Anda di halaman 1dari 9

DAMPAK KORUPSI TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

Oleh : Drs. Sugiyanto, MSi.


Dosen PNS dipekerjakan pada STIA ASMI Solo

Abstrak
Membicarakan korupsi di Indonesia rasanya tidak akan ada habisnya, mengingat kasus
yang terjadi secara beruntun terus bermunculan di sana-sini baik di lingkungan privat
maupun di lingkungan birokrasi pemerintahan tampaknya sudah menjadi hal yang biasa,
bukan hal yang luar biasa sehingga penyelesaiannya dituntut luar biasa pula. Sikap yang
melihat adanya kasus korupsi sebagai hal yang biasa menjadi pemicu melemahnya
pemberantasan korupsi. Sebagai contoh kasus bank century yang semakin melemah dari
proses hukum dan bahkan dari pihak penegak hukum sendiri telah memberikan warning
bahwa kasus bank century belum cukup bukti untuk di bawa ke meja hijau. Dengan
semakin banyaknya kasus-kasus korupsi yang sulit diberantas atau kalau toh dapat diadili
hukuman yang diberikan tidak memberikan efek jera jelas akan berdampak pada
perekonomian Indonesia di satu sisi, dan di sisi lain akan menurunkan kredibilitas bangsa
Indonesia di percaturan internasional.

Kata-kata kunci: Korupsi, Perekonomian Indonesia

A. Pendahuluan

Salah satu kasus korupsi yang menyedot perhatian sangat besar adalah

mencuatnya kasus bank century yang ditengarai melibatkan berbagai pejabat dan

petinggi di lingkungan birokrasi pemerintahan. Munculnya skandal bank century

diyakini sebagai rentetan peristiwa perseteruan lembaga penegak hukum antara KPK

(Komisi Pemberantasan Korupsi), Kepolisian dan Kejaksaan. Terlepas dari rivalitas

ketiga aparat penegak hukum tersebut, mengemukanya persoalan bank century juga

ditengarai tidak terlepas dari persoalan politik. Hal tersebut tampak dengan

digesernya Sri Mulyani dari posisi Menteri Keuangan digantikan oleh Agus

Martowardoyo. Meskipun penggantian itu hak prerogratif Presiden, namun mengingat

track record Sri Mulyani saat memimpin Kementrian Keuangan yang sangat bagus,

terlebih pernah terpilih sebagai Menteri Keuangan terbaik se Asia dan termasuk
sebagai 10 perempuan berpengaruh di dunia, rasanya Sri Mulyani adalah “korban”

pergulatan politik tingkat tinggi di negeri ini.

Seiring dengan proses penuntasan kasus bank Century muncullah kasus-kasus

yang mengirinya, seperti mencuatnya kasus korupsi yang menimpa salah satu anggota

DPR yang getol menggoalkan bank Century untuk diproses dan kasus-kasus lain

sampai dengan munculnya kasus Gayus yang juga menyita perhatian cukup besar,

meski nilai uang yang dikorupsi tidak sebesar kasus bank Century. Oleh para

pengamat kasus Gayus “sengaja” dimunculkan sebagai upaya untuk “mengalihkan”

kasus bank Century. Dugaan tersebut tampaknya mendekati kebenaran karena

beberapa waktu lalu aparat penegah hukum menyatakan bahwa kasus bank Century

tidak cukup bukti untuk disidangkan.

Dengan melemahnya kasus bank Century, saat ini masyarakat sedang dibawa ke

ranah Gayus yang nilainya korupsinya jauh di bawah bank Century. Akan tetapi

melihat prosesnya, tampaknya kasus Gayus dikuatirkan juga akan melemah begitu

saja. Sebab kasus Gayus diduga juga melibatkan beberapa petinggi di ketiga institusi

penegah hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian dan KPK. Tidak tuntasnya kasus-kasus

korupsi yang ditangani aparat penegak hukum jelas akan membawa kerugian di

sektor perekonomian kita. Jika kasus tersebut bisa diselesaikan dan kerugian negara

bisa dikembalikan jelas akan dapat mendongkrak tingkat kesejahteraan dan

pertumbuhan perekonomian kita. Terlebih sebagaimana pernyataan Menko

Perekonomian Hatta Rajasa yang mengatakan bahwa untuk mengatasi dampak krisis

pangan pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar 2 triliun yang bersumber dari

APBN 2010, terdiri dari cadangan beras 1 triliun dan dana stabilisasi sebesar 1 triliun
(Suara Merdeka, 14 Agustus 2010). Seandainya dana yang dikorupsi (jumlahnya

diperkirakan lebih dari 3 triliun) bisa segera dikembalikan ke kas Negara maka untuk

mengatasi dampak krisis pangan tidak perlu mengganggu APBN 2010.

B. Permasalahan

Tidak tuntasnya kasus-kasus korupsi sebagaimana telah diuraikan di atas dan

kasus-kasus sebelumnya maka jelas akan berpengaruh terhadap perekonomian dan

kredibilitas bangsa Indonesia di ranah internasional.

C. Pembahasan

Dengan semakin banyaknya kasus-kasus korupsi yang tidak mampu diselesaikan

di meja hijau secara tidak memuaskan, menjadikan korupsi sebagai kasus yang

penyelesaiannya sangat rumit, pelik, berbelit dan membutuhkan waktu cukup lama.

Kesulitan lain yang mengakibatkan korupsi sukar diberantas sampai tuntas adalah

para pelakunya adalah orang-orang berduit, berpendidikan tinggi dan mengerti hukum

sehingga mereka mampu mencari celah untuk menghindar dari jerat hukum.

Oleh karena itu untuk mengidentifikasi, mengungkap, guna mencegah dan

memberatas tindak pidana korupsi secara efektif, maka perlu diketahui terlebih

dahulu definisi, penyebab dan upaya pemberantasannya. Korupsi itu sendiri berasal

dari bahasa latin comrumpere, yang berarti penyimpangan dari kesucian (profanity),

tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjuran atau

kecurangan. Oleh Klitgaard (2005), korupsi diartikan sebagai memungut uang bagi

layanan yang sudah seharusnya diberikan atau menggunakan wewenang untuk


mencapai tujuan yang tidak sah. Sedangkan menurut Transparency International

korupsi diterjemahkan sebagai perilaku pejabat publik, politikus atau pegawai negeri

yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka

yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang

dipercayakan kepada mereka.

Mendasarkan pada definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi

dapat diartikan sebagai tindakan atau tingkah laku menyimpang baik yang berasal

dari ajakan atau niatan sendiri yang dilakukan secara sendiri atau bersama-sama

untuk mendapatkan keuntungan atau memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan

cara, baik sengaja maupun tidak sengaja melanggar aturan atau norma yang berlaku.

Bila korupsi berkembang sedemikian rupa sehingga hak milik tidak lagi dihormati,

aturan hukum dianggap remeh dan insentif untuk investasi menjadi kacau, maka

akibatnya pembangunan ekonomi dan politik menjadi lumpuh. Biasanya jenis-jenis

korupsi terdiri atas (1) suap menyuap (2) penyalahgunaan jabatan (3) pemerasan (4)

kecurangan (5) benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa dan (6)

pemberian hadiah/gratifikasi.

Gunnar Myrdal mengemukakan, bahwa berhubungan dengan korupsi, maka hal-

hal yang sangat mungkin dialami oleh negara berkembang antara lain :

1) Korupsi menciptakan dan memperbesar masalah-masalah yang disebabkan oleh

berkurangnya hasrat untuk terjun ke bidang usaha dan pasar nasional mengalami

kelesuan.

2) Permasalahan masyarakat yang majemuk semakin dipertajam oleh korupsi dan

bersamaan dengan itu kesatuan negara juga melemah. Karena martabat


pemerintah menurun maka korupsi juga bertendensi turut membahayakan

stabilitas politik

3) Karena adanya kesengajaan di antara para pejabat untuk menerima suap dan

menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki, maka disiplin sosial menjadi

kendor, sementara efisiensi akan merosot.

Adapun yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia

antara lain sebagai berikut :

1) Struktur organisasi cenderung berorientasi ke atas

Seorang pemimpin tidak mungkin berani menindak bawahannya sebelum ada

perintah atau izin dari pejabat yang lebih tinggi. Dan pada saat izin diberikan,

tindakan disiplin biasanya sudah terlambat karena penyelewenagan itu sendiri

sudah menular atau berganti rupa.

2) Lemahnya fungsi pengawasan terhadap eksekutif puncak

Seharusnya tugas ini dilaksanakan melalui mekanisme checks and balances yang

dilakukan oleh lembaga politik lembaga legislatif dan komponen di luar birokrasi.

Akan tetapi lembaga tersebut justru menjadi bagian dari persoalan dalam

pemberantasan korupsi itu sendiri.

3) Model birokrasi

Kebanyakan model birokrasi yang terdapat di negara Asia adalah patrimonial.

Kelemahan utama pada model ini adalah tidak mengenal perbedaaan antara

lingkup pribadi dan lingkup resmi atau kedinasan.

4) Lemahnya penegakan hukum


Indikasinya dengan masih banyaknya aparat penegak hukum melakukan tebang

pilih di dalam menangani kasus korupsi, meskipun aturan hukumnya sudah ada

dan jelas.

5) Partisipasi masyarakat

Masih rendahnya partisipasi masyarakat dengan indikasi adanya sikap masa

bodoh, enggan melapor, sehingga menjadikan proses pemberantasan korupsi

kurang diawasi dan dikontrol terutama oleh lembaga di luar eksekutif, legislatif

dan yudikatif. Padahal di dalam pasal 8 UU No. 28/99, disebutkan bahwa

masyarakat berhak dan ikut bertanggungjawab untuk mewujudkan

penyelenggaraan negara yang bersih.

6) Rendahnya gaji pegawai

Faktor tersebut masih menjadi pro dan kontra, karena banyak juga para birokrat

yang jumlah kekayaan sudah lebih dari cukup/kaya masih melakukan korupsi.

