Anda di halaman 1dari 37

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK ELEKTRO PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA Maret 2012

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Seiring gelombang otonomi daerah, ada beberapa perubahan dalam hubungan antara eksekutif dengan legislatif. Pertama, eksekutif bersama dewan mempunyai otonomi penuh untuk membuat kebijakan-kebijakan lokal; dan kedua, anggota dewan memiliki otonomi penuh dan mempunyai peluang besar dalam proses legislasi. Kewenangan dewan dalam membuat kebijakan tidak terbatas hanya dalam memilih kepala daerah, tetapi juga berwenang membuat undangundang, pengawasan, investigasi, dan bersama-sama dengan eksekutif menyusun APBD yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Implikasi lain dari otonomi daerah adalah pelimpahan dana ini dibarengi dengan dilaksanakannya reformasi penganggaran dan reformasi sistem akuntansi keuangan daerah (Halim, 2003). Reformasi penganggaran yang terjadi adalah munculnya paradigma baru dalam penyusunan anggaran yang mengedepankan prinsip akuntabilitas publik, partisipasi masyarakat, dan transparansi anggaran. Disamping itu, anggaran harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented), prinsip efisien dan efektif (Value For Money), keadilan dan kesejahteraan dan sesuai dengan disiplin anggaran (Mardiasmo, 2003). Namun, euforia otonomi daerah ternyata banyak memunculkan dampak negatif. Menurut Khudori (2004) salah satu yang menonjol adalah munculnya "kejahatan institusional". Baik eksekutif maupun legislatif seringkali membuat peraturan yang tidak sesuai dengan logika kebijakan publik. Jika kejahatan institusional itu dipraktikkan secara kolektif antara eksekutif

dan legislatif. Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja eksekutif justru ikut bermain dan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan cara yang "legal". "Legal" karena dilegitimasi dengan keputusan. Korupsi di Indonesia benar-benar sangat sistemik, bahkan korupsi yang terjadi sudah berubah menjadi vampir state karena hampir semua infra dan supra struktur politik dan sistem ketatanegaraan sudah terkena penyakit korupsi. Agenda pemberantasan korupsi sampai detik ini hanyalah dijadikan komoditas politik bagi elit politik, lebih banyak pada penghancuran karakter (character assasination) bagi elit yang terindikasikan korupsi dibanding pada proses hukum yang fair dan adil. Law enforcement bagi koruptor juga menjadi angin lalu, padahal tindakan korupsi yang dilakukan koruptor sangatlah merugikan rakyat Masduki (2002) dalam Klitgaard, dkk (2002). Fenomena korupsi tersebut diatas menurut Baswir (1996) pada dasarnya berakar pada bertahannya jenis birokrasi patrimonial di negeri ini. Dalam birokrasi ini, dilakukannya korupsi oleh para birokrat memang sulit dihindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan dan birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya karena sangat kuatnya pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini, sehingga cenderung masih mentabukan sikap oposisi. Karakteristik negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu. Menurut Susanto (2001) korupsi pada level pemerintahan daerah adalah dari sisi penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan pribadi. Sementara tipe korupsi menurut de Asis (2000) adalah korupsi politik, misalnya perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang). Tipe korupsi yang terakhir yaitu clientelism (pola hubungan langganan). Bentuk tindak pidana korupsi pada level legislatif adalah korupsi APBD untuk pos keuangan DPRD yang terjadi akhir-akhir ini dan marak diberitakan di berbagai media. Pidana korupsi APBD kebanyakan melanggar PP 110/2000 walaupun sekarang telah diganti dengan PP 24/2004 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Kasus Kampar misalnya, sejumlah 45 anggota DPRD telah dijadikan tersangka karena telah menganggarkan pesangon. Di Kota Padang

Sumatera Barat 43 anggota DRPD telah dijatuhi vonis karena merugikan uang negara sebanyak 10,4 M. Demikian juga DPRD Bali telah melakukan penggelapan uang Tirtayatra (persembahyangan di India) sejumlah 112 juta. Deretan kasus penyimpangan APBD juga terjadi di jawa Timur seperti di DPRD Kota Surabaya 2,7 M, DPRD Sidoarjo 20,3 M, DPRD Tulungagung 1,6 M, DPRD Nganjuk 5,3 M, DPRD Banyuwangi 225 juta, DPRD Kota Blitar 1,5 M dan masih banyak lagi (Kompas, 8/9/04) Oleh karena itu, melalui makalah ini akan dijelaskan apa itu korupsi sebenarnya, apa faktor-faktor yang mengakibatkan beberapa pihak melakukan korupsi seperti penjelasan di atas, serta bagaimanakah solusi yang harus ditempuh guna menyelesaikan persoalan korupsi, khususnya di kalangan elit politik.

B.

Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari korupsi? 2. Bagaimanakah bentuk pola-pola korupsi di kalangan politik? 3. Apa sajakah faktor-faktor terjadinya korupsi di kalangan politik? 4. Bagaimana contoh konkrit perilaku korupsi yang terjadi di Indonesia? 5. Bagaimanakah solusinya?

C. Tujuan Penulisan Makalah 1. Mengetahui definisi dari korupsi. 2. Mengetahui pola-pola korupsi di kalangan politik. 3. Mengetahui faktor-faktor terjadinya korupsi di kalangan politik. 4. Mengetahui contoh konkrit perilaku korupsi yang terjadi di Indonesia. 5. Mengetahui solusi untuk mengatasinya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi Korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa Inggris yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah dan jebol. Menurut Bernardi (1994) istilah korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Sementara Hermien H.K. (1994) mendefinisikan korupsi sebagai kekuasaan tanpa aturan hukum. Oleh karena itu, selalu ada praduga pemakaian kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan selain tujuan yang tercantum dalam pelimpahan kekuasaan tersebut.

B.

Pola-Pola Korupsi Baswir (1993) menjelaskan ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oleh oknum-oknum pelaku tindak korupsi baik daari kalangan pemerintah maupun swasta. Ketujuh pola tersebut meliputi : (1) pola konvensional, (2) pola upeti, (2) pola komisi, (4) pola menjegal order, (5) pola perusahaan rekanan, (6) pola kuitansi fiktif dan (7) pola penyalahgunaan wewenang. Untuk menanggulangi terjadinya korupsi yang bermacam-macam jenisnya ini diperlukan strategi khusus dari semua bidang, meskipun untuk menghilangkan sama sekali praktik korupsi adalah sesuatu yang mustahil, tertapi setidaknya-tidaknya ada upaya untuk menekan terjadinya tindak korupsi. Strategi yang dibentuk hendaknya melibatkan seluruh lapisaan masyarakat dan pejabat struktur pemerintahan. Sementara menurut Fadjar (2002) pola terjadinya korupsi dapat dibedakan dalam tiga wilayah besar yaitu ; Pertama, bentuk penyalahgunaan kewenangan yang berdampak terjadinya korupsi adalah pertama; Mercenery abuse of power, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu kewenangan tertentu yang bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-menyogok, suap, mengurangi standar spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana (mark up). Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini adalah biasanya non politis dan dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu tinggi kedudukannya. Kedua, Discretinery abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa dengan mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya keputusan Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan daerah/keputusan

Walikota/Bupati yang biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama dengan kawan/kelompok (despotis) maupun dengan keluarganya (nepotis). Ketiga, Idiological abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan kelompok pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga ekskutif, dimana kelak mereka akan mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal ini yang sering disebut politik balas budi yang licik. Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, karena dengan praktek ini semua elemen yang mendukung telah mendapatkan kompensasi.

C. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan dan birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan perundangperundangan yang tegas. Faktor lainnya menurut Fadjar (2002) adalah tindak lanjut dari setiap penemuan pelanggaran yang masih lemah dan belum menunjukkan greget oleh pimpinan instansi. Terbukti dengan banyaknya penemuan yang ditutup secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas serta tekad dalam pemberantasan korupsi dan dalam penuntasan penyimpangan yang ada dari semua unsur tidak kelihatan. Disamping itu kurang memadainya sistem pertanggungjawaban organisasi pemerintah kepada masyarakat yang menyebabkan banyak proyek yang hanya sekedar pelengkap laporan kepada atasan. Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) aspek prilaku individu organisasi, (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada. Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) motif, baik motif ekonomi maupun motif politik, (2) peluang, dan (3) lemahnya pengawasan. Berdasarkan uraian sebelumnya, dalam penelitian ini penulis mengelompokkan empat aspek yang menyebabkan terjadinya korupsi yaitu: 1. Aspek Perilaku individu Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain : (a) sifat tamak manusia, (b) moral yang kurang kuat menghadapi godaan, (b) penghasilan kurang

mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, (d) kebutuhan hidup yang mendesak, (e) gaya hidup konsumtif, (f) tidak mau bekerja keras, dan (g) ajaran-ajaraan agama kurang diterapkan secara benar. Dalam teori kebutuhan Maslow, demikian dikatakan Sulistyantoro (2004) korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang bertahan hidup, namun saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya, serta pendidikan ti nggi. 2. Aspek Organisasi Kepemerintahan Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi adil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Bilamana organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi: (a) kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, dan (d) manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya. Berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan oleh Kompas 29/7/2004 di kota Surabaya, Medan, Jakarta dan Makasar, menyebutkan bahwa korupsi yang terjadi di tubuh organisasi kepemerintahan (eksekutif) maupun legislatif. Tidak kurang dari 40 persen responden menilai bahwa tindakan korupsi dilingkungan birokrasi kepemerintahan dan wakil rakyat di daerahnya semakin menjadi-jadi. hanya 20 persen responden saja yang berpendapat bahwa prilaku korupsi di pemkot dan DPRD masing-masing sudah berkurang. 3. Aspek Peraturan Perundang-Undangan Tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundangundangan, yang dapat mencakup: (a) adanya peraturan perundang-undangan yang monolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan konco-konco presiden, (b) kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sangsi yang terlalu ringan, (e) penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, dan (f) lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan. Beberapa ide strategis untuk menanggulangi kelemahan ini telah dibentuk oleh pemerintah diantaranya dengan mendorong

para pembuat undang-undang untuk melakukan evaluasi atas efektivitas suatu undang-undang secara terencana sejak undang-undang tersebut dibuat. Lembaga-lembaga ekskutif (Bupati/Walikota dan jajarannya) dalam melakukan praktek korupsinya tidak selalu berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu konspirasi dengan para pengusaha atau dengan kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal penentuan tender pembangunan yang terlebih dahulu pengusaha menanamkan saham kekuasaannya lewat proses pembiayaan pengusaha dalam terpilihnya bupati/Walikota tersebut. Kemudian mereka secara bersama-sama dengan DPRD, Bupati/Walikota membuat kebijakan yang koruptif yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat yaitu para kolega, keluarga maupun kelompoknya sendiri. Dengan kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha kepada pejabat publik yang berupa uang sogokan, hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif telah berhasil membawa pengusaha melancarkan aktifitas usahanya yang berlawanan dengan kehendak masyarakat, sehingga masyarakat hanya menikmati sisa-sisa ekonomi kaum borjuasi atau pemodal yang kapitalistik. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya korupsi APBD sangat mungkin jika aspek peraturan perundang-undangan sangat lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Hal senada juga dikemukakan oleh Basyaib, dkk (2002) yang menyatakan bahwa lemahnya sistem peraturan perundang-undangan memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi. 4. Aspek Pengawasan Pengawasan yang dilakukan instansi terkait (BPKP, Itwil, Irjen, Bawasda) kurang bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya (a) adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, (b) kurangnya profesionalisme pengawas, (c) kurang adanya koordinasi antar pengawas (d) kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. hal ini sering kali para pengawas tersebut terlibat dalam praktik korupsi. belum lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal yang dilakukan masyarakat dan media juga lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk pengawasan APBD yang sarat dengan korupsi. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Baswir (1996) yang mengemukakan bahwa negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu. Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) serta pengawasan bersifat eksternal

(pengawasan dari legislatif dan masyarakat). Dimana pengawasan ini kurang bisa efektif karena adanya beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurang profesionalismenya pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. Dan berkaitan dengan hal ini pengawas sendiri sering kali terlibat dalam praktek korupsi.

D. Korupsi APBD Secara umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Daerah (APBD) adalah pernyataan tentang rencana pendapatan dan belanja daerah dalam periode tertentu (1 tahun). Pada awalnya fungsi APBD adalah sebagai pedoman pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah untuk satu periode. Selanjutnya, sebelum anggaran dijalankan harus mendapat persetujuan dari DPRD sebagai wakil rakyat maka fungsi anggaran juga sebagai alat pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap kebijakan publik. Dengan melihat fungsi anggaran tersebut maka seharusnya anggaran merupakan power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat itu sendiri (Sopanah & Wahyudi, 2004). Semenjak DPRD mempunyai otoritas dalam penyusunan APBD terdapat perubahan kondisi yang menimbulkan banyak masalah. Pertama, sistem pengalihan anggaran yang tidak jelas dari pusat ke daerah. Kedua, karena keterbatasan waktu partisipasi rakyat sering diabaikan. Ketiga, esensi otonomi dalam penyusunan anggaran masih dipelintir oleh pemerintah pusat karena otonomi pengelolaan sumber-sumber pendapatan masih dikuasai oleh pusat sedangkan daerah hanya diperbesar porsi belanjanya. Keempat, ternyata DPRD dimanapun memiliki kesulitan untuk melakukan asessment prioritas kebutuhan rakyat yang harus didahulukan dalam APBD. Kelima, volume APBD yang disusun oleh daerah meningkat hingga 80% dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan masalah karena sedikit-banyak DPRD dan pemerintah daerah perlu berkerja lebih keras untuk menyusun APBD. Keenam, meskipun masih harus melalui pemerintah pusat namun pemerintah menurut UU No 25 tahun 1999 memiliki kewenangan untuk melakukan pinjaman daerah baik ke dalam negeri maupun ke luar negeri. Kondisi yang berubah diatas memicu beberapa kecenderungan. Pertama,, adanya jargon dari pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dalam rangka otonomi daerah. Dengan demikian bagi beberapa daerah yang miskin SDA akan memilih menggali PAD dengan meningkatan pajak. Bagi daerah kaya sekalipun meningkatkan

pajak adalah alternatif yang paling mudah karena tidak perlu melakukan banyak investasi dibandingkan jika mengekplorasi SDA. Oleh karena itu tidak heran bila kecenderungan meningkatkan pajak ini terjadi di banyak daerah bahkan daerah yang kaya sekalipun. Dengan mengingat bahwa tingkat korupsi birokrasi daerah di Indonesia masih tinggi, hal ini ditunjukkan dalam survey kecenderungan korupsi birokrasi yang diselenggarakan oleh PERC. Pada tahun 1999, angka kecenderungan korupsi birokrasi menunjukkan angka 8,0 dari skala 010. Dimana angka nol berarti mutlak bersih dan 10 berarti mutlak memiliki kecenderungan korupsi. Dan satu tahun kemudian, tahun 2000, angka ini tidak mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka meningkatkan PAD akan lebih baik bila diprioritaskan dengan cara mengurangi kebocoran pendapatan pemerintah daerah yang selama ini ada bukan dengan cara meningkatkan pajak karena akan menyengsarakan rakyat (Ardyanto, 2002) Kedua, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan menyusun anggaran untuk DPRD sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBD karena tidak ada pengawasan yang sistematis kecuali jika rakyat mempunyai kesadaran yang tinggi. Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran adalah power relation maka kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD untuk menyetujui pos anggaran tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat mungkin terjadi. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa korupsi begitu merajalela di Indonesia? Secara teoritis Tanzi (1998) menunjukkan terjadinya korupsi APBD dipengaruhi oleh faktor permintaan dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya (1) regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2) karakteristik tertentu dari sistem perpajakan, dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena (1) tradisi birokrasi yang cenderung korup, (2) rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3) kontrol atas institusi yang tidak memadai, dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum. Lebih Lengkap lihat catatan atas kelompok Anggaran (Helmi, Ahmad dkk, 2002).

