Anda di halaman 1dari 15

ANCAMAN HUKUMAN KORUPSI BANSOS DI MASA

PANDEMI

Fakultas Hukum 2020


Nama anggota :

1. Noviyanto (2000024001)
2. Bimo Satrio W (2000024002)
3. Ika Nur Kholifah (2000024004)
4. Ita Dewanti (2000024006)
5. Annisa Ayu Pratita (2000024008)
6. Putri Hascaryaningrum (2000024009)
7. Khonsa Khoirunnisa (2000024010)
8. Lu’lu’ul Fuadah (2000024027)
9. Hasna Anabila M (2000024039)
10. Sitti naryah M. Ahad (2000024053)
A. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana korupsi disamping sudah diakui sebagai masalah nasional juga sudah
diakui sebagai masalah internasional. Tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas,
dan dianggap menjadi suatu penyakit yang parah tidak hanya merugikan keuangan negara,
tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat,
menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum, dan memundurkan pembangunan, serta
memudarkan masa depan bangsa. Dalam hubungan itu, korupsi tidak hanya mengandung
pengertian penyalahgunaan kekuasaan ataupun kewenangan yang mengakibatkan kerugian
dan aset negara, tetapi juga setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan depresisasi
nilai publik, baik tidak sengaja ataupun terpaksa.
Korupsi merupakan perbuatan anti sosial yang dikenal di berbagai belahan dunia.
Korupsi akan selalu ada dalam budaya masyarakat yang tidak memisahkan secara tajam
antara hak milik pribadi dan hak milik umum. Korupsi merupakan permasalahan klasik
yang menjadi momok mengerikan dan sulit untuk diselesaikan di berbagai negara,
khususnya Indonesia. Berdasarkan sumber Transparency International tahun 2019,
Indonesia menempati urutan ke-85 dari 180 negara terkorup di dunia. Hal ini dapat dilihat
dari nilai indeks persepsi korupsi. Indeks persepsi korupsi adalah skala dari 0 sampai 100,
dengan 0 mengindikasikan level korup yang tinggi dan 100 untuk level yang rendah. Untuk
Indonesia sendiri memiliki indeks sebesar 40.
Korupsi menjadi satu hal polemik seperti menjadi darah daging atau budaya
masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh masyarakat,
aparat pemerintah maupun penegak hukum di berbagai sektor-sektor penting di Indonesia.
Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya merupakan persoalan dan
penegakan hukum semata, tetapi juga merupakan persoalan sosial dan psikologi sosial
yang sma-sama sangat parahnya dengan persoalan-persoalan hukum, sehingga masalah
tersebut harus dibenahi secara simultan. Alasan mengapa korupsi dianggap merupakan
persoalan sosial karena korupsi telah mengakibatkan hilangnya pemerataan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia. Korupsi pun harus dianggap sebagai persoalan psikologi
sosial, karena merupakan penyakit sosial yang sangat sulit untuk disembuhkan.
Dalam masalah kejahatan jabatan ini, pegawai negeri atau pejabat atau seseorang
yang mempunyai kualitas sebagai pegawai negeri atau pejabat merupakan unsur yang
sangat penting karena merupakan pelaku atau membuat atau subyek dari kejahatan yang
dimaksud. Dari perspektif yuridis, konsepsi korupsi dapat dilihat pada peraturan
perundang-undangan yang ada yakni dalam 13 pasal dalam Undang-Undang No.31 Tahun
1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-Undang Pasal 2 ayat 2.
Saat ini telah banyak tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan atau pengelolaan
dana bantuan yang dilakukanoleh pejabat negara dan pemerintahan. Mengingat
penyelenggaraan atau pengelolaan dana Bansos selalu menyangkut kepentingan umum
dimana dana yang digunakan berasal dari rakyatyang seharusnya dipertanggung jawabkan
secara benar dan harus secara khusus.
B. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere berarti
busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut Transparency
International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai
negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan public yang
dipercayakan kepada mereka
Dalam Kamus Al-Munawwir, term korupsi bisa diartikan meliputi: risywah,
khiyânat, fasâd, ghulû , suht,bâthil. Sedangkan dalam Kamus Al-Bisri kata korupsi
diartikan ke dalam bahasa arab: risywah, ihtilâs, dan fasâd.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi secara harfiah berarti
buruk, rusak, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan padanya, dapat disogok
(melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Adapun arti terminologinya, korupsi
adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk
kepentingan pribadi atau orang lain.
Sementara, disisi lain, korupsi (corrupt, corruptie, corruption) juga bisa bermakna
kebusukan, keburukan, dan kebejatan. Definisi ini didukung oleh Acham yang
mengartikan korupsi sebagai suatu tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat
dengan cara memperoleh keuntungan untuk diri sendiri serta merugikan kepentingan
umum. Intinya, korupsi adalah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan publik atau
pemilik untuk kepentingan pribadi. Sehingga, korupsi menunjukkan fungsi ganda yang
kontradiktif, yaitu memiliki kewenangan yang diberikan publik yang seharusnya untuk
kesejahteraan publik, namun digunakan untuk keuntungan diri sendiri. (AF Munawir dan
Adib Bisri. 1999. Kamus Al-Bisri. Surabaya :Pustaka Progresif )
Korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan dengan penuh perhitungan oleh
mereka yang justru merasa sebagai kaum terdidik dan terpelajar. Korupsi juga bisa
dimungkinkan terjadi pada situasi dimana seseorang memegang suatu jabatan yang
melibatkan pembagian sumber-sumber dana dan memiliki kesempatan untuk
menyalahgunakannya guna kepentingan pribadi. Korupsi sebagai perilaku yang
menyimpang dari tugas formal sebagai pegawai publik untuk mendapatkan keuntungan
finansial atau meningkatkan status. Selain itu, juga bisa diperoleh keuntungan secara
material, emosional, atau pun symbol dampak dan pengaruh dari Korupsi.
C. Dampak dan pengaruh Korupsi
Korupsi menimbulkan masalah sosial serta banyak dampak kerugian bagi negara
ataupun masyarakat secara pribadi dan umum. Akibat perilaku ini antara lain sebagai
berikut.
1. Bidang Ekonomi
Yang paling utama, pembangunan terhadap sektor-sektor publik menjadi
terganggu, dana dari pemerintah yang hampir semua digunakan untuk kepentingan rakyat
seperti fasilitas umum tidak semua di gunakan sebagian dana tersebut digelapkan. Dari
segi investasi, dengan adanya kasus korupsi dalam pemrintahan, para investor tidak akan
tertarik untuk berinvestasikan di indonesia hal ini akan menyebabkan tingginya tingkat
pengganguran dan kesejahteraan rendah.
a. Ketidakseimbangan Finansial Negara
Finansial berasal dari bahasa inggris “finance” yang mengandung arti keuangan.
Finansial merupakan keuangan yang meliputi keluar masuknya dana bagi perorangan
maupun perusahaan bahkan dalam tingkat daerah. Korupsi menyebabkan finansial
suatu negara menjadi tidak seimbang.
Hal ini dikarenakan koruptor (koruptor adalah sebutan pelaku tindak pidana
korupsi) mengambil uang yang sejatinya adalah milik masyarakat, untuk negara, dan
nantinya akan dipergunakan untuk keuangan suatu negara. Apabila keuangan negara
berkurang tanpa transparansi yang jelas, maka sudah dapat dipastikan pengurangan
keuangan negara tersebut disebabkan karena ulah koruptor.
b. Pertumbuhan Ekonomi Terhambat
Korupsi dapat mengakibatkan terhambatnya pembangunan ekonomi dan
tahap perencanaannya.
c. Penghasilan Pajak Negara Berkurang
Pajak merupakan devisa tertinggi negara. Pajak paling rentang terkena
pengurangan dana atau korupsi bagi beberapa oknum pajak. Pajak nantinya
dipergunakan untuk kemajuan pertumbuhan negara. Jika pajak negara berkurang
maka yang terjadi adalah pertumbuhan pembangunan dapat terhambat.
d. Ancaman Inflasi
Inflasi adalah penurunan nilai mata uang suatu negara. Inflasi disebabkan
karena peredaran uang di masyarakat semakin banyak dan tidak terkendali hingga
uang akan berkurang nilai tukarnya.
Korupsi dapat menyebabkan terjadinya inflasi. Sejumlah anggaran yang
dikorupsi beberapa oknum tindak pidana korupsi dibelanjakan di masyarakat.
Karena jumlahnya sangat banyak maka nilai uang dapat berkurang pada kasus
tersebut.
e. Penurunan Kualitas Barang dan Jasa
Penurunan kualitas barang dan jasa adalah salah satu contoh dampak
korupsi di masyarakat. Contoh penurunan barang dan jasa dapat kita simak pada
penjelasan kasus korupsi menteri sosial diatas. Dalam kasus lain dicontohkan
bahwa penurunan kualitas barang dan jasa sebagai dampak dari terjadinya korupsi
adalah menurunnya kualitas bahan pangan bagi masyarakat indonesia dan
menurunnya pelayanan transportasi.
Contohnya beras adalah makanan pokok masyarakat Indonesia karena beras
adalah asal muasal nasi. Pemerintah mengeluarkan anggaran yang mana anggaran
tersebut nantinya diperuntukan alokasinya untuk menyukupkan persediaan beras
warganya.
Jika angaran beras dikorupsi maka kualitas beras akan menurun dan yang
terjadi adalah persebaran beras di masyarakat kualitasnya tidak sesuai dengan
yang diharapkan.
Kualitas penurunan transportasi juga merupakan dampak dari terjadinya
korupsi. Transportasi merupakan alat yang digunakan sebagai mobilitas
(perpindahan) penduduk dari satu tempat ke tempat lain. Pemerintah juga
menyediakan anggaran transportasi yang berguna untuk subsidi masyarakat agar
diringankan dalam pengeluarannya untuk biaya transportasi.
Jika dana yang dialokasikan untuk transportasi terkena korupsi dari suatu
oknum maka yang terjadi adalah menurunnya kualitas transportasi yang dapat
berakibat lebih jauh lagi seperti kecelakaan, mogok, dan lain sebagainya.
f. Meningkatnya Utang Negara
Korupsi dapat mengakibatkan meningkatnya utang suatu negara. Utang
negara terjadi karena negara tidak dapat mengeluarkan sejumlah sanggaran untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat umum. Maka negara harus mau tidak mau
melakukan pinjaman ke negara lain hingga terjadilah gali lubang tutup lubang.
Pinjaman kepada negara lain menggunakan mata uang internasional yaitu
dollar Amerika. Hukum ekonomi adalah dimana permintaan bertambah maka
harga akan naik. Semakin sering negara melakukan pinjaman ke negara lain maka
semakin naik nilai tukar dollar Amerika terhadap rupiah.
Kenaikan nilai tukar dollar Amerika terhadap mata uang Indonesia yaitu
rupiah dapat mengakibatkan kenaikan harga sejumlah barang impor. Maka,
korupsi harus ditekan supaya kenaikan harga barang tidak semakin terjadi.
2. Bidang Lingkungan Sosial dan Kemasyarakatan
Adapun dampak yang diciptakan dari adanya korupsi untuk bidang lingkungan
sosial yang berhubungan dengan masyarakat ini, antara lain sebagai berikut;

a. Mengganggu Stabilitas Umum


Stabilitas umum dapat terganggu karena dampak korupsi. Dapat kita jumpai
bahwa sekelompok massa melakukan demonstrasi agar pelaku tindak pidana
korupsi dihukum dengan hukuman yang paling berat. Disini stabilitas umum
sudah dapat dikatakan terganggu.
b. Mencoreng Nama Baik Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Tercorengnya nama baik tindak pidana pelaku korupsi adalah hal yang
utama terjadi pada dampak korupsi di masyarakat.
Contoh dalam kasus ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) telah menangkap
dan menetapkan tersangka terhadap Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara
terkait kasus korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 di
Kementerian Sosial tahun 2020. Kasus suap ini diawali adanya pengadaan
bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako untuk warga miskin dengan
nilai sekitar 5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan dua
periode. Perusahaan rekanan yang jadi vendor pengadaan bansos diduga
menyuap pejabat Kementerian Sosial lewat skema fee Rp 10.000 dari setiap
paket sembako yang nilainya Rp 300.000. Penangkapan Juliari Batubara sangat
mengejutkan publik, mengingat politisi partai banteng tersebut merupakan
pejabat negara tertinggi di Kementerian Sosial yang dipilih Presiden Joko
Widodo dari unsur partai pengusungnya. membuat menteri sosial tersebut
tercoreng nama baiknya dan mendapatkan hukuman yang setimpal.(
https://dosensosiologi.com/dampak-korupsi/ )

