Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................5
C. Tujuan............................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..........................................................................................................................6
A. Definisi Korupsi..................................................................................................................6
B. Faktor Penyebab Korupsi....................................................................................................8
C. Korupsi dalam Berbagai Perspektif Politik, Hukum, Sosial, Budaya, dan Agama..........13
BAB III..........................................................................................................................................26
PENUTUP.................................................................................................................................26
A. Kesimpulan.......................................................................................................................26
B. Saran..................................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................28
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang sangat sulit untuk diberantas. Sejarah

membuktikan, hampir setiap Negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tak hanya

‘menjangkiti’ pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangannya kini korupsi

juga mewabah pada perorangan. Menyikapi keadaan ekonomi yang kian memburuk,

tak sedikit yang menilai bahwa berbagai permasalahan yang timbul adalah karena

telah berurat-akarnya praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Praktik

tercela ini disinyalir sudah menjadi bagian dari budaya, sehingga dalam pikiran

banyak orang terkesan sebagai sesuatu yang lumrah untuk dikerjakan, meskipun

secara moral dan hukum diakui sebagai hal yang salah. Tindak pidana korupsi sudah

mengkristal dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Tidak hanya

mengancam perekonomian Negara, nyatanya korupsi juga dapat mengancam

lingkungan hidup, lembaga-lembaga demokrasi, hak-hak asasi manusia dan hak-hak

dasar kemerdekaan, dan yang paling buruk adalah menghambat jalannya

pembangunan dan semakin memperparah kemiskinan. Di samping itu, korupsi juga

terbukti telah melemahkan kemampuan pemerintahan untuk memberikan pelayanan-

pelayanan dasar, memperlebar jurang ketaksetaraan dan ketakadilan, serta dapat

berdampak pada pengurangan masuknya bantuan luar negeri dan investasi asing.

Korupsi menjadi unsur penting yang menyebabkan ekonomi kurang berkinerja

sekaligus sebagai rintangan utama dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan.


Korupsi benar-benar telah menjadi permasalahan akut dan sistemik yang sangat

membahayakan dan merugikan Negara maupun masyarakat. Modus dan pelaku

kejahatan korupsi selalu berganti secara cepat. Sementara itu, laju perubahan undang-

undang sendiri selalu terlambat beberapa langkah di belakang kejahatannya. Hal

inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh banyak orang, kelompok, maupun oknum

tertentu untuk melakukan berbagai perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai

tindak pidana korupsi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan korupsi?


2. Apa saja faktor penyebab korupsi?
3. Jelaskan definisi, faktor dan praktek korupsi dalam berbagai perspektif politik,
hukum, sosial, budaya, dan agama!

C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Korupsi

Keberadaan korupsi sebenarnya sudah sejak dahulu terjadi, saat manusia mulai mengenal tata

kelola administrasi. Kasus korupsi pada umumnya selalu berkaitan dengan kekuasaan,

birokrasi, politik, dan pemerintahan. Selain itu korupsi juga berhubungan dengan

perekonomian, kebijakan publik, kesejahteraan nasional, pembangunan nasional, bahkan

kebijakan internasional. Korupsi merupakan persoalan yang terjadi di hampir semua negara,

sehingga juga menjadi persoalan seluruh dunia. Organisasi internasional, Perserikatan

Bangsa-Bangsa memiliki badan khusus yang memantau korupsi di dunia. Korupsi sebagai

persoalan yang mendunia, tentu saja dampaknya juga mempengaruhi kesejahteraan negara-

negara di dunia. Korupsi mengakibatkan kesejahteraan masyarakat, kestabilan ekonomi,

politik, keamanan, hukum, keberlangsungan sebuah negara, mengalami distorsi dengan

tujuan semula. Begitu besar dan kompleks dampak korupsi, maka setiap manusia memiliki

kewajiban untuk tidak korupsi. Agar dalam diri seseorang terdapat kepemilikan sifat dan

perilaku tidak korupsi, maka setiap manusia juga wajib mengetahui tentang korupsi, dan

segala hal yang berkaitan dengannya. Hal ini penting, karena ketidaktahuan tentang korupsi,

menjadi salah faktor seseorang melakukan tindak perilaku korupsi. Pola tindakan korupsi

beranekaragam dan bervariasi. Korupsi sebagai suatu konsep dan masalah yang kompleks,

menyebabkan mendefinisikan korupsi juga tidak mudah. Seperti yang disebutkan oleh

Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas, 2011: 1), bahwa korupsi merupakan

fenomena sosial yang bersifat kompleks, yang berkonsekuensi pada tidak mudahnya

menentukan ruang lingkup korupsi. Bahkan dapat dinyatakan bahwa korupsi terdapat dalam
seluruh aspek kehidupan manusia. Para pelaku korupsi juga memiliki kecanggihan, yang

berakibat pada bertambahnya ragam korupsi. Hal ini berkonsekuensi pada diperlukannya

kajian secara terusmenerus tentang korupsi, agar pemahaman tentang korupsi semakin

komprehensif dan sistematis (Sitepu, 2006: 1). Secara etimologis, mengacu dalam buku

Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi, yang ditulis oleh Tim Penulis Buku

Pendidikan Anti Korupsi dengan editor Nanang T. Puspito (2011: 23), kata “korupsi” berasal

dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus” Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio”

berasal dari kata “corrumpere”. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah

“corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda).

