari Gaga-rancah, dadine beras aran: Krotog. (Aja diucapake muni: Gogo dipangan
kebo loro!! Benere diucapake muni pari Gaga, sing nandur wong tegalamba lan wong Karasmula,
ditandur kulone desa).

Adege banjar Karanggan dadi Kutha LASEM

Wong Kanung Tani-ngothek lan Tani-pokol dipimpin Mpu Widyabadra kuwi padha guyub lan seneng
banget, dheweke nuli diangkat dadi Rangga (=Pemimpin Karya) sarta pindhah nggawe panggonan karan
banjar: Ke-ranggan = Kranggan. Ora lawas banjar Kranggan kuwi malih reja kaya kutha, mbanjur
dijenengake, kutha Lasem. Ngapek aran saka tembung: Kama-la lan Beka-sem. Nalika ditetepake dadi
kutha Lasem ing masa Bedhidhing taun Masehi: 21 Juni 882 kanthi pahargyan gedhen. Mpu Widyabadra
nggawe pengetan Candrasengkala Taun Syaka: 804 = (Akarya: 4, kombuling: 0, manggala; 8) : Akarya
kombuling manggala.

Sasedane Mpu Widyabadra (Ki Rangga) ing taun Masehi: 920, kutha Lasem-Argasoka suwene nganti 425
taun tutug pangwasane Mpu Metthabadra ing taun Masehi: 1345, ora ana dahuru lan sambekala. Negara
Lasem kuwi bumine cengkar uripe Rakyate kontit-kawuri banget katimbang karo Rakyate negara-negara
gedhe Gunung Kidul (Mataram-Parambwana, Daha, Kedhiri, Singasari); nanging pikire wong Lasem
kuwi padha ayem-mlekedhem sabar-darana. Mulane negara-negara gedhe mau ora ana sing sudi nglajak
utawa njajah. Lagi wiwit jaman Pangwasane Prabu Ayam-Wuruk Majapait, birawane Patih Arya Gajah
bandhol-perang Panglima Angkatan Laut Majapait wong saka desa Mada (salore Kecamatan Plosso,
Kabupaten Jombang); Akuwu Lasem Mpu Metthabadra ditelukake, pemrentahan Lasem digingsir
digantekake Wakile yakuwi Dhampuawang Pr. Rajasawardhana kaipe Prabu Ayam-Wuruk.

Adege Kraton LASEM Dewi Indu-Purnamawulan

Prabu Ayam-Wuruk tindak Lasem karo rayi nak-dulur misan Dewi Indu Purnamawulan garwa Pr.
Rajasawardhana. Dewi Indu diwisudha dadi Prabu-putri Lasem; ing nalika taun Masehi: 1351, manggon
Puri Kriyan (Tilase saiki dadi Wisma Yatim Piatu Jl. Raya Lasem) Kaendahane lan Tataraharjane kutha
Lasem kecathet ning buku Sabda Badra-Santi dening Mpu Santibadra.

Kraton Majapait ambruk

Jamane Sri Kertabhumi (Kertawijaya) ratu Majapait, kaluhurane nanendra wis malih surem, awit para
Penggedhe nayaka-praja wis padha mangro-tingal ora bekti ning Narendra; pikire ora setya ning Praja:

1. Padha slingkuh ngenthu-enthu donya-rajabrana.


2. Wis ganti ngidhep ing Gusti ning Agama liya, ora ngidhep Agamane negara Majapait.
3. Penggedhe-penggedhe pesisir lor wilayahe Majapit wis padha mbalela, malih ganti bekti ning
Shunan Seh maulana Maghribi.
4. Uripe Kawula rakyat majapait wis klendran ora kopen, bumi alas lan bengawan Brantas
diebrakake Penggedhe; bregat-bregat dutebangi kanggo mbangun dalem brenggi.
5. Sri Kertabumi dimusuhi Girindrawardhana Adipati Kedhiri rebutan waris kuwasa Tedhak Leluhur
Kedhiri. Girindrawardhana gemang dikwasani Sri Kertabumi Majapait, wekasane thukul daruru
pembrontakan ning Kutha Majapait.

Negara Majapait diprawasa kedhiri, dipit karo negara Pesisir kang musat ning Kashunanan Gresik.
Negara Majapahait rontog rusak korat-karit sirna ing taun Syaka: 1400, di Candrasengkala: (Sirna: 0,
wuk: 0, kertaning: 4, bumi: 1) = Taun Masehi 1478.

Nalika geger pembrontakan kuwi ana Mpu Guru asmane Pr. Santibadra, pujangga Seni Budaya Majapait
pangkat: Tumenggung ing Wilwatikta; ditawan Penggedhe-pembrontak Majapait, nanging Mpu Guru bisa
lolos kondur ning Lasem karo abdine telu. (Kacritakake ning buku Sabda Badra-Santi). Satekane Lasem
kojur, awit kutha Lasem wis dadi negara Islam dikwasani Adipati-putri Maulani Malokhah, kang isih
kapernah putra mantu-ponakan dhewe. Eyang Pr. Mbu Guru trima ngalah lumengser dadi Sramana
mertapa ning Gunung Tapa’an-Ngargasoka, ngiras mulangake Ilmu Endriya pra Astha ning para
Pendhita-pendhita Kanung Ngargapura Lasem, sarta ngarang Pustaka Sabda Badra-Santi (Begja-Rahayu).
Nggone dadi Sramana ning kono tutug sepuh seda ing taun Masehi: 1527, awu-layone dikubur ning
pundhen Tapa’an kono nunggal sakluwat kumpul karo awu-layone para Dhanhyang leluhur Agung
Ngargapura Lasem, yakuwi:

1. Eyang Kie Seng Dhang Dhatu Tanjungputri, seda ing taun Jawa-Hwuning: 30 (=200 taun
sadurunge Taun Masehi). Sing dikubur ning kono mung Reliqe, dudu awu-layone.
2. Eyang Hang Sambadra Dhatu Pucangsula, seda ing taun Masehi: 425.
3. Eyang Dewi Si Ba Ha (Dewi Sibah) Dattsu Pucangsula, seda ing taun Masehi: 445.
4. Eyang Rangga Widyabadra, Mpu sing cakalbakal kutha Lasem; seda ing taun Masehi: 920.

Mula ning Pundhen Gunung Tapa’an kuwi sejatine ana kubur awu-layone leluhur Agung lima. Asmane
sing nonjol-kaloka mung Eyang Mpu Guru Pr. Santibadra, sabab Eyang Mpu Guru wis ninggali Karangan
Sloka wasita Adiluhung Pustaka Sabda Badra-Santi minangka gegaran kanggo Ulah Kautaman tumuju
ning kabegjan lan Karahayon.

Nganti wektu-siki Pundhen Gunung Tapa’an kuwi isih wujud Pundhen kang mung dicungkup sarwa
prasaja-banget, mung nganggo pager bethek-kayu tanpa omah pangauban udan/panas kanggo para
Petirakat Tuguran/Nyekar kang padha rawuh sumewa ning kono. Pangestine Wong-wong nggunung kono
kang padha mbesiki lan memundhi Pundhen Leluhur Ngargapura kuwi padha ngantu-antu.

*** Muga-muga enggal anaa Priyagung/Wiryawan/Dhanawan padha kesdu mangastuti mbangun omah
Pangauban sarta nggawekake dalan tumuju munggah ning laladan Pundhen Tapa’an kono, supaya ing
tembe ndadekake regeng-rejane Desa kono dadi papan Pariwisata; wong desa Ngasinan mbanjur bisa
bukak-dhasar nggawe warung jajanan, panganan lan omben-omben kanggo nglayani para Wisata kang
mbutuhake isen-isen ***

Dhek jaman kuna, suwargi kakek Kanung R. Panji Karsono ing Kemendhung Laem, sok masitani krabat-
kadange Wong-wong Gunung Ngarga; kanthi dikidungake:

“Mangastuti uggyaning Ibu-pertiwi, sukalila mbangun Taman-Argasoka; Nagri: Jladri ardi wana khudup-
mlathi.”

Dhek biyen dhek isih jaman penjajahan Landa, akeh wong-wong Tuwa sing apal rengeng-rengeng
nembangake Slokane Mbah Panji sing aneh ngono kuwi, nanging wong-wong mau ora ngreti jluntrunge
lan tegese Warsitane kidung kuwi. Yen ana wong sing wani takon ning Mbah Buyut Kanung, jawabe iya
mung sarwa pralampita: “Mbesuk nggeeeer! Yen wong Jawa wis akeh sing padha ra i ketan, wis kemba
Mangan-jali ning wong Tuwa; para-putri ora risi nganggo kathok-cekak sa-nduwure cingklok. Para
priyayi dines-resmi kathokan landhung ngagem pici, katon bregas miyatani. Lha ing kono titi-wancine
para Janma kang Luber-arta luhur-budi, pada memetri mbanun Pudhen-suci kapetha Candhi. Buyut
dhewe iki wis ora menangi jaman kuwi!!!!”

TAMAT
Tambahan Keterangan :

Taun Sejarah diganti taun Masehi, kanggo nggampakake pamikire para Sutresna Sejarah.
Negara Pucangsula, Medhang-Kamulaan, Keling, Rananggana, isih nggunakake Taun Jawa Hwuning lan
Sastra Jawa-Purwa.
Negara Medhang-Mataram I, lan Mataram II (Parambwana), wis nggunakake sastra Palawa lan taun
Syaka.
Negara Medhang-Mataram I,. Kedhiri, Majapait, Lasem, nggunakake Taun-Syaka
Babon sejarah :

1. Saka Cathetan lan Critane swargi Kakek-kakek Kanung Ngargapura


2. Saka Critane Singkek-singkek suku Chaow Syuhu-Gwamia, lan Shinsey engkong Tya An guru Bhs
Kwo le Lasem, taun Masehi: 1930
3. Pustaka Sabda Badra-Santi

Ingkang kepengin kagungan Buku-Sejarah punika supados gethok-tular Motocopy.

Nuwun.
Kiriman saking Mas Sariman Lawantiran,Lereng Pegunungan Kendheng Lor, Blora, 13 Januari
2010.
Alang alang kumitir
&&
https://kanzunqal
am.com/tag/silsilah/page/6/

Dr. Osama Al-Bar, walikota Makkah keturunan Sunan Giri ?


Posted on 10 Juni 2017 | Tinggalkan komentar

Dalam status di Facebook, Gubernur DKI Jakarta Terpilih Anies Baswedan, bercerita tentang
pengalamanannya saat menjalankan ibadah umroh.
Di tanah suci Makkah, Anies bertemu dengan walikota Makkah Dr. Osama Al Bar, yang ternyata masih
keturunan Palembang (Sumber : Anies Baswedan, thebusinessyear.com).

Guguk 2 Ulu Perigi Besak


Dari penyelusuran diperoleh informasi ibunda dari Dr. Osama Al Bar adalah seorang Raden Ayu dari Guguk 2
Ulu (Perigi Besak) Palembang

Keluarga Kesultanan yang tinggal di Guguk 2 Ulu, sebagian besar merupakan keturunan dari
Pangeran Citromenggalo yaitu anak Pangeran Arya Kesumo Cengek bin Pangeran Purbayo bin
Sultan Muhammad Mansyur (Pangeran Jayo Dilago) (sumber : catatan al falimbani, diskusi
grup palembang).
LAPORKAN IKLAN INI

Kanzunqalam's Blog
AKAL tanpa WAHYU, akan berbuah, IMAN tanpa ILMU
Lanjut ke konten
 BERANDA
 24 ARTIKEL POPULER DALAM SE-BULAN
 41 ARTIKEL POPULER DI ATAS 100.000 VIEWS
 ALIH BAHASA (TRANSLATION)
 GENEALOGY
 HISTORY
 HOAXNEWS
 KAJIAN
 MISTERI
 MUKJIZAT
 PRIVACY POLICY

TAG ARCHIVES: SILSILAH
Dr. Osama Al-Bar, walikota Makkah keturunan Sunan Giri ?
Posted on 10 Juni 2017 | Tinggalkan komentar

Dalam status di Facebook, Gubernur DKI Jakarta Terpilih Anies Baswedan, bercerita tentang
pengalamanannya saat menjalankan ibadah umroh.

Di tanah suci Makkah, Anies bertemu dengan walikota Makkah Dr. Osama Al Bar, yang ternyata masih
keturunan Palembang (Sumber : Anies Baswedan, thebusinessyear.com).

Guguk 2 Ulu Perigi Besak


Dari penyelusuran diperoleh informasi ibunda dari Dr. Osama Al Bar adalah seorang Raden Ayu dari Guguk 2
Ulu (Perigi Besak) Palembang.
Keluarga Kesultanan yang tinggal di Guguk 2 Ulu, sebagian besar merupakan keturunan dari Pangeran
Citromenggalo yaitu anak Pangeran Arya Kesumo Cengek bin Pangeran Purbayo bin Sultan Muhammad
Mansyur (Pangeran Jayo Dilago) (sumber : catatan al falimbani, diskusi grup palembang).

Berdasarkan kepada catatan Tuan Guru Jalaluddin bil Faqih (ulama yang hidup dimasa Sultan Muhammad
Mansur, 1706 – 1714 ), terdapat Nasab sebagai berikut :

Raden Ario (Sultan Muhammad Mansur Jayo ing lago) bin Sultan Abdul Rakhman Kyai Mas Hindi Sayidul
iman Sunan Cinde Welang bin Jamaluddin Mangkurat Kyai Gede ing Pasarean bin Maulana Fadlallah
Pangeran Manconegara bin Maulana Abdullah Pangeran Adipati Sumedang Negara bin Maulana Ali
Mahmud Nuruddin Pangeran Wiro Kusumo bin Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri (sumber :  Silsilah
Palembang, dalam Tarsilah Brunei).
Dari catatan Nasab tersebut, Sultan Muhammad Mansyur yang merupakan leluhur Dr. Osama Al Bar, terhitung
masih keturunan Maulana Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri), salah seorang wali songo di Nusantara.

WaLlahu a’lamu bishshawab


https://kanzunqalam.com/2015/01/16/silsilah-kekerabatan-kesultanan-palembang-
darussalam/https://kanzunqalam.com/2015/01/16/silsilah-kekerabatan-kesultanan-palembang-
darussalam/
————— o0o —————

SULTAN MACHMUD BADARUDDIN JAYA WIKRAMA


Menjadi Raja di Kesultanan Palembang tahun 1136 dan wafat tahun 1171 serta dimakamkan di
Kawa Tekurep Lemabang 3 Ilir Palembang.

Mempunyai putera puteri sebagai berikut

I. Dari isterinya RADEN NAYU CIBLUNG binti PANGERAN SURYO WIKRAMA SUBAKTI
adalah

1. RADEN BELATI bergelar PANGERAN RATU meninggal di waktu terjadi orang mengamuk di
istana kesultanan Palembang.

2. SULTAN SUHUNAN ACHMAD NAJAMUDIN.

II. Dari istrinya RATU PUTRI binti SULTAN AGUNG QOMARUDDIN

1. RADEN GEDIH / RADEN MUHAMMAD ZEN bergelar PENEMBAHAN. (RATU itu janda
dariPAGERAN ARYA KESUMO
1. RADEN GEDIH / RADEN MUHAMMAD ZEN bergelar PENEMBAHAN. (RATU itu janda
dariPAGERAN ARYA KESUMO bin PAGERAN PURBAYA bin SULTAN MUHAMMAD
MANSYUR).

III. Dari istrinya YANG ZAMIAH bergelar MASSAYU PUTERI DATUK DALAM bin DATUK
NANDAM / CINA SIANTAN adalah

1. RADEN NAYU JENDUL


2. RADEN RUSTAM
3. RADEN PILIT bergelar PANGERAN BANJAR KUTAMA
4. RADEN NAYU FATIMAH
5. RADEN NAYU AISYAH

IV. Dari Isterinya NYIMAS MISEM

1. RADEN TUMENGGUNG / bergelar PAGERAN SURYO DILAGO

2. RADEN BALI bergelar PANGERAN NATA KESUMO, tidak berputera

3. RADEN NAYU BUGIS, bersuami PANGERAN PENGHULU BULE putera KIAI PENGHULU
binPENGHULU LEMAH LUHUR yang didarat lemabang yaitu asal dari negeri Kuddus di tanah
Jawa RADEN NAYU BUGIS berputera :

1). RADEN NAYU ASIA,


2). RADEN BADAR..
3). RADEN NAYU SITI
4). RADEN NAYU HUSNAH
5). RADEN MUHAMMAD SOLEH
6). RADEN NAYU HAKIMI
7). RADEN ZULAIHA
8). RADEN MUHAMMAD HOLIL.

4. RADEN CUPIT / bergelar PANGERAN SUMA DILAGO

V. Dari Isterinya NYIMAS PIAH

1. RADEN NAYU MARYAM bersuami PANGERAN ADIA WIKRAMA putera PANGERAN


KERAMA DINATA (mantu SULTAN MUHAMMAD MANSYUR ) berputera :

1). RADEN NAYU SURA WIJAYA


2). RADEN NAYU MARDHIAH’

2. RADEN NAYU MARYA bersuami RADEN ALI, berputera :


1). RADEN HASAN beristeri Masyayu MARYAM binti RADEN LABU.

2). RADEN NAYU SYARFIAH

3. PANGERAN SULAIMAN (Wafat lagi kecil)

VI. Dari Isterinya MASYAYU DALAM binti HAJI ABDUL KHOLIK.

1. RADEN NAYU KARIMAH bersuami RADEN BURHAN bin PANGERAN PURBAYA (Mantu
SULTAN MUHAMMAD MANSYUR), berputera :

1). RADEN NAYU SUTA WIJAYA

2). RADEN NAYU ALIMAH.bersuami RADEN SYARIF ALKHUSIN bin PANGERAN SYARIF
AL HUSENberputera :

(1). PANGERAN ASSYARIF ALKHUSEN


(2). ASSYAID ACHMAD
(3). SYARIFAH MARYAM GUMBAK
(4). ASSAID ABUBAKAR
(5). ASSAID ABDULRACHMAN
(6). ASSYARIFAH ALWIYAH
(7). ASSYARIFAH AISYAH
dan. ASSYARIFAH KHODIJAH dan ASSAID AL MUCHSIN itu keduanya bukan dari Ibunya
RADEN NAYU ALIMAH

3). RADEN NAYU ASHIMAH.

4). RADEN HABIB.


5). RADEN ILYAS.
6). RADEN MUHAMMAD HASIN
7). RADEN YUNUS.
8). RADEN MAKMUN
dan RADEN NAYU ASMA, RADEN NAYU AYU, RADEN NAYU HABIBAH

VII. Dari istrinya NYIMAS RAPAT berputerakan

1. RADEN NAYU AMINAH, bersuamikan PANGERAN ADIAWIKRAMA, duda dari saudaranya RADEN
NAYU MARYAM, maka RADEN NAYU AMINAH itu berputerakan

1). RADEN NAYU BAIDAH


2). RADEN MUHAMMAD ALI
3). RADEN NAYU ARFAD
4). RADEN ACHMAD TIMBIL
5). RADEN MUHIBAD
6). RADEN NAYU NUR TIFA
7). RADEN MUHAMMAD AMIN
8). RADEN NAYU THOIBA

selain itu MASAGUS ISHAK, MASSAYU DINA, MASSAYU SOPIAH, MASSAGUS BETUK, mereka itu
bukan dari Ibu RADEN NAYU AMINAH.

VIII. Dari Isterinya NYIMAS BAKUL berputra :

1. RADEN NAYU SUMBUL bersuamikan ASSYAID IDRUS, berputrakan :

1). ASSA ….. FA MUZNAH

2). ……….

IX. Dari Isterinya NYIMAS MAIMAH berputra :

1. PANGERAN MUHAMMAD YUSUF (tidak berputra)


2. PANGERAN CIK
3. RADEN NAYU JAMILAH
4. RADEN NAYU JAMILAN (wafat lagi kecil)

X. Dari Isterinya NYAI DALAM (orang Cina dari Semarang)

1. RADEN NAYU ROPIAH


2. RADEN USMAN bergelar PANGERAN NATO KESUMO
3. RADEN NAYU SALIMAH

XI. Dari Isterinya ………………………………. (belum bertemu nama Isterinya)

1. RADEN KOMERING
2. RADEN BELITI
3. RADEN MUHAMMAD HUSIN
4. RADEN IBRAHIM
5. RADEN NAYU NATIJAH
6. RADEN NAYU SYOPIAH
7. RADEN NAYU DARIAH
8. RADEN NAYU KAPIAH

————— o0o —————

SULTAN SUHUNAN ACHMAD NAJAMUDDIN


Tareh menjadi Raja SULTAN SUHUNAN ACHMAD NAJAMUDDIN Putera SULTAN MACHMUD
BADARUDDIN JAYA WIKRAMA, pada tahun 1171 tiga puluh empat tahun beluaipun wafat / 1190, maka
istana pemakamannya di Lemabang 3 Ilir Palembang.

Adapun Isteri dan anak-anaknya adalah sebagai berikut :

I. Dari Isterinya RATU SEPUH (RADEN NAYU MURATI)

1. SULTAN MUHAMMAD BAHA’UDDIN

2. PANGERAN DIPO KESUMO BALKIAH

3. PANGERAN PURBAYO ABDULLAH

4. RADEN NAYU JAYA KESUMO

5. RADEN NAYU ADI WIJAYA bersuami PANGERAN ADIA WIJAYA anak RADEN BUTUR, RADEN
BUTUR itu mantu SULTAM MAHMUD BADARUDDIN JAYA WIKRAMA

6. RADEN NAYU NATA WIKRAMA bersuamikan PANGERAN NATA KERAMA bin PENGERAN
NATA WIKRAMA menantu SULTAN MAHMUD BADARUDDIN JAYA WIKRAMA

7. RADEN SAWAL beranakkan :

1). RADEN NAYU RAUDHO


2). RADEN NAYU ZAENAB DUKUN

II. Dari Isterinya MASSAYU KEDATON (anak RAJA BERUNAI)

1. PANGERAN SURA WIJAYA SAMSUDIN


2. PANGERAN SUTAWIJAYA SAHABUDIN
3. RADEN NAYU HABIBAH

III. Dari Isterinya NYIMAS BANAWATI

1. RADEN NAYU MARIAH


2. RADEN NAYU LATIAH
3. RADEN ALI

IV. Dari Isterinya MASSAYU KECIK binti PANGERAN ADIA WIJAYA

1. PANGERAN KESUMO WIJAYA


V. Dari Isterinya MASSAYU SAIDAH binti REDEN TAKAL bin PANEMBAHAN bin SULTAN ABDUL
RACHMAN

1. PANGERAN SUTADINATA
2. PANGERAN SUTOWIKRAMA

VI. Dari Isterinya MASSAYU KASIAH

1. RADEN NAYU HASANAH bersuami dua kali, pertama RADEN HABIB bin RADEN BURHAN dan
kedua dengan PANGERAN SUMANEGARA

2. RADEN NAYU JAMALIA

VII. Dari Isterinya MASSAYU BURI binti ENCIK JAKPAR MENTOK

1. RADEN NAYU CEK BURI

————— o0o —————

SULTAN MUHAMMAD BAHA’UDDIN


Pada tahun 1181 malam ahad sehari bulan Rejab, jam 9 (sembilan) dilahirkan SULTAN SUHUNAN
MACHMUD BADARUDDIN itu RATU AGUNG binti DATUK MARNI bin ABDULLAH ALHADADI,
adapun SULTAN MACHMUD BADARUDDIN itu ada sembilan saudara yang seibu seayah, yaitu:

1. RADEN NAYU PURBA NEGARA BALKIAH

2. RADEN NAYU MANGKU NEGARA HAMIDAH

3. RADEN NAYU WIKRAMA HASYIAH

4. SULTAN SUSUHUNAN RATU MACHMUD BADARUDDIN (RADEN HASAN PANGERAN RATU).

5. SUSUHUNAN HUSIN DHIA UDDIN

6. RADEN NAYU SUTA WIKRAMA BARRIAH

7. RADEN MUHAMMAD HANAFIAH

8. PENGERAN BUPATI PENEMBAHAN HAMIM

9. PENGERAN ADIPATI ABDULRACHMAN


Tareh dilahirkan semuanya itu tersebut dibawah ini :

1. Tahun 1175 malam Isnen delapan hari bulan syofar jam 3 dilahirkan RADEN NAYU PURBA NEGARA
NAKIAH

2. Tahun 1177 malam Jum’at 3 hari bulan Rejab jam 2 dilahirkan RADEN NAYU MANGKU NEGARA
HAMIDAH

3. Tahun 1180 malam sabtu 28 bulan Muharam jam 10 dilahirkan RADEN NAYU WIKRAMA HASYIAH.

4. Tahun 1181 malam Ahad sehari bulan Rejeb jam 09. dilahirkan SRI SULTAN SUSUHUNAN RATU
MACHMUD BADARUDDIN ( RADEN HASAN PANGERAN RATU ).

5. Tahun 1183 sehari bulan Syawal jam 4 dilahirkan SUHUNAN HUSIN DHIA UDDIN.

6. Tahun 1186 malam Jum’at 6 hari bulan Muharam jam 7 dilahirkan RADEN NAYU WIKRAMA BARRIAH

7. Tahun 1190 hari Sabtu 9 Zulhijjah jam 12 dilahirkan RADEN MUHAMMAD HANAFIAH.

8. Tahun 1192 hari Sabtu 17 bulan Syawal jam 8 dilahirkan PENGERAN BUPATI PENEMBAHAN HAMIM.

9. Tahun 1195 hari Isnen 8 Robiul akhir jam 6.30 dilahirkan PENGERAN ADIPATI ABDUL RACHMAN.
——————–

Pada tahun 1190 malam Isnen 6 hari bulan Zulkoidah wafat SULTAN SUHUNAN ACHMAD
NAJAMUDDIN, maka istana pemakamannya di Lemabang.

Pada tahun 1200 hari ahad sehari bulan Zulhijjah jam 2 wafat RADEN MUHAMMAD HANAFIAH bin
SULTAN MUHAMMAD BAHA’UDDIN, dan baginya umur didalam dunia 10 tahun 19 hari dan dua jam,
dimakamkan di Lemabang.

Pada tahun 1206 malam Sabtu 14 hari bulan Rabiul akhir jam 4, dilahirkan SULTAN ACHMAD
NAJAMUDDIN PANGERAN RATU bin SULTAN SUSUHUNAN RATU MACHMUD BADARUDDIN
RADEN HASAN ibunya SULTAN ACHMAD NAJAMUDDIN PANGERAN RATU itu adalah RATU
SEPUH ASMA binti PENGERAN ADIPATI BANJAR KUTAMA bin SULTAN MAHMUD
BADARUDDIN JAYA WIKRAMA. Adapun SULTAN ACHMAD NAJAMUDDIN PANGERAN RATU itu
13 bersaudara yang seibu seayah, semuanya dilahirkan di Palembang.

Pada tahun 1211 hari Khomis 14 bulan syofar jam 12, dilahirkan SULTAN ACHMAD NAJAMUDDIN
PRABU ANOM bin SUHUNAN HUSIN DHIA UDDIN, dan Ibunya SULTAN ACHMAD NAJAMUDDIN
PRABU ANOM itu RATU NAKIAH binti PENGERAN SURYO WIKRAMA DAWAU bin PENGERAN
SURYO DILAGA bin SULTAN MAHMUD BADARUDDIN, adapun SULTAN ACHMAD NAJAMUDDIN
itu yang digelar oleh Belanda setelah kemudian dari pada SRI SULTAN SUHUNAN RATU MACHMUD
BADARUDDIN (RADEN HASAN PANGERAN RATU) keluar dari Palembang.
Pada tahun 1212 malam Selasa 24 hari bulan Rabiulakhir jam 7 dilahirkan RADEN NAYU KESUMO
NAKIAH binti PENGERAN BUPATI PENEMBAHAN HAMIM dan ibunya RADEN NAYU KESUMO
NAKIAH ituRADEN NAYU PENEMBAHAN UMMUHANI binti PENGERAN SURYO SYAMSUDDIN
bin SUHUNAN ACHMAD NAJAMUDDIN, dan ibunya PENGERAN SYAMSUDDIN itu MASSAYU
KEDATON anak raja-raja negeri Berunai adanya.

Pada tahun 1214 hari Selasa 1 Syawal jam lima, dilahirkan PENGERAN PURBAYA ABDUL RACHMAN
bin PENGERAN ADIPATI ABDUL RACHMAN, dan ibu PENGERAN PURBAYA ABDUL RAHIM itu
RADEN NAYU ADIPATI SARIMAH binti RADEN MULYA KESUMA, dan RADEN MULYA KESUMA
itu anak Raja-raja dari negeri Matan dan ibu RADEN NAYU ADIPATI SARIMAH itu DAING MALIA dan
DAING MALIA itu anak Raja-raja dari negeri Bugis, dan adalah PENGERAN PURBAYA ABDUL RAHIM
itu masih mendapati zaman SULTAN MUHAMMAD BAHA UDDIN 4 tahun 2 bulan 21 hari dan 2 jam.

Sumber : 
1. Asal Usul Kesultanan Palembang Darussalam
2. Silsilah Keluarga Kesultanan Palembang Darussalam
Catatan Penambahan :
1. Silsilah (Nasab) Tumenggung Manco Negoro, sampai kepada Syaikh Muhammad Shohib Mirbath…

[Maulana Fadlallah Pangeran Manco Negoro Caribon] bin [Maulana Abdullah Pangeran Adipati Sumedang
Negara] bin [Maulana Ali Mahmud Nuruddin atau Pangeran Arya Kesumo Cerbon atau Tumenggung Mantik
atau Ki Geding Karang Panjang] bin [Sunan Giri II atau Sunan Dalem] bin [Sunan Giri atau Maulana
Muhammad Ainul Yaqin] bin [Maulana Ishaq] bin [Syaikh Ibrahim Zain al Akbar] bin  [Syaikh Jamaluddin
Husain Akbar] bin [Syaikh Ahmadsyah Jalal] bin [Syaikh Abdullah Azmatkhan] bin [Syaikh Abdul Malik al
Muhajir] bin [Syaikh Alawi Ammil Faqih] bin [Syaikh Muhammad Shohib Mirbath]… Sumber
Dengan demikian, Maulana Ishaq bukanlah anak dari Syaikh Husein Jamaluddin Akbar sebagaimana tersebut
di dalam silsilah diatas, melainkan adalah cucu dari Syaikh Husein Jamaludin Akbar.

2. Ada hal menarik, ternyata di dalam Tarsilah Kesultanan Brunei Darussalam terdapat Silsilah dari
Tumenggung Mancanegara (sumber : Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam, dalam catatan
“Tarsilah Brunei”). Dengan mengacu kepada Tarsilah tersebut, diperoleh informasi silsilah sebagai berikut :
Maulana Fadlallah Pangeran Manconegara  (dalam Tarsilah Brunei bernama Pangiran Manchu Negoro)
[bin]
Adipati  Panca Tanda  (dalam silsilah Palembang disebut juga Ki Paca Tanda, sementara dalam Tarsilah
Brunei disebut Pangiran Manchu Tando) [bin]
Maulana Ali Mahmud Nuruddin Pangeran Wiro Kusumo  (dalam silsilah Palembang disebut juga Pangeran
Arya Kesuma Cerbon, sementara dalam Tarsilah Brunei disebut Sunan Dalam Ali Zainal Abidin Wirakusuma)
[bin]
Sunan Giri, yang juga dikenal sebagai  Maulana Muhammad Ainul Yaqin
3. Nama lengkap ibu dari SULTAN SUSUHUNAN RATU MACHMUD BADARUDDIN (RADEN HASAN
PANGERAN RATU) dan SUSUHUNAN HUSIN DHIA UDDIN adalah RATU AGUNG binti DATUK
MURNI (HABIB MUHAMMAD) bin ALI bin ALWI bin AL-IMAM ABDULLAH AL-HADDAD… Sumber
4. Nama ibu dari SULTAN MAHMUD BADARUDDIN JAYA WIKRAMA, adalah NYIMAS SENGUK
(NYIMAS SUNGUK) binti SULTAN SRI INGALAGA (Sultan Jambi, 1665-1690)… Sumber
Hal ini berdasarkan pendapat budayawan Palembang Djohan Hanafiah yang menyatakan RADEN ARIA
(SULTAN MUHAMMAD MANSYUR) menikah dengan putri SULTAN JAMBI setelah konflik Palembang –
Jambi tahun 1681.
Putri SULTAN JAMBI tersebut merupakan sepupu dari RADEN ARIA. Dan SULTAN MAHMUD
BADARUDDIN JAYA WIKRAMA (merupakan anak ke-3), lahir sekitar tahun 1103 Hijriyah (sekitar tahun
1691-1692)

Ada juga versi yang menyebutkan ayahanda NYIMAS SUNGUK adalah SULTAN GEDEH (Sultan Jambi,
1690-1696)… Sumber
Nasabnya : SULTAN KYAI GEDE bin SULTAN ABDUL MUHYI SRI INGOLOGO bin SULTAN AGUNG
(PANGERAN DEPATI ANOM) bin SULTAN ABDUL KOHAR

Sementara versi lain Nyimas Senguk adalah putri Pangeran Depati Anom Jambi dan juga merupakan cucu
Penembahan Kota Baru Jambi.

5. SULTAN MAHMUD BADARUDDIN PANGERAN RATU, berputera/puteri :

01. RADEN NAYU KHOTIMAH KERAMA JAYA

02. SULTAN ACHMAD NAJAMUDDIN PENGERAN RATU lahir di Palembang wafatnya di Ternate.

03. PENGERAN BUPATI HAMZAH lahir di Palembang wafat di Ternate

04. RADEN NAYU WONGSO WIJAYA HALIMAH lahir di Palembang wafat di Ternate

05. PENGERAN PRABU KESUMO lahir di Palembang wafat di Ternate

06. RADEN NAYU PURBAYA FATIMAH, suaminya PENGERAN PURBAYA ABDUL RAHIM dilahirkan
di Palembang wafatnya di Palembang tidak ikut ke Ternate.

