Anda di halaman 1dari 12

Makalah

MENJERAT KORUPTOR PASCA PUTUSAN MAHKAMAH


KONSTITUSI

Disusun oleh
Dian Silvia (200510277)
Kelas : 3 F
Dosen Pengampu
Yusrizal Hasbi

JURUSAN HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITA MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2021/2022
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian
B. Bagaimana
C. Menjerat
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam hiruk-pikuk masyarakat dunia termasuk di Indonesia, dewasa ini
terjadi tindak criminal yang sudah membudaya dan sangat kronik. Suatu tindakan
dapat digolongkan korupsi, kalau tindakan itu merupakan penyalahgunaan sumber
daya public, yang tujuannya untuk memenuhi kepentingan pribadi atau
kelompok . Hasil survey (2004) Political and Economic Risk Consultancy Ltd.
(PERC) menyatakan bahwa korupsi di Indonesia menduduki skor 9,25 di atas
India (8,90), Vietnam (8,67), dan Thailand (7,33). Artinya, Indonesia masih
menjadi Negara terkorup di Asia. Apabila banyak upaya baik tingkat legislative,
yudikatif, maupun eksekutif untuk memberantas korupsi, maka timbul pertanyaan
apakah korupsi telah membudaya? Mampukah Sistem Pendidikan Nasional
dijadikan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia?
Bangkit atau Bangkrut! Jargon tersebut menjadi salah satu yang
didengungkan dalam Training of Trainer Pendidikan Anti-Korupsi untuk
Perguruan Tinggi yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen Dikti Kemdikbud) bekerja sama
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat ini, korupsi telah mewabah
hampir pada seluruh sendi kehidupan bangsa Indonesia. Kejahatan luar biasa ini
memerlukan upaya yang luar biasa untuk memberantasnya. Salah satu upaya
untuk memberantasnya adalah memberikan pembekalan kepada mahasiswa
sebagai pewaris masa depan. Inilah mengapa Ditjen Dikti dan KPK membentuk
tim penyusun dari perwakilan perguruan tinggi negeri maupun swasta untuk
membuat buku ajar yang berisi materi dasar mata kuliah Pendidikan Anti-Korupsi
bagi mahasiswa. Merujuk pada permasalahan tersebut dan fenomena yang
berkembang selama ini, maka kajian ini dipikir penting untuk mendeskripsikan
dan dijadikan salah satu strategi pemberantasan korupsi di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Devinisi Koruptor dan Korupsi?
2. Apa Dampak Korupsi bagi Rakyat Miskin?
3. Bagaimana Menjerat Koruptor Pasca Putusan Mahkamah konstitusi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Koruptor dan Korupsi.
2. Untuk Mengetahui Dampak Korupsi bagi Rakyat Miskin.
3. Untuk Mengetahui Menjerat Koruptor Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Koruptor dan Korupsi
Korupsi atau rasuah atau mencuri (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja
corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik,
menyogok, mencuri, maling) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun
pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak
wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan
kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Dari sudut pandang
hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
a. perbuatan melawan hukum,
b. penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
c. memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
d. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, tetapi bukan semuanya, adalah


a. memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
b. penggelapan dalam jabatan,
c. pemerasan dalam jabatan,
d. ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
e. menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan
rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk
sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan
kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi,
korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari
masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara
korupsi dan kejahatan.

Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam


dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik
(good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di
pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan
di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan
ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-
seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis
kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan
sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi.
Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai
demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi


dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan
ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam
negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena
penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos
(niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul
berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat
aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi
ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan
yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya
mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.

Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan


mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan
dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek
masyarakat untuk menyembunyikan praktik korupsi, yang akhirnya menghasilkan
lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat
keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga
mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan
menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti


penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor
swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan
penipuan. Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan
(penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan
mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk
berniaga tanpa terlibat penyogokan. Negara-negara yang paling sering
memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-negara yang
paling sering menerima sogokan.
B. Dampak Korupsi bagi Rakyat Miskin
Korupsi, tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan
masyarakat miskin di desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan
Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional kurang jumlahnya. Untuk
mencukupkan anggaran pembangunan, pemerintah pusat menaikkan pendapatan
negara, salah satunya contoh dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah sama
sekali tidak mempertimbangkan akibat dari adanya kenaikan BBM tersebut ;
harga-harga kebutuhan pokok seperti beras semakin tinggi ; biaya pendidikan
semakin mahal, dan pengangguran bertambah.Sesungguhnya korupsi memiliki
beberapa dampak yang sangat membahayakan kondisi perekonomian sebuah
bangsa. Dampak-dampak tersebut antara lain :
Pertama, menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Menurut
Chetwynd et al (2003), korupsi akan menghambat pertumbuhan investasi. Baik
investasi domestik maupun asing. Mereka mencontohkan fakta business failure di
Bulgaria yang mencapai angka 25 persen.
Maksudnya, 1 dari 4 perusahaan di negara tersebut mengalami kegagalan dalam
melakukan ekspansi bisnis dan investasi setiap tahunnya akibat korupsi penguasa.
Selanjutnya, terungkap pula dalam catatan Bank Dunia bahwa tidak kurang dari 5
persen GDP dunia setiap tahunnya hilang akibat korupsi. Sedangkan Uni Afrika
menyatakan bahwa benua tersebut kehilangan 25 persen GDP-nya setiap tahun
juga akibat korupsi.Yang juga tidak kalah menarik adalah riset yang dilakukan
oleh Mauro (2002).
Setelah melakukan studi terhadap 106 negara, ia menyimpulkan bahwa
kenaikan 2 poin pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK, skala 0-10) akan mendorong
peningkatan investasi lebih dari 4 persen. Sedangkan Podobnik et al (2008)
menyimpulkan bahwa pada setiap kenaikan 1 poin IPK, GDP per kapita akan
mengalami pertumbuhan sebesar 1,7 persen setelah melakukan kajian empirik
terhadap perekonomian dunia tahun 1999-2004. Tidak hanya itu. Gupta et al
(1998) pun menemukan fakta bahwa penurunan skor IPK sebesar 0,78 akan
mengurangi pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin sebesar 7,8
persen. Ini menunjukkan bahwa korupsi memiliki dampak yang sangat signifikan
dalam menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Kedua, korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam
menjalankan program pembangunan. Sehingga, kualitas pelayanan pemerintah
terhadap masyarakat mengalami penurunan. Layanan publik cenderung menjadi
ajang 'pungli' terhadap rakyat. Akibatnya, rakyat merasakan bahwa segala urusan
yang terkait dengan pemerintahan pasti berbiaya mahal. Sebaliknya, pada
institusi pemerintahan yang memiliki angka korupsi rendah, maka layanan publik
cenderung lebih baik dan lebih murah. Terkait dengan hal tersebut, Gupta,
Davoodi, dan Tiongson (2000) menyimpulkan bahwa tingginya angka korupsi
ternyata akan memperburuk layanan kesehatan dan pendidikan. Konsekuensinya,
angka putus sekolah dan kematian bayi mengalami peningkatan.
Ketiga, sebagai akibat dampak pertama dan kedua, maka korupsi akan
menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Yang
terjadi justru sebaliknya, korupsi akan meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan
pendapatan. Terkait dengan hal ini, riset Gupta et al (1998) menunjukkan bahwa
peningkatan IPK sebesar 2,52 poin akan meningkatkan koefisien Gini sebesar 5,4
poin. Artinya, kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin akan
semakin melebar. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya aliran dana dari
masyarakat umum kepada para elit, atau dari kelompok miskin kepada kelompok
kaya akibat korupsi.
Keempat, korupsi juga berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak.
Baik individual maupun masyarakat secara keseluruhan. Selain meningkatkan
ketamakan dan kerakusan terhadap penguasaan aset dan kekayaan korupsi juga
akan menyebabkan hilangnya sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama. Rasa
saling percaya yang merupakan salah satu modal sosial yang utama akan hilang.
Akibatnya, muncul fenomena distrust society, yaitu masyarakat yang kehilangan
rasa percaya, baik antar sesama individu, maupun terhadap institusi negara.
Perasaan aman akan berganti dengan perasaan tidak aman (insecurity feeling).
Inilah yang dalam bahasa Al-Quran dikatakan sebagai libaasul khauf (pakaian
ketakutan). Terkait dengan hal tersebut, Uslaner (2002) menemukan fakta bahwa
negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat ketidakpercayaan dan
kriminalitas yang tinggi pula. Ada korelasi yang kuat di antara ketiganya.

