Anda di halaman 1dari 10

Menyoal Fenomena Korupsi Kepala Daerah

Pendahuluan

Fenomena korupsi yang dilakukan oleh para Kepala Daerah


(Gubernur/Bupati/Walikota) sudah sering kali menghiasi wajah hukum di negeri ini.
Media massa baik cetak maupun elektronik seolah-olah berlomba-lomba menyajikan
fakta miris tentang prilaku korup para abdi Negara tersebut. Memang potensi korupsi
dikalangan birokrasi bukan hanya terfokus pada kepala daerah saja, pejabat BUMN,
mantan menteri, oknum pajak bahkan sampai oknum aparat penegak hukum
(kepolisisan dan kejaksaaan) juga ada yang terindikasikan melakukan tindak pidana
korupsi.

Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2010 yang
memposisikan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia-Pasifik dengan nilai 9,07
semestinya bukan sesuatu yang mengejutkan. Tahun ini peringkat Indonesia pertama
(sebelumnya 7,69). Dengan skor 9,07 itu, PERC menyimpulkan bahwa korupsi di
Indonesia semakin parah, terjadi di semua lembaga dan semua level.

Joseph Nye (1967) menyatakan bahwa korupsi merupakan peringai yang


menyimpang dari tugas yang seharusnya oleh pejabat untuk kepentingan pribadi, hal-
hal yang berkaitan dengan keuangan atau peningkatan status, atau pelanggaran hukum
terhadap jenis praktik tertentu karena kepentingan pribadi. Terminologi lain yang
diungkapkan oleha Transparancy Indonesia bahwa korupsi adalah perilaku pejabat
publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan
tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti
harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun
tidak ada sama sekali. (Wikipedia.com)

Fakta dan data terbaru, saat ini, ada sebanyak 17 dari 33 gubernur menjadi
tersangka korupsi. Lebih dari seperempat  (150), dari 497 bupati dan wali kota se-
Indonesia, jadi tersangka korupsi. Ini sebuah ‘’prestasi’’ luar biasa yang menghiasi
wajah negeri ini.

Faktor Penyebab

Pertama, Otonomi Daerah, Salah satu konsekuensi demokratisasi adalah


adanya pendelegasian tugas Pemerintah, kepada pemerintah daerah dalam upaya
menyelenggarakan aktivitas pelayanan publik. Persoalannya proses pendelegasian itu
menimbulkan akses yang bukan hanya positif pada aspek pelayanan, melainkan akses
negatif, berupa kewenangan daerah yang telalu besar dalam menentukan atau
mengelola potensi sumber daya yang ada untuk kepentingan daerah. Oleh karenanya
sering diplesetkan dengan istilah munculnya ”raja-raja kecil” di daerah. Para kepala
daerah menjadi sangat powerfull dalam menentukan dan mengelola distribusi alokasi
khususnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pajak dan sumber pendapatan
lainnya. Disinalah salah satu potensi terjadinya abuse of power salah satunya adalah
aktivitas korupsi.

Fakta mengenai otonomi daerah yang lain adalah sejak diberlakukannya


Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 yang digantikan dengan UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah hadir landasan hukum bagi lahirnya
daerah-daerah otonomi baru di Indonesia. Namun ternyata, dari hasil pemeriksaan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), otonomi daerah nyatanya dinilai gagal
memberikan kesejahteraan pada masyarakat, yang menjadi tujuan dari UU Otda itu
sendiri.

Dalam rapat paripurna penyerahan buku Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester


(IHPS) II tahun 2009 kepada DPR RI, Ketua BPK Hadi Purnomo, mengatakan bahwa
hasil pemeriksaan kinerja oleh BPK atas program pemekaran daerah, menunjukkan
bahwa program yang telah dicanangkan sejak tahun 1999 tersebut belum memberikan
kontribusi positif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. (Jawa Pos, 13/4/10)

Kedua, Pemilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADA). Korupsi menjadi


ironi semangat desentralisasi yang berkembang. Alih-alih mendekatkan rakyat kepada
kesejahteraan lewat pemerataan pembangunan, otonomi daerah justru menjadi lahan
subur “pemerataan” korupsi. Pilkada tampaknya kini kerap dimaknai dengan logika
dagang. Betapa tidak, potret politik yang cenderung bersifat transaksional ini sudah
terjadi sejak awal proses penyelenggaraan demokrasi lokal. Semenjak tahapan awal
pilkada, calon kepala daerah dituntut memiliki modal yang kuat karena mahalnya
biaya politik. Keadaan itu ditambah pula dengan perilaku pemilih yang terdorong
semakin pragmatis sehingga muaranya proses pemilihan kepala daerah yang
transaksional dan koruptif.