07 s.d 12 (dari tujuh sampai dengan dua belas) lahir di Palembang wafat di Palembang.

13. PENGERAN PURBAYA HUSIN lahir di Palembang wafat di Timur Kupang.

14. RADEN NAYU AZIMAH CEK AYU lahir di Palembang wafatnya di Palembang kemudian dari pulang
dari Ternate.

15. PENGERAN PRABU NANDITO MUHAMMAD, lahir di Palembang, wafat di Ternate

16. RADEN NAYU KERAMA NATA HALIMAH lahir di Palembang wafat di Ternate

17. PENGERAN PRABU DILAGO MUCHSIN lahir di Palembang wafat di Ternate

18. RADEN NAYU QOIYIMAH CEK CIK lahir di Palembang wafat di Ternate
19. RADEN NAYU SALMA lahir di Palembang wafat di Ternate.

20. PENGERAN SURYO DILAGA TOH lahir di Palembang wafat di Ternate

21. RADEN NAYU SHIHA dilahirkan di Ternate wafat di Ternate kecil

22. RADEN NAYU NUR lahir di Ternate kecil

23. PENGERAN SUTOWIJAYA USMAN, lahir di Palembang wafat di Palembang

24. PENGERAN SUTO WIJAYA AKIL lahir di Palembang wafat di Palembang, keduanya ini tidak ikut ke
Ternate, dan mempunyai anak cucu.

25. PENGERAN SUTO DIRADJAH ABUBAKAR lahir di Palembang wafat di Palembang

26. RADEN NAYU SALIMAH KERAMA DIRADJAH suaminya PENGERAN KERAMA DIRADJAH bin
KEMAS. HAJI MUHAMMAD lahir di Palembang wafat di Palembang keduanya tidak ikut ke Ternate.

27. PENGERAN PUTERA DINATO ALI,. lahir di Palembang wafat di Palembang tidak ikut ke Ternate,
hanya sampai di Betawi.

28. RADEN NAYU HAJIMAH lahir di Palembang wafat di Ternate kecil

29. RADEN NAYU NAJIMAH lahir di Palembang wafat di Palembang (K.DIWONGSO)

30. RADEN NAYU AZIMAH lahir di Palembang wafat di Ternate.

31. PANGERAN PRABU DIRADJAH ABDULLAH lahir di Palembang wafat di Palembang setelah pulang
dari Ternate.

32. RADEN NAYU NAZIMAH lahir di Palembang wafat di Ternate.

33. PENGERAN PRABU WIKRAMA ABDUL RACHMAN lahir di Palembang wafat di Palembang pulang
dari Ternate

34. PENGERAN PRABU WIROMA THOHIR lahir di Palembang wafat di Ternate

35. RADEN NAYU ZAKIAH lahir di Palembang wafat di Makkatul musyarofah

36. RADEN NAYU AMINAH lahir di Ternate wafat nya di Ternate kecil
37. PENGERAN PRABU NATA MENGGALO UMAR lahir di Palembang wafat di Timor Kupang

38. PENGERAN PRABU DIWONGSO ZEN lahir di Palembang wafat di Ternate

39. RADEN NAYU MARYAM CEK NING lahir di Palembang wafat di Mentok

40. RADEN NAYU AZIZAH lahir di Palembang wafat di Banyuwangi

41. RADEN MASHUR lahir Ternate wafat di Ternate kecil

42. PENGERAN IDRUS lahir Ternate wafat Ternate

43. RADEN NAYU CIK lahir di Ternate wafat di Ternate kecil

44. PENGERAN PRABU NATA MENGGALO ALWIE lahir di Ternate wafat di Mentok

45. RADEN NAYU ALWIYAH lahir di Ternate wafat di Ternate kecil.

46. RADEN QOSIM lahir di Palembang wafat di pulau Sapari kecil

47. PENGERAN PRABU DIKARA YASIN lahir di Palembang wafat di Manado

48. RADEN NAYU SHIHA lahir di Palembang wafat di Palembang kecil

49. RADEN NAYU SALMA lahir di Palembang wafat di Palembang kecil

50. RADEN NAYU SHIDAH lahir di Palembang wafat di Timur Kupang

51. RADEN NAYU NUR lahir di Ternate wafat di Ternate kecil

52. PENGERAN KESUMO MUHAMMAD .SYEH lahir di Ternate wafat di Palembang

53. RADEN NAYU AYU lahir di Ternate wafat di Ternate kecil

54. PENGERAN SURYO MENGGALO MACHDHOR lahir di Ternate wafat di Palembang

55. PENGERAN DIEN lahir di Ternate wafat di Ternate kecil

56. RADEN NAYU ZAHRA lahir di Ternate wafat di Ternate kecil


57. RADEN NAYU HABIBAH lahir di Ternate wafat di Ternate

58. RADEN NAYU LATIFAH lahir di Ternate wafat di Ternate

59. PENGERAN KESUMO DIRADJAH MUHAMMAD. SAFIN lahir di Ternate pada ketika menulis surat
ini 1313 hari Rabo yang ketiga Jemadil akhir hayatnya didalam negeri Ambon beranak beristeri

60. PENGERAN KESUMO DIMKIAH MUHAMMAD. HANAN lahir di Ternate wafat di Palembang.

6. SUSUHUNAN HUSIN DHIA UDDIN, berputera/puteri :

01. SULTAN ACHMAD NAJAMUDDIN PRABU ANOM

02. RADEN NAYU MALIYA, suaminya Pangeran Syarif Ali, atau Habib Ali bin Abubakar bin Shalih bin Ali
bin Ahmad Bin Syaikh Abubakar bin Salim As-Seggaf

03. PENGERAN SUTONELONDRO MACHJUB

04. PENGERAN CAKRA DININGRAT (sumber : raden nangling)


7. Berdasarkan penyelusuran Kms. H. Andi Syarifuddin (KHAS), sumber
Nyai Geding Pembayun merupakan puteri dari Kemas Anom bergelar Ki Gede Ing Suro Mudo, yang
merupakan peletak dasar-dasar kedaulatan Kerajaan Islam Palembang yang menjadi penguasa Palembang
dalam tahun 1573-1590.

Selama hayatnya, Nyai Geding Pembayun sempat menikah dua kali. Suami pertamanya ialah Kemas Tengah
bin Kiai Arya Selempar bin Sang Aji Kidul bin Kiai Gede Siding Lautan priyai Demak, memperoleh seorang
putri Nyimas Pengulu.

Setelah suaminya ini wafat, ia menikah dengan Pangeran Tumenggung Manca Negara Cirebon bin Pangeran
Adipati Sumedang bin Pangeran Wiro Kusumo Cirebon bin Sunan Giri, dikaruniai 4 putra-putri sebagai
berikut:

1. Pangeran Ratu Mangkurat Sedo Ing Pesarean (memerintah: 1651-1652).


2. Ratu Sinuhun Sabokingking, yang menyusun kitab adat Undang-Undang Simbur Cahaya, bersuamikan
Pangeran Sido Ing Kenayan (memerintah: 1639-1650).
3. Raden Arya Jayangsari.
4. Masayu Antasari.

8. Dari berbagai sumber referensi Pangeran Ratu Mangkurat Sedo ing Pesarean memiliki beberapa anak
diantaranya:

01. Pangeran Sido ing Rejek, Raja Palembang (1652-1659)


02. Pangeran Ario Kusumo Abdurrahim Kemas Hindi,  Pendiri Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan
Palembang (1659-1706)
03. Tumenggung Bagus Kuning Pangkulu
04. Kemas Tumenggung Yudhapati Sunan Goren
9. Berdasarkan kepada buku “101 Ulama Sumetera Selatan Riwayat Hidup dan Perjuangannya”, karya Kemas
H.Andi Syarifuddin.S.Ag dan H.Hendra Zainuddin.M.PdI, dari pernikahan Susuhunan Abdurrahman dengan
Ratu Agung binti Ki Mas Martayuda memperoleh 8 putera-puteri, yaitu:

01. Pangeran Adipati


02. Sultan Muhammad Mansur
03. Raden Ayu Dipa Kesuma
04. Pangeran Tumenggung
05. Raden Ayu Adiningrat
06. Raden Ayu Ditakusuma
07. Raden Kusuma Barata
08. Sultan Agung Komaruddin Sri Truno

Sedangkan dari isteri-isteri yang lain, Susuhunan Abdurrahman memiliki 25 anak, yaitu:

001. Panembahan Surya Dilaga


002. Pangeran Surya Wikrama Subakti
003. Pangeran Cakra Kesuma Raden Nusantara
004. Raden Wira Natara
005. Raden Suwila
006. Raden Kapiten
007. Raden Kuripan
008. Pangeran Sukarta
009. Masayu Astra Wijaya
010. Masayu Suro WIjaya
011. Masayu Suta Kesuma
012. Masayu Wayati
013. Masayu Irawati
014. Masayu Janaka
015. Masayu Ubat
016. Pangeran Adi Kesuma
017. Pangeran Adi Wijaya
018. Raden Ayu Purba Negara
019. Pangeran Cakra Wijaya
020. Pangeran Dita Kesuma Raden Kumbang
021. Pangeran Dipa
022. Pangeran Suta Kesuma
023. Pangeran Mentaram
024. Raden Ayu Adi Kesuma
025. Raden Ayu Adi Wijaya.

10. Pembahasan berbagai versi silsilah dari Kesultanan Palembang Darussalam, bisa dibaca pada
artikel [Misteri] Pangeran Cerbon, Leluhur Kesultanan Palembang Darussalam ?
SHARE THIS:

 Berbagi

Pos ini dipublikasikan di genealogy, history, islam, kanzunQALAM, sejarah dan tag kesultanan, palembang
darussalam, silsilah. Tandai permalink.

7 RESPONSES TO “SILSILAH KEKERABATAN KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM”

1. panjimas | 21 Januari 2015 pukul 12:25 | Balas


Untuk mengetahui siapa sosok ADIPATI SUMEDANG bin PANGERAN ARYA KESUMO
CERBON, ada baiknya kita perkirakan dulu masa kehidupannya.

Kita mulai dari cucu-nya yang bernama RATU SINUHUN binti PANGERAN MANCO NEGORO
bin ADIPATI SUMEDANG, yang bersama suaminya PANGERAN SIDO ING KENAYAN,
memerintah Kerajaan Palembang antara tahun 1636-1642.

Diperkirakan RATU SINUHUN lahir pada akhir abad ke-16 Masehi, atau sekitar tahun 1590an. Dan
ayahandanya PANGERAN MANCO NEGORO diperkirakan lahir pada sekitar tahun 1555-1565.
Sementara kakeknya ADIPATI SUMEDANG diperkirakan lahir pada sekitar tahun 1525-1535.

Jika kita mempelajari sejarah SUMEDANG, pendiri Kerajaan Sumedang, KI GEDENG SUMEDANG
atau PANGERAN SANTRI atau PANGERAN KUSUMAHDINATA, lahir pada tahun 1505. Jadi
kemungkinan ADIPATI SUMEDANG yang ada dalam Silsilah Palembang ini adalah anak dari
PANGERAN KUSUMADINATA.

Di dalam Sejarah Sumedang, sosok yang dimaksud ADIPATI SUMEDANG ini kemungkinan adalah
PANGERAN ANGKAWIJAYA (PRABU GEUSAN ULUN), Penguasa Sumedang 1580-1608…

Adapun SIlsilahnya sampai kepada Sayyid Muhammad Sohib Mirbath, adalah :

Sayyid Muhammad Sohib Mirbath


Sayyid Alawi Ammil Faqih
Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir Azmatkhan
Sayyid Abdullah Azmatkhan
Sayyid Abdul Kadir
Maulana Isa
Datuk Ahmad
Syekh Datuk Kahfi / Syekh Nurjati / Syekh Nurul Jati .
Pangeran Panjunan / Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan)
Pangeran Pamelekaran
Pangeran Santri Koesoemadinata / Pangeran Aryo Kesuma Cerbon
Pangeran Angkawijaya / Adipati Sumedang / Prabu Geusan Ulun

Sumber :
Pangeran Santri, http://id.wikipedia.org/wiki/Pangeran_Santri
Catatan :
1) Ibunda dari Pangeran Santri Koesoemadinata, dalam beberapa riwayat adalah Nyi Mas
Ranggawulung (Ratu Martasari) binti Sunan Gunung Jati Cirebon. Dengan demikian istilah Pangeran
Aryo Kesuma Cerbon, sangat sesuai disandang oleh Pangeran Santri.

2) Dalam beberapa riwayat, Pangeran Santri disebut-sebut sebagai anak dari Raden Kusen bin Adipati
Palembang (Aryo Damar/Aryo Dillah). Riwayat ini bisa jadi benar, atau setidaknya Pangeran Santri
merupakan anak angkat dari Raden Kusen Palembang.

3) Adapun kisah yang menceritakan keluarga Kesultanan Palembang, berasal dari Giri, kemungkinan
berasal dari nama Pedepokan Giri Amparan Jati yang diasuh oleh Datuk Kahfi (buyut Pangeran
Santri), jadi bukan Pesantern Giri Kedaton, yang diasuh Sunan Giri.

4) Menganai Pangeran Aryo Kesuma Cerbon, yang oleh sebagian peneliti dinisbatkan kepada
Pangeran Ali Kusumowiro Giri Kedaton, perlu dicermati lebih mendalam lagi. Hal ini dikarenakan :

(-) Di dalam Silsilah Keluarga Giri Kedaton, Pangeran Ali Kusumowiro bukan anak Sunan Giri
(Maulana Muhammad Ainul Yaqin), melainkan adik dari Sunan Giri. Jadi jika kita beranggapan,
Pangeran Ali Kusumowiro adalah Pangeran Ario Kesumo Cerbon, akan terdapat jarak yang sangat
jauh, dengan masa kehidupan cucu-nya Pangeran Manco Negoro.

(-) Pangeran Ali Kusumowiro Giri Kedaton, tidak ada “hubungan emosional” dengan Cirebon, jadi
agak janggal jika kemudian ia memperoleh gelar “Cerbon” dibelakang namanya.

(-) Pangeran Ali Kusumowiro Giri Kedaton, tidak memiliki anak yang menjadi Adipati di Sumedang.

o
).

Sumber : Penelitian R. D. Asikin Wijayakusuma


https://books.google.co.id/books?
id=Muoj7z9IOI8C&pg=PA123&lpg=PA123&dq=pangeran+santri+sumedang&source=bl&
ots=BhliKLycfN&sig=m6HK1kmZjLHXp3YCg3Szd4Y0Rgs&hl=id&sa=X&ei=9zbAVIO8
NITFmwX0wIDoBg&redir_esc=y#v=onepage&q=pangeran%20santri
%20sumedang&f=false

Rajafutu+ ……..(lumbini)
Xietouye(suddhodana)+Moye(maya)
Budha
&&india utara ada seorang bernama shali di kota tianzhu berambut jambul
&&&&&&&&&&&&&&&&&
******[Tutorial Praktis] Cara Memprediksi Jenis Kelamin bayi di dalam Kandungan, berdasarkan
Tradisi Masyarakat Cina Kuno?

Posted on 21 April 2015 | 488 Komentar


Berdasarkan temuan dari Beijing Institute of Science, pada sekitar 700 tahun yang lalu,
masyarakat Cina Kuno telah memiliki metode dalam memprediksi, Jenis Kelamin Bayi, yang
ada dalam kandungan.

Metode ini berdasarkan kepada 2 (dua) komponen data, yaitu bulan


saat terjadi pembuahan (month of conception) dan usia ibu bayi saat pembuahan (mother’s age
at conception).
Untuk dipahami perkiraan Conception juga bisa berdasarkan hppt, yakni sekitar 1-7 hari dari
hari pertama haid terakhir (hppt).
Dari pengalaman yang ada, metode ini memiliki tingkat keakuratan cukup tinggi, yakni
mencapai 75% sampai 90% (sumber : babycenter.com.au)
Setelah diperoleh data ke-2 komponen tersebut, kemudian dicocokkan dengan tabel yang telah
disusun berdasarkan pengamatan selama bertahun-tahun.
sumber tabel : prokerala.com
Tutorial Praktis :
(1). Langkah pertama :
Untuk mengetahui kapan terjadi conception (pembuahan), bisa kita ketahui melalui usia
kandungan calon ibu.
Misalkan usia kandungan pada saat ini (22 Juli 2017), adalah 7 bulan, berarti conception
(pembuahan) terjadi pada tanggal 22 Desember 2016.
Dengan menggunakan converter (prokerala.com), tanggal 22 Desember 2016 bertepatan
dengan Geng-Zi(Rat) (11th month), 24, 4714
Diperoleh data bulan saat terjadi pembuahan (month of conception) adalah 11.
(2). Langkah Kedua
Untuk mengetahui usia calon ibu saat conception (pembuahan), kita harus mengetahui kapan
“calon ibu” lahir. Misalkan “calon ibu” lahir tanggal 22 Mei 1982, maka berdasarkan kalender
masehi usia sang ibu adalah 34 tahun (+7 bulan) saat terjadi pembuahan tanggal 22 Desember
2016.
Dalam perhitungan kalender tiongkok, usia seseorang dihitung jauh sebelum ia dilahirkan, jadi
ketika diselaraskan dengan kalender masehi, biasanya ditambahkan sekitar 1 tahun (+ 3 bulan).
Dengan demikian berdasarkan Kalender China (Tiongkok) usia “calon ibu” saat conception
(pembuahan), adalah 35 tahun (+10 bulan).
Diperoleh data usia ibu bayi pada saat terjadi pembuahan (mother’s age at conception)
adalah 35.
(3). Langkah Ketiga
Dengan berpedoman kepada tabel prediksi tiongkok kuno, maka diperkirakan bayi yang akan
lahir adalah Girl (Wanita)

Selamat Mencoba…
WaLlahu a’lamu bishshawab

*** Riwayat dan Keturunan Sunan Giri


Sunan Giri merupakan nama salah seorang Wali Songo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton,
yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Beliau dilahirkan di Blambangan (Sekarang
Banyuwangi) pada tahun 1442 Masehi, yang bertepatan dengan tahun 1365 Saka.
Beliau adalah anak dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang diceritakan menikah
dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Raja Menak Sembuyu (Penguasa wilayah
Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit).
Adapun Nasab Sunan Giri, sebagai berikut :
Sunan Giri bin Maulana Ishaq bin Maulana Husin Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin bin
’Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik Azmat Khan bin ‘Alwi ‘Ammil Faqih bin Muhammad
Shohib Mirbath bin ‘Ali Khali Qasam bin ‘Alwi Shohib Baiti Jubair bin Muhammad Maula Ash-
Shaouma’ah bin ‘Alwi al-Mubtakir bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa An-Naqib bin
Muhammad An-Naqib bin ‘Ali Al-’Uraidhi bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-
Baqir bin Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Fathimah Az-Zahra binti
Nabi Muhammad Rasulullah Saw.
Sunan Giri disebutkan memiliki dua orang istri, yaitu Dewi Murtasiah binti Sunan
Ampel dan Dewi Wardah binti Ki Ageng Bungkul.
Melalui istrinya Dewi Murtasiyah, Sunan Giri memiliki delapan anak, yaitu :
1. Ratu Gede Kukusan
2. Sunan Dalem.
3. Sunan Tegalwangi.
4. Nyai Ageng Seluluhur
5. Sunan Kidul
6. Ratu Gede Saworasa
7. Sunan Kulon (Panembahan Kulon)
8. Sunan Waruju
Sementara dari Dewi Wardah, beliau memiliki dua anak bernama : Pangeran Pasirbata dan
Siti Rohbayat.
Menurut Serat Centini, Sunan Giri digantikan oleh putranya yang bernama Sunan Dalem
(Maulana Zainal Abidin), yang memiliki 10 orang anak, yaitu :
01. Sunan Sedamargi
02. Sunan Prapen Adi
03. Nyai Ageng Kurugangurun
04. Nyai Ageng Kulakan
05. Pangeran Lor
06. Pangeran Dheket
07. Pangeran Bongkok
08. Nyai Ageng Waru
09. Pangeran Bulu
10. Pangeran Sedalaut.
Berdasarkan beberapa sumber catatan Genealogy, Sunan Giri merupakan salah satu Leluhur
Pendiri Kerajaan di Kesultanan Palembang, Kesepuhan Cirebon, Kanoman Cirebon,
Keraton Jogja, Keraton Surakarta, Mangkunegara dan Paku Alaman, sebagaimana bisa
terlihat pada Silsilah berikut :

1. Sunan Giri
1.1. Sunan Dalem Wetan / Zainal Abidin
1.1.1. Sunan Sedo Ing Margi / Pangeran Wiro Kesumo Cirebon
1.1.1.1. Pangeran Adipati Sumedang (dalam versi Tuan Guru Faqih Jalaluddin adalah Maulana
Abdullah Pangeran Adipati Sumedang Negara bin Maulana Ali Mahmud Nuruddin Pangeran
Wiro Kusumo bin Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri,
1.1.1.1.1. Tumenggung Manco Negoro # Nyai Gede Pembayun
1.1.1.1.1.1. Pangeran Sedo Ing Pasarean
1.1.1.1.1.1.1. Pangeran Mangkurat Sedo Ing Rejek
1.1.1.1.1.1.2. Sultan Abdurrahman (Kesultanan Palembang)
1.1.1.1.1.1.3. Kyai Mas Tumenggung Yudapati
1.1.2. Sunan Prapen (Maulana Muhammad)
1.1.2.1. Raden Ayu Ledah # Ki Ageng Gribig II
1.1.2.1.1. Ki Ageng Gribig III (Maulana Sulaiman)
1.1.2.1.1.1. Demang Jurang Juru Sapisan
1.1.2.1.1.1.1. Demang Jurang Juru Kapindo
1.1.2.1.1.1.1.1. Kyai Ilyas
1.1.2.1.1.1.1.1.1. Kyai Murtadha
1.1.2.1.1.1.1.1.1.1. Kyai Muhammad Sulaiman
1.1.2.1.1.1.1.1.1.1.1. Kyai Abu Bakar
1.1.2.1.1.1.1.1.1.1.1.1. Kyai Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah)
1.1.2.2. Sunan Kawis Guwo
1.1.2.2.1. Panembahan Giri
1.1.2.2.1.1. Nyai Anom Besari # Kyai Anom Besari
1.1.2.2.1.1.1. Ki Ageng Muhammad Besari
1.1.2.2.1.1.1.1. Nyai Ageng Basyariyah # Ki Ageng Basyariah / Raden Mas Bagus Harun
1.1.2.2.1.1.1.1.1. Nyai Muhammad Santri # Kyai Muhammad Santri
1.1.2.2.1.1.1.1.1.1. Kyai Ma’lum Buntoro
1.1.2.2.1.1.1.1.1.1.1. Kyai Mustaram
1.1.2.2.1.1.1.1.1.1.1.1. Nyai Ilyas
1.1.2.2.1.1.1.1.1.1.1.1.1. Nyai Nafiqah # KH. Hasyim Asy’ari
1.1.2.2.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1. KH. Wahid Hasyim
1.1.2.2.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1. KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur)
1.1.2.2.1.1.1.2. Kyai Muhammad Ilyas
1.1.2.2.1.1.1.2.1. Kanjeng Kyai Kasan Besori (Raden Hasan Bashori)
1.1.2.2.1.1.1.2.1.1. RMA. Tjokronegoro
1.1.2.2.1.1.1.2.1.1.1. RM. Tjokroaminoto (Cokroaminoto)
1.1.2.2.1.1.1.2.1.1.1.1. Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto
1.1.2.2.1.1.1.2.1.2. Kyai Hasan Anom
1.1.2.2.1.1.1.2.1.3. Kyai Khalifah
1.1.2.2.1.1.1.2.1.3.1. Nyai Sulaiman # R.M. Sulaiman Djamaluddin (Cirebon)
1.1.2.2.1.1.1.2.1.3.1.1. Kyai Archam Anom Besari
1.1.2.2.1.1.1.2.1.3.1.1.1. Kyai R. Santosa Anom Besari
1.1.2.2.1.1.1.2.1.3.1.1.1.1. KH. Zainuddin Fananie (Pendiri Gontor)
1.1.2.2.1.1.1.2.1.3.1.1.1.2. KH. Ahmad Sahal (Pendiri Gontor)
1.1.2.2.1.1.1.2.1.3.1.1.1.3. KH. Imam Zarkasyi (Pendiri Gontor)
1.1.3. Ki Ageng Saba
1.1.3.1. Nyai Sabinah # Ki Ageng Pemanahan
1.1.3.1.1. Panembahan Senapati
1.1.3.1.1.1. Panembahan Hanyakrawati
1.1.3.1.1.1.1. Sultan Agung
1.1.3.1.1.1.1.1. Sultan Amangkurat I
1.1.3.1.1.1.1.1.1. Sunan Pakubuwono I
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1. Sultan Amangkurat IV
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.1. Sultan Hamengkubuwono I (Kraton Jogja)
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.1.1. Sultan Hamengkubuwono II
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1. Sultan Hamengkubuwono III
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1. Pangeran Diponegoro
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.2. Sultan Hamengkubuwono IV
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.2.1. Sultan Hamengkubuwono VI
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.2.1.1. Sultan Hamengkubuwono VII
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.2.1.1.1. Sultan Hamengkubuwono VIII
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.2.1.1.1.1. Sultan Hamengkubuwono IX
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.2.1.1.1.1.1. Sultan Hamengkubuwono X
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.1.2. KGPAA Paku Alam I (Kraton Paku Alaman)
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.1.2.1. KGPAA Paku Alam II
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.1.2.1.1. KGPAA Paku Alam III
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.1.2.1.1.1. Pangeran Soerjaningrat
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.1.2.1.1.1.1. Ki Hadjar Dewantoro (Pendiri Taman Siswa)
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.2. Pangeran Hario Mangkunegoro
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.2.1. KGPAA Mangkunegara I (Keraton Mangkunegara)
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.3. Sunan Pakubuwono II (Keraton Surakarta)
1.1.3.1.1.1.1.1.1.1.3.1. Sunan Pakubuwono III
1.1.3.1.1.1.1.1.2. Nyai Panembahan Girilaya # Panembahan Girilaya Cirebon
1.1.3.1.1.1.1.1.2.1. Sultan Sepuh I (Kraton Kasepuhan Cirebon)
1.1.3.1.1.1.1.1.2.2. Sultan Anom I (Kraton Kanoman Cirebon)
1.1.3.1.1.1.1.1.2.3. Panembahan Tohpati
1.2. Panembahan Kulon (Sunan Kulon)
1.2.1. Nyai Gede Kedaton
1.2.1.1. Sunan Cendana
1.2.1.1.1. Nyai Komala
1.2.1.1.1.1. Nyai Tepi Sulasi
1.2.1.1.1.1.1. Kyai Abdul Azhim
1.2.1.1.1.1.1.1. Kyai Muharram
1.2.1.1.1.1.1.1.1. Kyai Abdul Karim
1.2.1.1.1.1.1.1.1.1. Kyai Hamim
1.2.1.1.1.1.1.1.1.1.1. Kyai Abdul Lathif
1.2.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1. Kyai Kholil Bangkalan
(Sumber :djogdjaku, bataviase.co.id dan Maulana Husain, Pelopor Dakwah Nusantara).
*) versi lain menyebutkan ibu dari Sayyid Ibrahim Asmoro, bernama Amira Fathimah binti Amir
Husain bin Muhammad, berasal dari asia tengah (Samarkand)…

Dakwah Sunan Giri


Pada sekitar tahun 1487 Masehi, Sunan Giri mendirikan sebuah pesantren di perbukitan desa
Sidomukti, Kebomas.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun
juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Konon Raja Majapahit dikarenakan
khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan, memberi keleluasaan padanya untuk
mengatur pemerintahan.
Pesantren Sunan Giri, kemudian berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang
disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, beliau juga disebut sebagai Prabu
Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa waktu itu. Ketika Raden
Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan
panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya,
Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi
keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari,
dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau di
Nusantara.
Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah
murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau. Beliau juga mengirimkan beberapa utusan
dakwah, yang terdiri dari Pelajar, Saudagar, Nelayan, menuju pulau Madura,
Bawean dan Kangean, bahkan sampai ke Ternate dan Haruku di
kepulauan Maluku (Sumber : noenk CAHAYA).
Dalam keagamaan, Sunan Giri dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fiqih.
Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pencipta karya seni yang
luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran dan cublak suweng disebut
sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung, yang
bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
Artikel Terkait
01. Sunan Kalijaga, Ulama Seniman
02. Maulana Husain, Pelopor dakwah Nusantara
03. Meninjau Kembali, Silsilah Kyai AHMAD DAHLAN (Muhammadiyah)  ?
04. Dinasti Giri Kedaton dan Silsilah Presiden Indonesia : Sukarno, Suharto, BJ.Habibie,
Gusdur, Megawati serta Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
**

Raden Ayu Linawati – "Uncovering the Fact of Straightening History Based on Ancient
Manuscripts, Ancient Scriptures and Ranji Ranji Ancient Genealogy Which Is the Ancestral
Relic of Seven Derivatives." (wordpress.com)*** • Sayyid Muhammad Sohibus
Saumi'ah
• Sayyid Alawi Ats-Tsani
• Sayyid Ali Kholi' Qosam
• Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut) • Sayyid Alawi Ammil Faqih
(Hadhramaut) • Sayyid Amir 'Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India) •
Sayyid Abdullah Al-'Azhomatu Khan • Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad
Jalaludin Al-Khan • Sayyid Shaykh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-
Khan • Sayyid Ali Nurul Alam @ Sayyid Ali Nuruddin Al Khan titled Queen
Banii srail
• Sayyid Abdullah Umadtuddin
/ Sultan Hud Egypt • Syarif
Hidayatullah / Sunan Gunung Jati
Cirebon • Panembahan
Pasarean / Prince Muhammad
Tajul Arifin •
Panembahan Sendang Kemuning • Panembahan Ratu Cirebon I • Panembahan
Mande Gayam • Panembahan Ratu Cirebon II / Panembahan Girilaya

****
Panembahan Sendang Kemuning • Panembahan Ratu Cirebon I • Panembahan
Mande Gayam • Panembahan Ratu Cirebon II / Panembahan Girilaya

• Prince Kertaningra
Tajul Arifin •
Panembahan Sendang Kemuning • Panembahan Ratu Cirebon I • Panembahan
Mande Gayam • Panembahan Ratu Cirebon II / Panembahan Girilaya

Sultan Badridin Kertawijaya / Sultan Kanoman I


Tajul Arifin •
Panembahan Sendang Kemuning • Panembahan Ratu Cirebon I • Panembahan
Mande Gayam • Panembahan Ratu Cirebon II / Panembahan Girilaya

• Prince Alas Raden Ayu Linawati


Penulis Web Ranji Sarkub http://ranji.sarkub.com/Penulis Web Ranji Sarkub http://ranji.sarkub.com/

"Mengungkap Fakta Meluruskan Sejarah Berdasarkan Manuskrip Kuno, Kitab Kitab


Kuno dan Ranji Ranji Silsilah Kuno Yang Merupakan Peninggalan Leluhur Tujuh
Turunan."

Silsilah Genealogy BRAy. Surohadi


Menggolo Putri KGPAA
Mangkunegara I Melalui Jalur Kajoran
• Nabi Muhammad SAW
• Fatimah Az-Zahra
• Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahra
• Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin
• Sayyidina Muhammad Al Baqir
• Sayyidina Ja’far As-Sodiq
• Sayyid Al-Imam Ali Uradhi
• Sayyid Muhammad An-Naqib
• Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi
• Ahmad al-Muhajir
• Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah
• Sayyid Alawi Awwal
• Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah
• Sayyid Alawi Ats-Tsani
• Sayyid Ali Kholi’ Qosam
• Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
• Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut)
• Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India)
• Sayyid Abdullah Al-’Azhomatu Khan
• Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan
• Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan
• Sayyid Maulana  Ibrahim Asmoroqandi / Syech Syamsu Tamres
• Raden Rahmat / Sunan Ampel Denta
• Pangeran Tumapel  / Pangeran Lamongan
• Sayyid Kalkum Pangeran ing Wotgaleh / Panembahan Mas Adipati Ponorogo
Kaping Kaleh Makam ing Ponorogo
• Pangeran Maulana Mas Ing Kajoran / Panembahan Agung Kajoran / Sunan
Kajoran Sinare ing Kajoran Klaten. Menikah dengan Raden Ayu Panembahan
Agung Kajoran Putri Sunan Pandanaran / Sunan Tembayat.

• Pangeran Agus Kajoran / Raden Surasa / Pangeran Bagus Srimpet Adipati


Lasem Pertama Bergelar Adipati Tejakusuma I + Putri Kyai Ageng Pemanahan
• Pangeran Raden ing Kajoran Klaten + Raden Ayu Wongso Cipto Putri
Panembahan Senopati Maratam dengan Ratu Agung Giring
• Pangeran Arya Panular ( Kakak Kandung dari Pangeran Kajoran Klaten )
• Raden Ayu Labbohan / Ratu Kulon Garwo Permaisuri Sunan Amangkurat I
• Pangeran Puger / Paku Buwono I

• Sunan Amangkurat IV / Prabu Amangkurat Jawi


• Kanjeng Gusti Mangkunegara Sepuh / KPA Mangkunegara ( dibuang ke
Srilanka )
• Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkunegara I / Pangeran Sambernyawa
• Bendoro Raden Ayu Surohadi Menggolo menikah dengan Raden Mas
Surohadi Menggolo / Pangeran Terboyo

Silsilah Nasab BRAy. Surohadi


****

Menggolo Putri KGPAA.


