PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Masalah Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang sangat parah dan
begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke
tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara maupun
dari segi kualitas yang semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah meluas dalam
seluruh aspek masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada
kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Maraknya kasus tindak pidana korupsi di
Indonesia, tidak lagi mengenal batas-batas siapa, mengapa, dan bagaimana. Tidak hanya
pemangku jabatan dan kepentingan saja yang melakukan tindak pidana korupsi, baik di sektor
publik maupun privat, tetapi tindak pidana korupsi sudah menjadi suatu
fenomena.Penyelenggaraan negara yang bersih menjadi penting dan sangat diperlukan untuk
menghindari praktek-praktek korupsi yang tidak saja melibatkan pejabat bersangkutan,tetapi
juga oleh keluarga dan kroninya, yang apabiladibiarkan,maka rakyat Indonesia akan berada
dalam posisi yang sangat dirugikan. Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya menyebutkan bahwa
tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara
negara, melainkan juga penyelenggara negara dengan pihak lain
2 seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara.1Tindak
pidana korupsi merupakan perbuatan yang bukan saja dapat merugikan keuangan negara akan
tetapi juga dapat menimbulkan kerugian-kerugian pada perekonomian rakyat. Barda Nawawi
Arief berpendapat bahwa, tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela,
terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian besar masyarakat; tidak hanyaoleh masyarakat dan
bangsa Indonesia tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia.2Perkembangan korupsi
di Indonesia masih tergolong tinggi, sedangkanpemberantasannya masih sangat lamban. Romli
Atmasasmitamenyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang
menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan sejak tahun 1960-an langkah-langkah
pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai sekarang. Selanjutnya, dikatakanbahwa
korupsi berkaitan pula dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat
menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kroninya.
1
3 Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa
melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Hal ini dikarenakan,
metode konvensional yang selama 1Nyoman Serikat Putra Jaya. 2005. Tindak Pidana Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme di Indonesia.Semarang: Badan Penerbit Undip. Hal.22Muladi dan Barda
Nawawi Arief.1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Hal. 133 3Romli
Atmasasmita. 2004. Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek
Internasional.Bandung: Mandar Maju. Hal.ini yang digunakan,terbukti tidak bisa
menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat. Dengan demikian,dalam
penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar biasa (extra-ordinary).Sementara
itu, penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa kondisi,
yakni masih lemahnya upaya penegakkan hukum tindak pidana korupsi, kualitas SDM aparat
penegak hukum yang masih rendah, lemahnya koordinasi penegakkan hukum tindak pidana
korupsi, serta masih sering terjadinya tindak pidana korupsi dalam penanganan kasus
korupsi.Pada era reformasi sekarang ini, terwujudnya good governanceantara lain harus
didukung dengan penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Hal iniselaras dengan
tujuan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Selanjutnya,beberapa
peraturan perundang-undangandibentuk dalam upaya memberantas korupsi tersebut,
yaitu:Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya,Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsidan Undang Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
PidanaKorupsi.Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, karena dapat
merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. Namun demikian, pada
4 kenyataannya, penjatuhan hukuman kepada pelakunyasangat ringan dibanding dengan
ancaman pidananya, sehingga menimbulkan anggapan bahwa meningkatnya kejahatan
dikarenakanpara Hakim memberikan hukuman ringan atas pelaku koruptor. Oleh karena itu,
sebaiknyatindakan yang diambil pengadilan merupakan “ultimum remedium” terhadap
pelanggar/pelaku kejahatan khususnya korupsi
2
II. Rumusan masalah
1. Apa itu korupsi?
2. Apa saja ciri dan jenis korupsi?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi adanya tindakan korupsi?
4. Apa dampak korupsi terhadap kerusakan lingkungan?
III. Tujuan
1. Agar mahasiswa mengetahui apa itu korupsi
2. Agar mahasiswa mengetahui ciri dan jenis korupsi
3. Agar mahasiswa mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adanya tindakan
korupsi
4. Agar mahasiswa mengetahui dampak korupsi terhadap kerusakan lingkungan
3
BAB II
Pembahasan
Kata korupsi berasal dari kata corruptio ( fockema Andrea,1951) atau corruptu
( Webster student dictionary 1960). Selanjutnya disebutkan pula bahwa corruptio berasal dari
corrumpere satu kata dari bahsa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin tersebut kemudian
dikenal istilah corruptio, corrupr( inggris). Indonesia kemudian memungut lata ini menjadi
korupsi.
