Anda di halaman 1dari 19

BIOGRAFI WALI SONGO

Sunan Gresik ( Maulana Malik Ibrahim )

Sunan Gresik ( Maulana Malik Ibrahim ) merupakan salah satu dari 9 Walisongo
yang menyebarkan agama islam di Tanah Jawa . tanggal lahir Sunan Gresik yaitu
pada paruh awal abad ke 14 dan meninggal pada tahun 1419 Masehi serta di
makamkan di desa Gapurosukolilo , Kota Gresik , Jawa Timur. Istri Sunan Gresik
bernama Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil ( Raja Champa Dinasti
Azmatkhan 1 )

Kisah Sunan Gresik ( Maulana Malik Ibrahim )


Sunan Gresik adalah seorang Walisongo , yang di anggap pertama kali menyebarkan
agama islam di Tanah Jawa. Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai
asal usul keturunan Maulana Malik Ibrahim , banyak masyarakat yang sepakat bahwa
Sunan Gresik bukanlah asli orang Jawa melainkan dari wilayah Arab Maghrib di
Afrika Utara. Menurut beberapa versi Sunan Gresik merupakan keturunan Rasulullah
SAW.
Sunan Gresik di anggap sebagai salah seorang yang pertama-tama menyebarkan
agama Islam di Pulau Jawa, beberapa versi mengatakan bahwa kedatangannya di
sertai oleh beberapa orang. Daerah yang di tujunya pertama kali adalah Sembolo ,
sekarang adalah daerah Leran , Kecamatan Manyar , yaitu 9 kilometer ke utara kota
Gresik, beliau lalu menyebarkan dan menyiarkan agama Islam di Tanah Jawa bagian
Timur, dengan mendirikan masjid pertama di Desa Pasucian Manyar.Dalam
penyebaran Agama Islam , pertama-tama yang beliau lakukan adalah dengan cara
mendekati masyarakat melalui pergaulan. Dengan menggunakan budi bahasa yang
lembut. Beliau tidak menentang agama dan juga kepercayaan hidup dari penduduk
asli , melainkan beliau hanya memperlihatkan keindahan dan kebaikan yang di bawa
dalam Agama Islam. Akhirnya berkat keramah-tamahan serta kelembutannya banyak
masyarakat yang tertarik dan masuk ke dalam agama Islam.
Setelah beliau memikat hati masyarakat , akhirnya Sunan Gresik mulai berdagang di
Pelabuhan terbuka , sehingga memudahkan beliau untuk bertemu dengan banyak
masyarakat bahkan dari kalangan raja dan juga bangsawan . setelah beliau cukup di
segani oleh masyarakat , kemudian Maulana Malik Ibrahim melakukan kunjungan ke
ibukota Majapahit di Trowulan . Meskipun Raja Majapahit tidak masuk islam namun
ia menerima Sunan Gresik dengan baik, bahkan ia memberikan sebidang tanah di
pinggiran Kota Gresik dan daerah tersebut dinamakan Gapura dan di bangunlah
pesantren – pesantren di daerah tersebut sebagai tempat untuk menyebarkan agama
islam.

Metode Dakwah Sunan Gresik ( Maulana Malik Ibrahim )


 Dengan cara berdagang
 Dengan cara bergaul atau melakukan pendekatan dengan masyarakat luas
 Dengan cara membuka pengobatan gratis
Peninggalan Sunan Gresik ( Maulana Malik Ibrahaim )
1. Masjid Pesucian yaitu masjid tertua di Pulau Jawa
Masjid Pesucian ini tercatat sebagai masjid tertua di Pulau Jawa karena daerah
pertama yang di singgahi atau di tuju oleh Sunan Gresik adalah Sembolo pada tahun
1389 Masehi yang berada didalam kekuasaan kerajaan Majapahit , yang sekarang
berubah menjadi desa Leran , Sembilan kilometer dari Pusat Kota Gresik . Di sisi
utara Masjid Pesucian masih dapat di temukan bebatuan arsenik peninggalan masa
kejayaan Masjid Pesucian , bahkan terdapat satu batu besar yang tepat berada di
depan pagar Majid Pesucian di sisi timur, yang di percaya dahulu merupakan bekas
batu tempat berlabuhnya kapal.
Air sumur sebagai air penyembuhan
Air sumur yang terdapat di dalam Masjid Pesucian menjadi sebuah air yang banyak
di percaya oleh pakar Spiritual sebagai air yang mampu menyembuhkan berbagai
jenis penyakit. Uniknya, sumber air yang terdapat din dalam sumur ini sangat besar
dan juga rasanya tawar , tidak seperti sumur diwilayah desa ini yang semuanya
mempunyai rasa yang asin.
Karomah Sunan Gresik ( Maulana Malik Ibrahim )
1. Karomah Syekh Maulana Malik Ibrahaim dalam menurunkan hujan lebat.
2. Kisah Murid Syekh Maulana Malik Ibrahaim dalam menaklukkan perampok.
Karya Sunan Gresik ( Maulana Malik Ibrahim )
1. Bidang Kesenian : Tembang Suluk , Gundul-Gundul Pacul dan lain-lain.
2. Bidang Pendidikan : Pondok Pesantren Leran Gresik
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Asy-Syaikh As-Sayyid Al-Habib KH.Shohibul Faroji Azmatkhan Ba’alawi Al-


