Pendahuluan
Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2010 yang
memposisikan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia-Pasifik dengan nilai 9,07
semestinya bukan sesuatu yang mengejutkan. Tahun ini peringkat Indonesia pertama
(sebelumnya 7,69). Dengan skor 9,07 itu, PERC menyimpulkan bahwa korupsi di
Indonesia semakin parah, terjadi di semua lembaga dan semua level.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti
harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun
tidak ada sama sekali. (Wikipedia.com)
Fakta dan data terbaru, saat ini, ada sebanyak 17 dari 33 gubernur menjadi
tersangka korupsi. Lebih dari seperempat (150), dari 497 bupati dan wali kota se-
Indonesia, jadi tersangka korupsi. Ini sebuah ‘’prestasi’’ luar biasa yang menghiasi
wajah negeri ini.
Faktor Penyebab
Biaya politik yang tinggi pada proses pemilihan langsung baik untuk eksekutif
maupun legislatif di daerah dan pusat menyebabkan proses penyelenggaraan aktivitas
pemerintahan rawan dengan aktivitas korupsi dan kompromistis, baik anatar eksekutif
dengan eksekutif, eksekutif dengan legislatif, eksekutif dengan swasta, maupun
legislatif dengan swasta. Potensi penyelewengan tersebut bukan hanya menyangkut
APBD, melainkan potensi penyelewangan dapat juga terjadi pada proses perizinan,
regulasi atau peraturan daerah yang dibuat dengan semena-mena.
Keempat, persoalan budgeting. Disadari atau tidak, fakta yang ada adalah
mayoritas Kabupaten/Kota tidak dapat mengandalkan Pendapatan Asli Daerahnya
(PAD) untuk melaksanakan pembangunan, bahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
(APBD) Kabupaten/Kota yang didalamnya ada kontribusi pemerintah pusat lewat
dana transfer daerah (Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus) sekitar 60-
70%nya habis untuk belanja rutin, sehingga maximum hanya 30-40% nya yang
digunakan untuk pembangunan di berbagai sektor. Inilah yang menyebabkan para
kepala daerah berupaya mencari sumber-sumber pendanaan dari pusat (APBN) lewat
pembiayaan dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Parahnya lagi terjadi proses
kompromistis antara pihak kementerian dengan kepala daerah, dan jangan lupa
kebijakan anggaran pusat ke daerah juga melibatkan legislatif dalam hal ini Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Sehingga jika dikaji lebih jauh sesungguhnya sangat
dimungkinkann terjadinya proses korupsi akibat komrpomi ketiga aktor tersebut.
Sebagai contoh sebut saja kasus Damkar (mobil pemadam kebakaran) yang menjerat
mantan Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Riau
Korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah terjadi karena adanya ruang dan
sistem bernegara yang memungkinkan hal tersebut. Konsep desentraliasai perlu
dilakukan evaluasi kritis, stop pemekaran wilayah yang hanya akan memperluas
jurang kemiskinan. Pemilihan kepala daerah yang memerlukan biaya tinggi
menimbulkan efek politik balas budi, sehingga siapapun kepal daerah yang terpilih
dari proses tersebut, pasti akan rentan dalm menggunakan kekuasaannya untuk
mendapatkan keuntungan materi.