Dari bahasa Belanda inilah kata corruptie diserap ke dalam Bahasa Indonesia, menjadi

korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (2007: 2), menyatakan dalam bahasa Muangthai,

korupsi dinamakan “gin moung”, yang artinya makan bangkai, sedangkan dalam bahasa

China, “tanwu”, yang artinya keserakahan, bernoda, dan dalam bahasa Jepang, “oshuku”,

yang artinya kerja kotor. Korupsi berasal dari kata korup, artinya buruk, rusak, busuk, suka

memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, memakai kekuasannya untuk

kepentingan pribadi (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 596). Dalam kamus tersebut, korupsi

diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan

sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 597).

Berdasarkan istilah-istilah tersebut, korupsi dipahami sebagai perbuatan busuk, rusak, kotor,

menggunakan uang atau barang milik orang lain (perusahaan atau negara) secara

menyimpang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Korupsi juga didefinisikan

sebagai penyalahgunaan peran, jabatan publik atau sumber untuk keuntungan pribadi

(Johnson, 2005: 12). Dalam definisi Johnson tersebut, terdapat empat komponen kategori
perbuatan korupsi, yaitu penyalahgunaan (abuse), publik (public), pribadi (private), dan

keuntungan (benefit). Menurut Johnson negara yang dalam kegiatan ekonominya

melaksanakan liberalisasi dan privatisasi, akan muncul kecenderungan terjadinya pertukaran

kesejahteraan dengan kekuasaan. Hal ini oleh Johnson disebut dengan corruption syndromes

(Johnson, 2005: 16). Korupsi didefinisikan juga sebagai “the misuse of public power for

private benefit” (Lambodorff, 2007: 5). Korupsi berarti penyalahgunaan kekuasaan publik

untuk keuntungan pribadi. Kekuasaan publik (public power) dilaksanakan oleh birokrat,

pengawalnya, dan politisi. Dalam arti luas, di dalamnya termasuk pegawai kehakiman,

pengadaan barang publik, perpajakan, kepolisian, dan pelayanan pemerintah lainnya.

Keuntungan pribadi menunjuk pada penerimaan uang atau aset yang bernilai, peningkatan

kekuasaan atau status, dan penerimaan janji-janji untuk kesenangan masa depan atau

keuntungan pribadi dan teman-temannya. Keuntungan yang berkaitan dengan teman-

temannya disebut dengan nepotisme dan favoritisme. Adapun istilah penyalahgunaan

(misuse) menunjuk pada perilaku yang menyimpang, baik dari tugas formal kedinasan,

maupun bertentangan dengan aturan-aturan informal yang berlaku (seperti kode etik).

B. Faktor Penyebab Korupsi

Secara umum faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi antara lain: aspek perilaku individu,

aspek organisasi, dan aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada (Arifin: 2000).

Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Erry Riyana Hardjapamekas (2008)

menyebutkan tingginya kasus korupsi di negeri ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya:

1. Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa,


2. Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil,

3. Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan perundangan,

Rendahnya integritas dan profesionalisme,

4. Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga perbankan, keuangan, dan

birokrasi belum mapan,

5. Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat,

6. Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan etika. Perilaku korupsi

menyangkut berbagai hal yang bersifat kompleks.

Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa

berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi.

Dengan demikian secara garis besar penyebab korupsi dapat dikelompokan menjadi dua

yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa hal terkait dengan faktor penyebab

internal korupsi:

1. Menurut Tri Karyati dkk (2019 : 23), bahwa sebabsebab manusia terdorong untuk melakukan

korupsi antara lain :

a. Sifat tamak manusia, sifat rakus atau tamak yang dimiliki oleh manusia. Pada sifat

rakus artinya manusia tidak mudah puas dengan apa yang dimilikinya saat ini.

Cenderung merasa kurang dengan apa yang dimiliki dan hal tersebut akan mendorong

manusia tersebut untuk melakukan korupsi.

b. Moral yang kurang kuat, yakni akibat moral manusia yang kurang kuat sehingga lebih

cenderung mementingkan kepentingannya sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa

dari aspek moral misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu aspek sikap atau
perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek social seperti keluarga yang dapat

mendorong seseorang berperilaku korup.

c. Gaya hidup konsumtif, bahwa gaya hidup yang konsumtif yaitu dalam segi kehidupan

seharisehari yang berlebihan, atau dapat disebut juga dengan gaya hidup yang boros.

