Anda di halaman 1dari 55

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Judul
1. Pondok pesantren
1) Dhofier (1994: 84) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah
lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan
pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
2) Nasir (2005: 80) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah
lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta
mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam.
3) Team Penulis Departemen Agama (2003: 3) dalam buku Pola
Pembelajaran Pesantren mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah
pendidikan dan pengajaran Islam di mana di dalamnya terjadi interaksi
24 antara kiai dan ustdaz sebagai guru dan para santri sebagai murid
dengan mengambil tempat di masjid atau di halaman-halaman asrama
(pondok) untuk mengkaji dan membahas buku-buku teks keagamaan
karya ulama masa lalu. Dengan demikian, unsur terpenting bagi
pesantren adalah adanya kiai, para santri, masjid, tempat tinggal
(pondok) serta buku-buku (kitab kuning).
2. Tahfidz Al-Qur’an
Tahfidz Al-Quran terdiri dari dua suku kata, yaitu Tahfidz dan Al-
Qur an, yang mana keduanya mempunyai arti yang berbeda.
a. Tahfidz,
1) Tahfidz berarti menghafal, menghafal dari kata dasar hafal yang dari
bahasa arab hafidza - yahfadzu - hifdzan, yaitu lawan dari lupa, yaitu
selalu ingat dan sedikit lupa.
2) Abdul Aziz Abdul Rauf (2004 : 49), definisi menghafal adalah proses
mengulang sesuatu baik dengan membaca atau mendengar. Pekerjaan
apapun jika sering diulang, pasti menjadi hafal.

6
b. Al-Quran
1) Muhammad A. Summa (1997), Al-Qur’an adalah kitab suci ini
memuat aturan-aturan yang sangat jelas tentang kehidupan manusia,
baik dari segi lahiriyah maupun batiniyah.
2) ‘Abd al-Wahab al-Khallaf (1972 : 30), secara terminologi al-Qur’an
adalah firman Allah yang diturunkan melalaui Jibril kepada Nabi
Muhammad Saw dengan bahasa Arab, isinya dijamin kebenarannya
dan sebagai hujjah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh
manusia dan petunjuk dalam beribadah serta dipandang ibadah dalam
membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang dimulai dengan
surat al-Fa>tihah dan diakhiri dengan al-Na>s, yang diriwayatkan
kepada kita dengan jalan mutawatir.
3. Arsitektur Islam
1) Arsitektur Islam adalah sebuah karya seni bangunan yang terpancar dari
aspek fisik dan metafisik bangunan melalui konsep pemikiran islam yang
bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Keluarga Nabi, Sahabat, para
Ulama maupun cendikiawan muslim (Wikipedia).
2) Arsitektur Islam adalah cara membangun yang Islami sebagaimana
ditentukan oleh hukum syariah, tanpa batasan terhadap tempat dan fungsi
bangunan, namun lebih kepada karakter Islaminya dalam hubungannya
dengan desain bentuk dan dekorasi. Definisi ini adalah suatu definisi
yang meliputi semua jenis bangunan, bukan hanya monumen ataupun
bangunan religius (Saoud, 2002: 2).

Dari pemaparan pengertian judul di atas dapat disimpulkan pengertian dari


judul tugas akhir Perencanaan Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Dengan
Pendekatan Arsitektur Islam Di Kota Kendari adalah suatu wadah yang akan
dihuni oleh para pelajar yang hendak mempelajari dan mengembangkan
pemahaman terhadap kitab suci Al-Qur’an yang dalam perancangannya
menerapkan nilai-nilai arsitektur Islam.

7
B. Teori Pendukung Judul
1. Pondok pesantren
a. Cikal-bakal Lahirnya Pesantren
Menurut KH. Muchit Muzadi dalam bukunya Mengenal Nahdlatul
Ulama bahwa lahirnya pesantren merupakan sebuah keniscayaan dari
penyebaran Islam di Nusantara ini. Setelah para penyebar Islam yang
kemudian disebut Muballig itu berhasil meng-Islam-kan sebagian
masyrakat, maka selanjutnya mereka pempersiapkan kader untuk menjutkan
perjuangan mereka dalam menyebarkan agama Islam. Para kader itu dibina
secara khusus. Mereka selalu berada di sisi Muballig. Mereka menadapat
ilmu serta ketauladanan. Muballig dan para kader bersama-sama membina
umat atau masyarakat. Muballig yang membimbing para kader itu kemudian
oleh masyarakat disebut kiai, sedangkan para kader itu disebut santri. Inilah
cikal bakal pesantren, lembaga pendidikan Islam yang pertama kali ada di
Indonesia.
Sejak awal berdirinya, kehadiran pesantren di tengah-tengah
masyarakat Nusantara ini hanya diproyeksikan sebagai sebuah sarana
dakwah dan pendidikan Islam. Dengan tujuan supaya para santri mengetahui
dan memahami apa saja yang telah diwahyukan Allah pada Muhammad
Rasulullah Saw. Dengan demikian, para santri diharapkan mempunyai
kesadaran yang tinggi dalam memaksimalkan dua tugas utamanya sebagai
manusia. Pertama, sebagai ‘Abdu Allah (penyembah Allah). Kedua sebagai
Khalifatu fi al-ardl (wakil Allah di bumi; sebagai pengelola semesta).
Sebagai hamba, mereka diharapkan menjadi pribadi mukmin sejati
yang hanya menyembah, mengabdi dan menuju kepada Allah saja. Bukan
mengabdi pada hawa nafsu, keinginan individu dan ambisi yang akan
menjatuhkan derajat dirinya sebagai manusia menjadi pribadi binatang yang
rakus. Sebagai wakil Allah di bumi ini, mereka diharapkan mampu
berpartipasi aktif mengelola dan memberdayakan keluarga, masyarakat,
lingkungan dan negara bahkan semesta. Tentunya hal ini harus dilakukan
dengan penuh tanggung jawab, keikhlasan dan keadilan. Bukan malah

8
menjual, membohongi dan mengorbankan masyarakatnya demi kepentingan
individu dan golongan.
Alhamdulillah, sejarah mencatat bahwa pendidikan di pesantren
dengan ciri khas kitab kuningnya yang disertai metode klasik masih terus
berlangsung dengan sangat efektif dan eksis. Out-put nya pun juga
dinyatakan sebagai generasi umat yang dapat dibanggakan. Dalam rangka
mempertahankan “jiwanya” ini maka pesantren selalu melestarikan tradisi
baca kitab kuning dengan semarak. Inilah potret pesantren zaman dulu yang
hanya mengajarkan kitab kuning saja.

b. Sejarah Pesantren
1. Sejarah Perkembangan Pesantren di Indonesia
Ada dua versi pendapat mengenai asal usul dan latar belakang
berdirinya pesantren di Indonesia, yaitu :
Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar
pada tradisi Islam sendiri, yaitu tarekat. Pesantren mempunyai kaitan
yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat
ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Inonesia pada awalnya
lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh
terbentuknya kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-
amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat yang disebut Kiai itu
mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama empat puluh
hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama, sesama angota tarekat
dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah
bimbingan Kiai. Untuk keperluan suluk ini para Kiai menyediakan
ruangan khusus untuk penginapan dan tempat-tempat khusus yang
terdapat di kiri kanan masjid. Disamping mengajarkan amalan-amalan
tarekat, para pengikut itu juga diajarkan agama dalam berbagai cabang
ilmu pengetahuaan agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut-
pengikut tarekat ini kemudian dinamakan pengajian. Dalam

9
perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan
berkembang menjadi lembaga Pesantren .
Pendapat yang kedua adalah, pesantren yang kita kenal sekarang
ini pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren
yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Kesimpulan ini
berdasarkan fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia
lembaga pesantren sudah ada di negri ini. Pendirian pesantren pada masa
itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan agama Hindu dan tempat
membina kader. Anggapan lain mempercayai bahwa pesantren bukan
berasal dari tradisi Islam alasannya adalah tidak ditemukannya lembaga
pesantren di negara-negara Islam lainnya, sementara lembaga yang
serupa dengan pesantern banyak ditemukan dalam masyarakat Hindu dan
Budha, seperti di India, Myanmar dan Thailand.
Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan
perkembangannya setelah abad ke 16. Pesantren-pesantren besar yang
mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fikih, teologi dan
tasawuf. Pesantren ini kemudan menjadi pusat pusat penyiaran Islam
seperti; Syamsu Huda di Jembrana (Bali) Tebu Ireng di Jombang, Al
Kariyah di Banten, Tengku Haji Hasan di Aceh, Tanjung Singgayang di
Medan, Nahdatul Watan di Lombok, Asadiyah di Wajo (Sulawesi) dan
Syekh Muhamad Arsyad Al-Banjar di Matapawa (Kalimantan Selatan)
dan banyak lainnya.

Walaupun setiap pesantren mempunyai ciri yang khas, namun ada


5 prinsip dasar pendidikannya, yang tetap sama yaitu;
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dan Kiai
2. Santri taat dan patuh kepada Kiainya, karena kebijaksanaan yang
dimiliki oleh Kiai
3. Santri hidup secara mandiri dan sederhana
4. Adanya semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan
5. Para santri terlatih hidup berdisiplin dan tirakat.

10
2. Sejarah Perkembangan Pesantren di Kota Kendari
Pondok pesantren yang pertama kali didirikan di kota Kendari
adalah pondok pesantren Ummusshabri. Berdirinya pondok pesantren ini
dilatar belakangi masih kuatnya kepercayaan animisme, dinamisme, dan
politisme pada awal tahun 70-an. Melihat kondisi demikian, membuat
tokoh masyarakat Kendari tak bisa tinggal diam. Untuk mendorong
perubahan kearah tatanan hidup yang Islami, mereka mendirikan Pondok
Pesantren Ummusshabri. Dalam beberapa tahun kemudian, muncullah
beberapa pondok pesantren lain yang digunakan sebagai tempat
menuntut ilmu agama Islam. Berikut daftar pondok pesantren di kota
Kendari:
No. Nama Pesantren Lokasi Tahun
Berdiri
1 Ummusshabri Kadia 09-01-1973
2 Hidayatullan Putra Kambu 20-04-1993
3 Hidayatullan Putri Kambu 20-04-1995
4 Attarbiyatus Sakillah Poasia 24-06-2004
5 Shohibul Qur’an Puuwatu 18-04-2016
6 Darul Mukhlisin Kadia 22-01-2007
7 El-Lubaab Mandonga 2012
8 Al-Fath Wua-wua 28-01-2002
9 Al-Mukhlis Baruga 1999
10 Baitul Qur’an Al-Mubarak Poasia 2017
11 Daarul Qur’an Ummul Qurra’ Kendari 2011
12 Wushulul Fawwas Puuwatu 18-4-2016
13 Ulumul Qur’an Punggolaka

Sumber : Kementrian Agama Kota Kendari bagian Kepala Seksi


Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam (Kasi Pakis)

11
a. Pondok Pesantren Dahulu

Gambar II.1 Suasana Pondok Pesantren Zaman Dulu


Sumber: wawasanpengajaran.blogspot.com

Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak


zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan
di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para
santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama.
Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-
pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya
merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing.
Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan,
metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi
kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi
ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri
dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan

12
guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa
kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya.
Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah
bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau
berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan
pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan
lain sebagainya.
Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir,
tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab
turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada,
materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Ha litu karena mereka
memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci.
Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai
nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang
banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran
bila sebagian pakar meneybut sistem pendidikan Islam pada pesantren
dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”. Masa pendidikan
tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang
Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya
sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di tempat lain atau
mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun
biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.
Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia
lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para
santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak
ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan
sebagian Jawa Tengah dan Timur. Pesantren dengan metode dan keadaan di
atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan
sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi
telah terjadipembenahan.