Meskipun kenaikan gaji tampaknya memang membuat korupsi birokratis dapat

sedikit dikendalikan, tetapi untuk jenjang birokrasi tertentu pemberian kenaikan

gaji tidak selalu efektif dapat meredam nafsu para birokrat melakukan

korupsi.

Berdasarkan penyebab terjadinya tindak pidana korupsi, maka secara umum ada

3 hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi, antara lain :

1) Cara sistemik struktural

Dilakukan dengan mendayagunakan suprastruktur maupun infrastruktur politik

dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga celah-celah yang dapat

dimasuki oleh tindak pidana korupsi dapat ditutup


2) Cara abolisionistik

Yang berarti menumpas atau memberantas. Asumsinya adalah korupsi merupakan

suatu kejahatan yang harus diberantas dengan terlebih dahulu mengidentifikasi

faktor-faktor penyebabnya, kemudian upaya penanggulangan diarahkan pada

usaha menghilangkan faktor-faktor penyebab korupsi tersebut.

3) Cara moralistik

Dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan mental dan moral manusia,

ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum.

Selanjutnya secara lengkap Klitgaard. et.al (2005) menawarkan langkah-

langkah memberantas korupsi sebagaimana pernah dipraktekkan di Hongkong, antara

lain sebagai berikut :

a. Menyeleksi pelaksana, dengan cara :

1. Menyingkirkan orang-orang yang tidak jujur. Ini dapat dilakukan dengan cara

mengevaluasi riwayat pekerjaan, mengadakan tes-tes integritas, serta

menerapkan tolok ukur kejujuran.

2. Mengoptimalkan sistem penerimaan SDM berdasarkan kecakapan dan

menghindari nepotisme.

3. Memanfaatkan jaminan atas kejujuran dari luar Lembaga pengawasan dari

luar yang memiliki kredibilitas tinggi.

b. Menerapkan sistem pemberian imbalan dan sanksi (reward and punishment) bagi

pelaksana.

Selanjutnya oleh Teten Masduki (dalam Klitgaard, et.al, 2005) diusulkan upaya

untuk mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia sebagai berikut :


a. Harus ada pemimpin yang memiliki keinginan kuat dan memiliki integritas tinggi

(Kartono, 2005) untuk membasmi korupsi. Kalau tidak ada pemimpin di tingkat

nasional, paling tidak pemimpin di tingkat daerah atau pemimpin suatu

departemen pemerintah guna memutus mata rantai korupsi sistematis.

b. Pemberantasan korupsi harus dimulai dari apa yang paling mudah dilakukan

bukan apa yang harus diprioritaskan, supaya ada keberhasilan yang bisa segera

diperlihatkan untuk meneguhkan kepercayaan dalam melembagakan gerakan

pemberantasan korupsi.

c. Perang melawan korupsi sistematis harus menjadi bagian dari perbaikan yang

lebih luas, bagian dari upaya untuk membenahi administrasi pemerintahan,

menjadi alat untuk meningkatkan mutu pelayananumum dna untuk meningkatkan

partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik.

Terkait dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi, penulis sangat setuju

dengan segera diberlakukannya asas pembuktian terbalik.. Jika sebelumnya pihak

pengadilan yang harus membuktikan apakah yang bersangkutan bersalah atau tidak

dalam perkara korupsi yang disangkakan kepadanya. Nah dengan pembuktian

terbalik, maka yang bersangkutan yang disangka melakukan tindak pidana korupsi

yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

D. Kesimpulan

Sesuai dengan hasil pembahasan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas,

korupsi merupakan penyakit sebagai akibat dari adanya tindakan atau perbuatan jahat
yang dapat menjangkiti siapa saja baik lembaga publik maupun swasta dan dapat

melumpuhkan semua sendi-sendi kehidupan negara dan kemasyarakatan. Oleh karena itu

agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan secara cepat,

efektif dan efisien, tidak rumit, dan tidak bertele-tele, maka sangat mendesak untuk

segera diterapkan asas pembuktian terbalik. Karena jika pencegahan dan pemberantasan

korupsi hanya jalan ditempat atau kalau toh berhasil diselesaikan hasilnya tidak

memuaskan, maka secara langsung akan berdampak pada tingkat kesejahteraan dan

pertumbuhan masyarakat. Di samping itu pencegahan korupsi yang bertele-tele jelas akan

menghambat proses pembangunan di segala bidang.

DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus (et.al), 2003. Reformasi Tata Pemerintahan Otonomi Daerah


Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Yogyakarta.

Klitgaard, Robert (et.al), 2001. Membasmi Korupsi, Penerbit Yayasan Obor


Indonesia, Jakarta.

Klitgaard, Robert (et.al), 2005. PenuntunPemberantasanKorupsi dalam Pemerintahan


Pemerintahan Daerah, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

KPK, 2009, Buku Panduan Pemberantasan Korupsi, KPK Jakarta.

Lopa, Baharuddin, 2002. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Penerbit Kompas
Jakarta.

Suara Merdeka, 14 Agustus 2010, Rp 2 Triliun untuk Atasi Dampak Krisis Pangan.

Anda mungkin juga menyukai