Mangkunegara I Melalui
Jalur Majapahit
• Tribuana Tunggadewi + Kertawardhana / Bre Tumapel
• Rajasa duhiteswatri / Dyah Nartaja  + Singa Wardhana / Raden Suwana
• Wikrama Wardhana
• Rajasa Jaya Wardhana / Bre Pamotan
• Prabu Brawijaya V / Bre Kertabumi
• Bondan Kejawen / Lembu Peteng + Nawangsih
• Kyai Ageng Getas Pendowo
• Kyai Ageng Selo / Kyai Ageng Ngabdurrahman
• Kyai Ageng Anis
• Kyai Ageng Pemanahan / Kyai Ageng Mataram
• Panembahan Senopati Mataram + Ratu Mas Waskita Jawi Pati
• Sunan Prabu Hanyakrawati + Ratu Mas Adi Binti Pangeran Benowo
• Sultan Agung Hanyakrokusumo  ( 1613 – 1645 )
• Sunan Amangkurat I / Sunan Tegal Arum
• Paku Buwono I / Pangeran Puger + Ratu Mas Blitar
• Sunan Amangkurat IV / Prabu Amangkurat Jawi / Raden Mas Suryaputra
• Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkunegoro / KPA Mangkunegara
• Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkunegoro I / Raden Mas Said + BRAy.
Matah Ati
• Bendoro Raden Ayu Surohadi Menggolo + Raden Mas Sura Menggala/
Pangeran Terboyo

• Raden Mas Notodiningrat


• Raden Ayu Chatidjah Syarif Mohammad Salim

• Raden Mas Sayyid  Abdollah Mohammad Moetahar


• Raden Syarif Oemar Abdollah Moetahar

Diposkan pada15 November 2019KategoriTak BerkategoriTulis komentarpada Silsilah Nasab BRAy.


Surohadi Menggolo Putri KGPAA. Mangkunegara I Melalui Jalur Majapahit

SilsilahGenealogy Genealogy BRAy. Surohadi Olo Putri


KGPAA. Mangkunegara I / Prince Sambernyawa and BRAy.
Matah Ati / Raden Ayu Rubiah (Through the Women's Path)
• Prophet
Muhammad SAW •
Fatimah Az-Zahra • Al-Husayn son of
Ali bin Abu Tholib and Fatimah Az-Zahra • Sayyidina
'Ali Zainal 'Abidin • Sayyidina Muhammad Al Baqir
• Sayyidina Ja'far As-Sodiq
• Sayyid Al-Imam Ali Uradhi
• Sayyid Muhammad An-Naqib
• Sayyid 'Isa Naqib Ar-Rumi
• Ahmad al-Muhaji •
Sayyid Al-Imam 'Ubaidillah
• Sayyid Alawi Awwal
• Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah
• Sayyid Alawi Ats-Tsani
• Sayyid Ali Kholi' Qosam
• Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
• Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut)
• Sayyid Amir 'Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India)
• Sayyid Abdullah Al-'Azhomatu Khan
• Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan
• Sayyid Shaykh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan
• Nyai Tabirah h Ageng Kraton
Jogja ) • Maulana Magribi Parangkusumo /
Ki Supo + Dewi Roso Wulan •
Jaka Tarub (Kidang Telangkas
) + Dewi Nawang Wulan • Nawangsih + Bondan Kejawen / Sapi Peteng • Kyai
Ageng Getas
Pendowo • Kyai Ageng Selo / Kyai Ageng Ngabdurrahman
• Kyai Ageng Anis
• Kyai Ageng Pemanahan / Kyai Ageng
Mataram • Panembahan Senopati Mataram + Ratu Mas Waskita Jawi Pati
• Sun Prabu Hanyakrawati + Ratu Mas Adi Binti Prince Benowo
• Sultan Agung Hanyakrokusumo (1613 – 1645)
• Sunan Amangkurat I / Sunan Tegal Arum
• Paku Buwono I / Prince Puger + Ratu Mas Blitar
• Sunan Amangkurat IV / Prabu Amangkurat Jawi / Raden Mas Suryaputra
• Kanjeng Gusti Prince Haryo Mangkunegoro / KPA Mangkunegara
• Kanjeng Gusti Prince Duke Mangkunegoro I / Raden Mas Said + BRAy.
Matah Ati
• Bendoro Raden Ayu Surohadi Menggolo + Raden Mas Sura Menggala /
Prince

Terboyo • Raden Mas Notodiningrat • Raden Ayu Chatidjah Syarif Mohammad


Salim

Raden Mas Sayyid Abdollah Mohammad


Moetahar • Raden Syarif Oemar Abdollah Moetahar

Source: Serat Tjandrakanta by Raden Ngabehi Tjandrapradanta in 1926, Serat


Padmosusastro by Raden Ngabehi Padmosusastro in 1898 and Kitab Sujarah
Giring Gajutan Sujarah Mataram, Babad Sunan Tembayat 1443 compiled by
Raden Ayu Linawati in 2015.
Note: The identity of Dewi Nawang Wulan is Princess Triman Prabu Brawijaya
V. Putri Triman is the same as The Beloved Concubine. So Nawang Wulan is
not an angel like a legend but an ordinary human. Prabu Brawijaya's
concubine who was presented to Jaka Tarub krn Jasanya made heirloom kris
for Sang Prabu, this was opened in the Ancient Book of BABAD SUNAN
TEMBAYAT 1443 Saka.

******

Silsilah Genealogy Sultan Agung Mataram ( 1613 – 1645 )


Melalui Jalur Perempuan
• Nabi Muhammad SAW
• Fatimah Az-Zahra
• Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahra
• Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin
• Sayyidina Muhammad Al Baqir
• Sayyidina Ja’far As-Sodiq
• Sayyid Al-Imam Ali Uradhi
• Sayyid Muhammad An-Naqib
• Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi
• Ahmad al-Muhajir
• Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah
• Sayyid Alawi Awwal
• Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah
• Sayyid Alawi Ats-Tsani
• Sayyid Ali Kholi’ Qosam
• Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
• Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut)
• Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (raja Nasrabad, India)
• Sayyid Abdullah Al-’Azhomatu Khan
• Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan
• Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan
• Nyai Tabirah ( Sesuai Catatan Tepas Darah Ageng Kraton Jogja )
• Maulana Magribi Parangkusumo / Ki Supo + Dewi Roso Wulan
• Jaka Tarub ( Kidang Telangkas ) + Dewi Nawang Wulan
• Nawangsih + Bondan Kejawen / Lembu Peteng
• Kyai Ageng Getas Pendowo
• Kyai Ageng Selo / Kyai Ageng Ngabdurrahman
• Kyai Ageng Anis
• Kyai Ageng Pemanahan / Kyai Ageng Mataram
• Panembahan Senopati Mataram + Ratu Mas Waskita Jawi
• Sunan Prabu Hanyakrawati + Ratu Mas Adi Binti Pangeran Benowo

• Sultan Agung Hanyakrakusumo ( 1613 – 1645 )

Silsilah Genealogy Sultan Agung Mataram ( 1613 – 1645 )


Melalui Jalur Perempuan
• Nabi Muhammad SAW
• Fatimah Az-Zahra
• Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahra
• Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin
• Sayyidina Muhammad Al Baqir
• Sayyidina Ja’far As-Sodiq
• Sayyid Al-Imam Ali Uradhi
• Sayyid Muhammad An-Naqib
• Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi
• Ahmad al-Muhajir
• Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah
• Sayyid Alawi Awwal
• Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah
• Sayyid Alawi Ats-Tsani
• Sayyid Ali Kholi’ Qosam
• Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
• Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut)
• Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India)
• Sayyid Abdullah Al-’Azhomatu Khan
• Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan
• Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan
• Nyai Tabirah ( Sesuai Catatan Tepas Darah Ageng Kraton Jogja )
• Maulana Magribi Parangkusumo / Ki Supo + Dewi Roso Wulan
• Jaka Tarub ( Kidang Telangkas ) + Dewi Nawang Wulan
• Nawangsih + Bondan Kejawen / Lembu Peteng
• Kyai Ageng Getas Pendowo
• Kyai Ageng Selo / Kyai Ageng Ngabdurrahman
• Kyai Ageng Anis
• Kyai Ageng Pemanahan / Kyai Ageng Mataram
• Panembahan Senopati Mataram + Ratu Mas Waskita Jawi
• Sunan Prabu Hanyakrawati + Ratu Mas Adi Binti Pangeran Benowo

• Sultan Agung Hanyakrakusumo ( 1613 – 1645 ) Sumber : Serat Tjandrakanta


karya Raden Ngabehi Tjandrapradanta tahun 1926, Serat Padmosusastro
karya Raden Ngabehi Padmosusastro tahun 1898 dan Kitab Sujarah Giring
Gajutan Sujarah Mataram, Babad Sunan Tembayat 1443 disusun oleh Raden
Ayu Linawati pada tahun 2015.
Catatan : Jati diri Dewi Nawang Wulan adalah Putri Triman Prabu Brawijaya
V.  Putri Triman sama dengan Selir Kesayangan. Jadi Nawang Wulan Bukan
Bidadari seperti Cerita Legenda tetapi Manusia Biasa. selir Prabu Brawijaya
yang di Hadiahkan kepada Jaka Tarub krn Jasanya membuatkan keris Pusaka
untuk Sang Prabu, hal ini dibuka dalam Kitab Kuno BABAD SUNAN
TEMBAYAT 1443 Saka.
DITERBITKAN OLEH

Raden Ayu Linawati


Penulis Web Ranji Sarkub http://ranji.sarkub.com/ Tampilkan semua pos berdasarkan
Raden Ayu Linawati 
Diposkan pada15 November 2019PenulisRaden Ayu LinawatiKategoriTak Berkatagori

Silsilah Nasab Pangeran Syamsudin Mertawijaya / Sultan


Sepuh Pertama
• Nabi Muhammad SAW
• Fatimah Az-Zahra
• Al-Imam Sayyidina Hussain
• Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin
• Sayyidina Muhammad Al Baqir
• Sayyidina Ja’far As-Sodiq
• Sayyid Al-Imam Ali Uradhi
• Sayyid Muhammad An-Naqib
• Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi
• Ahmad al-Muhajir
• Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah
• Sayyid Alawi Awwal
• Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah
• Sayyid Alawi Ats-Tsani
• Sayyid Ali Kholi’ Qosam
• Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
• Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut)
• Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India)
• Sayyid Abdullah Al-’Azhomatu Khan
• Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan
• Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan
• Sayyid Ali Nurul Alam @ Sayyid Ali Nuruddin Al Khan bergelar Ratu

Baniisrail
• Sayyid Abdullah Umadtuddin / Sultan Hud Mesir
• Syarif Hidayatullah / Sunan Gunung Jati Cirebon
• Panembahan Pasarean / Pangeran Muhammad Tajul Arifin
• Panembahan Sendang Kemuning
• Panembahan Ratu Cirebon I
• Panembahan Mande Gayam
• Panembahan Ratu Cirebon II / Panembahan Girilaya

• Pangeran Syamsudin Mertawijaya / Sultan Sepuh Pertama


Silsilah Nasab Sunan Dalem Wetan Berdasar Sejarah Rante
Cirebon Abad 16 dan Ranji Silsilah Kajoran tahun 1677
• Nabi Muhammad SAW
• Fatimah Az-Zahra
• Al-Imam Sayyidina Hussain
• Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin
• Sayyidina Muhammad Al Baqir
• Sayyidina Ja’far As-Sodiq
• Sayyid Al-Imam Ali Uradhi
• Sayyid Muhammad An-Naqib
• Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi
• Ahmad al-Muhajir
• Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah
• Sayyid Alawi Awwal
• Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah
• Sayyid Alawi Ats-Tsani
• Sayyid Ali Kholi’ Qosam
• Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
• Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut)
• Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India)
• Sayyid Abdullah Al-’Azhomatu Khan
• Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan
• Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan
• Sayyid Maulana Ibrahim Asmoroqandi / Syech Samsu Tamres
• Sayyid Maulana Ishaq  + Dewi Sekardadu Blambangan
• Sayyid Muhammad Ainul Yakin / SUNAN GIRI ( Jaka Samudra )
• Sunan Dalem Wetan
****Raden Ayu Linawati – Laman 11 – "Mengungkap Fakta Meluruskan Sejarah Berdasarkan Manuskrip
Kuno, Kitab Kitab Kuno dan Ranji Ranji Silsilah Kuno Yang Merupakan Peninggalan Leluhur Tujuh
Turunan." (wordpress.com)*****
Kitab Babul Haq~Barincong-Permulaan
Permulaan

Inilah Risalah dari warisan peninggalan Alm Bapak H. Abdul Hamid Kampung Habulung


kabupaten Martapura Banjar Kalimantan Selatan.

Bab ini menyatakan kesudahan Ilmu yang Tahkik tiada diperoleh lebih dari pada itu walau
Ambiya sekalipun. Fikirkan olehmu dan cari olehmu guru yang boleh menguraikannya.
Perkataan sedikit ini terlebih besar faedahnya dari pada dunia serta isinya dan terlebih
keras dari batu lebih tajam dari pedang. Inilah Ilmu Syuhud, Ilmu orang Ahli Syufi
Radiyallahu Anhu. Inilah suatu rahasia, bahwasanya engkau itu sampai kepada Aku hai
hambaku yang Aku ridhai. Bahwasanya maha suci Aku beserta engkau, adalah ini jika
engkau berada di dalam Nur-Ku, maka engkau itu lenyaplah di dalam kosong (0) itu,
bahwasanya Ahmad itulah gaib. Itulah yang disebut gaib dengan gaib, atau diri itulah
yang disebut gaib. Maka Ahmad itulah yang disebut diri yang gaib dan Muhammad itulah
yang disebut diri yang zahir. Oleh sebab itulah Muhammad Rasulullah telah berkata :
“Ikuti aku, ikuti aku, kalau engkau tiada mengikuti maka engkau adalah sesat“.

Sebab itulah kami ajarkan kalimat Tauhid dan kami perintahkan kalimat Syahadat. Jikalau
engkau itu berpegang pada keduanya, maka selamatlah engkau dunia dan akhirat dan
engkau itu adalah mu’min yang sebenar-benarnya atau yang dikatakan Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah. Bahwasanya kalimat Tauhid itu ialah maqam Ruh yang tiada lupa ia kepada yang
menjadikannya setiap saat dan kalimat syahadat itulah yang menyempurnakan apa-apa
yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Maka engkau itu rindu selalu kepadaku
yang menjadikan semesta alam. Itulah yang disebut engkau itulah
bertubuh NURULLAH, KUN HA TITAH, maka itulah yang disebut lenyap dengan aku. Asal
engkau yang Aku jadikan ialah mula-mula kepada engkau itu satu Rahasia Nur, dan Nur
itu yang disebut Nur-Zat, maka Nur-Zat itu menjadi diri. Sudah itu diri engkau gaib di
dalam Nurullah, maka oleh itu gaib lagi yang disebut kosong (0), maka berkata di
dalam KUN, maka KUN itulah yang disebut ALIF, maka ALIF itulah yang disebut diri. Maka
gaib ALIF itu menjadi LAISA maka berkatalah ia HAK, maka yang HAK itulah yang disebut
tiada berujud dan tiada bernama Zat, maka engkau itu yang dinamakan AKU, sebab itu
bukan di luar bukan di dalam, sehingga meliputi AKU semesta sekalian alam,
maka LAISA lah Aku di dalam diri engkau itu. Jikalau engkau mengenakan Aku, maka
engkau itu adalah di dalam kalimahKu. Sesudah engkau di dalam kalimahKu itu maka
engkau itu bertubuh Syahadat, sesudah bernama Syahadat maka engkau itu
bernama Muhammad. Jikalau engkau sudah bemama Muhammad zahirnya maka batinnya
itu bernama Ahmad, sesudah bernama Ahmad maka engkau itu gaib dengan HU maka
Akulah itu. Engkau dengarkan bunyi di dalam tubuh engkau itu berbunyi WUJUD ZAT.
Wujud itu berbunyi HU, Zat itu berbunyi ALLAH. Maka oleh hilang bunyi hanya kosong,
maka kosong itu maknanya fana’, hanya dirinyalah yang ada, yang tahu serta melihat dan
yang mendengar semuanya lenyaplah di dalam yang kosong itu.

Dari AI–Haji Hasan Negara :
Inilah pegangan kita kepada Hayat, maka Hayat itu menjadi Nyawa, dan nyawa itu mejadi
Muhammad. Maka jangan engkau cari lagi. LA itu Hayat, ILAHA itu Ruh, ILLA itu
nafas ALLAH itu Nyawa, maka jangan dicari lagi, itulah pegangan kita.

Dari AI-Haji Arsyad Dalam Pagar Kelampaian Martapura :

Adapun sebenar-benarnya diri itu Hayat, dan sebenar-benarnya Hayat itu Ruh, dan
sebenar-benarnya Ruh itu Nafas, dan sebenar-benarnya Nafas itu Rahasia, dan sebenar-
benarnya Rahasia itu Nur Muhammad dan sebenar-benarnya Nur Muhammad itu tubuh
kita, maka inilah pegangan kita.

Dari Datuk Sanggul :

Adapun badan Ruhani itu ialah Allah, dan Allah itu jangan dicari lagi, karena Allah Ta’ala
sudah menjadi segala Nyawa, jangan engkau cari lagi, karena Allah Ta’ala
itu LAISA KAMISLlHI.

Penjelasan : Engkau itu adalah RahsiaKu, maka rahasia itulah yang menuju kepada Aku,
sehingga engkau itu adalah pendengaranku dan penglihatanku dan kesemuanya itu
terhimpun di dalam Rahasia Ku, maupun di dalam atau di luar. Sehingga
engkau Fana Ul Fana’ dan tiada mempunyai daya upaya, sehingga batin engkau itulah
yang dikatakan Ta’ala. Jikalau engkau hilangkan tubuh menjadi Nur sehingga tubuh
engkau menjadi Ruh, maka hilangkan tubuh engkau itu menjadi titik, maka titik itulah
yang disebut Kaca Putih, yaitulah asal-asalnya kejadian Alif, maka Alif itulah bergerak di
dalam laut rahasia, itulah yang disebut Hayat, maka hiduplah dan bergeraklah tubuhnya,
itulah yang dinamakan sifatNya yang ada di dalam tubuh engkau itu, itulah namanya
itulah dirinya. Maka akulah yang Laisa dan jangan dicari lagi. Itulah yang disebut sudah
menjadi Nyawa. Kalau engkau kosongkan maka yang berbunyi Aku itu Wujudku, kalau
engkau keluarkan maka berbunyi Rahasia. Maka kalau engkau naikkan nafas engkau
maka berbunyi Wujud Idafi. Nafas itu adalah Rahasia antara turun naik, itulah yang
berkata AKU ADALAH ENGKAU dan ENGKAU ADALAH AKU. Disitulah engkau di
dalam diriNya, naik berbunyi Wujudku dan turun berbunyi ZatKu, disitulah engkau
mengetahui atau yang berkata disebut Rahasia di dalam Rahasia, maka hilanglah Rahasia
itu, yang ada hanyalah Wujudku. Disitulah engkau Mi’raj, pertemuan dalam HadiratKu
dan apabila engkau turun maka wajiblah engkau mengerjakan perintahku, sehingga
engkau cinta kepadaKu dan engkau jauhilah segala yang kuharamkan. Engkau lihatlah
Syahadat, disitulah engkau menyempurnakan segala-galanya, berpeganglah kepadanya,
karena jikalau tidak maka engkau itu adalah sesat, maka selalulah engkau wajib
mengerjakan perintahku.

“Syahadat itu adalah tubuh engkau. Alhamdu itu Aku dengan engkau. Ingat itu adalah
Rahasiaku Kepada engkau“.

Jikalau engkau tiada berpegang pada yang diajarkan Nabi kita itu maka engkau sesat lagi
kafir. Oleh sebab itu wajiblah engkau mengerjakan perintahnya dan taat kepadanya, dan
hendaklah engkau Khauf dan cinta dan jangan engkau lupa setiap saat. Jikalau engkau
lupa maka Aku lebih jauh dan kalau engkau dekat maka Aku lebih hampir dan kalau
engkau hampir maka Akulah dirimu dan diriKu adalah LAISA KAMISLIHI, disitulah engkau
zauk.

Marilah kita bersama-sama memperbanyak amaliah sehingga terbukalah bagi engkau


satu dinding rahasia atau hijab yang dikatakan NUR ALA NUREN. Maka Nur itu tajallilah
kepada dirinya, sehingga engkau gaib maka engkau adalah di dalam WUJUD–HAQ. Kita
sebut kalimah zikir LA ILAHA ILLA ALLAH satu nafas itulah yang
disebut KALAMULLAH Jikalau engkau naikkan nafas engkau itu Aku atau HU, maka itulah
yang dinamakan Wujudku yang Laisa, ialah yang tiada Huruf dan tiada suara. Jikalau
engkau zahirkan suara engkau itu maka zahirlah sifatku, Jikalau tiada engkau zahirkan
maka engkau gaib di dalam Wujud Idafi. Wujud itu Laisa Idafi, itu suci murni dan bersih.
Itulah yang disebut Nur dan itulah yang dinamaKan Ahmad dan juga adalah dinamakan
Nur-Zat. Maka zat itulah yang disebut engkau, barulah itu dikatakan Fana’ UI Fana’ atau
yang disebut karam dan engkau itu sampailah sudah kepada Baqa UI Saqa. Disitulah
engkau melalui segala-galannya yang disebut NUR ALA NUREN atau gaib dengan gaib
sampai Hak kepada Hak.

Marilah kita kembali kepada asalnya AL FATIHAH, Aku Laisa, di dalam Aku engkau maka
disitulah engkau naikkan nafas engkau kepadanya. Kalau engkau turunkan ke bumi atau
ke dalam jasad, jasad itulah yang berbunyi ALLAH hurufnya. Jikalau engkau hilangkan
huruf ALLAH itu menjadi HU itulah yang disebut kosong, tiada tahu lagi akan dirinya,
hanya yang ada Wujud saja lagi. Maka engkau tiadalah berujud lagi dan sifat bersifat lagi,
dan tiada nama bernama dan tiada buat berbuat. Maka disitulah engkau karam di dalam
Kalimah ini, barulah engkau itu. hilang semuanya, yang ada hanya Wujud saja lagi
semata-mata, disitulah engkau bernama NUK atau NUKTAH. Maka NUKtah ini ialah satu-
satunya yang menjadi awal sekalian yang ada ini, Maka selalulah engkau taat akan segala
perintahnya, ingatlah selalu akan kataNya : “Esakan Aku, esakan Aku atau sempurnakan
Aku“.

Jika engkau sempurnakan maka engkau itu yang bernama Insan, jikalau engkau manusia
maka dialah manusia Insan-Kamil. Sebenar-benarnya diri itu Ruh, sebenar-benarnya Ruh
itu Sir. Sebenar-benarnya Sir itu Rahasia. Sebenar-benarnya Nur Muhammad itu Sifat,
sebenar-benarnya Sifat itju Zat. Sebenar-benarnya Zat itu Sir. Maka Sir itulah yang
disebut Aku Laisa Kamislihi Syai‘un.

Sudahkah engkau membaca Zikrullah ?

Sudahkah engkau membaca Tasbih ?

Sudahkah engkau membaca Qul Huwallahu Ahad ?

Sudahkah engkau membaca Yasin ?

Sudahkah engkau mernbaca Suratul Fatihah?

Maka marilah menghilangkan tubuh kita sampai menjadi misra apa yang disebut di atas
itu dan bagaimana jalannya itu? Jikalau engkau sudah misrakan, maka rindulah engkau
kepadaNya, sebab dengan rindu itulah orang baru sampai kepadaNya. Maka jadikanlah
darah engkau itu Kalimah Zikrullah. Jadikanlah tubuh engkau itu Tasbih. Jadikanlah tubuh
engkau itu Qul Huwallahhu Ahad, atau Hilangkan tubuh engkau itu menjadi wujud yang
hakiki. Dengan Yasin jadikanlah tubuh engkau itu Nur Muhammad. Jadikanlah Al Fatihah
itu wujud yang maha suci. Maka dengan demikian itu adalah kita di dalam RahasiaNya.

Adapun artinya Qul Huwallahhu Ahad itu ialah :

Berkata Allah: “Esakan Aku”. Maka oleh itu supaya engkau mendapat satu rahasia, karena
di dalam kalimat Qul Huwallahhu Ahad itu terkandung lima rahasia;

 satu di dalam Rahima Kumullah,


 kedua dalam Rahim ibu,
 ketiga dalam liang lahat,
 keempat di Yaumil Mahsyar dan
 kelima di Hadratullah.

Telah berkata Allah, “bahwasanya siapa hambaku yang sampai di maqam ini maka Aku
adalah engkau, engkau adalah Aku”. Marilah kita bersama-sama membersihkan tubuh kita
yang kotor ini, sebab tubuhlah yang mengandung maka jadikanlah tubuh engkau itu
seperti kaca yang terang benderang dan cahaya itulah yang disebut NurKu. Maka
Alhamdu ialah perkataan yang mula-mula, sebab dialah yang maha suci Itulah yang
dikatakan bacalah dengan namaKu yang menjadikan engkau BA ( ‫) ب‬. Itulah yang
menimbulkan satu rahasia atau Nur, itulah yang memuji kepada dirinya, sebab disitulah
kejadian asal dari pada Kun. Adapun Kun itu gaib atau Laisa, maka jadilah satu titik atau
menjadi huruf BA ( ‫) ب‬. Maka BA itulah yang berbunyi namaKu atau yang berbunyi = ‫هو ب‬
= (Ba-Hu) yang dua kata itu yang berbunyi : bacalah dengan namaKu. Maka BA itulah
yang disebut bathin, maka tubuh engkau itu karamkan atau hancurkan atau leburkan
atau binasakan, barulah engkau bertubuh Nur saja lagi, sebab tubuh atau jasad engkau
itu yang berbunyi :
‫( الحولوالقوة االباهللا‬Lahawlawalaquata’ilabillah)

Maka kembalilah kita kepada mula-mula asal Ruh yang tiada lupa kepadanya,
sebab tiada lupa itulah darah engkau menjadi kalimah zikir dan Tasbih, itulah
cahayanya sehingga engkau adalah Aku. Sebab itu berhati-hatilah engkau
jangan sampai lupa kepadaNya. Kalau engkau lupa kepadaNya, Dia lebih jauh.
Kalau engkau hampir, Dia lebih dekat. Kalau engkau dekat maka Akulah
pendengarnya, Akulah penglihatnya dan Akulah yang meliputinya, sehingga
engkau misra dalam Wujud-Haqiqi.
Pasal: Inilah satu uraian huruf yang bernama dan berbunyi ALIF, maka Alif itu
ialah yang dikatakan Esa. Alif adalah termasuk rahasia dirinya, sebab dialah
yang ada sendirinya. Kemudian lalu Alif itu bergerak, maka gerak itulah yang
berbunyi HAK, itulah yang dikatakan atau yang berbunyi Wahdatul–Wujud,
maka Laisalah dirinya itu, atas yang dikatakan gaib, di dalam laut Gaibul–
Guyuh atau Bahrul Butun. Maka di dalam laut titik itulah yang dikatakan atau
yang bernama NURULLAH ialah juga yang disebut NUR ZAT, maka gaiblah Nur
Zat itu menjadi Roh-Idafi, dan Roh idafi itu disebut AHMAD, maka Ahmad
itulah yang bernama ZATUL BUTHI Itulah namanya yang tiada rusak dan
hancur. Jadikanlah jasad dan tubuh engkau atau diri engkau itu semuanya
karam di dalam KalimahKu. Maka engkaupun tiada lupa memuji Aku, sebab
Aku tiada lupa berbunyi HU ALLAH tiadalah lupa Aku memuji diriKu sendirinya.
Dengarkanlah di dalam engkau itu yang berbunyi Wujud Zat dan itulah yang
berbunyi Tik-Tik-Tik itulah bunyinya yang lebih cepat. Bahwasanya Roh itu
tiada lupa kepadaNya, sehingga keluarlah cahaya Nur-Nya yang sangat terang,
maka cahaya itulah yang dikatakan atau yang disebut Insan.
Maka kembalilah kita kepada Satu yang dikatakan ZATUL–BUHTI atau itulah
yang dimaksud Allah Ta’ala. Sehingga menjadi Akulah pendengarannya,
penglihatannya, penciumannya dan pengrasanya, maka yang empat itulah yang
disebut Akulah kesemuanya. Maka itulah yang disebut engkau adalah Aku, dan
Aku adalah engkau. Maka engkau tiada berpisah atau bercerai sebab disitulah
yang berbunyi Wujud-Zat.
Pasal: Adapun yang terhimpun di dalam tubuh kita ini ada dua Ruh yang
hendak diketahui, yaitu pertama Ruh yang dikatakan Ruhul–Kuddus, dan yang
kedua dinamakan Ruhani. Adapun sebutannya Ruhul-Kuddus itu ialah HU dan
sebutannya Ruhani itu ialah ALLAH. lnilah yang kita cari yang dinamakan
Rahasia Allah dengan Muhammad. Jikalau engkau hendak mengetahui ilmu
rahasia ini bersungguh-sungguhlah menuju jalan ini, supaya engkau selamat
dunia dan akhirat. Inilah jalan rahasia Tuhan yang tersembunyi di dalam diri kita
ini, dan jangan dikeluarkan kepada orang awam rahasia ini. Jangan susah-susah
mencari Allah, karena Allah sudah lenyap menjadi nyawa sekalian batang
tubuh, KUN HATITAH namanya diri engkau itu. Jangan susah mencari bilah,
bilah ada di dalam buluh. Jangan susah mencari Allah, Allah ada di dalam tubuh.
Di mana ada Nur nya tentu terputus dari yang punya Nur. Bersatu tapi tiada
bersekutu, itulah antara kita dengan Allah.
Ini adalah pasal air MAUL HAYAT diambil secara mudah. Yaitu asal diri kita
yakni sebelum ada apa-apa. Ibu dan bapak belum berkumpul menjadi satu.
maka Allah Ta’ala memerintahkan mengambil air Maul-Hayat diarak di dalam
Syurga atau dilangit dengan beberapa banyak Malaikat, lalu Jibril diperintahkan
memasukkan kepada bapak kita. Setelah menerima tujuh hari dan berkumpul
menjadi satu kepada ibu, sebagai besi bercampur di dalam batu. Yang
dikandung selama tujuh hari oleh Bapak kita yang bernama air AL MAHMUD,
dan dijatuhkan air Maul-Hayat itu di dalam rahim ibu dinamakan NUKTAH,
seperti air hujan di daun keladi.
Empat puluh hari belum tersurat, tatkala delapan puluh hari di rahim ibu, waktu
itu darah haid lalu dinamakan ALAQAH, kemudian lalu menjadi daging segumpal
dan dinamakan MUDGAH, kemudian daging segumpal itu menjadi Alif, Ahmad
pujinya. Enam puluh hari dan seterusnya cukuplah lengkap kaki dan tangan,
mata dan hidung, mulut dan telinga Muhammad pujinya, tatkala cukup
sembilan bulan sembiIan hari maka firman Allah Ta’ala :

Dengan izin Allah lalu keluarlah ke dunia dan waktu lahir itulah dia yang
mengatakan Allah Ta’ala Aku – Aku -Aku.