Gaya hidup yang semacam ini akan mendorong untuk melakukan korupsi karena dari

penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi gaya hidup yang boros. koruptor

melakukan tindakan korupsi dapat berupa dorongan internal dalam bentuk keinginan

atau niat dan melakukannya dengan kesadaran penuh. Seseorang termotivasi untuk

melakukan korupsi, antara lain karena sifat rakus manusia, gaya hidup konsumtif,

kurangnya agama, lemahnya moralitas dalam menghadapi godaan korupsi, dan

kurangnya etika sebagai pejabat.

2. Sedangkan secara umum faktor penyebab korupsi dari luar individu dapat terjadi karena faktor

politik, hukum dan ekonomi, sebagaimana dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam

Membasmi Korupsi (ICW : 2000) yang mengidentifikasikan empat faktor penyebab korupsi

yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor transnasional. Di

samping itu masih ada faktor lain misalnya faktor pendidikan, budaya, lingkungan masyarakat,

dan lemahnya pengawasan.

a. Pendidikan, Menurut Habib Sulton Asnawi (2013 : 350) Korupsi adalah kejahatan

yang dilakukan oleh para intelektual. Pejabat rata-rata yang terjebak dalam kasus

korupsi adalah mereka yang berpendidikan tinggi, pendidikan tinggi seharusnya

membuat mereka tidak melakukan korupsi, seperti yang dikatakan Kats dan Hans

bahwa peran akademisi tampaknya masih paradoks. Memang pada kenyataannya para

pelaku tindak pidana korupsi adalah para intelektual yang sebelum melakukan
tindakannya telah melakukan persiapan dan perhitungan yang cermat sehingga

mereka dapat memani-pulasi hukum sehingga kejahatan tersebut tidak terdeteksi.

b. Politik, menurut Tri Karyati dkk (2019 : 24) faktor politik mempengaruhi terjadinya

korupsi karena pada dasarnya politik sendiri berhubungan dengan kekuasaan. Artinya

siapa pun orang tersebut pasti akan menggunakan berbagai cara, bahkan melakukan

korupsi demi mendapatkan kekuasaan tersebut.faktor politik terbagi menjadi dua

yaitu kekuasaan dan stabilitas politik. korupsi terjadi di setiap ruang serta

penyalahgunaan kekuasaan terus terjadi. Pada kenyataan yang demikian maka ruang

politik merupakan salah satu sarana melakukan korupsi.

c. Hukum, faktor hukum bisa lihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek peraturan

perundangundangan dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya

substansi hukum, mudah ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak

adil; rumusan yang tidak jelas-tegas (non lex certa) sehingga multi tafsir; kontradiksi

dan overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat maupun yang lebih

tinggi). Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang sehingga tidak

tepat sasaran serta dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep yang

berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan

tidak kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak

produktif dan mengalami resistensi. Dalam konteks penegakan hukum, Seokanto

(1986:16) menyebutkan lima unsur yang mempengaruhi proses penegakan hukum,

yakni :

(1) faktor hukum itu sendiri,

(2) faktor aparan penegak hukum,


(3) faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum tersebut,

(4) faktor masyarakat, dan

(5) faktor budaya. Jika dikaitkan dengan skema dari Lawrence Friedman

(2001:11) maka proses penegakan hukum yang dikatakan Seokanto tersebut

mencakup seluruh sub-sistem hukum, yakni legal substansi, legal struktur, dan

legal culture. Legal substansi, adalah sama dengan faktor hukum dalam kata

gori Seokanto, legal stuktur mencakup kelembagaan hukum,

struktur/organisasi hukum, aparat penegak hukum, serta sarana dan prasana

hukum. Sedangkan legal culture meliputi sistem budaya, sistem nilai,

pengetahuan hukum, kesadaran hukum, baik dari masyarakat maupun aparat

penegak hukum.

d. Ekonomi, menurut Indah Sri Utami dan Agus Mulya Karsona (1918 : 29-30) faktor

ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat

ketika tingkat pendapatan ata gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya,

maka seseorang berpotensi melakukan tindakan korupsi demi terpenuhinya semua

kebutuhan. Secara teori Karl Marx menyatkan secara rinci menjelaskan betapa

hebatnya pengaruh kuasa ekonomi terhadap kehidupan manusia. Lebih jauh ia

mengatakan, bahwa siapapun yang mengusai ekonomi, maka akan menguasai

manusia. Seluruh tindak tanduk manusia dikendalikan oleh motif-motif ekonomi.

e. Organisasi, menurut Tri Karyati dkk (2019 : 24) faktor organisasi memiliki beberapa

aspek yang menyebabkan korupsi, diantaranya yaitu: kultur atau budaya, pimpinan,

akuntabilitas, dan manajemen atau sistem. Sementara itu menurut Indah Sri Utami

dan Agus Mulya Karsona (1918 : 30) oraganisasi dalam arti luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi

atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena

membuka peluang atau kesempatan terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Aspek-aspek

penyebab korupsi dalam sudut pandang organisasi meliputi:

(1) kurang adanya sikap keteladanan pemimpin,

(2) tidak adanya kultur/budaya organisasi yang benar,

(3) kurang memadainya sistem akuntabilitas, dan

(4) kelemahan sistem pengendalian manajemen..

f. Aspek Sosial, menurut Ridwan Arifin Oemara Syarief dan Devanda Prastiyo

(2018:8) Masalah korupsi biasanya dari keluarga. Biasanya itu terjadi karena tuntutan

isteri atau memang keinginan pribadi yang berlebihan. Hal yang menjadikan posisi

dia duduk sebagai ladang untuk memuaskan kepentingan pribadi keluarganya.

Keluarga harus menjadi benteng tindakan korupsi, tetapi kadang-kadang penyebab

korupsi sebenarnya berasal dari keluarga. Jadi, keluarga sebenarnya bertanggung

jawab atas tindakan korupsi yang dilakukan oleh suami atau kepala rumah tangga.

Karena itu, keluarga sebenarnya ada di dua sisi, yaitu sisi negatif dan sisi positif.

C. Korupsi dalam Berbagai Perspektif Politik, Hukum, Sosial, Budaya, dan Agama

a. Korupsi dalam Perspektif Politik

1. Defenisi Korupsi Dalam Perspektif Politik

Political corruption atau korupsi politik adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang

yang mempunyai kekuasaan politik, yakni korupsi yang dilakukan oleh presiden, kepala
negara, ketua atau anggota parlemen, dan pejabat tinggi pemerintahan. korupsi politik

merupakan pelanggaran terhadap hak asasi rakyat, secara yuridis kekayaan yang

dikorupsi adalah kekayaan negara. Sedangkan secara umum, korupsi politik mengambil

hak-hak strategis rakyat.

2.Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi Dalam Perspektif Politik

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang atau kelompok melakukan tindakan

atau praktek korupsi. Penyebab korupsi dalam politik dapat bervariasi, termasuk:

1. Ambisi untuk kekuasaan dan kekayaan: Para politisi mungkin tergoda

untuk menggunakan jabatan mereka untuk memperoleh keuntungan

pribadi secara ilegal.

2. Sistem politik yang rentan: Sistem politik yang lemah atau korup dapat

menciptakan lingkungan di mana praktik korupsi lebih mudah dilakukan

dan lebih sulit ditindak.

3. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas: Kurangnya keterbukaan dan

akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan politik dapat

memungkinkan korupsi berkembang.

4. Kondisi sosial dan ekonomi yang rentan: Ketidaksetaraan ekonomi dan

ketidakadilan sosial dapat memperkuat dorongan untuk terlibat dalam

praktik korupsi sebagai cara untuk meningkatkan kekayaan atau status

sosial.

5. Kurangnya pendidikan politik: Kurangnya pemahaman tentang pentingnya

etika politik dan integritas dapat menyebabkan orang-orang yang terlibat

dalam politik untuk lebih rentan terhadap praktik korupsi.


6. Budaya korupsi yang terpelihara: Di beberapa negara, korupsi telah

menjadi bagian dari budaya politik yang diterima secara luas, sehingga

sulit untuk mengubah perilaku koruptif.

3. Tindakan Atau Pratek Korupsi Dalam Perspektif Politik

Korupsi bisa dilakukan oleh siapa saja, terutama para pemangku kepentingan di tanah air

ini. Namun yang paling berbahaya adalah korupsi politik, karena dampaknya selalu

menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka dari itu, kita perlu mengetahui bentuk-

bentuk korupsi politik yang ada.

1. Penyuapan : Penyuapan dalam politik tidak hanya untuk memperkaya diri

sendiri, tetapi juga untuk berkuasa atau mempertahankan pengaruhnya

dalam birokrasi publik. Jika berhasil berkuasa kembali, maka pelaku akan

mengatur undang-undang, peraturan, dan kebijakan yang dihasilkan agar

berpihak kepada kepentingan ekonomi dirinya semata. Suap politik

misalnya terjadi ketika seorang politisi menyuap lembaga penyelenggara

pemilu untuk memenangkan dirinya dalam pilkada atau pemilu.

Kongkalikong antara politisi dan lembaga penyelenggara pemilu ini adalah

bentuk korupsi dalam sektor politik.

2. Perdagangan Pengaruh : Perdagangan pengaruh atau Trading of Influence

terjadi saat pejabat publik menawarkan diri atau menerima permintaan

pihak lain untuk menggunakan pengaruh politik dan jabatannya, agar

melakukan mengintervensi keputusan tertentu. Perdagangan Pengaruh

telah disahkan dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) pada


Oktober 2003 dan diratifikasi oleh Indonesia. Dalam penyelidikannya,

korupsi jenis ini sulit ditelurusi karena beda-beda tipis dengan proses lobi

yang memang dihalalkan dalam politik. Namun ada kata kunci untuk

membedakan perdagangan pengaruh dengan proses lobi: Transaksi

keuntungan. Jika sudah ada transaksi dengan keuntungan yang spesifik,

maka korupsi terjadi. Contoh perdagangan pengaruh, seorang pengusaha

memberikan sejumlah besar uang kepada tokoh partai untuk membantu

memuluskan rencananya. Pengusaha ini tahu tokoh tersebut bisa

mempengaruhi pembuatan kebijakan karena anggota dewan adalah kader

partainya.

3. Jual-beli Suara : Salah satu kasus korupsi politik yang sering terjadi

adalah jual beli suara saat pemilihan. Cara ini dilakukan oleh politisi atau

partai politik untuk memenangkan pemilu dan mempertahankan kekuasaan

mereka. Salah satu jual beli suara yang umum adalah "serangan fajar". Ini

adalah istilah yang digunakan untuk praktik bagi-bagi uang oleh kader

partai kepada warga di pagi hari sebelum pencoblosan. Tindakan ini

dilakukan untuk mempengaruhi keputusan warga dalam memilih. Modus

juga beli suara lainnya yang diungkapkan Badan Pengawas Pemilu

(Bawaslu) adalah memanfaatkan sisa surat suara tak terpakai di TPS untuk

dicoblos oleh oknum Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)

dan diberi kepada kubu yang memesan. Jual beli suara ini dapat

berakibatnya duduknya orang yang tidak tepat di kursi wakil rakyat.


Anggota dewan yang melakukan jual beli suara berpeluang besar korupsi

untuk mengembalikan modal besar yang dikeluarkannya pada pemilu.

4. Nepotisme/Patronage : Nepotisme politik adalah pemberian perlakuan

istimewa kepada keluarga atau kerabat dalam kekuasaan politik tertentu,

baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Kondisi ini banyak terjadi

pada tubuh partai politik, ketika para petinggi partai diisi oleh keluarga

pemimpin partai. Nepotisme tidak memperhitungkan jenjang karier politik,

prestasi, atau kapabilitas sebagai penentu posisi. Selama dia keluarga atau

kerabat, maka bisa diangkat jadi pemimpin atau dimajukan jadi calon

kepala daerah. Praktik ini juga dilakukan untuk melanggengkan dinasti

politik di tubuh partai. Hingga saat ini nepotisme politik masih terjadi di

Indonesia. Kondisi ini ironis, padahal salah satu cita-cita reformasi adalah

memberantas nepotisme yang dianggap biang kebobrokan rezim Orde

Baru.

5. Pembiayaan Kampanye : Korupsi politik lainnya adalah pembiayaan untuk

parpol atau caleg selama kampanye. Masih menjadi perdebatan apakah ini

adalah pelanggaran pidana atau dukungan politik semata. Namun istilah

"tidak ada makan siang gratis" kiranya jadi salah satu jawabannya.

Pendanaan kampanye oleh pengusaha kepada seorang caleg bukannya

tanpa sebab. Walau mungkin tak ada transaksi secara tertulis, namun ada

utang budi yang mesti dibayar caleg kepada pendonor. Di antara bentuk

"pelunasan utangnya" bisa jadi adalah pengaturan kebijakan yang

menguntungkan pengusaha atau manipulasi pemenangan tender pengadaan


barang dan jasa. Hal ini pada akhirnya akan memunculkan konflik

kepentingan yang menjadi salah satu penyebab korupsi.

b. Korupsi dalam Perspektif Hukum

1.Definisi Korupsi dalam Perspektif Hukum

Sebagaiman kita ketahui bersama, korupsi saat ini dinyatakan sebagai kejahatan luar

biasa (exstra ordinary) sehingga ada Undang-undang khusus bagi pelaku korupsi yaitu

Undang-undang Anti Tipikor (UU Anti Tindak Pidana Korupsi). Biasanya orang

menyebut pelaku korupsi dengan sebutan “pejabat berkerah putih/pejabat berdasi” jika

pelakunya pejabat dan dilambangkan dengan gambar “tikus yang sedang menggrogoti

mangsa” sehingga mangsanya hancur tercabik-cabik. Negara yang sering digrogoti

oleh para koruptor nasibnya akan sama sepaerti perumpamaan tersebut yaitu hancur

dan rusak tatanan ekonominya. Lagi-lagi rakyat yang menanggung akibatnya karena

hanya rakyatnya yang semakin miskin sedangkan pejabatnya kaya raya sendiri.Semua

ini terjadi karena di negeri yang kaya raya ini, dikenal religius dan mayoritas

beragama Islam, korupsi sudah mendarah daging, berlangsung secara sistemik dan

dilakukan secara berjamaah sehingga sulit diusut. Untuk itu, diperlukan upaya

maksimal, dahsyat dan usaha yang luar biasa untuk memberantasnya. Tidak cukup

hanya dengan membuat UU Anti Tipikor tetapi yang lebih penting adalah

menyegarkan kembali Islam ke lubuk hati umatnya untuk diamalkan dalam praksis

kehidupan. Karena disanalah sumber dari etika/moral/akhlaq yang akan

mengembalikan umat ke arah kebaikan.


2. Faktor Penyebab Korupsi dalam Perspektif Hukum

Korupsi bisa terjadi disebabkan oleh penyalahgunakan jabatan demi kepentingan

pribadi atau mengatasnamakan keluarga, sadar kandung dan kerabat dekat. Faktor

penyebab korupsi dari perspektif hukum dapat meliputi:

1. Ketidakseimbangan kekuasaan: Ketika pihak-pihak yang memiliki wewenang

untuk mengatur atau menegakkan hukum menggunakan kekuasaan mereka

untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

2. Sistem hukum yang lemah: Kurangnya transparansi, akuntabilitas, dan

penegakan hukum yang tegas dapat memberikan celah bagi praktik korupsi.

3. Kurangnya pengawasan dan audit: Kekurangan dalam sistem pengawasan dan

audit memungkinkan untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau dana

secara tidak terdeteksi.

4. Kultur korupsi: Budaya di mana korupsi dianggap biasa atau diterima secara

sosial dapat memperkuat perilaku koruptif.

5. Sistem insentif yang salah: Insentif yang salah, seperti penghargaan atau

penghargaan yang didasarkan pada pencapaian target tertentu tanpa

mempertimbangkan integritas atau kepatuhan etika, dapat mendorong perilaku

koruptif.

3. Tindakan atau Praktek Korupsi dalam Perspektif Hukum

Korupsi merupakan tindakan yang tidak terpuji, karena korupsi ini perilaku untuk

memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompok. Korupsi dalam perspektif hukum

dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, termasuk:


1. Suap: Memberikan atau menerima sesuatu untuk mempengaruhi tindakan

seseorang dalam posisi otoritas.

2. Penggelapan: Penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan untuk

memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok.

3. Pencucian Uang: Proses menyamarkan asal-usul dana yang diperoleh secara

ilegal agar terlihat sah.

4. Nepotisme: Memihak atau memberikan perlakuan istimewa kepada keluarga

atau teman dekat tanpa mempertimbangkan kualifikasi atau pantas tidaknya.

5. Kolusi: Kerjasama ilegal antara individu atau entitas untuk mendapatkan

keuntungan yang tidak adil, biasanya melalui konspirasi.

6. Penyuapan: Memberikan atau menerima sesuatu dengan maksud

mempengaruhi keputusan atau tindakan seseorang yang memiliki

kewenangan.

7. Mark up: Manipulasi harga barang atau jasa yang dibeli atau dijual oleh

pemerintah atau perusahaan, biasanya untuk keuntungan pribadi.

8. Perampokan: Penggunaan kekuasaan atau posisi untuk mengambil secara

tidak sah dana atau aset yang dimiliki oleh pihak lain.

9. Korupsi Politik: Penggunaan kekuasaan politik untuk tujuan pribadi atau

partai politik, biasanya dengan cara yang tidak etis atau ilegal.

Semua bentuk korupsi ini merugikan masyarakat dan melanggar hukum karena

melanggar prinsip keadilan, integritas, dan kepentingan umum.


c. Korupsi dalam Perspektif Sosial

1. Definisi Korupsi Dalam Perspektif Sosial

Dalam perspektif sosiologi korupsi, tindakan korupsi dianggap sebagai gejala sosial

yang menjadi masalah sosial di dalam masyarakat karena dengan adanya korupsi

kehidupan di masyarakat menjadi tidak damai dan bila tidak diberantas beberapa aspek

kehidupan didalam masyarakat juga terus terpengaruh. Tindak korupsi dapat dikaji

dengan melihat bagaimana interaksi sosial yang terjalin antara beberapa pihak yang

terlibat di dalam tindak korupsi tersebut serta melihat sebuah kultur atau budaya yang

ada di dalam struktur sebuah institusi. Pelayanan publik pemerintah adalah kegiatan

atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,

jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan

publik, salah satu contohnya seperti pencatatan sipil, pembuatan surat izin, mengurus

kartu identitas seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Akte Kelahiran. Pelayanan

publik pemerintah tersebut menjadi salah satu tempat yang sering ditemukan praktik

gratifikasi berlangsung.

2. Faktor Penyebab Korupsi Dalam Perspektif Sosial

Ada beberapa Faktor yangi saling terkait dan dapat saling memperkuat, menciptakan

lingkungan yang memudahkan terjadinya korupsi dalam masyarakat. antara lain:

1. Kultur Korupsi: Budaya di mana korupsi dianggap biasa atau diterima sebagai

bagian dari kehidupan sehari-hari dapat memperkuat perilaku koruptif.


2. Kesenjangan Ekonomi: Ketidaksetaraan ekonomi yang signifikan dapat

mendorong orang untuk mencari cara tidak etis untuk memperoleh kekayaan atau

keuntungan.

3. Kekuasaan Tidak Terkendali: Kekuasaan yang tidak terkendali atau minim

pengawasan dapat menggoda individu untuk menyalahgunakan kekuasaan demi

keuntungan pribadi.

4. Lemahnya Sistem Hukum dan Penegakan Hukum: Kurangnya penegakan hukum

yang efektif dan sistem hukum yang lemah dapat memberikan celah bagi korupsi

untuk berkembang tanpa takut akan konsekuensinya.

5. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas: Ketidaktransparan dalam

pengambilan keputusan dan kurangnya akuntabilitas dapat memungkinkan

korupsi untuk berkembang tanpa diketahui masyarakat luas.

6. Krisis Moral dan Etika: Penurunan nilai moral dan etika dalam masyarakat dapat

membuat individu lebih rentan terhadap perilaku koruptif.

7. Tingginya Biaya Hidup: Tingginya biaya hidup dan kesulitan ekonomi dapat

mendorong individu untuk mencari cara cepat untuk memperoleh kekayaan,

termasuk dengan cara korupsi.

8. Rendahnya Kesadaran Masyarakat: Kurangnya kesadaran masyarakat tentang

dampak negatif korupsi dan tanggung jawab kolektif dalam memberantasnya

dapat memperburuk masalah ini.

3. Tindakan atau Praktek Korupsi Dalam Perspektif Sosial

Korupsi dalam perspektif sosial dapat berbentuk sebagai penyalahgunaan kekuasaan

atau posisi untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, yang merugikan
masyarakat secara luas. Ini bisa meliputi penyalahgunaan dana publik, nepotisme, atau

kolusi antara pejabat dan pihak swasta yang mengakibatkan ketidaksetaraan sosial dan

ekonomi serta merusak kepercayaan dan moralitas dalam masyarakat.

d. Korupsi dalam Perspektif Budaya

1. Definisi Korupsi Dalam Perspektif Budaya

Pada masyarakat Indonesia yang kebudayaan dan strukturnya sosialanya kompleks,

hukum lebih berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat, hukum lebih banyak

tumbuh dari bagian masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang

dapat merupakan pencermian dari pada kepentingan-kepentingan umum. Persoalan

mendasar di indoneia adalah budaya hukum yang belum berjalan dengan baik.

Kondisi hukum yang sampai saat ini masih maraknya kasus korupsi yang dihadapi.

Dalam perspektif budaya hukum korupsi menunjukkan perilaku yang bertentangan

dengan nilai-nilai dan norma baik itu dari kejujuran, sosial, agama atau hukum.

Korupsi sendiri digolongkan serious crime karena mampu mengganggu hak ekonomi

dan hak sosial masyarakat dan negara dalam skala besar. Munculnya korupsi itu

sendiri dipengaruhi oleh kebutuhan dan permintaan individu dan kolektif dan juga

didukung oleh lingkungan sosial budaya yang mewarisi tradisi korupsi, sehingga tak

khayal pejabat pemerintah pun ikut terlinat dalam tindak pidana ini, sehingga

memunculkan opini masyarakat akan korupsi merupakan sudah menjadi budaya.

2. Faktor Penyebab Korupsi Dalam Perspektif Budaya

Korupsi bisa dipengaruhi oleh banyak faktor budaya, termasuk toleransi terhadap

perilaku koruptif, rendahnya kesadaran moral, budaya nepotisme dan patronase, serta
kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pemerintahan. Selain itu,

tekanan sosial untuk berhasil secara materi dan kurangnya hukuman yang tegas

terhadap pelaku korupsi juga dapat memperkuat budaya korupsi.