13
b. Pondok Pesantren Kini

Gambar II.2 Suasana Pondok Pesantren Masa Kini


Sumber: parepos.fajar.co.id

Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi


kepada dua periodisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan
kesederhanaan secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang
mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan.
Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya
Ampel dan Gontor. Sebelum Ampel muncul, telah berdiri pesantren yang
dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Demikian juga halnya dengan
Gontor, sebelumnya telah ada yang justru menjadi cikal bakal Gontor-
pesantren Tawalib, Sumatera. Pembagian di atas didasarkan pada besarnya
pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia. Sifat
kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk penyampaian materi
yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi, tapi
juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian santri dan gurunya
yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel yang
sarungan dan sorogan. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat para Kyai salaf
menekankan perasaan anti kolonial pada setiap santri dan masyarakat,

14
hingga timbul fatwa bahwa memakai celana dan dasi hukumnya haram
berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi: “Barang siapa yang menyerupai
suatu kaum (golongan), maka dia termasuk golongan itu”. Dalam hal ini,
Gontor telah berani melangkah maju menuju perubahan yang saat itu masih
dianggap tabu. Namun demikian bukan tidak beralasan. Penggunaan dasi
dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk mendobrak mitos bahwa
santri selalu terkebelakang dan ketinggalan zaman. Prinsip ini tercermin
dengan masuknya materi bahasa inggris menjadi pelajaran utama setelah
bahasa Arab dan agama, dengan tujuan agar santri dapat mengikuti
perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala
perubahannya.
Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren yang
dilakukan Gontor antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di
antaranya: tidak bermazdhab, penerapan organisasi, sistem kepimimpinan
sang Kyai yang tdak mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan
materi umum dan bahasa Inggris, tidak mengenal bahasa daerah,
penggunaan bahasa Arab dan Inggris- sebagai bahasa pengantar dan
percakapan, olah raga dengan segala cabangnya dan lain-lain. Oleh karena
itu Gontor mempunayi empat prinsip, yaitu: berbudi tinggi, berbadan sehat,
berpikiran bebas dan berpengetahuan luas. Langkah-langkah reformasi yang
dilakukan Gontor pada gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat
diandalkan, terbukti dengan duduknya para alumni Gontor di berbagai
bidang, baik di instansi pemertintah maupun swasta. Bila mazdhab Ampel
telah melahirkan para ulama, pejuang kemerdekaan dan mereka
yang memenuhi kebutuhan lokal, maka Gontor telah memenuhi kebutuhan
di segala sendi kehidupan di negeri ini. Atas dasar itu pula penulis membagi
sejarah sistem pendidikan pesantren kepada dua pase; pase Ampel dan pase
Gontor. Satu persamaan yang dimilki dua madzhab ini adalah bahwa kedua-
duanya tidak mengeluarkan ijazah negeri kepada alumninya, dengan
keyakinan bahwa pengakuan masyarakatlah sebagai ijazahnya.

15
Langkah reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih unggul di segala
bidang, terbukti kemampuan membaca kitab kuning (turost) masih dikuasai
alumni mazdhab Ampel dibanding alumni mazdhab Gontor.

c. Pembaharuan di Bidang Furu’


Yang dimaksud perubahan di bidang furu’ di sini adalah beberapa
perubahan pada beberapa bidang yang dilakukan sejumlah pondok pesantren
yang berkiblat atau mengikuti Gontor. Seperti perubahan kurukulum dan
aktifitas pesantren. Hal ini terjadi karena dipandang masih adanya beberapa
kelemahan yang ditemukan pada Gontor. Atau karena adanya kebutuhan
masyarakat di mana pesantren itu berada. Untuk mengisi kekurangan di
bidang penguasaan kitab kuning umpamanya, beberapa pesantren
memasukkan kitab kuning sebagai sylabus, meskipun jam pelajarannya
berada di luar waktu sekolah, seperti halnya yang dilakukan Pondok
Pesantren Daarul Rahman, Jakarta. Sistem kombinasi (perpaduan) mazdhab
Gontor dan Salaf ini belakangan banyak diterapkan di tengah tumbuhnya
pesantren-pesantren. Pengajaran kitab kuning pun tidak lagi menggunakan
bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar sebagaimana yang ditemukan pada
pesantren Salaf, meskipun demikian metode pembacaannya (secara nahwu)
masih mengikuti mazdhab Salaf, yaitu menggantikan “Utawi-Iku” dengan
“Bermula-Itu” pada kedudukan mubtada dan khobar.
Di sisi lain sejumlah pesantren mengikuti silabus Depag atau
Depdikbud. Hal itu karena didorong tuntutan masyarakat yang
menginginkan anaknya menggondol ijazah negeri setelah menyelesaikan
studinya. Sebagai konsekwensinya, mau tidak mau beberapa materi yang
terdapat pada Gontor dikurangi mengingat jatah kurikulum pemerintah tadi
atau paling tidak beberapa jam pelajaran dibagi-bagi untuk memenuhi
kurikulum tadi.
Sehingga bobot Gontornya sedikit berkurang.Namun demikian, langkah ini
membantu para alumninya melanjutkan pendidikan di mana saja
karena adanya ijazah negeri. Bentuk terakhir ini kita dapatkan pada Pondok

16
PesantrenDaarun Najah, Daarul Qolam dan pesantren-pesantren sekarang
pada umumnya.

d. Kebijakan Pemerintah dan Pendidikan


Pemerintah melalui Departemen Agama telah mengeluarkan
kebijaksanaannya dalam pendidikan, yaitu dengan SK Menag tentang
penyelenggaraan pendidikan agama. Maka berdirilah MI, Mts, Madrasah
Aliyah dan IAIN dengan tujuan mencetak ulama yang dapat menjawab
tantangan zaman dan memberi kesempatan kepada warga Indonesia yang
mayoritas muslim mendalami ilmu agama.Ijazahnya pun telah disetarakan
dengan pendidikan umum sesuai dengan SK bersama tiga menteri (Menag,
Mendikbud, Mendagri). Dengan demikian lulusan madrasah disetarakan
dengan lulusan sekolah umum negeri. Namun demikian, setelah berjalannya
proses kebijakan tersebut, terbukti masih terdapat kelemahan-kelemahan,
baik mutu pengajar, alumni (siswa) dan materinya, sehingga cita-
cita mencetak ulama yang handal kandas di tengah jalan. Halini terbukti
masih dominannya lulusan pesantren dalam soal keagamaan. Bahkan
lulusan madrasah dapat dikatakan serba tanggung, menjadi seorang
profesional pun tidak, ulama pun tidak, Tidak heran bila banyak suara
sumbang dan kritikan tajam bahwa SK bersama tiga menteri di atas hanya
sebuah upaya pengikisan Islam dan keilmuannya melalui jalur pendidikan.
Sehingga pada waktunya nanti Indonesia akan mengalami kelangkaan
ulama. Ini terbukti dengan menjauhnya masyarakat dari madrasah. Mereka
lebih bangga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah umum.
Alasannya sederhana, lulusan madrasah sulit mencari pekerjaan dibanding
lulusan sekolah umum, walaupun pendapat ini tidak seluruhnya benar, tapi
demikianlah yang kini berkembang di masyarakat.Lebih ironi lagi,
pemerintah melarang alumni pondok pesantren non kurikulum pemerintah
untuk masuk IAIN. Alasannya karena mereka tidak memiliki ijazah negeri
atau karena ijazah pesantrennya tidak disetarakan dengan ijazah negeri.
Akibatnya IAIN hanya diisi oleh lulusan-lulusan madrasah dan sekolah

17
umum yang note bone mutu pendidikan agamanya sangat minim. Padahal di
tengah-tengah suasana globalisasi dan keterbukaan, kwalitaslah yang
menjadi acuan, bukan formalitas.
Fenomena di atas membuat beberapa pesantren mengadakan ujian
persamaan negara dan mengadopsi kurikulum pemerintah. Dan tentu saja
segala konsekwensi yang telah disebut di atas akan terjadi. Di samping
karena hal itu menjadi tuntutan masyarakat.

e. Pendidikan Islam Alternatif


Beberpa studi empiris tentang pendidikan Islam di Indoensia
menyimpulkan masih terdapatnya beberapa kelemahan. Karena itu kini
banyak ditemukan beberapa lembaga pendidikan alternatif yang
mengakomodir berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Sekolah-
sekolah unggulan, SMP Plus, SMU Terpadu yang kini banyak berdiri
merupakan respon dari fenomena di atas. Tidak jarang kini ditemukan SMP
atau SMU yang berasrama seperti halnya pondok pesantren.
Dipergunakannya nama “SMP” dan “SMU” di atas hanya lebih karena
dorongan kebutuhan market (pasar). Sebab, nama pondok pesantren pada
sebagian masyarakat masih dianggap kolot dan ketinggalan zaman. Bentuk
pendidikan ini dilengkapi dengan kurikulum yang tidak kalah dengan yang
terdapat pada pesantren dan sekolah umum. Terbukti adanya sejumlah
sekolah ini yang melahirkan “Huffadz” (penghafal al-Quran) padahal lahir
dari sebuah SMP atau SMA.
Di sisi lain, bentuk lembaga ini merindukan pudarnya dikotomi
antara ilmu agama dan ilmu umum agar integritas keduanya berjalan
bersama-sama sebagaimana yang pernah ditemukan dunia Islam masa silam.
Inilah mungkin yang pernah diungkapkan oleh KH. Zainuddin MZ sebagai
“Hati Mekkah, Otak Jerman”. Walaupun semboyan ini tidak seluruhnya
benar. Soalnya, pendidikan Islam harus bersemboyan “Hati, Otak dan jiwa
harus Islami”, dan ini telah terbukti dengan lahirnya ilmuwan-ilmuuwan
Islam di zaman keemasan. Kegiatan belajar-mengajar di lembaga ini sama