Arti kata korupsi secara harfiah adalah sesuatu yang busuk,jahat, dan
merusakkan (Dikti,2011). Dalam kamus besar bahasa indonesia edisi empat, korupsi
didefinisikan lebih spesifik lagi yaitu penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara
(perusahaan, organisasi, yayasan, dsb.) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi
diturunkan dari kata korup yang bermakna 1) buruk; rusak; busuk; 2) suka memakai barang
(uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk
kepentingan pribadi). Selain itu, ada kata koruptif yang bermakna bersifat korupsi dan
pelakunya disebut koruptor.
Syed Hussein Alatas menyebutkan adanya benang merah yang menjelujur dalam
aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan
pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, diikuti
dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan kemasabodohan yang luar biasa akan
4
akibat yang diderita oleh masyarakat.
5
Pemberi dan penerima suap pada dasarnya bertujuan mengambil keuntungan bersama.
7. Terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti
dan mereka yang dapat memengaruhinya. Pemberian suap pada kasus yang melibatkan
petinggi Makamah Konstitusi bertujuan memengaruhi keputusanny
8. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk pengesahan hukum.
Adanya upaya melemahkan lembaga pemberantasan korupsi melalui produk hukum yang
dihasilkan suatu negara atas inisiatif oknum-oknum tertentu di pemerintahan.
Beberapa istilah yang perlu dipahami terkait dengan jenis-jenis korupsi yaitu adanya
pemahaman tentang pengertian korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Istilah KKN ini
sempat populer menjelang jatuhnya rezim Orde Baru.
a. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang dikategorikan
melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
b. Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara
tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang
atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Kolusi dapat
didefinisikan sebagai pemufakatan secara bersama untuk melawan hukum antar
penyelenggara negara atau antara penyelenggara dan pihak lain yang merugikan orang lain,
masyarakat, dan negara
c. Nepotisme yaitu setiap perbuatan penyelenggaraan negara secara melawan hukum yang
menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat,
negara, dan bangsa. Dalam istilah lain nepotisme adalah tindakan yang hanya
menguntungkan sanak saudara atau teman-teman sendiri, terutama dalam pemerintahan
walaupun objek yang diuntungkan tidak berkompeten.
6
Dalam suatu delik tindak pidana korupsi selalu adanya pelaku. Pelaku tindak pidana
korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah setiap orang dalam
pengertian berikut:
b. korporasi: kumpulan orang atau kekayaan yang berorganisasi, baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum;
c. pegawai negeri:
Beberapa ahli mengidentifikasi jenis korupsi, di antaranya Syed Hussein Alatas yang
mengemukakan bahwa berdasarkan tipenya korupsi dikelompokkan menjadi tujuh jenis
korupsi sebagai berikut.
1. Korupsi transaktif (transactive corruption)
yaitu menunjukkan kepada adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pembeli
dan pihak penerima, demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan
tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption)
adalah jenis korupsi di mana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah
kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau orang-orang dan hal-hal
yang dihargainya.
3. Korupsi investif (investive corruption)
7
adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dari keuntungan
tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang.
4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption)
adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk
memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang
mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka, secara
bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
5. Korupsi defensif (defensive corruption)
adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan, korupsinya adalah dalam rangka
mempertahankan diri.
yaitu korupsi tidak secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam
bentuk lain.
8
berdasarkan perjanjian dengan negara.”
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, mengemukakan keuangan negara
meliputi:
a. semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang;
b. segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban;
c. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
Contoh kasus:
a. Seorang pegawai negeri mengikuti tugas belajar dan dibiayai oleh pemerintah, setelah
selesai tugas belajar ia mangkir dari ikatan dinas dan bekerja di sektor swasta dengan
memanfaatkan ijazah hasil belajarnya.
b. Seorang mahasiwa yang mengikuti pendidikan kedinasan dan dibiayai oleh negara, tetapi
kemudian yang bersangkutan drop out serta tidak mengembalikan uang yang dipakai selama
pendidikan.
c. Suatu proyek pembangunan gedung pekerjaan sudah dilakukan oleh penyedia 90%,
ternyata dibayarkan sebesar 100%.
d. Seorang pegawai pencatat retribusi pelayanan di Puskesmas memanipulasi data kunjungan
pasien sebenarnya dan membuat data fiktif yang lebih kecil sehingga uang yang disetorkan
tidak sesuai dengan jumlah pengunjung/pasien sebenarnya.
e. Seorang PNS menggunakan fasilitas kendaraan operasional pemerintah untuk disewakan
kepada pihak luar dan uang sewanya tidak disetorkan ke kas negara.
9
2. Korupsi Terkait dengan Suap-menyuap
Korupsi terkait dengan suap-menyuap didefinisikan dalam Kitab UndangUndang
Hukum Pidana (KUHP). Ada tujuh jenis bentuk tindakan pindana suap, yaitu:
b. memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya;
d. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan undang-
undang ditentukan menjadi penasihat atau advisor untuk menghadiri sidang atau pengadilan,
dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e. menerima hadiah atau janji (seorang pejabat), padahal diketahui atau sepatutnya harus
diduganya bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau
janji itu ada hubungan dengan jabatannya;
f. menerima hadiah atau janji (pegawai negeri), padahal diketahuinya bahwa hadiah atau
janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
g. menerima hadiah bagi pegawai negeri yang mengetahui bahwa hadiah itu diberikan
sebagai akibat atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya
10
Korupsi terkait dengan suap-menyuap dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 diatur
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13.
Pasal 5
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang
yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya.
2. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap
orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadil
2. Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
11
dalam ayat (1).
Pasal 11
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12
1. Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah):
o pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;
12
o hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau
oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah)
Contoh Kasus:
a. Seorang ibu mendatangi salah seorang panitia penerimaan mahasiswa baru di sebuah PTN
dan menyampaikan keinginannya agar anaknya bisa diterima menjadi mahasiswa di PTN
tersebut. Ibu tersebut menjanjikan suatu imbalan jika anaknya diterima.
b. Sebuah perusahaan penyedia barang menjanjikan fee berupa uang dengan persentase
tertentu dari nilai proyek kepada panitia lelang pengadaan barang dengan penunjukan
langsung. Maksud perusahaan tersebut agar ditunjuk menangani proyek tersebut.
c. Keluarga pasien memberikan sesuatu kepada petugas penerima pasien baru supaya
mendapatkan prioritas tempat rawat inap di ICU suatu rumah sakit di mana tempat tidur
pasien tersebut selalu penuh
13
Pasal 8
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah),
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain,
atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 9
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara
terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau
daftar daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang
selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
14
o membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
Contoh Kasus:
a. Seorang pejabat dengan kekuasaannya menerbitkan surat pengalihan balik nama barang
atas namanya sendiri atau orang lain, padahal menyalahi prosedur.
b. Seorang pejabat yang berwenang menerbitkan surat penghapusan ganti rugi kehilangan
mobil dinas di luar jam kerja oleh seorang pegawai, padahal seharusnya yang bersangkutan
harus mengganti kehilangan mobil tersebut.