Husaini(Peneliti Sejarah & Nasab Wali Songo, Mursyid Thariqah Wali Songo dan
Pimpinan Majelis Dakwah Wali Songo)
NAMA SUNAN AMPEL
Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Sayyid Muhammad ‘Ali Rahmatullah,
setelah pindah ke Jawa Timur dipanggil oleh masyarakat dengan panggilan Sunan
Ampel atau Raden Rahmat. lahir pada tahun 1401 Masehi di “Champa”
TEMPAT KELAHIRAN
Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh
Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di
“Kamboja”. Pendapat lain, “Raffles” menyatakan bahwa Champa terletak di “Aceh”
yang kini bernama “Jeumpa”. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama
tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang
kini menjadi bagian dari Surabaya ( kota Wonokromo sekarang).

NASAB SUNAN AMPEL


Sunan Ampel bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin
Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih
bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin
Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-
Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-
Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah

ISTRI DAN ANAK SUNAN AMPEL


Sunan Ampel menikah dengan:
I. Isteri Pertama, yaitu: Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo
Tejo AlAbbasyi, berputera:
1. Maulana Mahdum Ibrahim/Raden Mahdum Ibrahim/ Sunan Bonang
2. Syarifuddin/Raden Qasim/ Sunan Derajat
3. Siti Syari’ah/ Nyai Ageng Maloka/ Nyai Ageng Manyuran
4. Siti Muthmainnah
5. Siti Hafsah
II. Isteri Kedua adalah Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera:
1. Dewi Murtasiyah/ Istri Sunan Giri
2. Dewi Murtasimah/ Asyiqah/ Istri Raden Fattah
3. Raden Husamuddin (Sunan Lamongan)
4. Raden Zainal Abidin (Sunan Demak)
5. Pangeran Tumapel
6. Raden Faqih (Sunan Ampel 2)

DAKWAH SUNAN AMPEL


Ulama adalah pewaris para nabi. Sebuah pengakuan sekaligus penegasan resmi
Rasulullah saw. tentang penerus perjuangan Islam untuk memimpin umat dan
membimbing mereka kepada jalan agama Allah swt serta mengarahkan mereka
menuju kebaikan.
Raden Rahmatullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel adalah
satu dari sekian banyak waratsatul anbiya’ yang dipercaya oleh Allah swt. untuk
meneruskan estafet perjuangan Rasulullah Saw. Beliau adalah sosok ulama teladan
sekaligus waliyyun min auliyaillah’.Tipe pemimpin ideal ada di sini: muballigh
ulung, cendekiawan sejati, dan penuh perhitungan dalam setiap langkah menapaki
terjalnya jalan dakwah dan menghadapi tantangan masyarakat yang
sebelumnya telah mempunyai keyakinan yang membumi akan faham budhisme,
hinduisme dan kepercayaan “isme-isme” yang lain, jauh sebelum sunan Ampel
datang menebarkan ajaran rahmatan lil alamin.
Sebuah langkah tepat beliau lakukan sebagai strategi awal dalam metodologi
dakwahnya, yaitu pembauran dengan masyarakat akar rumput yang merupakan titik
sentral dari sasaran dakwahnya. Saat itulah kecendekiaan dan intlektualitasnya benar-
benar teruji. Tidak mudah tentunya. Di tempat yang sangat asing, jumud dan kolot,
seorang pendatang dari negeri Campa berusaha untuk beradaptasi dengan kultur-
sosial yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Dengan diplomasinya yang gemilang,
Kanjeng Sunan Ampel berhasil mensejajarkan kaum Muslimin kala itu dengan
kalangan “elite” dalam kasta-kasta mesyarakat dan pemerintahan Majapahit.
Pemerintahan Majapahit pun sangat menghormati dan menghargai hak-hak dan
kewajiban orang Islam, bahkan tidak sedikit dari punggawa kerajaan yang akhirnya
memeluk agama Islam sebagai way of life-nya.