c. Kemiskinan Bertambah
Korupsi dapat menyebabkan berbagai jenis kemiskinan di masyarakat. Korupsi
memicu terjadinya inflasi, kenaikan harga barang, dan penurunan kualitas barang
dan jasa. Ketiga indikator tersebut menjadi faktor pendorong kemiskinan yang
terjadi di masyarakat Indonesia.
d. Terbatasnya Akses
Terbatasnya akses yang dimaksud dalam hal ini adalah dampak korupsi
bagi masyarakat adalah membatasi akses pelaku tindak pidana korupsi.
Selain tersangka kasus tindak pidana korupsi mendapatkan pencorengan
nama baik, pelaku oknum tindak pidana korupsi juga mendapatkan terbatasnya
akses seperti tidak dapat mencalonkan sebagai pemimpin lagi, ditolak oleh
masyarakat, dan lain sebagainya.
3. Bidang Kesehatan
Permasalahan lainnya yang terjadi akibat korupsi dalam kesehatan terjadi lantaran
alokasi dana yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak terpat sasaran. Berikut akibatnya;
a. Banyaknya Penyakit yang Sulit Tertangani
Penyakit menjadi salah satu masalah sosial yang kerapkali ditemukan dalam ciri
negara berkembang, termasuk Indonesia.
Jika korupsi dalam bidang kesehatan di biarakan tentu saja hal ini
mengakibatnya sulitnya permasalahan terhadap penyekit teratasi, dalam
konteksnya untuk sekarang ini ialah permasalahan Virus Covid 19 yang sangat
sulit ditengai pemerintah, karena beberapa alokasi dana untuk tenaga kesehatan
kurang di maksimalkan.
b. Fasiltas yang Dibedakan
Permasalahan lainnya akibat dari adanya korupsi dalam bidang kesehatan
adalah terkait fasilitas pemerintahan yang tidak menyamaratakan, semua itu
terjadi karena sesuai keinginan kemampuan seseorang dalam membayar.
Misalnya saja penanganan terhadap si miskin pasti akan berbeda dengan orang
yang lebih kaya.

4. Bidang Hukum dan Pemerintahan


Akibat adanya tindakan korupsi yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam
memperkaya diri ini tentusaja mempengaruhi jalannya proses hukum serta roda
pemerintahan. Dalam hal ini misalnya saja terwujud atas;
a. Kepercayaan Masyarakat pada Pemerintahan
Kepercayaan menjadi sangat penting dalam menjalankan sistem pemerintahan
suatu negara, jika korupsi terjadi tentusaja hal ini memicu banyaknya masyarakat kurang
begitu yakin dengan kebijakan pemerintah. Dalam hal ini misalnya saja ketika adanya
DPR sebagai fungsi lembaga legistatif banyak masyarakat yang mengkalim bahwa
menjadi DPR adalah sarana untuk korupsi.
b. Money Politik yang Tinggi
Akibat adanya korupsi juga mendorong terjadinya politik uang, artinya
masyarakat mengaggap biasa pelangggaran yang dilakukan tersebut. Sehingga sangat
sulit bagi masyarakat memilih pimpinan yang dianggapnya mampu dalam mengambil
kebijakan, semua hanya berdasarkan uang.
c. Hukum yang Tidak Adil
Penegak hukum dalam menjalankan tugasnya kadangkala ketika adanya orang
yang korupsi dengan status dan jabatan yang tinggi kurang kooperatif malah kadang
dinilai menguntungkan.
Dalam hal ini misalnya saja dalam sistem penjalankan hukuman di penjara orang-
orang korupsi mendapatkan fasilitas kamar yang berbeda daripada masyakat
biasanya. Atas tindakan ini pula negara yang tersangkut korupsi dinilai lemah hukum.
5. Dampak korupsi terhadap lingkungan

Praktik korupsi menyebabkan sumber daya alam di negeri ini semakin


tidak terkendali, eksploitasi secara besar-besaran tanpa memperhitungkan daya
dukung lingkungannya menyebabkan merosotnya kondisi lingkungannya hidup
yang sangat parah bahkan di beberapa tempat sudah melebihi batas sehingga
menyebabkan terjadinya bencana ekologis yang berdampak pada lemahnya
kemampuan warga dalam memenuhi kebutuhan dasar. (Dewantara, A. (2017).
Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.)
D. Ancaman Hukuman Bagi Koruptor
Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor). Aturan baru ini diharapkan memberi efek jera bagi koruptor.
Pedoman pemindanaan Tipikor :
1. Kategori kerugian keuangan negara
2. Tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan
3. Rentang penjatuhan pidana
4. Keadaan yang memberatkan atau meringankan
5. Penjatuhan pidana
6. Ketentuan lain terkait penjatuhan pidana
Kategori Kerugian Keuangan Negara
1. > Rp. 100 Miliar => Paling berat
2. > Rp. 25 Miliar – Rp. 100 Miliar => Berat
3. > Rp. 1 Miliar – Rp. 25 Miliar => Sedang
4. > Rp. 200 Juta – Rp. 1 Miliar => Ringan
5. > Rp. 200 Juta => Paling Ringan

Tindak pidana korupsi sendiri tidak didefinisikan secara terminologis dalam ketentuan
umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (“UU Tipikor”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
  Namun pada beberapa pasal yang tertuang dalam BAB II UU Tipikor tentang Tindak
Pidana Korupsi dijelaskan beberapa jenis korupsi secara normatif. Dari beberapa ketentuan di
dalamnya, dapat secara bebas dirumuskan sebuah definisi, di mana korupsi merupakan
perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukannya, yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
 Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).”
 Lebih lanjut, Pasal 3 UU Tipikor menyebutkan:
“ Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah). “
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016 kemudian memberikan
catatan bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
 Denda dan Perampasan Harta Koruptor
Korupsi merupakan bagian dari perbuatan pidana yang secara lex specialis (khusus)
diatur dalam UU Tipikor dan perubahannya. Perlu diketahui bahwa setiap benda baik bergerak
maupun tidak bergerak, berwujud ataupun tidak berwujud, sepanjang itu berhubungan dengan
hasil tindak pidana maka akan disita oleh negara.
Penyitaan terhadap suatu benda dapat dilakukan jika benda tersebut memenuhi
ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, yang berbunyi:
Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh
dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Dalam putusan pengadilan, dikenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok yang berupa penjara,
dan/atau denda, juga pidana tambahan, yaitu pembayaran uang pengganti. Uang pengganti
merupakan upaya yang sangat penting dalam mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan
dari tindak pidana korupsi. Jumlah kerugian negara bisa menjadi salah satu pertimbangan hakim
dalam menjatuhan pidana denda dan/atau penjara beserta pidana tambahan melalui putusannya.
Ketentuan mengenai pidana tambahan atas tindak pidana korupsi sendiri diatur dalam Pasal
18 ayat (1) UU Tipikor:
Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
sebagai pidana tambahan adalah:
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari
barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada
terpidana.

Jika terpidana tidak membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan sesudah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya
dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Namun penyelesaian tunggakan uang pengganti dapat dilakukan dengan
penyitaan dan pelelangan harta benda terpidana atau melalui tuntutan subsider
pidana penjara, atau hukuman badan. Hal ini diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UU
Tipikor. (https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5dc22f5834ba6/
penjatuhan-pidana-denda-bagi-koruptor/ )

Sanksi Pidana bagi Pelaku Korupsi Menurut Pasal 5 UU No 20 Tahun 2001 :


Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya atau ;
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.
Pasal 6 UU No 20 Tahun 2001 :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau
b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan
maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Pasal 12 B UU No 20 Tahun 2001 :
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatan nya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Di Indonesia sendiri tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Meski korupsi sudah menjamur, namun hukuman yang diterapkan Indonesia untuk para koruptor
tidaklah sebanding dengan kejahatan yang telah dilakukan.
Maksimal hanya 20 tahun penjara, itu pun sedikit sekali yang diterapkan hingga akhir. Banyak
juga yang hanya didakwa dua atau tiga tahun saja. Selain itu, atas nama kelakuan baik dan
berbagai remisi, hukuman yang tadinya 15 tahun bisa berakhir dengan 4 tahun saja.

Di penjara pun hidupnya tidak melulu menderita. Ada yang ruang penjaranya seperti hotel, atau
narapidana itu sendiri masih bisa pelesiran seperti Gayus Tambunan. Dengan hukuman yang tak
menimbulkan efek jera, tak heran korupsi di Indonesia sulit untuk diberantas.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Pasal 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan

Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

Pasal 4

Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan


dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

Pasal 5

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah).

Pasal 6

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 7

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 atau
Pasal 388 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah).

Pasal 8

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 9

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).

Pasal 10

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta
rupiah). (https://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/uu311999.pdf)
E. Kesimpulan

1. Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin banyak terjadi dan memberikan dampak bagi
rakyat. Rakyat harus menanggung akibat dari tindak pidana korupsi. Pemiskinan koruptor
dianggap sebagai terobosan baru dalam menindak kasus tindak pidana korupsi. Konsep
pemiskinan koruptor dapat dijalankan dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan
penggantian kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi. Konsep pemiskinan
koruptor ini dinilai mampu memberikan efek jera sekaligus sebagai bentuk mengurangi tindak
pidana korupsi.
2. Pemiskinan koruptor di Indonesia belum dilaksanakan secara tegas. Para penegak hukum yang
dalam penelitian ini yaitu jaksa dan hakim tidak menjalankan sanksi pidana pemiskinan koruptor
dalam memberantas tindak pidana korupsi. Jaksa dalam menjatuhkan tuntutan pidana berpegang
teguh pada undang-undang begitu juga dengan hakim tipikor dalam menjatuhkan vonis
berpegang teguh pada undang-undang. Pelaksanaan sanksi pidana pemiskinan koruptor hanya
dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang besarnya disesuaikan dengan kerugian
keuangan negara. Hal tersebut tidak dapat dikatakan memiskinkan koruptor karena hanya aset
yang berasal dari tindak pidana korupsi saja yang dirampas dan belum tentu si koruptor akan
menjadi miskin. Pemiskinan koruptor dilakukan dengan 69 perampasan seluruh benda-benda
yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi dan/atau dengan pembayaran uang pengganti
yang jumlahnya sesuai dengan kerugian keuangan negara yang diambil dan yang timbul dari
tindak pidana korupsi. Pemiskinan koruptor belum menjadi suatu terobosan hukum bagi penegak
hukum di Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

AF Munawir dan Adib Bisri. 1999. Kamus Al-Bisri. Surabaya :Pustaka Progresif.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1995. Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Jakarta Balai Pustaka,
Munawir Warson Ahmad, 1984, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Yogyakarta,
Salama Nadiatus, 2010.Fenomena Korupsi Indonesia (Kajian Mengenai Motif dan
Proses Terjadinya Korupsi), Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang,
Shoim Muhammad. 2009.Laporan Penelitian Individual (Pengaruh Pelayanan Publik
Terhadap Tingkat Korupsi pada Lembaga Peradilan di Kota Semarang), Pusat
Penelitian IAIN Walisongo Semarang,
https://osf.io/58r3d/download/?format=pdf
https://money.kompas.com/read/2020/12/07/071138726/jadi-tersangka-korupsi-bansos-
berapa-gaji-menteri-juliari-batubara?page=all
https://dosensosiologi.com/dampak-korupsi/
https://www.antaranews.com/infografik/1651938/ancaman-hukuman-baru-bagi-koruptor
https://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/uu311999.pdf
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201207091312-12-578758/korupsi-bansos-
corona-dan-ancaman-hukuman-mati-dari-kpk
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5dc22f5834ba6/penjatuhan-pidana-
denda-bagi-koruptor/

Anda mungkin juga menyukai