Tindak pidana korupsi pemerasan yaitu usaha pemaksaan dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan sehingga orang itu menyerahkan sesuatu atau mengadakan utang atau
menghapus piutang, sedangkan pada delik penipuan, korban tergerak untuk menyerahkan
sesuatu dan seterusnya, rayuan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian
kata-kata bohong.Tindak pidana korupsi pemerasan diatur dalam Pasal 12 poin e, f, g
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Pasal 12
1. Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah)
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
15
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan
utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Contoh Kasus:
a. Sebuah institusi sekolah pemerintah dalam ketentuan tidak boleh menarik uang kepada
mahasiswa selain yang sudah tercantum dalam PNBP. Ternyata karena alasan tertentu seperti
kegiatan PKL, institusi tersebut mewajibkan mahasiswa untuk membayar kegiatan tersebut.
b. Seorang petugas imunisasi menggunakan alat suntik untuk kegiatan imunisasi di posyandu.
Petugas tersebut membebankan warga untuk mengganti biaya alat suntik tersebut, padahal
alat suntik tersebut sudah dialokasikan anggarannya dari pemerintah.
c. Seorang ketua panitia pengadaan barang meminta fee 15% dari keuntungan pemenang
tender bara
Pasal 7
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
16
pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan
bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan
negara dalam keadaan perang;
. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keselamatannegara dalam keadaan perang; atau
2. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat(1)
Pasal 12 huruf h
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah
menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolaholah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya
bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
b. Seorang petugas gizi dengan sengaja memberikan jumlah diet 1.700 Kkal kepada pasien,
padahal sebenarnya pasien mendapatkan 2.100 Kkal.
Contoh kasus perilaku korupsi curang:
17
a. Seorang pasien harus mengantre urutan dalam pemeriksaan dokter, seharusnya yang
bersangkutan urutan ke-50, tetapi karena ada keluarganya bekerja di rumah sakit, ia
mendapatkan kemudahan menempati urutan ke-10.
b. Seorang mahasiswa membuat laporan kegiatan praktik klinik dengan menggunakan data
yang tidak sebenarnya—hasil manipulasi buatan sendiri
c. Seorang mahasiswa membuat catatan kecil yang digunakan untuk menyontek pada saat
ujian.
18
pejabat dan pegawai lembaga tinggi dari pusat sampai daerah termasuk DPR/DPRD,
hakim, jaksa, polisi, rektor perguruan tinggi negeri, BUMN/BUMD, pimpinan proyek, dan
lainnya wajib melaporkan gratifikasi.
Gratifikasi diatur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. “Pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah tersebut
diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
(Sumber :
Sedikit berbeda dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE
Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi
1) Greeds (keserakahan) yang berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara
potensial ada di dalam diri setiap orang
2) Opportunities (kesempatan) yang berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau
masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk
melakukan kecurangan
3) Needs (kebutuhan) yang berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-
individu untuk menunjang hidupnya yang wajar
4) Exposures (pengungkapan) yang berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang
dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
19
Faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) korupsi, yaitu
individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan
korupsi yang merugikan pihak korban. Sedangkan, faktor-faktor Opportunities dan Exposures
berkaitan dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi dan masyarakat
yang kepentingannya dirugikan.
Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan tindakan
korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan
sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman,
kesempatan, dan kurang kontrol).
Lain lagi yang dikemukakan oleh OPSTIB Pusat, Laksamana Soedomo yang
menyebutkan ada lima sumber potensial korupsi dan penyelewengan yakni proyek
pembangunan fisik, pengadaan barang, bea dan cukai, perpajakan, pemberian izin usaha, dan
fasilitas kredit perbankan. Dan menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang
menyebabkan meluasnya korupsi di Indonesia, yaitu
a. Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi
b. Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri
c. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.
Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi antara lain
1. Aspek Perilaku Individu
Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab seseorang melakukan korupsi
dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat,
atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi
antara lain sifat tamak manusia, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan
kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup
konsumtif, tidak mau bekerja keras dan ajaran-ajaraan agama kurang diterapkan secara benar.
Dalam teori kebutuhan Maslow, korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk
memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh
komunitas masyarakat yang pas-pasan dalam bertahan hidup, namum saat ini korupsi
dilakukan oleh orang kaya dan berpendidikan tinggi.
Pola-pola penyimpangan yang terjadi biasanya tidak bekerja pada saat jam kantor,
pemakaian fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi dan keluarganya serta biaya pengurusan
sesuatu yang berkaitan dengan adminstarsi.
20
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau
dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang
atau kesempatan untuk terjadinya korupsi. Bilamana organisasi tersebut tidak membuka
peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi.
Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi
kurang adanya teladan dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem
akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai dan manajemen cenderung menutupi
korupsi di dalam organisasinya.
4. Kurangnya Pengawasan
Pengawasan yang dilakukan instansi terkait kurang efektif karena beberapa faktor,
diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya
profesionalisme pengawas, kurang adanya koordinasi antar pengawas dan kurangnya
kepatuhan terhadap etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. Tidak jarang
para pengawas juga terlibat dalam praktik korupsi. Belum lagi berkaitan dengan pengawasan
ekternal yang dilakukan masyarakat dan media juga lemah. Dengan demikian, dapat
menambah deretan citra buruk pengawasan APBD yang sarat dengan korupsi. Hal ini sejalan
dengan pendapatnya Baswir (1996) yang mengemukakan bahwa negara kita yang merupakan
birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi
pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
21
Secara umum, pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal
(pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) serta pengawasan bersifat
eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat).
22
Senjata yang paling ampuh dalam pertempuran melawan korupsi adalah menumbuhkan
kultur demokratis dan egaliter. Ciri kultur demokrasi adalah keterbukaan dan pengabdian
kepada keterbukaan. Pengawal keterbukaan yang paling efektif adalah warga negara yang
terhimpun dalam organisasi-organisasi yang dibentuk untuk tujuan yang diharapkan. Dalam
konteks ini pers yang bebas sangat dibutuhkan. Tanpa kebebasan untuk mengajukan
pertanyaan atau untuk mengadakan perubahan, rakyat tetap tidak berdaya karena terperangkat
dalam system demkrasi yang dangkal.
3. Kelembagaan
Secara kelembagaaan ada fungsi-fungsi kunci yang harus dilakukan oleh tulang
punggung pemberantasan korupsi, baik pada tingkat prefentif, detektif, maupun represif.
Harmonisasi kinerja antara lembaga kejaksaan agung, POLRI, badan pemeriksaan keuangan
(BPK), dan KPK memegang peran penting dalam mensukseskan pemberantasan. Hanya
disayangkan, saat ini tumpang tindih wewenang dan persaingan tidak sehat membayangi
kinerja beberapa lembaga tersebut. Perseteruan antara KPK dan POLRI, atau POLRI dan
kejaksaan agung merupakan salah satu contoh ketidak harmonisan tersebut.
4. Integrasi Sistem Pemberantasan Korupsi
Tujuan pokok pembangunan sistem integritas nasional adalah membuat tindak pidana
korupsi menjadi tindakan yang mempunyai “risiko tinggi” dan memberi “hasil sedikit”.
Sistem itu dirancang untuk memastikan jangan sampai korupsi dapat terjadi, bukan
mengandalkan sanksi hukum setelah korupsi terjadi. Integrasi sistem pemberantasan korupsi
mencakup pilar-pilar; eksekutif, parlemen, peradilan, pelayanan publik, lembaga pengawas
(BPK, KPK), masyarakat sipil dan media massa. Integrasi sistem pemberantasan korupsi
membutuhkan identifikasi sistematis mengenai kelemahan dan peluang untuk memperkuat
dan memperkokoh setiap pilar sehingga bersamasama menjadi kerangka yang kokoh. Untuk
mewujudkan pelaksanaan proses kerja penanganan tindak pidana korupsi yang lancar, perlu
dibuat: Pertama, sistem dan prosedur kerja antar instansi yang terkait dengan Core Unit.