Berkata Rasulullah SAW: “Pada ketika telah membuat kesalahan Nabi Adam, ia
bertobat kepada Tuhan dan berkata ; “Wahai Tuhan, saya mohon kepadamu
dengan hak Muhammad supaya engkau mengampuni alku“, Maka Tuhan
menjawab : “Hai Adam bagaimana engkau mengetahui Muhammad, sedangkan ia
belum Kujadikan?” Nabi adam menjawab ; “Wahai Tuhan setelah engkau jadikan
saya, saya mengangkat kcpala melihat ke Tiang atas di mana tertulis kalimat:
“LAILAHAILALLAH MUHAMMADRASULULLAH” Maka saya tahu bahwa engkau
tidak akan menyertakan nama Mu kecuali nama orang yang engkau kasihi”. Maka
Tuhan menjawab : “Engkau benar, hai Adam, ia adalah seorang laki-Iaki yang
paling Aku kasihi, kalau engkau memohon kepadaKu haknya, engkau Aku ampuni,
kalau bukan karena dia, engkau tidak akan kujadikan” (Hadits riwayat Baihaqi
dalam kitab Dalailu Nubuyah Imam Hakim dan Thabrani)
‫ٰۤيا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُنوا ا َّتقُوا هّٰللا َ َوا ْب َت ُغ ۤ ْوا ِالَ ْي ِه ْال َوسِ ْيلَ َة َو َجا ِه ُد ْوا فِيْ َس ِب ْيلِهٖ لَ َعلَّـ ُك ْم ُت ْفلِح ُْو َن‬
“Hai orang-orang yang beriman, carilah jalan yang menjurus dan bisa
menyampaikan engkau kepada Allah dan setelah engkau temukan, maka
bersungguh-sungguhlah engkau niscaya engkau telah dikasihinya” (AI Maidah ; 35)
Allah berfirman :
“Sesungguhnya kami telah menyerahkan amanah itu kepada langit, bumi dan
semua gunung-gunung, tetapi tiada satu yang akan menerimanya, karena
takutnya. Maka diterimalah oleh manusia. Dengan demikian, maka oleh manusia
itu apabila ditinggalkan (dilalaikan)-nya, maka ia telah menganiaya dirinya sendiri“.
Di dalam pengertian tentang apa yang dikatakan amanah itu telah dijelaskan
dalam kitab IHYA’ULUMUDDIN karangan Imamul Gazali, sebagai berikut:
Artinya : “Yang dikatakan amanah itu ialah Ma’rifat Hakiki dan Tauhid Hakiki“.
Kemudian Allah mengingatkan di dalam AI Qur’an mengatakan :
“Hai orang-orang yang beriman, jangan engkau mendustai Allah karena engkau
merusak janji Tauhidmu kepada Allah ketika dijadikanmu, dan engkau mencintai
Rasul karena engkau merusak janji pelaksanaan serta engkau telah mendustai
dirimu sendiri”
Kemudian Tuhan menjanjikan untuk menampakkan dirinya kepada kita dengan
firmannya:
Artinya : “Saya akan menampakkan diriKu kepadamu semua, sebagai bukti apakah
aku berada di angkasa, ataukah dalam dirimu sendiri, Hingga jelas benar bagimu,
bahwa Tuhan itu benar-benar ada”.
Kemudian di dalam salah sebuah hadits Qudsi Tuhan barkata :
“Manusia itu adalah RahasiaKu dan saya adalah Rahasia manusia itu sendiri”
Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang mengenal akan dirinya, niscaya ia
telah mengenal Tuhan dengan Rasulnya, dan mengenal akan dirinya itu adalah
fardu ain (fardu yang tertentu) bagi tiap-tiap manusia“.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya mengenal akan diri itu tiada akan sempurna
apabila dengan alam akal, tetapi akan sempurna dengan Nur yang telah
ditanamkan Allah SWT di dalam hati hambanya. Dalam rangka mengenal akan
diri itu ada dua hal yang sangat terpisah dan bertentangan maksudnya.
Pertama: Sebuah dalil sebelum Rasulullah SAW ada sebuah dalil berbunyi
sebagai berikut :
“Asal kita semua dari Nabi Adam sedangkan, Nabi Adam itu berasal dari tanah“.
Jadi apabila kita mengambil dasar dalil dalil ini, nyatalah bahwa anasar kita dari
empat halus, yaitu : Api, Angin, Air dan Tanah. Apabila hal tersebut di atas kita
perinci, berarti bahwa : Rahasianya adalah Api, Ruhnya adalah Angin, Hatinya
adalah Air, dan Tubuhnya adalah Tanah.
Kedua : Sebuah dalil yang berasal dari Rasulullah SAW setelah ia lahir, beliau
bersabda :
“Saya berasal dari Allah dan Alam semesta itu adalah diri saya adanya“.
Jika kita teliti secara ilmiah dengan dasar dalil yang kedua itu wajib kita jadikan
dasar sebab benar-benar berasal dari pada Allah dan asal dari pada ke empat
anasar tersebut pada dalil pertama diatas. Adapun dalil kedua ini jelas benar
bagi kita, bahwa benar kita berasal dari Allah dengan kenyataan sebagai
berikut; bahwa dalam tubuh kita terdapat tiga unsur pokok :

1. ADAM : Bertubuh Hati, Ruh dan Rahasia.


2. MUHAMMAD : Bersyariat, Tarikat, Hakikat dan Marifat.
3. ALLAH TAALA : Berzat, Sifat, Nama dan Rahasia.

Apabila ketiga unsur pokok tersebut di atas diperinci, menjadi dua belas,
kemudian di Tauhidkan, dan Tauhidnya menjadikan tiga belas. Dengan ketiga
unsur pokok di atas, sangat jelas bagi kita, bahwa dalil kedua itu adalah bukti
bahwa ke empat anasar (halus) tersebut. Pada dalil pertama itu, berasal dari
kita. Bukan kita berasal dari ke empat anasar itu.
Ma‘rifat Hakiki_______________________

Arti dari pada ma’rifat hakiki itu ialah mengenal diri tetul-betul berasaldari pada
Allah (kadim) ke akhir, kemudian kembali kepada kadim lagi (kepada Allah),
sebagaimana Rasulullah bersabda: “Kami berasal dari pada Allah dan kepadanya
pula kami akan kembali“. di dalam pengertian yang di katakan ma’rifat hakiki itu
ada tiga faktor yang sangat penting:
Yang dinamakan “Ahadiyah” (maha tunggal) AllahSWT diumpamakan laut yang
tiada bergelombang. ialah adanya Tuhan yang maha Suci dan maha tinggi, tiada
martabat di atasnya malah semua martabat adalah di bawahnya saja. Dengan
dikatakannya “Lata’yun” (belum tentu) itu, sebenarnya oleh karena pada masa
itu kita manusia memang sudah ada dan tiada terpisah dengan Tuhan. Berarti
kita sudah berada dalam Rahasia AI1ah SWT. Tetapi oleh
karena Alla.hSWT belum mau nampak (nyata), maka kita belum dinampakkan
pula. Jadi sejak “Lata’yun” kita manusia itu, sudah tetap dalam Rahasia Allah
SWT tetapi belum ada pengkuan apa-apa karna belum nampak dan
dinampakkan.

Titik yang mengelilingi semua yang ada, serta mengitarinya palakia (Nujum)
serta pendengaran dan penglihatan. Bukankah, Allah SWT mengelilingi semua
yang ada, sama dengan mengitarinya putih kertas dalam kertas itu sendiri ?
Yang dikatakan “Ta’yun Awal” itu ialah : Ibarat kita mengenal Allah dengan Zat,
Sifat dan semua yang ada, atas mula yang berjumlah dan tiada berlainan antara
satu sama lain martabat ini dinamakan “Wahdat” (tunggal) dan asal mula semua
yang ada.
Relas : Pada ketika Tuhan telah mempunyai keinginan mengadakan
(menampakkan) dirinya, maka dinampakkan-Nyalah manusia itu dahulu (Titik)
itu di dalam dirinya sendiri, seraya melihat dan berkata: “Tahukah engkau
bahwasanya akulah Tuhanmu?” Maka kita segera menjawabnya: “Benar!
Engkaulah Tuhan kami“. Setelah pengakuan bersama itu terjadi, maka tuhan
berkata : “Hai pada saat ini aku akan mengambil empat macam Halus dari
tubuhmu kujadikan Alam, agar engkau tempati kelak“. Maka kita menjawab
ucapan Tuhan itu, artinya : “Tiada kemauan dan kekuatanku selain Allah“. Setelah
ucapan itu diucapkan maka Allah mengambil ke empat halus itu, yakni :
mengambil dari Rahasia kita untuk dijadikan Api, mengambil dari Ruh untuk
dijadikan Angin, mengambil dari Hati untuk dijadikan Air, dan mengamhil dari
Tubuh untuk dijadikan Tanah. Kemudian dijadikannya alam bersama isinya oleh
Allah SWT. Adapun setelah pengambilan keempat anasar alam tersebut, maka
titik yang tadinya itu mengembang di tempat itu sendiri hingga menjadi banyak
dan besar, dinamakanlah Alif.

Alif pada zat menyelubungi semua rahasia yang ada, artinya sekalipun syarat
diselubunginya. Ah ! Bukankah mengelilingi segala sesuatu yang ada,
sebagaimana kengelilingnya perak pada cincin itu sendiri.
Yang dikatakan “Wahidia” (mentauhidkan) ialah seumpama laut dengan
gelombang. Sesungguhnya Allah SWT Tuhan yang maha Suci lagi maha Tinggi
diumpamakan laut, sedangkan semua yang ada diumpamakan gelombang.
Adapum gelombang itu, tiada di atas laut dengan tiada selain dari laut.
Demikianlah tauhid orang-orang yang ma’arif kepada Allah SWT. Tetapi
perkataan ini lemah, karena sesungguhnya jalan yang ditempuh orang-orang
ma’arif kepada Allah itu berada di belakang akal.

“Ta’yin sani” ialah : umpama kita mengenal Allah SWT dengan zat, sifat dan
semua yang ada atas kelainan, maka berlainan antara satu dengan yang lain.
Martabat ini dinamakan Wahidia serta asal mula semua manusia. Ini tiga
martabat semuanya adalah kadim. Serta terdahulu atau terbelakangnya, itu
hanya oleh karena perkataan saja, bukan karena waktu. Ketika kita mengatakan
‫( احدية‬Ahadiyat) maha tunggal ‫( وحدة‬Wahdat) tunggal ‫( واحدية‬Wahdiyat) Dan ketika
mengatakan ‫( التعين‬Lata’yin) belum tentu ‫( اول تعين‬Awal Ta’yin) ketentuan
pertama ‫( تعينالثانى‬Ta’yin Sani) ketentuan kedua. Ketika mengatakan ketiga
martabat itu semuanya adalah kadim, sedangkan terdahulu atau
terbelakangnya itu hanya dari perkataan saja, bukan karena waktu. Karena
sesungguhnya, laut yang tiada bergelombang itu, di situ juga. terdapat satu
gelombang dan dinamakan titik. Dengan titik itu juga yang berkembang
menjadi banyak, maka dinamakan Alif. Jadi hakekatnya satu saja, tetapi tiada
dalam sebutan.
Relas: Setelah dimengerti betul-betul serta menjadi patokan dalam hati
sanubari, tiada pernah terpisah dengan Allah SWT dari awal yang tiada berawal
hingga kepada akhir yang tiada berakhir nanti, serta Tauhid telah sempurna.
Maka jagalah sebaik-baiknya, tidak bersama hati kita kiranya jangan kemasukan
syaitan lagi niscaya jangan kotor. Sebab apabila hati kotor, tidak sembarang
bicara, maka rusaklah i’tikad. Tentunya menjadi lagi syaitan berkuasa, atau jin.
Secara otomatis dapat menjadi syaitan, atau jin lagi. Sedangkan muka tetap
berwajah manusia.
Seterusnya>> Tauhid Hakiki
Advertisements

Kitab Babul Haq~Barincong-Tauhid Hakiki


TAUHID HAKIKI

Yang dikatakan Tauhid Hakiki ialah mentauhidkan diri kepada Allah SWT kadim dan
zahir. Adapun dalam rangka pelaksanaan tauhid itu, zahir yang mernbawa kadim guna
mentauhidkan hingga tegak berdiri sendiri, umpama : dalam rangka pelaksanaan
Takbiratulihram (Allahu Akbar) harus benar-benar tertib pelaksanaannya, baik zahir
maupun hakekatnya secara khusyu’.

TUBUH DAN RUH KADIM DAN ZAHIR>> Dalam pengertian tubuh kadim dan Ruh kadim
itu ialah bersumber dari pada Ma‘rifatunnafsi, artinya mengenal diri dari pada Allah dan
tiada pernah terpisah dengan Allah sejak awal yang tiada berawal, hingga kepada akhir
yang tiada berakhir nanti. Demikian pula yang dikatakan Tubuh dan Ruh Zahir,
sebenarnya hal ini sejak awal memang tiada pernah terpisah. Karena pada masa
kadimnya, yang zahir dibungkus oleh yang kadim, sedangkan setelah zahir, maka yang
kadim pula dibungkus oleh yang zahir. Hanya ganti tempat saja secara rahasia. Demikian
pula sebentar lagi, apabila Allah sampai panggilan Ilahi untuk kembali ke Rahmatullah
(asal), tentu demikian pula dan tetap diselubungi oleh cahaya dari
pada NUR MUHAMMAD sepanjang masa. (Lihat gambar Tauhidul Hakiki dan Ma’rifatul
Hakiki). Setelah meneliti gambar dan perincian Ma’rifatul Hakiki dan Tauhidul Hakiki,
nyatalah bahwa manusia yang berpatokan pada dalil (Hadits) Rasulullah SAW yang
berbunyi :

Betul-betul dapat mengerti bahwa tubuh zahir inipun berasal dari Allah swt, bukan dari
tanah. Sebab telah dimengerti, bahwa Ahmad itu adalah tubuh zaliir kita dan dapat
dimengerti pula bahwa Ahmad itu adalah badan manusia, serta nama dari pada Nabi pun,
nyatanya Tuhan Allah SWT. Pada kita dengan demikian maka ia pula dikatakan Fatiha
‫( الحمد‬Ahmad) itu serta ia pula dikatakan iman menurut sabda Rasulullah S.A.W:

“Barang siapa yang bersembahyang tidak mengenal Imamnya, tidak syahlah sembahyangnya”

Demikian pula yang dinamakan Akbar itu sebenarnya adalah kita atau penggerak
Alhamdu (Ruh) Jadi dalam kalimatu Allahuakbar sebenarnya Allah itu Tuhan dan Akbar
adalah kita. Jadi dalam pelaksanaan ini harus betul-betul Tauhidul Hakikiyah karena
apabila tidak demikian maka terdapatlah di dalamnya apa yang dikatakan Syirik Hafi /
penserikatan terlindung. Dalam hal tersebut Allah SWT menjelaskan dengan firmannya
yang mengatakan :

“Sesungguhnya Allah SWT tiada akan mengampuni dosa-dosa orang yang menserikatkan
(menduakan)Nya, akan tetapi segala dosa-dosa lain diampuninya. Dan barang siapa yang
menserikatkan Allah SWT, maka iapun telah sesat dengan kesesatan yang maha dahsyat”.
(An-Nisa – 116)

Dalam rangka apa yang dikatakan perserikatan itu, ada dua macam :

1. Peserikatan secara zahir (kasar)


2. Perserikatan terlindung (halus) tidak disadari

Dalam salah satu hadits qudsi Allah mengingatkan :

“Wahai engkau semua hamba pada zat, sifat dan perbuatanmu itu adalah penserikatan yang
terlindung“.

Sehubungan dengan dalil tersebut di atas, maka perlu segala gerak dan tindak-tanduk
kita serta pelaksanaan segala sesuatunya perlu kita teliti secara mendetail siapa tahu kita
terkena apa yang dikatakan syirkun hafiyin itu. Sebab penserikatan yang zahir itu amat
gampang ditobatkan, sedangkan penserikatan terlindung ini tidak disadari. Jadi
bagaimana cara untuk meminta ampun (taubat) kepada tuhan.

Tentang apa yang dikatakan tadi dengan syirkun hafiyin itu sangat halus, jadi sukar untuk
bertaubat justeru tidak disadarnya merusak Tauhid kita, Demikian pula dengan kalimat :
‫اشهدان الاله االهللا واشهدان محمدارسول هللا‬

Dalam mengucapkan kedua kalimat syahadat ini sangat berat hukumnya, namun
menyebutnya sangat digampangkan orang: Tetapi kalau direnungkan sedalam-dalamnya
serta mengingat akan Rukun dan syaratnya, maka sangatlah berat akan pelaksanaannya.
Sebab menurut hukum bahwa syahadat itu adalah, pokok dari pada rukun islam, oleh
sebab itu maka mempunyai dua rukun dan dua syarat sebagai berikut :

1. Rukun syahadat itu ada dua :

 Diikrarkan dengan lidah.


 Ditasdikkan dengan hati.

2. Syarat syahnya syahadat itu ada dua pula:

 Syahadat I hamba bersaksi.


 Syahadat II hamba menyembah.

Untuk memperkuat pelaksanaan kedua kalimat syahadat tersebut, di dalam salah satu
ayat Al qur’an Allah SWT berfirman :

Allah memperingatkan kepada Rasulullah dengan mengatakan :

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu ya Muhammad, ialah orang-orang yang mengatakan


kami bersaksi bahwa engkaulah pesuruh Allah dan Allah sendiri telah bersaksi bahwa engkau
RasulNya, dan Allah telah melihat hati-hati orang munafik itu hanya mendustakan, sekalipun
lidahnya mengucapkannya“.

Dengan firman Allah SWT ini sangat nyata jelas bagi kita, bahwa apabila pelaksanaan
kedua kalimat syahadat itu tidak memenuhi rukun dan syarat sebagaimana tersebut tadi
nyatalah bahwa itu adalah munafik. Kemudian dengan ayat lain Tuhan menambahkan
dengan firmannya :

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu, akan kekallah ia pada neraka yang terbawah”

Sehubungan dengan Ma’rifatul Hakiki dan Tauhidul Hakiki itu perlu kita betul betul


mengenal asal-asal Ruh dan Tubuh kita dari pada Allah SWT, agar jangan hanya tahu
mengaku begitu saja tanpa dapat membuktikan kebenarannya, yang penting
dalam Ma’rifatul Hakiki dan Tauhidul Hakiki ialah pembuktiannya. Lihatlah pada perincian
berikut ini.
Ma’rifatul Hakiki & Tauhidul Hakiki

Alif itu adalah asal Ruh nyatanya Zat. Lam yang pertama itu adalah asal IImu nyatanya
sifat jalal. Lam yang akhir itu asal akal nyatanya sifat jamal Sedangkan Ha asal tubuh
(titik) ialah Nur sedangkan Nur itu ialah Ruh Nabi ia juga Nurullah nyatanya Zat. Setelah
kita rnenemukan diri kita menurut Ma’rifatul Hakiki tadi maka perlu kita adakan
penjagaan secara ketat dari pada segala noda, dosa dan maksiat baik berbentuk apapun
juga, Serta berpegang hikmah Abu Hanifah radiallahu anhu.

“Teguhkanlah pendirianmu, engkau telah mendahului jauh lebih maju. Sekiranya engkau
menyimpang ke kanan atau ke kiri, maka engkau akan sesat”

Kemudian fatwa dari kitab Imamul Gazali berkata :

 Manakala yang dicari itu bermutu tinggi dan mulia, akan sulit mencarinya, panjang
jalannya dan banyak akibatnya.
 Bila hatimu telah mengenal Allah sekalipun lidahmu tidak bergerak menyebut “Allah”
maka tunggulah saatnya saja Allah menampakkan kesungguhannya.
 Bila hati telah bersih dari pada pengaruh-pengaruh iblis dan syaitan serta dari segala
noda, dosa dan maksiat, maka cemerlanglah mukanya, serta Nur yang telah
ditanamkan oleh Allah SWT di dalam lubuk hatinya dan terpancarlah menerangi
kesegala penjuru, serta IImu Laduni telah dimilikinya dan terbukalah segala rahasia-
rahasia alam yang indah-indah seluruhnya.
 Bila hati telah mengkilat dengan Nur ilahi, maka terbukalah segala rahasia-rahasia
yang tersembunyi secara terperinci.

Setelah meneliti hikmah Abu Hanifah ra, serta fatwa-fatwa dari Imamul Gazali, maka
kalimat: “LAHAWLAWALAQUATA’ILABILLAH” itu adalah kalimat serah diri kepada Tuhan
dengan maksud bahwa kita serahkan diri kita kepada Allah SWT dengan mengucapkan
bahwa tiada kemauan dan kekuatanku selain Allah SWT. Dengan mengucapkan kalimat
serah diri tersebut seharusnya diucapkan dengan hati tulus dan ikhlas. Karena dengan
penyerahan diri itu berlaku, berarti bahwa kita ini sudah tidak ada lagi, yang ada itu
hanya Allah semata-mata. Jadi dengan penyerahan diri tersebut berlaku, maka apabila
meleset sedikit, namun semata jarum pun niscaya akan kafir (mati dalam keadaan
kharani). Malah lebih bermutu babi dari pada kita, sebab seakan-akan kita lebih kuasa
dari pada Allah SWT. Dengan demikian, maka hendaklah sedapat mungkin kita usahakan
mensucikan diri dari segala pengaruh iblis dan syaitan, serta dari segala dosa, noda dan
maksiat. Utamanya membersihkan Lidah dan Hati sebagaimana Allah swt
memperingatkan dengan firmannya :

“Sesungguhnya Allah SWT amat bersih dan tiada akan menerima kecuali yang bersih juga“.

Apabila kita telah bersih dan membersihkan diri dari segala-galanya serta sabar dan tabah
pun ulet dalam menghadapi segala sesuatu, maka Allah SWT tetap beserta kita.
Sebagaimana Allah SWT telah berfirman :

“Sesungguhnya Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar, dalam arti kata sabar itu
bukan pendiam“.

Tetapi sebenarnya yang dimaksud sabar ialah orang-orang yang tabah dan ulet menerima
segala ujian dan cobaan Allah SWT, dan berhati waja menentang segala pengaruh-
pengaruh yang dirasa melemahkan keimanan dan ketakwaan sebagaimana Allah SWT
dengan firmannya :

“Seandainya aku akan tetap menguji ketabahanmu atas segala sesuatu dari cobaan dan
apabila mereka itu lulus dalam ujian itu, maka gembiralah mereka itu karena atas
kesabarannya“.

Jadi setelah kita teliti ayat di atas, jelaslah bahwa kebahagiaan akhirat itu adalah
bersumber dari pada kesabaran dan ketabahan serta keuletan menerima ujian Allah SWT.
Dan hendaknya segala apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW ditaati sepenuhnya
sesuai pengakuan kita sejak mengerti diri dari Allah SWT, sebagaimana firmannva :

“Barang siapa taat kepada Rasul itu, maka sesungguhnya ia taat kepada Allah. Tetapi apabila
ia berpaling belakang, maka kami mengutusmu menjadi pengawal atas mereka itu“.

Sehubungan dengan ayat tadi maka jelaslah. bahwa yang diutus oleh Allah sebagai Rasul
guna menjadi pengawal itu ialah Muhammad. Perlu kita ketahui bahwa Muhammad itu
siapa ? dan di mana? karena sesungguhnya yang dimaksud itu semuanya tidak terpisah
dengan diri kita sendiri menurut Tauhidul Hakiki. Adapun yang dimaksud dengan Rasul,
ialah Muhammad, sedangkan pada masa zahiriah Muhammad diselubungi oleh akbar. Jadi
maksudnya kita harus taati petunjuk yang keluar masuk itu, sebab itu adalah Rasul
sebagaimana dalam QS An Nisa ayat 80 itu.

Dari kitab HZ. ARIFIN ABBASU ;

 Seorang tasawwuh ahli ibadah tanpa ditanya menjawab : Hati saya sekarang ini. telah
mendiami pada suatu alam yang tidak mengenal selain dari pada diriku sendiri. Kalau
tuan Tanya, saya tidak bisa menjawab.
 Orang-orang sufi secara zahirnya manusia biasa, tetapi batinnya adalah orang orang
Allah yang ada padanya.
 Orang-orang sufi yang mencintai Allah, matanya dan hatinya buta dari yang lain selain
Allah.
 Barang siapa dirinya telah teruntuk Allah, niscaya Allah pun teruntuk baginya.
 Bila hati masih terpesona dengan yang lain selain Allah maka engkau masih terdinding
dengan Allah.

Sebuah doa yang dilaksanakan dengan diam-diam, sama nilainya dengan 70 doa yang
laksankan secara berkelompok. seperti Hadist soheh :

“Barang siapa yang tidak mengetahui akan kebenaran fatihah itu maka tidak syah segala
amal perbuatannya”

“Barang siapa yang tidak mengenal Tauhidnya, maka ia senantiasa menserikatkan Allah


SWT”

“Janganlah engkau katakan sesuatu yang engkau tidak dapat membuktikannya atas jalan
Allah sekalipun engkau mati atau hidup, karena Allah sangat mencintai orang-orang begitu
kuat keimanannya, serta dipancarkanlah Nur Yang telah tertanam dalam hatimu itu“.

“tegakkanlah kebenaranmu dan persalahkan yang salah, karena sesungguhnya yang bathil
adalah perbuatan yang tercela”

“siapa yang mencintai aku, niscaya bersama aku di syurga”

“siapa mencintai aku maka ikutilah aku, serta khalifah-khalifah, serta WaIi-waIi, serta para
syuhada dari orang-orang tatuha”
Sedangkan waktu dzuhur yaitu adanya Allah Ta’ala, waktu ashar yaitu nama Allah Ta’ala,
waktu maghrib yaitu ibarat rahasia Allah Ta’ala, sedangkan waktu isya’ yaitu ibarat
pelindung Allah Ta’ala di dalam gelap tiada tujuannya waktu lima. Dikatakan orang
mengambil yang sesudahnya yaitu memuliakan apa yang diutarakan oleh nabi
Muhammad SAW, dan melaksanakan perintah Allah. Menjunjung tinggi yang ditetapkan
oleh syara’. itu artinya syara’ yang ditunggu-tunggu. Berkata nabi Muhammad SAW tidak
menyelesaikan sembahyang besok lusanya yang dikumpulkan besok lusanya, begitulah
yang dikehendaki.
Inilah cap yang dikenakan nabi Muhammad SAW di bahu kanannya

Pasal : menyatakan soal hak tiga hal yang memisahkan. Mula-mula adanya Adam, yang
kedua Muhammad, dan ketiga Allah Ta’ala. Adapun Adam memakai : tubuh, hati, nyawa,
rahasia. Adapun Muhammad memakai : syariat, tarikat, ma’rifat, hakikat. Adapun Allah
Ta’ala memakai : zat, sifat, nama, rahasia.

 Waktu kita mengatakan Asyhadu sedangkan tubuh kita dilihat oleh-Nya Yang


meadakan.
 Waktu kita mengatakan Allah sedangkan hati kita dilihat semua oleh-Nya, semata-
mata hati.
 Waktu kita mengatakan ilaha sedangkan nyawa kita dilihat semuanya yang punya,
semata-mata nyawa.
 Waktu kita mengatakan illallah sedangkan rahsia kita dilihat kesemuanya olehNya,
hanya semata-mata rahasia.

JALAN MENGESAKAN ALLAH DALAM RAQAM DIRI

 Apakah Awal MUHAMMAD : Awal Muhammad itu Nurnya


 Apakah Akhir MUHAMMAD : Akhir Muhammad itu Ruhaninya
 Apakah Zahir MUHAMMAD : Zahir Muhammad itu Rupanya
 Apakah Batin MUHAMMAD : Batin Muhammad itu Zatnya.
 Rahasia Hamba : adalah Batin Muhammad.

URAIAN RAQAM

 Batin Muhammad : adalah Zat Allah.


 Zat Allah : adalah Rahasia Hamba.
 Nyawa Hamba : adalah Awal Muhammad.
 Awal Muhammad : adalah Sifat Allah.
 Sifat Allah : adalah Nyawa Hamba.
 Hati Hamba : adalah Akhir Muhammad.
 Akhir Mullammad : adalah Asma Allah.
 Asma Allah : adalah Hati Hamba.
 Tubuh Hamba : adalah zahir Muhammad.
 Zahir Muhammad : adalah af’al Allah.
 Af’al Allah : adalah Tubuh Hamba.

1. ALLAH : Zat -Sifat -Asma -Afal


2. MUHAMMAD : Batin -Awal -Akhir -Zahir
3. HAMBA : Rahasia -Nyawa -Hati -Tubuh

PASAL MENYATAKAN ANASHAR


1. Anashar Allah : zat – sifat – asma’ – af’al
2. Anashar Muhammad : awal – akhir – zahir – batin
3. Anashar Hamba : rahasia – nyawa – hati – tubuh
4. Anashar Adam : api – angin – air – tanah
5. Anashar Batin : nyawa – akal – iman – nafsu
6. Anashar Bapak : urat – tulang – otak – sumsum
7. Anashar Ibu : bulu – kulit – darah – daging

PASAL AMANAT TENTANG NYAWA>>  Orang yang memiliki syariat dan Hakikat dinamai
Tahqiq, artinya yang benar dan amanat itu bisa dicabut dalam manusia apabila Tuhan
menilik dengan kemurkaannya. Maka peliharalah amanat yang dititipkan Tuhan kepada
kita. Inilah tugas berat yang dipikulkan Tuhan kepada diri manusia yaitu pemeliharaan
Ruhani. Adapun karena Nyawa urusan Tuhan, maka lemahlah orang membicarakannya,
yang oleh Ahli Tauhid nyawa itu dinamai RASUL YANG BERNAMA MUHAMMAD, dan
kepada Muhammad itulah putusnya pengetahuan kita tiada sampai kepada martabat
pengenalan kepada Tuhan. Hanya Muhammad itulah Wasitah untuk menyampaikan
pengenalan kita kepada Tuhan.

“Kukenal, Tuhan dengan pengenalnya jua, yaitu Muhammad”

Dalam hal ini bukanlah berarti kita mengenal Muhammad, tetapi karena hanya
Muhammad lah yang senantiasa berkasih-kasihan dengan Tuhan dengan tiada putusnya,
karena Muhammad itu Rahasia sifat Tuhan. Dalam peribadatan orang maqam hakikat
seperti sembahyang, tafakur dan sebagainya harus melalui Musyahadah, dan
Musyahadah harus melalui maqam fana’, artinya meniadakan diri pada diri yang batin
dalam arti ma’nawi, artinya dalam akuan kita tiada Adam yang kasar ini, yang ada hanya
Muhammad dengan Tuhan-nya. Inilah yang dimaksud Mati hakikat. Maka beradalah diri
itu dalam keadaan setengah sadar, disinilah batas pengetahuan kita, itulah sebesar-besar
jalan ma’rifat. Adapun nyawa itu tatkala sakaratul maut bagaikan cahaya lampu yang
kembali cahaya itu kepada lampu tatkala ia padam. Karena cahaya lampu itu adalah hak-
Nya, maka pulanglah hak itu kepada yang empunya hak, seperti firman Allah:

“Katakanlah olehmu hai Muhammad, bahwa semua itu berada dalam genggamanku”

Sabda Nabi Muhammad SAW :

“Aku bapak segala ruh“.

Setelah orang berhasil pada pengenalan dirinya yang batin yang bernama Muhammad,
barulah orang mengetahui wujud Muhammad itu pada rahasia ketuhanan-nya. Karena
orang yang belum mengetahui wujud batin Muhammad dan wujud Muhammad, maka
orang itu selalu berada dalam dosa. Barang siapa tiada mengetahui batin Muhammad
dalam Rahasia Tuhannya itu, maka sekali-kali tiadalah ia mendapat kesempurnaan pada
ma’rifatnya. Orang yang belum sempurna ma’rifatnya pada waktu Sakaratul Maut, maka
nyawa orang itu akan ditilik dengan isim Kahharnya Allah. Allah Azza Wa Jalla tiada
mengambil faedah atau maksud dari pada apa yang diperbuatnya, karena ia kaya dan bagi
orang yang mengenalnya akan dikasihinya.
SAKARATUL MAUT

JASMANI – kembali kepada bumi, karena menerima himpitan daripada bumi itu.
Hanya Rasulullah yang terlepas daripada hisab himpitan itu, sekalipun anak anak.

ROHANI – kembali kepada Nur Muhammad, karena menanti hari perhitungan


pada hari kiamat.

NYAWA – kembali kepada yang punya hak.

Adapun nyawa itu tiada berkeputusan menerima anugerah dari pada Tuhannya, karena ia
limpahan dari pada IImunya yang qadim dengan menerima kasih sayang dari padanya.
Adapun ma’rifat itu, ialah hal keadaannya untuk mengetahui orang yang tiada lepas dari
pada berkehendak kepada rahasia. Akhir dari ma’rifat itu ialah amal untuk menjalani
sampai timbulnya kehendak itu, tiada yang lain tempatnya menjatuhkan kehendak
melainkan kepada manusia. Asal ma’rifat itu ialah akal untuk menimbulkan keyakinan
bahwa ia tiada lepas dan pada berkehendak kepada rahasia. Mula ma’rifat itu ialah iman
untuk menimbulkan tasdiq, karena tasdiq itu berdiri kepada ke-esaannya dan
kebesarannya.

 HADRATUR RAHMAN -Menilik kepada hambanya dengan sifat JAMAL -tilik


keelokannya.
 HADRATUR RUBUBIYAH -Menilik kepada hambanya dengan sifat JALAL tilik
kebesarannya.
 HADRATUL–ULUHIYAH -Menilik kepada hambanya dengan sifat KAMAL tilik
kesempurnaannya.
 Orang yang tiada sampai kepada sebenar-benar pengenal maka ditilik dengan
sifat KAHHAR artinya tilik kekerasan.

Musyahadah : bermesralah ujudnya kepada zatNya seperti mesranya cahaya


dengan matahari. Pujinya Hu –Allah.

Sakaratul Maut : Keluarlah Rohani meninggalkan jasmani dengan pujinya Allah –


Hu.

Tinggallah nyawa memuji TuhanNya dengan pujinya Ah -Ah.


Kembalilah nyawa dengan pujinya LA ILAHA ILLALLAH
MUHAMMADARRASULULLAH, tiada dengan huruf tiada dengan suara.

PERIHAL FUAD>> Di dalam Fuad yaitu Lugat, di dalam Lugat Rahasia, di dalam Rahasia


itu Alif, di pucuk Alif itu Nur. Tatkala Ruh-Tabi’i atau nafas yang turun naik itu meresapi
pada hati maka timbullah kehendak, apabila meresapi mata maka melihatlah mata,
manakala meresapi telinga, maka mendengarlah telinga dan sebagainya. Adapun Fuad itu
diumpamakan kelapa,tempurungnya diumpamakan lugat, nyiurnya diumpamakan
Rahasia. Adapun santannya ibarat Alif yang berada di dalam rahasia, dan yang bernama
Nur di pucuk Alif itu ialah minyaknya.

PENGERTIAN TASAWAUF MENURUT HURUFNYA

 TAJRID =‫ =ت‬artinya mensucikan diri dari dosa bathin.


 SHOFA =‫ =ص‬artinya membersihkan diri dari maksiat bathin.
 WAFA =‫ = و‬artinya memasuki sifat kepujian (Mahmudah).
 FANA =‫ = ف‬artinya karam dalam laut pertemuan yang gaib kepada yang maha gaib.

Seterusnya>> Zikir Harum Manis


Sebelumnya<< Permulaan
Kitab Babul Haq~Barincong-Zikir Harum Manis
ZIKIR HARUM MANIS

 Lailallailallah dzikir harum manis sani insan.


 Lailallailallah dzikir harum manis kalbi.
 Lailahailallah dzikir harum badan diarak hamba.
 Lailahailailah dzikir harum badan lenyap dalam kalimah.

