Anda di halaman 1dari 3

NARASI: DEMOCRACY VS DEMOCRAZY

Oleh: Dr. Adofina Elisabeth Koamesakh, M.Th,. M.Hum

Sebuah negara yang menjunjung demokrasi seperti Indonesia tentunya


memiliki sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya. Meski konsep
demokrasi selalu diartikan bahwa kekuasaan berada pada rakyat, namun tidak
berarti bahwa rakyat secara sadar dan bertanggung-jawab dapat menentukan apa
yang terbaik bagi mereka pada setiap periode kekuasaan. Plato yang hidup
sebelum Masehi mengatakan bahwa sistem demokrasi justru yang paling buruk di
antara sistem pemerintahan lainnya. Dan di abad moderen ini keburukan itu banyak
diperlihatkan pada setiap periode pemelihan umum, khsususnya di Indonesia. Ini
dikarenakan masyarakat dalam tingkatan pengetahuan dan statusnya, mereka
dipaksa untuk menentukan pilihan mereka bukan karena kemampuan menganalisis
kebutuhan mereka dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, tetapi lebih
kepada paradigma politik praktis yang mengedepankan unsur-unsur primodialisme
seperti pertimbangan sesama suku, agama, marga dan lain-lain, serta monster
demokrasi yang disebut politik uang.
Indonesia baru saja menyelesaikan perhelatan demokrsai pemilihan legislatif
dan presiden. Tulisan ini bukan untuk menggugat hasil dari pilihan demokrasi tetapi
sebagai refleksi terhadap beberapa perubahan sikap berdemokrasi yang
dipertontonkan baik oleh rakyat maupun para kontestan, dalam hal ini para caleg
dan capres-cawapres yang oleh penulis lebih kepada kondisi democrazy (baca:
kegilaan masa) dari pada demokrasi itu sendiri.
Pertama: democracy vs democrazy pemilihan pileg dan pilpres secara
serentak memperparah ‘kegilaan’ pada tingkat masyarakat dalam memilih. Memilih
caleg tanpa foto mempersulit sebagian besar pemilih, khususnya kaum lansia dan
iliterasi, bahkan kebanyakan pemilih pemula menghadapi persoalan yang serupa.
Akibatnya pemilih kemudian hanya fokus pada kartu hijau dan abu-abu. Persoalan
ini terlihat sepele tetapi substansinya adalah kebanyakan rakyat tidak dapat memilih
calon anggota mereka pada tingkatan-tingkatan di atas. Petanyaannya, apakah
mereka mencoblos kartu-kartu lain? Kalau mereka tidak mencoblos siapa yang
mencoblos sehingga dewan provinsi, DPRRI, DPD bisa tercoblos dengan puluhan
ribu suara? Sebuah kegilaan demokrasi.
Kedua: democracy vs democrazy adalah bergugurannya 300 lebih petugas
PPS dan ribuan lainnya yang sakit dan dirawat. Sebuah fenomena baru dalam
perhelatan demokrasi di Indonesia, meskipun ada pihak yang membantah kalau
tidak pernah ada kematian yang diakibatkan oleh kelelahan. Persoalannya adalah
beban kerja yang menghantui para petugas yang sudah dimulai sebelum hari
pencoblosan hingga pada saat penghitungan suara memakan waktu yang cukup
panjang. Para petugas TPS berada di tempat sebelum pkl. 07.00 dan kembali ke
rumah esok hari menjelang siang, sebuah perubahan ritme hidup yang mendadak.
Belum lagi mereka bekerja di bawah tekanan atas nama keadilan atau bahkan untuk
kecurangan. Maka ada yang bernyanyi bahwa seringkali petugas menyebut nomer
yang berbeda dari nomer yang tercoblos, dan menulis pada nomer yang salah pada
C1 plano maupun C1. Bisa dibayangkan jika pesta demokrasi harus memakan
korban para penyelenggara, maka sudah dipastikan 5 tahun mendatang tidak
banyak yang mendaftarkan diri menjadi anggota KPPS, apalagi hanya dengan honor
Rp. 500.000 potong pajak mereka harus kehilangan nyawa. Perbincanganpun jatuh
pada pemilu serentak yang menguras energi dengan alasan efisiensi dana pemilu,
tetapi kualitas hasil masih perlu dipastikan kebenarannya. Mengapa kualitas hasil
perlu dipertanyakan? Contoh yang mudah dirasakan adalah antara pilpres dan pileg
terdapat jurang besar pada ekspektasi masyarakat. Pilpres menjadi sorotan yang
tajam tapi di lain pihak pileg menjadi tumpul, maka hasil pencoblosanpun patut
dipertanyakan. Dengan kata lain hasil pileg apakah merupakan suara murni pemilih
atau by orderan? Jika terjadi yang kedua maka pilar legislatif dalam sistem negara
demokrasi tidak lebih dari sebuah democarzy.
Ketiga, klaim kemenangan sebelum pleno KPU oleh pasangan capres bukan