Kedua, standar pelaporan yang akan di pakai sebagai dokumen antar instansi. Ketiga,
penjadwalan pertemuan regular untuk pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi, agar dapat diwujudkan persamaan persepsi atas suatu masalah.
5. Sumber Daya Manusia
Upaya untuk memberantas kemiskinan etika dan meningkatkan kesadaran adalah
mutlak diperlukan, karenanya sumber daya manusia yang unggul harus terus di bangun
terutama melalui pendidikan. Sumber daya masyarakat yang seperti itu merupakan landasan
yang sangat penting bagi sistem integritas nasional dalam pemberantasan korupsi.
23
Masyarakat yang kurang terdidik dan apatis tidak tahu hak-haknya dan bersikap menyerah
pada penyalahgunaan wewenang oleh pejabat, sementara pejabat pemerintahan yang tidak
berprinsip hanya akan mengikuti arus dominan yang ada di lingkungan kerjanya tanpa bisa
berpikir kritis dalam memahami dan melaksanakan hak-hak dan kewajibannya.
6. Infrastruktur
Infrastruktur yang di maksud disini adalah lembaga trias politika yang meliputi
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Berjalannya fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada
koridor hak dan kewajibannya masing-masing akan memberikan kontribusi yang diharapkan
dalam pemberantasan korupsi. Sebaliknya jika tidak, maka berarti infrastruktur politik
nasional ini perlu dibenahi sehingga lembaga tersebut berfungsi sebagaimana mestinya dan
pada akhirnya mendukung upaya pemberantasan korupsi nasional.
24
9. Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus
korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar
(2004).
10. Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
25
Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa
tua.
Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi
dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan mela-lui
penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.
Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik
Pemda NAD (2004).
Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan
pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta
(2004).
Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuang-an
negara Rp 10 milyar lebih (2004).
Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito
dari BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus
korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9
miliar (2004).
Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait
dengan kepentingan publik.
Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga
ke tingkat pusat/nasional.
Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-
rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
26
Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam
setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.
27
Kesemuanya harus disertai dengan a) kemauan politik yang kuat dari pemerintah
(strong political will); b) adanya keseimbangan kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif
dan peradilan; c) pemberdayaaan masyarakat sipil; serta d) adanya media yang bebas dan
independen yang dapat memberikan akses informasi pada publik.
a. Transparency International
28
Transparency International (TI) adalah sebuah organisasi internasional non-pemerintah
yang memantau dan mempublikasikan hasil-hasil penelitian mengenai korupsi yang dilakukan
oleh korporasi dan korupsi politik di tingkat internasional.
b. TIRI
TIRI (Making Integrity Work) adalah sebuah organisasi independen internasional non-
pemerintah yang memiliki head-office di London, United Kingdom dan memiliki kantor
perwakilan di beberapa negara termasuk Jakarta. Salah satu program yang dilakukan TIRI
adalah dengan membuat jejaring dengan universitas untuk mengembangkan kurikulum
Pendidikan Integritas dan/atau Pendidikan Anti Korupsi di perguruan tinggi.
Jaringan ini di Indonesia disingkat dengan nama I-IEN yang kepanjangannya adalah
Indonesian-Integrity Education Network. TIRI berkeyakinan bahwa dengan mengembangkan
kurikulum Pendidikan Integritas dan/atau Pendidikan Anti Korupsi, mahasiswa dapat
mengetahui bahaya laten korupsi bagi masa depan bangsa.
