Anda di halaman 1dari 6

Sekilas Biografi Wali 5

 Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Sunan Ampel adalah salah satu Wali Songo yang menyebarkan ajaran Islam di Pulau
Jawa. Tak hanya dikenal sebagai pendakwah, Sunan Ampel juga dikenal sebagai
pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Sunan Ampel juga dijuluki
sebagai Bapak Para Wali karena anak dan menantu mengikuti jejak dakwahnya yaitu
Sunan Bonang, Sunan Drajat dan Sunan Giri. Sunan Ampel berdakwah dengan cara
damai dan jauh dari kekerasan, namun filosofi yang diajarkan dapat menyadarkan
masyarakat untuk hidup dengan jalan yang benar.

Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Mohammad Ali Rahmatullah atau Raden
Rahmat. Sunan Ampel lahir di Campa, Kamboja pada sekitar tahun 1401 M dari
keluarga bangsawan. Ayah Sunan Ampel adalah Maulana Malik Ibrahim atau Malik
Maghribi atau yang dikenal Sunan Gresik. Ibu Sunan Ampel adalah seorang putri dari
Raja Champa Dinasti Azmatkhan I atau Ali Nurul Alam Maulana Israil yang bernama
Siti Fathimah.

Salah satu cara dakwahnya Sunan Ampel yang masih dikenal hingga kini adalah
falsafah "Moh Limo", yang artinya tidak melakukan lima hal tercela. Lima perkara itu
yang diajarkan dalam falsafah "Moh Limo" adalah: Moh Main (tidak mau berjudi)
Moh Ngombe (tidak mau mabuk) Moh Maling (tidak mau mencuri) Moh Madat
(tidak mau menghisap candu) Moh Madon (tidak mau berzina).

Sunan Ampel meninggal pada sekitar tahun 1467 Masehi dan dimakamkan di barat
Masjid Ampel Surabaya. Sejak tahun 1972 Kawasan Masjid Agung Sunan Ampel
telah ditetapkan menjadi tempat wisata religi oleh Pemkot Surabaya dan hingga kini
masih ramai didatangi oleh para peziarah.

 Sunan Giri (Raden Paku)

Sunan Giri adalah seorang Wali Songo yang telah berjasa bagi penyebaran agama
Islam di Pulau Jawa. Sunan Giri kecil memiliki nama kecil Joko Samudro, namun
ketika sudah beranjak dewasa ia berganti nama menjadi Raden Paku. Ia juga dikenal
dengan nama Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, dan Raden ‘Ainul Yaqin. Nama
Sunan Giri disematkan karena ia berdakwah di dengan membangun pesantren di
sebuah bukit di desa Giri, Kebomas, Gresik, Jawa Timur. Dalam bahasa Jawa, istilah
giri juga memiliki arti yaitu gunung.

Dilansir dari laman Jadesta Kemenparekraf, Sunan Giri merupakan putra dari
Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu penguasa
wilayah Blambangan (Majapahit). Maulana Ishaq kembali ke Pasai meninggalkan
Dewi Sekardadu setelah posisinya terancam karena menjalankan misi dakwahnya.

Kelahiran Sunan Giri ini dianggap rakyat Blambangan sebagai pembawa kutukan
berupa wabah penyakit, sehingga Prabu Menak Sembuyu memerintahkan untuk
membuatkan peti dan menghanyutkan bayi tersebut ke laut. Siang dan malam, Dewi
Sekardadu mencari bayi yang baru saja dilahirkannya dengan menyusuri pantai
hingga ia pun meninggal dalam pencariannya. Sementara peti berisi bayi tersebut
ditemukan nelayan dan membawanya ke Gresik dan menyerahkannya ke Nyai Gede
Pinatih. Oleh Nyai Gede Pinatih, bayi tersebut diangkat sebagai anak dan diberi nama
Joko Samudro. Sunan Giri diketahui lahir di Blambangan (Banyuwangi) pada tahun
1365 Saka dan wafat pada tahun 1428 Saka di desa Giri, Kebomas, Gresik.

Sunan Giri menggunakan cara dakwah yang ramah kepada masyarakat, salah satunya
dengan menggunakan seni tradisional Jawa. Salah satu cara dakwah Sunan Giri yang
menarik adalah dengan membuat lagu-lagu permainan anak seperti Jelungan, Jor,
Gula-ganti, Lir-ilir, dan Cublak Suweng. Selain ditujukan untuk menarik perhatian
masyarakat, penggunaan lagu permainan (tembang dolanan) ini juga berfungsi untuk
mendidik anak-anak. Sunan Giri juga menciptakan beberapa gending seperti
Asmaradana dan Pucung.

 Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim)

Sunan Gresik adalah anggota Wali Songo sekaligus tokoh sentral penyebar agama
Islam di Pulau Jawa. Dari sembilan anggota Wali Songo, Sunan Gresik menjadi wali
pertama yang menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Ia merupakan ayah dari Sunan
Ampel, yang juga dikenal sebagai salah satu anggota Wali Songo. Dalam berdakwah,
Sunan Gresik dikenal sebagai sosok pemberani, juga sangat bijaksana dan tidak
memaksakan ajarannya. Ia lebih dikenal sebagai Sunan Gresik karena wilayah
dakwah pertamanya di Jawa adalah di Gresik, Jawa Timur.

Buku The History of Java karangan Raffles tentang Gresik memberi keterangan
bahwa ahli agama Maulana Malik Ibrahim berasal dari Arab. Ada yang menyebut
bahwa Sunan Gresik adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, yakni dari jalur
Husain bin Ali dan Fatimah.

Sementara JP Moquette memberikan keterangan dari tulisan yang terdapat pada


makam Sunan Gresik bahwa asalnya dari daerah Iran. Sunan Gresik juga dikenal
sebagai Makdum Ibrahim As-Samarkandy. Karena nama ini, ia diduga lahir di
Samarkand, Asia Tengah, pada abad ke-14. Selain itu, ada pula pendapat yang
menyatakan bahwa Sunan Gresik berasal dari wilayah Magribi atau Maroko, Afrika
Utara. Itulah sebabnya, nama lain Sunan Gresik adalah Maulana Magribi.

Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik diperkirakan datang ke Gresik, Jawa
Timur, pada 1404. Sebelum sampai di Jawa, Sunan Gresik sempat singgah di Champa
(sekarang Vietnam) dan menikah dengan putri Champa bernama Siti Fatimah. Dari
pernikahan itu, lahir Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri.
Dari Champa, Sunan Gresik melanjutkan perjalanan ke Pulau Jawa dan mendarat
pertama kali di Desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar,
Kota Gresik, Jawa Timur. Ketika Sunan Gresik mendarat, Gresik masih menjadi salah
satu pelabuhan Kerajaan Majapahit yang dihuni oleh penduduk beragama Hindu dan
Buddha.

Strategi dakwah Sunan Gresik Dalam berdakwah, Sunan Gresik dikenal sebagai sosok
pemberani yang sangat bijaksana dan tidak memaksakan ajarannya. Sifatnya yang
ramah dan penuh kedamaian tidak hanya ditunjukkan pada umat Muslim, tetapi juga
kepada pemeluk agama lain.

Hal itulah yang membuat Sunan Gresik dikagumi dan dihormati, bahkan oleh Raja
Majapahit sekalipun. Ketika berhadapan dengan rakyat dari golongan bawah yang
pengetahuannya masih kurang, Sunan Gresik mengajar sesuai kapasitas orang tersebut
agar ajarannya mudah dimengerti dan diterima. Sunan Gresik menerapkan anjuran
Nabi, bahwa Islam harus disiarkan dengan cara yang mudah, sehingga umat menjadi
nyaman dan tidak terancam. Selain menjadi guru agama, Sunan Gresik juga
berdakwah dengan metode perdagangan, pertanian, dan pengobatan.
Sunan Gresik berdagang berbagai macam kebutuhan pokok, di mana ia bisa
berinteraksi dan mendekati masyarakat untuk mengenalkan Islam. Di bidang
pertanian, penduduk diberi pengetahuan mengolah tanah yang baik agar hasil panen
mereka meningkat. Beberapa keterangan juga menyebut bahwa sejak kedatangannya,
hasil pertanian rakyat Gresik meningkat.

Selain itu, Sunan Gresik dikenal sebagai tabib yang melayani pengobatan bagi
masyarakat sekitar. Pengobatan yang diberikan menggunakan ramuan dari bahan
alami dan masyarakat tidak perlu membayar alias gratis. Selama berdakwah, Sunan
Gresik tidak hanya membimbing masyarakat untuk mengenal dan mendalami agama
Islam, tetapi juga memberi pengarahan agar tingkat kehidupan penduduk menjadi
lebih baik.

Selama berdakwah, Sunan Gresik membangun pondok pesantren dan Masjid Pasucian
yang berada di Leran, Manyar, Gresik. Sunan Gresik wafat pada 1419 setelah selesai
membangun dan menata pondok sebagai tempat belajar agama Islam. Makam Sunan
Gresik kini terdapat di Kampung Gapura, dekat dengan alun-alun Gresik dan
Masjid Jami' Gresik.

Referensi: Farobi, Zulham. (2019). Sejarah Wali Songo: Perjalanan Penyebaran


Islam di Nusantara. Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia.

 Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah salah satu Wali Songo yang berasal dari Gresik dan telah
menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Sosok Sunan Drajat dikenal juga dengan
berbagai nama lain seperti Raden Syarifuddin, Masaikh Munat, Pangeran
Kadrajat, dan Maulana Hasyim.
Kemudian pada tahun 1484, Sunan Drajat juga diberi sebuah gelar oleh Raden Patah
dari Demak yaitu Sunan Mayang Madu sekaligus memberinya tanah perdikan.
Sebelum menyebarkan agama Islam, Sunan Drajat sudah dikenal sebagai sosok yang
kerap membantu masyarakat agar dapat hidup dalam kemakmuran.

Wilayah Dakwah Sunan Drajat

Mengutip dari Buku Kisah Teladan Walisongo: Sembilan Wali Penyebar Islam di
Jawa (2007) karya M. Faizi, Sunan Drajat awalnya berdakwah di pesisir Gresik.
Beliau kemudian terdampar di daerah Banjarwati yang sekarang dikenal sebagai
Lamongan. Setahun berikutnya, Sunan Drajat berpindah sejauh satu kilometer ke
selatan dan mendirikan sebuah pesantren di Desa Drajat, yang masuk ke dalam
wilayah Paciran, Kabupaten Lamongan.

Konon dari nama tempat di mana pesantren berdiri itulah sebutan Sunan Drajat
berasal. Metode Dakwah Sunan Drajat Sunan Drajat berdakwah dengan
memanfaatkan media seni, termasuk dengan suluk dan tembang pangkur. Selain itu
ada pula ajaran Catur Piwulang yang isinya ajakan untuk berbuat baik kepada sesama.

Isi ajaran Sunan Drajat yang dikenal dengan nama Catur Piwulang, yaitu: Paring
teken marang kang kalunyon lan wuto (berikan tongkat kepada orang yang berjalan
dijalan yang licin dan orang buta), Paring pangan marang kang kaliren (berikan
makan kepada orang yang kelaparan), Paring sandang marang kang kawudan
(berikan pakaian kepada orang yang telanjang), Paring payung marang kang
kudanan (berikan payung kepada orang yang kehujanan).

Dalam berdakwah, Sunan Drajat sangat memperhatikan nasib para fakir miskin, yatim
piatu dan orang-orang terlantar. Beliau juga menjadi sosok yang mengajak para
bangsawan dan orang kaya untuk mengeluarkan infaq, shodaqoh, dan zakat sesuai
ajaran agama Islam. Sunan Drajat wafat pada tahun 1522 M dan makamnya
berada di desa Drajat, Paciran, Lamongan, Jawa Timur.

 Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim)


Sunan Bonang adalah salah satu anggota Wali Songo yang berdakwah menyebarkan
agama Islam di Jawa pada abad ke-14 Masehi. Pendekatan yang dilakukan Sunan
Bonang dalam berdakwah tidak jauh dari kebudayaan dan tradisi yang telah ada di
masyarakat. Selain dengan kebudayaan, sosok Sunan Bonang juga dikenal sebagai
wali yang berdakwah menggunakan berbagai kesenian termasuk seni musik dan seni
sastra.

Sunan Bonang memiliki nama asli Raden Makdum Ibrahim yang tumbuh dalam
asuhan keluarga ningrat yang agamis. Beliau lahir pada tahun 1465 M di Surabaya.
Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang merupakan putra keempat Raden
Rahmat atau Sunan Ampel. Ibunya bernama Nyai Ageng Manila (Dewi Condrowati),
yang merupakan putri dari Bupati Tuban, Arya Teja. Sunan Ampel adalah pendiri
Pesantren Ampeldenta, sehingga pendidikan Islam diperoleh Sunan Bonang adalah
ayahnya sendiri.

Metode Dakwah Sunan Bonang

Gamelan menjadi salah satu media dakwah yang digunakan oleh Sunan Bonang.
Berbeda dari gamelan yang sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha, Sunan Bonang
menambahkan rebab dan bonang sebagai pelengkap dari gamelan Jawa. Dengan
musik yang dilantunkan lewat gamelan buatan Sunan Bonang, ajaran agama Islam
pun lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat. Selain lewat gamelan, Sunan
Bonang juga menyampaikan dakwah Islam melalui lagu. Lagu ciptaan Sunan Bonang
yang bertajuk "Tombo Ati" berisi hukum-hukum serta kewajiban yang perlu
dilakukan oleh umat Muslim.

Cara lain yang dilakukan oleh Sunan Bonang dalam dakwahnya adalah lewat karya
sastra, salah satunya adalah Suluk Wujil, yang dipengaruhi oleh kitab Al Shidiq
karya Abu Sa'id Al Khayr. Suluk Wujil adalah karya spiritual yang berisikan tasawuf
sebagai media pengajaran agama Islam.

Sumber: iainutuban.ac.id, cagarbudaya, kemdikbud.go.id, gramedia.com,


kompas.com pontianak, tribunnews.com, jadesta.kemenparekraf.go.id, cagarbudaya,
kemdikbud.go.id, kompas.com, tribunnewswiki.com, bobo.grid.id

Anda mungkin juga menyukai