18
dengan pesantren, Ia juga mempunyai nilai plus yang tidak didapatkan di
sekolah umum biasa. Untuk menghasilkan alumi yang handal, lembaga ini
menyaring calon siswanya- dengan ujian masuk yang ketat. Kemampuan
IQ dan intelejensi menjadi prioritas dalam menerima para siswa. Fasilitas
yang memadai menjadi daya tarik minat masyarakat walau harus membayar
dengan harga tinggi. Hal ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi
masyarakat. Bahkan sebagian lapisan masyarakat merasa bangga dengan
bayaran tinggi karena sesuai dengan mutu dan fasilitas.

f. Elemen-elemen Pondok Pesantren


Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan dan penyiaran
agama Islam sangat besar peranan dan kontribusinya dalam pembangunan
bangsa, terutama dalam menciptakan kader-kader bangsa yang tidak hanya
memiliki kesadaran religius yang tinggi tetapi sekaligus mempunyai
wawasan kebangsaan yang memadai. Kemajuan keadaan pesantren ini telah
mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan dan perubahan
zaman, walaupun pada intinya tetap berada pada fungsinya yang asli.
Adapun elemen-elemen pondok pesantren itu dapat dijelaskan sebagai
berikut:

1. Pondok
Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama
pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal
bersama di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal
dengan Kyai (Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49). Dengan istilah pondok
pesantren dimaksudkan sebagai suatu bentuk pendidikan ke-Islaman
yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat
yang sudah disediakan untuk kegiatan bagi para santri. Adanya pondok
ini banyak menunjang segala kegiatan yang ada. Hal ini didasarkan jarak
pondok dengan sarana pondok yang lain biasanya berdekatan sehingga
memudahkan untuk komunikasi antara Kyai dan santri, dan antara satu
santri dengan santri yang lain. Dengan demikian akan tercipta situasi

19
yang komunikatif di samping adanya hubungan timbal balik antara Kyai
dan santri, dan antara santri dengan santri. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Zamakhsari Dhofir, bahwa adanya sikap timbal balik
antara Kyai dan santri di mana para santri menganggap Kyai seolah-olah
menjadi bapaknya sendiri, sedangkan santri dianggap Kyai sebagai
titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi (Zamakhsyari Dhofir,
1982: 49). Sikap timbal balik tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan
dan saling menyayangi satu sama lain, sehingga mudah bagi Kyai dan
ustadz untuk membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri.
Segala sesuatu yang dihadapi oleh santri dapat dimonitor langsung oleh
Kyai dan ustadz, sehingga dapat membantu memberikan pemecahan
ataupun pengarahan yang cepat terhadap santri, mengurai masalah yang
dihadapi para santri. Keadaan pondok pada masa kolonial sangat berbeda
dengan keberadaan pondok sekarang. Hurgronje menggambarkan
keadaan pondok pada masa kolonial (dalam bukunya Imron Arifin,
Kepemimpinan Kyai) yaitu: “Pondok terdiri dari sebuah gedung
berbentuk persegi, biasanya dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa
yang agak makmur tiangnya terdiri dari kayu dan batangnya juga terbuat
dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu
titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu dapat mencuci
kakinya sebelum naik ke pondoknya. Pondok yang sederhana hanya
terdiri dari ruangan yang besar yang didiami bersama. Terdapat juga
pondok yang agaknya sempurna di mana di dapati sebuah gang (lorong)
yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat
kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu
memasuki kamar itu orang-orang terpaksa harus membungkuk,
cendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat
sederhana. Di depan cendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atao
rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya
terletak beberapa buah kitab” (Imron Arifin, 1993: 6).

20
Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah mengalami
perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang
dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan
prasarananya. Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah
mengalami beberapa fase perkembangan, termasuk dibukanya pondok
khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok
perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong
besar dapat menerima santri laki-laki dan santri perempuan, dengan
memilahkan pondok-pondok berdasarkan jenis kelamin dengan peraturan
yang ketat.

2. Masjid
Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan
pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik
para santri, terutama dalam praktek ibadah lima waktu, khutbah dan
shalat Jum’at dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula
Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Kedudukan masjid sebagai
sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi
universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain
kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak
masjid Quba’ didirikan di dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad
SAW. tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid
telah menjadi pusat pendidikan Islam” (Zamakhsari Dhofir, 1982: 49).
Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi tersebut,
bahkan pada zaman sekarang di daerah umat Islam begitu terpengaruh
oleh kehidupan Barat, masih ditemui beberapa ulama dengan penuh
pengabdian mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi
wejangan dan anjuran kepada murid-muridnya. Di Jawa biasanya seorang
Kyai yang mengembangkan sebuah pesantren pertama-tama dengan
mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini pun biasanya diambil
atas perintah Kyainya yang telah menilai bahwa ia sanggup memimpin
sebuah pesantren. Selanjutnya Kyai tersebut akan mengajar murid-

21
muridnya (para santri) di masjid, sehingga masjid merupakan elemen
yang sangat penting dari pesantren.

3. Pengajaran kitab-kitab klasik


Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik
diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu
mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap faham Islam tradisional.
Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai
dan faham pesantren yang tidak dapat dipiah-pisahkan. Penyebutan kitab-
kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab
kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin
penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau
disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi
argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik
sudah banyak dicetak dengan kertas putih. Pengajaran kitab-kitab Islam
klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustadz biasanya dengan
menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-
kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari
Dhofir dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu
(syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh
(yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf
dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah”
(Zamakhsyari Dhofir, 1982: 50).

Kitab-kitab Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para


Kyai di pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan
Kyai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-
nilai ajaran Islam, sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-
nilai itu. Di sisi lain keharusan Kyai di samping tumbuh disebabkan
kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai
kitab-kitab Islam klasik. Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim
Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab

22
kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan
relevan. Sah artinya ajaran itu diyakini bersumber pada kitab Allah Al-
Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan artinya ajaran-
ajaran itu masih tetap cocok dan berguna kini atau nanti” (Moh. Hasyim
Munif, 1989: 25).

Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan


hal utama di pesantren guna mencetak alumnus yang menguasai
pengetahuan tentang Islam bahkan diharapkan diantaranya dapat menjadi
Kyai.

4. Santri
Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar
mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di
pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan, namun ada pula
santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang
biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis
kemukakan pada pembahasan di depan.
Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu
murid-murid yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran
kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya
terdiri dari dua kelompok santri yaitu: santri Mukim yaitu santri atau
murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di
lingkungan pesantren, dan santri Kalong yaitu santri yang berasal dari
desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di lingkungan
komplek peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang
(Zamakhsari Dhofir, 1982: 51).
Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka
mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat fasilitas
yang sama antara santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan
mentaati peraturan yang ditetapkan di dalam pesantren tersebut dan

23
apabila ada pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan
pelanggaran yang dilakukan.

5. Kyai
Istilah Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari
bahasa Jawa (Manfred Ziemek, 1986 130). Kata Kyai mempunyai makna
yang agung, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada
seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai
juga diberikan untuk benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti
keris dan tombak. Namun demikian pengertian paling luas di Indonesia,
sebutan Kyai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren,
yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya untuk Allah
SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta
pandangan Islam melalui pendidikan. Kyai berkedudukan sebagai tokoh
sentral dalam tata kehidupan pesantren, sekaligus sebagai pemimpin
pesantren. Dalam kedudukan ini nilai kepesantrenannya banyak
tergantung pada kepribadian Kyai sebagai suri tauladan dan sekaligus
pemegang kebijaksanaan mutlak dalam tata nilai pesantren. Dalam hal ini
M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kyai sangat besar sekali
dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan
pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan beramal dan memimpin
serta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh santri dan masyarakat.
Dan dalam hal pemikiran kyai lebih banyak berupa terbentuknya pola
berfikir, sikap, jiwa serta orientasi tertentu untuk memimpin sesuai
dengan latar belakang kepribadian kyai (M. Habib Chirzin, 1983: 94).
Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa peran Kyai
sangat menentukan keberhasilan pesantren yang diasuhnya. Demikianlah
beberapa uraian tentang elemen-elemen umum pesantren, yang pada
dasarnya merupakan syarat dan gambaran kelengkapan elemen sebuah
pondok pesantren yang terklasifikasi asli meskipun tidak menutup
kemungkinan berkembang atau bertambah seiring dengan perkembangan
zaman dan kebutuhan masyarakat.

24
2. Tahfidz Al-Qur’an
Tahfidz Al-Qur’an terdiri dari dua suku kata, yaitu tahfidz dan Al-
Qur’an, yang mana keduanya mempunyai arti yang berbeda.
Tahfidz artinya menghafal. Menghafal memiliki kata dasar hafal yang
berasal dari bahasa arab hafidza-yahfadzu-hifdzan, yaitu lawan dari lupa, yaitu
selalu ingat dan sedikit lupa. Sedangkan menurut Abdul Aziz Abdul Rauf
(2004 : 49), definisi menghafal adalah proses mengulang sesuatu baik dengan
membaca atau mendengar. Pekerjaan apapun jika sering diulang, pasti menjadi
hafal. Seseorang yang telah hafal Al-Qur’an secara keseluruhan di luar kepala,
bisa disebut dengan juma’ dan huffazhul Qur’an.

