Anda di halaman 1dari 28

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SYSTEMIC LUPUS


ERYTHEMATOSUS (SLE)

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 9

1. ELIS TRI WULANDARI (PO.71.20.4.15.007)

2. ERLISA SANTRIA (PO.71.20.4.15.031)

3. MEIRIANA PRATIWI (PO.71.20.4.15.011)

4. MEIVI PRANSISCA A (PO.71.20.4.15.012)

5. MUSA EFENDI PUTRA (PO.71.20.4.15.041)

DOSEN MATA AJAR : EVA SUSANTI, S.Kep,.Ns,.M.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG

PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2016/2017


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan Rahmat dan karuniaNya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan judul “Asuhan KeperawatanLupus Eritematosus Sistemik”.

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan mata kuliah


KMB II.
Kami menyadari keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki, oleh
karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
khususnya dan tenaga keperawatan pada umumnya.

Palembang, 18 Maret 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1

1.1LATAR BELAKANG................................................................................ 1
1.2TUJUAN..................................................................................................... 2
1.3RUMUSAN MASALAH........................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 4

2.1DEFINISI................................................................................................... 4
2.2ETIOLOGI................................................................................................. 4
2.3ANATOMI SISTEM IMUNITAS............................................................. 7
2.4PATOFISOLOGI & PATHWAY.............................................................. 7
2.5MANIFESTASI KLINIS........................................................................... 10
2.6PEMERIKSAAN PENUNJANG.............................................................. 13
2.7PENATAKLASANAAN MEDIS............................................................. 14
2.8PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN........................................... 14

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN................................................................ 16

3.1PENGKAJIAN .......................................................................................... 16
3.2DIAGNOSA .............................................................................................. 17
3.3INTERVENSI............................................................................................ 17
3.4IMPLEMENTASI...................................................................................... 22
3.5EVALUASI................................................................................................ 22

BAB IV PENUTUP............................................................................................... 23

4.1KESIMPULAN........................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti “Anjing hutan,” atau
“Serigala,” merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan
hidung akan terlihat kemerah-merahan. Tanda awalnya panas dan rasa lelah
berkepanjangan, kemudian dibagian bawah wajah dan lengan terlihat bercak-bercak
merah. Tidak hanya itu, penyakit ini dapat menyerang seluruh organ tubuh lainnya
salah satunya adalah menyerang ginjal. Penyakit untuk menggambarkan salah satu
ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di pipi yang membuat penampilan
seperti serigala. Meskipun demikian, hanya sekitar 30% dari penderita lupus
benar-benar memiliki ruam “kupu-kupu,” klasik tersebut.

Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang
diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita
lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri,
oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan
keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna
kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain.
Oleh karena itu penyakit ini dinamakan “Sistemik,” karena mengenai hampir seluruh
bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak
terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya
dibandingkan lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE). Berbeda dengan
HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem
kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri
maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri
seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ
tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala
yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak
pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah
(Sukmana, 2004).

1
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil
penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan
Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus
erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat
diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan
kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE.
Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan
keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE.
Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal,
kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata,
trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).

1.2 TUJUAN

a) Tujuan Umum :

Untuk mengetahui dan dapat memahami penjabaran tentang penyakit lupus.

b) Tujuan Khusus :

1) Mampu menjelaskan tentang defenisi, etiologi, klasifikasi / jenis-jenis


penyakit lupus, patofisiologi dan pathway, manifestasi klinis (tanda dan
gejala), pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan medis dan keperawatan.

2) Mampu menjabarkan dan atau membuat asuhan keperawatan pada klien


yang menderita penyakit lupus.

1.3 RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian Systemic Lupus Erithematosus ?

2. Jelaskan Etiologi dari penyakit SLE ?

3. Jelaskan Anatomi Sistem Imunitas dari penyakit SLE ?

4. Jelaskan patofisiologi dari SLE ?

5. Jelaskan Manifestasi klinis dari SLE ?

6. Jelaskan Pemeriksaan penunjang dari SLE ?

2
7. Jelaskan Penatalaksanaan Medis dari SLE ?

8. Jelaskan Penatalaksanaan Keperawatan dari SLE ?

9. Jelaskan asuhan keperawatan dari penyakit SLE?

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau
serigala,sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan.
Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk
menyatakansuatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh
gigitan anjing hutan.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai


dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam
tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun,
sehingga mengakibatan kerusakan jaringan.

2.2 ETIOLOGI

Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor
yangpaling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.Berikut ini beberapa
faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE
telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak
kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum.

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang


memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II

4
khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen
merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak
90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di
Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor
1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.

2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :

a. Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen PresentingCell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapareseptor yang
berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel
T. b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi
menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan
memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak
normal.

c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi
yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk
memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.