E.

Solusi Penanggulangan Korupsi Seperti yang telah kita ketahui, korupsi telah menjadi kebiasaan bagi para kalangan elit politik. Bahkan kini korupsi sudah mulai mendesentralisasi sampai ke pejabat tingkat daerah atau

lokal. Korupsi biasanya dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relaif lambat, sehingga setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan imbalan-imbalan dengan cara memberikan uang pelicin (uang sogok). Praktek ini akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah dan masyarakat, sehingga timbul golongan pegawai yang memperkaya diri sendiri. Agar tercapai tujuan pembangunan nasional, maka mau tidak mau korupsi harus diberantas. Ada beberapa solusi penanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya preventif maupun yang represif. Upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut : a. Preventif. 1) Membangun etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara. 2) Memulai dari diri sendiri, dari sekarang dan dari yang kecil untuk menghindari korupsi. Karena ini adalah cara yang sederhana tapi sulit untuk dilakukan. 3) Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakkan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya. 4) Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara. 5) Pimpinan harus memberi teladan. Karena kewajiban seorang pemimpin adalah memberi teladan yang baik bagi yang di pimpin. Seorang pemimpin harus berupaya memikirkan solusi korupsi yang sudah menjadi tradisi klasik di tanah air. Contoh yang bersih ini otomatis akan memberi kekuatan bagi seorang pemimpin untuk menegakkan hukum bagi para pelaku korupsi secara tegas, dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan. 6) Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan sense of belongingness dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik. 7) Memberi pelajaran pendidikan anti korupsi sejak dini. Bagi kalangan pendidik, peran mereka sangat penting dalam menanamkan prinsip untuk tidak melakukan korupsi dari sekolah. Relevansi antara pendidikan karakter sejak dini untuk membentengi generasi masa depan bebas

korupsi sangat jelas. Sebagai individu yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan di masa depan, seorang anak tentunya harus ditanamkan nilai-nilai positif dalam dirinya. Sikap, prilaku, mental dan karakternya harus dibangun dan dikembangkan dari awal agar tidak terjadi penyimpangan. Dengan karakter yang kuat dan mentalitas yang sarat dengan nilai moral religius akan tumbuh tunas harapan generasi masa depan yang bersih dari praktek-praktek korupsi. b. Represif 1) Perlu penayangan wajah koruptor di televisi Dengan adanya penayangan ini maka secara langsung koruptor tersebut akan dilihat oleh masyarakat luas sehingga muncul rasa malu baik dari dirinya atau keluarganya. Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi koruptor-koruptor yang lain. 2) Pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat Kekayaan pejabat harus dipantau oleh lembaga khusus, setiap beberapa periode. Proses pencatatan terhadap kekayaan pejabat ini bisa berupa uang tunai, harta benda atau investasi berupa perhiasan, tanah dan lain lain. Ini bertujuan agar jika ada kepemilikan yang mencurigakan harus segera ditelusuri. 3) Penegakan hukum Para koruptor perlu diberi hukuman seberat beratnya yang membuat mereka jera. Sistem penegakan hukum di Indonesia kerap terhambat dengan sikap para penegak hkum itu sendiri yang tidak serius menegakkan hukum dan undang undang. Para pelaku hukum malah memanfaatkan hukum itu sendiri untuk mencari keuntungan pribadi, ujungnya juga pada tindakan korupsi . Alih alih muncullah istilah mafia hukum, yakni mereka yng diharapkan mampu menegakkan mampu menegakkan masalah hukum malah mencari hidup dari penegakan hukum tersebut.

BAB III KESIMPULAN

1. Korupsi dapat diartikan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. 2. Ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oleh oknum-oknum pelaku tindak korupsi baik daari kalangan pemerintah maupun swasta. Ketujuh pola tersebut meliputi : (1) pola konvensional, (2) pola upeti, (2) pola komisi, (4) pola menjegal order, (5) pola perusahaan rekanan, (6) pola kuitansi fiktif dan (7) pola penyalahgunaan wewenang. 3. Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan dan birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan perundang-perundangan yang tegas. 4. Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) aspek prilaku individu organisasi, (2) aspek organisasi, (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada, (4) motif, baik motif ekonomi maupun motif politik, (5) peluang, dan (6) lemahnya pengawasan. 5. Upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut : a. Preventif. 1) Membangun etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara. 2) Memulai dari diri sendiri, dari sekarang dan dari yang kecil untuk menghindari korupsi. Karena ini adalah cara yang sederhana tapi sulit untuk dilakukan. 3) Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakkan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya. 4) Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. 5) 6) Pimpinan harus memberi teladan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan sense of belongingness dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik. 7) Memberi pelajaran pendidikan anti korupsi sejak dini. b. Represif

1) 2)

Perlu penayangan wajah koruptor di televisi Pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat 3) Penegakan hukum

DAFTAR PUSTAKA

Ardyanto, Donny. 2002. Korupsi di sektor pelayanan Publik dalam Basyaib, H., dkk. (ed.) 2002, Mencuri Uang Rakyat : 16 kajian Korupsi di Indonesia, Buku 2, Yayasan aksara dan Patnership for Good Governance Reform, Jakarta Baswir Revrisond. 1993. Ekonomi, Manusia dan Etika, Kumpulan Esai-esai Terpilih: BPFE. Yogyakarta. ______________, 1996. Ekonomi Politik Kesenjangan, Konglomerasi, dan korupsi di Indonesia, dalam buku Pembangunan Ekonomi dan Pemberdayaan Rakyat: BPFE. Yogyakarta. De Asis, Maria Gonzales. Coalition-Building to Fight Corruption, Paper Prepared for the AntiCorruption Summit: World Bank Institute. November 2000.

Fadjar, Mukti. 2002. Korupsi dan Penegakan Hukum dalam pengantar Helmi, dkk. 2003. Memahami Anggaran Publik: Idea Press. Jogjakarta Hermien H.K.. 1994. Korupsi di Indonesia: dari delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi: Citra Aditya Bakti. Bandung Klitgaard, dkk (2002). Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor Indonesia & Patnership for Governance in Indonesia, Jakarta Republik Indonesia. 2001. Undang-Undang No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah: Citra Umbara. Bandung.

