Sunan Gresik ( Maulana Malik Ibrahim ) merupakan salah satu dari 9 Walisongo
yang menyebarkan agama islam di Tanah Jawa . tanggal lahir Sunan Gresik yaitu
pada paruh awal abad ke 14 dan meninggal pada tahun 1419 Masehi serta di
makamkan di desa Gapurosukolilo , Kota Gresik , Jawa Timur. Istri Sunan Gresik
bernama Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil ( Raja Champa Dinasti
Azmatkhan 1 )
Kalau metodologi dakwah Sunan Ampel dengan masyarakat akar rumput dilakukan
dengan cara pembauran dan pendekatan, beda halnya dengan metode yang ditempuh
ketika menghadapi orang-orang cerdik-cendikia. Pendekatan intelektual dengan
memberikan pemahaman logis adalah alternatif yang beliau tempuh. Hal ini
sebagaimana tercermin dalam dialognya dengan seorang biksu Budha.
Suatu ketika, seorang biksu datang menemui Sunan Ampel.
Kemudian terjadilah percakapan seputar akidah berikut:
Biksu: Setiap hari Tuan sembahyang menghadap ke arah kiblat. Apakah Tuhan Tuan
ada di sana?”
Sunan Ampel: Setiap hari Anda memasukkan makanan ke dalam perut agar Anda
bisa bertahan hidup. Apakah hidup Anda ada di dalam perut?”
Biksu itu diam tidak menjawab. Tapi dia bertanya lagi, “Apa maksud tuan berkata
begitu?”
“Saya sembahyang menghadap kiblat, tidak berarti Tuhan berada di sana.
Saya tidak tahu Tuhan berada di mana. Sebab, kalau manusia dapat
mengetahui keberadaan tuhannya,lantas apa bedanya manusia dengan Tuhan?
Kalau demikian buat apa saya sembahyang?!”Cerita berakhir. Dan si biksu
kemudian masuk Islam karena ia gamang akan otentisitasajaran agamanya.
Satu ending yang sangat memuaskan. Tidak hanya bagi si pelaku cerita, tapi juga
untuk kita: sebuah pelajaran tentang metedologi dakwah di hadapan orang yang tidak
bertuhankan Tuhan.Sunan Ampel.: etos dakwah di tanah Jawa di samping icon
Sunan Kalijaga, di sisi yang lain. Beliau adalah satu dari sekian banyak wali Allah
yang menghabiskan hidupnya hanya untuk berdakwah di jalan-Nya. Metodologi
dakwahnya memang tidak sama dengan metodologi ala Sunan Kalijaga atau
Sunan Muria, yang menggunakan pendekatan seni-budaya Jawa sebagai media
dakwahnya. Sunan Ampel lebih menggunakan pendekatan intelektual—dengan
memberikan pemahaman tentang Islam melalui wacana intelektual dan diskusi yang
cerdas dan kritis serta dapat dinalar oleh akal. Cerita di atas adalah bukti sejarahnya.
Dialog Sunan Ampel-biksu telah mengingatkan kita kepada jawaban Nabi Ibrahim
as. dilontarkan kepada raja Namrudz ketika beliau dituduh menghancurkan tuhan-
tuhan mereka, “Bahkan, Tuhan yang paling besar inilah yang melakukannya”.
Bedanya, Namrudz tidak pernah mau menerima kebenaran itu meski dia
mengetahuinya. Kemudian kita bertanya, mungkinkah orang sekelas biksu dapat
ditaklukkan hanya dengan melalui pendekatan budaya? Bisa jadi, tapi mungkin sulit.
Urgensitas budaya sebagai media dakwah alternatif memang tak bisa dibantah.
Sejarah juga membuktikan bahwa pendekatan kultur-budaya yang dimainkan oleh
Sunan Kalijaga berhasil dengan sangat gemilang. Tapi, sejatinya, pendekatan kultur-
budaya hanya relevan untuk komunitas masyarakat kelas menengah ke bawah.
Sedang untuk obyek intelektual kelas atas mungkin sangat pas bila menggunakan
jalur seperti yang ditempuh Sunan Ampel. Dus, dengan dua metodologi yang
dipakainya, beliau telah berhasil menciptakan harmoni antara ulama dan umara,
antara akar rumput dan kalangan pemerintahan, walaupun masih berada dalam sekat
tertentu, karena beliau–sebagai sosok da’i yang mempertaruhkan hidupnya untuk
berdakwah dan mengayomi umat–tetap indipenden dan konsisten dengan posisinya
sebagai ulama. Beliau tidak pernah dan memang tidak sudi menggunakan alat
kekuasaan sebagai kendaraan dakwahnya.
