Anda di halaman 1dari 7

NB : kasus penyelewengan demokrasi di Indonesia

A. Kasus Pilkada Palopo

Demokrasi yang sudah disepakati di Indonesia barulah sebatas ritual dan demokrasi Prosedural.
Hal ini tercermin dalam Pemilu, Pemilukada atau kongres-kongres Partai politik.

Budaya demokrasi seperti mentalitas demokratis, tenggang rasa terhadap perbedaan pendapat,
etika sportif, dan sebagainya, masih sangat lemah. itulah sebabnya, kalau kalah atau kecewa mereka
mutung dan melakukan tindakan yang sangat anarkis

Lebih jauh, kecenderungan politik menarik diri atau political withdrawal itu diwujudkan dalam
Politik yang sedikit-sedikit mengancam dan kemudian mengamuk dan Ini pertanda demokrasi belum
matang karena tidak adanya paralelisme antara format demokrasi dan substansi demokrasi, antara
ritual-ritual demokrasi dan mental demokrasi.

Ironis memang di Palopo yang indah permai bersih dan terkenal sebagai Kota yang menerima
Adipura, juga kota yang Religius di kota ini dikenal dengan mesjid tuanya , juga sebagai kota yang
dikenal cukup aman dan tentram tiba tiba menyala karena Pilkada.

Bukan Pilkada sebenarnya yang membuatnya menyala, tapi nafsu para peserta Pilkada yang
sudah dikejar impian Jabatan Walikota, didepan mata. apalagi dengan selisih suara yang tipis. membuat
syetan pun ikut memperkeruh suasana dengan meniupkan bisikan bisakan bahwa si anu curang si ini
curang di TPS ini dan itu. padahal kalau mau tenang dan mendahulukan nurani mestinya jika memang
suaranya ada yang hilang dan bisa dibuktikan dengan C1 dipengadilan maka bisa dilakukan tuntutan.

Hanya saja sekarang masyarakat juga belum sepenuhnya siap menerima alternatif Pengadilan
sebagai satu jalan Demokrasi , jadi memang makhluk Demokrasi Pilkada Walikota dan Bupati serta
Gubernur ini bukan juga anak yang manis tetapi untuk Indonesia ini adalah “anak liar” yang bisa
menghanguskan demokrasi itu sendiri.

Pilkada sejak lama disamping boros Sumberdaya memang juga memicu persaingan Elit disetiap
daerah dalam berebut pengaruh dalam masyarakat dengan ekses yang masih lebih banyak merugikan
Masyarakat luas.

Berkaca dari Kasus Palopo ini dimana sebagian Pendukung yang tidak puas Calonnya kalah yaitu
HATI justru menjadi ironis sebab aksi bakar Kantor Walikota dan Media di Palopo ini mencerminkan
Masyarakat menjadi liar dan tidak terkendali jika bergaul dengan anak demokrasi yang bernama
Pilkada ini.

Polisi yang berjaga tentu kalah jumlah dibanding Massa pendukung yang memang dalam kasus
Palopo ini Massa pendukung seimbang karena selisih suara antara Menang dan Kalah tidak sampai
seribu Suara.

Masalahnya Mahluk Pilkada itu mengatur walaupun selisihnya satu suara tetap saja yang lebih
banyak satu suara dianggap sebagai pemenang apatah lagi ada ratusan suara. Kerendahan hati
menerima kekalahan karena Masyarakat memilih lebih banyak peserta yang lain seharusnya sudah
diatur oleh para pihak yang bertanding didalam manajemen hati mereka bahwa hari ini pasti diantara
dua pasang yang bertarung mesti ada yang tidak terpilih sebab kecil sekali kemungkinan suaranya persis
sama banyaknya.

Jadi sudah seharusnya Semua Peserta Pilkada di Indonesia itu sebelum mengikuti Pilkada
diikutkan dulu Pelatihan Manajemen Hati yaitu bagaimana mengatasi gejolak hati yang berkecamuk
karena selisih suaranya tipis saja dengan yang terpilih di medan yang berat inilah para peserta pelatihan
mesti dinyatakan lulus baru boleh mengikuti Pilkada.

Sebab sebenarnya ..semua kandidat harus memahami di Pilkada Manapun di Indonesia saat ini
yang menang itu hanya satu pasangan saja disetiap daerah Pemilihan dan yang kalah lebih banyak
sebab sudah berapa ribu pasangan Pilkada sejak anak demokrasi ini lahir di Indonesia. dengan
memahami hal ini para Kandidat bukan saja dituntut menerima kekalahan yang terjadi tetapi juga
menjadi lebih rendah hati dan jujur mengakui bahwa diantara yang disukai Masyarakat ada saja orang
yang lebih disukai dibanding dirinya dan pasangannya.