saja lelucon berdemokrasi tapi berpotensi menciptakan kegilaan
berdemokrasi. Pemilu dalam era digital di seluruh dunia mengandalkan quickcount,
hitungan cepat dengan menerapkan ilmu statistik untuk memenuhi keingin-tahuan
masyarakat terhadap hasil pemilu lebih cepat dari perhitungan manual. Meskipun
demikian hasil hitungan cepat harus menunggu hasil manual yang berproses mulai
dari TPS, Kecamatan, KPUD dan KPU-RI. Alih-alih menunggu pleno yang dimulai
dari tingkat kecamatan, Indonesia dan dunia harus keras berpikir adanya deklarasi
kemenangan dan sujud syukur salah satu pasangan capres Indonesia mendahului
tahapan perhitungan suara. Rakyat lugu bukan lagi kaget tapi logika berpikirpun
terciderai. Yang crazy rakyat atau capres?
Keempat, monster demokrasi yang menakuti-nakuti adalah politik uang.
Seorang mahasiswa bertanya “apakah kerja politik tidak butuh duit,
Mum?” Rupanya dia bertanya karena pada pileg lalu seorang caleg memberikannya
ongkos transportasi ke TPS. Jawabnya tentu ongkos politik ‘ya’ tapi ‘berdagang
suara’ “tidak’. Belum selesai menjelaskan pertanyaan mahasiswa yang ringan
itu tiba-tiba saya membaca tulisan Deny Siregar yang selalu garing di FB. Beliau
menyebutkan bilangan rupiah yang fantastis dari keluhan-keluhan caleg gagal
berkisar 300 juta-1.5 miliar rupiah yang dibelanjakan caleg-caleg untuk meraih suara
tapi gagal. Dana yang dialokasikan untuk aksi-aksi sosial, tetapi kebanyakan juga
untuk tim sukses yang berpura-pura memakainya untuk meraup suara tetapi
kemudian kosong suara. Ketika membaca tulisan ini, saya teringat kembali lontaran
kata-kata yang pernah saya ucapkan kepada beberap tim sukses jika publik sering
mengatakan caleg gagal, caleg gila maka di tahun 2019 akan ada
banyak voters mengalami gejala democrazy karena bingung menghadapi para
caleg, yang datang dengan tawaran ‘dagang suara’. Di beberapa tempat (tidak etis
menyebutkan nama) seorang calon pemilih menerima dari semua caleg yang
datang, semua lembaran duit diterima, dan pada hari pencoblosan entah siapa yang
dicoblos, yang memberi jumlah tertinggi? Yang masih ada hubungan identitas
dengannya? Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tapi ada juga yang tidak ke TPS
karena bingung.
Menuntaskan jawaban kepada pertanyaan mahasiswa milenial di atas saya
teringat pada sebuah SMS menjelang pemilu cukup membuatku sedih dan tidak
mampu membacanya kembali. Intinya pengirim mendesak supaya segera ‘belanja’
menjelang hari pemilihan. Pesan ini sangat tegas menggambarkan situasi ‘pasar
democrazy’ dalam dunia demokrasi. Semakin dekat tanggal 17 April 2019 tim dari
semua penjuru mulai gerah cenderung menekan untuk memainkan dagangan
dengan menyebut nama ‘para pembeli’ dengan jumlah yang mereka ‘taruh’ di atas
suara perorangan. Bahkan sadisnya ada oknum-oknum di luar tim muncul secara
tiba-tiba di waktu pagi, siang bahkan malam menawarkan ‘dagangannya.’ Sebuah
fenomena yang mencekam beriringan dengan tensi politik yang menuju denyutan
tertinggi. Orang-orang terdekat ikut terbagi dalam pikiran mereka. Ada yang
terbawa semangat pasar, ada bersikap moderasi antara politik dan ongkos politik,
tapi syukur ada yang tegas no money politic, paling tidak masih ada yang tidak ikut-
ikutan crazy.
Akhirnya, Pileg dan Pilpres 2019 telah berakhir dengan cerita yang unik nun
getir. Semakin terbuka komunikasi canggih zaman now belum mampu membuka
tabir permainan demokrasi. Permainan selalu diperankan oleh para aktor yang
selalu mencari panggung kekuasaan. Sementara rakyat yang punya kedaulatan
menempatkan siapa yang mereka inginkan. Kedaulatan rakyat harus dijunjung
tinggi, dan hasil perhelatan harus diakui. Sejarah demokrasi Indonesia terus
mencatat, semoga kegilaan demokrasi dapat disembuhkan 5 tahun mendatang.
Refleksi ini membawa pada pemikiran adanya langkah urgensi yang perlu
disikapi baik oleh pemerintah maupun kaum pemerhati demokrasi mengambil
langkah-langkah konkrit edukasi demorasi bagi rakyat, pentingnya menempatkan
pemimpin politik dengan kemampuan yang mumpuni, jika politik diartikan sebagai
strategi dalam upaya menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai