Anda di halaman 1dari 2

Pemilu: Menuju Politik Kecerdasan (Judul Ke’ah.

Terserah nanti judulnya apa, asal masih


menyangkut Pemilu)
Oleh: Aspian Ibranur
Anggota Panwaslu Kecamatan Mananggu

Sebentar lagi Indonesia memilih. Pada Pemilu 2019 nanti, anggota DPR, DPD, dan DPRD
dipilih serentak dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dan diproyeksikan, setiap
pemilih akan menghabiskan waktu paling cepat 5 menit mencoblos di bilik TPS.
Sebenarnya, perihal mencoblos bukan pekerjaan sulit. Mudah dan simpel. Kita hanya
meluangkan waktu beberapa menit di bilik TPS. Ambil paku, coblos. Setelah itu, pulang. Tetapi,
bagi orang yang paham esensi demokrasi, maka dari perihal yang mudah itulah mereka gunakan
kesempatan untuk menata masa depan bangsa ini. Sebab, di tangan orang-orang yang dipilih
itulah maju-mundurnya peradaban bangsa tergenggam.
Hal inilah yang mesti kita sadari. Kita mesti cerdas memilih. Jangan sampai karena perihal yang
mudah itu, malah kita terjunkan gerbong bangsa ini ke dalam jurang kehancuran. Bila pilihan
kita masih dikalahkan syahwat “money politics”, maka itu sama saja kita telah dengan sengaja
menukarkan kedaualatan dengan uang.
Dulu, kita pernah dengar slogan, “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya!” Bahkan ada yang
sangat Gorontalo, “Ja bo megaya, do’i paralu”. Tapi tahukah, justru dengan slogan itu money
politics makin dekat dengan kita, subur lagi.
Politik uang mengindikasikan lahirnya pemimpin yang korup. Jika kandidat yang melakukan
money politics, indomie politics, atau miras politics terpilih, maka setelahnya orang tersebut akan
berpikir untuk mengembalikan uangnya yang telah terkuras. Akhirnya, korupsi sulit dihindari.
Korupsi kian subur. Subur, oleh karena kerakusan kita yang mau menerima money politics,
indomie politics, atau miras politics tadi.
Maka, jika kita ingin bangsa ini maju, jika kita ingin kita segera keluar dari lilitan kemiskinan
dan KKN yang kian mengganas, solusinya: Stop Politik Uang.
Slogan “ambil uangnya, jangan pilih orangnya” dan “Ja bo megaya, do’i paralu”, itu sebenarnya
tidak akan menjauhkan kita dari politik-uang. “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya” rasanya
kurang etis kita pakai jika kita masih punya keinginan menyongsong Republik Tanpa Politik
Uang! Jika kita membayangkan terwujudnya sebuah negeri atau daerah yang gilang-gemilang,
maka kita mesti berani bersikap untuk: “Jangan ambil uangnya, jangan pilih orangnya!”
Perihal mencoblos, sesungguhnya tidak sekedar mencoblos. Tetapi di bilik TPS itulah kita
sedang menggadaikan nasib anak-cucu kita. Kalau kita salah mencoblos, ganjarannya adalah
suramnya masa depan anak-cucu kita yang kini masih kanak-kanak. Maka dari situlah kesadaran,
ketelitian, kejelian, juga kecerdasan kita diperlukan. Cerdas memilih, berarti kita telah berupaya
memperbaiki nasib anak-cucu kita.
Jauh sebelum kita mengopinikan “lawan politik uang”, banyak orang meyakini, uang adalah
satu-satunya jenis “peluru” dalam politik. Tanpa uang, seorang calon tak mungkin menang –
seakan-akan politik diciptakan Tuhan hanya untuk orang-orang berduit, sedangkan orang miskin
hanya “berhak memilih” dan “tidak berhak dipilih”. Tetapi apa yang terjadi dalam beberapa
waktu terakhir, justru menunjukkan bahwa uang tidak lagi menjadi peluru jitu.
Dalam area politik, di seluruh dunia, sekarang ini sedang terjadi pertarungan keras antara “uang”
dan “kecerdasan”. Mungkin kita belum lupa, di Amerika, calon presiden Barrack Obama
mengandalkan kecerdasannya, sementara lawannya John Mc. Cain didukung oleh “mesin uang
politik” yang sangat besar. Dan hasilnya, dengan politik kecerdasan, Obama menang terhormat.
Memang, melawan politik-uang sulitnya minta ampun. Tetapi, sulit bukan berarti tidak dapat
mengalahkannya. Langkah awal yang dapat kita lakukan, perpolitikan kita mesti diwarnai
dengan pertarungan kecerdasan, melawan politik uang. Ini bukan soal siapa calon yang cerdas
dan siapa calon yang menghamburkan uang untuk memperoleh kekuasaan, tapi pertarungan itu
adalah “pertarungan alasan memilih” yang berlaku di masyarakat Gorontalo.
Terlepas dari siapa yang dipilih jadi Presiden atau Anggota Dewan nanti, yang paling penting
adalah alasan ketika memilih. Kita akan mengukur berapa banyak dari sanak-famili kita –seluruh
rakyat Gorontalo– yang memilih pemimpinnya karena uang, dan berapa banyak dari mereka
yang memilih karena kecerdasan sang calon.
Siapa saja nanti yang jadi Presiden dan Wakil Presiden, atau siapa saja yang jadi Anggota
Dewan, itu semua mereka terpilih karena hasil dari pilihan-pilihan kita. Entah dipilih karena
duitnya atau karena kecerdasan, maka sekali lagi, kitalah, orang Gorontalo, yang memilihnya.
Bagi orang yang pro politik uang, Provinsi Gorontalo hanya sekadar sebagai tempat untuk
membeli jabatan politik. Tetapi bagi masyarakat yang pro politik kecerdasan pada Pemilu 2019
nanti, Gorontalo akan menjadi benteng pertama di Indonesia dalam memelihara nilai-nilai
demokrasi.
Pembaca yang budiman! Politik-uang tidak hanya dilarang, tetapi juga punya sanksi pidana.
Kalau kita jauhi, disamping kita telah berusaha mengantarkan perjalanan bangsa ini ke depan
pintu gerbang kemerdekaannya, juga kita akan terhindar dari tindak pidana Pemilu –yang jika
terbukti hanya akan menyengsarakan kita di bui nanti. Dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang
Pemilu, pada pasal 523, jelas disebutkan bahwa setiap orang diancam dengan pidana mulai dari 2
tahun sampai 4 tahun penjara jika terbukti melakukan politik uang.
Ya, kita mesti hati-hati. Kita mesti cerdas memilih.
Kalau kita masih bermental “do’i paralu”, maka sesungguhnya kita telah sengaja menceburkan
nasib bangsa ini, bahkan nasib anak-cucu kita nanti, dalam kubangan sejarah yang memuakkan.
Bila masih ada masyarakat Gorontalo memilih hanya karena pertimbangan “do’i paralu”, itu
berarti kita semua mesti melakukan usaha yang lebih keras lagi untuk menciptakan Republik
Tanpa Politik Uang. Sekali lagi, mencoblos bukan untuk kepentingan kita, tetapi demi kecerahan
masa depan anak-cucu kita nanti.
Dan akhirnya, Penulis mengajak sidang pembaca! Marilah kita tengok sebentar rentang panjang
sejarah manusia. Belum ada satu pun bangsa yang maju karena dipimpin oleh orang kaya.
Yunani, Romawi, Khilafah Islam, Aztek, Cina, India, Jepang, Amerika menjadi besar dan maju
karena dipimpin oleh orang-orang yang cerdas. Mari belajar dari situ. Wallahu ‘alam.

Anda mungkin juga menyukai