Gambar II.3 Kegiatan Tahfidz Al-Qur’an


Sumber: alkhoirot.com

Sedangkan al-Qur’an secara etimologi (asal kata) al-Qur’an berasal dari


kata Arab qaraa (‫ )قرأ‬yang berarti membaca, sedangkan al-Farra’ mengatakan
bahwa kata al-Qur’an berasal dari kata qara>in ( ‫ )قرائن‬jamak dari qari>nah (
‫ )ةنيرق‬dengan makna berkait-kait, karena bagian al-Qur’an yang satu berkaitan
dengan bagian yang lain. Al-Asy’ari mengidentifikasi etimologi al-Qur’an
berasal dari kata qarn ( ‫ ) نرق‬yang berarti gabungan dari berbagai ayat, surat
dan sebagainya. Menurut ‘Abd al-Wahab al-Khallaf (1972 : 30), secara
terminologi al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan melalaui Jibril

25
kepada Nabi Muhammad Saw dengan bahasa Arab, isinya dijamin
kebenarannya dan sebagai hujjah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh
manusia dan petunjuk dalam beribadah serta dipandang ibadah dalam
membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang dimulai dengan surat al-
Fa>tihah dan diakhiri dengan al-Na>s, yang diriwayatkan kepada kita dengan
jalan mutawatir. Al-Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang
diturunkan kepada nabi Muhammad Saw, sehingga al-Qur’an menjadi nama
khas kitab itu, sebagai nama diri. Dan secara gabungan kata itu dipakai untuk
nama al-Qur’an secara keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat-ayatnya.

3. Arsitektur Islam
Arsitektur Islam merupakan wujud perpaduan antara kebudayaan
manusia dan proses penghambaan diri seorang manusia kepada Tuhannya,
yang berada dalam keselarasan hubungan antara manusia, lingkungan dan
Penciptanya. Arsitektur Islam mengungkapkan hubungan geometris yang
kompleks, hirarki bentuk dan ornamen, serta makna simbolis yang sangat
dalam. Arsitektur Islam merupakan salah satu jawaban yang dapat membawa
pada perbaikan peradaban. Di dalam Arsitektur Islam terdapat esensi dan nilai-
nilai Islam yang dapat diterapkan tanpa menghalangi pemanfaatan teknologi
bangunan modern sebagai alat dalam mengekspresikan esensi tersebut.
Perkembangan arsitektur Islam dari abad VII sampai abad XV meliputi
perkembangan struktur, seni dekorasi, ragam hias dan tipologi bangunan.
Daerah perkembangannya meliputi wilayah yang sangat luas, meliputi Eropa,
Afrika, hingga Asia tenggara. Karenanya, perkembangannya di setiap daerah
berbeda dan mengalami penyesuaian dengan budaya dan tradisi setempat, serta
kondisi geografis. Hal ini tidak terlepas dari kondisi alam yang mempengaruhi
proses terbentuknya kebudayaan manusia. Lebih jauh, apabila ditelaah secara
mendalam, arsitektur Islam lebih mengusung pada nilai-nilai universal yang
dimuat oleh ajaran Islam. Nilai-nilai ini nantinya dapat diterjemahkan ke dalam
bahasa arsitektur dan tampil dalam berbagai bentuk tergantung konteksnya,
dengan tidak melupakan esensi dari arsitektur itu sendiri, serta tetap berpegang

26
pada tujuan utama proses berarsitektur, yaitu sebagai bagian dari beribadah
kepada Allah.

a. Habluminallah, Habluminannas, Habluminal’alam sebagai ladasan


perancangan Arsitektur Islam
1. Tinjauan Prinsip Habluminallah
Habluminallah adalah hubungan manusia dengan Tuhan (Allah).
Hubungan ini pada dasarnya menaungi habluminannas dan
habluminal’alam. Lebih jauh mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam
konsep Habluminallah, Mohammad Tajuddin (Tajuddin, 2003)
membaginya dalam beberapa nilai sebagai berikut:

Gambar II.4 Habluminallah


Sumber : indonesian.iloveallaah.com

1) Nilai Pengingatan akan Keesaan dan Keagungan Allah swt.


Membawa nilai peringatan sebagai suatu sistem keseimbangan
terhadap nilai-nilai beragama. Nilai ini bertujuan meletakkan fokus
manusia sebagai khalifah, dipertanggungjawabkan sebagai
pemimpin di bumi dengan nilai-nilai yang baik. Manusia mudah
menerima dan menyampaikan pesan melalui komunikasi visual. Ini
merupakan suatu pendekatan terbaik, membawa kepada sesuatu

27
pesan kolektif, terutama dalam proses menyampaikan peringatan
manusia kepada meng-Esakan Tuhannya seperti mana dituntut oleh
Islam. Alam merupakan bukti dari kebesaran dan ke-
Mahaagungan-Nya, dengan memperhatikan alam maka akan
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada-Nya. Perancangan
bangunan haruslah berusaha mendekatkan penghuninya dengan
suasana yang lebih alami dan dekat dengan alam. Makhluk ciptaan
Allah seperti pepohonan, rumput dan bunga-bungaan haruslah
mendominasi sebuah perancangan bangunan, perumahan atau
perkotaan yang islami. Selain perancangan dan pembentukan masa
bangunan, elemen alam seperti cahaya matahari, aliran udara,
suara-suara alam dan gemericik air perlu diintegrasikan ke dalam
bangunan. Bangunan sedapat mungkin harus menggunakan sumber
energi yang ramah dengan lingkungannya. Penggunaan
pencahayaan dan pengudaraan buatan yang dapat merusak
lingkungan perlu dihindari dan efek negatifnya perlu dikurangi
sehingga tercipta hubungan yang serasi antara manusia dengan
alam sekitarnya sebagai sarana pembentukan kecintaan kepada
Tuhan.
2) Nilai Pengingatan kepada Ibadah Ritual. Untuk bangunan masjid,
surau atau sesuatu ruang untuk memudahkan manusia beribadah
perlu dibina di tempat-tempat strategis dan orientasi yang
memudahkan ia dikunjungi dan dilihat. Konsep perancangan yang
lebih terbuka amat diperlukan agar dapat memberi tarikan kepada
masyarakat sekelilingnya.
3) Nilai Pengingatan kepada Kejadian Alam Ciptaan Allah.
Peringatan kepada kejadian alam ciptaan Allah swt. dapat
dilakukan dengan penggunaan bahan, orientasi bangunan dan
metodologi perancangan. Penggunaan bahan-bahan dari elemen
semula menjadi batu (dalam bentuk sebenarnya) dan kayu akan
mencipta suatu imej arsitektur tersendiri yang dekat dengan

28
kejadian alam. Penggunaan elemen kaca yang membantu
menghadirkan pemandangan alam juga membantu konsep seperti
ini.
4) Nilai Pengingatan kepada Kematian. Selanjutnya, elemen ketiga
yang membawa kepada peringatan ialah pesan kehidupan di dunia
yang hanya bersifat sementara dan unsur kematian sebagai pemutus
alam di dunia. Dalam konsep perancangan kota, untuk tujuan ini
elemen yang paling jelas menyampaikan pesan ini adalah makam.
5) Nilai Pengingatan akan Kerendahan Hati. Islam mengajarkan
seorang Muslim untuk merendahkan diri di hadapan Tuhannya.
Seorang pemimpin haruslah merendahkan dirinya di hadapan orang
yang dia pimpin. Seorang panglima harus merendahkan diri dari
tentara yang dipimpinnya. Dalam dunia arsitektur prinsip ini
membawa implikasi yang sangat besar. Ia berbicara tentang
bagaimana seharusnya meletakkan dan menyusun massa bangunan
dalam konteks lingkungannya. Pemilihan bahan dan material
bangunan pun harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak
terkesan terlalu mewah yang akhirnya akan banyak menghabiskan
uang untuk perawatannya.
2. Tinjauan Prinsip Habluminannas

Gambar II.5 Habluminannas


Sumber : pondokpesantrendarussalam.wordpress.com

29
Mohammad Tajuddin dalam bukunya Konsep Perbandaraan Islam
menyebutkan beberapa nilai-nilai yang terkandung dalam konsep
Habluminannas (Tajuddin, 2003), sebagai berikut:

1) Ukhuwah dan Integrasi Sosial. Ukhuwah ialah hubungan


persaudaraan dalam seluruh integrasi masyarakat. Merapatkan
hubungan ukhuwah dalam suatu strategi yang sangat penting untuk
membina masyarakat sipil dan mengimbangi perbedaan kelas. Ia
dapat mengikis perasaan individualistik atau mementingkan diri
sendiri yang sudah menjadi seakan-akan lumrah dalam masyarakat
modern saat ini. Islam meletakkan pembangunan sosial sebagai
suatu perkara yang utama setelah tanggungjawab diri. Kedua
pembangunan ini perlu berjalan searah dan dalam keadaan
seimbang.
2) Pembangunan Ruang Terbuka. Pembangunan ruang terbuka adalah
penting karena di sinilah hubungan ukhuwahakan berlaku dan
terjalin. Dalam Islam, setiap individu bertanggung jawab kepada
kebajikan masyarakatnya maka pesan dari masyarakat perlu dibuka
seluas-luasnya.
3) Pendidikan Masyarakat. Pendidikan masyarakat adalah faktor yang
sama pentingnya dengan pembangunan fisikal ruang. Masyarakat
perlu dididik dan diberi arahan agar menyadari akan pentingnya
hubungan ukhuwah dan pembangunan sosial. Dalam masjid,
strategi yang dapat dilakukan adalah dengan menyediakan berbagai
ruang kemudahan di dalamnya seperti kelas-kelas, kantin,
perpustakaan, halaman, asrama dan ruang-ruang lain yang
dirasakan perlu dan dapat menjadikannya sebagai pusat aktiftias
dan perkumpulan masyarakat.
4) Nilai Pengingatan Ibadah dan Perjuangan. Ide tentang prinsip
ibadah dan perjuangan menjadikan masjid bukan hanya sekedar
tempat Sholat dan ibadah ritual saja. Namun juga berperan sebagai

30
pusat kegiatan sehari-hari dan pusat interaksi serta aktivitas dari
komunitas Muslim di kawasan tersebut. Hal ini berarti perancangan
ruang-ruang suatu masjid haruslah dibuat sedemikian rupa
sehingga memungkinkan aktivitas di luar aktivitas ritual seperti
Sholat atau i’tikaf memungkinkan untuk dijalankan. Aktivitas
seperti olah-raga, seminar, diskusi keagamaan, sekolah dan pusat
pendidikan, perpustakaan, aktivitas perdagangan dan kegiatan yang
dapat memperkuat ukhuwah dan silaturahmi seharusnya mendapat
porsi perhatian yang cukup sebagaimana aktivitas ritual tadi.
5) Nilai Pengingatan akan Waqaf dan Kesejahteraan Sosial. Dalam
Islam terdapat beberapa amalan pribadi seperti i’tikaf dan Sholat
sunnah namun kesemuanya dibingkai oleh kerangka kehidupan
bermasyarakat. Karenanya aktivitas dan fasilitas sosial merupakan
suatu elemen penting dalam kehidupan masyarakat Muslim. Dalam
dunia arsitektur prinsip ini membawa implikasi yang sangat besar.
Bahwa fasilitas umum dan fasilitas sosial perlu mendapatkan
prioritas yang utama.
6) Nilai Pengingatan terhadap toleransi kultural. Dalam arsitektur, hal
ini menegaskan akan kewajiban untuk menghormati budaya dan
kehidupan sosial masyarakat dimana bangunan tersebut berdiri.
Selama tidak bertentangan dengan Islam diperbolehkan
mempergunakan bahasa arsitektur masyarakat setempat dengan
memanfaatkan potensi dan material yang ada di tempat tersebut.
Hal ini tentu menjadi prinsip yang menjamin fleksibilitas
perancangan bangunan dalam Islam.