Maka tidak berlebihan jika beliau mendapat prototype sebagai wali sejati, wali dalam
pengertian “kekasih Allah” di dunia, bukan wali dengan arti penguasa setempat
sebagaimana mispersepsi sebagian pemerhati sejarah (yang mungkin juga tidak
mengakui adanya wali Allah yang lain). Karena kalau kita merunut sejarah, maka
akan menghasilkan sebuah hipotesa sebagaimana di atas. Terbukti, beliau, sekali lagi,
tidak mau menggunakan kendaraan kekuasaan sebagai piranti memuluskan
dakwahnya.
Ala kulli hal, metode dakwah Sunan Ampel melengkapi strategi dakwah walisongo
secara umum, untuk menjadi satu kesatuan yang nyaris sempurna guna memuluskan
misi mulia yang mereka emban: menyebarkan risalah Islam di tanah jawa. Dan,
karena jasa-jasa mulianya inilah, ribuan atau bahkan jutaan doa senantiasa mengalir,
setiap saat, di setiap denyut doa umat Islam, hingga dunia enggan meneruskan
sejarahnya.
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum
Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah
sebuah desa di kabupaten Rembang.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa
Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi
makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya
beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat
mengagumi beliau sampai ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid
tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-
pakaian beliau. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal
dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan
Bonang. Mereka memperebutkannya.
Silsilah
Terdapat silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang dan Nabi Muhammad
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin
Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
Maulana Malik Ibrahim bin
Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) bin
Ahmad Jalaludin Khan bin
Abdullah Khan bin
Abdul Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin
Alawi Ammil Faqih (dari Hadramaut) bin
Muhammad Sohib Mirbath (dari Hadramaut) bin
Ali Kholi’ Qosam bin
Alawi Ats-Tsani bin
Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
Alawi Awwal bin
Ubaidullah bin
Ahmad al-Muhajir bin
Isa Ar-Rumi bin
Muhammad An-Naqib bin Ali Uradhi bin
Ja’afar As-Sodiq bin
Muhammad Al Baqir bin
Ali Zainal ‘Abidin bin
Hussain bin
Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad).
Karya Sastra
Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil.
Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr.
Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti
penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang. Apa pula sebuah karya
sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang
dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku
(Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya,
dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.
Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu
(dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan
kesimbangan pernafasan[rujukan?] yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim yang
artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-
gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang
berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya’. Ia menciptakan
Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat
mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak
murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah
mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur’an. Penekanan
keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk
melakukan Sujud atau Sholat dan dzikir.
Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di
Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud
Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia.
3. Karya Satra
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya
sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh
keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di
perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf)
atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan
dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa
dalam bentuk prosa disebut wirid.
Menurut buku-buku sejarah walisongo, nama asli Sunan Drajat yaitu Raden Qosim.
Beliau lahir sekitar tahun 1470 M, dan merupakan putra dari Sunan Ampel bersama
Nyai Ageng Manila atau Dewi Condrowati. Sunan Drajat merupakan anak kedua dari
lima bersaudara, bersama dengan Sunan Bonang, Siti Muntisiyah (istri dari Sunan
Giri), Nyai Ageng Maloka (istri dari Raden Patah),dan istri dari Sunan Kalijaga.
Dari silsilah Sunan Ampel, maka Sunan Drajat termasuk cucu dari Syekh Maulana
MalikIbrahim, seorang perintis dan pelopor pertama yang membawa Islam di tanah
Jawa. Sementara itu, Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Asmarakandi merupakan
anak dari seorang ulama besar dari Persia, yakni Syekh Jamaludin Akbar atau
Jumadil Kubro yang dipercayasebagai keturunan ke-10 Sayidina Husein, cucu dari
Nabi Muhammad SAW.
Ibu dari Sunan Drajat merupakan putri dari adipati Tuban yaitu Arya Teja IV, dan
masih memiliki nasab dengan Ronggolawe. Ketika masih muda Sunan Drajat sering
dipanggil dengan nama Raden Syarifuddin. Selain itu beliau juga memiliki gelar
Sunan Mayang Madu yang diberikan oleh Sultan Demak pertama (Raden Patah), dan
masih banyak gelar lainnya seperti Sunan Muryapada, Maulana Hasyim, dan Syekh
Masakeh.
