Anda di halaman 1dari 4

Ber-evaluasi Dari Pilkada Sulsel

Oleh Musfi Yendra, S.IP


Wakil Direktur Ekasekutif S.I.S
Negara penuh kerusuhan/konflik itulah bangsa kita. Dari lapangan bola kaki
sampai lapangan politik, rusuh! Memalukan tapi bagaimana lagi tanah air kita juga.
Tempat kita dilahirkan dan dibesarkan. Beginilah wajah sportifitas dan demokrasi
negeri tercinta.
Sepanjang pelaksaannya Pilkada yang digelar di beberapa propinsi dan
kabupaten di Indonesia hampir secara umum menyisakan konflik. Pemilihan langsung
kepala daerah yang dimulai pasca revisi UU no 22 tahun 1999 menjadi UU no 32
tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah itu bertujuan terciptanya kesempurnaan
berdemokrasi. Tapi pada kenyataanya menciptakan konflik-konflik baru dalam sistem
dan tatanan politik bangsa ini.
Sangat menegangkan kondisi yang kita lihat dari televisi di Sulawesi Selatan
pada tanggal 19 Januri kemaren. Bertepatan dengan dilantiknya Mayjend Achmad
Tanribali Lamo sebagai caretaker Gubernur Sulawesi Selatan oleh Mendagri
Mardiyanto. Tanribali Lamo adalah Mantan Asisten Personel Kepala Staf TNI AD.
Tugas carateker sampai selesainya pertikaian pilkada di kampung Yusuf Kalla
tersebut. Langkah ini diambil pemerintah pusat untuk menengahi konflik yang sedang
terjadi disana. Dan juga untuk mencegah kekosongan pemerintahan di Sulsel akibat
konflik hasil pemilihan kepala daerah yang berkepanjangan.
Kerusuhan sudah terjadi pasca pilkada yang digelar 15 November 2007 yang
lalu. Setelah kemenangan pasangan Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu`mang
('Sayang'), diusung PDIP, PAN, dan PDS dianulir karena tim suksesnya melakukan
kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara. Persoalaan ini bermuara sampai
ke Mahkamah Agung (MA). Dalam persidangannya menghasilkan putusan MA yang
memerintahkan pilkada ulang di Kabupaten Gowa, Bantaeng, Tana Toraja, dan Bone.
Putusan MA tersebut merupakan buah gugatan pasangan Amin Syam dan Mansyur
Ramli ('Asmara') yang diusung Partai Golkar dan PKS, dengan ditemukannya bukti
kecurangan di empat kabupaten itu.
Masyarakat pendukung ‘Sayang’ tidak mengakui adanya carateker dan tetap
mendesak dilantiknya ‘Sayang’ tanggal 19 Januari itu. Tapi pada kenyataannya
pemerintah pusat tetap melantik careteker, inilah yang menyebabkan bergelindingnya
bola kerusuhan yang semakin anarkis. Kota Makassar menjadi mencekam yang
berakibat pada terhambatnya banyak aktivitas masyarakat.
Akar konflik
Ada dua hal penting yang masih patut dijadikan sebagai catatan koreksi atas
pelaksanaan pilkada secara umum khususnya di Sulsel, yaitu persoalan mekanisme
pilkada dan hasil pilkada itu sendiri. Kedua hal tersebut merupakan muara dari
berbagai persoalan yang muncul selama pilkada. Persoalan pilkada yang terkesan
dipaksakan, pertarungan elite politik lokal dengan politik uang, media massa yang
belum netral, kuatnya patriarkisme politik dan juga kasus pemenang pilkada kembar.
Dalam hal mekanisme ada beberapa penyebab terjadinya konflik. Pertama;
munculnya perdebatan berkaitan dengan diberlakukannya UU No 32/2004 yang
mengadopsi seluruh asas dan tahapan dalam UU No 23/2003. Sesungguhnya antara
pilkada dan pemilu tidak bisa dipisahkan. Sementara itu juga muncul perdebatan
apakah KPU pusat berwenang menyelenggarakan pilkada atau tidak. Ada yang
berpendapat KPU berwenang menyelenggarakan pilkada mengingat pilkada itu juga
pemilu. Kalau demikian otomatis lembaga itu memiliki kekuasaan menyelenggarakan
pilkada. Akan tetapi ada pihak-pihak lain yang menentang. Alasannya pilkada itu
berbeda dari pemilu. Sebagai konsekuensinya KPU tidak berwenang
menyelenggarakan pilkada. Perdebatan tidak selesai sampai di situ. Ada yang
mempersoalkan kepada siapa KPUD sebagai penyelenggara pilkada harus
bertanggung jawab. Ada yang berpendapat KPUD tidak bertanggung jawab kepada
KPU pusat tetapi kepada DPRD.
Peredebatan itu berakhir dengan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Hasilnya Mahkamah Konstitusi menyatakan pilkada bukan bagian dari pemilu. Jadi
KPU pusat itu tidak berwenang menyelenggarakan pilkada. Ia hanya diberi wewenang
untuk melakukan supervisi dalam pilkada. Penyelenggaraan pilkada selanjutnya
menjadi wewenang KPUD, dan lembaga ini tidak lagi bertanggung jawab kepada
DPRD tetapi kepada publik.
Kedua; berkurangnya kewenangan KPUD. Hal ini dapat terjadi karena dalam
menyelenggarakan pilkada KPUD harus bermitra dengan pemerintah daerah
(penyedia dana) dan DPRD. Hal ini menunjukkan pilkada bukan rezim pemilu tetapi
cenderung menjadi rezim pemerintah. Ketiga; Konflik pilkada juga bisa bersumber
dari banyaknya aturan main yang tertulis dalam pasal-pasal di UU No 32/2004 dan PP
No 6/2005 yang kurang aplikatif dan saling bertentangan. Keadaan seperti ini dapat