Yang terjadi di Indonesia saat ini adalah .semua merasa paling disukai oleh Masyarakat dan lupa
bahwa rasa suka dan keterpilihan itu bukan saja ditentukan oleh Masyarakat itu sendiri tetapi ada Tuhan
yang mengclick setiap tangan dan mata yang ada di TPS TPS dan bilik bilik suara meskipun bukan Tuhan
secara langsung yang menangani hal itu setidaknya ada bala tentara Tuhan yang bekerja untuk
mempengaruhi setiap hati di setiap bilik suara Pilkada.

B. Tanggapan Presiden Terhadap Kasus Pilkada Palopo


Presiden Susilo Bambang Yudhdoyono mengkritik upaya pencegahan yang dilakukan jajaran
pemerintah daerah Sulawesi Selatan terkait kerusuhan yang terjadi di Kota Palopo, Sulawesi Selatan.
Kerusuhan terjadi pada Minggu (31/3/2013) kemarin, dan terjadi pembakaran di sejumlah obyek vital
Kota Palopo.

Presiden mengatakan, jajaran pemerintah Sulsel seharusnya bisa mencegah peristiwa itu karena
sudah banyak kerusuhan terkait pemilu kepala daerah.

"Kasus Palopo seharusnya bisa dicegah. Sudah amat banyak kejadian, begitu hasil pilkada
diumumkan, banyak yang marah, tidak puas, lalu merusak, membakar. Kalau banyak kasus seperti itu
mestinya pejabatnya, kepolisiannya, komando teritorialnya bisa mengantisipasi dan mencegahnya," kata
Presiden, dalam rapat terbatas di Kantor Presiden di Jakarta, Senin (1/4/2013).

Presiden menyinggung Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 tahun 2013. Inpres itu terkait
penanganan gangguan keamanan dalam negeri. Menurut Presiden, dengan Inpres itu seharusnya jajaran
pemerintah daerah bisa membuat standar prosedur untuk mengatasi gangguan keamanan di tiap-tiap
daerah, termasuk upaya pencegahan.

Presiden lalu memberi analogi perbedaan pekerjaan tukang pos dengan jajaran pemerintah.
Tukang pos yang menerima paket kiriman dari warga hanya bertanggung jawab mengantarkan sampai
ke kotak paket. Setelah diantar melalui darat, laut, atau udara, kata Presiden, ada tukang pos lain yang
mengantarkan sampai tujuan.

Presiden mengaku, sudah memberi arahan kepada menteri terkait dan Gubernur Sulsel pada
Minggu malam melalui pesan singkat. Kepala daerah dan pejabat daerah lain, kata Presiden,
bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban masyarakat.

Seperti diberitakan, massa pendukung calon wali kota/wakil wali kota Palopo yang kalah, Haidir
Basir-Thamrin Jufri, diduga membakar enam gedung perkantoran karena tidak menerima kekalahan.
Gedung yang dibakar, yakni kantor Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar, kantor Wali Kota Palopo,
kantor Dinas Perhubungan, kantor Panitia Pengawas Pemilu, kantor Kecamatan Wara Timur, dan kantor
harian Palopo Pos. Massa juga membakar empat mobil dinas.

Pasangan Haidir-Thamrin diusung Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan,


Partai Kebangkitan Bangsa, dan sejumlah partai politik lain. Pasangan itu kalah dengan pasangan Judas
Amir-Akhmad Syarifuddin yang diusung Partai Golkar. Dalam pemilihan kepala daerah putaran pertama
pada 22 Januari lalu, Haidir-Thamrin meraih 19.561 suara dan Judas-Akhmad 19.489 suara. Keduanya
pun lolos ke putaran kedua mengalahkan lima pasangan calon lain. Dalam rekapitulasi penghitungan
suara putaran kedua, Judas-Akhmad berbalik unggul dengan 37.469 suara. Haidir-Thamrin meraih
36.731 suara. Hasil hasil rekapitulasi penghitungan suara KPU itu lalu memicu kerusuhan.

C. Cara Meminimalisasi dan Mengatasi Konflik Pilkada

Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara dikatakan demokratis
bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskan
preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi;
memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang siapapun
berkompetisi untuk jabatan politik. Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat
penting bagi demokrasi. Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks Pilkada langsung
adalah meminimalisasi potensi-potensi konflik tersebut, antara lain dengan :

1. Conflict Governance

Conflict governance idealnya adalah mekanisme politik yang mentransformasikan konflik yang
tidak produktif atau konflik kekerasan menjadi konflik yang produktif, konflik produktif mengartikan
dirinya sebagai praktik negosiasi terus menerus dalam ruang politik yang mendasarkan pada prinsip-
prinsip demokrasi. Demokrasi deliberatif dalam hal ini adalah fondasi yang paling tepat bagi conflict
gevernance. Nogosiasi yang berdiri di atas akal sehat, imparsialisme, mendengarkan, kesetaraan, nir-
kekerasan, dan aturan main legal.