3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi.

5
Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat
dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.

4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:

a. Infeksi virus dan bakteri


Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen
infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan
Clebsiella.

b. Paparan sinar ultra violet


Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah

2.3 ANATOMI SITEM IMMUNITAS

6
7
2.4 PATOFISIOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan


peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh
awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan
(cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di
samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat
senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoimun
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi
antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang
kembali.

8
Pathway

9
2.5 MANIFESTASI KLINIS

10
Awitan penyakit ini sifatnya membayakan atau akut. SLE bisa saja tidak
terdiagnosis selama beberapa tahun. Proses klinis penyakit meliputi eksaserbasi dan
remisi.

A) Gejala klasik

demam, keletihan, penurunan berat badan, dan kemungkinan artritis, pleurisi.

B) Sistem Muskuloskeletal

Artralgia dan artritis (sinovitis) adalah cirti yang paling sering muncul. Pembekakan
sendi nyeri tekan, dan nyeri pergerakan adalah hal yang lazim, disertai dengan
kekakuan pada pagi hari.

C) Sistem integumen

Terlihat beberapa jenis SLE yang berbeda (mis., lupus eritematosus kutaneus sub akut
[SCLE], lupus etitematosus diskoid [DLE]). Ruam kupu-kupu pada batang hidung dan
pipi muncul pada lebih dari separuh pasien dan mungkin merupakan prekusor untuk
gangguan yang sistemik. Lesi memburuk selama periode eksaserbasi (ledakan) dan
dapat distimulasi oleh sinar matahari atau sinar ultraviolet buatan. ulkus oral dapat
mengenai mukosa bukal dan palatum.

11
C) Sistem Pernapasan

Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis,emboli


paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lungsyndrome.
Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik.Biasanya penderita
akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi
sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik
disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik
terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang sering apabila merupakan
bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan tidak hanya
pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau pemberian sitostatika.

D) Sistem Kardiovaskuler

Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapatberupa


perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat
ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang
memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.Perikarditis harus dicurigai apabila
dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada
foto dada ataupun EKG, Echokardiografi. Endokarditis Libman-Sachs, seringkali
tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai
endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus
dicurigai kemungkinanendokarditis bakterialis.Wanita dengan LES memiliki risiko
penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita
yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.

E) Manifestasi Ginjal

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besarterjadi


setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1,
dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal
pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.

F) Manifestasi Gastrointestinal

Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat


merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit LES atau sebagai

12
akibat pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol walaupun
tidak didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas.
Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak dijumpai pada
mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus.Nyeri abdominal
dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum. Selain itu dapat pula
didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan
pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan
serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.

G) Manifestasi Hemopoetik

Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia
normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit
ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.

H) Manifestasi Neuropsikiatrik

Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaranklinis yang


begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik.
Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan
kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensiberat.Manifestasi
neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai
kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat
merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer,
terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga
dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak
memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi. Elektroensefalografi(EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik.
CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau
perdarahan.

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1) Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

13
2) Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin

3) Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)

4) PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid

5) Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)

6) Foto polos thorax

 Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring

 Setiap 3-6 bulan bila stabil

 Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah
tes ANA generik. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan
gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif
sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain
yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi kronis
(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixedconnective tissue disease (MCTD),
artritis reumatoid, tiroiditis autoimun),keganasan atau pada orang normal.Jika hasil tes
ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan
penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis dan berubah, mungkin
diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan
sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES
umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.

Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi
terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La
(SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi
anti- dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain
dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-ds DNA yang tinggi hampir pasti
menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya
sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LES.

14
2.7 PENATALAKSANAAN MEDIS

1) Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg/hr s/d 6 bulan


postpartum)(metilprednisolon1000 mg/24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr,
jika membaik dilakukantapering off).

2) AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).

3) Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).

4) Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m


luaspermukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.

2.8 PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN

Asuhan keperawatan untuk pasien SLE biasannya sama seperti asuhan


keperawatan untuk pasien penyakit reumatik (lihat” penatalaksanaan keperawatan”
pada “Artritis reumatoid”). Diagnosis keperawatan utama berfokus pada keletihan,
membuat integritas kulit gangguan citra tubuh, dan defisiensi pengetahuan.

 Pekalah terhadap reaksi psikologis pasien akibat perubahan yang terjadi dan
proses penyakit SLE yang tidak terduga; dorong pasien untuk berpatisifasi dalam
kelompok pendukung, yang dapat memberikan informasi mengenai penyakit, tips
penatalaksanaan sehari-hari, dan dukungan sosial.

 Ingatkan pasien untuk menghidari paparan sinar matahari dan sinar ultrapiolet
atau untuk melindungi diri mereka dengan tabir surya dan pakaiaan.