Bermula suatu peri menyatakan cerita mula-mula yang dijadikan oleh Allah Ta’ala dahulu
dari pada alam ini, kata Jibril kepada Rasulullah ; “apakah mula-mula yang dijadikan dahulu
oleh Allah Ta’ala dari pada sekalian alam ini“, maka sabda Rasulullah SAW:

Artinya: Telah menjadikan Allah Ta’ala yang dahulu dari pada alam ini yaitu Nur mu yakni
ruh nabi. Maka yaitu ruh nabi kita Muhammad SAW. Ini dahulu dari pada segala asyia
dan lagi dijadikan dari pada zatnya ilmunya, seperti kata Syekh Abdul Wahab Syahrani
Rahmatullah : “Bahwasanya Allah Ta’ala menjadikan ruh nabi Muhammad ini dari pada
Zatnya. Menjadikan ruh sekalian alam ini dari pada nur Muhammad”

Nyatalah ruh sekalian alam ini dari pada nur Muhammad dan segala batang tubuh itu
yaitu jadi dari pada Adam AS Seperti sabda nabi Muhammad SAW: “bahwasanya Allah
Ta’ala menjadikan ruh nabi Muhammad SAW itu dari pada zatnya, menjadikan ruh sekalian
alam ini dari pada nur Muhammad, nyatalah ruh sekalian alam ini dari pada nur Muhammad,
dan segala batang tubuh itu yaitu jadi dari pada Adam AS“, seperti sabda nabi Muhammad
SAW: “Aku bapak segala ruh dan nabi Allah Adam AS itu bapak segala batang tubuh”

Maka nyatalah segala batang tubuh itu jadi dari pada Adam, tetapi Adam itu dijadikan
dari pada tanah, seperti firman Allah Ta’ala : “Aku jadikan Adam itu dari pada tanah asalnya
dari pada nur Muhammad jua“. Maka nyatalah ruh kita dan tubuh kita jadi dari pada nur
Muhammad dan apabila ruh kita jadi dari padanya, nur Muhammad jua namanya. Dan ruh
kita dan tubuh kita tiada lain dari pada nur Muhammad jua, maka hendaklah engkau
misrakan nur Muhammad itu kepada batang tubuh dan kepada sekalian kainal. Insyaallah
Ta’ala telah melihatlah keelokan zat wajibul ujud lagi suci adanya, karena tubuh kita yang
kasar ini sekali-sekali tiada dapat mengenal Allah Ta’ala melainkan dengan nur
Muhammad, maka jangan menda’wa perbuatan yang lain dari pada nur nabi kita tetapi
barang yang telah datang kepadamu seperti firman Allah Ta’ala : “Barang yang datanq dari
pada Allah Ta’ala yaitu nur”

Dan lagi firman Allah Ta’ala: “Barang yang datang kepada kamu yaitu hak dari pada tuhan
kamu“. Dan nur itulah akan perhentian segala ambia yang mursalin dan bermula
sampailah pendapat arif -billah pada martabat itu, maka hendaklah diketahui tajali Allah
Ta’ala pada martabat maka hendaklah engkau i’tikadkan bahwasanya nur itulah nyata jadi
dari pada Allah Ta’ala sekalian alam ini nyata dari pada nur Muhammad jua seperti firman
Allah: “Aku jadikan engkau karenaku dan aku jadikan semesta sekalian alam karena mu ya
Muhammad”

“Aku jadikan dari pada Allah dan sesuatu yang sekalian dari padaku jua”

“Tubuh manusia dan napasnya dan hatinya dan nyawanya dan pendengarnya dan
penglihatannya dan lidahnya dan tangannya dan kakinya sekalian itu aku nyatakan dirinya
bagi diriku dan insan itu tiada lain dari padaku dan tiada lain dari padanya”

Adapun nyawa kita itu berdiri kepada rohani karena rohani itu bayang-bayang nabi
Muhammad dan bayang-bayang inilah nyawa kita dan akal kita dan napas kita yang
berdiri kepada hati latifah. Latifah itu hakekat yang tinggi karena tatkala ia mengetahui
maka dinamai hati dan tatkala ada berkehendak kesana-kesini maka dinamai napsu dan
tatkala ia bisa membedakan antara baik dan jahat dinamai akal dan tatkala hidup dinamai
rohani dan tatkala ia akan Allah Ta’ala dan nabi Muhammad dinamai hati latifah. Itulah
yang dianugerahkan Allah Ta’ala petunjuk iman dan yang dijadikan iman itu nur zat Allah
Ta’ala, itulah yang ada pada hati latifah. Membedakan pengetahuan hati dengan tiada
syak dan waham tasdik, maka itulah hakekat iman kepada kita yaitulah adanya.

Adapun tempat hati latifah itu di dalam hati sanubari yang ada di dalam dada mannsia
pada kita hati latifah itulah yang sebenarnya hati karena ia bayang-bayang nur
Muhammad dan nur Muhammad itu bayang-bayang zat Allah Ta’ala yang sebenarnya
Allah. Adapun hati itu yang dinamai dianugerahi beriman yang dijadikan iman itu nur zat
artinya bayang-bayang zat Allah Ta’ala yang bernama Allah, Adapun nur Muhammad itu
dijadikan tubuh nabi Muhammad dan tubuh nabi Muhammad itu dinamai insan kamil,
artinya manusia yang sempurna. Maka firman Allah Ta’ala:

“Manusia itu sifatku dan sifatku itu tiada lain dari pada aku”

Adapun nyawa Muhammad itu ruh idhapi itulah yang bernama hayat zat artinya hidup
Allah maka ikut akan perkataan itu dengan tiada guru yang sempurna niscaya sesat yang
amat besar dan banyak orang yang memakai jalan ini jatuh kepada syirik sampai kepada
kafir tiada sempurna beroleh ilmu kepada Allah Ta’ala.

Persoalan :

 Soal: Tatkala mengatakan Allahuakbar  dimanakah Allah dan dimana


Muhammad ? Jawab : Adapun mengatakan Allahuakbar itu muhammad, dan yang
empunya kata itu zat Allah Subhanahuwata’ala.
 Soal : Tatkala mengatakan Allahuakbar itu mana zat dan mana sifat ? Jawab : Adapun
Allah itu zatnya dan akbar itu sifatnya. “Bermula yang di Jadikan Allah Ta’ala itu cahaya
dengan nur”

Artinya mula-mula tiada kepada ada, terlalu bersih cahayanya gilang-gemilang terlalu
sempurna terang seperti manikam. Bermula ini menyatakan sifat: pada kita dan sifat pada
Muhammad pada kita dan dinding tuhan dengan hambanya dan pertemuan badan
dengan yang kuasa. Adapun nyawa hamba ‫ هللا‬tuhan nyawa itu di dalam badan kita,
adapun tuhan itu di dalam Muhammad. Artinya: nyawa Muhammad itu yaitu lagi
akan kunhijat, belum ada bernama Allah dan bernama tuhan lagi ia sendirinya. Adapun
Allah itu pada Muhammad dan Muhammad itu pada Allah Ta’ala. Karena tuhan kita
berdiri sendirinya seperti alif itulah Kun hijat namanya lagi sendirinya yaitu nyawa
Muhammad. Adapun Muhammad itu nyawa kita, bermula jasmani itu nyawa rohani,
adapun rohani itu badan idafi. Adapun idofi itu badan jasmani iaitulah Tuhan segala
manusia tempatnya di yang terang, adapun yang terang itu di dalam pandangan kita
maka yaitulah yang kuasanya memberi nugraha kepada manusia.

Adapun tersebut di atas sepertinya alif yaitu siapa tahu akan kejadian alif itu maka


putuslah ilmunya. Tiada tuhan yang disembah hanya Allah yang bersifat istighna yaitu
tuhan yang kuasa artinya pendang dengan nyawa, dan nyawa itupun tiada aku tuhan jua
pada lainnya, (‫ )ا َ ِعْ ن َث‬kepada tuhan. Sedarah pun tiadaku tuhan lupa kepada tuhannya
seperti kata “Wailallah” Ma’rifat semata-mata nabi Muhammad rasulullah alaihi wassallam
itulah penghulu segala ma’rifat, karena Muhammad itu yang terlebih tahu akan Allah
Ta’ala, air setitik ada terlindung kepada Muhammad. Allah pun ia jua, sir ia jua dan cinta
asa pun ia jua, gerak dan diampun ia jua, berahi ia jua, ni’mat pun ia jua. Itulah hakekat
nabi Muhammad Rasulullah. Kemudian lagi pada jalan mengesakan Allah lihat oleh kamu
macam-macam gerak pada badanmu dan engkau nyatakan dengan rasamu dan
pandanganmu sekira-sekira misra seesa anggotamu karena gerak itu bersuatu dengan
ma’rifat dan kalam itu bersuatu dengan amal. Jika kita menyebut dzikir lailaha ilallah yaitu
dengan amal bersuatu dengan amal. Jika kita menyebut dengan nafas yaitu gerak dan
ma’rifat bersuatu dengan rasa batin yang bernama hak Allah Ta’ala. Jadi ma’rifat itu yang
bernama nugraha Allah Ta’ala yang kita pakai mengenal akan dia yaitu amal dengan ilmu,
jadi sungsungan kepada Allah Ta’ala ma’rifat yang membawa kepada Allah Ta’ala artinya
kita mengenal tiada dengan hati tiada dengan ruh hanya nugrahanya yaitu nur
Muhammad, pasal pada menyatakan dari pada kitab Allah Ta’ala dan mengetahui hal
tuhan kita tatkala bumi dan langit belum ada aras dan kursi belum jelas, syurga belum
ada; neraka belum ada, dunia dan akhirat belum ada, ruh dan kalam belum ada, dan nur
Muhammad pun belum ada, maka Allah suatu terangnya maka inilah hak namanya.

Adapun di dalam yang terang itu terlalu amat hening tiada sepertinya tiada sama
samanya itulah kun hijat namanya, Setelah itu maka ada gerak di dalamnya, di dalam
maklum Allah Ta’ala berdiri sepertinya alif maka jadi jibrail. Adapun syariat kepada lidah
dan tarikat kepada hati dan hakekat kepada budi (nyawa) dan ma’rifat kepada ruh idofi.
adapun air itu nur, adapun tarekat itu badan Muhammad. Ma’rifat itu pandang
Muhammad maka masuklah pada alam napi dan alam sogir dan kepada alam kabir maka
terhimpunlah disana menjadi Satu, artinya bertemulah tuhan dengan hambanya. Sabda
nabi Muhammad SAW: amma ba’du, kemudian dari itu peri menyatakan mengenal
kepada Allah Ta’ala diri kita yang tempat tajalli Alah Ta’ala, adapun yang bernama diri itu
ruh inilah tempat tajalli sifat Allah dan asma Allah dan af’all Allah. Tilik tatkala berdiri
sembahyang itu tiada dua dan tiada tiga itulah yang bernama sifat AlIah kepada diri kita,
maka sempurnalah tilik itu dan yang menilik itupun ia jua. Karena itulah yang damping
kehadiran Allah Ta’ala dan tatkala kita mengangkat takbiratul ihram seolah-olah itulah
yang disebut, artinya tiada kita lagi yang menyebut. Adapun yang bernama diri itu tiga
perkara, pertama diri yang berdiri, kedua diri yang terperi, ketiga diri yang diperikan, diri
itu badan. Diri terperi ruh yang menerima segala sifat Allah. Diri yang diperikan itu sifat,
Allah yang ada pada kita.

Inilah ma’rifat segala ulama dan arifbillah dan ilallah. Inilah yang dikenal dan
mensyahadahkan siang dan malam tiada lain di dalam janan dan di dalam sir-nya di dalam
hatinya itulah yang dipandangnya siang dan malam. Barang siapa mengenal dirinya maka
sesungguhnya mengenal akan tuhannya, seperti ombak dengan laut demikian pertemuan
tuhannya dengan hambanya. Adalah yang dimisalkan ombak itu makhluk dan yang
dimisalkan laut itu sifat Allah Ta’ala sebenar-benarnya, ujud itu sifat Allah Ta’ala jua. Zat,
sifat, asma ap’al, kudrat, iradat, hayat, sama, basyar dan kalam sebenar-benarnya ujud
Allah Ta’ala itu jua. Adapun sifat Allah Ta’ala berdiri dengan zat Allah, adapun sifat
makhluk berdiri dengan sifat Allah Ta’ala itu jua, adapun zat Allah berdiri dengan
sendirinya tiada berkesudahan dan tiada bertempat zat Allah itu dengan sendirinya jua.
Jangan kita mengenal sembahyang karena sembahyang itu amal jasad kita. Sembahyang
itu badannya dan yang disembahyangkan itu nyawanya, yang sembahyang pun ia, yang
menyembahyangkan pun ia. Sembahyang itu kepada zat Allah Ta’ala, maka itulah
sebabnya sembahyang itu tiada dapat ditinggalkan. Sembahyang yang lebih kepada itu.
yaitu yang memuji aku sesuatu di dalamnya, yakni tiada takut akan neraka dan tiada
berkehendak akan sorga, ia ingat akan dirinya itu lah arti sesuatu di dalamnya. Hendak
yang demikian itu yang menyembah pun hak dan yang disembah pun hak.

Barang siapa sembahyang itu hendaklah tahu artinya yang berbuat hanya Allah, pana
pada sifat tiada yang hidup hanya Allah, pana kepada zat tiada maujud hanya Allah,
zhahir sifat Allalh dan yang sebenar-benarnya sifat kita yaitu Allah. Adapun zhahir zat
Allah itu yaitu zat kita yang bathin. Yang diumpamakan cermin itu badan kita, dan yang
diumpamakan menilik cermin itu, kembalilah pandang yang cermin itu kepada yang
menilik. Berdiri sembahyang ingat hati akan Allah Ta’ala, sesuatu yang dikata di dalam
sembahyang, kata-kata menyembah Allah Ta’ala dan bukan kata-kata adat. Berdiri, ruku,
sujud, duduk, ingat hati menyembah Allah Ta’ala. Khusyu hati artinya ingat akan yang
disembah dari mula sembahyang hingga akhirnya. Tetaplah anggotanya maka adalah
sembahyang itu ruhnya khusyu di dalam sembahyangnya. Mengata Allahu Akbar zat,
sifat, asma, ap’al; tiada lagi hati yang menyebut dan tiada lagi lidah yang mengata hanya
zat, sifat, asma, ap’al, hayat ilmu, kudrat, iradat maka inilah namanya 7 rahasia Allah
Ta’ala, maka rahasia itulah yang sebenar-benarnya sir Allah Ta’ala. Adapun aku rahasia
yang memerintah ruh, dan ruh memerintah hati dan hati memerintah tubuh. Berdiri
sembahyang itu Allah jua yang ada yang esa sendirinya, tiada dua dan tiada tiga. Allah
memuji dirinya sendiri maka itulah pana kita, tiada kita lagi bertubuh, bathin dan zhahir,
hanya Allah Ta’ala ada bertubuh Muhammad bathin dan zhahir, maka itulah bertubuh
akan ruh namanya hanya Muhammad jua yang jadi tubuh kita pada hakekat Muhammad
itu, rahasia yaitu sir namanya di dalam sir itu aku Allah. Itulah hakekat takbir ratul ihram,
keputusannya hingga sampai akhir kalam itulah yang dipegang oleh Allah, engkau
pergurukanlah kepada guru yang ahli hakekat daerahnya
Adapun nasyar, itu terbagi lima:

1. Nasyar bapak
2. Nasyar ibu
3. Nasyar adam
4. Nasyar muhammad
5. Nasyar tuhan (nasyar =diri)

 Adapun nasyar ibu itu ada empat ; otak-tulang-sumsum-isi


 Adapun nasyar bapa itu ada empat ; kulit-daging-urat-darah
 Adapun nasyar adam itu ada empat ; api-angin-air-tanah.
 Adapun nasyar tuhan itu ada empat ; pendengar-penglihat-pencium-pengrasa.

Ketahui olehmu bahwasanya syariat Lailaaha illah muhammad rasulullah itu, kalimat islam
dan kalimat iman menyebut Lailaaha’illah itu hanya Allah jua. Maka dii’tikadkan yang
memuji itu dan yang dipuji itu hanya Allah jua, maka i’tikadkan itu tiada ujud hanya ujud
Allah jua. Maka putus i’tikad dari pada yang dii’tikadkannya dan yang mengata itu Allah
jua seperti menyebut Allah ilallah, tiada mengenal Allah hanya Allah, tiada mengata Allah
hanya Allah, Lailahailallah tiada yang melihat hanya Allah. Maka misrakan yang yang
demikian itu maka menyebut lailahailallah. Itu dii’tikatkan yang menyebut Allah dan yang
disebut Allah jua, misrakan pada hal berduduk, berjalan, makan, minum dan kelakuan
sebagainya. Kemudian daripada itu ila hu maka matikan dirimu itu seperti

Lailahailallah hua artinya matikan dirimu dahulu dari pada matimu sebeluman mati


pada Lailahailallah hu artinya tiada tuhan hanya hu itulah kita habiskan dan misrakan
tatkala kita hendak tidur. Maka dikata oleh napas kita tatkala masuk hu pujian, tatkala
keluar Allah, misrakan yang demikian, Tatkala sakaratul maut karamkan dirimu pada
kalimat hu yang tersebut itu, barang siapa nurul huda, nurul huda, nurul huda, mereka itu
baginya serta Allah Ta’ala dan firmannya di dalam AI qur’an: “Gilang gemilang cahaya iman
dan islam dan tauhid malka ma’rifat itulah Allah Ta’ala”. Maka ikutlah olehmu jalan yang
betul itulah tali Allah Ta’ala yang tiada putus seperti firman Allah Ta’ala di dalam AI
qur’an: “Bahwasanya datang kamu dari pada Allah dan kembali kamu kepadanya”. Maka
pulanglah ombak kepada laut, buih kepada air, bayang-bayang kepada yang empunya
bayang-bayang, maka janganlah was-was, Wallahu ‘alam.

Pasal pada mengatakan ma’rifat yang sempurna jalan kepada Allah subhanahu wata’ala
menghimpunkan antara Tasbih dan Tanziah adapun lafaz antara itu Laisa Kamislihi Syai‘un,
artinya tiada seumpama tiada seperti jua suatu lapaz tasbih itu Wahussami‘ulbasyir.
artinya, tiada seperti sertanya ia jua yang mendengar ia jua yang melihat tasbih fana‘.
Maka yaitu yang zhahir dan yang bathin, maka hampirlah ma’rifat kepada Allah Ta’ala.
Adapun pendapat kita Allah Ta’ala itu didapat oleh akal dan tiada didapat oleh cinta rasa
dan tiada didapat oleh panca indera. Adapun pendapat kita kepada Allah Ta’ala yaitu akal
budi bicara itulah pendapat namanya, tetapi karamlah di dalam suku dijadikan akan dia
dengan kudrat menjadikan, menjadikan Allah Ta’ala pada Ma’rifat. ma’rifat itu empat
perkara: pertama: ma’rifat pengenal kedua ma’rifat pengenal ketiga ma’rifat percintaan,
ma’rifat cinta # Kata seorang Wali. Adapun yang empat itu mana yang benar bermula
kata kita itu buta, tuli, bisu dan bebal, Ma’rifat benar itu yaitu tiada tanggal dan cerai
nama karena ia karam dengan ma’rifat, tiada takut akan kejahatan dan kesakitan dan
mengurangi kesakitan atau kejahatan harga orang hanya tuhannya jua yang dilihatnya
siang dan malam, tiada lupa akan Allah Ta’ala seperti makan dan minum, tidur dan jaga.
Inilah pakaian orang ma’rifat, maka tiada ia islam mengaku dirinya Allah. Adapun pada
Allah Ta’ala itu tiada dapat diumpamakan dengan suatu yang muhadas, melainkan
bersalahan jua ia dengan segala yang baharu, Allah Ta’ala itu tiada dapat diumpamakan
seperti rupa kita yaitu kafir orang. Adapun Allah Ta’ala itu tiada dapat dilihat dengan
mata buta, dan tiada dapat didengar dengan telinga tuli, dan tiada dapat dikenal dengan
hati, dan tiada dapat dirasa dengan rasa kita Melihat itu dengan penglihatan Allah,
artinya bukan kita yang melihat. seperti mengenal, mendengar, pengrasa dan sebagainya.
Maka sempurnalah penglihatannya, pengenalnya, pendengarnya, pengrasanya dan
sebagainya dengan tiada kafir, maka di sanalah Allah Ta’ala tempat menjatuhkan rahasia
kepadanya. Allah Ta’ala menjatuhkan rahasia kepada yang dikehendakinya jua. Allah
Ta’ala tiada ber……. dan bukan penglihatmu itu dari pada dunia supaya engkau mengenal
serta Allah, maka lenyaplah rasamu dari pada rasa ujudmu yang kasar itu supaya rasa
dengar. Allah, Maka disanalah kita merasa ni’mat, karena kita bertemu dengan tuhan
lebih rasanya tiada sama dari pada dunia, seperti manikam rasanya, syorga namanya
sekalian itu hanya perbuatan Allah jua. Sabda Nabi SAW : “Barang siapa mengenal dirinya,
sesungguhnya mengenal ia akan tuhannya“.

Demikian pula perbuatan jika ada melihat dengan penglihatannya jua, maka sempurnalah
ia kepada hak ta’ala, terlalu halus dan terlebih suci dan terlebih tinggi, tiada sama-
samanya maka yaitulah tuhan namanya. Adapun Allah Subhanahu wa ta’ala itu tiada di
luar tiada di dalam, tiada di hadapan tiada di belakang, tiada di kanan tiada di kiri. tiada di
atas tiada di bawah, tiada jauh tiada parak/dekat, tiada bercerai tiada bercampur karena
tuhan itu terlalu sukur dan terlebih mudah. Maka di sanalah ia merasai ni’mat Allah dari
pada syurga, ia lenyap di dalam meliharaan-pemeliharaan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Manakala ada suatu terang tiada terhingga terangnya dengan kebesaran lagi hening
sempurna suci ke atas dan ke bawah, kekanan dan ke kiri, ke hadapan dan ke belakang
tiada berkesudahan. Terangnya manakala ia ada berdiri seperti alif di dalam yang terang
itulah istigna namanya, maka itulah yang bersifat kaya berdiri dengan sendirinya itulah
yang bernama syahadat. Adapun : Muhammad ujudnya ma’rifat lakunya, suci jalannya
seperti tempatnya halus sifatnya syukur kehendaknya, itulah ilmu kita ikut tatkala kita
pulang ke rakhmatullah. kerjanya siang dan malam maka tiada lupa akan tuhannya tiada
tidur tiada makan, tiada dahaga dari pada nugeraha Allah Ta’ala maka firman Allah Talala
di dalam Al Qur’an ; “Dekatnya aku itu hampir serta manusia dari pada segala manusia itu
sifatku”

Diri yang dikenal itu 3 perkara:

1. diri yang terdiri itu badan jasmani.


2. diri yang terperi itu idafi.
3. diri yang diperikan itu nyawa ruhani

Nyawa ruhani itu lima kali ia mengindarkan dirinya didalam sehari semalam,

 pertama; asal diri shalbi hi hi hi hi,


 kedua, pada pusat ha ha ha ha,
 ketiga ; pada hati ill ill ill ill,
 keempat; pada jantung pa. pa. pa pa,
 kelima ; pada otak tha tha tha tha, dan tatkala keluar dari pada ubun-ubun Lailahaillah
muhammad rasulullah.

 Adapun tatkala nafas masuk hu katanya


 Adapun tatkala nafas keluar Allah katanya
 Adapun hidup badan serta nyawa. Nyawa hidup karena badan artinya.
 Rahasia karena sir hidup sir tatkala naik hu.

 -Nyawa sembahyang itu takbiratul ihram


 -Napas sembahyang itu niat
 -Kepala sembahyang itu fatihah
 -Tubuh sembahyang itu tuma’ninah
 -Tangan sembahyang itu sujud ,
 -Telinga dan setengah qiyam sembahyang itu ruku’
 -Kaki sembahyang itu salam.

Bermula masuk di dalam kalimat napi itu LA, kalimat napi masuk kepada nyawa. Nyawa
masuk kepada ldhapi, idhapi masuk kepada Muhammad. Muhammad masuk kepada
badan adalah masuk kepada kalimat. hapi masuk kalimat hapi masuk kepada Allah masuk
kepada ILA masuk kepada kalimat ‫ مسه‬masuk kepada hati masuk Allah masuk pada aku
Allah.

Adapun syari’at itu perkataanku, tharikat itu perbuatanku, hakikat itu kediamanku,
ma’rifat itu Rahasiaku.

Mengenal Diri_______________________

1. Ma’rifat-Sifat Allah-Af’al Allah


2. Hakikat-Jalan Tubuh
3. Tariqat-Jalan Nabi
4. Syari’at-Jalan yang luas

Yang dinamai diri nyawa rohani, jika kita mengetahui ilmu wali yang teguhkan orang jika
dinamai walipun harus sebab mengetahui keadaan Allah Ta’ala kepada diri dan keadaan
Muhammad SAW yang kita ikut.

Didalam af’al hati, didalam hati nyawa, didalam nyawa sir, didalam sir rahasia.
Hilangkan huruf alif panakan dirimu di dalam ap’al Allah. Hilangkan huruf lam awal
panakan hatimu di dalam asma Allah. Hilangkan huruf lam akhir panakan rahasiamu di
dalam Zat Allah. Tiada berwujud dan tiada bersifat dan tiada nama-bernama, buat-
berbuat dan tiadalah syirik dan tiada niat jadi esa tauhid kita dan esa ma’rifat kita,
tiadalah dua nyatalah putus jalan hakekat ma’rifat.

Hancurkan badan jadikan hati, hancurkan hati jadikan ruh. Hancurkan ruh jadikan nur,
hilangkan nur jadikan aku. Sebenar-benarnya diri nyawa. Sebenar-benarnya nyawa itu
nur Muhammad. Sebenar-benarnya nur Muhammad itu sifar Sebenar-benarnya sifat zat
hayat (hidup Allah).

Firman Allah Ta’ala: “Matikan dirimu dahulu dari pada matimu, setengah dari pada
mematikan diri itu seperti dikata: “Tiada yang kuasa, tiada yang berkehendak, tiada yang
tahu, tiada yang hidup, tiada yang mendengar, tiada yang melihat, tiada yang berkata-kata”.

Hanya Allah Ta’ala yang kuasa, Allah yang berkehendak, Allah Ta’ala yang tahu, Allah
Ta’ala yang hidup, Allah Ta’ala yang mendengar, Allah Ta’ala melihat, Allah Ta’ala yang
berkata-kata. Allah Ta’ala yang maujud, Allah yang Esa. Pana sekalian diri itu yaitu di
dalam diri ahdiah Allah ya’ni di dalam ilmu Allah. Kemudian dari pada itu, hendaklah
diketahui akan sir Allah di dalam ujud insan jikalau tiada tahu senantiasa diri itu di dalam
dosa,

Sabda Nabi: “Bermula Adam itu dosa dan tiada dosa itu sebagainya“, yakni tiada sempurna
mengenal Allah Ta’ala. Jikalau diri itu di dalam dosa, jikalau didalam kebaktian sekalipun
tiada sempurna, karena kebaktian itu adalah makam jasad tiada dengan ruh, dan
kebaktian tiada dengan ilmu maka demikianlah adanya.

Bermula insan itu rahasiaku maka firman Allab Ta’ala: “Bermula insan itu rahasiaku dan
rahasiaku itulah sifatku itu tiada lain dari pada aku“. Kata setengah lagi tubuh manusia dan
nafasnya dan hatinya dan nyawanya dan pendengarnya dan penglihatnya dan tangannya,
kakinya sekalian aku nyatakan dirinya bagi diriku dan insan itu tiada lain dari pada aku
dan aku tiada lain dari padanya, kemudian ketahui olehmu pula bahwa hak Allah SWT di
dalam Qur’an: “Ada Tuhan kamu serta kamu” dan firman-Nya lagi: “Di dalam diri kamu jua
aku“. Maka tiadalah kamu melihat akan daku. karena aku terlebih hampir dari pada halat
matamu yang putih dengan yang hitam, hampir lagi aku kepadamu maka hendaklah
engkau tilik tiap-tiap sesuatu dari pada alam ini serta Allah didalamnya, Sabda Nabi
Muhammad SAW: “Barang siapa menilik kepada barang sesuatu maka tiada dilihatnya Allah
didalam maka tilik itu batal ya’ni sia-sia“.

Kata Syaidina Abubakar: “Tiada aku lihat akan sesuatu. melainkan aku lihat Allah
dahulunya“.

KataSyaidina Umar: “Tiada aku lihat akan sesuatu melainkan aku lihat Allah kemudiannya“.

Kata Syaidina Usman: “Tiada aku lihat akan sesuatu, melainkan aku lihat Allah sertanya”

Syaidina Ali: “Tiada kulihat akan sesuatu, melainkan aku lihat Allah di dalamnya“.

Maka, sekalian dalil dan hadits dan sekalian kata sahabat, maka hendaklah engkau
bicarakan kepada guru yang sempurna, karena AlIah SWT itu tiada ia berhimpun dan
bercerai dengan sesuatu. Bermula martabat ketuhanan itu atas tiga perkara:

Maka yaitu kadim ketiganya dan lagi azali, maka adapun martabat yang ketuhanan itu
atas empat perkara, alam ruh, alam misal, alam jasam dan alam insan. Yaitu rupanya
Muhammad keempatnya, tetapi tubuhnya baharu adalah martabat manusia yang empat
yang muhaddas itu dengan martabat yang tiga kadim itu. Niscaya tiada akan tersunyi
pada yang arif, karena adalah martabat yang empat yang muhaddas itu nyatalah bayang-
bayang. Martabat yang tiga itu qadim itu jua, maka mustahil bayang-bayang itu
tinggalnya dan cerainya dengan yang empumya bayang dan mustahil ujud bayang itu lain
dari pada ujud yang empunya bayang, mustahil bayang-bayang akan dirinya sendiri
bayang-bayang dengan tiada zat empunya bayang, dan mustahil pula. akan bergerak
bayang-bayang dengan tiada gerak yang empunya bayang itu jua.
Kitab Babul Haq~Barincong-Nama Allah Pada
Tubuh Manusia
NAMA ALLAH PADA TUBUH MANUSIA
 Artinya- M : awal jadi raja di dalam dunia.
 Artinya- H : memberi rahmat bagi semua umat
 Artinya- M : akhir jadi raja didalam akhirat
 Artinya- D : jadi raja dunia dan akhirat

1. Keluar dari pada M : jadi nabi sakti dua laksa enam ribu.
2. Keluar dari pada H : jadi aias dan kursi Luh .dan kalam.
3. Keluar dari pada M : akhir jadi sekalian makhluk matahari dan bulan.
4. Keluar dari pada D : jadi jin manusia dan malaikat

Itulah pada menyatakan martabat hati. Adapun hati itu atas dua bahagian ;

1. Pertama hati sanubari namanya.


2. Kedua hati nurani.

Hati itu cahaya namanya. Adapun hati sanubari dan hati nabati itu darah segumpal yang
terhantar antara lambung kiri di dalam dada manusia Dan kedua hati cahaya namanya
yaitu ada bagi beberapa nama suatu khalifah Allah artinya ganti Allah karena ia
memerintahkan tubuh manusia dan Ammamubin pun namanya artinya raja yang luas dari
pada suatu dan arasy Allah pun namanya jua. Artinya mahligai Allah Ta’ala karena ia
tempat tajalli Allah Ta’ala dan ‫ مراةالحق‬namanya jua, artinya cermin hak Ta’ala karena ia
nyata hak Ta’ala padanya dan iradatul ujud namanya jua artinya kehendak yang ada
karena tiada suatu yang luput dari padanya maka hati nurani itu amat besar lagi latif,
artinya halus maka itulah yang menerima tajalli zat Allah Ta’ala dan menerima tajalli sifat
Allah dan menerima tajalli ap’al Allah.

Hati nurani itu memakai pakaian sifat Allah Ta’ala yang 7 ; kudrat, iradat, ilmu, hayat,
sama’, basar dan kalam. Hati nurani itu kenyataan dari pada zat Allah Ta’ala dan kelakuan
zat Allah. Hati nurani itu kepada tubuh yang kasar nyatalah tubuh yang kasar itu berabad
abad sebab dari pada hati nurani maka nyatalah hati nurani itu menyatakan keadaan yang
kuasa. Tiada di atas tiada di bawah tiada di kanan tiada di kiri tidak di hadapan tiada di
belakang, sunyi ia daripada enam jihat itu dan tiada berdarah dan berdaging dan tulang.
Hanya kenyataan hati nurani jua, maka nyatalah mendengar telinga penglihat mata.
Segala keadaan tubuh yang kasar ini dari pada hati nurani itu. Kenyataan zat yang tiada
baginya rupa yang tiada berdarah dan daging inilah yang diperujud oleh sekalian yang
maujud mau pada yang besar dan mau pada yang kecil. Kata hadits lidah itu juru bahasa
hati dan hati itu juru bahasa hidayah dan hidayah itu dari pada cahaya dan qadim yang
dinama hidayah yaitu sifat yang tujuh yang nyata kepada hati nurani itu. Artinya cahaya
yang gaib dan tuhan pun gaib adanya itulah firman Allah Ta’ala di dalam hadits qudsi,
artinya yaitu maka celaka bagi orang yang berjalan di bawah bulan dan matahari, maka
berbahagialah bagi barang siapa ada ia berjalan di atas bulan dan matahari yakni orang
yang tiada mengenal diri dan tuhan, celaka hukumnya. Barang siapa berjalan di atas bulan
dan matahari itulah orang yang berbahagia. orang yang mengenal akan dirinya dan
mengenal akan tuhannya.
“Kata ahli hak telah melihat Allah nyata dengan nyatanya bermula tiap-tiap mata melihat
dan hati nyata dengan rupa yang Laysa kamislihisyai’un”. Karena matahari itu ibarat zat
Allah Ta’ala dan bulan itu ibarat sir Allah yakni cahaya Muhammad rasulullah SAW.
Karena tempat mengenal zat Allah pada cahaya Muhammad karena inilah yang bernama
diri yang sebenar-benarnya maka tersebut di dalam hadits ;

“Barang siapa melihat akan daku maka ‫ سث‬melihat yang sebenar-benarnya dan barang siapa
melihat akan daku maka itulah ujudku yang sebenar-benarnya”.

Tiada nyata aku pada suatu seperti nyata kepada insan Karena matahari itu pada bulan
jua. Bulan itu sempurna menerima cahaya zat Allah Ta’ala, karena yang dinamai
Muhammad itu hati yang gaib. Itulah yang sebenar-benarnya diri tempat kenyataan ujud
Allah, karena hati yang sebenar-benarnya cahaya zat Allah Ta’ala, sebenar-benarnya hati
itu yaitu menyatakan keadaan Allah Ta’ala karena hati itu tetap adanya. Bahwasanya
pohon sir itu dari pada cahaya zat Allah. Sebenar-benamya sir itu nyawa dengan tiada
berkutika maka yaitu shah ma’rifatnya yakni tiada dusta.

