DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................5
C. Tujuan............................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..........................................................................................................................6
A. Definisi Korupsi..................................................................................................................6
B. Faktor Penyebab Korupsi....................................................................................................8
C. Korupsi dalam Berbagai Perspektif Politik, Hukum, Sosial, Budaya, dan Agama..........13
BAB III..........................................................................................................................................26
PENUTUP.................................................................................................................................26
A. Kesimpulan.......................................................................................................................26
B. Saran..................................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................28
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang sangat sulit untuk diberantas. Sejarah
membuktikan, hampir setiap Negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tak hanya
juga mewabah pada perorangan. Menyikapi keadaan ekonomi yang kian memburuk,
tak sedikit yang menilai bahwa berbagai permasalahan yang timbul adalah karena
tercela ini disinyalir sudah menjadi bagian dari budaya, sehingga dalam pikiran
banyak orang terkesan sebagai sesuatu yang lumrah untuk dikerjakan, meskipun
secara moral dan hukum diakui sebagai hal yang salah. Tindak pidana korupsi sudah
berdampak pada pengurangan masuknya bantuan luar negeri dan investasi asing.
kejahatan korupsi selalu berganti secara cepat. Sementara itu, laju perubahan undang-
inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh banyak orang, kelompok, maupun oknum
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Korupsi
Keberadaan korupsi sebenarnya sudah sejak dahulu terjadi, saat manusia mulai mengenal tata
kelola administrasi. Kasus korupsi pada umumnya selalu berkaitan dengan kekuasaan,
birokrasi, politik, dan pemerintahan. Selain itu korupsi juga berhubungan dengan
kebijakan internasional. Korupsi merupakan persoalan yang terjadi di hampir semua negara,
Bangsa-Bangsa memiliki badan khusus yang memantau korupsi di dunia. Korupsi sebagai
persoalan yang mendunia, tentu saja dampaknya juga mempengaruhi kesejahteraan negara-
tujuan semula. Begitu besar dan kompleks dampak korupsi, maka setiap manusia memiliki
kewajiban untuk tidak korupsi. Agar dalam diri seseorang terdapat kepemilikan sifat dan
perilaku tidak korupsi, maka setiap manusia juga wajib mengetahui tentang korupsi, dan
segala hal yang berkaitan dengannya. Hal ini penting, karena ketidaktahuan tentang korupsi,
menjadi salah faktor seseorang melakukan tindak perilaku korupsi. Pola tindakan korupsi
beranekaragam dan bervariasi. Korupsi sebagai suatu konsep dan masalah yang kompleks,
menyebabkan mendefinisikan korupsi juga tidak mudah. Seperti yang disebutkan oleh
fenomena sosial yang bersifat kompleks, yang berkonsekuensi pada tidak mudahnya
menentukan ruang lingkup korupsi. Bahkan dapat dinyatakan bahwa korupsi terdapat dalam
seluruh aspek kehidupan manusia. Para pelaku korupsi juga memiliki kecanggihan, yang
berakibat pada bertambahnya ragam korupsi. Hal ini berkonsekuensi pada diperlukannya
kajian secara terusmenerus tentang korupsi, agar pemahaman tentang korupsi semakin
komprehensif dan sistematis (Sitepu, 2006: 1). Secara etimologis, mengacu dalam buku
Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi, yang ditulis oleh Tim Penulis Buku
Pendidikan Anti Korupsi dengan editor Nanang T. Puspito (2011: 23), kata “korupsi” berasal
dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus” Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio”
berasal dari kata “corrumpere”. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah
Dari bahasa Belanda inilah kata corruptie diserap ke dalam Bahasa Indonesia, menjadi
korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (2007: 2), menyatakan dalam bahasa Muangthai,
korupsi dinamakan “gin moung”, yang artinya makan bangkai, sedangkan dalam bahasa
China, “tanwu”, yang artinya keserakahan, bernoda, dan dalam bahasa Jepang, “oshuku”,
yang artinya kerja kotor. Korupsi berasal dari kata korup, artinya buruk, rusak, busuk, suka
kepentingan pribadi (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 596). Dalam kamus tersebut, korupsi
sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 597).
Berdasarkan istilah-istilah tersebut, korupsi dipahami sebagai perbuatan busuk, rusak, kotor,
menggunakan uang atau barang milik orang lain (perusahaan atau negara) secara
menyimpang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Korupsi juga didefinisikan
sebagai penyalahgunaan peran, jabatan publik atau sumber untuk keuntungan pribadi
(Johnson, 2005: 12). Dalam definisi Johnson tersebut, terdapat empat komponen kategori
perbuatan korupsi, yaitu penyalahgunaan (abuse), publik (public), pribadi (private), dan
kesejahteraan dengan kekuasaan. Hal ini oleh Johnson disebut dengan corruption syndromes
(Johnson, 2005: 16). Korupsi didefinisikan juga sebagai “the misuse of public power for
private benefit” (Lambodorff, 2007: 5). Korupsi berarti penyalahgunaan kekuasaan publik
untuk keuntungan pribadi. Kekuasaan publik (public power) dilaksanakan oleh birokrat,
pengawalnya, dan politisi. Dalam arti luas, di dalamnya termasuk pegawai kehakiman,
Keuntungan pribadi menunjuk pada penerimaan uang atau aset yang bernilai, peningkatan
kekuasaan atau status, dan penerimaan janji-janji untuk kesenangan masa depan atau
(misuse) menunjuk pada perilaku yang menyimpang, baik dari tugas formal kedinasan,
maupun bertentangan dengan aturan-aturan informal yang berlaku (seperti kode etik).
Secara umum faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi antara lain: aspek perilaku individu,
aspek organisasi, dan aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada (Arifin: 2000).
Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Erry Riyana Hardjapamekas (2008)
menyebutkan tingginya kasus korupsi di negeri ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya:
6. Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan etika. Perilaku korupsi
Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa
berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi.
Dengan demikian secara garis besar penyebab korupsi dapat dikelompokan menjadi dua
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa hal terkait dengan faktor penyebab
internal korupsi:
1. Menurut Tri Karyati dkk (2019 : 23), bahwa sebabsebab manusia terdorong untuk melakukan
a. Sifat tamak manusia, sifat rakus atau tamak yang dimiliki oleh manusia. Pada sifat
rakus artinya manusia tidak mudah puas dengan apa yang dimilikinya saat ini.
Cenderung merasa kurang dengan apa yang dimiliki dan hal tersebut akan mendorong
b. Moral yang kurang kuat, yakni akibat moral manusia yang kurang kuat sehingga lebih
dari aspek moral misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu aspek sikap atau
perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek social seperti keluarga yang dapat
c. Gaya hidup konsumtif, bahwa gaya hidup yang konsumtif yaitu dalam segi kehidupan
seharisehari yang berlebihan, atau dapat disebut juga dengan gaya hidup yang boros.
Gaya hidup yang semacam ini akan mendorong untuk melakukan korupsi karena dari
penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi gaya hidup yang boros. koruptor
melakukan tindakan korupsi dapat berupa dorongan internal dalam bentuk keinginan
atau niat dan melakukannya dengan kesadaran penuh. Seseorang termotivasi untuk
melakukan korupsi, antara lain karena sifat rakus manusia, gaya hidup konsumtif,
2. Sedangkan secara umum faktor penyebab korupsi dari luar individu dapat terjadi karena faktor
politik, hukum dan ekonomi, sebagaimana dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam
Membasmi Korupsi (ICW : 2000) yang mengidentifikasikan empat faktor penyebab korupsi
yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor transnasional. Di
samping itu masih ada faktor lain misalnya faktor pendidikan, budaya, lingkungan masyarakat,
a. Pendidikan, Menurut Habib Sulton Asnawi (2013 : 350) Korupsi adalah kejahatan
yang dilakukan oleh para intelektual. Pejabat rata-rata yang terjebak dalam kasus
membuat mereka tidak melakukan korupsi, seperti yang dikatakan Kats dan Hans
bahwa peran akademisi tampaknya masih paradoks. Memang pada kenyataannya para
pelaku tindak pidana korupsi adalah para intelektual yang sebelum melakukan
tindakannya telah melakukan persiapan dan perhitungan yang cermat sehingga
b. Politik, menurut Tri Karyati dkk (2019 : 24) faktor politik mempengaruhi terjadinya
korupsi karena pada dasarnya politik sendiri berhubungan dengan kekuasaan. Artinya
siapa pun orang tersebut pasti akan menggunakan berbagai cara, bahkan melakukan
yaitu kekuasaan dan stabilitas politik. korupsi terjadi di setiap ruang serta
penyalahgunaan kekuasaan terus terjadi. Pada kenyataan yang demikian maka ruang
c. Hukum, faktor hukum bisa lihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek peraturan
substansi hukum, mudah ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak
adil; rumusan yang tidak jelas-tegas (non lex certa) sehingga multi tafsir; kontradiksi
dan overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat maupun yang lebih
tinggi). Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang sehingga tidak
tepat sasaran serta dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep yang
berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan
tidak kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak
yakni :
(5) faktor budaya. Jika dikaitkan dengan skema dari Lawrence Friedman
mencakup seluruh sub-sistem hukum, yakni legal substansi, legal struktur, dan
legal culture. Legal substansi, adalah sama dengan faktor hukum dalam kata
penegak hukum.
d. Ekonomi, menurut Indah Sri Utami dan Agus Mulya Karsona (1918 : 29-30) faktor
ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat
ketika tingkat pendapatan ata gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya,
kebutuhan. Secara teori Karl Marx menyatkan secara rinci menjelaskan betapa
e. Organisasi, menurut Tri Karyati dkk (2019 : 24) faktor organisasi memiliki beberapa
aspek yang menyebabkan korupsi, diantaranya yaitu: kultur atau budaya, pimpinan,
akuntabilitas, dan manajemen atau sistem. Sementara itu menurut Indah Sri Utami
dan Agus Mulya Karsona (1918 : 30) oraganisasi dalam arti luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi
atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena
f. Aspek Sosial, menurut Ridwan Arifin Oemara Syarief dan Devanda Prastiyo
(2018:8) Masalah korupsi biasanya dari keluarga. Biasanya itu terjadi karena tuntutan
isteri atau memang keinginan pribadi yang berlebihan. Hal yang menjadikan posisi
jawab atas tindakan korupsi yang dilakukan oleh suami atau kepala rumah tangga.
Karena itu, keluarga sebenarnya ada di dua sisi, yaitu sisi negatif dan sisi positif.
C. Korupsi dalam Berbagai Perspektif Politik, Hukum, Sosial, Budaya, dan Agama
Political corruption atau korupsi politik adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang
yang mempunyai kekuasaan politik, yakni korupsi yang dilakukan oleh presiden, kepala
negara, ketua atau anggota parlemen, dan pejabat tinggi pemerintahan. korupsi politik
merupakan pelanggaran terhadap hak asasi rakyat, secara yuridis kekayaan yang
dikorupsi adalah kekayaan negara. Sedangkan secara umum, korupsi politik mengambil
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang atau kelompok melakukan tindakan
atau praktek korupsi. Penyebab korupsi dalam politik dapat bervariasi, termasuk:
2. Sistem politik yang rentan: Sistem politik yang lemah atau korup dapat
sosial.
menjadi bagian dari budaya politik yang diterima secara luas, sehingga
Korupsi bisa dilakukan oleh siapa saja, terutama para pemangku kepentingan di tanah air
ini. Namun yang paling berbahaya adalah korupsi politik, karena dampaknya selalu
menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka dari itu, kita perlu mengetahui bentuk-
dalam birokrasi publik. Jika berhasil berkuasa kembali, maka pelaku akan
korupsi jenis ini sulit ditelurusi karena beda-beda tipis dengan proses lobi
yang memang dihalalkan dalam politik. Namun ada kata kunci untuk
partainya.
3. Jual-beli Suara : Salah satu kasus korupsi politik yang sering terjadi
adalah jual beli suara saat pemilihan. Cara ini dilakukan oleh politisi atau
mereka. Salah satu jual beli suara yang umum adalah "serangan fajar". Ini
adalah istilah yang digunakan untuk praktik bagi-bagi uang oleh kader
(Bawaslu) adalah memanfaatkan sisa surat suara tak terpakai di TPS untuk
dan diberi kepada kubu yang memesan. Jual beli suara ini dapat
pada tubuh partai politik, ketika para petinggi partai diisi oleh keluarga
prestasi, atau kapabilitas sebagai penentu posisi. Selama dia keluarga atau
kerabat, maka bisa diangkat jadi pemimpin atau dimajukan jadi calon
politik di tubuh partai. Hingga saat ini nepotisme politik masih terjadi di
Indonesia. Kondisi ini ironis, padahal salah satu cita-cita reformasi adalah
Baru.
parpol atau caleg selama kampanye. Masih menjadi perdebatan apakah ini
"tidak ada makan siang gratis" kiranya jadi salah satu jawabannya.
tanpa sebab. Walau mungkin tak ada transaksi secara tertulis, namun ada
utang budi yang mesti dibayar caleg kepada pendonor. Di antara bentuk
Sebagaiman kita ketahui bersama, korupsi saat ini dinyatakan sebagai kejahatan luar
biasa (exstra ordinary) sehingga ada Undang-undang khusus bagi pelaku korupsi yaitu
Undang-undang Anti Tipikor (UU Anti Tindak Pidana Korupsi). Biasanya orang
menyebut pelaku korupsi dengan sebutan “pejabat berkerah putih/pejabat berdasi” jika
pelakunya pejabat dan dilambangkan dengan gambar “tikus yang sedang menggrogoti
oleh para koruptor nasibnya akan sama sepaerti perumpamaan tersebut yaitu hancur
dan rusak tatanan ekonominya. Lagi-lagi rakyat yang menanggung akibatnya karena
hanya rakyatnya yang semakin miskin sedangkan pejabatnya kaya raya sendiri.Semua
ini terjadi karena di negeri yang kaya raya ini, dikenal religius dan mayoritas
beragama Islam, korupsi sudah mendarah daging, berlangsung secara sistemik dan
dilakukan secara berjamaah sehingga sulit diusut. Untuk itu, diperlukan upaya
maksimal, dahsyat dan usaha yang luar biasa untuk memberantasnya. Tidak cukup
hanya dengan membuat UU Anti Tipikor tetapi yang lebih penting adalah
menyegarkan kembali Islam ke lubuk hati umatnya untuk diamalkan dalam praksis
pribadi atau mengatasnamakan keluarga, sadar kandung dan kerabat dekat. Faktor
penegakan hukum yang tegas dapat memberikan celah bagi praktik korupsi.
4. Kultur korupsi: Budaya di mana korupsi dianggap biasa atau diterima secara
5. Sistem insentif yang salah: Insentif yang salah, seperti penghargaan atau
koruptif.
Korupsi merupakan tindakan yang tidak terpuji, karena korupsi ini perilaku untuk
memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompok. Korupsi dalam perspektif hukum
kewenangan.
7. Mark up: Manipulasi harga barang atau jasa yang dibeli atau dijual oleh
tidak sah dana atau aset yang dimiliki oleh pihak lain.
partai politik, biasanya dengan cara yang tidak etis atau ilegal.
Semua bentuk korupsi ini merugikan masyarakat dan melanggar hukum karena
Dalam perspektif sosiologi korupsi, tindakan korupsi dianggap sebagai gejala sosial
yang menjadi masalah sosial di dalam masyarakat karena dengan adanya korupsi
kehidupan di masyarakat menjadi tidak damai dan bila tidak diberantas beberapa aspek
kehidupan didalam masyarakat juga terus terpengaruh. Tindak korupsi dapat dikaji
dengan melihat bagaimana interaksi sosial yang terjalin antara beberapa pihak yang
terlibat di dalam tindak korupsi tersebut serta melihat sebuah kultur atau budaya yang
ada di dalam struktur sebuah institusi. Pelayanan publik pemerintah adalah kegiatan
atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,
publik, salah satu contohnya seperti pencatatan sipil, pembuatan surat izin, mengurus
kartu identitas seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Akte Kelahiran. Pelayanan
publik pemerintah tersebut menjadi salah satu tempat yang sering ditemukan praktik
gratifikasi berlangsung.
Ada beberapa Faktor yangi saling terkait dan dapat saling memperkuat, menciptakan
1. Kultur Korupsi: Budaya di mana korupsi dianggap biasa atau diterima sebagai
mendorong orang untuk mencari cara tidak etis untuk memperoleh kekayaan atau
keuntungan.
keuntungan pribadi.
yang efektif dan sistem hukum yang lemah dapat memberikan celah bagi korupsi
6. Krisis Moral dan Etika: Penurunan nilai moral dan etika dalam masyarakat dapat
7. Tingginya Biaya Hidup: Tingginya biaya hidup dan kesulitan ekonomi dapat
atau posisi untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, yang merugikan
masyarakat secara luas. Ini bisa meliputi penyalahgunaan dana publik, nepotisme, atau
kolusi antara pejabat dan pihak swasta yang mengakibatkan ketidaksetaraan sosial dan
hukum lebih berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat, hukum lebih banyak
tumbuh dari bagian masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang
mendasar di indoneia adalah budaya hukum yang belum berjalan dengan baik.
Kondisi hukum yang sampai saat ini masih maraknya kasus korupsi yang dihadapi.
dengan nilai-nilai dan norma baik itu dari kejujuran, sosial, agama atau hukum.
Korupsi sendiri digolongkan serious crime karena mampu mengganggu hak ekonomi
dan hak sosial masyarakat dan negara dalam skala besar. Munculnya korupsi itu
sendiri dipengaruhi oleh kebutuhan dan permintaan individu dan kolektif dan juga
didukung oleh lingkungan sosial budaya yang mewarisi tradisi korupsi, sehingga tak
khayal pejabat pemerintah pun ikut terlinat dalam tindak pidana ini, sehingga
Korupsi bisa dipengaruhi oleh banyak faktor budaya, termasuk toleransi terhadap
perilaku koruptif, rendahnya kesadaran moral, budaya nepotisme dan patronase, serta
kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pemerintahan. Selain itu,
tekanan sosial untuk berhasil secara materi dan kurangnya hukuman yang tegas
Korupsi dalam perspektif budaya dapat mengambil berbagai bentuk, tergantung pada
nilai dan norma budaya suatu masyarakat. Beberapa bentuk korupsi yang umum
pencurian. Selain itu, ada juga bentuk korupsi yang lebih terselubung seperti
mempertimbangkan kepentingan publik. Seluruh bentuk korupsi ini sering kali terkait
Korupsi dalam perspektif agama sering kali dianggap sebagai tindakan yang sangat
tidak bermoral dan bertentangan dengan ajaran agama. Berbagai agama mengajarkan
nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, dan empati terhadap sesama, sehingga korupsi
agama, korupsi dianggap sebagai tindakan dosa atau pelanggaran terhadap hukum
ilahi. Misalnya, dalam Islam, korupsi dilihat sebagai tindakan yang melanggar
Dalam perspektif agama mengenai korupsi dapat bervariasi tergantung pada agama
yang dipraktikkan. Beberapa faktor yang sering disebut sebagai penyebab korupsi
yang melanggar nilai-nilai moral dan etika. Dalam berbagai agama, praktek korupsi
manipulasi yang merugikan orang lain atau masyarakat secara umum. Praktek korupsi
dianggap sebagai dosa atau pelanggaran terhadap ajaran agama karena merusak
A. Kesimpulan
keuntungan pribadi secara tidak sah. Dari perspektif politik, korupsi mengganggu
pemerintah. Secara hukum, korupsi dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum yang
harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam konteks sosial, korupsi
dapat merusak struktur sosial dan menyebabkan ketidakadilan dalam distribusi sumber
daya. Secara budaya, korupsi dapat menjadi bagian dari praktik yang diterima secara luas
dalam masyarakat tertentu, memperkuat siklus perilaku yang tidak etis. Dari perspektif
agama, korupsi dianggap sebagai pelanggaran moral yang serius karena bertentangan
dengan nilai-nilai etika dan kejujuran yang dianut oleh banyak agama.
B. Saran
Penulis memberikan saran bahwa dalam hal implimentasi suatu strategi yang berkaitan
dengan proses penegakan hukum, masyarakat merupakan subyek hukum yang memiliki
peran cukup besar. Oleh karena itu, dalam memerangi tindak pidana korupsi, masyarakat
mempunyai hak dasar untuk turut serta menjadi bagian dari strategi pemberantasan
korupsi praktik gratifikasi pada layanan publik pemerintah. Strategi pemberantasan juga
harus bebas kepentingan golongan maupun individu, sehingga pada prosesnya tidak ada
keberpihakan yang tidak seimbang. Semua strategi berjalan sesuai dengan aturan yang
berlaku dan objektif. Instrumen strategi pemberantasan lain yang menjadi bagian dari
elemen masyarakat adalah pers. Transparansi dapat difasilitasi dengan baik dengan
adanya dukungan media massa yang memainkan peranannya secara kuat. Dengan adanya
Wibowo, Agus, dkk. 2022. Pengetahuan Dasar Anti Korupsi dan Integritas. Bandung.
Media Sains Indonesia.
Sumaryati. 2019. Pendidikan Anti Korupsi dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat.
Yogyakarta. UAD Pres
Muslimin, Dian, dkk. 2023. Pendidikan Anti Korupsi. Padang Sumatera Barat. PT Global
Eksekutif Teknologi