BAB I PENDAHULUAN I.a Latar Belakang Maraknya pelanggaran yang di lakukan oleh para pejabad Negara yang terkait dengan kasus Korupsi merupakan sebuah pencerminan di mana system pemerintahan dan pengawasan terhadap kinerja para aparatur Negara masih sangat minim. Patologi birokrasi yang masih merajalela di kalangan institusi pemerintahan juga merupakan sebuah masalah yang harus difikirkan secara serius oleh pemerintah, guna mewujudkan Negara kesatuan yang dapat melaksanakan fungsinya sebagai good governance. Dalam makalah ini, penulis memfokuskan kajian tentang salah satu patologi birokrasi yaitu tentang Korupsi, di mana saat ini kasus korupsi yang ada di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Korupsi merupakan sebuah masalah besar bagi Negara yang mana dampak dari Korupsi itu adalah kerugian yang di alami oleh Negara. I.b Tujuan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai beriut : 1. Mengetahui pengertian dari Korupsi 2. Memahami dampak yang di timbulkan akibat korupsi 3. Mengetahui Upaya pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi 4. Melengkapi tugas dari mata kuliah Etika Administrasi Negara I.c Rumusam masalah Adapun rumusan masalah yang kami kaji dalam makalah ini adalah tentang Korupsi. I.d Metode Penulisan

Adapun metode penulisan yang kami gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah dengan cara mencari referensi-referensi yang relefan dengan rumusan masalah. Dan mencari sumeber-sumber dari berbagai media seperti buku, internet, majalah, Koran dan lain sebagainya.

BAB II PEMBAHASAN

Korupsi sangat erat kaitannya dengan kedudukan dan kewenangan pejabat public, yang senantiasa di sorot oleh berbagai kalangan, adalah korupsi dengan beranekaragaman bentuknya dan masalah ruetnya prosedur layanan masyarakat atau bureaucratism. Korupsi itu sendiri di dalam kenyataan bisa mengabil bentuk yang bermacam-macam, dari penyelewengan-penyelewengan jabatan secara halus dan tidak terasa oleh masyarakat luas sehingga pola-pola korupsi yang kasar dan sungguh tidak manusiawi. Pengaruh atau akibat dari korupsi pun tidak sama untuk setiap jenjang administrasi pemerintahan meupun untuk setiap Negara. Akan tetapi, jika ditinjau dari sudut etis esensinya sama yaitu penyalahgunaan kepercayaan dari orang banyak, dalam hal ini masyarakat atau para warga Negara.

II. a Pengertian Korupsi Jika seseorang mendengar istilah korupsi, biasanya yang tergambar adalah adanya seorang pejabat tinggi yang dengan rakus menggelapkan uang pakjak, mengumpulkan komisi, atau menggunakan uang Negara lainnya untuk kepentingan pribadinya. Korupsi sebagian besar dikaitkan dengan penggelapan sejumlah uang atau hal-hal yang bersifat material. Sesungguhnya pengertian korupsi yang seperti ini sudah jauh lebih sempit dari pada pengertian awalnya. Korupsi berasal dari bahasa latin corrumpere, corruptio, dan corruptus. Arti harfiah dari kata ini adalah penyimpangan dari kesucian, tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidak jujuran, atau kecurangan. Dengan demikian, ia punya konotasi adanya tindakan-tindakan hina fitnah, atau hal-hal buruk lainnya.

Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya terkandung dalam khazanah perbincangan umum untuk menunjukkan penyelewengan-penyelewengan yang di lakukan oleh pejabat-pejabat Negara. Namun, karena pemerintah sendiri memandang bahwa masalah ini bisa merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara, maka dirumuskanlah peraturan khusus tentang korupsi sehingga kemudian pengertian korupsi tidak hanya menjadi istilah dalam perbincangan-perbincangan ringan tetapi juga menjadi pembicaraan masalahmasalah kenegeraan. Untuk pertama kalinya korupsi menjadi istilah yuridis dalam peraturan penguasa militer PRT/PM/06/1957 tentang pemeberantasan korupsi. Di dalam peraturan ini diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara. Selanjutnya dirumuskan pula tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 1. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan badan yang langsung merugikan keuangan dan perekonomian Negara 2. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara ataupun suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau darerah yang dengan mempergunakan kewenangan atau kekuasaan atau kesempatan yang diberikan kepadanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung memberikan keuntungan baginya. Korupsi dapat dianggap sebagai pengurangan dana dan materi yang seharusnya dimiliki oleh Negara untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat. Dan dapat dilihat bahwa istilah istilah korupsi mengandung makna dan pengertian yang begitu luas. Luasnya pengertian ini didukung oleh kenyataan bahwa korupsi selalu dilakukan oleh manusia yang mempunyai iktikad kurang baik, dan manusia sebagai subjek tidak pernah kehabisan cara untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak baik tersebut. Selama kegiatan administrative dilaksanakan oleh manusia dan pengambilan keputusan dilakukan oleh manusia, maka akan selalu terdapat peluang akan terjadinya korupsi. Istilah lain yang biasanya juga dihubungkan dengan korupsi adalah manipulasi. Dari asal katanya dalam bahasa inggris to manipulate berarti memaninkan, menggunakan,

menyelewengkan, atau mendalangi. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah manipulasi secara implicit mengandung dua artian.

1.

Mengatur atau mengerjakan dengan cara pandai sehingga dapat mencapai tujuan yang di kehendaki

2.

Berbuat curang dengan memalsu surat-surat, menggelapkan barang, dan sebagainya. Dengan demikian, istilah manipulasi memiliki konotasi yang lebih sempit dan langsung jika dibandingkan dengan istolah korupsi. Orang dapat melakukan korupsi pada satu periode yang lama, dengan cara-cara yang dilakukannya mungkin berbentuk serangkaian manipulasi. Jadi, kaitan antara korupsi dan manipulasi dapat dianalogikan sebagai kaitan antara istilah strategi dan taktik. Strategi digunakan untuk memenangkan peperangan sedangkan taktik digunakan untuk memenangkan pertempuran lingkup daristrategi adalah lebih luas dengan jangkauan waktu yang lebih lama. Sebagaian analisis mengatakan bahwa korupsi terjadi bila seorang pegawai negeri menyalahgunakan wewenang yang ada padanya untuk memperoleh penghasilan tambahan bagi dirinya bagi masyarakat. Korupsi ini mencakup juga pengertian suap pada orang-orang bukan pegawai negeri misalnya pemimpin politik, pemimpin serikat buruh, wartawan, pemilih dalam pemilu, karyawan industri atau perusahaan swasta. Seorang pejabat dikatakan melakukan tindak korupsi bila ia menerima hadiah dari seorang seseorang yang bertujuan memengaruhinya agar ia mengabil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah.[1] Nepotisme juga punya kaitan erat dengan korupsi meskipun istilah ini kurang mendapatkan perhatian yang memadai dari para penulis masalah korupsi. Asal kata nepotisme adalah nepos yang secara harfia berarti cucu. Nepotisme adalah usaha-usaha yang sengaja dibuat oleh seorang pejabat dengan memanfaatkan kedudukan dan jabatannya untuk menguntungkan posisi, pangkat, dan karier diri sendiri, farnili, atau kawan dekatnya dengan cara-cara yang tidak adil (unfair) pemilihan atau pengangkatan orang pada jabatan tertentu terkadang tidak melalui cara-cara yang rasional dan seleksi yang tebuka melainkan hanya tergantung rasa suka atau tidak suka. Sepintas lalu nepotisme tidak mebawa banyak kerugian bagi masyarakat, tetapi kita akan melihat bahwa jika dibiarkan berlarut-larut ia akan sangat berbahaya bagi kewibawaan administrasi pemerintahan. Nepotisme dapat terjadi sejak tingkat menejemen operasional sampai pada keputusan-keptusan penting tingkat nasional yang melibatkan urusan-urusan politis. Dengan mengkaji berbagai pengertian dan definisi di seputar istilah korupsi ini, maka dapat diuraikan unsur-unsur dominan berikut ini:

1.

