Anda di halaman 1dari 6

Tugas SKI

KISAH PARA SUNAN


DI PULAU JAWA
1. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
3. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

PEMBIMBING : ABDUL MUNIF, S.Pd

Disusun Oleh :
Maulidah Nela Jazila
Kelas VI

MI ASY-SYAFI’IYAH
TEKUNG - LUMAJANG
2022
Kisah Wali Songo dalam Menyebarkan Islam di Indonesia

Kisah Wali Songo – Siapa yang tidak kenal Wali Songo? Mereka dikenal seseorang yang

gigih menyebarkan ajaran agama Islam pada abad ke 14 di tanah Jawa. Para Wali Songo

tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Mereka cepat dikenal masyarakat

luas karena kerap berdakwah tanpa memaksa harus masuk Islam.

Masyarakat muslim di nusantara pasti sudah tak asing lagi dengan Wali Songo. Wali

memiliki arti wakil, sementara songo memiliki arti sembilan. Dengan demikian, Wali

Songo adalah sembilan wakil atau wali Allah SWT.

Perjalanan dakwah Wali Songo telah dicatat dalam sejarah penyebaran agama Islam di

Indonesia. Mereka telah meninggalkan banyak jejak dalam berdakwah. Wali Songo

membawa perubahan besar terhadap masyarakat Jawa yang dulunya banyak beragama

Hindu-Budha. Berikut kisah selengkapnya

1. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Sunan Gunung Jati (Syarif

Hidayatullah) berperan penting dalam

penyebaran Islam di Jawa Barat, khususnya

Cirebon. Sunan Gunung Jati adalah pendiri

dinasti kesultanan Banten yang dimulai dengan

putranya, Sultan Maulana Hasanudin. Pada

tahun 1527, Sunan Gunung Jati menyerang

Sunda Kelapa di bawah pimpinan panglima

perang Kesultanan Demak, Fatahillah.

Sunan Gunung Jati merupakan sosok yang cerdas dan tekun dalam menuntut

ilmu. Karena kesungguhannya, ia diizinkan ibunya untuk menuntut ilmu ke Makkah. Di

sana, dia berguru pada  Syekh Tajudin Al-Qurthubi. Tak lama kemudian, ia lanjut ke
Mesir dan berguru pada Syekh Muhammad Athaillah Al-Syadzili, ulama bermadzhab

Syafi’i. Di sana, Sunan Gunung Jati belajar tasawuf tarekat syadziliyah.

Setelah diarahkan oleh Syekh Ataillah, Syarif Hidayatullah memutuskan

pulang ke Nusantara untuk berguru pada Syekh Maulana Ishak di Pasai, Aceh.

Kemudian, ia melanjutkan perjalanan ke Karawang, Kudus, sampai di Pesantren

Ampeldenta, Surabaya. Di sana, ia berguru pada Sunan Ampel.

Sunan Gunung Jati lantas diminta untuk berdakwah dan menyebarkan agama

Islam di daerah Cirebon dan menjadi guru agama. Ia menggantikan Syekh Datuk Kahfi

di Gunung Sembung. Setelah masyarakat Cirebon banyak yang memeluk agama Islam,

Syarif Hidayatullah lantas lanjut berdakwah ke daerah Banten.

Selama berdakwah di Cirebon, Syarif Hidayatullah menikahi Nyi Ratu

Pakungwati, putri dari Pangeran Cakrabuana atau Haji Abdullah Iman, penguasa

Cirebon saat itu. Di sana, ia mendirikan sebuah pondok pesantren, lalu mengajarkan

agama Islam kepada penduduk sekitar. Para santri di sana memanggilnya dengan

julukan Maulana Jati atau Syekh Jati. Selain itu, ia juga mendapatkan gelar Sunan

Gunung Jati karena berdakwah di daerah pegunungan.

Pelajari mengenai Sunan Gunung Jati atau Raden Syarif Hidayatullah melalui

buku Wali Sanga: Sunan Gunung Jati yang ditulis oleh Nabila Anwar.
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Sunan Ampel memiliki nama

asli Raden Rahmat. Ia memulai dakwahnya

dari sebuah pondok pesantren yang didirikan di

Ampel Denta, Surabaya. Ia dikenal sebagai

pembina pondok pesantren pertama di Jawa

Timur. Sunan Ampel memiliki murid yang

mengikuti jejak dakwahnya, yaitu Sunan Giri,

Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.

Suatu ketika, Sunan Ampel diberi tanah oleh Prabu Brawijaya di daerah Ampel

Denta. Ia lantas mendirikan sebuah masjid. Di sana, masjid tersebut dijaga oleh Mbah

Sholeh. Ia sangat terkenal sebagai orang yang selalu menjaga kebersihan. Hal itu juga

diakui oleh Sunan Ampel. Hingga suatu hari, Mbah Sholeh meninggal dunia. Ia lantas

dimakamkan di samping masjid.

Sepeninggal Mbah Sholeh, Sunan Ampel tak kunjung menemukan  pengganti

penjaga masjid yang serajin Mbah Sholeh. Akibatnya, masjid tak terurus dan kotor.

Sunan Ampel kemudian bergumam, “Seandainya Mbah Sholeh masih hidup, pasti

masjidnya jadi bersih.”

Seketika itu pula sosok serupa Mbah Sholeh muncul. Ia lantas menjalankan

rutinitas yang biasa dilakukan Mbah Sholeh, namun tak lama kemudian meninggal lagi

dan dimakamkan persis di samping makam Mbah Sholeh. Peristiwa itu terulang hingga

sembilan kali. Konon, Mbah Sholeh baru benar-benar meninggal setelah Sunan Ampel

meninggal dunia.

Metode dakwah dari Kanjeng Sunan Ampel terkenal dengan keunikannya

dimana ia melakukan upaya akulturasi dan asimilasi dari aspek budaya pra-Islam
dengan Islam, baik melalui jalan sosial, budaya, politik, ekonomi, mistik, kultus, ritual,

tradi keagamaan, maupun konsep sufisme yang khas untuk merefleksikan keragaman

tradisi muslim secara keseluruhan yang dibahas pada buku Mazhab Dakwah

Wasathiyah Sunan Ampel.

3. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Sunan Gresik (Maulana Malik

Ibrahim) dikenal dengan nama Maulana

Maghribi (Syekh Maghribi). Ia diduga

berasal dari wilayah Magribi, Afrika Utara.

Namun demikian, hingga saat ini belum

diketahui secara pasti sejarah tempat dan

tahun kelahirannya.

Sunan Gresik diperkirakan lahir

pada pertengahan abad ke 14. Ia merupakan

guru para wali lainnya. Sunan Gresik berasal dari keluarga muslim yang taat. Kendati ia

belajar agama Islam sejak kecil, namun tidak diketahui siapa saja gurunya hingga ia

menjadi ulama.

Pada abad ke-14, Sunan Gresik ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam ke

Asia Tenggara. Ia berlabuh di Desa Leran, Gresik. Saat itu, Gresik merupakan bandar

kerajaan Majapahit. Tentu saja masyarakat saat itu banyak yang memeluk agama Hindu

dan Buddha. Di Gresik, ia menjadi pedagang dan tabib. Di sela-sela itu, ia berdakwah.

Sunan Gresik berdakwah melalui perdagangan dan pendidikan pesantren. Pada

awalnya, ia berdagang di tempat terbuka dekat pelabuhan agar masyarakat tidak kaget

dengan ajaran baru yang dibawanya. Sunan Gresik berhasil mengundang simpati
masyarakat, termasuk Raja Brawijaya. Akhirnya, ia diangkat sebagai Syahbandar atau

kepala pelabuhan.

Tidak hanya jadi pedagang andal, Sunan Gresik juga berjiwa sosial tinggi. Ia

bahkan mengajarkan cara bercocok tanam kepada masyarakat kelas bawah yang selama

ini dipandang sebelah mata oleh ajaran Hindu. Karena strategi dakwah inilah, ajaran

agama Islam secara berangsur-angsur diterima oleh masyarakat setempat.

Anda mungkin juga menyukai