3. Bentuk Korupsi Dalam Perspektif Budaya

Korupsi dalam perspektif budaya dapat mengambil berbagai bentuk, tergantung pada

nilai dan norma budaya suatu masyarakat. Beberapa bentuk korupsi yang umum

dalam perspektif budaya meliputi nepotisme, suap, penyuapan, penggelapan, dan

pencurian. Selain itu, ada juga bentuk korupsi yang lebih terselubung seperti

penggunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu tanpa

mempertimbangkan kepentingan publik. Seluruh bentuk korupsi ini sering kali terkait

dengan keinginan untuk memperoleh keuntungan atau kekuasaan tanpa

memperhatikan prinsip keadilan dan integritas.

e. Korupsi Dalam Perspekktif Agama

1. Definisi Korupsi Dalam Perspektif Agama

Korupsi dalam perspektif agama sering kali dianggap sebagai tindakan yang sangat

tidak bermoral dan bertentangan dengan ajaran agama. Berbagai agama mengajarkan

nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, dan empati terhadap sesama, sehingga korupsi

dianggap sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut. Dalam banyak tradisi

agama, korupsi dianggap sebagai tindakan dosa atau pelanggaran terhadap hukum

ilahi. Misalnya, dalam Islam, korupsi dilihat sebagai tindakan yang melanggar

prinsip-prinsip keadilan, sedangkan dalam Kekristenan, korupsi sering kali dianggap

sebagai pelanggaran terhadap ajaran tentang cinta kasih dan kejujuran.


2. Faktor Penyebab Korupsi Dalam Perspektif Agama

Dalam perspektif agama mengenai korupsi dapat bervariasi tergantung pada agama

yang dipraktikkan. Beberapa faktor yang sering disebut sebagai penyebab korupsi

menurut pandangan agama meliputi keserakahan atau sifat tamak, ketidakadilan,

ketidakjujuran, kurangnya tanggung jawab moral, dan keinginan untuk memperoleh

keuntungan pribadi tanpa memperhatikan kepentingan bersama.

3. Tindakan atau Praktek Korupsi Dalam Perspektif Agama

Berdasarkan pandangan agama, bentuk praktek korupsi dianggap sebagai tindakan

yang melanggar nilai-nilai moral dan etika. Dalam berbagai agama, praktek korupsi

dapat termasuk penyuapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemerasan, pencurian, dan

manipulasi yang merugikan orang lain atau masyarakat secara umum. Praktek korupsi

dianggap sebagai dosa atau pelanggaran terhadap ajaran agama karena merusak

keadilan, kejujuran, dan kesejahteraan bersama.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi untuk memperoleh

keuntungan pribadi secara tidak sah. Dari perspektif politik, korupsi mengganggu

integritas sistem politik dan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap

pemerintah. Secara hukum, korupsi dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum yang

harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam konteks sosial, korupsi

dapat merusak struktur sosial dan menyebabkan ketidakadilan dalam distribusi sumber

daya. Secara budaya, korupsi dapat menjadi bagian dari praktik yang diterima secara luas

dalam masyarakat tertentu, memperkuat siklus perilaku yang tidak etis. Dari perspektif

agama, korupsi dianggap sebagai pelanggaran moral yang serius karena bertentangan

dengan nilai-nilai etika dan kejujuran yang dianut oleh banyak agama.

B. Saran

Penulis memberikan saran bahwa dalam hal implimentasi suatu strategi yang berkaitan

dengan proses penegakan hukum, masyarakat merupakan subyek hukum yang memiliki

peran cukup besar. Oleh karena itu, dalam memerangi tindak pidana korupsi, masyarakat

mempunyai hak dasar untuk turut serta menjadi bagian dari strategi pemberantasan

korupsi praktik gratifikasi pada layanan publik pemerintah. Strategi pemberantasan juga

harus bebas kepentingan golongan maupun individu, sehingga pada prosesnya tidak ada

keberpihakan yang tidak seimbang. Semua strategi berjalan sesuai dengan aturan yang

berlaku dan objektif. Instrumen strategi pemberantasan lain yang menjadi bagian dari
elemen masyarakat adalah pers. Transparansi dapat difasilitasi dengan baik dengan

adanya dukungan media massa yang memainkan peranannya secara kuat. Dengan adanya

kebebasan pers, maka kontrol masyarakat dapat semakin ditingkatkan lagi.


DAFTAR PUSTAKA

 Wibowo, Agus, dkk. 2022. Pengetahuan Dasar Anti Korupsi dan Integritas. Bandung.
Media Sains Indonesia.
 Sumaryati. 2019. Pendidikan Anti Korupsi dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat.
Yogyakarta. UAD Pres
 Muslimin, Dian, dkk. 2023. Pendidikan Anti Korupsi. Padang Sumatera Barat. PT Global
Eksekutif Teknologi

Anda mungkin juga menyukai