menimbulkan konflik manakala terjadi salah tafsir. Keempat; kita harus ingat bahwa
pilkada yang digelar 'secara paksa' oleh pemerintah juga membuka peluang
munculnya mobokrasi. Karena secara politik pemerintah kurang siap dalam
menyediakan instrumen pilkada, maka setiap kasus pilkada akan bermunculan tanpa
sandaran penyelesaian yang jelas.
Dalam hal penyikapan hasil pilkada pun bisa konflik karena, Pertama; tingkat
pendidikan politik masyarakat yang masih rendah juga memudahkan elite parpol yang
kalah dalam pilkada untuk memobilisasi massa dalam memperjuangkan kepentingan
negatifnya. Massa yang berpotensi dimobilisasi adalah mereka yang tidak melek
politik, dan mungkin juga mereka melek politik tapi bersedia diajak tidak sportif
untuk melakukan tindakan sesat. Kedua; parpol diberi peran yang sangat dominan
dalam penentuan kandidat pilkada serta menutup akses calon independen. Dalam
kondisi ini, masyarakat seolah hanya berharap bahwa calon kepala daerah yang
terbaik adalah mereka yang diusung oleh parpol. Konsekuensinya, mereka akan
memberikan dukungan secara fanatik pada jagonya. Jika jago mereka kalah, seolah
harapan-harapan politik mereka musnah sama sekali. Akibatnya, sikap fanatik buta
akan muncul dari massa pendukungnya.
Ketiga; internal partai yang mendukung calon. Konflik rentan muncul,
mengingat aturan yang mensyarakatkan setiap calon didukung oleh partai yang
memiliki perolehan 15% suara dalam pemilu legislatif yang lalu. Artinya, akan
banyak partai yang berkoalisi untuk mencalonkan jagoannya. Konflik internal ini
dapat timbul diawal, jika masing-masing partai yang melakukan koalisi tidak merasa
puas dengan kerja partai kawan koalisinya. Konflik juga bisa timbul, ketika jagoan
yang diusung berhasil memenangkan pilkada, perebutan jabatan-jabatan strategis atau
“basah” akan menimbulkan pergesekan.
Keempat; Konflik juga bisa melibatkan antara kandidat dan partai
pengusungnya, hal ini mungkin terjadi karena kandidat bukan berasal dari internal
partai. Kesepakatan yang dijalin antara kandidat dan partai pendukungnya bisa
berakhir dengan kekecewaan, jika kandidat yang terpilih tidak menepati janji
politiknya kepada partai yang bersangkutan.
Kelima; konflik biasanya juga terpicu oleh ketidaknetralan aparat keamanan
dalam melakukan tugas pengamanan. Termasuk juga ketidak netralan penyelenggara
Pilkada. Mungkin ini hanya sebatas persepsi satu kubu pendukung, tetapi jika tidak
mendapatkan penjelasan yang baik dari aparat, bisa terjadi akumulasi ketidakpuasan
terhadap aparat keamanan itu sendiri.
Agar Tak konflik
Sebagai proses pembelajaran demokrasi, pemilihan kepala daerah secara
langsung adalah lompatan jauh di kancah perpolitikan negeri ini. Namun, harus diakui
pilkada ternyata belum mampu menyemai desentralisasi demokrasi. Konflik antar
elite politik lokal yang terjadi dalam pilkada memperkuat hipotesis tersebut. Satu sisi
pilkada memberikan rona demokrasi, tetapi di sisi lain memunculkan sejumlah ironi.
Polarisasi antar kelompok masyarakat dan merenggangnya hubungan interaksi sosial
menjadi salah satu dampak nyata dan tidak bisa dikesampingkan selama pelaksanaan
pilkada.
Kedepan dalam proses menuju dewasa berdemokrasi diharapkan pilkada tidak
lagi sebagai lahan-lahan konflik baru. Kita berharap para elit politik memberikan
pembelajaran politik yang lebih baik kepada masyarakat. Ada beberapa yang solusi
yang harus dilakukan. Pertama; menurut Eep Syaifullah Fatah Pakar Politik dari UI ,
perlu dilakukan institusionalisasi konflik. Artinya, konflik bisa ditampung melalui
lembaga-lembaga yang telah ada. Seperti penggunaan mekanisme hukum untuk
melakukan gugatan apabila terjadi kecurangan dalam pelaksanaan Pilkada. Sehingga
konflik horisontal antar pendukung kandidat bisa dieliminasi. Disamping itu
penyelanggara pilkada, dalam hal ini KPUD juga harus membuat aturan yang jelas,
jangan terulang kasus sosialisasi yang sempat membuat ketegangan antara KPUD dan
Panwas.
Kedua; diupayakan pengendalian secara terarah dan efektif sumber-sumber
konflik agar tidak manifes ke permukaan. Ketiga; langkah membatasi atau limitatif
adalah untuk membatasi skala ruang, waktu dan person yang terlibat ke arah sekecil-
kecilnya tersentuh oleh penjalaran dan provokasi konflik. Keempat; langkah
mengubah, mengalihkan atau transformatif dengan gerakan bersama atau kebanggaan
bersama yang mampu merevitalisasi energi konflik negatif ke arah energi positif
integratif.
Semua solusi diatas akan terimplementasi dengan baik di tangan aktor politik
yang memiliki karakteristik sebagai negarawan yang mengayomi dan disegani. Tidak
pada seorang pecundang yang mau jadi pejabat untuk memperkaya dirinya dan
kelompoknya saja. Wallahu’alam!

Anda mungkin juga menyukai