1) Masalah pencegahan
Salah satu pencegahan dengan mengembangkan model kebijakan preventif seperti :
pembentukan badan anti-korupsi, peningkatan transparansi dalam pembiayaan kampanye
29
untuk pemilu dan partai politik, promosi terhadap efisiensi dan transparansi pelayanan publik,
transparansi dan akuntabilitas keuangan public, dll
2) Kriminalisasi
Hal penting lain yang diatur dalam konvensi adalah mengenai kewajiban negara untuk
mengkriminalisasi berbagai perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
korupsi termasuk mengembangkan peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan
hukuman (pidana) untuk berbagai tindak pidana korupsi. Hal ini ditujukan untuk negara-
negara yang belum mengembangkan aturan ini dalam hukum domestik di negaranya.
Perbuatan yang dikriminalisasi tidak terbatas hanya pada tindak pidana penyuapan dan
penggelapan dana publik, tetapi juga dalam bidang perdagangan, termasuk penyembunyian
dan pencucian uang (money laundring) hasil korupsi. Konvensi juga menitikberatkan pada
kriminalisasi korupsi yang terjadi di sektor swasta.
3) Kerjasama internasional
Kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi adalah salah satu hal
yang diatur dalam konvensi. Negara-negara yang menandatangani konvensi ini bersepakat
untuk bekerja sama dengan satu sama lain dalam setiap langkah pemberantasan korupsi,
termasuk melakukan pencegahan, investigasi dan melakukan penuntutan terhadap pelaku
korupsi. Negara-negara yang menandatangani Konvensi juga bersepakat untuk memberikan
bantuan hukum timbal balik dalam mengumpulkan bukti untuk digunakan di pengadilan serta
untuk mengekstradisi pelanggar. Negara-negara juga diharuskan untuk melakukan langkah-
langkah yang akan mendukung penelusuran, penyitaan dan pembekuan hasil tindak pidana
korupsi.
4) Pengembalian aset-aset hasil korupsi.
Salah satu prinsip dasar dalam konvensi adalah kerjasama dalam pengembalian aset-
aset hasil korupsi terutama yang dilarikan dan disimpan di negara lain. Hal ini merupakan isu
penting bagi negara-negara berkembang yang tingkat korupsinya sangat tinggi. Kekayaan
nasional yang telah dijarah oleh para koruptor harus dapat dikembalikan karena untuk
melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi, terutama di negara-negara berkembang, diperlukan
sumber daya serta modal yang sangat besar. Modal ini dapat diperoleh dengan pengembalian
kekayaan negara yang diperoleh dari hasil korupsi. Untuk itu negara-negara yang
menandatangani konvensi harus menyediakan aturan-aturan serta prosedur guna
mengembalikan kekayaan tersebut, termasuk aturan dan prosedur yang menyangkut hukum
dan rahasia perbankan.
30
b. Convention on Bribery of Foreign Public Official in International Business
Transaction
Convention on Bribery of Foreign Public Official in International Business Transaction
adalah sebuah konvensi internasional yang dipelopori oleh OECD. pertama dan satu-satunya
instrumen anti korupsi yang memfokuskan diri pada sisi ‘supply’ dari tindak pidana suap
Konvensi Anti Suap ini menetapkan standar-standar hukum yang mengikat (legally binding)
negara-negara peserta untuk mengkriminalisasi pejabat publik asing yang menerima suap
(bribe) dalam transaksi bisnis internasional. Konvensi ini juga memberikan standar-standar
atau langkah-langkah yang terkait yang harus dijalankan oleh negara perserta sehingga isi
konvensi akan dijalankan oleh negara-negara peserta secara efektif.2[5]
2. Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan para pengusaha
keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak
mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara keseluruhan.
3. Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga menimbulkan
rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama. Karena itu, demi
31
menjaga hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka yang mendapatkan jabatan di
perusahaan negara atau milik ABRI memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada di
lapangan.
4. Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin melunturkan semangat
profesionalisme militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam kenikmatan berbisnis
baik atas nama angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu, sifat dan
nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan Darat, sebagai pengawal kepentingan
nasional dan untuk mengadakan pembangunan ekonomi bagi seluruh bangsa Indonesia lambat
laun akan luntur dan ABRI dinilai masyarakat telah beralih menjadi pengawal bagi kepentingan
golongan elite birokrat sipil, perwira menengah ke atas, dan kelompok bisnis besar (baca:
keturunan Cina). Bila ini terjadi, akan terjadi pula dikotomi, tidak saja antara masyarakat sipil
dan militer, tetapi juga antara perwira yang profesional dan Saptamargais dengan para perwira
yang berorientasi komersial.
32
diwaspadai adalah para pelaku perusak lingkungan yang datang dari kalangan pemodal besar
seperti perusahaan-perusahaan besar yang terlibat di sektor kehutanan maupun pertambangan.
Hal ini ditegaskan oleh mantan wakil ketua KPK Chandra Hamzah dalam sebuah worksop
investigasi kasus lingkungan di Jakarta, dimana menurutnya, perusahaan-perusahaan yang
melakukan kerusakan terhadap alam umumnya sulit ditindak karena mereka mengantongi izin
usaha yang cukup. Karena itu menurutnya, yang perlu diwaspadai adalah proses kontrol
administrasi dalam pemberian izin sebelum perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi. Baik
itu izin usaha baik dari pemerintah daerah maupun dari pemerintah pusat. Lalu menurut beliau,
perusahaan-perusahaan kecil yang bergerak di bidang kehutanan namun pada RKAT tahun
berikutnya tercatat memiliki jumlah keuntungan yang sangat besar, maka patut dicurigai
perusahan tersebut mendapatkan hasil bukan dari pohon-pohon yang mereka tanam melainkan
dari hutan-hutan alam yang seharusnya tidak boleh ditebang.
Permasalahan yang terjadi, masyarakat kita kurang peduli akan kerugian ekologis ini,
seringkali pelaku-pelaku usaha yang menyebabkan kerusakan lingkungan hanya terfokus
mengenai ganti rugi terhadap penduduk setempat. Memang benar ganti rugi itu perlu bahkan
itu kewajiban mereka, namun ganti kerugian oleh para pelaku usaha jangan hanya sebatas ganti
rugi materi kepada manusia, namun juga kepada alam. Alam yang rusak tidak bisa diperbaiki
hanya dengan semalam perlu waktu berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin saja kerusakan
tersebut tidak akan bisa diperbaiki.
33
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
korupsi suatu perbuatan yang buruk dari manusia yang kenyataannya sangat sulit
untuk mengatasinya ,karena perbuatan ini kita sadari atau tidak sudah terbentuk
dimasyarakat bahkan semenjak kita masih kecil,hanya saja kerugiannya masih kecil,berbeda
dengan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat Negara yang memakai kekuasaannya untuk
kepentingan sendiri yang bisa sangat merugikan Negara atau masyarakat ,oleh karena itu
dibentuklah Undang – Undang tentang pemberantasan pidana korupsi .dimana orang yang
melakukan tindakan yang masuk kedalam ciri – ciri korupsi yang telah dinyatakan
sebagai koruptor akan dihukum pidana penjara dan hukuman pidana denda sesuai
dengan Undang – Undang.
Oleh karenanya, disetiap negara harus memiliki strategi dan berupaya menindak dan
mencegah tindakan korupsi dengan kebijakan pemerintah masing-masing. Seperti di
Indonesia yang memberikan hukum pidana kepada pelaku korupsi dan ditangani oleh
lembaga-lembaga seperti BPK, KPK, dll. Yang paling penting agar tidak terjadi korupsi
adalah disetiap diri harus memiliki nilai-nilai kejujuran dan rasa takut akan hal-hal yang
haram. Karena sejatinya orang yang memiliki harta yang halal adalah orang-orang yang
paling selamat agamanya, paling tenang hati dan pikirannya, paling lapang dadanya, paling
sukses kehidupannya, dipenuhi keberkahan dan kehormatan serta harga diri bersih dan
terjaga.
34
DAFTAR PUSTAKA
35