Fuad itu pada barang yang telah nyata dilihatnya karena penglihat mata hati itu terus
tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi, dan barang penglihatanmu itu nyatalah tiada mata
melihat dan tiada telinga mendengar dan lidah berkata-kata dan tiada hidung mencium
dan tiada hati mengenal hanya Allah jua. Yang mengenal dirinya dan mendapat dirinya.
Maka yang sampai itu sifatnya jua yaitu zatnya jua maka inilah firman Allah Ta’ala di
dalam hadits qudsi :

“Manusia itu rahasiaku dan sifatku, itu tiada lain dari padaku”

Tiada lain dari pada zatku karena sifat itu kenyataan Zat Allah yang Laishakamislihisyai’un
itu seolah-olahnya. Adapun kita mengenal zat Allah Ta’ala itu dari pada diri jua tiada lain
seperti firman Allah Ta’ala: “Yaitu Allah Ta’ala jua beserta kamu barang di mana ada kamu”

Dan lagi firman Allah Ta’ala : “Pada diri kamu jua aku, maka tiadalah kamu lihat akan daku”

Yakni kenal keadaan Allah Ta’ala di dalam dirimu itu maha lengkap, maka firman Allah
Ta’ala:

“Katakan oleh kamu ya Muhammad, Allah Ta’ala itu esa”

dan Allah Ta’ala melengkapi barang sesuatu yang bergerak pada hati dan mendengar
pada telinga dan melihat pada mata dan sebagainya. Artinya mengenal zat Allah Ta’ala di
dalam diri dan barang kelakuan kamu, seperti baik dan jahat, seperti tertawa dan
menangis dan sebagainya. Kelakuan kamu sesuatu yang tiada di hilang lagi yang nyata
pada dirimu itu semuanya itu hanya kelakuan zat Allah Ta’ala jua, tiada kelakuan hamba
yang empunya. Inilah ujud kita, tiada diri kita yang empunya kelakuan itu, hanya Allah
Ta’ala jua, tetapi bukan ia kiri dan bukan ia kanan dan tiada di atas dan tiada di bawah
dan tiada di hadapan dan tiada di belakang itulah ujud kita dunia dan akhirat tiada tuhan
yang lain dari pada Allah Ta’ala yang memerintah diri kita. ketahuilah olehmu
bahwasanya pi’il diri itu. Itu tempat kenyataan pi’il Allah Ta’ala maka hilangkan pi’il diri
kita itu nyatalah pi’il Allah semata-mata yang berlalu, sifat diri kita itu tempat kenyataan
sifat Allah, maka nyatalah hilang sifat diri itu, nyatalah sifat Allah yang berlalu semata-
mata, seperti kata syekh Mahuddin ini yang mengesakan Allah sifat Allah dan sifat
makhluk ;

Artinya : Meninggalkan sifatnya karena kasih akan dirinya jua yang dipandang pada zahir
dirinya dan mencela-cela dirinya dan memuji dirinya jika makan dengan dia, artinya
dengan dirinya, jika tidur dengan dirinya, jika berjalan dengan dirinya tiadalah ia lupa
dengan dirinya dan panalah dengan dirinya dan kekal dirinya, sabda nabi Muhammad
SAW: “barang siapa mengenal akan dirinya, bahwasanya mengenal ia akan tuhannya“, Dan
barang kelakuan dirinya jua dilihatnya dan lagi sabda nabi Muhammad SAW:

Artinya penglihatanmu itu penglihat Allah dan pendengarmu itu pendengar Allah dan pi’il
nafsumu itu pi’il Allah dan kelakuan zat Allah, artinya Allah yang empunya penglihat
bukan penglihat kita itulah dirimu dan kelakuan. Demikianlah tauhid dan ma’rifat itu akan
tauhidnya jua, sabda nabi Muhammad SAW: “ma’rifat itu rahasiaku” dan lagi “Tiada sah
sembahyang itu melainkan dengan mengenal” yang muwapakan sekalian aulia dan ambia
dan ahlal kalam. Bahwasanya Allah Ta’ala tiada dua khadim dan muhaddas khaliq tiada
berubah dan tiada bercerai dan tiada bertemu dan tiada masuk misra, dar, tiada bangsa
dan tiada berkesudahan dan tiada kiri dan tiada kanan dan tiada belakang dan tiada
hadapan, dan tiada berjihat yang enam, maka kata ahli Suluk Allah subhanahu wataala:

Bermula Allah Ta’ala meliputi tiap-tiap sesuatu, itu kata setengah ulama ilmunya yang
meliputi, zatnya tiada meliputi. Kata ahli suluk ilmunya meliputi dan zatnya pun meliputi
jua, karena Allah Ta’ala tiada cerai ia dengan ilmunya. Karena murat ilmunya itu zatnya
jua demikianlah ma’rifat ahli Allah, tiada sekutu ma’rifatnya kepada Allah Ta’ala sekalian
itu, keadaan Allah dan kelakuan Allah dan nama Allah dan af’al Allah. Adapun Allah SWT
itu ketahui olehmu jangan ambilanmu ahdiat, wahdat dan wahdiat Allah bukan Allah alam
ruh. Bukan Allah alam misal dan Allah alam ajsam. Dan bukan Allah alam insan. Dan bukan
zat Allah dan bukan sifat Allah dan bukan Allah barang yang ada bergerak pada hati dan
tersebut pada lidah, bukan Allah Ta’ala yang nyata pada hatimu, itulah keadaan dan
kenyataan Allah Ta’ala kepadamu. Dan barang siapa bertuhan dari pada yang tersebut itu
maka nyata berhala jua hukumnya, wallahu alam wabillahitaufik.

Kata Sahil bin Abdullah; jangan kamu beri tahu akan segala orang yang baharu belajar itu,
atas segala rahasia sebelumnya tetap mereka itu pada syariat dan harikat. Kata nabi Isa,
jangan kamu gantungkan akan mutiara pada leher babi.

 Bermula artinya syari’at itu yaitu seperti engkau sembah akan Allah Ta’ala,
engkau ikut akan pesuruh Allah Ta’ala dan engkau jauhi segala larangannya, zahir syariat
yaitu menyerahkan diri karena membesarkan Allah.

 Tharikat itu yaitu seperti bahwasanya engkau sahaja akan Allah dan ilmu dan
amal yakni engkau amalkan barang yang kamu ketahui.

 Hakekat itu paedah keduanya seperti bahwa engkau pandang akan Allah Ta’ala
dengan cahaya yang dipertaruhkan oleh Allah Ta’ala akan dia. Sama tertengah hatimu
yaitu bathin, tetapi syariat dan hakekat itu berzalim-zaliman keduanya, yakni tiada
kebilangan zahir syariat itu melainkan dengan hakekat dan tiada kebilangan bathin
hakekat itu melainkan dengan zahir syariat kata ulama-ulama syariat, dengan tiada
hakekat itu hampa. Hakekat dengan tiada syariat itu batal. Tiap-tiap hakekat yang tiada
menugerahi akan dia yaitu zindik, kata setengah arif : Barang siapa mengatakan hakekat
itu bersalahan dengan syariat maka orang kafir, karena keduanya itu syariat nabi
Muhammad SAW.

Syariat bathin dinamai hakekat, syari’at zahir dinamai akan dia fikih. Tiada cerai keduanya
itu, jikalau diceraikan keduanya itu, niscaya memberi cidera kepada agama. Barang siapa
mengetahui ilmu fikih, yakni zahir syariat dengan tiada mengetahui ilmu tasawuf yakni
ilmu hakekat yaitu bathin syariat maka orang itu pasiq. Barang siapa mengetahui ilmu
tasawuf yakni ilmu hakekat, yaitu bathin syariat dengan tiada mengetahui ilmu fikih yakni
zahir syariat maka sesungguhnya orang yang zindik. Barang siapa menghimpunkan antara
keduanya itu yakni ilmu fikih dan ilmu tasawuf maka sesungguhnya orang itu tahqiq yang
sebenar-benarnya. Sahdan lagi adalah sesungguhnya misalnya syariat, tharikat, hakekat
itu diumpamakan buah nyiur, syariat itu umpama tempurung memeliharakan isinya dan
minyaknya. Tharikat itu umpama isinya, hakekat itu umpama minyaknya. Di dalam isinya
maka tiada dapat akan minyaknya melainkan memecahkan akan tempurungnya dan
memarahkan akan isinya. Maka itulah yang disuruhkan orang menyembunyikan dia oleh
Allah Ta’ala dan rasulnya dan kepada yang bukan ahlinya yaitu dinamai
rahasia. Alhadiah adalah umpama kertas yang lapang, yang tiada suatu juapun bagi Allah
Ta’ala tiada terbunyi suatu daerahnya juapun di dalam bumi dan langit misal hampirkan
faham jua maha suci hak Ta’ala yakni la ta’yin yang nyata di dalamnya wahdiat itu yaitu
umpama noktah di dalam kertas demikian misalnya. itulah misalnya daerahnya ta’yin awal
yang nyata suatu di dalamnya maka sampailah mendapat arif billah wahdiat itu
umpamanya.

Itulah suatu di dalamnya ini, yakni hasilah seseorang memandang wahdah dan pasrah di


dalamnya wahdah niscaya adalah beroleh pangkat yang tinggi daerahnya (Allah) yakni
hasilah bagi seorang memandang yang kesempurnaannya, Wasiat yaitu hei anakku tiada
dapat, tiada engkau ketahui serta engkau i’tikatkan di dalam hatimu yang lima (5) perkara
itu ia dinamakan ilmu hakekat, artinya mengetahui dengan yakin hatinya kita lakukan
dengan bacaan atau dengan perkataan, tetapi dengan dirasanya jua-dan ditetapkan
dalam hatinya jua, maka tiada berpaedah dibaca dengan lidah yaitu tauhidul ap’al, kedua
tauhidul sifat. ketiga tauhidul zat. Suatu riwayat fana ulaf ‘al itu seperti engkau kata ~
a’ilu fi’lillah artinya tiada mempunyai sekalian perbuatan melainkan perbuatan Allah
Ta’ala jua di dalam hakekat.

Adapun tauhidu sifat itu, seperti engkau kata dan engkau i’tikatkan di dalam
hatimu wala kudrat, wala iradat, wala ilmu, wala hai un wala
samilun, wala basirun, wala mutakallimun hua hakikatu illallah dan mempunyai kehendak
dan mempunyai kuasa. Tiada mempunyai pengetahuan, tiada mempunyai hidup, tiada
mempunyai penglihat, tiada mempunyai pendengar tiada mempunyai berkata-kata di
dalam hakikatnya melainkan Allah Ta’ala. Adapun tauhidu zat,seperti engkau kata seperti
engkau i’tikadkan di dalam hatimu La maujud ilallah, artinya tiada yang maujud ini
melainkan ujud Allah Ta’ala semata-mata. Firman Allah Ta’ala : “Barang siapa dibukakan
Allah Ta’ala di dadanya bagi agama islam maka yaitu beroleh cahaya dari pada Tuhannya”.

Dan artinya, mereka itulah disuratkan Allah Ta’ala didalam hatinya iman tersebut
kalimat La ilaha illallah Muhammad Rasulullah. Firman Allah Ta’ala hadits qudsi di dalam
Our’an: “Tiada akan dusta penglihat fuad barang yang dilihatnya“. Maka yaitu penglihat dari
pada Tuhannya dan lagi ketahui olehmu seperti udu yaitu dua perkara inilah lafaznya
menunjukkan: “Badanmu dengan nyawamu itu Allah jua“. Karena Allah itulah meliputi
hambanya dan ilmunya maka sempurnalah udu itu dari pada cahaya yang suci tiga
perkara : satu ahdiah, kedua wahdah, ketiga wahdiah. Pertama Allah, kedua Muhammad,
ketiga Adam, maka sembah Ali ya Rasulullah. Sebab waktu Isya itu empat rakaat, maka
sabda Rasulullah karena tajali anak Adam itu empat perkara ; satu mada, kedua madi,
ketiga mani, keempat manikam. Ya Rasulullah apa sebab witir satu rakaat, maka sabda
Rasulullah karena Allah Ta’ala :
yakni sendirinya Allah Ta’ala. Inilah ketahui olehmu adalah sembahyang lima waktu terbit
dari pada huruf Alhamdu. Adapun waktu dzuhur keluarnya daripada alif Alhamdu, dan
ashar keluarnya dari pada lam Alhamdu. Dan waktu maghrib keluarnya dari pada “H”, dan
waktu isya keluarnya “M” Alhamdu. Dan waktu subuh keluarnya dari pada “D” Alhamdu.
Itulah keadaan waktuyang diketahui supaya sampailah dan sempurnalah pekerjaan
sembahyang itu. Dan adalah misal dari pada menyatakan hakekat akan pendirian
sembahyang, sebenar-benarnya pendirian itu kepada zat kah atau kepada sifat kah atau
kepada ap’al ?.

Maka hendaklah diketahui supaya mendapat makam hakekat yang sempurna dunia
akhirat akan perpegangan yang ahli hakekat dan adalah menempati kepada orang yang
arif billah dan ahli sufi yaitu pana pillah. Misal daerahnya engkau tuntut bersungguh-
sungguh akan fahamnya kepada orang ahlillah dan kepada satu-satunya ulama supaya
jangan tergelincir akan perjalanan hakekat kita. Dan yang bernama cahaya itu zat Allah
Ta’ala. Adapun zat Allah Ta’ala itulah ujudnya yang sebenar-benarnya adanya Allah Ta’ala
bernama dan ruh itu buta, tuli dan bisu jikalau tiada tuhan, yaitu tiadalah sesuatu. Inilah
ambilan segala wali Allah Ta’ala, segala arifbillah kamal mukamil. Sembah yang disembah
itu jua, yaitu akhir kita menyembah batin kita dari pada ‫ محدام‬yakni dari pada mematikan
diri ‫ موراة‬mematikan diri itu ‫ المؤت‬menyembah yang disembah belum menjadi esa. Seperti
kata ahli suluk :

“Barang siapa menyembah nama, tiada tahu artinya nama maka sesungguhnya kafir. Maka
barang siapa menyembah ertinya tiada dengan nama yaitu syirik“.

“Barang siapa menyembah nama dan artinya nama maka mengada ada”

“Tiada sah mengata takbiratul ihram jikalau tiada tahu akan hakekatnya”
“Tiada jua sempurna sembahyang itu, jikalau tiada dengan ma’rifat”

Demikianlah adanya menyatakan tajalli Allah Ta’ala asal fardu.

Ya Abu Bakar, wa Umar, wa Usman, wa Ali radiallah ‘anhu, maka barang siapa
mengetahui tajalli Allah Ta’ala, maka sembah Ali: ya Rasulullah, apa sabab waktu subuh
dua rakaat, maka sabda Rasulullah : ya Ali karena tapian awal kedua sifat dan sembah Ali,
ya rasulullah, apa sebab waktu dzuhur itu empat rakaat? maka sabda Rasulullah, ya Ali,
waktu dzuhur empat rakaat karena tajalli Allah Ta’ala empat rakaat :
 satu ujud
 kedua alam
 ketiga nur
 keempat syuhud.

Maka sembah Ali, ya rasulullah, apa sebab waktu ashar itu empat rakaat? maka sabda
Rasulullah: karena tajalli hamba itu empat perkara ;

 satu air
 kedua angin
 ketiga tanah
 keempat api.

Maka sabda Ali, ya rasulullah, apa sebab waktu maghrib itu tiga rakaat, maka sabda
Rasulullah murtabah ujud Allah itu.

Sifat Sembahyang

Sifat sembahyang itu rupa Muhammad, sembahyang itu zahir Allah Ta’ala bermama
sembahyang itu tingkah lakunya Muhammad.
_____________________Sungsungan

 Semata-mata ia takut akan Allah Ta’ala. Yakni semata-mata mengerjakan suruhnya


Allah Ta’ala dan menjauhi larangannya Allah Ta’ala.
 Ridha ia akan Allah Ta’ala.
 Merasakan dengan ma’rifatnya akan Allah Ta’ala dengan dahaganya

Makam Sembahyang

____________________Terbuka Dinding

Umpama seorang yang memandang akan kejadian segala perbuatan itu dari pada Allah
Ta’ala dan kesandaranya dari pada hamba seperti misalnya kalam orang yang menulis,
yang menjadikan huruf orang yang menulis dan kalam menjadi alat persandaran menulis
adalah hamba itu seperti kalam tiada baginya perbuatan dan hanya yang berbuat itu yang
menulis jua. Segala yang berlaku di dalam segala alam ini Allah Ta’ala jua yang
menjadikan dia. Umpama Allah Ta’ala menyatakan nur Muhammad tamsil umpama.
seorang menghendaki api, maka dipertemukan batu dengan besi, maka nyatalah dari
pada dua sifat itu menjadi api, maka zahirlah semesta sekalian alam ini dari pada dua sifat
itu yakni sifat jalal dan jamal.

Demikianlah diumpamakan nur Muhammad itu, yang ditemukan besi dengan batu itu
Allah Ta’ala dari pada besi sifat jalal dan daripada batu itu sifat jamal, dan yang terbit dari
pada dua sifat itu nur Muhammad, maka yaitu yang lagi di dalam alam Allah Ta’ala maka
nyata yang tetap pada alam Allah Ta’ala. Maka yaitu insan kamil. yaitu hakekatnya nabi
kita, artinya kekayaan nabi kita.

 Artinya insan = manusia


 Artinya kamil = sempurna
 Artinya berkata muhadas hukumnya.

 Tauhid yang dinamai ilmu Ushuludin (ma’rifatullah)

 Syariat yang dinamai ilmu Fikih

 Bathin yang dinamai ilmu Tasawuf

__________________Menuntut Ilmu

Orang yang menuntut ilmu karena ilmunya itu bekal ke dalam akhirat hanya dengan
karena Allah Ta’ala. Mereka itulah beroleh kemenangan dalam dunia dan dalam akhirat.

Bahwasanya Allah Ta’ala itu terlebih kasih kepada orang yang muttaqin. Ambil olehmu
bekal masuk dibawa ke dalam akhirat, maka terlebih baik takut akan Allah Ta’ala, Takut
kepada Allah Ta’ala mengerjakan taat yang disuruhnya, sama ada ia taat zahir atau taat
bathin dan menjalani segala larangannya. Sama ada ia maksiat zahir atau bathin. Taat
zahir seperti sembahyang, zakat, puasa dan naik haji. Taat bathin segala sifat yang
kepujian tubuh sabar, syukur dan ikhlas. Maksiat zahir seperti berzinah, mencuri. minum
arak/tuak, membunuh orang islam, memaki-maki orang, mengumpat orang. Maksiat
bathin seperti sifat yang kecelaan bakhil dan takabur.

IImu rahasia ma’rifat Allah Ta’ala dari pada dunia datang dari pada akhirat tatkala kita
pada rahim bapak ikral tasdik bapak kita itulah yang bernama diri tatkala beserta pada
rahim ibu. Rahasia ibu bapak kita tatkala rahasia dalam rahim ibu itulah bernama sir cinta,
jadi iman maka tatkala di dalam rahim ibu itu adalah kurnia pakaian ujud, kurniakan zat,
sifat, asma dan af’al lengkap maka kita bernama insan.
bernama diri tatkala beserta pada rahim ibu. Rahasia ibu bapak kita tatkala rahasia dalam
rahim ibu itulah bernama sir cinta, jadi iman maka tatkala di dalam rahim ibu itu adalah
kurnia pakaian ujud, kurniakan zat, sifat, asma dan af’al lengkap maka kita bernama insan.
Insan yang bernama manusia inilah putus ilmu Rahasia yang bernama syahadat ilmu jisim
itu tempat insan akan kesempurnaanya yang disebut ujud yang zahir. Asyhadu alla ilaha
ilallah Wa asyhadu anna Muhammad rasulullah, Syahadat itu martabat kita, karena
syahadat itu empat perkara :

1. syahadat kata syariat
2. alla itu kata tharikat
3. ilaaha kata hakekat
4. illa allah itu kata ma’rifat

Keadaan syahadat itu :

 badan kita
 alla itu darah kita
 ilaha itu nyawa kita
 illa allah itu rupa kita sendiri dengan dirinya

Adapun syahadat itu syariat kulit kita :

 Alla itu tarikat daging kita


 Ilaha itu nyawa kita
 Illa Allah itu ma’rifat nyawa kita

Adapun syahadat itu saksi dan itu sesungguhnya ilaha itu Tuhan, illallah itu esa ada
dirinya. Yaitulah putus ilmu syahadat jika ditanyai orang apa saksi dan apa dipersaksi dan
siapa tempat bersaksi. Jawab, adapun saksi itu ikral dengan lidah dan yang dipersaksi itu
tasdik dalam hati dan yang mengaku saksi badan dengan dan tempat bersaksi itu tuhan
kita hak subhanahu wataala. Menjadikan makhluk itulah tuhan yang lengkap dengan
kekayaannya kepada manusia.
Kitab Babul Haq~Barincong-Tanda-Tanda
Sakaratul Maut
TANDA TANDA SAKARATUL MAUT

Pertama: Sulbi kita terasa Sakit seperti ditusuk dengan jarum sampai keubun-ubun,
sakitnya luar biasa dan telinga kita mendengar suara tembakan satu kali, maka segeralah
kita ucapkan YA HU. Allah memberikan tanda bahwa umur kita tinggal 40 hari.

Kedua: Apabila dari mata kita keluar cahaya yang putih, kemudian cahaya itu berdiri
dihadapan kita, kemudian berubah menjadi seorang Insan yang berpakaian amat indah
menghadap kepada kita. Apabila jelas tanda ini datang dari pada kita, maka segeralah
ucapkan ALLAH HAKKUL HAK. Tanda ini Allah menyatakan bahwa umur kita tingal 7 hari
lagi.

Ketiga: Apabila telah keluar dari mulut kita suatu cahaya yang sangat bersinar, kemudian
cahaya itu berdiri dihadapan kita, kemudian berubah menjadi ujud kita atau serupa
dengan kita, dan bersamaan dengan itu tercium bau yang sangat harum. Jikalau tanda ini
jelas datangnya dari diri kita maka ucapkanlah : ALHAMDULILLAHI RABBIL ALAMIN.
Tanda ini Allah memberitahukan bahwa umur kita tinggal 3 hari lagi. Maka beramanatlah
kita kepada sanak-saudara dan jangan lagi kita lalai dari amalan-amalan yang sering kita
lakukan.
Keempat: Apabila sudah sampai kepada yang terakhir, maka berjagalah kita dan jangan
lalai dengan dzikir nafas yang keluar masuk, sambil menunggu tanda yang terakhir.
Manakala telinga kita berdengung yang sangat panjang, kemudian mata kita berubah
menjadi kabur-kabur, kemudian penglihatan kita menjadi gelap semata-mata dan di
dalam kegelapan itu terpandang kita suatu titik cahaya, kemudian berubah pula
penglihatan kita menjadi terang benderang penuh semesta alam, maka tenangkanlah hati
kita dan berdzikirlah karena kita sedang berhadapan dengan NUR ALLAH. Terakhir
pendengaran kita mendengung lagi dan mata kita rasa mengantuk, kemudian tangan kita
kita angkat seperti orang yang Takbir seraya mengucapkan ALLAHU AKBAR atau LA
ILAHA ILLA ALLAH. Adapun mengenal akan tuhan itu sekali-kali tiada boleh dengan
usaha dan ikhtiar dari pada hamba, melainkan dengan anugrahnya jua kepada hambanya,
seperti sabda Nabi Muhammad SAW :

“Aku kenal Tuhanku yakni dengan anugrahnya jua kepadaku“.

Maka barang siapa mengenal ia akan dirinya dengan sesungguhnya, niscaya mengenal ia
akan Tuhannya. Dan barang. siapa mengenal ia akan Tuhannya, niscaya ia jahil akan
dirinya.

Seperti Sabda Nabi Muhammad SAW :

“Terlebih mengenal akan Tuhannya itulah yang terlebih mengenaI akan dirinya”.

Karena takluk ma’rifat itu, yaitu kepada mengenal diri dan mengenal diri itu takluk
kepada mengenal zat Allah Ta’ala. Adapun mengenal Allah itu sekali-kali tiada dapat
dikenal oleh hambanya, hanya yang dapat mengenal melainkan dengan Nur Muhammad
yang misra pada hati dan Ruh, dan seluruh batang tubuh. Hanya itulah yang dapat
mengenal kepada zat yang Wajibul Wujud lagi suci yaitulah sebenarbenarnya Wujud-Hak
dan Wujud Mutlak, kerna yang dikenal itulah yang mengenal artinya Nur dengan Nurnya
jua atau diri dengan Dirinya jua, karena mengenal yang demikian itu bukan saja kita kata
dan bukan saja kita baca dengan lidah, hanya kita tahu dan ingat pada sir hati, itulah
artinya jalan mengenal dan ma’rifat.

Pasal : Menyatakan maqam yang seperti Anbiya dan Auliya yang sampai kepada megenal
zat Allah Ta’ala dengan sebab memandang dan memusyahadahkan Nur Muhammad.
Yaitulah Anbiya dan Aulia yang dinama: dibawah qadim Nabi SAW, karena ia
memusyahadahkan Nur Muhammad dengan kata nya : Musyahadahkanlah oleh kamu
akan Nur Muhammad itu yang misra ia pada sekalian Ruh dan batang tubuhmu yang
seperti misranya air dengan tumbuh-tumbuhan. Insya Allah akan dibukakan oleh Allah
akan kamu untuk dapat melilhat akan keelokan zatnya yang Wajibal Wujud lagi yang
suci. Karena zat Allah itu tiada dapat sekali-kali diKenal akan hambanya. Hanya yang
dapat mengenal melainkan dengan Nur-Nya yang misra ia pada hati dengan wasitah Nur
Muhammad karena hanya itulah yang dapat mengenal kepada zatnya yang Wajibul
Wujud, karena yang mengenal yaitulah yang dikenal, artinya aku kenal Tuhanku dengan
Tuhanku, maksudnya Nur dengan Nurnya, diri dengan dirinya, seperti dalil yang
mengatakan :
“Barang siapa mengenal akan dirinya maka sesungguhnya   َ ‫ م ْن َ ع َر َف َنف‬mengenal ia akan
Tuhannya”

Pasal : Menyatakan mengesakan Allah pada Ap’alnya. Maka apabila ia tetap pada
pandangan mata hatinya, bahwa sesungguhnya sekalian perbuatan yang berlaku di dalam
alam ini semuanya perbuatan Allah Ta’ala dengan Hakkul Yakin. Barulah engkau
mendapat ma’rifat Wahdaniyah Ap’al Allah dan fana sekalian Ap’al mahluk. Maka lepaslah
engkau dari pada syirik khafi seperti firman Allah:

“Allah Ta’ala jua yang menjadikan kamu dan segala perbuatan kamu“.

Tiada perbuatan makhluk hanya semata-mata perbuatan Allah jua dalam semesta
sekalian alam ini.

Pasal : Menyatakan sebelum adanya bumi dan langit Arasy dan Kursyi, Luh dan Kalam,
melainkan zat Allah jua yang ada sendirinya lagi ia qadim semata. Pada martabat LA
TA’YUN lagi ia Wujud Mutlak maka ia bernama HU. Pada martabat TA‘YIN AWAL itupun
qadim jua semata. Maka setelah itu pada ma’lumnya maka ia hendak menjadikan dan
merupakan manusia maka ia titik didalamnya Nur Muhammad, yaitulah RUH IDAFI selagi
ia maujud pada KUNHIZAT Allah, maka Ruh Idafi itu menjadi Alam Sawun, maka wujud
Allah itu bernama ALLAH. Pada martabat TA’YIN SANI ia qadim jua semata, maka setelah
ia bernama Muhammad SAW dan Allah itu bernama RAHMAN Dan pada martabat salasa
itu maka keluarlah alam itu yaitulah berupa huruf yaitu empat huruf MIM-HA-MIM-
DAL = MUHAMMAD = Maka alam itu bernama A’YAN SYABITAH artinya kenyataan yang
tetap, artinya telah nyata rupa manusia, maka Allah itu bernama ARRAHIM. Adapun alam
itu ada empat yaitu : Alam Ruh, Alam Misal, Alam Ajsam dan Alam Insan. Sedangkan RUH
itu ada empat macam pula yaitu : Ruh Idafi, Ruh Rahmani, Ruh Ruhani dan Ruh Jasmani,
yaitulah asal kejadian badan Muhammad.

– Adapun Ruh Idafi itulah yang menjadi mata Muhammad.

– Adapun Ruh Rahmani itulah yang menjadi darah Muhammad.

– Adapun Ruh Ruhani itulah yang menjadi tulang Muhammad.

– Adapun Ruh Jasmani itulah yang menjadi daging Muhammad.

– Adapun Ruh Idafi itu nasarnya jadi Api.

– Adapun Ruh Rahmani itulah nasarnya jadi Angin

– Adapun Ruh Ruhani itu nasarnya jadi Air.

– Adapun Ruh Jasmani itu nasarnya jadi Tanah, Maka itulah asal kejadian sekalian
manusia ini, hendaklah diketahui.

Pasal : Menyatakan yang sebenar-benarnya Insan itu ialah Ruh dan Ruh itu ialah Allah
Taala dan Allah Ta’ala itu ialah sebenar-benarnya Zat yang Wajibul Wujud. Firman Allah
Ta’ala dalam hadits Qudsi :
“Aku jadikan engkau Ya Muhammad karena Aku dan Aku jadikan segala sesuatunya karena
engkau Ya Muhammad”

Dan lagi firman Allah Taala dalam hadits qudsi yang artinya: Zat Allah dan Sifatnya dan
Asma’nya dan Afaalnya itu ghaib pada alam yang empat itu ;

  Adapun Zat Allah itu ghaib pada Alam Ruh.


  Adapun Sifat Allah itu ghaib pada Alam Misyal
  Adapun Asma Allah itu gaib pada Alam Ajsam.
  Adapun Ap’al Allah itu ghaib pada Alam Insan.
  Adapun Zat Allah itu pada martabat Ruh bernama Nur.
  Adapun Sif’at Allah itu pada martabat alam Misyal bernama Kezahiran
  Adapun Asma Allah itu pada martabat AIam Ajsam bernama Muzahir
  Adapun Ap’al Allah itu pada martabat Alam Insan bernama Jama’.

Kesemuanya itu tiada bercerai dari pada asal, maka Maujudlah Zat, Sifat, Asma dan Ap’al
pada alam yang empat itu, yaitulah Muhammad. maka ia kuasa sendirinya yaitulah fi’il
Muhammad; wujudnya ma’rifat, lakunya suci, jalannya sempurna, tempatnya halus,
sifatnya syukur. Janganlah hendaknya perkataan ini diasa-asakan saja karena ilmu ini
bukan mudah dan hendaknya ilmu ini benar-benar kita ajarkan kepada guru-guru yang
ahlinya supaya syah’ ilmunya.

Pasal : Menyatakan alam yang empat perkara itu yaitu Alam Ruh, Alam Misyal, Alam
Ajsam dan Alam lnsan. Adapun -Ruh Idhafi, Ruh Rahmani, Ruh Ruhani dan
Ruh Jasmani yaitulah asal dari pada kejadian jasad Muhammad dan jasad sekalian kita ini,
artinya jasadku itu adalah jasad engkau dan jasad engkau itu adalah melalui jasad ku jua.

Pasal : Menyatakan cermin Tuhan kepada kita ini. Adapun yang diumpamakan cermin itu
ialah Sifat Muhammad wujud yang fana dan wujud yang baqa. Adapun rupa yang di
dalam cermin itu ialah wujud haq dan wujud mutlaq. Maka hendaklah yang diketahui
yang dikatakan wujud Haq dan wujud mutlaq itu, yaitulah yang sebenar benarnya Zat
yang Wajibal Wujud. Maka apabila ia tahu yang demikian itu tiada lagi jalan yang lebih
dari pada itu, jalan dan perhimpunan akan Sakaratul Maut, maka Ruhnya keluar
sendirinya seperti nafasnya HU ALLAH artinya AKU ALLAH.

Pasal : Menyatakan, asal dari pada kejadian Allah Ta’ala itu, yaitu tiada sekali-kali.
menghendaki hidup dan makan dan minum, hanya ia hidup dengan sendirinya tiada yang
menghidupi. Yang dimaksud dengan hidup dengan sendirinya itu ialah yang sebenar-
benarnya Ruh, dan Ruh itu ialah sebenar-benarnya Allah Taala dan sebenar-benarnya
Allah Ta’ala itu ialah sebenar-benarnya Muhammad, dan Muhammad itu ialah yang hidup,
dan yang hidup ialah sebenar-benarnya Insan yang Kamil atau sebenar-benarnya diri
yang kamil atau sempurna.

Pasal : Menyatakan yang sebenar-benarnya Insan itu ialah Ruh dan Ruh itu ialah Allah
dan Allah itu ialah Muhammad dan Muhammad itu ialah yang sebenar-benarnya Zat yang
Wajibal Wujud, yaitulah yang sebenar-benarnya Wujud Haq dan Wujud Mutlaq.
Pasal : Menyatakan pertemuan Tuhan dengan Hambanya Tuhan di dalam Muhammad
artinya nyawa Muhammad yaitu selagi KUNZAT belum bernama Muhammad dan belum
bernama Allah, maka Allah gaib kepada Muhammad dan Muhammad pun gaib kepada
AlIah, Karena ia berdiri dengan sendirinya, yaitu ALIF dan alif itu KUNZAT namanya selagi
ia Tuhan sendirinya, yaitulah sebenar-benarnya nyawa kita.

Pasal : Menyatakan Ruh Jasmani itu ialah tubuh Ronani dan tubuh Ruh Idhofi, maka ia
menjadi esa dengan esanya karna Ruh Idhafi itu ialah tubuh Rohani yaitulah Tuhan,
nyawa kepada kita.