Kalau metodologi dakwah Sunan Ampel dengan masyarakat akar rumput dilakukan
dengan cara pembauran dan pendekatan, beda halnya dengan metode yang ditempuh
ketika menghadapi orang-orang cerdik-cendikia. Pendekatan intelektual dengan
memberikan pemahaman logis adalah alternatif yang beliau tempuh. Hal ini
sebagaimana tercermin dalam dialognya dengan seorang biksu Budha.
Suatu ketika, seorang biksu datang menemui Sunan Ampel.
Kemudian terjadilah percakapan seputar akidah berikut:
Biksu: Setiap hari Tuan sembahyang menghadap ke arah kiblat. Apakah Tuhan Tuan
ada di sana?”
Sunan Ampel: Setiap hari Anda memasukkan makanan ke dalam perut agar Anda
bisa bertahan hidup. Apakah hidup Anda ada di dalam perut?”
Biksu itu diam tidak menjawab. Tapi dia bertanya lagi, “Apa maksud tuan berkata
begitu?”
“Saya sembahyang menghadap kiblat, tidak berarti Tuhan berada di sana.
Saya tidak tahu Tuhan berada di mana. Sebab, kalau manusia dapat
mengetahui keberadaan tuhannya,lantas apa bedanya manusia dengan Tuhan?
Kalau demikian buat apa saya sembahyang?!”Cerita berakhir. Dan si biksu
kemudian masuk Islam karena ia gamang akan otentisitasajaran agamanya.
Satu ending yang sangat memuaskan. Tidak hanya bagi si pelaku cerita, tapi juga
untuk kita: sebuah pelajaran tentang metedologi dakwah di hadapan orang yang tidak
bertuhankan Tuhan.Sunan Ampel.: etos dakwah di tanah Jawa di samping icon
Sunan Kalijaga, di sisi yang lain. Beliau adalah satu dari sekian banyak wali Allah
yang menghabiskan hidupnya hanya untuk berdakwah di jalan-Nya. Metodologi
dakwahnya memang tidak sama dengan metodologi ala Sunan Kalijaga atau
Sunan Muria, yang menggunakan pendekatan seni-budaya Jawa sebagai media
dakwahnya. Sunan Ampel lebih menggunakan pendekatan intelektual—dengan
memberikan pemahaman tentang Islam melalui wacana intelektual dan diskusi yang
cerdas dan kritis serta dapat dinalar oleh akal. Cerita di atas adalah bukti sejarahnya.
Dialog Sunan Ampel-biksu telah mengingatkan kita kepada jawaban Nabi Ibrahim
as. dilontarkan kepada raja Namrudz ketika beliau dituduh menghancurkan tuhan-
tuhan mereka, “Bahkan, Tuhan yang paling besar inilah yang melakukannya”.
Bedanya, Namrudz tidak pernah mau menerima kebenaran itu meski dia
mengetahuinya. Kemudian kita bertanya, mungkinkah orang sekelas biksu dapat
ditaklukkan hanya dengan melalui pendekatan budaya? Bisa jadi, tapi mungkin sulit.

Urgensitas budaya sebagai media dakwah alternatif memang tak bisa dibantah.
Sejarah juga membuktikan bahwa pendekatan kultur-budaya yang dimainkan oleh
Sunan Kalijaga berhasil dengan sangat gemilang. Tapi, sejatinya, pendekatan kultur-
budaya hanya relevan untuk komunitas masyarakat kelas menengah ke bawah.
Sedang untuk obyek intelektual kelas atas mungkin sangat pas bila menggunakan
jalur seperti yang ditempuh Sunan Ampel. Dus, dengan dua metodologi yang
dipakainya, beliau telah berhasil menciptakan harmoni antara ulama dan umara,
antara akar rumput dan kalangan pemerintahan, walaupun masih berada dalam sekat
tertentu, karena beliau–sebagai sosok da’i yang mempertaruhkan hidupnya untuk
berdakwah dan mengayomi umat–tetap indipenden dan konsisten dengan posisinya
sebagai ulama. Beliau tidak pernah dan memang tidak sudi menggunakan alat
kekuasaan sebagai kendaraan dakwahnya.