31
3. Tinjauan Prinsip Habluminal’alam

Gambar II.6 Habluminal’alam


Sumber : deviantart.net

Habluminal’alam adalah hubungan manusia dengan alam, untuk


mencapai hubungan tersebut dapat dicapai dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1) Pembangunan lestari. Lestari dimaksudkan sesuatu yang tidak
berubah-ubah atau tetap. Pembangunan lestari ialah suatu sistem
pembangunan kepada masyarakat melalui perputaran dalam
penggunaan bahan, tenaga dan keperluan hidup lainnya yang dapat
dikembalikan seperti keadaan asalnya ataupun jika tidak, minimal
dapat mengurangi penggunaan sumber asli untuk menciptakan
sesuatu yang baru. Sebagai contoh penggunaan listrik dari tenaga
surya yang tidak memerlukan suatu proses pembakaran bahan api.
Contoh lain adalah penggunaan air yang didaur ulang, selain dari
proses pembersihan saintifik, air hujan yang turun juga dapat terus
diproses dan diguanakan untuk keperluan dalam bangunan.
2) Penghematan, Konservasi dan Daur Ulang. Ini melibatkan
penghematan sumber tenaga, listrik atau seperti menukar lampu ke
lampu yang lebih hemat tenaga, memperbaiki sistem pengudaraan

32
bangunan. Semua proses ini tentunya memerlukan suatu etika dan
kesadaran masyarakat secara keseluruhan untuk memberi kesan
yang besar dan berkelanjutan. Tingkat selanjutnya adalah
konservasi, yaitu proses menggunakan kembali bahan atau sumber
tenaga. Strategi ini melibatkan pembangunan dan perbuahan yang
lebih besar dan terpadu.
3) Pengaturan Alam dan Lansekap. Pengaturan alam dan lansekap
terbagi menjadi dua peringkat, yaitu pengaturan lansekap dalam
kawasan pembangunan serta pengaturan ekologi bagi tumbuhan
lama yang ada di kawasan.
4) Nilai Pengingatan akan Kehidupan yang Berkelanjutan. Kehidupan
berkelanjutan dalam penjelasan ini setidaknya memiliki dua
konteks yaitu konteks alami dan konteks sosial. Dalam dunia
arsitektur kedua prinsip ini memiliki implikasi yang sangat besar.
Kelestarian secara alami mengajarkan untuk memperhatikan betul-
betul kondisi lahan dan lingkungan sekitar sebelum merancang
sebuah bangunan. Pemilihan bahan dan penggunaan teknologi
perlu betul-betul diperhatikan sebelum melakukan suatu perubahan
terhadap tapak dan mengolahnya. Sementara kelestarian secara
sosial memberikan pengajaran agar lebih memperhatikan bahasa
arsitektur yang digunakan dalam merancang sebuah bangunan.
b. Prinsip Ruang Arsitektur Islam
Dalam perancangan ruang dalam dengan pendekatan Arsitektur
islam dapat dicapai dengan melakukan pendekatan sebagai berikut :
1. Kombinasi suksesif

Gambar II.7 Kombinasi Suksesif


Sumber : Art Of Islam, 2007

33
Modul-modul ruang dikombinasikan untuk membentuk
kombinasi yang lebih besar, misalnya beberapa ruang tempat tinggal,
merupakan modul ruang yang paling dasar dikombinasikan dengan
pelataran terbuka. Selanjutnya berlanjut dengan kombinasi di atasnya,
sehingga menghasilkan rumah hunian, istana, madrasah, atau pun masjid.
Kemudian taman, pelataran terbuka begitu seterusnya sampai kombinasi
tersebut menjadi sesuatu yang kompleks pada satu tatanan kota. Tidak
ada satu pun dari segmen-segmen ini memperoleh prioritas estetik lebih
dari yang lain. Sebaliknya, semua bagian tersebut secara integral saling
melekat tepat seperti susunan mosaik besar.

2. Pengulangan

Gambar II.8 Pengulangan Komponen


Sumber : Art Of Islam, 2007

Unit-unit yang merupakan komponen dari kombinasi ruang


tertutup dan terbuka, diulang dalam bentuk identik atau beragam dalam
struktur ruang yang saling tambah (aditif). Pengulangan ini juga terjadi
dalam unit-unit internal dari masing-masing bangunan dan taman, serta
dalam kombinasi bangunan yang membentuk suatu kompleks umum,
pribadi, religius, domestik, atau pendidikan, yang merupakan suatu
lingkungan urban, desa atau kota yang lengkap.

34
3. Dinamisme
Pemahaman dan apresiasi atas setiap seni ruang dalam Islam
harus diperoleh dengan bergerak berurutan melintasi unit-unit ruang.
Seni ruang Islami harus dinikmati dengan cara yang dinamis, bukan
dalam sekejap waktu yang statis. Seperti seni Islam lain, seni ruang harus
dipahami dengan mengapresiasikannya satu per satu pada bagian
pembentuknya. Contohnya, tiap bangunan terjalin dan berselang-seling
dengan lingkungan, sehingga sukar diketahui di mana bangunan ini
dimulai dan berakhir. Tidak ada perkembangan arsitektural yang
berakhirhanya pada satu klimaks titik estetis.

4. Hiasan penutup (overlay)

Gambar II.9 Dinamisme Ruangan


Sumber : Art Of Islam, 2007
Hiasan penutup (overlay) juga disebut dengan penutup bahan
dasar. Teknik-teknik overlay atau hiasan penutup dalam seni ruang
merupakan unsur yang sangat penting dalam ruang dalam arsitektur
islam.

35
5. Transfigurasi bahan

Gambar II.10 Transfigurasi Bahan


Sumber : Art Of Islam, 2007

Bobot permukaan dinding secara visual diberi kesan ringan


dengan penempatan ceruk, pelengkung buntu, jendela, pintu, dan pola-
pola dekoratif lain seperti pilar-pilar ramping yang memperkuat dinding,
dan kubah dengan lubang dan hiasan yang menyamarkan massa dan
bobot bahanbahan pembuatnya seperti bata, batu, atau beton. Selain
dekorasi cat, keramik, bata, atau relief plester yang bersifat dua dimensi,
juga terdapat hiasan penutup yaitu muqarnas yang berbentuk tiga
dimensi.

6. Transfigurasi struktur

Gambar II.11 Transfigurasi Struktur


Sumber : Art Of Islam, 2007

36
Penonjolan struktur desain suatu karya arsitektur, menimbulkan
persepsi estetik. Dalam karya arsitektur Islam, struktur juga dapat
berfungsi sebagai pengarah bangunan sehingga dapat langsung dinikmati
secara temporal, dengan berjalan di sekitar atau menelusup diseluruh
kompleks bangunan.

7. Transfigurasi ruang tertutup

Gambar II.12 Transfigurasi Ruang Tertutup


Sumber : Art Of Islam, 2007

Hal ini tidak dilakukan dengan menghilangkan dinding pembatas


melainkan dengan menghilangkan kesan solid dan terbatas pada ruang,
dengan penggunaan dinding terbuka, ceruk, kubah, maupun atap. Hal ini
berfungsi untuk membebaskan ruang untuk pergerakan manusia serta
persepsi estetik dalam ruang.

8. Transfigurasi atau ambiguitas fungsi


Ambiguitas fungsi di sini mempunyai maksud bahwa ruang tidak
hanya dibatasi untuk satu tujuan penggunaan saja. Dapat mengambil
sebuah contoh bahwa sahn atau pelataran terbuka yang menjadi ciri
dominan dari istana atau masjid, dapat ditemui pada bangunan dengan
fungsi lain seperti rumah sederhana, madrasah, hotel, maupun kantor.

37
c. Prinsip Tampilan Arsitektur Islam
Dalam penerapan desain tampilan Arsitektur Islam menerapkan
beberapa elemen desain yang menjadikan ciri Arsitektur Islam.
1. Arabesque

Gambar II. 13 Arabesque


Sumber : Art Of Islam, 2007

Ada larangan dalam ajaran Islam untuk menggunakan motif


hewan maupun manusia. Oleh karena itu, para seniman Muslim lebih
memilihmenggunakan motif geometris dan motif floral (tumbuhan)
dalam berbagai karyanya, termasuk menghias interior bangunan. Motif-
motif ini disebut motif arabesque karena berasal dari Arab.

2. Kaligrafi

Gambar II.14 Kaligrafi


Sumber : Art Of Islam, 2007

38
Kaligrafi atau seni menghias huruf, terutama huruf Arab sangatlah
populer digunakan oleh seniman dan arsitek Muslim. Selain untuk
menambah keindahan bangunan, kaligrafi juga sebagai pengingat ayat-
ayat Al-Quran.

3. Mashrabiya

Gambar II.15 Mashrabiya


Sumber : Art Of Islam, 2007

Mashrabiya adalah kisi-kisi yang digunakan pada jendela bergaya


Islam. Hal ini selain untuk menjaga privasi penghuninya juga untuk
menghalangi sinar matahari yang panas masuk ke ruangan. Hal ini tentu
saja karena sebagian besar negara Muslim terletak di wilayah gurun.
Mashrabiya ini umumnya menggunakan motif geometris sehingga akan
memperindah arsitektur bangunan.

39
4. Kubah

Gambar II.16 Kubah


Sumber : Art Of Islam, 2007

Kubah adalah salah satu unsur yang menonjol dalam arsitektur


Islam. Kubah yang umum digunakan berbentuk umbi bawang khas
Timur Tengah. Tak hanya bagian luar kubah saja yang diperhatikan nilai
estetikanya, namun juga bagian dalam kubah dihias dengan motif-motif
geometris.

5. Lengkung Tapal Kuda

Gambar II.17 Lengkung Tapal Kuda


Sumber : Art Of Islam, 2007

Tiap gaya arsitektur memiliki gaya lengkung (pertemuan antara


dua pilar) sendiri-sendiri. Namun arsitektur Islam mengenal bentuk
lancip (pointed arch) dan lengkung bentuk tapal kuda.

40
6. Muqarnas

Gambar II.18 Muqarnas


Sumber : Art Of Islam, 2007

Muqarnas adalah dekorasi tiga dimensi serupa sarang lebah yang


diletakkan di langit-langit. Muqarnas disebut juga stalaktit oleh arsitek
Barat. Muqarnas digunakan untuk menghias portal (pintu masuk),
mihrab, interior kubah, hingga minaret.

41
C. STUDI BANDING
1. Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an
a. Latar Belakang berdirinya Madrasatul Qur’an

Gambar II.19 Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an


Sumber: mqtebuireng.com

Kelahiran Madrasatul Qur’an sebenarnya sudah ada sejak masa Kiai


Hasyim Asy’ari. Kiai Hasyim punya keinginan besar untuk mendirikan
lembaga pendidikan al-Qur’an. Beliau sangat mencintai orang yang hafal al-
Qur’an (hafidz). Konon, pada Bulan Ramadhan tahun 1923, para santri
Tebuireng telah secara bergiliran menjadi imam salat tarawih dengan bacaan
al-Qur’an bil-hifdzi (dihafalkan) sampai khatam. Namun, sistem hafalan al-
Qur’an di Tebuireng saat itu belum terorganisasi dengan baik karena belum
ada lembaga khusus yang menanganinya. Kondisi ini terus berlangsung
sampai masa kepemimpinan Kiai Kholik Hasyim.
Pada masa kepemimpinan Pak Ud, tepatnya tahun 1971, rencana
pendirian lembaga pendidikan al-Qur’an dimatangkan. Ada 9 orang kiai
yang dilibatkan dalam rencana tersebut. Hasilnya, pada tanggal 27 Syawal
1319 H., atau 15 Desember 1971 M, lembaga itu secara resmi berdiri
dengan nama Madrasatul Qur an.

42
Pada tahun pertama, santrinya berjumlah 42 orang dan diasuh oleh
Kiai Yusuf Masyhar, menantu Kiai Ahmad Baidhawi. Sesuai dengan
namanya, lulusan lembaga ini diarahkan untuk menjadi kader penghafal al-
Quran sekaligus mendalami ilmunya. Semula, Madrasah Qur an bertempat
di rumah Kiai Wahid, bagian barat Pesantren Tebuireng (beberapa waktu
lalu menjadi kediaman KH. Musta’in Syafi’i). Kemudian mulai tahun 1982,
lokasinya dipindah ke belakang rumah peninggalan Kiai Baidhawi dengan
tanah waqaf dari beliau. Dari tahun ke tahun madrasah ini berkembang
cukup pesat. Setelah dilakukan pemekaran, Madrasatul Qur an secara
struktural terpisah dari Yayasan Hasyim Asy’ari Pesantren Tebuireng.

b. Dasar dan Tujuan Pendidikan


Dasar dan tujuan pendidikan yang ada di Madrasatul Qur an antara
lain;
1. Sesuai dengan fungsi Al-Qur’an terhadap orang-orang yang bertaqwa,
Madrasatul Qur an sebagai suatu institusi pendidikan dan pengajaran
ingin membentuk dan menjadikan manusia yang muttaqin melalui Al-
Qur’an.
2. Berkaitan dengan pemikiran diatas, maka apa yang dilakukan
Madrasatul Qur an ini adalah semata-mata untuk memenuhi
kewajiban sebagai hamba terhadap sesamanya.
3. Di Indonesia belum banyak badan dan lembaga pendidikan Al-
Qur’an yang lafdhon wa ma’nan dan bentuk kajiannya yang
sistematik dan klasikal. Untuk itu, Madrasatul Qur an berupaya untuk
mengatisipasi hal yang demikian, terutama ditekankan pada isi
program pendidikan dan pengajarannya, yaitu Al-Qur’an dan
khususnya dari segi qiro atnya (bacaanya).

43
Adapun dasar pokok dari pendidikan secara khusus di Madrasatul
Qur an adalah:
1. Al-Qur’an, Sebagaimana tertulis dalam surat Al Qur’an Al-’ankabut
ayat 49 yang rtinya: “Sebenarnya , Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat
yang nyata didalam dada orang-orang yang berilmu ……….:”.
Dimana Al-Qur’an merupakan informasi yang lengkap dan jelas,
untuk menerimanya (media menerimanya) adalah dimasukkan
kedalam dada, sedangkan si penerima adalah mereka yang
berkredibilitas orang-orang yang berilmu.
2. Al-Hadits, yang artinya “Sebaik-baik kamu semua adalah orang
yang belajar Al-Qur’an dan yang mau mengamalkannya kepada
orang lain” (HR. Bukhori).
3. Ijma’, yang dimaksud defisini adalah Ijma’ dalam bidang
metodologi pengajaran Al-Qur’an, khususnya dalam hal
penerimaan dan pemakaian qiroahnya, yaitu qiro’ah
shohihah mutawatiroh dengan kriteria:
a. Sanad Mutawasshil (guru bersambung) sampai pada Rasulullah.
b. Bentuk Qiroah (bacaan)nya sesuai dengan kaidah bahasa arab.
c. Terdokumentasi didalam Mushaf Utsmani.
d. Sedangkan tujuan pendidikanya adalah “Membentuk pribadi
Muslim pemandu Al-Qur’an hafal lafadhnya, mengerti isi
kandungannya dan mengamalkan ajarannya “Muslim Hamilil Qur
an Lafdhan wa Ma’anan wa Amalan”.

c. Sistem Pendidikan dan Pengajaran


Sistem pendidikan dan pengajaran yang diselenggarakan oleh
Madrasatul Qur an adalah berbentuk Pendidikan Pondok Madrasah (sekolah
formal) dari program pendidikan dan pengajarannya adalah pendidikan
Agama 75 % dan 30 % ilmu umum serta pendidikan Al-Qur’an dengan
spesialisasi program Tahfidhul Qur an. Adapun secara garis besar, program
pendidikan dan pengajaran Madrasatul Qur an adalah sebagai berikut:

44
1. Program Tahfidh (Menghafal Al-Qur’an)
Program menghafal Al-Qur’an ini dibagi menjadi tiga tahap/fase.
Fase terakhir sebagai puncaknya adalah Qiro ah Sab’iyah (tujuh bacaan),
fase kedua adalah menghafal Al-Qur’an dengan Qiro ah Masyhuroh dan
fase dasar adalah tahap bagi mereka yang belum memenuhi syarat
bacaannya untuk menghafal.
a. Qiro ah Sab’iyah
Bagi mereka yang telah menyelesaikan hafalan 30 juz Qiro
ah Masyhuroh dengan baik serta telah memenuhi syarat-syarat
tertentu, mereka dapat mengambil dan mempelajari Qiro ah Sab’iyah
(bil ghaib), mempelajari Ulumul Qiro ah yang variatif dari riwayat
Imam Tujuh (Imam Nafi’, Ashim, Hamzah, Al-Kisai, Ibnu Amir,
Abu Amr dan Ibnu Katsir). Disamping pendalaman dalam hal
Ulumul Qiro ah, pada program ini juga ditekankan untuk mendalami
kajian makna terhadap perbedaan/khilafnya bacaan, mereka yang
dinyatakan selesai pada program berhak diwisuda dengan predikat
Wisudawan Qiro ah Sab’iyah (S.Q.2).
b. Qiro ah Masyhuroh
1. Syarat, untuk mengambil program tahfidh (merangkap sekolah)
mereka harus baik bacaan Al-Qur’annya sesuai dengan
Qiro’ah Muwahhadah standart Madrasatul Qur an.
2. Mushaf dan Kurikulum, mushaf yang dipakai adalah Mushaf
Utsmani riwayat Imam Hafs dari Imam ‘Ashim, dengan
menggunakan Al-Qur’an Pojok yang setiap halamannya terdiri
dari 15 baris, dan setiap juz terdiri dari 20 halaman/10 lembar.
Dari kurikulum yang telah digariskan, mereka harus sudah
menyelesaikan (hafal) 30 juz selama 3 tahun.
3. Sistem Pembinaan;
1). Setoran hafalan; yaitu santri memperdengarkan hafalannya
kepada Badal (guru/instruktur) masing-masing setiap hari.

45
2). Setoran fashahah; yaitu santri memperdengarkan bacaan
atau hafalan pada Badal pembina masing-masing sesuai
dengan kelompok dan jadwal yang telah ditentukan.
3). Mudarosah kelompok; para santri secara berkelompok (tiga-
tiga) bergantian memperdengarkan hafalannya setiap hari
dengan berkelanjutan sampai batas akhir hafalannya
(mereka yang telah selesai pada program ini berhak
diwisuda dengan predikat Wisudawan Qiro ah Masyhuroh
(S.Q.1)

Gambar II.20 Setoran Hafalan al-Qur an


Sumber: infopsbmq.wordpress.com

c. Tingkat Binnadhar
1. Kelompok/Tingkatan:
Bagi mereka yang belum diterima untuk mengambil
program tahfidh, diwajibkan untuk mengikuti program binnadhar
sesuai dengan tingkat kemampuan bacaan masing-masing. Dalam
pembinaannya terbagi menjadi empat tingkatan:

46
1). Tingkat Mubtadi’ (dasar); mereka adalah yang belum
mampu membaca Al-Qur’an dan atau belum mempunyai
dasar-dasar fashahah.
2). Tingkat Mutawashith; mereka yang sudah lancar membaca,
dan menguasi dasar-dasar fashahah, namun belum bisa
membedakan cara dan ciri masing-masing huruf dan
melafadhkan.
3). Tingkat Muntadhir; mereka sudah lancar membaca dan
fashih namun kurang menguasai dalam waqof, ibtida’ serta
musykilatil-ayat.
4). Tingkat Maqbul; pada tingkat ini santri tinggal menempuh
Qiro ah Muwahhadah (standart Madrasatul Qur an).
2. Sistem pembinaan
1). Setoran Binnadhar pada masing-masing Badal (ustadz)
yang telah ditentukan lima kali dalam seminggu sesuai
dengan materi yang telah ditentukan.
2). Pembinaan fashahah secara klasikal; mereka
dikelompokkan sesuai dengan kelompoknya secara klasikal,
diberi pembinaan bidang fashahah (adil tidaknya dalam
melafadhkan sebuah huruf) enam kali dalam seminggu
dengan materi sesuai dengan tingkatannya.
3). Ujian kenaikan; dari masing-masing tingkatan pada setiap
semester diadakan ujian kenaikan, khusus bagi yang maqbul
bisa mengikuti khataman (wisuda) binnadhar yang diadakan
setiap tahun. Bagi santri yang telah wisuda ini kemudian
memasuki jenjang Tahfidh (menghafal Al-Qur’an).
3. Lain-lain
1). Untuk dapat mengikuti wisuda binnadhar, disamping lulus
dalam ujian seleksi, mereka juga diwajibkan/disyaratkan
telah hafal juz 30, 29 dan 28 serta surat-surat tertentu (Surat
Yasin, Ar Rahman dan Waqi’ah).

47
2). Bagi mereka yang tidak mengambil program tahfidh pasca
wisuda binnadhar ini diwajibkan untuk sekolah dan
mendalami kitab salafus-sholih.
3). Program binnadhar ini ditempuh dalam dua tahun.

Gambar II.21 Kegiatan Fashohah Binnadhar


Sumber: infopsbmq.wordpress.com

2. Program Sekolah
Bagi mereka yang tidak mengambil program Tingkat pendidikan
dan pengajaran yang disediakan di Madrasatul Qur an adalah:
a. Tingkat Tsanawiyah dan SMP al-Furqan (tiga tahun)
b. Tingkat Aliyah (tiga tahun)
Pada dasarnya tingkat Tsanawiyah/SMP dan Aliyah itu saling
berkaitan kurikulumnya sehingga dapat dikatakan pendidikan dan
pengajaran sekolah formal adalah enam tahun. Bagi siswa/santri yang
berprestasi (telah khatam Al-Qur’an 30 Juz dan selesai Aliyah) dapat
melanjutkan pada tingkat Sarjana (S1 IKAHA Tebuireng), atau
Perguruan Tinggi lainnya baik Negeri maupun Swasta.

48
d. Unit-unit Pendidikan dan Sarana Penunjang
Di pondok pesantren Madrasatul Qur an Tebuireng ini terdapat unit-
unit penddikan dan sarana penunjang antara lain:
1. Unit Tahfidh, unit ini sebagai penanggung jawab pelaksanaan
program pendidikan dan pengajaran Al-Qur’an yang diselenggarakan
di Madrasatul Qur an Tebuireng Jombang.
2. Unit Sekolah, unit ini sebagai penanggung jawab pelaksanaan
program pendidikan dan pengajaran Al-Qur’an yang diselenggarakan
di Madrasatul Qur an Tebuireng Jombang. Unit ini bertanggung jawab
dalam pelaksanaan program pendidikan dan pengajaran secara formal.
3. Unit kepondokan/kesantrian, dikenal sebagai unit Majlis Tarbiyah
wat-Ta’lim (MTT) bertanggang jawab pada pengaturan keberadaan
santri dengan segala aktifitasnya, terutama pada aspek ibadah formal,
ekstra kurikuler dan aktifitas-aktifitas yang berkenaan dengan aspek
kesantrian. Bertanggung jawab penuh dalam pengawasannya 24 jam
setiap hari.
4. Unit perpustakaan, untuk meningkatkan kualitas keilmuan (wa
ma’nan)nya santri Madrasatul Qur an, disediakan berbagai kitab yang
kebanyakan berbahasa Arab terutama bidang Tafsir, Hadits dan Fiqh.
5. Biro santunan, sebagai kepedulian Madrasatul Qur an terhadap santri
yang kurang mampu dalam keuangan/biaya, mereka bisa diterima
pada unit biro santunan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
6. Kopontren Madrasatul Qur an, bergerak di bidang usaha peningkatan
perekonomian santri yang dikelola oleh pengurus Kopontren dibawah
naungan Yayasan MQ dan Dinas Perindagkop Kab. Jombang
7. Laboratorium Computer Multimedia dan jaringan internet
8. Unit keuangan, dll.

49
e. Keberadaan Madrasatul Qur an
Dalam rangka meningkatkan kualitas, sebagaimana tertera dalam
tujuan, Madrasatul Qur an pada semua unitnya selalu memperhatikan
kualitas maupun kuantitas kegiatannya. Hal ini dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1. Bidang pendidikan dan pengajaran Al-Qur’an
a. Selalu meningkatkan kemampuan para guru baik bidang keilmuan
maupun fashahah dari segi bacaannya dengan program antara lain:
1). Pembinaan setiap minggu sekali (setoran fashahah)
2). Mereka dibimbing khusus untuk memperlancar bacaannya
3). Diadakan kursus-kursus
b. Pembinaan fashahah untuk para santri tahfidh (menghafal) secara
berkelompok seminggu dua kali.
c. Pembinaan fashahah klasikal untuk tingkat persiapan menghafal
setiap hari.
d. Setoran tahfidh (hafalan) pada guru setiap hari.
e. Setoran binnadhar untuk para santri yang belum menghafal pada
guru masing-masing secara individu setiap hari.
f. Mudarosah berkelompok (masing-masing kelompok sebanyak tiga
orang) bagi santri yang menghafal.
g. Ujian Al-Qur’an pada tiap semester.
Aktifitas bidang Al-Qur’an ini dilaksanakan sore, malam dan pagi
hari (ba’da subuh).
2. Bidang pendidikan dan pengajaran sekolah
Untuk mempersiapkan muslim yang Hamilil Qur an (hafal
lafadznya, mengerti maknanya, dan mampu mengamalkan kandungan
ajarannya) maka Madrasatul Qur an memberikan fasilitas pada mereka,
dengan aktifitas-aktifitas sebagai berikut, yaitu:
a. Pendidikan dan pengajaran Madrasatul Qur an enam tahun
b. Pendidikan sekolah yang statusnya diakui

50
c. Pengajian kitab bagi santri yang mengambil program tahfidh murni
(tanpa sekolah)
d. Menempuh sarjana S1 IKAHA Tebuireng dan PT lainnnya
e. Memberikan kursus-kursus atau les materi ujian negara
f. Kamar Lughah yang mendalami program bahasa asing
(Arab&Inggris)
g. Memberikan kursus-kursus atau les materi ujian negara
3. Bidang kesantrian dan ektra kurikuler
Dalam rangka antisipasi dan pembekalan para santri dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat luas, maka Madrasatul Qur an dalam
bidang ini memberikan program kegiatan yang antara lain sebagai
berikut:
a. Jam’iyah mingguan (Pidato, Khutbah Jum’at, Sholawat dll.).
b. Jam’iyah dua mingguan.
c. Musabaqoh Hifdhil Qur an (MHQ)
d. Musabaqoh Syarhil Qur an (MSQ)
e. Musabaqoh Fahmil Qur an (MFQ)
f. Diskusi Berkala
g. Pembinaan Qiro atul Qur an bit-Taghonny
h. Lomba Akhir Sanah
i. Kegiatan bulanan yang menunjang program bidang pengabdian
masyarakat.
Mengingat Madrasatul Qur an berasal dari masyarakat dan berada
ditengah-tengah masyarakat serta berusaha membentuk masyarakat
sesuai dengan kebutuhannya sesuai dengan batas-batas kemampuan yang
dimiliki, antara lain dengan kegiatan sebagai berikut:
a. Khatmil Qur an di Kampung
b. Khutbah Jum’at
c. Memberikan santunan kepada Fakir Miskin
d. Pembinaan TPQ
e. Bakti sosial

51
4. Pembinaan perkoperasian
Untuk memperluas dan menumbuhkan semangat berdikari para
santri, maka sejak awal berdirinya Madrasatul Qur an mendirikan
koperasi santri, yang diolah dan dikelola oleh santri-santri sendiri,
dengan unit usaha:
a. Koperasi Jasa Boga
b. Pertokoan
c. Biro Sosial

f. Kurikulum Pendidikan
1. Tahfidh (menghafal Al-Qur’an)

Smtr Target Juz Perincian Jumlah Hafalan Hari Efektif

28,29,30
I 8 Juz 1–5 160 hlm 140 Hr
II 7 Juz 6 – 12 140 hlm 140 Hr
III 6 Juz 13 – 18 130 hlm 140 Hr
IV 5 Juz 19 – 23 100 hlm 140 Hr
V 4 Juz 24 – 27 80 hlm 140 Hr

2. Binnadhar
a. Tingkat Mubtadi’
1. Materi bacaan/fashahah klasikal adalah surat Al-Baqarah dan
Juz 30
2. Materi hafalan adalah surat Ad-Dluha – An-Nas
3. Materi fashahah/tajwid:
1) Makharijul huruf
2) Mad dan Qashr.
3) Hukum nun mati dan tanwin, hukum mim mati dan nun
tasydid.

52
4. Target capaian:
1) Menguasai dasar-dasar fashahah.
2) Lancar membaca.
b. Tingkat Mutawashith
1. Materi bacaan/fashahah klasikal adalah :Ali Imron – An-Nas
2. Materi hafalan :Juz Amma & surat-surat penting
3. Materi setoran Juz 1 – 15
4. Materi fashahah dan tajwid:
1) Hukum bacaan Ra’ dan Lam
2) Tanda-tanda waqof
3) Ahkamul Mad dan Ukurannya.
c. Tingkat Muntadhir
1. Materi bacaan/fashahah klasikal adalah Ash-Shoffat – Adz-
Dzariyat
2. Materi hafalan adalah surat-surat penting dan Juz 30, 29
3. Materi fashahah dan tajwid:
1) Waqof ibtida’
2) Musykilatul Kalimat
3) Hamzah Qotho’ dan Washal
4. Target capaian:
1) Mampu membaca Al-Qur’an sesuai dengan makhraj dan
sifatnya
2) Lancar membaca
d. Tingkat Maqbul, materi Muntadhir dan hafalan juz 28

53
g. kegiatan rutin harian santri

Adapun jadwal kegiatan rutin harian santri sebagai berikut:

WAKTU URAIAN

03.30 – 04.30 Bangun pagi, shalat lail


04.30 – 05.00 Jama’ah shalat shubuh
05.00 – 06.00 Pengajian al-Qur an (setoran)
06.30 – 06.40 Makan pagi dan mandi
06.40 – 07.00 Persiapan sekolah dan Shalat dhuha
07.00 – 12.20 Kegiatan KBM / sekolah
12.20 – 13.00 Jama’ah shalat dhuhur dan makan siang
13.00 – 15.00 Istirahat siang
15.00 – 15.45 Jama’ah shalat ‘ahsar
15.45 – 16.45 Pengajian al-Qur an klasikal
16.45 – 17.15 Mandi sore dan persiapan ke masjid
17.15 – 18.15 Jama’ah shalat maghrib
18.15 – 19.30 Pengajian al-Qur an (fashahah)
19.30 – 20.00 Jama’ah shalat isya’
20.00 – 21.15 Jam belajar klasikal
21.15 – 22.30 Kegiatan ekstra
22.30 – 03.30 Istirahat

h. Prestasi Madrasatul Qur an


Madrasatul Qur an selalu aktif mengikuti kegiatan (Musabaqoh
Tilawatil Qur an) sebagai kegiatan pemerintah baik Nasional maupun
Internasional. Beberapa santri tercatat pernah mewakili Negara Rebpublik
Indonesia untuk mengikuti Musabaqoh Hifdhil Qur an (MHQ) tingkat
Internasional di Makkah.