C. Menjerat Koruptor Pasca Mahkamah Konstitusi


Kehadiran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang
mengabulkan uji materiil untuk menghapus kata “dapat” sebelum frasa
“merugikan keuangan dan perekonomian negara” yang termaktub dalam Pasal 2
ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang mana dalam putusanya tersebut merubah unsur delik formil menjadi delik
materiil artinya kerugian keuangan dan perekonomian negara harus dibuktikan
terlebih dahulu untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi, putusan tersebut
dapat membawa dilematika atau problematika hukum terkait bagaimana implikasi
yuridis pasca putusan MK No 25/PUU-XIV/2016 terhadap tindak pidana korupsi,
dan bagaimana merumuskan konsep pemberantasan tindak pidana korupsi yang
tepat dimasa mendatang.
Penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan perundang-
undangan, konseptual dan perbandingan dengan UU Tipikor Negara Korea dan
Malasyia yang sama-sama terdapat unsur kerugian negara tetapi yang
membedakan harus dibuktikan terlebih dahulu atau tidak kerugian tersebut,
perbandingan juga dilakukan dengan Thailand yang tidak menekankan pada
pembuktian kerugian negara, dengan bahan hukum primer dari inventarisir dan
analisis peraturan perundang-undangan dan putusan MK terkait, bahan hukum
sekunder studi kepustakaan, dan bahan hukum tersier dari kamus hukum.
Implikasi yuridis putusan MK tersebut terhadap proses penyelidikan, penuntutan
dan pemeriksaan, bahkan pembuktian menjadi terhambat dan terjadi inefektifitas
proses sebab menunggu hasil laporan pemeriksaan terkait dugaan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh BPK atau lembaga terkait, dan dikhawatirkan dapat
terjadi penghilangan barang bukti. Pengahapusan frasa kata “dapat” dalam
putusan MK No 25/PUU-XIV/2016 bukan hanya merubah unsur delik formil
menjadi materiil, akan tetapi tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan
bagi pelaku dan korban tindak pidana korupsi.
Kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) harus dikembalikan sehingga memiliki
kekuatan mengikat, dan/atau menambahkan kata “niat” sebelum frasa “secara
melawan hukum”, sebab Pasal 2 ayat (1) bukan sebatas potensial loss, atau berapa
kerugian negara melainkan apabila sudah terdapat unsur “niat” maka perbuatan
tersebut sudah dapat dikategorikan tindak pidana korupsi. Perbandingan dengan
UU Tipikor Korea dan Malasyia, serta kode penal Thailand menunjukan bahwa
UU tersebut tidak mensyaratkan harus dilakukan pembuktian terlebih dahulu
terhadap kerugian keuangan dan perekonomian negara. Putusan MK No 25/PUU-
XIV/2016 berseberangan dengan Konsep UNCAC yang telah diratifikasi dengan
UU No 7 Tahun 2006 sebab UNCAC tidak mengatur rumusan tindak pidana
korupsi yang menitikberatkan pada unsur “merugikan keuangan atau
perekonomian negara”, sehingga bukan hal yang bersifat mutlak atau tidak perlu
melainkan cukup memenuhi unsur perbuatan tindak pidana korupsi, sehingga
saran Bagi Pemerintah segera mengeluarkan Perpu atau merubah ketentuan dalam
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999.
Perubahan ini bermula pada saat sejumlah Pensiunan PNS dan PNS yang
masih aktif mengajukan permohonan untuk menguji keabsahan kata “dapat” dan
frasa “atau orang lain atau korporasi” yang ada dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terhadap Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat
(1), 28D Ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I Ayat (4) dan Ayat (5) UUD NRI
Tahun 1945 serta memohonkan agar kata dan frasa tersebut dapat dicabut oleh
Mahkamah Konstitusi. Kata “dapat” yang diajukan oleh Pemohon untuk dicabut
ini pada 10 tahun silam juga pernah dimohonkan untuk dihapus, namun dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2006, pada saat itu
Mahkamah Konstitusi menolak mengabulkan penghapusan kata “dapat” dengan
alasan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang masuk dalam
kategori formil, sehingga unsur merugikan keuangan negara bukanlah unsur
esensial. Mahkamah Konstitusi menilai, ada atau tidak adanya tindak pidana
korupsi tidak tergantung pada ada atau tidaknya kerugian negara, tetapi cukup
dibuktikan bahwa telah ada perbuatan melawan hukum.
Namun pada permohonan kali ini, Pemohon memiliki pendapat lain. menurut
Pemohon pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan MK No. 003/PUU-
III/2006 sudah tidak sesuai karena Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
telah mengubah cara pandang hukum pemberantasan tipikor yang selama ini
dilakukan dengan pendekatan penindakan yang menggunakan alat hukum pidana,
menjadi pendekatan administratif dan cara penyelesaian berdasarkan hukum
administrasi. Pemohon juga menyampaikan bahwa kesalahan administratif dari
yang bersifat ringan sampai yang paling berat harus dilakukan melalui
penyelesaian secara administratif.
DPR persidangan menyampaikan bahwa Kata “dapat” telah sesuai dengan
prinsip personal responsibility terhadap tindakan ASN yang tujuannya tidak dapat
dibenarkan oleh undang-undang. Sedangkan terkait frasa “atau orang lain atau
suatu korporasi”, menurut DPR bahwa frasa tersebut tercantum dalam Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi dalam rangka menjerat berbagai modus operandi
penyimpangan yang mungkin terjadi.
Majelis Hakim berpendapat lain. Majelis Hakim menilai bahwa Undang-
Undang Administrasi Pemerintahan tampaknya ingin menegaskan bahwa
penerapan sanksi pidana merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) yang
dapat ditempuh. Unsur merugikan keuangan negara menurut Majelis Hakim tidak
lagi dijadikan sebagai perkiraan (potential loss) saja, namun harus benar-benar
sudah terjadi (actual loss) untuk akhirnya digunakan sebagai dasar dari adanya
tindak pidana korupsi. Penerapan actual loss ini dipandang oleh Majelis Hakim
lebih memberikan kepastian hukum yang adil sehingga dalam amar putusannya,
Majelis Hakim menyatakan bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945 dan tidak mempunyai hukum kekuatan hukum mengikat.