 Karena beberapa sistem organ berisiko tinggi terkena penyakit ini, ingatkan pasien
tentang pentingmya menjalani skrinning rutin secara berkala dan juga aktifitas
untuk meningkatkan kesehatan.

 Rujuk pasien untuk menemui ahli diet jika perlu.

 Jelaskan kepada pasien tentang pentingnya melanjutkan medikasi yang telah


diterapkan, dan memahami perubahan serta kemungkinan efek samping yang
cenderung terjadi akibat penggunaan obat tersebut.

15
 Ingatkan pasien tentang pentingnya menjalani pemantaaun karena mereka berisiko
tinggi mengalami gangguan sistemik, termasuk pada ginjal dan kardiovaskuler.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

16
3.1 PENGKAJIAN

1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada


gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien.

2. Kulit

Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.

3. Kardiovaskuler

Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.Lesi


eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tangan.

4. Sistem Muskuloskeletal

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.

5. Sistem integumen

Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum
durum.

6. Sistem pernafasan

Pleuritis atau efusi pleura.

7. Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous


dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

8. Sistem Renal

17
Edema dan hematuria.

9. Sistem saraf

Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.

3.2 DIAGNOSA

1. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan


kulit

2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan hati tidak dapat mensintesa zat-zat


penting untuk tubuh

3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan


untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

5. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret

3.3 INTERVENSI

1) Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan


kulit

a. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi
dan amati perubahan.R/: Menentukan garis dasar di man perubahan pada status
dapat di bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.

b. Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, mis, membasuh kemudian


mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan
menggunakan lotion atau krim.R/: mempertahankan kebersihan karena kulit
yang kering dapat menjadi barier infeksi.

c. Gunting kuku secara teratur.R/: kuku yang panjang dan kasar meningkatkan
risiko kerusakan dermal.

18
d. Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier
protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.R/: dapat mengurangi kontaminasi
bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.

e. Kolaborasigunakan/berikan obat-obatan topical sesuai indikasi. R/: digunakan


pada perawatan lesi kulit.

2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan mual/ muntah.


a. Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan.R/: lesi
mulut,tenggorok dan esophagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan
kemampuan pasien mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk
makan.

b. Berikan perawatan mulut yang terus menerus, awasi tindakan pencegahan


sekresi. Hindari obat kumur yang mengandung alcohol.R/: Mengurangi
ketidaknyamanan yang berhubungan dengan mual/muntah, lesi oral,
pengeringan mukosa dan halitosis. Mulut yang bersih meningkatkan nafsu
makan.

c. Jadwalkan obat-obatan di antara makan (jika memungkinkan) dan batasi


pemasukan cairan dengan makanan, kecuali jika cairan memiliki nilai gizi. R/:
lambung yang penuh akan akan mengurangi napsu makan dan pemasukan
makanan.

d. Dorong aktivitas fisik sebanyak mungkin.R/: dapat meningkatkan napsu


makan dan perasaan sehat.

e. Berikan fase istirahat sebelum makan. Hindari prosedur yang melelahkan


saat mendekati waktu makan.R/: mengurangi rasa lelah; meningkatkan
ketersediaan energi untuk aktivitas makan.

f. Dorong pasien untuk duduk pada waktu makan.R/: mempermudah proses


menelan dan mengurangi resiko aspirasi.

g. Catat pemasukan kalori. R/: mengidentifikasi kebutuhan terhadap suplemen


atau alternative metode pemberian makanan.

19
h. KolaborasiKonsultasikan dengan tim pendukung ahli diet/gizi.R/:
Menyediakan diet berdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang tepat

3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan


untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.

INTERVENSI/TINDAKAN RASIONAL

MANDIRI

 Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas  Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.


/AKS normal, catat laporan kelelahan ,
keletihan, dan kesulitan menyelesaikan tugas.

 Kaji kehilangan / gangguan keseimbangan gaya


jalan, kelemahan otot.  Menunjukkan perubahan neurologi karena
defisiensi vitamin B mempengaruhi
keamanan pasien/risiko cedera.
 Awasi TD, nadi, pernafasan, selama dan sesudah
 Manifestasi kardiopulmonal dari upaya
aktivitas. Catat respons terhadap tingkat
jantung dan paru-paru untuk membawa
aktivitas ( mis, peningkatan denyut jantung/TD,
jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
disritmia, pusing, dispnea, takipnea, dan
sebagainnya).

