Anda di halaman 1dari 2

Barangkali Ledakan Gagal Menjadi Kejutan

Mentari tinggal terik bara tanpa janji.


Kota tumbuh,kian asing, kian tak peduli
dan kita tersisih di dunia yang ngeri,dan tak terpahami ini.

Silampukau ̶ Balada Harian

Baik. Mari kita merenung. Merelai kecemasan kita yang selama ini berpendar-pendar di
benak. Sambil menebak-nebak apakah kita telah sukses berupaya menjadi rakyat yang patuh
dan rajin mengamalkan peraturan? Atau hanya menjadi rakyat yang dikit-dikit suka pakai
alasan innal insana khuliqo halu’a?

Kebanyakan dari kita adalah warga yang baik dan tak mudah dikagetkan dengan sebuah
ledakan. Ledakan-ledakan beneran atau mengandung kepalsuan. Ledakan, dalam pengertian
diskursif kita ‘isu-isu amoral’.

Sejarah yang panjang menyimpan banyak alasan penting dan bukti jika kita sebagai rakyat
sebenarnya mempunyai ketenangan intensional yang cukup matang. Kita nyaris tidak pernah
mengherankan apapun kebijakan yang dirumuskan pemerintah. Bahkan kita rela melepas
begitu saja kesehatan mental yang menjadi hak asasi kita juga. Mau seberat apapun masalah
yang menimpa kita, mau serumit apapun keputusan yang menggelisahkan kita. Kita tetap
biasa saja. Seperti tak ada badai yang mengamuk. Dan cuaca kita selalu bersahabat. Kita
hampir saja melupakan pahitnya penderitaan yang bertahun-tahun melumuri jiwa. Kita terlalu
hafal bagaimana menerapkan dengan tulus mekanisme penderitaan.

Tentang bahan bakar minyak (BBM) saja, kita sudah berkali-kali ditampar harga yang cukup
tinggi. Tercatat sejak rezim Presiden Soeharto, tepat pada tahun 1977 BBM sudah naik.
Memasuki 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikkan harga bensin
(RON 88) hingga 80 persen dan mencabut subsidi untuk sektor industri. Dilanjut di masa
Presiden Jokowi, sejak 2014 hingga 2022 ini terjadi enam kali kenaikan harga BBM.
Sejak BBM naik (dan ini yang keenam kalinya di era Jokowi). Di waktu yang bersamaan
muncul kasus korupsi Gubernur Papua. BLT yang disunat Dinsos Blora. Hingga riuhnya
ucapan selamat ulang tahun bagi Mbak Puan. Semuanya sudah kita amati dan kita
berkesimpulan untuk menjadi pendiam dan pamatuh saja. Kita sudah capek dihadapkan
dengan kompleksitas urusan seperti itu. Ibarat ban yang meledak di ruas jalan. Kita semua
sudah kehilangan daya kaget dan kejut. Ledakan-ledakan yang iseng-iseng dibuat pemerintah
sudah kita anggap saja sebagai kejutan yang tak mengesankan lagi. Kita sudah kehilangan
hasrat untuk menikmati kejutan dan getaran.

Bukti jika kita rakyat yang baik dan patuh. Ketika keluar rumah saja, masuk ke ruas jalan
raya, kita pasti tertib dan semaksimal mungkin meminimalisir pelanggaran yang terjadi.
Ketika lampu merah, kita berhenti. Lampu berwarna hijau, kita lanjut jalan lagi. Bayangkan
jika satu diantara kita tiba-tiba nyelonong tanpa perhitungan. Kekacauan kecil pun pasti
terjadi. Itu kalau satu orang. Kalau seratus, bahkan seribu orang melakukan hal yang sama,
bagaimana?
Itu baru cara berkendara, ketika masuk ke pusat perbelanjaan, kita senantiasa mengantri
dengan senang hati. Ketika belanja pun, kita rajin membayar pajak dengan tepat waktu
bahkan tak pernah ngeyel menyangsikan tingginya cukai rokok dan bahan pokok lainya.
Yang seandainya itu kami lakukan, bentrokan kecil antara pemilik supermarket dengan kita
tak akan bisa dihindari.

Kita semua disuruh repot ganti KTP elektronik pun kita lakukan dengan patuh. Walaupun
ribetnya minta ampun. Diminta ganti SIM 5 tahun sekali kita oke-oke saja. Tagihan listrik
dan air PDAM pun, kita hampir tak pernah alpa untuk membayar angsuran tiap kali akhir
bulan, kalau pun telat itupun masih tetap kita bayar.

Bahkan sebagai warga negara, kita sering aktif dalam agenda kenegaraan. Misalnya soal
keamanan kampung, ronda kampung itu biasa. Ikut menjaga keamanan kampung. Bayar iuran
kampung. Kalau pun ada peringatan hari kemerdekaan, kita lebih aktif lagi. Bahkan siap
capek menjadi panitia, sekaligus siap keluar uang banyak untuk berpartisipasi agar semua
warga makin bergembira.

Kalau pun kita tak punya uang, kita sudah terlatih untuk menahan lapar dengan berpuasa.
Mendesak sekalipun, kita sudah berdamai dengan pegadaian. Resah pun kami punya banyak
kartu kredit, kita tetap menebar senyum pada karyawan rentenir. Di pabrik pun, kami tetap
bermuka sumringah menikmati kemiskinan, bahkan kita saling menukar cerita. Bahkan di
pasar pun, kita masih konsisten berbagi dengan para pengamen dan pemulung.

Jadi jangan salahkan, jika sesekali agenda kenegaraan kita absen atau tidak suka. Ya wajar.
Biasa saja. Kita bukan warga negara yang paripurna. Bahkan wakil rakyat pun tidak kita
tuntut menjadi yang sempurna. Ada yang korup, ya kita terima dengan lapang dada. Ada
yang pasif, ya kita maklumi. Mau bagaimana lagi…

Kita terlalu lelah menjadi rakyat yang baik dan tekun mematuhi segala aturan mainnya.
Sesekali biar kami merasakan nikmatnya memupus harapan. Biarkan kami sesekali menghela
nafas panjang untuk segala bentuk kekumuhan yang mondar-mandir tak jelas diujung hidung
kita. Biarkan kita menjadi rakyat biasa-biasa saja. Tersisihkan.

Jika kita masih saja ditolol-tololkan dan digoblok-goblokkan, bolehkah jika kita serempak
bilang; Wahai pemerintah; brengsek kau!

Penulis: Mohammad Iqbal Imami

Anda mungkin juga menyukai