Pelembagaan democratic conflict governance menyediakan tiga mekanime. Yaitu mekanisme


pengamanan, resolusi konflik, dan rekonsiliasi di setiap tingkat kepemimpinan grass root. Setiap
mekanisme dilaksanakan oleh lembaga-lembaga kompeten yang telah ada dalam struktur pemerintahan
dan lembaga yang dibentuk secara ad hoc oleh berbagai kelompok kepentingan terlibat. Seperti pada
mekanisme pengamanan, aparat keamanan dalam hal ini lembaga kepolisian menjadi penanggung
jawab utama. Untuk menjalanka mekanisme conflict governance, lembaga kepolisian perlu memiliki
kualitas dalam mobilitas aparat keamanan ke pusat-pusat dinamika konflik massa. Kepolisian harus juga
memiliki kemampuan menilai dinamika konflik dalam masyarakat. Sehingga, penanganan dini bisa
segera diciptakan untuk mencegah terjadinya eskalasi kekerasan. Hal yang tidak kalah penting adalah
kapasitas persuasi terhadap massa yang telah membakar emosi dan siap menciptakan kekerasan.
Mekanisme resolusi konflik memiliki dua dimensi. Yaitu dimensi judicial settlement dan
negosiasi untuk win-win solution. Mekanisme ini difasilitasi oleh lembaga-lembaga demokrasi formal
seperti KPU dan Lembaga Peradilan. Walupun demikian mekanisme ini hanya bisa berjalan tatkala elit
politik memiliki komitmen terhadap demokrasi. Mekanisme rekonsiliasi di setiap level kepemimpinan
grass root merupakan proses sosial yang mendorong kerukunan lintas kelompok identitas massa
pendukung. Idealnya mekanisme ini dijalankan oleh lembaga lintas kelompok, partai politik dan lembaga
formal pemerintah seperti kepolisian dan KPU.

Harapan kemenangan di tingkat massa grass root terhadap para figur elite politik seringkali
merupakan refleksi kepentingan identitas kelompok. Kemenangan figur tertentu dianggap kemenangan
kelompok identitas tertentu. Sehingga pada dasarnya massa grass root memiliki suatu proses tersendiri
dalam memaknai sengketa pilkada yang tidak selalu bisa dikontrol oleh elite politiknya. Sehingga fakta
sosiologis ini sangat sulit hanya ditangani oleh meknisme pengamanan dan resolusi konflik. Sebenarnya
mekanisme rekonsiliasi di setiap tingkat kepemimpinan grass root.

2. Kesadaran Demokrasi

Fondasi dari conflict governance dalam konteks pilkada damai adalah kesadaran demokrasi.
Artinya mekanisme-mekanisme dalam democratic conflict governance hanya akan berjalan efektif dan
menjadi mesin perdamaian tatkala seluruh masyarakat memiliki kesadaran demokratis. Yaitu suatu
kesadaran yang dibentuk oleh nilai-nilai kemanusiaan dan kepercayaan hukum.Baik di tingkat politik dan
massa grass root kesadaran nondemokratis masih mewarnai di setiap dimensi tindkan politik.

3. Undang-Undang

Untuk mengatasi dan meminimalisasi konflik pilkada diperlukan suatu Undang-Undang


tersendiri tentang tata kelola konflik publik termasuk konflik pemilu. Negara melalui organisasi-
organisasinya harus mampu mereduksi kekerasan partai politik dan menciptakan konflik kepentingan
yang konstruktif untuk pembangunan perdamaian.

4. Melaksanakan Good Government

Dengan adanya Good Government, secara perlahan ajang pilkada tidak akan diperebutkan
sebagai serana mendapatkan keuntungan materi dan politik semata, namun sebagai sarana melayani
publik serta mensejahterkan rakyat sehingga potensi konflik pemilu yang terjadi baik itu karena
kekalahan dalam hasil pemungutan suara dan lain sebagainya dapat diminalisir.
5. Mempertimbangkan faktor penguatan masyarakat sipil dan modal sosial berupa
kepercayaan antara warga dan elemen-elemen masyarakat.

Pada konteks ini, tersedianya modal sosial kultural berupa kepercayaan dari setiap warga dan
terbukanya ruang dialog akan berguna untuk mentransformasikan konflik politik. Ketika persoalan
muncul, peritmbangan rasional dan jernih berbasis social trust akan mereduksi cara-cara kekerasan.
Social trust antara warga dan keterbukaan ruang publik akan membuat warga semakin peka terhadap
lingkungan sosial maupun provokasi dari luar atau elite yang mengguncang stabilitas di wilayah tersebut.