 Berikan lingkungan tenang. Pertahankan tirah


baring bila diindikasikan. Pantau dan batasi
 Meningkatkan istirahat untuk menurunkan
pengunjung, telepon dan gangguan berulang
kebutuhan oksigenn tubuh dan menurunkan
tindakan yang tak direncanakan.
regangan jantung dan paru.
 Ubah posisi pasien dengan perlahann atau
pantau terhadap pusing.
 Hipotensi postural atau hipoksia serebral
dapat menyebabkan pusing, berdenyut , dan
 Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk peningkatan risiko cedera.
meningkatkan istirahat. Pilih periode istirahat
 Mempertahankan tingkat energi dan
dengan periode aktivitas.
meningkatkan regangan pada pasien jantung
 Berikan bantuan dalam aktivitas/ambulasi bila dan pernapasan.

20
perlu, memungkinkan pasien untuk  Membantu bila perlu, harga diri ditingkatkan
melakukannya sebanyak mungkin. bila pasien melakukan sesuatu sendiri.

 Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien,


termasuk aktivitas yang pasien pandang perlu.
 Meningkatkan secara bertahap tingkat
Tingkatkan tingkat aktivitas sesuai toleransi.
aktivitas sampai normal dan memperbaiki
tonus otot/stamina tanpa kelemahan.
Meningkatkan harga diri dan rasa terkontrol.
 Gunakan teknik penghematan energi, mis.,
mandi dengan duduk, duduk untuk melakukann  Mendorong pasien melakukan banyak
tugas-tugas. dengan membatasi penyimpangan energi
dan mencegah kelemahan.
 Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas
bila palpasi, nyeri dada, napas pendek,  Regangan /stres kardiopulmonal
kelemahan, atau pusing terjadi berlebihan/stres dapat menimbulkan
dekompensasi/kegagalan.

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.


a. Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan. R/:
Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan
berdasarkan informasi.

b. Tinjau ulang cara penularan penyakit.R/: mengoreksi mitos dan kesalahan


konsepsi, meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/orang lain.

c. Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien. R/:


merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.

d. Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi R/: memberi


kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan
perubahan/individu.

21
e. Identifikasi sumber-sumber komunitas, mis, rumah sakit/pusat perawatan tempat
tinggal.R/: memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut;
mendukung pemulihan dan kemandirian.

5. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret

INTERVENSI RASIONAL

 Auskultasi bunyi napas . Catat adanya  Beberapa derajat spasme bronkus terjadi
bunyi napas misalnya mengi, krekels, dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tak
ronchi. dimanifestasikan adanya bunyi napas
adventisius. Misalnya penyebaran , krekels
basah (bronkitis); bunyi napas redup dengan
ekspirasi mengi (emfisema); atau tak adanya
bunyi napas (asma berat).

 Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat


dan dapat ditemukan pada penerimaan atau
 Kaji atau pantau frekuensi pernapasan. selama stres/adanya proses infeksi akut.
Catat rasio inspirasi/ekspirasi. Pernapasan dapat melambat dan frekuensi
ekspirasi memanjang dibanding ekspirasi.

 Disfungsi pernapasan adalah variabel yang


tergantung pada tahap proses kronis selain
proses akut yang menimbulkan perawatan di
rumah sakit. Misalnya infeksi, reaksi alergi.
 Catat adnya/ ]derajat dispnea. Misalnya
keluhan “lapar udara”, gelisah, ansietas,  Peninggian kepala tempat tidur
distres pernapasan, penggunaan otot mempermudah fungsi pernapasan dengan
bantu napas. menggunakan gravitasi. Namun pasien
dengan distres berat akan mencari posisi
 Memposisikan pasien semi fowler.
yang paling mudah untuk bernapas.
Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal
dan lain-lain membantu menurunkan
kelemahan otot dan dapat sebagai alat

22
ekspansi dada

 Memberikan pasien beberapa cara untuk


mengatasi dan mengontrol dispnea

 Dorong/bantu pasien untuk melakukan


napas abdomen/bibir.

3.4 IMPLEMENTASI

Laksanakan rencana tindakan pada renpra diatas. Dahulukan tindakan yang dianggap
prioritas/masalah utama

3.5 EVALUASI

Evaluasi pelaksanaan yang telah dilakukan kepada pasien

23
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat menyimpulkan sebagai
berikut :

1) Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan
kanker. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem
imun terbentuk secara berlebihan sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan
nama autoimunitas.

2) Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya
tetapi diduga yang menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman
dan virus) sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan
menduga penyakit ini ada kaitannya dengan hormon estrogen.

3) Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap sepele


tetapi justru perlu untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari penyebarannya
sampai ke organ-organ.

24
DAFTAR PUSTAKA

http://evaloy.blogspot.co.id/2013/03/askep-penyakit-lupus-sistem-imun-dan.html

Brunner dan Suddarth.2016.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta : EGC

Eko,Wisnu. 2010.Rhematoid
Arthritis.http://wisnuekos.blogspot.co.id/2010/11/rheumatoid-arthritis-ra.html.Diakse
s tanggal 11 Maret 2017

25

Anda mungkin juga menyukai