54
2. PESANTREN TERPADU DARUL QUR’AN MULIA

Gambar II.22 Kegiatan Fashohah Binnadhar


Sumber: darulquran.sch.id

a. Latar Belakang Pendirian Pesantren


Pesantren Terpadu Darul Qur’an Mulia didirikan dengan sebuah
cita-cita yang luhur yakni menyiapkan Generasi Robbani. Generasi yang
sangat istimewa dalam sejarah awal perjalanan Islam, yang dibentuk oleh
manusia agung yakni Rasulullah SAW. Generasi itu terkenal dengan
sebutan Generasi Qur’ani. Lahirnya Generasi Qur’ani tentu saja didukung
dengan interaksi yang komprehensif terhadap Al-Qur’an dalam bentuk;
Tilawah, Tafhim, Tahfizh, dan Tathbiq nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Sehingga muncul kecintaan terhadap Al-Qur’an. Keempat bentuk interaksi
terhadap Al-Qur’an tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Ketiadaan pada salah satunya meniscayakan adanya bagian yang tidak
sempurna dari tujuan Al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia.
Lembaga pendidikan model pesantren yang berasrama (boarding
school) menjadi salah satu pilihan yang tepat untuk mewujudkan cita-cita di
atas. Sehingga dalam keseharian, seluruh santri dapat menjalani proses

55
pembiasaan dengan berbagai media dan cara. Besar harapan, dari pesantren
ini akan kembali lahir kader-kader umat yang Qur’ani.

b. Visi Dan Misi Pesantren Terpadu Darul Qur’an Mulia


1. Visi, Terwujudnya peserta didik yang sholeh, beriman kokoh,
beribadah benar, berakhlak mulia, berbadan sehat, berpengetahuan
luas, mandiri, dan cinta Al-Qur’an
2. Misi
a. Mengupayakan keteladanan pada semua jajaran pengurus dan
pengelola pesantren.
b. Mengupayakan terwujudnya kurikulum yang jelas, benar, Islami,
terpadu, berjenjang, dan aplikatif.
c. Mengupayakan berlangsungnya KBM (kegiatan belajar mengajar)
yang terpadu, tepat, dan menyenangkan.
d. Mengupayakan tersedianya personal yang mempunyai kompetensi
pribadi, profesional, paedagogik, dan sosial.
e. Mengupayakan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai.
f. Mengoptimalkan pendayagunaan pusat sumber belajar untuk
membantu proses belajar mengajar.
g. Mengupayakan terwujudnya suasana lingkungan fisik dan kegiatan
yang Islami dan kondusif.
c. Kegiatan Pesantren Terpadu Darul Qur’an Mulia
Pesantren Terpadu Darul Qur’an Mulia memiliki tiga kegiatan
pokok:
1. Kegiatan Al-Qur’an yang meliputi; Tahsin Tilawah, Tahfizhul Qur’an,
Tafhimul Qur’an, dan Tathbiq Amaly.
a. Program Tahsin adalah program Al-Qur’an pertama yang
dijalankan para santri. Santri tidak diizinkan untuk mengikuti
tahfizh sebelum dinyatakan lulus pada tes tahsin.
b. Program Tahfizh adalah program yang memiliki alokasi waktu
paling banyak yang terbagi dalam 4 waktu; pertama, setelah sholat

56
Subuh yang digunakan untuk menyetorkan hafalan baru, kedua,
setelah sholat Zuhur yang digunakan untuk menyiapkan setoran
murojaah sore, ketiga, setelah sholat Ashar yang digunakan untuk
menyetorkan murojaah, dan keempat, setelah sholat Maghrib yang
digunakan untuk menyiapkan setoran hafalan baru.
c. Program Tafhim adalah program penyempurna dari program
tahfizh yang diawali dengan program Terjemah Al-Qur’an. Dengan
program ini diharapkan para santri dapat memahami dan
menghayati hafalan Al-Qur’an yang sudah disetorkan.
2. Kegiatan Pendidikan Formal yang mengacu kepada Departemen
Pendidikan Nasional (SMPIT dan SMAIT)
3. Kegiatan Pendidikan Formal yang memuat kurikulum pesantren
berbasis pembelajaran Bahasa Arab secara intensif.

Adapun jadwal kegiatan harian di Pesantren Terpadu Darul Qur’an


Mulia adalah:

1. 04.00 – 04.20 WIB Persiapan Sholat Subuh


2. 04.20 – 04.45 WIB Sholat Subuh
3. 04.45 – 06.15 WIB Al-Qur’an (Setoran Hafalan Baru)
4. 06.15 – 07.00 WIB MCK dan Sarapan Pagi
5. 07.00 – 12.00 WIB KBM Formal
6. 12.00 – 12.30 WIB Sholat Zuhur
7. 12.30 – 13.00 WIB Al-Qur’an (Persiapan Murojaah Sore)
8. 13.00 – 13.45 WIB Makan Siang
9. 13.45 – 15.00 WIB Istirahat Siang
10. 15.00 – 15.30 WIB Sholat Ashar
11. 15.30 – 16.30 WIB Al-Qur’an (Setoran Murojaah)
12. 16.30 – 17.15 WIB Olahraga
13. 17.15 – 18.00 WIB MCK dan Makan Malam
14. 18.00 – 18.20 WIB Sholat Maghrib
15. 18.20 – 19.00 WIB Al-Qur’an (Persiapan Setoran Hafalan Baru)

57
16. 19.00 – 19.20 WIB Sholat Isya
17. 19.20 – 20.00 WIB Kosa Kata Bahasa Arab/Inggris
18. 20.00 – 21.30 WIB Belajar Malam
19. 21.30 – 04.00 WIB Istirahat Malam

d. Infrastruktur Pesantren Terpadu Darul Qur’an Mulia


Infrastruktur yang disediakan di Pesantren Terpadu Darul Qur’an
Mulia adalah:
1. Masjid
2. Gedung Sekolah
3. Gedung Asrama
4. Rumah Guru dan Karyawan
5. Lab. Komputer
6. Lab. IPA
7. Perpustakaan
8. Dapur Umum
9. Klinik
10. GOR dan Lapangan Futsal
11. Sarana Olahraga: Futsal, Badminton, Bola Basket, dan Tenis Meja

58
3. Pondok Pesantren (Ponpes) Baitul Quran

Pondok Pesantren (Ponpes) Baitul Quran yang terletak di Kecamatan Poasia, Kota
Kendari Pimpinan Ustadz H. Nur Alfiq merupakan Ponpes yang mengkhususkan
pada pembinaan para santri-santri penghafal Al Quran atau Hafizh Al Quran.

Saat ini, jumlah santrinya berjumlah sekitar 70 orang, baik yang berasal dari Kota
Kendari maupun dari berbagai daerah di luar Kendari bahkan Provinsi Sulawesi
Tenggara (Sultra). Sebagian guru dan pengurus Ponpes didatangkan dari Ponpes
yang berada di pulau Jawa, seperti dari Subang maupun Banten.

Yang unik dari Ponpes Baitul Quran ini, santri yang mondok dan belajar Al Quran
tidak dikenakan biaya alias “gratis”. Untuk biaya operasional Ponpes, menurut
Ustadz H. Nur Alfiq, pihaknya selama ini mendapat bantuan sumbangan dari
donator yang peduli terhadap pendidikan Islam, khususnya terhadap para
penghafal Al Quran, baik bantuan yang datang dari pribadi maupun Instansi
seperti Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Sultra,
Kemenag Kota Kendari maupun bantuan pihak lainnya.

Ustadz H. Nur Alfiq berkomitmen untuk menjadikan Ponpes Baitul Quran


menjadi Pusat Al Quran di Kendari, terutama dalam mencetak penghafal Al
Quran.

Prestasi yang telah ditorehkan oleh santri-santri Ponpes Baitul Quran diantaranya
meraih juara 2 dalam lomba hafalan Al Quran 30 Juz tingkat Asean tahun 2015
yang digelar di Jakarta, belum lama ini, dan santri peraih prestasi tersebut berhak
mendapatkan hadiah uang pembinaan serta berkesempatan menunaikan ibadah
haji yang biayanya ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

Dari 70 orang santri, 5 orang diantaranya telah menghafal Al Quran 30 Juz,


sedangkan untuk tingkat yang terendah khususnya yang anak-anak, mereka telah
sanggup menghafal Al Quran 5 Juz. Selain itu juga santri-santri Ponpes Baitul
Quran ikut mewakili Provinsi Sultra dalam ajang STQ Tingkat Nasional yang

59
rencananya dilaksanakan di Jakarta pada bulan Agustus 2015 mendatang. Saat ini,
santri-santri tersebut dilatih secara khusus di salah satu Ponpes di Jakarta.

Ponpes Baitul Quran juga turut aktif dalam membina Majelis Taklim pada warga
sekitar, kemudian turut dalam membina mantan nara pidana (napi) yang ingin
belajar Islam dan Al Quran secara mendalam. Di samping itu juga Ponpes Baitul
Quran turut andil dalam menjadikan salah satu Kampung Nelayan di daerah
Poasia menjadi percontohan Kampung Al Quran, di mana dalam setiap rumah
diupayakan terdapat minimal 1 orang penghafal Al Quran.

Nur Alfiq mengharapkan doa serta dukungan dari masyarakat Kota Kendari agar
keberadaan Ponpes Baitul Quran mampu menunjang salah satu program
Pemerintah Kota (Pemkot) Kendari, yaitu bebas buta aksara Al Quran serta
program Kementerian Agama yakni membumikan Al Quran di tengah masyarakat
Islam Kota Kendari.

(http://www.beritaekspres.com/2015/07/16/pondok-pasantren-baitul-quran-
poasia-kota-kendari-cetak-penghafal-al-quran/)

60

Anda mungkin juga menyukai