Setiap koupsi bersumber pada kekuasaan yang di legislasikan. Pelaku-pelaku korupsi adalah orang yang memperoleh kekuasaan atau wewenang dari perusahaan atau Negara dan memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan lain. Jadi, yang menjadi persoalan adalah bahwa akibat-akibat buruk dari korupsi ditanggung oleh masyarakat, perusahaan, atau Negara, bukan oleh si pelaku korupsi.

2.

Korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari pejabat-pejabat yang mekalukannya. Ketika seseoang pejabat disogok untuk mengeluarkan izin pendirian pasar swalayan oleh seorang pengusaha, misalnya perbuatan mengeluarkan surat izin adalah fungsi dari jabatannya sekaligus kepentingan pribadinya.

3. Korupsi di lakukan dengan tujuan kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu korupsi akan senantiasa bertentangan dengan kepentingan organisasi, kepentingan Negara, atau kepentingan umum. 4. Orang-orang yang mempraktikan korupsi biasanya berusaha untuk merahasiakan perbuatannya. Ini disebabkan karena setiap tindakan korupsi pada hakikatnya mengandung unsure penipuan dan bertentangan dengan hukum. 5. Korupsi dilakukan secara sadar dan di sengaja oleh para pelakunya. Oleh karena itu, dapat di kemukakan secara singkat bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan dengan melibatkan unsurunsur tipu muslihat, ketidak jujuran dan penyembunyian suatu kenyataan. Korupsi merupakan tindakan yang merugikan Negara, secara langsung maupun tidak langsung. Korupsi yang terjadi pada sebuah perusahaan swasta, misalnya, mungkin tidak merugikan masyarakat atau negara secara langsung kecuali bagi karyawan perusahaan tersebut. Namun, ia tetap merugikan masyarakat luas atau negara secara tidak langsung berarti juga mengganggu perekonomian umum.

II.b Pembagian Korupsi Menurut Robert C. Brooks dan Syed Hussein Alatas[2] menyebutkan ada tujuh jenis korupsi yaitu sebagai berikut: 1. Korupsi transaktif disebabkan oleh adanya kesepakatan timbale balik antara pihak pemberi dan penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif mereka mengusahakan

keuntungan tersebut. Hal ini biasanya melibatkan dunia usaha dan pemerintah atau masyarakat dengan pejabat-pejabat pemerintah. 2. Pemerasan adalah korupsi dimana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap untuk mencegah kerugian yang menganca dirinya, kepentingannya, atau suatu yang berharga dari dirinya. 3. Korupsi definisif adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi korupsinya dalam mempertahankan diri. 4. Korupsi investif adalah pemberian barang atau jasa tapa memperoleh keuntungan tertentu, selain keuntungan yang masih angan-angan atau yang dibayangkan akan di peroleh di masa yang akan datang. 5. Nepotisme atau korupsi perkerabatan meliputi menunjukkan secara tidak sah terhadap saudarasaudara atau teman untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya. 6. Korupsi otogenik adalah bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu orang saja. Contohnya seorang anggota Dewan Perwakilan yang mendukung berlakunya sebuah undang-undang tampa emperdulikan akibat-akibatnya namun, justru memetik keuntungan financial dari pengetahuannya mengenai undang-undang yang akan diberlakukan tersebut. 7. Korupsi dukungan adalah korupsi yang di lakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang akan di laksanakan. Cara yang di gunakan mungkin sangat licik, misalnya saja membayar pengacau untuk mengusir para pemilih yang jujur dari tempat pemungutan suara, menghambat pejabat-pejabat yang jujur agar tidak dapat menduduki jabatanjabatan strategis dan sebagainya. II.c Pengaruh dan Akibat Korupsi II.c.1 Dampak Positive Korupsi Kendatipun secara definitive korupsi merupakan suatu pelanggaran administrasi dan asosiasi orang tentang istilah korupsi selalu bersifat buruk, namun masih banyak orang yang melihat segisegi positif dari korupsi. Beberapa penulis masih melihat adanya sisi positif dari korupsi bagi masyarakat luas. Para kritikus seperti Linclon Steffens (1908), Nathaniel H. Leff (1945), Robert K. Merton (1968) dan juga Samuel P. Huntington (1968), mereka adalah termasuk penulis yang

menjabarkan segi-segi kebaikan korupsi. Dengan mempelajari sebagian kasus korupsi dinegaranegara berkembang, mereka mengemukakan pengaruh lain dari korupsi yang terlupakan yang antara lain dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kasus korupsi memaksakan pilihan-pilihan yang lebih baik yaitu memperbaiki pelayanan umum, dan (dengan cara-cara yang mengandung nepotisme) menggantikan system pekerjaan umum suatu system kesejahteraan. Pendapat ini hendak menarik secara tegas antara spoil system dengan family system yang merupakan dua macam fenomena nepotisme yang berlainan dalam pemerintahan. System kekeluargaan sama sekali bukan system yang buruk jika digunakan sebagaimana mestinya. 2. Korupsi berfungsi sebagai sumber pembentukan modal birokrasi, korupsi memberikan dorongan langsung kepada birokrasi untuk mengerahkan tenaga guna mengambil tindakan-tindakan yang diingini oleh para pengusaha karena suatu pemerintah terlah berusaha keras untuk menempuh kebijakan-kebijakan ekonomi yang terbaik selalu terdapat kemungkinan bahwa kebijakankebijakan itu salah arah dan tidak mencapai sasaran yang di kehendaki. 3. Sebagai hasilnya, korupsi dapat mendorong pemerintah untuk menunjang kegiatan-kegiatan yang dapat elancarkan pembangunan ekonomi. Tampak bahwa korupsi dapat menjadi sarana by pass bagi kaum wiraswasta untuk menciptakan peluang-peluang baru dalam ekonomi masyarakat. 4. Korupsi mendorong perkembangan politik dalam memperkuat partai-partai politik, Tentunya yang diharapkan dari korupsi di sini adalah adanya penghindaran dari kekakuan hukum. Dari berbagai kemungkinan segi positif di atas, tampak bahwa korupsi dapat menjadi sarana untuk keluar dari kemelut akibat kemandegan system ekonomi dan administrasi. II.c.2 Dampak Negative Korupsi Dampak negative yang mungkin timbul akibat korupsi menurut Syed Husein Alatas, ia melihat klasifikasi mengenai efek negative akibat korupsi[3] yaitu sebagai berikut : 1. Dalam khazanah ilmu kedoketeran, isltilah metastatic digunakan untuk menunjuk proses penyebaran sel-sel kangker, sejumlah sel yang tumbuh abnormal melalui proses yang tidak sehat. Pejabat-pejabat yang korup dapat diibaratkan sebagai sel-sel kengker yang membesar ini. Dimata masyarakat mereka tampak sebagai tuan besar yang di takuti, tetapi sesungguhnya merekalah yang menggerogoti sumber daya dan dana masyarakat dan pada akhirnya menghancurkannya tanpa ampun.

2.

Perkelompokan terjadi karena suatu korupsi selalu membuka jalan bagi korupsi yang lain. Kegiatan penyelewengan dalam korupsi mengikuti pola kejahatan. Seindikat koruptor dapat terlibat dalam berbagai kegiatan yang tidak berhubungan dan satu-satunya factor umum adalah uang yang mereka hasilkan.