Siklus balas jasa tersebut menyebabkan maraknya kepala daerah produk


pilkada langsung terseret kasus korupsi. Menurut data ICW dari 54 kasus korupsi
yang melibatkan kepala daerah atau mantan kepala daerah sepanjang 2005-2010,
separuh lebih terkait penyelewengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) dan sepertiga lebih terkait tender proyek. Sisanya korupsi terkait
penyalahgunaan alokasi dana lainnya, seperti dana bantuan sosial atau kas daerah.

Biaya politik yang tinggi pada proses pemilihan langsung baik untuk eksekutif
maupun legislatif di daerah dan pusat menyebabkan proses penyelenggaraan aktivitas
pemerintahan rawan dengan aktivitas korupsi dan kompromistis, baik anatar eksekutif
dengan eksekutif, eksekutif dengan legislatif, eksekutif dengan swasta, maupun
legislatif dengan swasta. Potensi penyelewengan tersebut bukan hanya menyangkut
APBD, melainkan potensi penyelewangan dapat juga terjadi pada proses perizinan,
regulasi atau peraturan daerah yang dibuat dengan semena-mena.

Ketiga, Rekruitmen Partai Politik, mungkin menjadi pertanyaan apa


relevansinya partai politik dengan korupsi kepala daerah. Setidaknya benang
merahnya adalah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta
pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik, kemudian ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini
menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi  yang membatalkan beberapa pasal
menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Khusus
di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai
politik lokal.

Meski dimungkinkan calon perorangan, akan tetapi dominasi partai politik


lewat kinerja mesin partainya sedemikian besar dan masih sangat kuat. Sehingga
setiap calon harus “membeli” perahu parpol dengan harga yang tidak murah. Terlebih
lagi jika calon kepala daerahnya bukan berasal dari internal partai politik (kader
parpol) maka biaya politik semakin tidak terelakan.

Persoalannya hampir pada setiap pilkada, partai politik tidak memunculkan


calon yang merupakan kader partainya, calon lebih banyak berasal dari tokoh
masyarakat, pengusaha lokal atau para birokrat yang secara instan menjadi bagian dari
partai politik. Disinilah letak kelemahan rekruitmen atau kaderisasi partai politik.
Partai politik seharusnya melakukan proses rekruitmen dan pembinaan kader yang
kontinyu, sehingga tatanan nilai perjuangan yang berbasis intelektual dan moral dapat
terinternalisasi dengan baik. Nilai-nilai positif ini seolah-olah hanya menjadi jargon
politik saja, faktanya banyak kepala daerah yang juga kader parpol terlibat kasus
korupsi bahkan sudah menjadi terpidana.

Keempat, persoalan budgeting. Disadari atau tidak, fakta yang ada adalah
mayoritas Kabupaten/Kota tidak dapat mengandalkan Pendapatan Asli Daerahnya
(PAD) untuk melaksanakan pembangunan, bahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
(APBD) Kabupaten/Kota yang didalamnya ada kontribusi pemerintah pusat lewat
dana transfer daerah (Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus) sekitar 60-
70%nya habis untuk belanja rutin, sehingga maximum hanya 30-40% nya yang
digunakan untuk pembangunan di berbagai sektor. Inilah yang menyebabkan para
kepala daerah berupaya mencari sumber-sumber pendanaan dari pusat (APBN) lewat
pembiayaan dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Parahnya lagi terjadi proses
kompromistis antara pihak kementerian dengan kepala daerah, dan jangan lupa
kebijakan anggaran pusat ke daerah juga melibatkan legislatif dalam hal ini Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Sehingga jika dikaji lebih jauh sesungguhnya sangat
dimungkinkann terjadinya proses korupsi akibat komrpomi ketiga aktor tersebut.
Sebagai contoh sebut saja kasus Damkar (mobil pemadam kebakaran) yang menjerat
mantan Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Riau

Kelima, partisipasi dan pengawasan dari masyarakat yang lemah,


menjamurnya korupsi kepala daerah juga disebabkan karena lemahnya kontrol dan
partisipasi masyarakat dalam mengontrol jalannya pembangunan atau proses
pemerintahan di daerah. Memang menimbulkan kesadaran masyarakat tidaklah
mudah, terlebih lagi terdapat jurang yang sangat besar antara level pendidikan
masyarakat perkotaan dengan masyarakat perdesaaan. Pendidikan yang baik juga
akan menstrimulasi awarness publik terhadap pemerintahan yang bersih dan anti
KKN.

Tindak Pidana Korupsi

Menurut Undang_undang N0 31 tahun 1999 jo Undang-undag No 21 tahun


2001 menyebutkan bahwa pengertian korupsi setidaknya mencakup segala perbuatan

a. Melawan Hukum, memperkaya diri, orang/badan yang merugikan keuangan


/perekonomian Negara (pasal 2).
b. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan/perekonomian Negara (pasal 3).
c. Kelompok delik penyuapan (pasal 5, 6 dan 11)
d. Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9 dan 10)
e. Delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12)
f. Delik yang berkaitan dengan pemborongan (pasal 7)
g. Delik Gratifikasi (pasal 12B dan 12C)

Jika diurai satu persatu cakupan korupsinya sesungguhnya kajian menjadi


sangat luas dan dalam, dan alat analisisnya juga harus lengkap. Namun pada konteks
korupsi kelapa daerah ini ada beberapa titik tekan yang ingin penulis ungkapkan,
yaitu; proses korupsi yang merugikan keuangan Negara dan pada proses kebijakan
(penggelapan dalam jabatan).

Pengertian keuangan Negara dapat dilihat pasal 1 Undang-undang Nomor 17


Tahun 2003 tentang keuangan Negara, yakni semua hak dan kewajiban Negara dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu yang baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.

Sedangkan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 2


dan 3 undang-udang no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang
tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segal hak
dan kewajiban yang timbul karena :

a. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat


lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun daerah
b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan dan badan
hokum dan perusahaan yang menyertakan modal Negara atau perusahaan
yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan
Negara

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpilkan bahwa pengertian keuangan


Negara dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 dan Undang-Undang No 31
Tahun 1999 adalah sejalan. Keuangan Negara tidak semata-mata berbentuk uang,
tetapi termasuk segala hak dan kewajiban (dalam bentuk apapun) yang dapat diukur
dengan nilai uang. Pengertian keuangan Negara juga mempunyai arti luas yang
meliputi keuangan Negara yang berasal dari APBN,APBD,BUMN,BUMD, dan pada
hakikatnya seluruh harta kekayaan Negara sebagai suatu system keuangan Negara.
Jika menggunakan pendekatan proses, keuangan Negara dapat diartikan sebagai
segala sesuatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan erat dengan uang yang diterima
atau dibentuk berdasarkan hak istimewa Negara untuk kepentingan publik.
Selain persoalan objek korupsi, yaitu keuangan Negara, perlu juga dicermati
mengenai pengertian kerugian Negara. Hal ini penting agar dapat dipisahkan mana
saja aktivitas kepala daerah dalam kontek kebijakan yang positif dan mana aktivitas
kebijakan kepala Negara yangmasukd alam kategori korupsi.

Dalam perspektif Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999, kerugian keuangan Negara adalah disebabkan
karena perbuatan melawan hokum atau tindakan menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya
dalam hal tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Dengan memperhatikan undang-undang
tersebut, amak kerugian keuanagn Negara berbentuk

a. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan Negara/daerah dapat (berupa


uang,barang) yang seharusnya tidak dikelaurkan
b. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan Negara/daerah lebih besar dari yanh
seharusnya menurut criteria yang berlaku
c. Hilangnya sumber/kekayaan/daerah yang seharusnya diterima (termasuk
didalamnya penerimaan dengan uang palsu, barang fiktif)
d. Penerimaan sumber/kekayaan Negara/daerahlebih kecil/rendah dari yang
seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak
sesuai.
e. Timbulnya suatu kewajiban Negara/daerah yang seharusnya tidak ada

Upaya Penegakkan Hukum

Salah satu penyebab pemberantasan korupsi di Indonesia belum optimal


adalah penegakkan hukum terhadap pelaku korupsi yang lemah. Selain itu buruknya
kinerja instumen alat penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisisan. Hal tersebut
diperparah dengan adanya mafia-masfia kasus yang melibatkan oknum pengacara
sampai dengan hakim.
Upaya penegakkan hukum, apalagi terkait dengan kasus korupsi kepala daerah
tidak bisa dipungkiri erat kaitanya dengan arus politik yang ada. Maka seringkali
ditemukan fakta bahwa seorang kepala daerah/menteri/tidak dapat dipidanakan
selama mereka masih menjabat aktif sebagai kepala daerah/menteri. Karena pada saat
itu seorang kepala daerah/menteri yang bermasalah dengan hukum dapat
mengkonsolidasikan instrumen-instrumen penegakkan hukum agar yang bersangkutan
bebas dari jeratan hukum. Jangan lupakan isntrumen kekuatan politik lewat partai
politik, yang mampu memberikan tekanan dan intervensi lewat kekuasan terhadap
kasus-kasus hukum yang menjerat kepala daerah.

Terhadap fakta-fakta tersebutlah, Presiden membentuk lembaga adhoc yang


dinamakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK diharapkan mampu
menindak dan meminimalisir aktivitas korupsi khususnya yang dilakukan oleh kepala
daerah. Sejauh ini kinerja KPK dapat diharapkan, karena sudah ada beberapa kepala
daerah yang dijebloskan ke penjara, termasuk juga dari kalangan legislatif dan mantan
menteri. Namun upaya KPK ini bukan tanpa tantangan, ungkapan the corruptor fight
back menjadi kenyataan ketika ada upaya kriminalisasi pimpinan KPK. Melemahkan
institusi KPK menjadi agenda utama para koruptor. Oleh karena itu partisipasi dari
masyarakat dalam mengontrol kinerja para aparat penegak hukum baik kepolisian,
kejaksaan bahkan KPK menjadi sangat penting. Selanjutnya yang patut diperhatikan
juga adalah keutusan hukuman terhadap para koruptor ini harus membuat efek jera,
tidak bisa dibayangkan jika raturan triliun dana APBN yang dialokasikan ke daerah
berpotensi di korupsi, sangat mengerikan. Alih-alih kemajuan pembangunan dan
kesejahreraan masyarakat yang hendak dicapai, malah kemuduran di berbagai sektor.
Kesimpulan dan Saran

Korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah terjadi karena adanya ruang dan
sistem bernegara yang memungkinkan hal tersebut. Konsep desentraliasai perlu
dilakukan evaluasi kritis, stop pemekaran wilayah yang hanya akan memperluas
jurang kemiskinan. Pemilihan kepala daerah yang memerlukan biaya tinggi
menimbulkan efek politik balas budi, sehingga siapapun kepal daerah yang terpilih
dari proses tersebut, pasti akan rentan dalm menggunakan kekuasaannya untuk
mendapatkan keuntungan materi.

Dalam upaya penegakkan hukum, lembaga adhoc seperti KPK nampaknya


perlu juga terdesentralisasi ke daerah-daerah, namun harus disertai pengawasan dan
kerangka regulasi yang kuat. Hal tersebut dilakukan tanpa menafikan peran kejaksaan
dan kepolisian yang memang sejatinya sudah melekat tupoksi pemberantasan korupsi.

Minimalisir intervensi politik dalam proses penegakkan hukum terhadap


korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah menjadi hal yang patut dicermati.
Disinilah letak ketegasan dari Presiden untuk memberikan pengawasan terhadap
proses penegakkan hokum yang sudah berjalan.

Wacana evaluasi kritis terhadap proses Pilkada langsung nampaknya perlu


digulirkan, kedepan mungkin saja pemberlakukan Pilkada langsung hanya
dilaksanakan pada daerah-daerah dengan tingkat kualitas pendidikan masyarakatnya
yang tinggi, sehingga tidak rentan terhadap politik uang yang diakui bersama sebagai
salah satu factor penyebab tingginya biaya politik pada proses Pilkada.

Parisipasi aktif masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap kebijakan


kepala daerah menjadi hal yang juga penting. Sebab kontrol publik yang kuat akan
mempengaruhi kinerja kepala daerah. Selain itu secara sadar para kepala daerah juga
harus membudayakan tatanan nilai kejujuran dan keterbukaan dalam mengelola
daeranya, sehingga dapat terciptka kemajuan disegara sektor.

Anda mungkin juga menyukai