2. MENGAYOMI MASYARAKAT
Sunan Drajat kerap sekali memperhatikan rakyatnya, terutama setelah pembukaan
lahan baru diperbukitan Drajat. Beliau sering melakukan ronda atau mengitari
perkampungan di malam hari untuk mengamankan dan melindungi rakyatnya dari
gangguan makhluk halus yang sering meneror warga.
Dalam mengamalkan ajaran Islam terutama meningkatkan jiwa sosial dan juga
pengentasan kemiskinan, Sunan Drajat mengajarkan filosofi yang dilukiskan dalam
tujuh sap tangga di komplek makam Sunan Drajat. Tujuh ajaran tersebut sangat supel
dan mampu diamalkan siapa saja dari berbagai kalangan maupun tingkatan. Adapun
makna filosofi ketujuh sap tangga tersebut yakni sebagai berikut:
Pertama: “Memangun resep tyasing Sasoma”, artinya kita harus selalu membuat hati
orang lain merasa senang.
Kedua: “Jroning suka kudu éling lan waspada”, maka ketika kita merasa bahagia,
kita harus selalu ingat pada sang Kuasa (bersyukur) dan tetap waspada.
Ketiga: “Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah”, artinya
dalam perjalanan untuk menggapai cita-cita yang luhur maka kita tidak boleh takut
dan mudah putus asa terhadap segala macam rintangan.
Keempat: “Mèpèr Hardaning Pancadriya”, anjuran untuk selalu menekan hawa
nafsu yang bergelora.
Kelima: “Heneng – Hening – Henung”, artinya dalam keadaan diam kita bisa
mendapat keheningan, dan saat keadaan menjadi hening maka disitulah kita mampu
menggapai cita-cita yang mulia.
Keenam: “Mulya guna Panca Waktu”, maknanya adalah suatu kebahagiaan secara
lahir dan batin yang bisa kita peroleh dengan melaksanakan sholat lima waktu.
Ketujuh: Empat ajaran pokok bersosialisasi (catur piwulang) seperti yang dituliskan
di atas.Maknanya yaitu kita harus memberikan ilmu kepada orang yang belum
mengerti (bodoh), kita harus mensejahterakan orang yang miskin, kita harus
mengajari tentang kesusilaan pada orang yang tidak tahu malu, dan kita harus
melindungi orang yang sedang menderita atau terkena musibah.
Sebagai wali pertama dalam wali songo Sunan Gresik memiliki semangat dakwah
yang sangat besar khususnya dakwah di Pulau Jawa.
Beliau dengan ikhlas menyebarluaskan agama islam baik secara langsung maupun
melalu kesenian Jawa.
Ketika Sunan Ampel berdakwah kepada Prabu Brawijaya. Meskipun akhirnya tidak
memeluk agama Islam, Sunan Ampel mengajarkan falsafah Moh Limo (5M).
Yang dimaksud dengan Moh Limo adalah tidak mau melakukan lima perbuatan
tercela. Saat itu beliau tetap menghargai keputusan dan terus menyebarkan dakwah
islami
3. Raden Makhdum (Sunan Bonang)
Dakwahnya melalui kesenian sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil, selain itu
menciptakan tembang tombo ati yang sekarang masih dikenal.
Gamelan Jawa merupakan salah satu budaya Hindu yang diberi nuansa berbeda serta
pada pewayangan dimasukkan cerita Islami.
Sunan Kudus berasal dari Al-Quds Yerussalem Palestina, putra dari Raden Usman
Haji dengan Syarifah Ruhil. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat dengan
memanfaatkan simbol Hindu-Budha, hal itu terlihat pada arsitektur masjid Kudus.
Salah satu cara berdakwahnya adalah melalui pesantren Giri yang terus berkembang
hingga menjadi sebuah Kerajaan kecil (Giri Kedaton).
Beberapa lagu terkenal yang diciptakannya adalah Lir Ilir dan Gundul Pacul, metode
tersebut terkesan efektif karena dapat mengambil hati masyarakat.
Dalam berdakwah, Sunan Muria menggunakan metode yang sama dengan ayahnya
yaitu Sunan Kalijaga. Beliau menyampaikan kepada masyarakat melalui pendekatan
kebudayaan dan kesenian tradisional Jawa.
Merupakan keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang. Sunan Gunung
Jati menjadikan Kota Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, berhasil
mengembangkan kekuasaan serta penyebaran Islam.
Dalam berdakwah beliau menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas serta
mendekati masyarakat dengan membangun infrastruktur berupa jalan.