3. Pelepasan / pemeberian merupakan efek yang cukup mencolok di dalam korupsi selalu disertai pemberian barang, bangunan atau jasa yang timbul dari transaksi yang korup, efek ini bisa merembet. Dalam kasus tenggelamnya kapal Tampomas II pada bulan januari 1981, misalnya, korupsi yang di lakukan direktur perusahaan perantara penjualan kapal tersebut telah menimbulkan beberapa efek pelepasan. Efek tersebut antara lain, tenggelamnya kapal, korban jiwa, kerugian pada pihak pemerintah karena penipuan harga kapal, dan akibat yang menimpa keluarga dari orang-orang yang tenggelam. 4. Efek pengalihan potensi terjadi karena adanya korupsi, besarnya biaya untuk proyek-proyek pembangunan kemudian menghilangkan alternative yang sehat dan dan lebih baik. Begitu banyak contoh kasus dimana korupsi telah melemahkan potensi negara dan masyarakat. 5. Efek transmutasi adalah munculnya bentuk-bentuk penghargaan terhadap pendapat-pendapat yang korup yang menguntungkan para koruptor, filosofi yang dapat menerima orang-orang korup, dan pada umumnya berupa penerimaan terhadap korupsi dan segala sesuatu yang berasal darinya. 6. Efek pamer tampak dalam gaya hidup orang yang korup dan kekayaan yang mereka pamerkan. Ini memberi kesan bahwa korupsi adalah usaha yang produktif dan bernilai sehingga para istri koruptor menghiasi diri mereka dengan permata-permata mahal, belajna dengan mobil-mobil luks, dan tinggal di rumah atau vila yang mewah. Keuntungan dan nilai korupsi jadi tampak mencolok sehingga orang lain pun ingin juga menjadi pejabat yang korup. 7. Efek derivasi kumulatif. Efek ini merujuk pada tindakan orang yang korup dan betapa tindakan itu secara kumulatif menimbulkan akibat yang sebelumnya bukan merupakan sasaran dari suatu transaksi tertentu. 8. Efek psikosentris merujuk kepada pelaku maupun korban korupsi atau tatanan social yang korup. Efek ini merupakan sentralisasi dari motivasi, usaha dan responsnya-responsnya, sehubungan dengan tindakan-tindakannya yang korup. Rasa tidak aman akan muncul dimanamana sehingga pejabat-pejabat yang korup harus menyewa wartawan-wartawan yang mau memuatarbalikkan berita untuk menyelamatkan nama baiknya.

9. Efek kelimatik menyangkut situasi yang berjalan dalam masyarakat yang korup. Barang-barang menjadi mahal karena ongkos angkutan yang naik sebagai akibat banyaknya pungli (pungutan liar) di jalannan, para orang tua putus asa karena anaknya ditolak masuk universitas walaupun nilainya baik sedangkan anak-anak lain yang lebih bodoh dapat diterima melalui pintu belakang. Perasaan tidak berdaya menyelimuti orang yang kalah karena hakimnya telah disuap, masyarakat putus asa dan negara menjadi lembek. 10. Klasifikasi terakhir dari perbendaharaan sumber daya pemerintah oleh para pejabat yang korup akan mempengaruhi penjualan dan pembelian. Perusahaan-perusahaan potensial harus menyisihkan labanya untuk komplotan pemeras yang melibatkan pejabat-pejabat penting. Lebih banyak rekening dokter sebagai akibat pencemaran lingkungan dan makanan yang kotor. II.d Penyebab Korupsi Berkembang Dengan melihat berbagai kemungkinan akibat korupsi hingga yang paling buruk, tampaklah bahwa setiap saat korupsi bisa berubah menjadi ahlik buas dan rakus, tak kenal batas, sehingga siap meluluhlantakkan segala nilai moral-spiritual, dan tak lagi mengenal umpamanya nilai-nilai tanggung jawab pada kepentingan umum, kejujuran, kebenaran, keadilan, pemerataan, disiplin diri, rasa hemat, dosa, dan sebagainya. Kini masalahnya adalah mengapa korupsi bisa berkembang subur dalam lingkungan masyarakat tertentu sedangkan dalam masyarakat yang lain ia bisa diberantas atau setidak-tidaknya dikendalikan pada batas-batas yang tidak menggoyahkan negara. Kesulitan utama bagi suatu negara dalam meredakan korupsi ialah apabila korupsi itu sendiri telah menjadi bagian dari sejarah masyarakat yang bersangkutan. Di dalam system social yang masih terpengaruh sisa-sisa feodalisme, upeti menjadi sumber utama korupsi yang sukar di ubah. Penguasa-penguasa feodal pada zaman dahulu mempunyaki hak-hak istimewa untuk menarik pajak tertentu dari penduduk. Pada zaman sekarang mereka pun mencari kesempatankesepatan dan bentuk-bentuk baru, sesuai dengan keadaan dan posisinya. Mereka terus mencoba untuk melestarikan system upeti untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Setelah satu hal yang menjadi penyebab merajalelanya korupsi adalah tidak adanya komponen-komponen yang berfungsi sebagai pengawas atau pengontrol sehingga tidak ada proses check and balance. Komponen pengawas itu bisa berupa komponen-komponen missal seperti partai politik, lembaga legislative, dan pers, atau bisa juga yang bersifat structural maupun fungsional.

Efek birokratisasi juga merupakan salah satu sumber penyebab korupsi di kebanyakan negara berkembang teori Parkinson tentang birokrasi mengatakan bahwa di dalam setiap struktur formal terdapat kecendrungan bagi bertambahnya personil dalam satuan-satuan organisasi. Setiap kali mendapat tugas, biasanya para pejabat akan membentuk satuan-satuan baru yang merekrut orang-orang baru. Ini mengakibatkan membengkaknya birokrasi dari segi jumlah satuan maupun jumlah pegawainya. Karena lahan atau sumber penghasilan yang bisa digali oleh pegawai-pegawai tiu menjadi terbatas, mereka terdorong untuk melakukan tindakan-tindakan illegal atau dengan kata lain melakukan korupsi. Di lingkungan masyarakat Asia, di samping mekarnya kegiatan pemerintah yang di kelola oleh birokrasi terdapat pula cirri spesifik dalam birokrasi itu sendiri yang dapat menjadi penyebab meluasnya korupsi. Kebanyakan model birokrasi yang terdapat di negara-negara Asia adalah birokrasi patrimonial. Kelemahan yang melekat pada birokrasi seperti ini terutama adalah bawa ia tidak mengenal perbedaan antara lingkup pribadi dan lingkup resmi. Itulah sebabnya para pejabat atau pegawai negeri sering tidak tahu perbedaan antara kewajiban perorangan dan kewajiban masyarakat atau perbedaan antara sumber milik pribadi dan sumber milik pemerintah. Ini tampak dalam pranata-pranata hadian dan kewajiban menyantuni keluarga. Juga, kecendrungan bahwa pelaksanaan pemerintahan dianggap sebagai urusan pribadi sang penguasa, dan kekuasaan politik di anggap sebagai bagian dari milik pribadinya, yang dapat di eksploitasi dengan cara menari berbagai sumbangan dan pemungutan. Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya delikdelik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum menurut kepentingannya. Padahal semua teori dan semua orang tahu bahwa selama hukum masih dapat diombangambingkan kepentingan pribadi dan golongan, selama itu pula kejahatan akan berkembang. Apabila penindakan terhadap kasus-kasus korupsi masih pilih kasih, ia bukannya encegah terjadinya korupsi tetapi malah lebih mendorong menjadi-jadinya perbuatan korupsi. Dengan demikian untuk selanjutnya agaknya kita harus hati-hati dengan memandang factor-faktor penyebab korupsi dari kerangka berfikir yang lebih luas. Kemiskinan atau ketidakcukupan bukanlah satu-satunya penyebab korupsi. Contoh-contoh korupsi yang terungkap, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, telah membuktikan hal ini. Ketika Diky Iskandar Dinata dinyatakan menjadi otak dari korupsi sebesar US $ 419,6 juta atau hampir

Rp.800 milyar pada akhir tahun 1990, dia sudah menduduki jabatan wakil presiden direktur Bank Duta dan sudah sangat kaya dalam kedudukannya sebagai banker.