Pasal : Menyatakan yang sebenar-benarnya Insan. Maka hendaklah diketahui lebih


dahulu supaya sempurna dunia dan akhirat. Adapun yang bernama Insan itu ialah
pertemuan antara ujung dengan pohon iyaitu hidup tiada mati tubuh manusia ini apabila
sudah diketahui maka sempurnalah ilmunya ini. Adapun yang sebenar-benarnya insan itu
ialah yang di dalam mata, yang bernama nafas. Adapun yang di dalam otak itu ialah yang
bernama Ruh Jasmani. Adapun yang di dalam jantung itu ialah yang bernama Ruhani.
Adapun yang di dalam hati itu ialah yang bernama Nurani, yaitulah nyawa kita. Adapun
mata yang melihat itu ialah yang sebenar-benarnya Insan yang
bernama Muhaammad Nafsi. Adapun yang di dalam otak itu ialah Allah yang bemama Ruh
Jasmani. Adapun yang dalam jantung itu ialah Rasulullah yang bernama Ruhani. Adapun
yang di dalam hati itu ialah Nur Zat Allah yang bemama Muhammad. Yaitulah yang
sebenar-benarnya Insan Kamil sebenar-benarnya diri. Itulah yang sebenar-benarnya zat
Wajibal wujud lagi yang suci, yaitulah yang sebenar-benarnya Wujud Mutlaq.

Pasal : Adapun yang sebenar-benarnya diri itu ialah Hayat, dan Hayat itu ialah Ruh, dan
Ruh itu ialah Nafas, dan Nafas itu ialah Allah dan Allah itu ialah Muhammad, dan
Muhammad itu ialah yang sebenar-benarnya diri. Adapun Ruhani, Allah Ta’ala menjadi
nyawa, dan nyawa ialah menjadi Muhammad. Karena itu Hayat, Ruh, Nafas, Allah Ta’ala,
Nyawa artinya Muhammad ujudnya atau jasadnya, karena tiada hidup jasad melainkan
dengan nyawa dan tiada hidup nyawa melainkan dengan jasad. Adapun yang bernama
Allah itu ialah kehendak, yang bernama kehendak itu ialah hidup, yang bernama hidup
ialah Ruh, yang bernama Ruh itu ialah Allah, yang bernama Allah itu ialah Muhammad,
yang bernama Muhammad itu ialah yang hidup, yang bernama hidup itu ialah Zat yang
Wajibul Wujud, yaitulah yang sebenar-benarnya Wujud Haq dan Wujud Mutlaq.

Pasal : Menyatakan Sir Tuhan yaitulah yang sebenar-benarnya nyawa kepada kita ini,
tempatnya pada hati, itulah sebenar-benarnya Allah Ta’ala. Maka tatkala itu Tuhan
berpandang-pandangan dengan Sir Tuhan, maka ia menjadi esa dengan esanya, yaitulah
Tuhan yang hidup ditubuh di dalam hati. Maka ia tahu dan kuasa dan berkehendak dan
mendengar dan melihat dan berkata-kata. Yaitulah keadaan hidup sekalian kita ini, hanya
semata-mata menerima nugrahanya jua.

Pasal : Menyatakan sebenar benarnya hidup manusia ini tiada putus-putusnya menerima
anugerah Allah Ta’ala. Demikianlah sebenar-benarnya hidup manusia. Artinya : hidup
manusia itu ialah sebenar-benarnya Insan Kamil atau sebenar-benarnya diri yang
sempurna. Itulah artinya hidup manusia ini hanya semata-mata menerima anugerah Allah
Ta’ala.

Pasal : Menyatakan yang sebenar-benarnya Ruh itu ialah Allah dan Allah Ta’ala itu ialah
sebenar-benarnya Muhammad, dan Muhammad itu ialah sebenar-benarnya zat-nya yang
Wajibul Wujud. Itulah sebenar-benarnya Wujud Haq dan Wujud Mutlaq. Karena
Muhammad itu sekata dengan Tuhan dan Tuhan pun sekata dengan Allah, karena yang
bernama Allah itu ialah sebenar-benarnya Muhammad.

Pasal : Menyatakan asal Allah Ta’ala yang mutlaq kepada zatnya, artinya Allah Ta’ala itu
hidup sendirinya, menghukumkan sendirinya, memuji sendirinya, meliputi
sendirinya. Mutlaq artinya nyata rupanya sendirinya, saksi ia sendirinya, yaitulah zat-nya
yang Wajibul Wujud lagi yang suci, itulah yang sebenar-benarnya Muhammad akan
jasadnya, yaitulah yang hidup, itulah sebenar-benarnya Insan yang Kamil.
Pasal : Menyatakan yang sebenar-benarnya Insan itu ialah Hayat, dan Hayat itu adalah
Ruh, dan Ruh itu adalah Nafas, dan Nafas itu ialah Muhammad, dan itu Muhammad ialah
sebenar-benarnya Insan yang Kamil atau sebenar-benarnya diri yang sempurna.

Pasal : Menyatakan yang sebenar-benarnya Insan itu ialah pertemuan antara ujung
dengan pohon, itulah hidup tiada mati tubuh manusia itu apabila sudah diketahuinya
yang bernama Insan itu dan sempurnalah ilmunya itu. Adapun sebenar-benarnya Insan
itu di dalam hatinya, yaitulah sebenar-benarnya Nur-Zat Allah yang bernama Muhammad
. Itulah sebenar-benarnya Insan atau sebenar-benarnya diri.

Pasal : Menyatakan jalan orang maqam Hakikat, yaitulah orang yang tiada sekali-kali
berkehendak dengan mengucap zikir yang zahir seperti LA lLAHA ILLA ALLAH, karena
dipandangnya di dalam alam ini tiada ada yang maujud, hanya Allah itu yang hadir
senantiasa dalam hatinya dan pada sekalian ruh dan batang tubuhnya. Hanya senantiasa
ia ingat akan tubuhnya, dirinya seperti katanya’ ALLAH –ALLAH pada sir Hatinya. Itulah
artinya diri mengenal diri, itulah yang senantiasa diperbuatnya sampai akhir hayatnya.
itulah jalan orang maqam hakikat, itulah jalan untuk ma’rifat, maka hendaklah diketahui
yang demikian itu.

Pasal : Menyatakan Sir Tuhan itu ialah sebenar benarnya nyawa kepada kita, tempatnya
pada hati, itulah sebenar-benarnya Allah Ta’ala. Maka tatkala itu Tuhan berpandang-
pandangan dengan Sir Tuhan, maka ia menjadi esa dengan esanya, karena Muhammad
itu sekata ia dengan Tuhan, Tuhanpun Sekata dengan Allah Kerana yang bernama Allah
itu ialah sebenar-benarnya Muhammad dan Muhammad itu ialah sebenar-benarnya Zat-
nya yang Wajibul Wujud.

Pasal : Menyatakan barang siapa hendak membawa badan jangan tertinggal dengan
nyawa, maka banyaklah nafas yang kanan dengan nafas yang kiri, maka mengucap zikir
seperti katanya ILA ILAHA ILLA ALLAH, maka sesudah nafi yang dikehendaki itu maka
dilepaskanlah badan kita dari hak milik Allah Ta’ala, maka jangan tertinggal atau terganti,
ingatkanlah kalimat Syahadat, itulah yang mengandung Zat -Sifat, Asma dan Ap’af. Alam
Misyal yang bersyahadat, Alam Jisim akan tempatnya, Alam Insan akan kesempurnaan
dirinya. Sebut menyebut nama wujud yang zahir, seperti katanya : ASYHADU AN
LAILAHA ILLA ALLAH tajalli artinya bertubuh WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR
RASULULLAH bersifat artinya berfi’il. Maka barang siapa mengucap yang tersebut itu
yaitulah yang dikatakan Sunah artinya badanku jua. Itulah artinya badan kita dilepaskan
dari pada hak milik Allah Ta’ala.

Pasal : Menyatakan asal dari pada kejadian sekalian manusia ini pada hak adanya. Maka
tatkala lagi hak itu terang tiada terhingga, terang itu hak namanya. Sudah
keluar ma’lum Allah berdiri seperti Alif jadi Gairullah namanya. Sudah keluar Sir didalam
yang seperti Alif itu Kun Hibrat namanya, sudah berkata Kun Zat namanya, maka bergaib
pada Muhammad itulah namanya, maka di dalam Muhammad itu berkata PAYAKUN,
maka jadilah Ruh sekalian manusia ini, air setitik bumi sekepal, maka nama Allah tatkala
di dalam Muhammad itu, sudah zahir kedunia bernama Muhammad Rasululah. Yaitulah
asal kejadian segala manusia ini pada hak adanya, jangan syak lagi akan perkataan ini.

Pasal : Adapun awal Muhammad itu Nurani yaitu Nyawa kepada kita. Menyatakan asal
kejadian sekalian kita ini dari pada kejadian Awal Muhammad dan akhir Muhammad dan
zahir Muhammad dan batin Muhammad, itulah asal kejadian sekalian kita ini dari pada
Hak adanya.

 Adapun akhir Muhammad itu Ruhani yaitu Hati kepada kita

 Adapun zahir Muhammad itu Insani yaitu Tubuh kepada kita

Adapun batin Muhammad itu

Rabbani yaitu Rahsia kepada kita. Adapun yang dimaksud dengan Rahsia itu yaitu
batinku itu batin engkau dan batin engkau itu yaitu melulu batinku jua. Karena Nurani itu
Esa dengan Ruhani, dan Ruhani itu esa ia dengan Insani, maka ia menjadi esa dengan
esanya. artinya Nyawa itu bertubuh kepada hati, dan hati itu betubuh kepada jasad,
maka ia esa dengan esanya, karena tiada hidup nyawa melainkan dengan hati, dan tiada
hidup hati melainkan dengan jasad. Maka hiduplah jasad hidup dengan hidupnya jua,
artinya hidupku itu ialah hidup engkau dan hidup engkau itu melulu hidupku jua. Maka
itulah asal kejadian kita ini, jangan syak lagi akan perkataan ini.

Pasal : Menyatakan sebenar-benarnya mata hati itu ialah nyawa dan nyawa itu ialah
sebenar-benarnya Allah Ta’ala, artinya Allah Ta’ala itu yang hidup senantiasa pada hati,
pada sekalian ruh dan batang tubuh. Yaitulah sebenar-benarnya mata hati yang luas
pandangan dan penglihatannya dan tahu barang sebagainya apa juapun, sehelai
rambutpun tiada kelindungan, itulah sebenar-benarnya mata hati.
Pasal : Menyatakan keadaan Nyawa kita di dalam tubuh di dalam hati sanubari yang
maha tajam, maka ia senantiasa berulang-ulang di dalam jantung. Hanya dipandangnya di
dalam alam ini, tiada ada yang maujud hanya Sanya senantiasa ia ingat akan zat-nya atau
dirinya seperti kata ALLAH, ALLAH pada Sir hatinya Yaitulah artinya diri mengenal diri.
Hal ini senantiasa diperbuatnya sampai akhir hayatnya, karena mengenal yang seperti itu
bukan kita kata dan bukan kita baca dengan lidah, hanya ingat dan tahu pada Sir hati.
Itulah artinya jalan mengenal dan ma’rifat.

Pasal : Menyatakan zikir ALLAH–ALLAH itu, yaitu zikir Sir namanya atau perbuatan


Ruhani, yaitulah hati. Bermula zikir ALLAH–ALLAH itu terlebih afdal dari pada orang
maqam syariat, karena tiada sekali-kali berdiri sifat ketuhanan pada makhluk. Karena
dipandangnya di dalam alam ini tiada ada yang maujud, hanya ia ingat akan Zat-nya
semata-mata, seperti katanya ALLAH –ALLAH pada Sir hatinya.

Pasal : Menyatakan keadaan tubuh kita didalam kubur sesudah orang yang mengantar
kekubur telah pulang, maka ada seorang yang datang kepada kita, yaitulah Ruh kita jua.
Maka ia bertanya kepada kita YA MAN HUWA artinya siapakah engkau ini, maka jawab
olehmu dengan segera dengan kata : ALLAH MUHAMMAD JASADKU : maksudnya aku jua
pang ini. Maka terus dibawa langsung kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yaitulah
yang hilang jasadnya dalam kubur, yaitulah yang hidup tiada mati jasadnya apabila sudah
diketahui ilmu ini.

Pasal : Menyatakan yang sebenar-benarnya Alif yaitu Alif Istigna namanya, yaitulah


Tuhan yang kuasa, itulah yang asyik mengasyik pandang memandang dengan nyawa,
tiada berkesudahan lagi dan nyawa tiada berkesudahan jua memandang kepada
Tuhannya. Maka disanalah ia seketika lenyap, maka ia menilik suatu yang terang yang
tiada terhingga terangnya dan kebesarannya, hening dan suci dengan kesempurnaanya.
Yaitulah keatas atau kebawah, kekanan atau kekiri atau kebelakang. Maka adalah berdiri
seperti Alif, Alif Istigna namanya, yaitulah Zatnya yang Wajibul Wujud yaitulah
Muhammad dan Muhammad itu ialah yang sebenar-benarnya Wujud Mutlaq dan Wujud
Haq.

Pasal : Menyatakan martabat yang melepaskan dari pada syirik khafi yaitulah seperti
martabat orang yang Hawasul Hawas, yang terlebih tinggi dari pada orang Muqarrabin,
yaitulah orang yang tiada ada sekali-kali melihat ada daya upaya, hanya sanya segala
perbuatan amal ibadatnya itu nikmat dari pada Allah kepada Allah, seperti firman Allah :
“Barang yang ada dengan kamu itu yaitu nikmat adalah dari pada Allah jua“.

Dan ridha segala perbuatannya kepada Allah dan kekal dengan Allah dan berserah diri
kepadanya, dan dihadirkan hati sertanya selama-lamanya dan syukur atas segala
nikmatnya, dan membaiki adab sertanya pada zahir dan batin. Inilah keramat yang besar.

Pasal : Martabat yang sampai kepada Allah untuk menjadi hamba Allah yang sebenar-
benarnya, yaitu orang yang berbuat ibadat ikhlas dirinya bagi Allah. menyatakan
martabat kita hendak sampai kepada Allah Ta’ala, ada empat martabat:
 Martabat sampai kepada Ap’al Allah Ta’ala, yaitu orang yang memandang
bahwasanya segala perbuatan itu terbit dari pada Allah Ta’ala jua dan fana perbuatan
dirinya.

 Martabat sampai kepada sifat Allah Ta’ala, yaitu orang yang memandang
bahwasanya tiada yang hidup dalam alam ini hanya Allah Ta’ala jua sendirinya.

 Martabat sampai kepada Zat Allah Ta’ala, yaitu orang yang memandang
bahwasanya tiada ada yang maujud di dalam alam ini hanya sanya Allah Ta’ala jua
sendirinya. Maka inilah martabat yang lepas dari syirik khafi.

Pasal : menyatakan martabat kita yang seperti martabat orang muntahi, yaitulah orang
yang memaandang dari pada Allah kepada Allah dan ma’na kepadanya : LA MAUJUDAN
BI HAQQI ILLAL LAH : artinya tiada ada yang maujud didalam alam ini dengan sebenar-
benarnya melainkan Allah Ta’ala jua sendirinya, maka martabat inilah yang lepas dari
syirik khafi. Adapun pada menyatakan ikhlas beramal dan beribadat seperti ikhlasnya
orang muntahi itu ialah orang yang tiada sekali-kali memandang bagi dirinya dan segala
perbuatan ibadatnya dan segala perbuatan lainnya hanya sanya dipandang fi’il kelakuan
Allah Ta’ala jua yang berlaku kepadanya Seperti derajat hakikat fana sekalian wujud yang
zahir dari pada pandangan mata hatinya. Hanya sanya yang maujud di dalam alam ini
Allah Ta’ala jua sendirinya.

Pasal : Menyatakan sembahyang orang hakikat itu, ialah orang yang Tiada sekali-kali
memandang bagi dirinya akan segala perbuatan amal ibadatnya, hanya sanya
dipandangnya fi’il kelakuan Allah Ta’ala jua yang berlaku kepada dirinya itu yang
ditakdirkan pada azali sebelum ia dijadikan. Hanya dipandang bagi dirinya itu hanya ilat
yang seperti kalam pada orang yang menyurat. Hanya dipandangnya segala perbuatan
amal ibadatnya itu MINAL LAHI BIL LAHI -LlL LAHI artinya dari pada Allah dengan Allah
bagi Allah. Itulah orang yang lepas dari pada syirik khafi, itulah sebenar-benarnya otak
sembahyang.

Pasal : Adapun Takbir itu semata-mata kelakuan Zat Allah Ta’ala lagi ia sendirinya,
ma’rifat nama lakunya. Menyatakan barang siapa hendak mengerjakan sembahyang maka
hendaklah diketahuinya lebih dahulu dari pada asal sembahyang, fardu dan sunatnya,
karena jika tidak diketahui yang demikian itu, maka sembahyangnya itu semata-mata
kelakuan ketuhanan, bukan kelakuan kita.

Adapun yang berdiri itu adalah kelakuan Ruh Idhafi.  Adapun yang ruku’ itu

adalah kelakuan Ruh Ruhani.  Adapun yang sujud itu adalah kelakuan


Ruh Jasmani.  Adapun yang duduk itu adalah kelakuan Ruh Hayawani. 

Adapun berdiri Takbir itu adalah kelakuan Zat Allah.  Adapun ruku’ itu adalah

kelakuan SiFat Allah.  Adapun sujud itu adalah kelakuan Asma Allah.

Adapun duduk itu adalah kelakuan Ap’al Allah  Adapun Ruku itu semata-mata

kelakuan Sifat Allah Ta’ala pada martabat Ta’yun Awal, hakikat’ nama lakunya. 
Adapun Sujud itu semata-mata kelakuan Asma Allah Ta’ala pada martabat Ta’yun

Syani, tarikat nama lakunya.  Adapun Duduk itu semata-mata kelakuan Ap’al Allah

Ta’ala pada martabat Ta’yun Syalasa, syariat nama lakunya.  Adapun Alif itu


menunjukkan IHRAM artinya tercengang-cengang, tiada tahu akan dirinya, hanya

semata-mata Allah Ta’ala jua.  Adapun LAM AWAL itu menunjukkan MI’RAJ artinya

lenyap tiada mempunyai laku, hanya semata-mata Allah Ta’ala jua.  Adapun LAM
AKHIR itu menunjukkan MUNAJAH artinya berkata-kata, yang berkata-kata Allahu Akbar

itu Allah Ta’ala jua.  Adapun HA itu menunjukkan TAWAKKAL artinya tiada
mempunyai wujud lagi, hanya semata-mata wujud Allah Ta’ala jua. Maka itulah
mukranahnya mengerjakan sembahyang yang lima waktu yang bernama otak
sembahyang, karena sembahyang itu kelakuan ketuhanan bukan kelakuan kita.

Pasal: 1. AI-Hajji Abdul Hasan Negara : Adapun Hayat itu ialah nyawa dan nyawa itu
ialah sebenar benarnya Muhammad, karena itu hayat itu Ruh itu Nafas Allah Ta’ala
Nyawa. Menyatakan pegangan para wali-wali Allah.

2. Al-Hajji Muhammad Arsyad AI-Banjari Dalam Pagar Martapura : Adapun yang


sebenar benarnya diri itu ialah Hayat, dan Hayat itu ialah Ruh dan Ruh itu ialah nafas, dan
nafas itu ialah Rahasia.

Pasal : Inilah jalan ringkas dimaqam Salik yaitu asal jumlah supaya lekas paham. Mula-
mula dari bawah ke atas, pertama Ruhani dan Jasmani Aradul Basyariah yaitu segala
tubuh yang kasar. Kedua A’yan Syabitah, Ruh Idhafi atau Ruhul Quddus, artinya masih
Jisim, Jisim artinya tubuh yang halus-halus, betul-betul halus, tetapi masih kasar jua,
seumpama seperti debu dicincang seribu kali cincang masih kasar jua. Karena Alam Ruh
-Alam Misyal -Alam Ajsam dan Alam lnsan belum dapat mengenal Allah Ta’ala, pasti
hancur sebagai jalan untuk Fana UI Fana dan jalan Baqa UI Baqa atau jalan Qadim bagi
Qadim baru bisa dapat jalan Ubudiyyah serta mendapat Uluhiyyah serta didapatnya
maqam Rububiyah serta didapatnya maqam Salik. karena Nur Mubasyarah
dengan Nur Mutalazimah berlazim-laziman, maka, didapatnya hak Wijdan Idrak artinya
didapat dengan pendapatannya, dirasa dengaan pengrasanya dan lemah kepada yang
lemah atau lemah dari yang lemah; Karena kita tiada merasa dan tiada mendapat
serta Judbah. Hanya ilmunya saja yang tahu sampai kepada Judbah didapatnya, yaitu
maqam Laduni atau maqam Istiqamah artinya tetap. Demikianlah jika seseorang yang
sudah dibuka sekalian pintu hijab, tiadalah susah demi pengenalannya dirinya dan
Tuhannya. Hijab itu akan terbuka karena keyakinannya dengan keikhlasan yang diridhai
oleh Allah Ta’ala demi mendapat ilmu Allah dijalan kesempurnaan bagi orang Arif Billah.
Asal wujud Adam mesti mengembalikan amanah :

“Asal dijadikan masnusia itu dari pada tanah (Adam)”.

Adapun wujud Adam dari pada Nur Muhammad. Jadi jasad dan Ruh jadi dari pada Nur
Muhammad jua. Sebenar-benarnya diri ialah Ruh. Sebenar-benarnya Ruh ialah manusia.
Sebenar-benarnya manusia ialah Muhammad. Sebenar-benarnya Muhammad ialah Nur
Allah, sebenar-benarnya Nur Allah ialah Nur Zat, sebenar-benarnya Nur Zat ialah IImu
Pengetahuan pandang Syuhud, yaitu pandang Salik kita, naik dan turun. Tatkala naik
puji HU dan tatkala turun pujinya ALLAH. Tatkala naik pujinya HU melengkapi tujuh
petala langit wujudnya LA HURFEN WA LA SYAUTEN tiada huruf tiada suara zat dirinya.
Tatkala turun pujinya ALLAH melengkapi tujuh petala bumi wujudnya, Ba Basyariah zat
dirinya. Inilah yang dinamakan maqam Salik Tarki dan Tanazzul, turun dan naik, tetap
berdiri sendirinya sampai pulang ke Rahmatullah.

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al-Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar”.

‫ َوهّٰللا ُ َيعْ لَ ُم َما َتصْ َنع ُْو َن‬  ۗ   ‫ َولَ ِذ ْك ُر هّٰللا ِ اَ ْك َب ُر‬  ۗ ‫ اِنَّ الص َّٰلو َة َت ْن ٰهى َع ِن ْال َفحْ َشٓا ِء َو ْال ُم ْن َك ِر‬   ۗ   ‫ب َواَق ِِم الص َّٰلو َة‬ َ ‫ا ُ ْت ُل َم ۤا ا ُ ْوح َِي ِالَ ْي‬
ِ ‫ك م َِن ْالك ِٰت‬
“Dan Sesungguhnya mengingat Allah (Zikrullah) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Ankabuut-45)
ْ‫ َواَق ِِم الص َّٰلو َة لِذ ِْك ِري‬   ۙ ْ‫اَ َنا َفاعْ ب ُْدنِي‬  ۤ ‫ِا َّنن ِۤيْ اَ َنا هّٰللا ُ اَل ۤ ا ِٰل َه ِااَّل‬

“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah
aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku“. (Thaahaa-14)

Seterusnya>> Zikrullah, Air Mulhayat dan Akidah


Sebelumnya<< Nama Allah Pada Tubuh Manusia
Kitab Babul Haq~Barincong-Zikrullah, Air Mulhayat
Dan Akidah
Zikrullah, Air Mulhayat Dan Akidah

____________Beberapa Bentuk Zikir

Dalam ajaran tasauf ada beberapa bentuk zikir walaupun umpamanya berlainan antara
saufi ini dan saufi itu, atau guru ini, dan guru itu, semuanya disebut zikir jua. Bagi
penelitian hamba yang daif lagi hina ini, semua bentuk zikir itu baik hanya ada beda
dalam sebutannya dan hurufnya. Tapi semua itu adalah zikir. Tetapi yang penting disini
bukan huruf dan suara akan tetapi isinya apakah zikirnya kosong atau isi, itulah yang
menjadi masaalah. Dalilnya adalah : “laya’ zikrullah ilallah“, artinya : tiada menyebut allah
hanya allah, inilah ainnya. Sekarang zikir yang handak menangkap burung seekor.
Umpamanya kita berzikir :

 Mangata : hu allah, hu allah. Itu ibaratnya burung tertangkap ekornya.


 Mengata : allahu, allahu, baru tertangkap bulunya saja.
 Mengata : allah, allah, tertangkap kakinya saja.
 Mengata : la ilalaha ilallah zatullah,  tertangkap kepala.
 Mengata : la ilaha ilallah hak, tertangkap paruhnya.
 Mengata : la ilaha ilallah nurul hak,  tertangkap dadanya.
 Mengata : lahu, lahu,  tertangkap lehernya.
 Mengata : la, la, la tertangkap sayapnya saja.
 Mengata : hu, hu, hu tertangkap suaranya saja.
 Mengata : ah, ah, ah,  tertangkap keindahannya saja.
 Akhirnya :  la hurupin wala sautin,  baru tertangkap saikungan.
 Artinya : diam

____________________ZIKKRULLAH

Apakah yang disebut dengan ZIKKRULLAH itu ?

Menurut pengertian umum memuji dan menuju dengan hati yang tulus ikhlas. Tetapi
tulus dan ikhlasnya itu berbeda dengan orang yang mengerti/yang faham. Orang yang
faham ialah, seperti dalil berbunyi :

LA YA’ZIKKRULLAH ILLALLAH, artinya : tidak menyebut Allah hanya Allah.

Adapun yang mengatakan LA ILAHA ILLALLAH itu ialah : RAHASIA ALLAH ZAHIR DAN
BATHIN, ATAU BATHIN DAN ZAHIR.

Kesimpulannya ialah : tidak lagi kita ini yang mengatakan kalimat itu,
melainkan SIRULLAH jua adanya. Dengan demikian leburlah tubuh itu dan hati itu kepada
Roh dan Roh itu hancur pula menjadi NUR, dan NUR itu lenyap pula kepada RAHASIA
ALLAH TA’ALA. Jadi yang berzikir itu adalah RAHASIA ALLAH jua. Disini letaknya nilai,
dan nilai itu terletak dalam diri pribadi masing-masing. Inilah yang disebut ISI
daripada ZIKKRULLAH itu. Berzikirlah dengan Zikkrullah, dan ingatlah dengan ingatnya
Allah dan pandanglah dengan pandangannya Allah. Dan berbuatlah dengan perbuatan
Allah, dan tinggalkanlah apa-apa yang ditinggalkan oleh Allah. Kerjakanlah apa yang
dikerjakan Allah, dan tinggalkanlah apa yang ditolak Allah.

_________INI PASAL AIR MULHAYAT

Bermula asal diri kita diambil secara ringkas.

Asal diri kita selagi belum ada apa-apa, hanya ibu dan bapak belum berkumpul menjadi
satu. Maka Allah Ta’ala memerintahkan mengambil air MULHAYAT, diarak didalam surga
atau dilangit beberapa malaikat dan jibril membawanya lalu diperintahkan dikirim kepada
Bapak kita MAKAMAL MACHMUD, namanya setelah mahaluat 7(tujuh) hari lamanya. Lalu
bapak kita menjadi satu kepada ibu, umpama besi terdampar dibatu, jatuhlah air
mulhayat dirahim ibu kita, yang dinamakan MUKTAH.

Air mani ayah berasal dari matahari, justru Putih warnanya, maka dari itu sir atau syahwat
cepat merangsang pada pihak ayah, itu dinamakan ZAT SIR RAHU, jatuh kepada ibu
seperti air hujan setitik didalam daun keladi. Maka menjadi anasar ayah aurat, tulang,
otak, sumsum. Dan pada ibu air mani tersebut dari bulan dan dinamakan MUTEPAH.
Karena itu air mulhayat ibu kuning warnanya. Sir atau syahwat ibu lambat merangsang,
namun kekuatannya air tadi sama dengan bapak, pihak ibu
dinamakan ZAT SIR JAMANINI artinya anasar ibu ; bulu, kulit, darah, dan daging. Dan
anasar MUHAMMAD ; Pendengar, Penglihatan, pencium dan pengrasa. Empat puluh hari
belum lagi terserat, tatkala delapan puluh hari didalam rahim ibu kita, waktu itu darah
haid nikah bercampur dengan air bercampur dengan air Nuktah, lalu suka makan asam-
asam ibu kita dan suka tidur, karena sudah hamil atau mengandung. Demikianlah
darahnya atau alkah sedarah namanya daging segumpal dirahim ibu kita. Tatkala seratus
dua puluh hari didalam rahim ibu maka menjadi ALIF ACHMAD pujinya, Inilah daerahnya
tatkala genap seratus empat puluh hari cukup lengkap kaki, tangan, mata, mulut, kepala,
hidung dan telinga MUHAMMAD pujinya, inilah darahnya didalam rahim ibu kita. Tatkala
cukup 9 (sembilan bulan) 9 (sembilan) hari maka firman Allah Ta’ala : LA TATTAHARAKA
ILA BI IZNILLAH dengan seizin Allah maka keluarlah anak itu demikianlah berdo’alah amin.

BEBERAPA KESIMPULAN: Asal kata mahluk diambil dari kata-kata halq. Dan kata-kata
halq itu diambil dari kata khalik. Dan kata-kata khalik itu adalah khalik. Jadi asal dari
khalik kembali lagi kepada khalik.

INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI’UN. (DATANG DARI ALLAH KEMBALI KEPADA
ALLAH).
Awalnya Allah, dan ahirnya Allah. Awalnya Tuhan, dan ahirnya Tuhan. Awalnya tidak ada
permulaannya, dan akhirnyapun tidak ada penghabisannya. Kalau ma’rifat kita
sudah ta’zmullah, yaitu : tilik seorang arif itu akan kebesaran dan kemuliaan, keagungan
sesuatu itu melainkan itu semata-mata kebesaran, kemuliaan, dan keagungan Tuhan
Allah aza wazallah jua adanya. Maka intisari daripada itu adalah : Segala mahluk itu
adalah khalik, dan khalik itu sebaliknya.

Dalilnya :

SYUHUDUL KASRAH FIL WAHDAH dan SYUHUDUL WAHDAH FIL KASRAH,


ahirnya SYUHUDUL WAHDAH FIL WAHDAH.

Demikianlah pandangan seorang arifibillah. Jadi kesimpulannya adalah :

SEMUA ITU ALLAH, dan ALLAH ITU SEMUANYA. Inilah yang disebut WAHDAH AL
UJUD : atau kesatuan UJUD. Demikianlah yang dapat hamba menyimpulkan bahwa:
ALLAH ADALAH HAKIKAT ALAM

___________KEBENARAN DALAM AJARAN TASYAUF

Untuk mengetahui kebenaran dalam ajaran tasyauf ini kita dapat merasakan sendiri,
umpamanya ; mendapat musibah, kita harus sabar dan ridha. Dan hanya sanggup tidak
berdusta lagi. Jadi dalam pandangan kita semata-mata Allah, dan dalam perasaan kita
harus kasih sayang. Dalam hidup ini kita telah mengetahui arti AGAMA.

AKIDAHKU :

Aku tidak mau taklid buta lagi, walaupun ulama memakai dalil-dalil dan nash yang hebat.
Alhamdulillah kini jiwaku tenteram dan bahagia, hidupku puas dengan nikmat Allah dan
setiap saat. Dalam soal ibadah aku, aku tidak takut sedikit amal. Perasaanku kini tak ada
lagi merasakan takut atau gentar. Aku tidak takut dengan neraka dan tidak takut siksa
dan tidak takut sedikit amal dan tidak takut dicela dan tidak takut dikapirkan makhluk,
tidak takut miskin dan tidak takut mati. Kata-kata takut itu lenyap semua dalam
perasaanku. Sebaliknya ; aku merasa senang, bahagia, kasih saying, sabar, cinta dan ridha.
Dan aku telah merasa nikmat didalam nikmat. Semua nikmat, tidak ada bala dan siksa.

Kini aku tidak minta sorga lagi. Sebab nikmat itu sorga, dan telah kurasakan didalam
dunia ini. Dunia nikmat akhiratpun nikmat. Senang nikmat susahpun nikmat. Tidak ada
yang tidak nikmat bagiku. Tak ada yang tak baik bagiku. Tak ada yang tak taat bagiku.
Semua nikmat, semua baik, semua ibadat, semua rahmat dan semua ridha bagiku. Dalam
pandanganku tak ada lagi iblis dan shaiton, manusia dan jin, malaikat dan nahi-nahi,
semua Tuhan dan Tuhan semuanya. Pendeknya serba Tuhan, tak ada selalu Tuhan.
Hanya dengan cara beginilah hamba Allah akan mencapai ketentraman jiwa dan
kebahagiaan. Dengan inilah caraku mencari kebenaran mutlak dan tidak ada yang lebih
bahagia daripada kebahagiaan seorang ahlul ma’rifat.

_____________AKIDAH / PENDIRIAN
Pendirian seorang ahlul ma’rifat ialah tak ragu akan akidahnya, dan tak pernah berubah
walaupun dikapirkan orang. Mereka rela mati daripada berubah keyakinannya, mati
adalah jalan yang terbaik dari semua jalan yang baik. Seorang ahlul ma’rifat tak pernah
luntur, walaupun dihujani dengan hujan fitnah. Kata-kata sesat dan kapir; dianggapnya
sebuah nyanyian seorang sufi yang sedang rindu kepada kekasihnya. Mereka tidak peduli
akan kata-kata huruf dan suara. Hanya yang penting baginya perasaannya kepada
Tuhannya. Apabila cintanya telah bersemi dan berupa penerimaan dari haliknya ; disinilah
nilai hidup itu. baginya tak guna hidup, tanpa nikmat (ma’rifat). Karena ma’rifat itu adalah
jiwanya iman; dan jiwanya iman adalah ichsan. Jadi jiwanya Islam adalah iman, dan
jiwanya iman adalah ichsan. Apabila jiwa-jiwa itu kosong dari ma’rifat ; samalah hidupnya
sebagai seekor binatang buas, yang rakus dan tak tahu diri. Karena akhir tujuan hidup
adalah cinta dan ridha.