Maka tidak berlebihan jika beliau mendapat prototype sebagai wali sejati, wali dalam
pengertian “kekasih Allah” di dunia, bukan wali dengan arti penguasa setempat
sebagaimana mispersepsi sebagian pemerhati sejarah (yang mungkin juga tidak
mengakui adanya wali Allah yang lain). Karena kalau kita merunut sejarah, maka
akan menghasilkan sebuah hipotesa sebagaimana di atas. Terbukti, beliau, sekali lagi,
tidak mau menggunakan kendaraan kekuasaan sebagai piranti memuluskan
dakwahnya.
Ala kulli hal, metode dakwah Sunan Ampel melengkapi strategi dakwah walisongo
secara umum, untuk menjadi satu kesatuan yang nyaris sempurna guna memuluskan
misi mulia yang mereka emban: menyebarkan risalah Islam di tanah jawa. Dan,
karena jasa-jasa mulianya inilah, ribuan atau bahkan jutaan doa senantiasa mengalir,
setiap saat, di setiap denyut doa umat Islam, hingga dunia enggan meneruskan
sejarahnya.

MAKAM SUNAN AMPEL


Sunan Ampel Wafat di Surabaya, tahun 1425 M. Makamnya terletak di daerah
Ampel Denta, Kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.

3. Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim)

Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum
Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah
sebuah desa di kabupaten Rembang.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa
Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi
makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya
beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat
mengagumi beliau sampai ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid
tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-
pakaian beliau. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal
dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan
Bonang. Mereka memperebutkannya.

Silsilah
 Terdapat silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang dan Nabi Muhammad
 Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin
 Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
 Maulana Malik Ibrahim bin
 Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) bin
 Ahmad Jalaludin Khan bin
 Abdullah Khan bin
 Abdul Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin
 Alawi Ammil Faqih (dari Hadramaut) bin
 Muhammad Sohib Mirbath (dari Hadramaut) bin
 Ali Kholi’ Qosam bin
 Alawi Ats-Tsani bin
 Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
 Alawi Awwal bin
 Ubaidullah bin
 Ahmad al-Muhajir bin
 Isa Ar-Rumi bin
 Muhammad An-Naqib bin Ali Uradhi bin
 Ja’afar As-Sodiq bin
 Muhammad Al Baqir bin
 Ali Zainal ‘Abidin bin
 Hussain bin
 Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad).

Karya Sastra
Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil.
Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr.
Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti
penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang. Apa pula sebuah karya
sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang
dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku
(Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya,
dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.
Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu
(dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan
kesimbangan pernafasan[rujukan?] yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim yang
artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-
gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang
berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya’. Ia menciptakan
Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat
mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak
murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah
mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur’an. Penekanan
keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk
melakukan Sujud atau Sholat dan dzikir.
Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di
Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud
Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia.

1. Asal usul Sunan Bonang


Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah
Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putera Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang
sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi. Dengan
demikian Raden Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah
puteri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit.
Sebagai seorang wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se
tanah jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil
Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan
disiplin.Sudah bukan rahasia bahwa latihan atau riadha para wali itu lebih berat
daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka
Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.Disebutkan dari
berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu
masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri
Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah
kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap
di Negeri Pasai. Seperti ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan
Parsi atau Iran.
Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke
jawa. Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal
sebagai Sunan Giri.Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk
berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.

2. Bijak dalam Berdakwah


Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian
rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang
disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian
tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak timbulah suara yang merdu
di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu,
beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga
apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi pendengarnya.
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang
datang ingin mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar
membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden
Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh
kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran
agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang
berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari
agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban,
Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering
mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar
Sunan Bonang.

3. Karya Satra
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya
sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh
keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di
perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf)
atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan
dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa
dalam bentuk prosa disebut wirid.

4. Kuburnya ada dua


Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia
pada saat berdakwah di Pulau Bawean.Berita segera disebarkan ke seluruh tanah
jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan
memberikan penghormatan yang terakhir.
Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan beliau di Pulau
Bawean. Tetapi murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenasah
beliau dimakamkan di dekat ayahnya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal
memberikan kain kafan pembungkus jenasah mereka pun tak mau kalah. Jenasah
yang sudah dibungkus dengan kain kafan milik orang bawean masih ditambah lagi
dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep
untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenasah
Sunan Bonang kedalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya
tergesa-gesa kain kafan jenasah tertinggal satu.
Kapal layar segera bergerak ke arah Surabaya, tetapi ketika berada diperairan Tuban
tibatiba kapal yang dipergunakan tidak bisa bergerak akhirnya jenasah Sunan Bonang
dimakamkan di Tuban yaitu sebelah barat Mesjid Jami’ Tuban.
Sementara kain kafannya yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenasahnya.
Orang orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh khidmat.
Dengan demikian ada dua jenasah Sunan Bonang, inilah karomah atau kelebihan
yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan diantara
murid-muridnya.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli adalah yang
berada dikota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak yang diziarahi
orang darisegala tanah air.