Konflik memang tidak bisa dihindari di wilayah demokrasi yang masyarakatnya multikultural,
terlebih kalau elite politiknya tidak memiliki kedewasaan dalam berdemokrasi. Tetapi paling tidak
menurut Cohen dalam manajemen konflik, bagaimana kita bisa secara cerdas meminimalisir konflik itu
sendiri. Dalam konteks pilkada, setiap kandidat harus memiliki modal dasar demokrasi yaitu “Sportifitas”
mengakui keunggulan orang lain dan menerima kekalahannya dengan lapang dada tanpa mencari
kambing hitam.

Tujuan utama penyelenggara pemilu adalah mengantar pemilu yang bebas dan adil kepada para
pemilih. Untuk itu, KPU harus melakukan semua fungsinya dengan dengan tidak berpihak dan secara
efektif harus menyakinkan bahwa integritas setiap proses atau tahapan pemilu terlindungi dari oknum-
oknum yang tidak kompeten dan yang ingin bertindak curang. Kegagalan memenuhi tugas yang paling
sederhana pun tidak hanya mempengaruhi kualitas pelayanan, tapi juga akan menimbulkan persepsi
publik tentang kompetensi dan ketidakberpihakan dari aministrator pemilu.

Penyelenggaraan pemilu yang bebas, adil, dan ideal untuk melaksanakan pemilu harus
memperhatikan hal berikut:

1. Adanya kemandirian dan ketidakberpihakan. KPU tidak boleh menjadi alat yang
dikendalikan oleh seseorang, penguasa atau partai politik tertentu. KPU harus berfungsi tanpa bias atau
kecenderungan politis. Adanya dugaan kebohongan menyebabkan persepsi publik akan bias atau
dugaan adanya intervensi akan berdampak langsung tidak hanya pada kredibilitas lembaga yang
berwenang, tetapi juga pada keseluruhan proses pemilu.

2. Efisiensi. Efisiensi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan kredibilitas
proses pemilu. Pada saat dihadapkan dengan dugaan-dugaan dan contoh-contoh ketidakmampuan, sulit
bagi lembaga pemilu untuk mempertahankan kredibilitasnya. Efisiensi menjadi sangat penting dalam
proses pemilu ketika terjadi masalah di tingkat teknis dan masalah-masalah yang dapat menstimulasi
kericuhan dan pelanggaran aturan. Berbagai faktor mempengaruhi efisiensi, misalnya staf yang
kompeten, profesionalisme, sumber daya, dan yang terpenting adalah waktu yang cukup untuk
mengorganisir pemilu.

3. Profesionalisme. Pemilihan umum juga memiliki arti penting dalam fungsi demokrasi
dimana anggota KPU harus memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai prosedur pemilihan umum
dan filosofi pemilihan umum yang bebas dan adil, diberi wewenang untuk melaksanakan dan mengatur
proses tersebut.

4. Kompeten, tidak berpihak dan penanganan yang cepat terhadap pertikaian yang ada.
Ketetapan undang-undang harus dijabarkan pada hal yang sangat operasional sehingga setiap anggota
KPU dapat mengatasi setiap permasalahan yang muncul dalam memproses dan menengahi keluhan atas
pelaksanaan pemilu, seperti dugaan kecurangan ataupun konflik antar kelompok atau dalam regulasi
yang bersifat memaksa sekalipun. Partai-partai politik, dan masyarakat pada umumnya berkeinginan
agar keluhan mereka didengar dan ditindak lanjuti dengan cepat dan efisien oleh KPU atau lembaga
terkait. Kredibilitas administrasi KPU, pada banyak kesempatan, tergantung pada kemampuan untuk
mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan keluhan-keluhan dalam pemilu. Berhadapan dengan
kekhawatiran dan kecurigaan yang biasanya hadir pada masa transisi, KPU harus memiliki sumber daya
dan kompeten memahami aturan untuk dapat memenuhi harapan masyarakat dalam memastikan
terselenggaranya pemilu yang bebas dan adil.

5. Transparansi. Keseluruhan kredibilitas dari proses pemilihan umum secara substansial


tergantung pada semua yang berkepentingan, baik KPU, Panwaslu, Partai Politik, pemerintah maupun
masyarakat untuk ikut terlibat dalam formasi dan fungsi dari struktur dan proses pemilu. Dalam hal ini,
komunikasi dan kerjasama semua stakeholder: KPU, panwaslu, partai politik dan institusi-institusi dalam
masyarakat harus dibangun atas dasar collective action untuk kepentingan bersama.

Anda mungkin juga menyukai