Hal ini mengingat seorang pengambil kebijakan dilekati dengan wewenang


atributif, yakni wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan kepada seorang
pengambil kebijakan untuk mengambil kebijakan. Kasus hukum akibat kebijakan
publik yang salah ini berdasarkan penelitian yang dilakukan olehnya dapat dibagi
menjadi dua karakter, yakni 70% kasus hukum bersifat dwaling (salah kira) dan
sisanya hanya 30% saja yang murni mengandung unsur pidana. Menurut Dian,
terhadap persoalan dwaling penyelesaiannya bukan melalui sanksi pidana
melainkan harus melalui hukum administrasi. Meskipun demikian, Pengambil
kebijakan tetap mungkin dapat dipidana atas kebijakan yang diambilnya apabila
mengambil kebijakan yang mengandung unsur suap, ancaman, dan tipuan.Oleh
karena itu melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2006 yang
kemudian dalam perkembangan politik hukum disesuaikan melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menyatakan kata “dapat”
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, serta melalui penelitian yang dilakukan oleh Dian
Pudji Simatupang, semakin menegaskan bahwa kesalahan pejabat dalam
mengambil kebijakan belum sepenuhnya dapat dikatakan memenuhi unsur tindak
pidana korupsi sepanjang belum dibuktikan bahwa telah terjadi kerugian negara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sampai saat ini, pemerintah Indonesia masih belum tegas dalam menangani
korupsi. Itu dapat dilihat dari hukuman yang dijatuhkan pada terpidana korupsi
dengan uang yang telah mereka korupsi. Hukuman yang dijatuhkan pemerintah
masih belum sebanding dengan perbuatan mereka. Dan dengan adanya bisnis
strategis dapat membuka peluang besar untuk korupsi.
B. Saran
Penulis menyarankan bahwa seharusnya pemerintah lebih tegas terhadap
terpidana korupsi. Undang-undang yang adapun dapat dipergunakan dengan
sebaik-baiknya agar korupsi tidak lagi menjadi budaya di negara ini.

SUMBER REFERENSI
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2006
http://www.ti.or.id. transparancy Internasional

Anda mungkin juga menyukai