4. Sunan Drajat (Raden Qosim/Raden Syaifudin)

Menurut buku-buku sejarah walisongo, nama asli Sunan Drajat yaitu Raden Qosim.
Beliau lahir sekitar tahun 1470 M, dan merupakan putra dari Sunan Ampel bersama
Nyai Ageng Manila atau Dewi Condrowati. Sunan Drajat merupakan anak kedua dari
lima bersaudara, bersama dengan Sunan Bonang, Siti Muntisiyah (istri dari Sunan
Giri), Nyai Ageng Maloka (istri dari Raden Patah),dan istri dari Sunan Kalijaga.
Dari silsilah Sunan Ampel, maka Sunan Drajat termasuk cucu dari Syekh Maulana
MalikIbrahim, seorang perintis dan pelopor pertama yang membawa Islam di tanah
Jawa. Sementara itu, Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Asmarakandi merupakan
anak dari seorang ulama besar dari Persia, yakni Syekh Jamaludin Akbar atau
Jumadil Kubro yang dipercayasebagai keturunan ke-10 Sayidina Husein, cucu dari
Nabi Muhammad SAW.
Ibu dari Sunan Drajat merupakan putri dari adipati Tuban yaitu Arya Teja IV, dan
masih memiliki nasab dengan Ronggolawe. Ketika masih muda Sunan Drajat sering
dipanggil dengan nama Raden Syarifuddin. Selain itu beliau juga memiliki gelar
Sunan Mayang Madu yang diberikan oleh Sultan Demak pertama (Raden Patah), dan
masih banyak gelar lainnya seperti Sunan Muryapada, Maulana Hasyim, dan Syekh
Masakeh.

SEJARAH RIYADHOH DAN ISTRI ISTRI SUNAN DRAJAT


Sama halnya Sunan Bonang, Sunan Drajat juga dibekali dengan ilmu agama oleh
ayahnya secara teratur di pondok pesantren Ampel Denta Surabaya. Selain itu, beliau
juga pernah berguru agama Islam pada Sunan Gunung Jati yang berada di Cirebon.
Meskipun sebelumnya Sunan Gunung Jati atau yang memiliki nama asli Syarif
Hidayatullah adalah murid dari Sunan Ampel sendiri yang ditugaskan di daerah
Cirebon.
Saat di daerah Cirebon, Sunan Drajat sering disebut dengan Syekh Syarifuddin. Di
sana beliau turut membantu Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan dakwah agama
Islam. Beliau kemudian menikah dengan Dewi Sufiyah yang merupakan putri dari
Sunan Gunung Jati, dan dikaruniai anak bernama Pangeran Trenggana, Pangeran
Sandi, dan Dewi Wuryan.
Selain itu, beliau juga menikah dengan Nyai Kemuning dan Nyai Retno Ayu
Candrawati. Nyai Kemuning merupakan putri dari Mbah Mayang Madu yang
merupakan seorang tetua desa Jelak.
Beliau merupakan orang yang telah menolong Sunan Drajat disaat terdampar dalam
perjalanan dakwahnya menuju ke pesisir Gresik. Di lain sisi, Sunan Drajat juga
menikahi Nyai Retno Ayu Candrawati yang merupakan putri dari Raden
Suryadilaga, seorang adipati di kawasan Kediri.

PERJALANAN DAKWAH SUNAN DRAJAT


Sunan Drajat merupakan salah satu dari anggota walisongo yang terkenal akan
kecerdasannya. Setelah beliau selesai dengan riyadhoh dan menguasai pelajaran
agama Islam,beliau kemudian diperintahkan untuk menyebarkan ajaran agama di
sebelah barat Surabaya khususnya pesisir Gresik.
Namun, dalam perjalanannya mengarungi lautan, perahu yang ditumpangi beliau
mengalami musibah ombak besar hingga akhirnya tenggelam dan menyebabkan
beliau terdampar di daerah pesisir Lamongan.

1. PERJALANAN DI TENGAH LAUT


Alkisah setelah belajar di Ampel Denta, Sunan Drajat memperoleh tugas dakwah
pertama dari Sunan Ampel untuk memusatkan penyebaran Islam di daerah pesisir
Gresik. Namun di tengah perjalanan dari Surabaya menggunakan perahu, beliau
dihantam oleh ombak yang cukup besar sehingga membuat perahunya tenggelam.
Beliau bertahan dengan berpegangan pada dayung perahu, yang pada akhirnya
diselamatkan oleh ikan cucut dan ikan talang (cakalang).

2. PERTOLONGAN IKAN DAN HIKMAH DI DALAMNYA


Jika melihat ke belakang sejarah, maka peristiwa Sunan Drajat ini hampir mirip
dengan kisah Nabi Yunus dan juga kisah Sri Tanjung. Yang mana ketika Nabi Yunus
dilempar ke tengah laut, beliau kemudian diselamatkan oleh ikan hiu yang sangat
besar.
Jika kita mengambil hikmah dari ketiga kisah tersebut maka harusnya kita belajar
dari ikan yang tidak pernah terlepas dari lingkungannya (air).
Sama seperti ikan yang hidup di air maka manusia juga tidak boleh terlepas dari
tanggung jawabnya di lingkungan masyarakat. Ia harusnya menolong dan membantu
bilamana dalam lingkungan tersebut mengalami keterbelakangan, bodoh, miskin,
atau sebagainya. Dan sebagaimana ikan yang memasuki lorong-lorong bebatuan
untuk mencari kebaikan,maka manusia juga harus bisa membaca, mendengarkan, dan
mencari tahu apa yang tengah diinginkan oleh masyarakat

3. TERDAMPAR DI PESISIR JELAK, BANJARWATI


Dengan menaiki kedua ikan tersebut, akhirnya Sunan Drajat berhasil mendarat di
sebuah pesisir yang dikenal sebagai desa Jelak, Banjarwati. Menurut beberapa
sumber, kejadian tersebut terjadi sekitar tahun 1485 M.
Di desa Jelak tersebut, beliau mendapat sambutan yang hangat oleh tetua kampung
yaitu Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar yang diyakini sudah masuk Islam
dengan bantuan pendakwah yang berasal dari Surabaya.

4.MENETAP DI DESA JELAK


Sunan Drajat kemudian menetap di desa Jelak dan menikah dengan putri dari Mbah
Mayang Madu yaitu Nyai Kemuning. Beliau kemudian mendirikan surau yang
akhirnya berkembang menjadi sebuah pesantren untuk mengaji ratusan penduduk
disana.
Sunan Drajat berhasil mengubah desa Jelak yang tadinya hanyalah kampung kecil
dan terpencil menjadi desa yang berkembang dan ramai. Nama desa tersebut
akhirnya diubah menjadi desa Banjaranyar.

5. BABAT ALAS WILAYAH YANG BARUSetelah lebih dari setahun di Jelak,


Sunan Drajat akhirnya memutuskan untuk mencari tempat dakwah lain yang lebih
strategis. Beliau kemudian berpindah sekitar satu kilometer ke arah selatan dan
membuka lahan baru yang masih berupa hutan belantara.
Untuk menempati lahan tersebut, beliau bersama dengan Sunan Bonang meminta
izin kepada Sultan Demak I dan mendapatkan ketetapan pemberian tanah tersebut
tahun 1486 M.
Hutan yang berada di pegunungan tersebut dianggap sangat strategis karena jauh dari
banjir saat musim hujan. Selain itu, pemilihan gunung juga dipercaya dekat dengan
Allah sebagaimana
Nabi Musa dan Nabi Muhammad yang mendapatkan wahyu untuk pertama kalinya.
Menurut beberapa kisah, selama pembukaan lahan, banyak sekali makhluk halus
yang marah, meneror warga, serta menyebarkan penyakit, namun bisa diatasi oleh
Sunan Drajat.

METODE DAKWAH SUNAN DRAJAT

1. MENJADI BAGIAN TERPENTING DALAM MASYARAKAT


Untuk bisa dihormati dan diikuti oleh masyarakat maka Sunan Bonang menjadi
bagian terpenting dalam lingkungan dakwahnya. Dalam beberapa naskah disebutkan
bahwa beliau menikahi putriputri dari petinggi desa atau wilayah kabupaten.
Dengan demikian maka cukup mudah bagi beliau untuk mengajak pemimpin dan
rakyatnya masuk dalam agama Islam, atau mengajak orang-orang yang lebih kaya
untuk menginfakkan sebagian harta mereka pada fakir miskin.
Selain itu, beliau juga mampu mengambil hati masyarakat dengan menyembuhkan
warga yang sakit melalui doa dan juga ramuan tradisional.
Beliau juga terkenal dengan kesaktiannya, terbukti dengan adanya Sumur Lengsanga
di daerah Sumenggah, yang diciptakan dari sembilan lubang bekas umbi hutan yang
dicabut dan akhirnya memancarkan air bening untuk menghilangkan dahaga para
pengikutnya selama perjalanan.