Apabila cinta dan ridha telah bebas dari belenggu kemakhlukan semata. Karena dalam
jiwa yang suci, akan melahirkan perbuatan yang suci pula. Dalam jiwa yang kotor, akan
melahirkan perbuatan yang kotor pula. Tentang kata-kata suci dan kotor ini ; anda telah
ma’lum adanya. Tak usah anda pikirkan lagi. Karena bagi anda semua suci, semua halal,
semua baik. Tidak ada kejahatan didalam dunia ini. Yang jahat itu dalam artian dunia ialah
; orang yang mengaku ada punya akal sendiri. Dan perbuatan sendiri; yaitu diluar
perbuatan Allah. Itulah yang dimaksud jahat atau jahil. Tetapi bagi kita, iman dan taat
kapir da ma’siat, jahat dan baik; adalah sama, dan semuanya adalah baik. Tidak ada
perbuatan Tuhan itu yang jahat. Bila datang dari Tuhan semua baik. Jadi pendirian
seorang ahlul Haqiqat atau haqiqat semata ialah benar-benar sudah bersih dari kesirikan;
menyatakan, setiap perbuatan adalah baik, setiap gerak dan geriknya ibadat. Setiap nafas
keluar masuk; zikir. Jelasnya adalah gerak dan adalah puji (ingat).

Pohon dari ingat ini adalah ; Esa/satu (bersatu dalam rahasia). Apabila sudah benar-benar
satu dengan seluruh alam dan Tuhan ; itulah kesatuan ujud namanya. Sahdatul ujud
artinya ; semua itu Allah dan Allah. Kalau sudah begini, inilah yang disebut Tuhan yang
maha Esa. Yang maha sempurna. Kalau sudah begini katakanlah apa yang kau semuanya
baik, sempurnanya ibadah dan semuanya ibadat yang sempurna. Karena pokok
pangkalnya segala kejadian, segala kehidupan dan segala perbuatan telah kita ketahui
seluruhnya. Maka dari itu janganlah kita ada perasaan syak dan ragu lagi. Tidak ada yang
perlu ditakuti. Jangan takut kepada Tuhan, karena Tuhan bukan hantu bukan iblis dan
bukan jin dan bukan malaikat semuanya bukan dan bukan.

Adakah orang takut dengan dirinya sendiri?

Adakah orang benci kepada dirinya sendiri?

Dan adakah orang menyiksa dirinya sendiri?

Adakah orang memerintah dirinya sendiri?

Adakah orang menyakiti kepada dirinya sendiri?

Jawabnya :

Yang ada hanya memuji dirinya sendiri, Mencintai dirinya sendiri, Merasa sendiri dan
berbuat sendiri.

Tidak ada yang diperintah dan yang diperintah,

Tidak ada yang disakiti dan yang menyakiti,

Tegasnya karena CINTA Yang ada hanya memuji dirinya sendiri, merasa sendiri dan
berbuat sendiri.

Semua orang merasa benar, mengaku baik dan mulia. Hamper semua orang merasa
dirinya tidak bersalah, tidak berdosa, tidak tercela.

Semua orang mengaku baik dan mulia dan sebagainya.

Hampir semua orang merasa dirinya tidak bersalah, tidak berdosa, tidak bersalah.

Fahamilah kata-kataku ini. Kalau percaya ambil, kalau ragu buang jauh-jauh. Tidak ada
paksaan dalam agama Allah, pilihlah sendiri saja

Kitab Ad-Durrun Nafis (Permata Yang Indah) Karya Syekh Nafis


Al-Banjari
10 Kitab Ad-Durrun Nafis August 11, 2015
Kitab Ad-Durrun Nafis (Permata Yang Indah) adalah salah satu kitab terbaik yang pernah ditulis oleh ulama Banjar.

Kitab berisi ajaran Ilmu Ketuhanan (tasawwuf) ini disusun oleh Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-

Banjari.

Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari mengarang kitab ini di Mekkah dalam bahasa Melayu, tahun 1200 Hijriah

(1785/1786 Masehi).

Naskah Durrun Nafis (Permata yang Indah) yang dalam bahasa Melayu kemudian diterjemahkan oleh ulama Banjar

lainnya, KH Haderanie HN, ke dalam bahasa Indonesia, dan diberi catatan serta penjelasan sehingga lebih mudah

dipahami.

Permata Yang Indah tampaknya beredar dan menjadi rujukan kajian di kalangan ulama-ulama Banjar yang pernah

bermukim di Mekah. Tak heran jika, KH Haderanie HN dalam kata pengantar terjemahannya, mengungkapkan,

seorang ulama terkenal Syekh Abdurahman Shiddiq di Sapat/Tambilahan, salah seorang ulama keturunan Syekh

Muhammad Arsyad Al-Banjari, telah menyusun sebuah risalah yang bernama Amal Ma’rifat yang hampir serupa isi,

bahasa dan sebagian susunan kalimatnya.


Sebagai jaminan terhadap kepiawaian dan luasnya pengetahuan dari sang penyusun Durrun Nafis, ungkap KH

Haderanie HN, dapat dilihat pada bagian terakhir dari tulisan Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari, yang berbunyi:

“Banjarmasin tempat lahirnya, Mekkah tempat tinggalnya, Syafi’ie mazhabnya, Asy’arie iktikadnya, Junaidi ikutannya,

Qadriyah Thoriqatnya, Syathoriyah pakainnya, Naqsyabandiyah amalannya, Khalwatiyah makanannya, Samaniyah

minumannya.”

Durrun Nafis memuat konsep dan paham-paham rumit dalam Ilmu Ketuhanan seperti Tauhid Af’al (Keesaan

Perbuatan), Tauhid Asma (Keesaan Nama Allah SWT), Tauhid Sifat (Keesaan Sifat-sifat), Tauhid Zat (Keesaan Zat)

dan Martabat Tujuh.

Mengenal Syekh Muhammad Nafis Bin Idris Al Banjari

Siapa yang tak mengenal Syekh Muhammad Nafis bin Idris Al Banjari, Ulama yang wafat pada tahun 1781 dan

dikenal dunia lewat kitab Tasawwuf Ad-Durun Nafis dan karangannya tersebut terus dicetak dan dipelajari disejumlah

negara seperti Makkah (Arab Saudi), Kairo (Mesir), Malaysia, Brunai, Singapura dan berbagai percetakan di

Nusantara.

Nama besarnya juga bisa dibuktikan dengan hadirnya ribuan jamaah baik dari Kalimantan maupun dari luar pulau

bahkan dari mancanegara yang memadati makamnya di Desa Binturu Kecamatan Kelua dalam memperingati acara

tahunan haulan Syekh Nafis.

Syekh Nafis lahir sekitar tahun 1148 H/ 1735 M di Martapura Kabupaten Banjar. Sebagaimana data silsilah garis

keturunan yang bersambung dengan Sultan Suriansyah, maka Syekh Nafis terlahir sebagai keluarga bangsawan dari

Kesultanan Banjar.

Meski tidak ada catatan pasti tahun beliau pergi menuntut ilmu ke Islaman ke Mekkah dan Madinah, namun dari

daftar nama-nama guru yang pernah mengajari Syekh Nafis, diantaranya Syekh Muhammad bin Abdul Karim As
Sammani Al Madani, maka kemungkinan besar Syekh Nafis sewaktu menuntut Ilmu di Haramain, satu masa dengan

Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary (Pengarang kitab Sabilal Muhtadin) dan para Ulama Jawi (Indonesia / Asia

Tenggara) abad 17 dan ke 18, diantaranya Syekh Abdus Shamad Al Falimbani.

Dalam sejarah Islam di Hulu Sungai, pada abad ke 19 Masehi, oleh Kesultanan Banjar, lokasi daerah Kelua

(Tabalong) ditetapkan sebagai tempat untuk penyebaran Islam, karena wilayah Kelua berbatasan langsung dengan

daerah Kaltim dan Kalteng. Maka Syekh Nafis turut berhijrah dan menetap di Kelua sebagai tempat untuk

menyebarkan Agama Islam, juga sebagai wujud ketidaksenangan beliau kepada penjajah Belanda yang kala itu mulai

menguasai Keraton Kesultanan Banjar.

Karena kepiawaiannya dalam Ilmu Tasawwuf, atau ilmu yang paling ditakuti oleh Penjajah Belanda, dan sangat

berpengaruh dalam hal semangat jihad di tengah masyarakat, maka Ulama sekaligus pujangga Islam kelahiran

Tanah Banjar dalam hidupnya sempat mengarang dua buah Kitab, yakni Kanzus Sa’dah dan Ad Durrun Nafis.

Kitab Ad Durrun Nafis Sempat Dipropoganda Belanda

Kitab Ad Durrun Nafis yang dikarang sang Pujangga Islam, sekaligus Ulama Sufi kelahiran tanah Banjar yang

bermakam di Bumi Sarabakawa atau tepatnya di Desa Binturu Kecamatan Kelua, yakni Syekh Muhammad Nafis bin

Idris Al Banjari memang masih jadi kontroversi dikalangan Ulama Ahlussunnah. Karena dianggap sebagai kitab yang

padat dan kadang-kadang pelik dan sulit dalam Ilmu Tauhid Ahlussunnah wal Jamaah yang teranyam dengan Ilmu

Tasawwuf.

Dari data yang didapat, di Kalimantan Selatan khususnya Tabalong, terdapat tiga kelompok bersikap pro dan kontra

dalam menerima, mempelajari dan menolak ajaran yang termuat di kitab yang sangat kental nuansa Tasawwuf

tersebut.
Pertama, kelompok yang berpendapat setiap orang mukmin boleh mempelajari dan membacanya, karena kitab Ad

Durrun Nafis mempunyai kedudukan sama dengan kitab Tasawwuf pada umumnya. Sesuai ajaran Islam, maka

jangan dirahasiakan apalagi sampai melarang.

Lalu pendapat kedua, yakni kelompok yang menganggap Kitab Ad Durrun Nafis tidak sejalan dengan dengan ajaran

mazhab Ahlussunnah Wal Jamaah, dan tidak boleh diajarkan, karena dianggap banyak mengandung kesalahan, serta

dianggap mengandung paham Jabariah, Wahdatul Wujud, Hulul dan Filsafat yang sesat. Selain itu banyak ditemukan

Ta’arudh (kontradiksi) dan Khatha (kesalahan) yang tidak dapat dita’wilkan.

Dan kelompok ketiga berpendapat ajaran dikitab tersebut diperbolehkan, namun hanya untuk kalangan orang

tertentu saja atau mereka yang memenuhi syarat saja yang boleh mempelajari dan membacanya. Yaitu sesuai

dengan apa yang dikatakan oleh pengarang (Syekh Nafis) dalam kitabnya “Bahwa hanya Ulama yang tinggi ilmu

pengetahuan agamanya sajalah yang dapat memahami isi dan materi kitab tersebut, maka isi kitab itu tidak boleh

diajarkan kepada sembarang orang atau tidak kuat landasan ilmu agama serta keimanan,”.

Nah, terlepas dari kontek tiga pendapat kelompok tersebut, ternyata dalam beberapa kutipan manakib atau biografi

Syekh Nafis juga disebutkan bahwa Kitab Ad Durrun Nafis pada jaman penjajahan sempat dipropoganda

pengharaman oleh pihak Belanda dengan menggaet beberapa Ulama yang tidak sepaham dengan ajaran kitab

tersebut, sehingga diaturlah fatwa Ulama yang melarang membaca kitab tersebut.

Pendapat bijaksana juga turut dilontarkan salah seorang Ulama Kalsel yang termuat dalam kutipan kata sambutan

Alm KH Idham Chalid pada buku Permata Yang Indah (Kitab Ad Durrun Nafis yang di Bahasa Indonesiakan) oleh KH

Haderanie. KH Idham Chalid menganggap bahwa kitab yang dikarang oleh Syekh Nafis pada tahun 1200 H di

Mekkah Almukarramah tersebut, yakni selain memang berharga sebagai tambahan pembendaharaan Ilmu dalam

bahasa Indonesia. ”Juga berarti melestarikan karya Pujangga Islam Indonesia yang telah beratus tahun mendahului

kita,” kata Alm KH Idham Chalid .


**
Situs Pertabatan Brawijaya V (Ratu
Kembar) / Raden Suputra / Raden
Putra / Harya Baribin di Suratrunan –
Alian, Kebumen
Ananda. R 21 April 2014 Situs Pertabatan Brawijaya V (Ratu Kembar) / Raden Suputra / Raden Putra / Harya Baribin di
Suratrunan – Alian, Kebumen2014-05-07T18:51:18+07:00Sejarah 36 Comments

Situs Pertabatan Brawijaya V (Ratu Kembar) di desa


Suratrunan – Alian, Kebumen

Situs Pertabatan Brawijaya V (Ratu Kembar) adalah tempat bertapabratanya Brawijaya V (Ratu


Kembar). Situs ini terletak di Gunung Koembang yang oleh masyarakat setempat disebut dengan
Gunung Puyuh desa Suratrunan kecamatan Alian kabupaten Kebumen (nama baru dari Panjer yang
sebelumnya merupakan sebuah Nagara pada masa Majapahit).
 

 Silsilah Raden Suputra/Raden Putra/ Harya Baribin


Sesuai dengan Serat Sarasilah Mataram dan Buku Ringkasan Babad Tanah Jawi diketahui bahwa
Raden Suputra/Raden Putra/Harya Baribin adalah putra ke 5 dari Prabu Brawijaya IV (Bra Tanjung)
dengan isteri Putri Pajang.
 

 Perjalanan Brawijaya V (Ratu Kembar) ke Negara Panjer

Peta Panjer Kini Menjadi Kebumen (lingkaran


merah); Peta Raffles 1817

Kisah perjalanan Brawijaya V (Ratu Kembar) ke Negara Panjer dituliskan dalam “Tijdschrift Voor
Indishche Taal – Land – En Volkenkunde”
Inti terjemahannya sebagai berikut :

Dikarenakan tidak diperbolehkan adanya tahta kembar (setelah wafatnya Brawijaya IV/ Bra Tanjung)
Raden Putra yang merupakan adik dari Raden Alit/ Angkawijaya/ Brawijaya V) akhirnya
meninggalkan kerajaan Majapahit dengan ikhlas. Mengikuti saran dari Gajahmada, Raden Putra pun
pergi ke arah barat di Negara Panjer untuk menjalani takdir besarnya. Dalam perjalanan, ia bertapa di
beberapa tempat guna memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Salah satu tempat pertapaannya
adalah di Gunung Koembang yang oleh masyarakat setempat kini lebih dikenal dengan nama
Gunung Puyuh di desa Suratrunan Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen. Dalam pertapaannya di
Gunung Koembang (tempat tersebut merupakan situs kuno yang telah ada jauh sebelum kedatangan
Raden Putra “dimungkinkan dahulunya merupakan Punden Berundak”) Raden Putra mendapat
petunjuk untuk meneruskan perjalanan menuju ke Kaleng (kini masuk wilayah Kecamatan Puring).

 
Gunung Pager Dandang – Wagir Geong (Gunung
Kenap Karangkembang) dan Gunung Koembang, 1857

Perjalanan dari Gunung Koembang akhirnya sampai ke daerah Kaleng. Dikisahkan bahwa Raden
Putra kemudian beristirahat di bawah pohon Gendayakan. Tubuh Raja Pandita yang tengah keletihan
ini ternyata memancarkan sinar yang amat terang dan terlihat oleh Ki Ageng Kaleng. Tokoh
pemimpin dari wilayah Kaleng itu pun segera tahu bahwa orang yang berada di bawah pohon
Gendayakan tersebut adalah seorang yang linuwih. Ia segera menghampiri dan setelah menanyakan
nama dan asal usulnya, Raden Putra pun diajak ke rumahnya. Setelah beristirahat di Kaleng, Raden
Putra diajak Ki Ageng Kaleng ke rumah Kyai Ayah yang pada saat itu sedang mengadakan sebuah
pesta.

Dari Ayah, Raden Putra diantar oleh Kyai Ayah menuju kediaman Buyut Kejawar di Kejawar,
sedangkan Ki Ageng Kaleng kembali ke kediamannya. Dari Kejawar Raden Putra diantar oleh Ki
Buyut Kejawar menuju ke Pasir Luhur. Setelah menetap selama lima bulan di Pasir Luhur, Raden
Putra meneruskan perjalanan menuju Pajajaran.

Di Pajajaran, Ia kemudian menikah dengan salah satu cucu Raja Pajajaran dan dianugerahi empat
orang anak yakni:
1. Raden Kaduhu (Adipati Margautama)

2. Raden Banyak Sasra/Catra (Pasir Luhur)

3. Raden Banyak Kumara (Adipati Kaleng)

4. Rara Ngaisah (Nyai Mranggi Kejawar)

Singkat cerita, dari Pajajaran Raden Putra kemudian kembali ke timur dan menghabiskan masa
hidupnya menjadi seorang Pandita di Gunung Grenggeng yang hingga kini dikenal oleh masyarakat
setempat sebagai Syekh Baribin.

Gunung Grenggeng – Karanganyar Kebumen, 1857

 Perubahan Negara Panjer menjadi Kadipaten


Masih dalam buku yang sama “Tijdschrift Voor Indishche Taal – Land – En
Volkenkunde” disebutkan bahwa :
Ketika Majapahit digantikan oleh Sultan dari Demak yang didukung oleh para Wali, Adipati
Margahutama dan Ki Boewara pergi ke Demak untuk menganut Islam. Ki Boewara belajar Islam di
Masjid Demak hingga waktu yang lama, sedangkan Adipati Margahutama pulang kembali ke
Wirasaba. Kuwu (Yang Mulia) Panjer berubah gelarnya menjadi Adipati Panjer di bawah kekuasaan
Demak setelah ia menyetujui Islam masuk di Negara Panjer. Sejak saat itu paham Islam pun dipeluk
oleh semua rakyat, baik tua – muda, laki – laki – perempuan di kedua negara, yakni Panjer dan
Wirasaba. Negara Panjer kemudian berubah menjadi Kadipaten Panjer.
 

Makam Kuwu Panjer bersebelahan dengan Pamoksan Gajahmada berada dalam kompleks bekas NV.
Oliefabrieken Insulinde Keboemen/ Mexolie/ Sarinabati Panjer – Kebumen (dibangun tahun 1851).
Tempat tersebut merupakan Kraton dari Negara/ Kadipaten Panjer yang pada tahun 1832 berhasil
dibumihangus oleh Belanda.
 

 Perjalanan Raden Jaka Lancing di Negara Panjer


Sesuai dengan Serat Sarasilah Mataram R. Jaka Lancing/ R. Banyakpatra/ Arya Surengbala/ Panembahan
Maduretna adalah putra ke 50 dari Brawijaya V (R. Angkawijaya/ R. Alit; kakak dari Raden Putra). Oleh
ayahnya (Brawijaya V/ Raja Majapahit VII) Jaka Lancing diserahkan kepada Kyai Aden Gesikan Tanah
Panjer untuk dididik ilmu ruhani. Setelah dirasa cukup menimba ilmu Kyai Aden, Jaka Lancing kemudian
bertapa di Gunung Pager Dandang – Wagir Geong tanah Panjer (kini disebut oleh masyarakat setempat
sebagai Gunung Kenap Karangkembang: tempat tersebut merupakan situs kuno yang telah ada jauh
sebelum kedatangan Jaka Lancing “dimungkinkan dahulunya merupakan situs candi dari batuan
gamping dimana memiliki kesamaan struktur dengan lokasi situs Sigedong yang berada di desa Candi
kecamatan Karanganyar kabupaten Kebumen”). Dari Gunung Kenap, sesuai dengan petunjuk yang
diperoleh dalam pertapaannya maka Jaka Lancing meneruskan perjalanannya ke Mirit dan menjadi
Pandita hingga wafatnya. Kini Jaka Lancing lebih dikenal sebagai Mbah Lancing.

SILSILAH BRAWIJAYA V (RATU KEMBAR)


 

RADEN SUSURUH (PRABU BRAWANA)


RAJA MAJAPAHIT I
!
!
RADEN JAKA MANGURI (PRABU BRAKUMARA)
RAJA MAJAPAHIT II
!
!
RADEN ADANINGKUNG/ARYA ADIWIJAYA
(RAJA MAJAPAHIT III / BRAWIJAYA I)
!
!
RADEN HAYAM WURUK / ARYA PARTAWIJAYA
RAJA MAJAPAHIT IV / BRAWIJAYA II
!
!
RADEN PUTRA / ARYA MARTAWIJAYA / LEMBU AMISANI
RAJA MAJAPAHIT V / BRAWIJAYA III
!
!
RADEN SEWAYA / MERTAWIJAYA / BRA TANJUNG
RAJA MAJAPAHIT VI / BRAWIJAYA IV

 
ISTERI :

DEWI TAMPEN             1) RADEN ALIT / ARYA ANGKAWIJAYA/RAJA MAJAPAHIT VII / BRAWIJAYA V

DEWI MANDHAKINI   2) RETNA BUKASRI

DEWI TAMPEN              3) RETNA MUNDRI

PANGREMBE/SELIR   4) RETNA PALUPI

PUTERI PAJANG          5) RADEN SUPUTRA/PUTRA/HARYA BARIBIN/RAJA BRAWIJAYA


V/RATU PANDITA
PANGREMBE/SELIR    6) RADEN PAMEKAS/NARAWANGSA/PANGERAN KANDHURUWAN
**
**
Panembahan Kulon / Sunan Kulon / Sunan Ali
Sumodiro
Also Known As: "deceased"

Birthdate: estimated between 1447 and 1507 

Death:

Immediate Family: Son of Sunan Giri @ Maulana Ainul Yakin @


Radin Paku and Syarifah Dewi Murtasiyah
Asyiqah
Father of Pangeran Ujung Pangkah / Ki Bimotjili
[Bintang..ke Joko Tingkir] and Nyai Gede
Kedaton
Brother of Sunan Waruju; Ratu Gede
Kukusan; Sunan Tegalwangi; Ratu Gede
Saworasa .; Nyai Ageng Seluluhur and 17
others
Half brother of Pangeran Wiro Kesumo Cirebon
Ali Kusumowiro/Muhammad Ali Nurdin/Sunan
Sedo Ing Margi; Ki saba/ Ki ageng Selomerto
Raden kendur/Syekh Abdullah Raden
kendur/Syekh Abdullah; Pangeran
Pasirbata; Siti Rohbayat; Putri Ragil and 1 other

**

Nyai Gede Kedaton


Death:

Immediate Family: Daughter of Panembahan Kulon / Sunan Kulon

/Sunan Ali Sumodiro


Wife of Sayyid Muhammad Khathib (Raden
Bandardayo)
Mother of Kiyai Ali Zainal Abidin (Sunan
Cendana)
Sister of Pangeran Ujung Pangkah / Ki Bimotjili
[Bintang..ke Joko Tingkir]

Managed by: Ari Harmedi Memed

Last Updated: September 15, 2018

**

Nyai Gede Kedaton


Death:

Immediate Family: Daughter of Panembahan Kulon / Sunan Kulon /


Sunan Ali Sumodiro
Wife of Sayyid Muhammad Khathib (Raden
Bandardayo)
Mother of Kiyai Ali Zainal Abidin (Sunan
Cendana)
Sister of Pangeran Ujung Pangkah / Ki Bimotjili
[Bintang..ke Joko Tingkir]

***

Kiyai Ali Zainal Abidin (Sunan Cendana)


Death:

Immediate Family: Son of Sayyid Muhammad Khathib (Raden


Bandardayo) and Nyai Gede Kedaton
Father of Kiyai Khathib (Hakimuddin Teja) and
Private

Managed by: Kiyai Ali Badri

Last Updated: December 5, 2016

**

Kiyai Khathib (Hakimuddin Teja)


Death:

Immediate Family: Son of Kiyai Ali Zainal Abidin (Sunan Cendana)


Father of Kiyai Kaful (Raden Aji Gunung)
Brother of Private

Managed by: Kiyai Ali Badri

Last Updated: February 28, 2015

View Complete Profile

PUTRA-PUTRI PANEMBAHAN KULON/ SUNAN KULON


**

BIN KANJENG SUNAN GIRI:


*PUTRA-PUTRI PANEMBAHAN KULON/ SUNAN KULON BIN KANJENG SUNAN GIRI:*
=====================
*PUTRA-PUTRI PANEMBAHAN KULON/ SUNAN KULON,*
yang menikah dengan 3 (Istri) adalah sebagai berikut:

 *Dari istri pertama*,  Mempunyai putra puti:


1)      Zainal Abidin /Pangeran pakebunan Khotib Mantoh, menantu Panembahan lemah Duwur,
makam di Madegan Sampang;
2)      Nyai Fatimah Gede Kedaton;
3)      Nyai Robiatul Adawiyah Gede kentil/ Kettel;
4)      Nyai Ratu Gede Mataram;

*Dari istri kedua,* panembahan kulon mempunyai putra putri :


5)      Pangeran Kebak;
6)      Pangeran Dukat;
7)      Pangeran Wiroadi/Wuryadi;
*Dari istri yang ke tiga*, panembahan kulon mempunyai putra putri :
8)      Pangeran Jaladasi;
9)      Nyai Gede Sewitabaya;
10)  Pangeran Barongsi;
11)  Pangeran Wirosobo;
12)  Pangeran Waruju;

*****************************

https://mamira.id/sepenggal-kisah-agung-sudagar-batu-nisan-dan-perjalanan-1/
Drama Dibalik Pernikahan Nyai Dewi
Asri, Nenek Bindara Saot

ByRedaksi Mamira
10 November 2021
0

Ket.Foto: Asta Nyai Dewi Asri yang terletak di Kompleks Asta Batuampar, Desa
Batuampar, Kecamatan Guluk-guluk. (Mamira.ID)

Mamira.ID – Sosok Nyai Asri atau Dewi Asri mungkin tidak banyak diperbincangkan 
dalam lembaran sejarah Sumenep. Beliau adalah perempuan salihah yang melahirkan
tokoh-tokoh agung sekaligus penguasa di negeri tersebut.
Nyai Asri merupakan putri Kiai Abdullah alias Kiai Sendir III, Desa Sendir, Kecamatan
Lenteng, Kabupaten Sumenep, atau adik kandung Kiai Abdurrahman Raba, Pademawu,
Kabupaten Pamekasan.

“Nyai Asri merupakan istri dari Kiai Abdul Qidam. Menurut para sepuh Sumenep, sang
suami dari Nyai Dewi Asri itu pernah menetap di Kampung Raba dalam rangka berguru
kepada Kiai Agung Raba. Nyai Asri sendiri menurunkan Kiai Abdullah Batuampar alias
Bindara Bungso,”  terang R.B. Nurul Hidayat, salah satu pemerhati sejarah Sumenep.

Seperti diketahui, Kiai Abdullah atau Bindara Bungso memiliki beberapa orang putra,
salah satunya ialah Bindara Saot, tokoh legendaris keraton Sumenep di abad 18, sekaligus
pembuka dinasti terakhir.

Dikisahkan suatu ketika, Nyai Asri hendak ditunangkan dengan seorang dari kalangan
bangsawan, dan ibunda beliau di Sendir sudah menyetujui pertunangan itu. Mendengar
kabar tersebut, Kiai Abdurrahman Raba merasa keberatan.

Maka, Kiai Agung Raba bermaksud menjemput Nyai Asri di kediamannya, yakni Desa
Sendir. Sang Kiai pun mengutus salah seorang santrinya untuk mengabarkan maksud dan
tujuannya. Mendengar Kiai Agung Raba akan datang menjemput adik kandungnya,
dengan spontan Nyai Sepuh memerintahkan kepada sanak keluarganya untuk menjaga
Nyai Asri.

Waktu pun berlalu, berangkatlah Kiai Agung Raba ke tanah kelahirannya di Desa Sendir
untuk menjemput Nyai Asri. Dengan karamah dan kewalian sang Kiai, para penjaga itu
dibuat tertidur, sehingga Kiai Agung Raba dengan leluasa mengajak Nyai Asri untuk
dibawa ke tanah Raba, Pademawu, Pamekasan.

“Setelah Kiai Agung Raba berhasil membawa adik kandungnya dari Sendir, semua
penjaga dan Nyai Sepuh pun terbangun dan terkejut, karena Nyai Asri telah hilang entah
ke mana,” terang Nurul Hidayat.

Sesampainya di Raba, Nyai Asri dinikahkan dengan Kiai Abdul Qidam, putra dari salah
satu ulama masyhur di tanah Parongpong. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada
ibundanya, Kiai Agung Raba mengutus salah seorang santrinya untuk mengabarkan
pernikahan itu kepada ibunda dan sanak keluarganya di Sendir. Akhirnya, Nyai Sepuh
memaklumi sikap Kiai Abdurrahman alias Kiai Agung Raba.

Tindakan Kiai Agung Raba, seakan menjadi sebuah isyarat langit, bahwa kelak yang
akan mengganti kedudukannya adalah keturunan dari Nyai Dewi Asri. Terbukti,
keturunan dari Nyai Dewi Asri dan Kiai Abdul Qidam lah yang menjadi orang-orang
mulia, ulama, sekaligus umara yang banyak menyebar di bumi Sumenep dan Kota
Gerbang Salam, Pamekasan.

“Setelah cukup lanjut usia, Nyai Asri pun wafat, beliau dimakamkan di kompleks Asta
Batuampar, Kecamatan Guluk-guluk, Sumenep. Posisi maqbarah beliau berada di
samping barat asta Kiai Abdullah alias Bindara Bungso, pusaranya tampak selalu
terbungkus kain sebagai penanda kesucian dan keagungan perempuan berdarah Sendir
tersebut,” pungkas Nurul Hidayat

https://mamira.id/ibunda-sang-nata-leluhur-penguasa-keraton-sumenep-dinasti-terakhir/

Nyai Nurima: Ibunda Sang Nata,


*****

Leluhur Penguasa Keraton Sumenep


Dinasti Terakhir

ByRedaksi Mamira
5 November 2021
0
Ket.Foto: Asta Nyai Nurima yang terletak di kompleks Asta Batuampar, Desa
Batuampar, Kecamatan Guluk-guluk, Sumenep. (Mamira.ID)

Mamira.ID – Sumenep merupakan salah satu kabupaten di ujung timur Pulau Madura
yang kaya akan destinasi wisatanya, baik wisata alam, wisata bahari, maupun wisata
religi. Salah satunya wisata religi yang terletak di ujung barat Kota Keris, yakni Asta
Batuampar. Asta yang tidak pernah sepi dari peziarah ini terletak di Desa Batuampar,
Kecamatan Guluk-Guluk. Asta ini merupakan leluhur para penguasa Sumenep dinasti
terakhir yang pasareannya berada di Asta Tinggi, Sumenep.

Kompleks Asta Batuampar  merupakan pasarean keluarga besar Kiai Agung Abdullah
alias Bindara Bungso bersama anak keturunannya. Di area asta ini juga terdapat pasarean
salah satu istri dari Bindara Bungso, yakni Nyai Nurima.

Dalam Babab Sumenep, karya Raden Musa’ied Werdisastra, disebutkan bahwasanya Kiai


Abdullah alias Bindara Bungso menikahi perempuan salihah berdarah Parongpong,
Sumenep. Ia merupakan salah satu putri dari pasangan Kiai Khatib Bangil dengan Nyai
Salama. Perempuan salihah itu bernama Nyai Nurima.

“Nyai Nurima adalah saudari kandung dari Nyai Galu Parongpong dan Kiai Faqih
Lembung, Lenteng, Sumenep. Kiai Faqih merupakan paman sekaligus ayah angkat dari
Kangjeng Tumenggung Tirtanegara Bindara Saot, Penguasa atau Raja Sumenep yang
bertahta mulai tahun 1750-1762 Masehi,” terang R.B. Nurul Hidayat, salah satu
pemerhati sejarah Sumenep.
Dalam catatan keluarga besar keraton Sumenep, Nyai Nurima tercatat sebagai ibunda
Bindara Saot, Penguasa Sumenep yang masyhur menjadi raja sampai tujuh turunan.
Beliau menikah dengan Kiai Abdullah Batuampar, dan memiliki keturunan, di antaranya
adalah Bindara Saot, Nyai Dewi Hamilah alias Nyai Talaga, dan Nyai Kadungdung,
Pamekasan.

Nyai Nurima dikenal sebagai  perempuan salihah dan ahlul ibadah. Saat Bindara Saot
dalam kandungan, beliau selalu mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Sampai suatu
ketika, saat Nyai Nurima sedang melaksanakan salat, tiba-tiba datanglah sang suami
sambil mengucapkan salam. “Assalamualaikum,” dawuh Kiai Abdullah di luar pintu.
Lalu, bayi yang di dalam kandungan menjawab: “Wa’alaikumsalam, Ya Abi, umi masih
salat”. Dari peristiwa itulah, bayi tersebut saat lahir diberi nama Bindara Saot, dari asal
kata ‘nyaot’ atau menyahut.

“Setelah lanjut usia, Nyai Nurima wafat dan beliau dikebumikan di kompleks Asta
Batuampar, Kecamatan Guluk-guluk, Sumenep. Asta beliau berada di samping Asta Kiai
Agung Abdullah. Nisannya selalu terbungkus kain sebagai bentuk penghormatan serta
kepedulian pada perempuan salihah berdarah Parongpong itu. Jiratnya menyerupai
pasarean sang suami. Hanya saja, lebih rendah ukurannya,” pungkas Nurul Hidayat.

********************************************

Anda mungkin juga menyukai