Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI


UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI

Oleh:
RISKY YANUARI WAHYUNI
052201080

PROGRAM STUDI S1 FARMASI TRANSFER


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
SEMARANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ramai di perbincangkan, baik di media massa
maupun maupun media cetak. Tindak korupsi ini mayoritas dilakukan oleh para pejabat
tinggi negara yang sesungguhnya dipercaya oleh masyarakat luas untuk memajukan
kesejahteraan rakyat sekarang malah merugikan negara. Hal ini tentu saja sangat
memprihatinkan bagi kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang
terbukti melekukan tindak korupsi. Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis,
bukan hanya membudaya tetapi sudah membudidaya. Pengalaman pemberantasan korupsi di
Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi terutama
terhadap pengadilan koruptor kelas kakap dibanding koruptor kelas teri.
Beragam lembaga, produk hukum, reformasi birokrasi, dan sinkronisasi telah
dilakukan, akan tetapi hal itu belum juga dapat menggeser kasta pemberantasan korupsi.
Seandainya saja kita sadar, pemberantasan korupsi meski sudah pada tahun keenam perayaan
hari antikorupsi ternyata masih jalan ditempat dan berkutat pada tingkat “kuantitas”.
Keberadaan lembaga-lembaga yang mengurus korupsi belum memiliki dampak yang
menakutkan bagi para koruptor, bahkan hal tersebut turut disempurnakan dengan pemihakan-
pemihakan yang tidak jelas.
Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai
persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena
korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan (konteks) politik,
ekonomi, dan sosial-budaya. Berbagai upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu
mengikis habis kejahatan korupsi. Karena dalam masalah pembuktian dalam tindak pidana
korupsi memang merupakan masalah yang rumit, karena pelaku tindak pidana korupsi ini
melakukan kejahatannya dengan rapi. Sulitnya pembuktian dalam perkara korupsi ini
merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum untuk tetap konsisten dengan penuh
rasa tanggung jawab.
Korupsi sangat berkaitan dengan kesadaran, kesadaran akan hukum tiap-tiap orang
tentu saja berbeda. Tetapi bila dilihat dari banyaknya kasus korupsi yang ada, bisa
disimpulkan bahwa kesadaran hukum warga Indonesia cukup rendah. Perlu adanya
penanaman kesadaran serta nilai-nilai positif lain sejak dini, agar generasi muda nantinya
akan mampu membawa bangsa Indonesia menjadi lebih baik.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi?
2. Apa saja peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi?
3. Apa saja peran serta mayarakat dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia?
4. Apa saja upaya – upaya yang harus di lakukan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
2. Untuk mengetahui peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi.
3. Untuk mengetahui peran serta mayarakat dalam upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia.
4. Untuk mengetahui upaya – upaya yang harus di lakukan dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI KORUPSI
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah
perilaku pejabat publik, baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak
wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Kemudian Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption (1998)
mendefinisikan korupsi sebagai "tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi
sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi
(perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau untuk melanggar aturan-aturan
pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi". Menurut Komberly Ann
Elliott dalam Corruption and The Global Economy menyajikan definisi korupsi,
yaitu "menyalahgunakan jabatan pemerintahan untuk keuntungan pribadi".
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-
unsur sebagai berikut:
1.      perbuatan melawan hukum;
2.      penyalahgunaan kewenangan kesempatan, atau sarana;
3.      memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
4.      merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
1.      memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
2.      penggelapan dalam jabatan;
3.      pemerasan dalam jabatan;
4.      ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara);
5.      menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara).

B. PERMASALAHAN KORUPSI DI INDONESIA


Sebagai suatu kejahatan luar biasa, korupsi memiliki banyak wajah. Dalam sektor
produksi, korupsi ada dari hulu sampai hilir, dari anak-anak sekolah sampai presiden, dari
konglomerat sampai tokoh Agama. Kwik Kian Gie, Ketua Bappenas, menyebut lebih dari
300 Triliun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil
sumber daya alam, menguap ke kantong para koruptor. Korupsi bisa diiringi dengan kolusi,
membuat keputusan yang diambil oleh pejabat Negara menjadi titik optimal. Heboh
privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU energi, juga
RUU SDA, import gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak kebijakan yang
sangat kolutif karena di belakangnya ada motivasi korupsi. Bentuk korupsi terhadap uang
Negara tidak hanya terhadap utang luar Negeri. Namun, juga utang domestik dalam bentuk
obligasi rekap bank-bank sebesar 650 Triliun. Skandal BLBI yang tak kunjung usai
setidaknya menunjukkan terjadinya korupsi tingkat tinggi di kalangan pejabat keuangan,
konglomerat serta banker.
Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak
dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara
mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya
menjadi krisis multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru
menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi &
Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara
yang Bersih & Bebas dari KKN.
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada
tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara
ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1.      Kerugian keuntungan Negara
2.      Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3.      Penggelapan dalam jabatan
4.      Pemerasan
5.      Perbuatan curang
6.      Benturan kepentingan dalam pengadaan
7.      Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).
Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang contohnya Indonesia
ialah:
1.      Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada
lembaga-lembaga politik yang ada.
2.      Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya “ok-num”
lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial, keaga-maan, kedaerahan,
kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.
3.      Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di
antara mereka yang tidak mampu.
4.      Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih
“kepentingan rakyat”.
Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :
1.      Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering beru-bah-ubah
sesuai dengan kepentingan politik saat itu.
2.      Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepenting-an
umum.
3.      Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba mencari
keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
4.      Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta dan
kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korup.
5.      Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil
yang mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok masyarakat besar
(rakyat).
6.      Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor di bidang
politik dan ekonomi-bisnis.
7.      Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin meningkatnya ja-batan dan
hirarki politik kekuasaan.

C. UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI


Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah di
keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi sedunia oleh PBB
pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan
instruksi Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang
menginstruksikan secara khusus Kepada Jalsa Agung Dan kapolri:
1.      Mengoptimalkan upaya – upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
untuk menghukum pelaku dan menelamatkan uang negara.
2.      Mencegan & memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yg di
lakukan oleh jaksa (Penuntut Umum)/ Anggota polri dalam rangka penegakan hukum.
3.      Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain denagan
BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan hukum dan
pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi
Kebijakan selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan
Korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Langkag – langkah pencegahan dalam RAN-PK di
prioritaskan pada :
1.      Mendesain ulang layanan publik .
2.      Memperkuat transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah yg
berhubungan Ekonomi dan sumber daya manusia.
3.      Meningkatkan pemberdayaan pangkat – pangkat pendukung dalam pencegahan korupsi.
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu Negara ingin mencapai
tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi
subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang
mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu
ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada beberapa upaya penanggulangan
korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan
pandangan.
Menurut pendapat H. Ismail Susanto, terdapat enam langkah yang harus dilakukan agar
korupsi tidak hilang dan tidak dilakukan oleh masyarakat. Didalam sebuah essay-nya yang
dimuat di Harian Republika mengatakan bahwa berdasarkan kajian terhadap berbagai
sumber, didapatkan sejumlah cara sebagaimana ditunjukkan oleh Syariat Islam. Pertama,
sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan
itu sulit berjalan dengan baik apabila gaji mereka tidak mencukupi, karena para birokrat juga
manusia biasa. Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan
kepada aparatur pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa seseorang
memberikan sesuatu kalau tidak ada maksud tertentu. Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang
yang melakukan korupsi tentu kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu
orang yang cepat kaya itu melakukan tindakan korupsi. Bisa saja dia mendapatkan kekayaan
itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau dengan cara lain yang halal. Keempat, teladan
pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan bisa dilakukan jika para pemimpin, terlebih
pemimpin tertinggi, dalam sebuah Negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang
pemimpin melakukan tugasnya dangan penuh amanah. Kelima, hukuman yang setimpal.
Pada dasarnya, orang akan takut menerima resiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk
bila ditetapkan hukuman setimpal bagi para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah, hukuman
setimpal atas koruptor membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Keenam,
Pengawasan Masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan
korupsi. Dari point-point tersebut dapat dieksplisitkan bahwa pemberantasan korupsi harus
melibatkan semua pilar masyarakat. Pilar masyarakat adalah manusia (individu), budaya
(yaitu berupa persepsi baik pemikiran maupun perasaan kolektif), dan sistem aturan yang
berlaku. Karena itu, korupsi akan lebih efektif diberantas bila pada tiga pilar tersebut
dilakukan langkah-langkah yang terpadu.
Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-
upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain.
KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas
korupsi, merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para
pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
1.      Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
2.      Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan mewujudkan good
governance.
3.      Membangun kepercayaan masyarakat.
4.      Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
5.      Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.
Adapun bentuk – bentuk peran serta mayarakat dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi menurut UU No. 31 tahun 1999 antara lain adalah SBB :
1.      Hak Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana
korupsi
2.      Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
adanya dugaan telah tindak pidana korupsi kepada penegak hukum
3.      Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kpada penegak hukum
yang menangani perkara tindak pidana korupsi
4.      Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yg di berikan kepada penegak
hukum waktu paling lama 30 hari
5.      Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
6.      Penghargaan pemerintah kepada mayarakat
Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya
pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan
perlu ditinjau dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical
problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi.
Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial dengan bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi Nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan Nasional.
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak
korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah
Kementerian beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan
berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan Pegawai Negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi
pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi,
dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan
pengenaan pajak yang tinggi.
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di
Indone-sia,, antara lain sebagai berikut :
1.      Upaya Pencegahan (Preventif)
a)      Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada
bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
b)      Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
c)      Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung
jawab yang tinggi.
d)     Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua.
e)      Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
f)       Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi
dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
g)      Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
h)      Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan mela-lui
penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.
2.      Upaya Penindakan (Kuratif):
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan dibe-
rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa contoh
penindakan yang dilakukan oleh KPK :
a)      Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik
Pemda NAD (2004).
b)      Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan
pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c)      Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta
(2004).
d)     Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuang-an
negara Rp 10 milyar lebih (2004).
e)      Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari
BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
f)       Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
g)      Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
h)      Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
i)        Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus korupsi
Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar (2004).
j)        Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
3.      Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:
a)      Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait
dengan kepentingan publik.
b)      Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c)      Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke
tingkat pusat/nasional.
d)     Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-rintahan
negara dan aspek-aspek hukumnya.
e)      Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap
pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas
4.      Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat):
a)      Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang meng-awasi
dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari sekumpulan
orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi me-lalui usaha pemberdayaan
rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW la-hir di Jakarta pd tgl 21 Juni 1998 di
tengah-tengah gerakan reformasi yang meng-hendaki pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas
korupsi.
b)      Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan
memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba sekarang
menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang demokratik.
Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia
yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta
sebagai kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam.
Sedangkan survei TI pada 2005, Indonesia berada di posisi keenam negara terkorup di dunia.
IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan
Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan,
Angola, Nigeria, Haiti & Myanmar. Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-
orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-
kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi negara dengan birokrasi
sebagai perangkat pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya delik-
delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia masih begitu
rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum menurut
kepentingannya. Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk menangani tindak pidana
korupsi yang sudah diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu
bebas dari hukuman. Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, upaya
pemberantasan korupsi dapat dipastikan gagal.
Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menjadi “jalan tak ada ujung”,
melainkan “jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya untuk mengatasi
persoalan korupsi dapat ditinjau dari struktur atau sistem sosial, dari segi yuridis, maupun
segi etika atau akhlak manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Syed Hussein. 1986. Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data
Kontemporer. Jakarta: LP3ES.

Andi, H. 1984. Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: Gramedia.

Andi, H. 2007. KORUPSI Melalui Pemberantasan Hukum Pidana Nasional dan


Internasional. Jakarta: Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada.

Baharudin, L. 2001. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.

Bambang, W. 2004. JENTERA Jurnal Hukum. Jakarta.

Chaerudin, Syaiful, A. D., Syarif, F. 2008. Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum
Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Refika Aditama.

Ermansjah, D. 2008. Memberantas Korupsi bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika.

Evi, H. 2007. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami untuk Membasmi. Jakarta.

Leden, M. 2007, Tindak Pidana Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahan. Jakarta:


Djambatan.

Lilik, M. 2000. Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan,
Penuntutan, Peradilan serta Upaya Hukumnya menurut Undang –Undang No. 31
Tahun 1999). Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Anda mungkin juga menyukai