2. MENGAYOMI MASYARAKAT
Sunan Drajat kerap sekali memperhatikan rakyatnya, terutama setelah pembukaan
lahan baru diperbukitan Drajat. Beliau sering melakukan ronda atau mengitari
perkampungan di malam hari untuk mengamankan dan melindungi rakyatnya dari
gangguan makhluk halus yang sering meneror warga.

3. MENGENTASKAN KEMISKINAN RAKYAT


Sunan Drajat terkenal dengan jiwa sosialnya yang tinggi dengan selalu
memperhatikan kaum fakir miskin. Sesuai dengan namanya Al-Qosim yang berarti
orang yang suka memberi harta warisan, rampasan perang, dan sebagainya.
Ajaran Sunan Drajat lebih ditekankan pada kesejahteraan masyarakat berupa
kedermawanan,solidaritas, gotong royong, menciptakan kemakmuran, dan
pengentasan kemiskinan. Setelah hal itu terwujud barulah beliau memberikan ajaran
dan pemahaman tentang Islam.

4. DENGAN KEARIFAN DAN KEBIJAKSANAAN


Sunan Drajat menyampaikan ajaran Islam melalui metode dakwah bil-hikmah atau
dengan caracara yang bijak dan tidak memaksa. Beliau menggunakan pendekatan
lewat pengajian-pengajian dimasjid, menyelenggarakan pendidikan pesantren, dan
memberikan fatwa/petuah untuk berbagai masalah.
Selain itu, beliau juga mengajarkan kepada muridnya tentang kaidah untuk tidak
saling menyakiti baik secara perkataan maupun perbuatan, seperti: “Hindari
pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukannya”.

5. MELALUI KESENIAN TRADISIONAL


Sama seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat juga sering berdakwah melalui adat lokal
dan kesenian tradisional, asalkan tidak menyimpang dari ajaran Islam. Beliau sering
menyampaikan petuah melalui tembang pangkur yang diiringi dengan alat musik
gending. Beberapa tembang pangkur yang diubah telah disimpan rapi di museum
Sunan Drajat. Selain itu, keahlian bermusik Sunan Drajat juga dibuktikan dengan
adanya seperangkat gamelan ‘Singo Mengkok’.

6. LEWAT PITUTUR SOSIAL


Di sisi lain, Sunan Drajat juga mengajarkan tata cara hidup sebagai makhluk sosial
yang harus saling membantu. Terbukti dengan adanya artefak di komplek makam
yang bertuliskan catur piwulang.
Adapun empat pokok yang diajarkan oleh Sunan Drajat tersebut meliputi: berikan
tongkat pada orang buta, berikan makan orang yang kelaparan, berikan pakaian pada
orang telanjang, dan berikan payung pada orang yang kehujanan.
AJARAN SUNAN DRAJAT YANG TERKENAL

Dalam mengamalkan ajaran Islam terutama meningkatkan jiwa sosial dan juga
pengentasan kemiskinan, Sunan Drajat mengajarkan filosofi yang dilukiskan dalam
tujuh sap tangga di komplek makam Sunan Drajat. Tujuh ajaran tersebut sangat supel
dan mampu diamalkan siapa saja dari berbagai kalangan maupun tingkatan. Adapun
makna filosofi ketujuh sap tangga tersebut yakni sebagai berikut:
Pertama: “Memangun resep tyasing Sasoma”, artinya kita harus selalu membuat hati
orang lain merasa senang.
Kedua: “Jroning suka kudu éling lan waspada”, maka ketika kita merasa bahagia,
kita harus selalu ingat pada sang Kuasa (bersyukur) dan tetap waspada.
Ketiga: “Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah”, artinya
dalam perjalanan untuk menggapai cita-cita yang luhur maka kita tidak boleh takut
dan mudah putus asa terhadap segala macam rintangan.
Keempat: “Mèpèr Hardaning Pancadriya”, anjuran untuk selalu menekan hawa
nafsu yang bergelora.
Kelima: “Heneng – Hening – Henung”, artinya dalam keadaan diam kita bisa
mendapat keheningan, dan saat keadaan menjadi hening maka disitulah kita mampu
menggapai cita-cita yang mulia.
Keenam: “Mulya guna Panca Waktu”, maknanya adalah suatu kebahagiaan secara
lahir dan batin yang bisa kita peroleh dengan melaksanakan sholat lima waktu.
Ketujuh: Empat ajaran pokok bersosialisasi (catur piwulang) seperti yang dituliskan
di atas.Maknanya yaitu kita harus memberikan ilmu kepada orang yang belum
mengerti (bodoh), kita harus mensejahterakan orang yang miskin, kita harus
mengajari tentang kesusilaan pada orang yang tidak tahu malu, dan kita harus
melindungi orang yang sedang menderita atau terkena musibah.

Nilai-nilai keteladanan wali songo, yaitu:


1. Selalu mengajarkan semangat dalam berdakwah kepada para rakyat jelata serta
mengajarkan cara bercocok tanam untuk keterampilan hidup yang baik.
2. Selalu mengajrkan Sikap bijak dalam berdakwah dengan cara selalu ikut dalam
berkesenian bersama rakyat.
3. Mengajarkan islam sebagai ajaran bdui pekerti yang sangat mulia dan juga
falsafah Moh Limo.
4. Selalu memberikan keteladanan terhap sikap-sikap yang terpuji dalam berdakwah.
NILAI-NILAI KETELADANAN WALI SONGO

1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)

Nilai yang harus diteladani : Pantang menyerah, cerdas, dan berani.

Sebagai wali pertama dalam wali songo Sunan Gresik memiliki semangat dakwah
yang sangat besar khususnya dakwah di Pulau Jawa.
Beliau dengan ikhlas menyebarluaskan agama islam baik secara langsung maupun
melalu kesenian Jawa.

2. Raden Rahmat (Sunan Ampel)

Nilai teladan : Toleransi, saling menghargai, kasih sayang pada sesama.

Ketika Sunan Ampel berdakwah kepada Prabu Brawijaya. Meskipun akhirnya tidak
memeluk agama Islam, Sunan Ampel mengajarkan falsafah Moh Limo (5M).
Yang dimaksud dengan Moh Limo adalah tidak mau melakukan lima perbuatan
tercela. Saat itu beliau tetap menghargai keputusan dan terus menyebarkan dakwah
islami
3. Raden Makhdum (Sunan Bonang)

Nilai keteladanan : Cerdas, berwibawa, ramah

Dakwahnya melalui kesenian sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil, selain itu
menciptakan tembang tombo ati yang sekarang masih dikenal.
Gamelan Jawa merupakan salah satu budaya Hindu yang diberi nuansa berbeda serta
pada pewayangan dimasukkan cerita Islami.

4. Raden Qasim (Sunan Drajat)

Nilai teladan : dermawan, jujur, pekerja keras

Kisah keteladanannya adalah cara dakwahnya yang menekankan keteladanan dalam


hal perilaku yang terpuji, kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran
masyarakat.
Sunan Drajat juga berdakwah melalui kesenian.
Tembang Macapat Pangkur disebut sebagai ciptaannya.Namun, saat itu beliau tidak
menekankan warga untuk langsung memeluk agama islam melainkan menarik
perhatian melalui kesenian religius.
5. Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)

Nilai keteladanan : Ksatria, ambisius, Idealis

Sunan Kudus berasal dari Al-Quds Yerussalem Palestina, putra dari Raden Usman
Haji dengan Syarifah Ruhil. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat dengan
memanfaatkan simbol Hindu-Budha, hal itu terlihat pada arsitektur masjid Kudus.

6. Raden Paku (Sunan Giri)

Nilai teladan : Tekun, disiplin, religius

Salah satu cara berdakwahnya adalah melalui pesantren Giri yang terus berkembang
hingga menjadi sebuah Kerajaan kecil (Giri Kedaton).

7. Raden Sahid (Sunan Kalijaga)

Nilai teladan : Sabar, pekerja keras, ulet


Lahir tahun 1450 di Tuban dan wafat tahun 1550 di Demak. Metode dakwah yang
digunakannya adalah pemahaman agama berbasis salaf yaitu kesenian dan
kebudayaan. Contoh kesenian dan kebudayaan yang digunakan ialah seni ukir,
wayang, gamelan, dan seni suara untuk menyebarkan agama Islam.

Beberapa lagu terkenal yang diciptakannya adalah Lir Ilir dan Gundul Pacul, metode
tersebut terkesan efektif karena dapat mengambil hati masyarakat.

8. Raden Umar Said (Sunan Muria)

Nilai teladan : Lembut, Cerdas, religius

Dalam berdakwah, Sunan Muria menggunakan metode yang sama dengan ayahnya
yaitu Sunan Kalijaga. Beliau menyampaikan kepada masyarakat melalui pendekatan
kebudayaan dan kesenian tradisional Jawa.

9. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)

Nilai keteladanan : Cerdas, disiplin, ulet

Merupakan keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang. Sunan Gunung
Jati menjadikan Kota Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, berhasil
mengembangkan kekuasaan serta penyebaran Islam.

Dalam berdakwah beliau menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas serta
mendekati masyarakat dengan membangun infrastruktur berupa jalan.

Anda mungkin juga menyukai