BAB III PENUTUP III.a Kesimpulan Demikianlah, korupsi sebagai fenomena social, ekonomis, dan politis ternyata memiliki penapakan yang beraneka macam. Korupsi bisa dilakukan oleh aparat adinistratif yang paling bawah hingga aparat paling tinggi. Elit penguasa puncak pun tidak pernah jauh dari kemungkinan melakukan tindakan korup. Setiap komponen masyarakat hendaknya senantiasa awas terhadap adanya kemungkinan korupsi di lingkungannya karena fenomena korupsi tidak pernah berhenti. Korupsi meningkat dalam besaran uang yang diselewengkan, membesar dalam jumlah orang yang terlibat, dan berkembang dalam kecanggihan cara-cara yang dipergunakan.

III.b Saran Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak sekali kekurangan dan kelemahan baik dalam segi penulisan, penyusunan maupun materi yang disajikan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna menjadi bahan introveksi penulis dalam membuat makalah-makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA Kumorotomo, Wahyudi, Etika Administrasi Negara, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2009 Ndaraha, Taliziuduhu, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Rineka Cipta. Jakarta 2002 Inu Kencana Syafiie, Ilmu Administrsai Publik, Rineka Cipta. Jakarta 1999

KORUPSI DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA


Oleh: Syafieh, M. Fil. I

A. Latar Belakang Masalah Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi

selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya. Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat. Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi. Berangkat dari latar belakang di atas lah makalah ini di buat. Makalah ini akan membahas tentang perkembangan korupsi di Indoesia.

B.

Pengertian Korupsi Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruputio.1[1] Atau corruptus2[2] yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Kata korupsi sudah masuk perbendaharaan bahasa Indonesia.
1[1] Muzakkir Samidan Prang, Peranan Hakim Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Medan: Pustaka Press Bangsa, 2011), hal. 11

Menurut kamus Bahasa Indonesia karangan WJS Purwadarminta (1976) pengertian korupsi adalah Korup :Busuk, buruk, suka menerima uang sogok, memakai kekusaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya. Korupsi perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Misalnya: Korupsi di kalangan pegawai negeri harus dibasmi hingga akar-akarnya. Arti harfiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Dengan demikian pengertian korupsi sangat luas. Sedang pengertian korupsi menurut menurut penjelasan UU. No. 3 tahun 1971 adalah : Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan secara melawan hukum, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara dan perekonomian Negara. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi.

2[2] Ibid

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. 3[3] Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:

1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2); 2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3). 3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP. C. Perkembangan Korupsi di Indonesia 1. Era sebelum Indonesia Merdeka Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh budaya-tradisi korupsi yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: AnusopatiTohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia. Kebiasaan mengambil upeti dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 1942) minus Zaman Inggris (1811 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 1837), Aceh (1873 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk
3[3] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 9

pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem Cuituur Stelsel (CS) yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.4[4] Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat manusiawi dan sangat beradab, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya Sistem Pemaksaan. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan Sistem Pembudayaan menjadi Tanam Paksa.

2. Era Pasca Kemerdekaan Bagaimana sejarah budaya korupsi khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya Budaya korupsi yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru. Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan. Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi Paran dan Operasi Budhi namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi
4[4]http://www.jualbeliforum.com/lounge/90284-perkembangan-korupsi indonesia.html#ixzz2QdadAUDm diakses pada tgl. 7 April 2013

keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden. Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).5[5] Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah Operasi Budhi. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan. Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain. Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

3. Era Orde Baru

5[5] Ibid

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya macan ompong karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah. Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.6[6]

4. Era Reformasi Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya korupsi lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara
6[6] Ibid

negara sudah terjangkit Virus Korupsi yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara konkesuen alias kelamaan. Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN. Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi. TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.7[7] Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi
7[7]Wikipedia,http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=949 1. Di akses pada tanggal.06 April 2013

aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi. Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi). Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".

D. Kesimpulan Korupsi merupakan penyakit negara yang sangat berdampak pada pembangunan, tatanan sosial dan juga politik. Korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan dengan melibatkan unsur-unsur tipu daya muslihat, ketidakjujuran dan penyembunyian suatu kenyataan. Korupsi merupakan suatu tindakan yang merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung dan jika ditinjau dari aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi yang paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pemberantasan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat sakit kepala kok minum obat flu . Sebaiknya pemerintah lebih serius dalam menanggulagi masalah korupsi ini, karena masalah ini sungguh merugikan masyarakat terutamanya dalam pembangunan dan ekonomi. Dan bagi para pejabat-

pejabat sebaiknya menahan diri untuk mengambil hak milik orang lain. Sebab, jika kita mengambil hak milik orang lain, kita tak ada bedanya dengan orang yang tak punya apa-apa.

DAFTAR PUSTAKA

Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2005 http://www.jualbeliforum.com/lounge/90284-perkembangan-korupsi indonesia.html#ixzz2QdadAUDm diakses pada tgl. 7 April 2013 Samidan Prang, Muzakkir, Peranan Hakim Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Medan: Pustaka Press Bangsa, 2011 Wikipedia,http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=9491. Di akses pada tanggal.06 April 2013

Mengintip Fenomena Korupsi di Indonesia lewat Celah Psikologi


OPINI | 12 July 2012 | 01:42 Dibaca: 1102 Komentar: 0 0

Fenomena korupsi sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Perbincangan mengenai hal ini bak gosip yang menyapa ibu-ibu lewat tayangan infotaiment para selebriti, sebab para pelakunya adalah orang besar yang memiliki kecenderungan dia tenar mulai tataran desa, daerah, provinsi, negara, hingga mancanegara. Dari tataran desa, bisa kita telisik dari kasus yang pernah terjadi pada beberapa kepala desa beserta jajarannya, tataran daerah dapat kita lihat kasus korupsi yang pernah terjadi pada beberapa Bupati dan DPR tingkat daerah, serta masih banyak lagi fenomena yang menjangkit para koruptor hingga kursi tertinggi negeri ini. Contoh kasus mereka yang terkenal di tataran negeri ini ialah seperti kasus Bang Century, mafia pajak oleh Gayus Tambunan yang sempat berlibur ke luar negeri, pengadaan mesin jahit dan impor sapi oleh Bactiar Hamzah (mantan Menteri Sosial), pengadaan mobil kebakaran oleh mantan Gubernur Kepulauan Riau, pengadaan alat kesehatan oleh mantan Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan), suap kepada hakim Pengadilan Industrial Imas Dianasari, pengucuran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia dan skandal Bank Indonesia oleh Aulia Pohan besan SBY, dan masih banyak lagi jika diuraian satu persatu. Ngeri sekali!

Kecenderungan pengakuan dari Koruptor Lucunya, ciri khas dari pelaku korupsi yang ada di Indonesia adalah mereka seringkali mengaku enggan melakukan korupsi. Apabila mereka mereka dituding dengan beberapa fakta yang sudah jelas melalui mekanisme peradilan, dengan percaya diri yang berusaha ditampilkan mereka kerap tegas membantah. Penulis uraikan tiga contoh saja dari kasus ini yaitu kasus Nazarudin selaku bendahara salah satu partai, Aulia Pohan selaku Mantan Deputi Gubernur BI (Bank Indonesia), dan kasus korupsi BLBI yang melibatkan pejabat Kejaksaan Agung yaitu Urip Tri Gunawan. Di media dan pengadilan, para pelaku koruptor tersebut membantah bahwa mereka melakukan tindakan korupsi. Mereka cenderung berkata bahwa tindakannya adalah untuk menyelamatkan kepentingan bersama, bahkan negara. Alih-alih demikian, karena pepatah sebusuk-busuknya bangkai pasti tercium juga ahirnya mereka tertangkap dan dijerat sebagai terdakwa dalam kasus korupsi. Defense Mechanism Ditinjau dari diskursus psikoanalisa kecenderungan para koruptor yang membantah dirinya melakukan korupsi disebut dengan istilah Defense Mechanism (Mekanisme Pertahanan Diri). Sigmund Freud (dalam Alwisol, Psikologi Kepribadian; 2008) menamakan gejala itu denial, yaitu upaya yang dilakukan individu untuk menyangkal perbuatannya ketika individu tersebut menyadari bahwa tindakannya bisa membuat dirinya berada dalam situasi bahaya. Oleh karena itu mereka sering kali melebih-lebihkan apa yang justru dituduhkan kepadanya bahwa dia melakukan tindak pidana korupsi. Bisa berupa alasan bahwa itu semata-mata demi kebaikan bangsa dan negara dengan penyangkalan. Dengan kata lain apabila meminjam istilah Freud lagi, mereka melakukan rasionalisasi supaya tindakan korupsinya tampak benar dimata publik dan media. Apabila dianalisa lebih jauh maka tindakan ini oleh Leon Festinger yang selanjutnya teori ini juga diusung oleh Heider, dkk. (dalam Huitt. Motivation to Learn: An Overview. Educational Psychology Interactive. 2001) disebut dengan cognitive dissonance. Menurutnya individu memiliki kecenderungan untuk menyamakan keyakinan yang berupa sikap dengan tindakan. Tujuannya supaya individu mampu hidup harmonis (konsonan). Perihal cognitive dissonance terjadi pada diri koruptor. Pasalnya mereka sebenarnya mengetahui bahwa perilaku korupsi bisa merugikan bangsa dan negara. Namun, mereka juga memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki rumah dan mobil mewah dan kekayaan yang berlimpah. Pada ahirnya mereka melakukan tindakan korupsi. Karena bermula dari keyakinan berupa penilaian (sikap) bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan yang tidak dibenarkan, maka disituah timbul perasaan dissonance (tidak nyaman). Apabila dissonance ini diakumulasikan terus-menerus maka hal yang terjadi adalah seperti yang dikatakan banyak orang bahwa benar mereka memiliki kasur yang empuk dan rumah yang megah, akan tetapi hidupnya tidak tenteram. Disetiap tidurnya dihantui bayang-bayang tentang kelakuannya bahwa itu merupakan hal yang tidak dibenarkan. Disitulah alam bawah sadar yang sebenarnya sudah mengerti direpress sekuat-kuatnya sehingga apabila tidak mampu ditahan, maka hal yang muncul adalah penyakit, seperti penyakit jantung, stroke, ginjal, dan lain-lain (dalam B. Agus Suryanto, Six Basic Energy; 2008)

Memakai Potensi Kehewanan Mari kita telanjangi bersama bahwa korupsi juga mampu ditinjau dari diskursus behaviorisme. Teori Ivan P. Pavlov dan B. F. Skinner (dalam Alwisol, Psikologi Kepribadian; 2008) tepat untuk menjustifikasi fenomena korupsi ini, dimana penelitiannya dilakukan dengan menggunakan anjing dan tikus. Saya katakan tepat karena menurut Aristoteles manusia selain memiliki unsur anima intelektiva sisi potensi tertinggi yakni kemanusiaan, manusia juga memiliki unsur anima sensitiva yang berupa potensi-potensi kehewanan. Oleh karena itu potensi kehewanan dalam menjelaskan fenomena korupsi yang menjangkit koruptor lebih terlihat elegant bila diperbincangkan dengan aliran ini. Cukuplah ayat al-quran surat at-Tiin lebih dari mampu untuk me-reinforcement pendapat ini, karena berupa kalamullah, yaitu :

Artinya : sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orangorang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putusputusnya Dikatakan dikembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya karena disitulah potensi manusia menyamai dengan potensi kehewanan apabila menilik pendapat Aristoteles tentang anima. Pada akhirnya ditempatkanlah ia esok di neraka oleh Allah Swt. Seperti para koruptor yang menggunakan fungsi anima sensitivanya (kehewanan), bukan intelektiva. Disitu potensi kemanusiaan dimatikan, sehingga kecurangan yang terjadi dan cenderung egoistik sebab potensi kehewanan mampu menjadikan diri seseorang menjadi serakah dan tampak buas. Andaikata potensi kemanusiaannya yang dikewajantahkan, maka disitulah pemikiran jangka panjang (idea of future) untuk menjadi orang yang beriman dan beramal saleh dengan tidak melakukan korupsi mampu diaplikasikan. Semata-mata itu dilakukan karena Allah Swt. saja, bukan yang lain. Solusi yang Ditawarkan Usaha untuk menghilangkan gangguan psikologis yang dialami oleh koruptor, tentu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Perlu adanya shock therapy yang mujarab untuk meminimalisir ini. Apalagi untuk fenomena korupsi yang ada di Indonesia , sangat banyak sekali kasusnya. Shock therapy tersebut bisa berupa hukuman yang seberat-beratnya bagi para pelaku. Selayaknya bagi koruptor yang bertobat dan menginginkan hidup harmonis (konsonan) dan orang yang belum menjadi koruptor comfort (nyaman) dengan lingkungan yang korup. Latarbelakangnya adalah pada mulanya bukan semata-mata motif probadi untuk melakukan korupsi, melainkan komplotan koruptor yang membentuk jaringan mafia dengan iming-ming

korupsi dan stereotip sok suci bagi individu yang menolaknya. Nyantai saja dan sudah menjadi kewajaran sehingga diharapkan setiap individu mampu untuk comfort dan mempertahankan nilai yang diyakininya bahwa korupsi adalah tindakan yang tidak dibenarkan, meski dengan stereotip sok suci dan lain sebagainya. Apabila sanggup, diharapkan supaya lebih mampu untuk mengajak mereka dengan pendapat yang kuat bahwa tidaklah mesti melakukan korupsi untuk menjadi kaya. Meskipun bukanlah perkerjaan yang ringan, bukan berarti korupsi yang ada di Indonesia tidak dapat diminimalisir ataupun diberantas. Komisi Pemberantasan Korupsi dengan berbagai kewenangannya, perlu mendapat dukungan dari kita semua, sehingga terciptalah law enforcement di Indonesia. Ketakutan untuk mendukung KPK tidak selayaknya ada, sebab ketakutan tersebut apabila dikatakan secara psikologis lebih tepatnya berupa kecemasan yang khawatir diserang oleh pelaku koruptor yang sistemik kepada kita maupun pihak yang berhubungan dekat dengan kita, seperti keluarga. Kasus ini bisa dilihat pada alm. Munir yang beliau adalah aktivis pembela HAM dan pemberantas korupsi. Didunia dia mati diracun. Dia mungkin berfikir bahwa kemenangan hakiki ialah apa yang dia dapatkan di akherat nanti, bukan di dunia yang penuh akan kepalsuan (Q.S. al-Hadiid: 20). Sejatinya, kita menyadari bahwa negara kita merupakan negara hukum dan banyak sekali lembaga hukum yang dapat melindungi kita dari berbagai kecemasan terkait dengan laporan korupsi ini.

Sumber gambar: kabarnet.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai