Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI

PROPOSAL SKRIPSI

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN MENGAJUKAN PROPSAL


SKRIPSI

Disusun Oleh

Riski saputra

1617.01.015

PROGAM STUDI ILMU HUKUM

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM PAINAN TANGERANG BANTEN 2019


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah

Korupsi beberapa dekade ini merupakan isu sentral dalam penegakan hukum,
bahkan dalam berbagai ajang, termasuk pilkada pemilu karena dapat dijadikan
komoditas politik. Oleh karena itu tuntutan rakyat terhadap keseriusan pemerintah
dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia, akhir-akhir ini semakin
marak, lebih-lebih dengan mencuatnya pemberitaan terkait dengan beberapa
oknum yang ikut terlibat langsung dalam penyalahgunaan wewenang penggelapan
serta pemerasan dalam jabatan dan menerima suap. Seiring dengan itu, muncul
juga isu soal kriminalisasi terhadap penanganan perkara tindak pidana termasuk
korupsi yang di lakukakn oleh aparat penegak hukum , makin meramaikan
pemberitaan tentang korupsi di berbagai media cetak dan elektronik serta
menambah buramnya wajah penegakan hukum di Negara ini. Bukan hanya itu
saja, kerusakan yang timbul akibat korupsi itu sudah sangat parah, bukan hanya
keuangan Negara saja yang di rugikan, para koruptor tersebut juga telah merusak
moral bangsa ini. Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah mendarah daging dalam
kehidupan masyarakat di negeri ini, bukan hanya dari instansi pemerintah saja
korupsi itu menjadi tradisi, bahkan sebagian dari rakyat indonesia sudah
menjadikan tradisi. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah didalam
pemberantasan korupsi ini dengan menetapkan berbagai strategi nasional lebih-
lebih di era reformasi, baik melalui instruksi presiden nomor 5 tahun 2004 tentang
percepatan pemberantasan korupsi, strategi nasional dan rencana aksi
pemberantasan korupsi (Stranas PPK) 2010-2025, instruksi presiden nomor 9 tahun
2011 tentang rencana aksi percepatan dan pemberantasan korupsi 2011, instruksi
presiden nomor 14 tahun 2011 tentang percepatan pembangunan nasional tahun
2011, instruksi presiden nomor 17 tahun 2011 tentang aksi percepatan dan
pemberantasan korupsi tahun 2012 serta pencegahan dan pemberantasan korupsi
jangka panjang (2012-2025) dan jangka menengah (2012-2014). Dengan adanya
upaya tersebut pemerintah berharap memberikan daya tangkal terhadap para
pelaku korupsi tersebut baik jangka menengah maupun jangka panjang serta tidak
memberi ruang terhadap para pelaku korupsi, setidak-tidaknya dapat
meminimalisirnya lebih-lebih disaat kondisi social, ekonomi, politik di era orde
baru dan era reformasi ini sepertinya memberi ruang gerak secara masif terhadap
tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, kalo kita mau jujur, sebebnarnya pemerintah telah berbuat
banyak didalam upaya pemberantasan korupsi dan sudah dilakukan jauh sebelum
KPK di bentuk. Pemerintahpun pernah membentuk tim gabungan pemberantasan
tindak pidana korupsi di singkat dengan (TGPTPK) dan komisi pemeriksaan
kekayaan pejabat Negara di singkat dengan (KPKPN). Ternyata TGPTPK kiprahnya
hanya seumur jagung. Ironisnya, pelapor kasus perdana yang di tangani oleh
TGPTPK malah menjadi terdakwa. Akhirnya lembaga tersebut bubar karena
tersangka tersebut mengajukan permohonan judicial review, mempermasalahkan
dasar pembentukan lembaga tersebut dan permohonan itu dikabulkan, sama halnya
dengan KPKPN antara lain ketika melaporkan kepada kepolisian tentang majelis
hakim kasus Manulife yang tidak melaporkan nya kepada KPKPN. Tetapi kepolisian
menghentikan penyidikan kasus tersebut, akhirnya upaya tersebut juga kandas di
tengah jalan .
Kegagalan TGPTPK DAN KPKPN jelas harus menjadi pelajaran bagi KPK. Selain
itu kewenangan yang begitu besar dimiliki oleh KPK harus didukung penuh dengan
pimpinan KPK terutama pemerintah pusat yang memiliki integritas moral, bukan
hanya sekedar mau, mampu dan berani memberantas para pelaku korupsi
tersebut serta memiliki pengalaman di dalam penguasaan teknis yuridis
pembuktian. Keberanian dan kemauan yang didukung oleh integritas moral dan
penguasaan teknis yuridis pembuktian sangatlah penting terhadap kasus seperti
ini, baik penyelidikan, penyidikan atau penuntutan tidak saja dilakukan secara
professional tetapi juga harus secara proporsional. Mengapa demikian? Karena
setiap kebijakan yang di putuskan oleh komisioner, meskipun dilakukan secara
kolektif tidak mustahil nantinya akan berhadapan dengan berbagai hambatan dari
pihak-pihak yang seharusnya membantu kerjanya KPK seperti pihak kepolisian,
jaksa, pengadilan bahkan kemungkinan bias saja dari masyarakat itu sendiri karena
yang jadi tersangka, terdakwa dan terpidana adalah kelompok mereka sendiri atau
kalangan mereka sendiri.
Korupsi sudah di anggap sebagai tindakan biasa dengan dalih “sudah sesuai
prosedur” koruptor tidak lagi memiliki rasa takut dan malu, bahkan ada juga
sebagian dari mereka yang memamerkannya secara demonstratife. Para politisi
tidak lagi mengabdi pada konstituennya. Partai politik bukannya dijadikan wadah
untuk memperjuangkan hak rakyat banyak melainkan menjadi ajang menguras
harta dan ambisi pribadi. Lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan
dan pengurasan uang Negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota
legislatif, pejabat daerah dengan dalih studi banding, thr, pesangon dan lainnya
diluar batas kewajaran. Bentuk perampasan pengurasan keuangan Negara yang
seperti ini hampir terjadi di seluruh wilayah tanah air, hal ini menunjukan bahwa
rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang di kedepankan hanya sikap
kerakusan. Bahkan tindak pidana korupsi yang dilakukan akhir-akhir ini merupakan
suatu fenomena kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama, persekongkolan,
dan sekelompok orang yang merencanakan sebuah kejahatan yang dilakukan
sangat rahasia (konspirasi). Tindak pidana korupsi bukan hanya masalah hokum
tetapi juga masalah ekonomi, budaya dan politik. Menurut susan rose ackermen
aspek ekonomi dari korupsi antara lain pembayaran yang mempersamakan
penawaran permintaan, suap sebagai insentif pembayaran birokrat, suap untuk
mengurangi biaya, kejahatan korupsi yang terorganisir, pembayaran untuk
memperoleh kontrak dan konsesi besar kepada pejabat tinggi; aspek budaya
antara lain korupsi merupakan patronase dengan wujud upeti, hadiah dan suap;
aspek politik antara lain kleptokrasi, monopoli bilateral dan Negara yang
didominasi mafia dan suap kompetitif. Dengan perkataan lain bahwa korupsi
sudah terjadi dan dilakukan dalam berbagai dimensi pelaku dan lingkup antar
Negara.
Kekuasaan dan korupsi memiliki hubungan yang sangat erat, bagaimana tidak
banyak sekali orang yang sudah berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya. Korupsi
dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang, korupsi selalu mengiringi perjalanan
kekuasaan dan sebaliknya, kekuasaan merupakan pintu masuk bagi korupsi itulah
hakikatnya pernyataan lord acton politisi asal inggris pernah menulis sebuah
ungkapan yang berhubungan korupsi dengan kekuasaan yakni “kekuasaan
cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut”
(power tends to corrupt, and absoluet power corrupt absolutely).
Hakikaktnya korupsi bukanlah khas di Indonesia dan kebanyakan Negara yang
berkembang didunia pernah dilanda masalah korupsi seperti italia, meksiko, turki
dan lain sebagainya. Begitu pula masalah korupsi yang melanda Indonesia hampir
menyentuh setiap lini kehidupan masyarakat seperti yang disebutkan robert
klitgard sebagai “budaya korupsi” tentu saja yang di maksuskan klitgard disini
bukanlah keberadaan budaya atau semua orang di Indonesia melakukan korupsi,
sehingga sulit untuk diperangi dalam situasi apapun, tetapi situasi kondusif dan
sikap permisif masyarakat terhadap tindak pidana korupsi menyebabkan perilaku
korupsi berkembang ditengah-tengah masyarakat. Jadi yang dimaksud klitgard
sebagai budaya karena sudah dianggap biasa, seperti dalam kehidupan sehari-hari,
dimana untuk mempercepat suatu urusan, seseorang biasanya memberikan uang
pelican atau kebiasaan memberi uang rokok serta memberikan fasilitas dan
hadiah. Kejadian seperti ini berpotensi menimbulkan keengganan masyarakat
dalam melaporkan oknum aparat, birokrat, konglomerat dan oknum aparat hokum
yang melakukan korupsi.
Menurut soren davidsen mengutip world bank (bank dunia) bahwa transisi
politik Indonesia telah membuat kompetisi partai polotik begitu meluas sehingga
memaksa mereka bergantung kepada kaum elite senior lama untuk mendapat
dana berkampanye yang efektif di wilayah Indonesia yang luas ini. Disamping itu
system desentralisasi telah membuka jalan raya yang baru bagi para elit daerah
untuk melakukan korupsi. Setelah jatuhnya orde baru terlihat, bahwa koruptor
kelas kakap telah menyusut, tapi banyak pengamat berpendapat justru korupsi
dalam skala kecil meningkat karena makin banyak pemain baru yang masuk
kedalam gelanggang disebabkan absennya pemain lama, pada saat korupsi kecil-
kecilan sering dipandang masih relative jinak, diluar dugaan ternyata telah
membuat suatu yang dapat memaklumi pola; dan tidak lagi hanya sekedar
mencari “pemodal” atau mencari “patron”, namun juga memaklumi keikutsertaan
dalam penyalahgunaan, dan pengabaian hukum.
Menurut Sheldon S. Steinberg dan david T. Austern korupsi merupakan bagian
dari tingkah laku yang dilakukan oleh oknum aparatur pemerintahan maupun
orang lain dengan alas an yang berbeda tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu
perbuatan yang tidak etis yang merusak sendi-sendi pemerintahan yang baik, dan
syed husein alatas mengatakan bahwa sebab lain yang menjadi factor terjadinya
korupsi adalah ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi kunci yang
mampu mempengaruhi tingkah laku yang menjinakan korupsi, pendidikan
masyarakat yang rendah, kemiskinan, dan keadaan masyarakat yang kondusif
untuk tumbuhnya korupsi.

B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian diatas latar belakang masalah, maka penulis dapat
merumuskan permasalahan dalam penulisan ini sebagai berikut

1. Upaya apa saja yang telah di lakukan pemerintah dalam


penanganan dan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi?
2. Sejauh mana peran masyarakat dalam keikutsertaan dalam
penanganan dan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi?
3. Apa yang menyebabkan begitu banyaknya pelaku tindak pidana
korupsi terjadi di Indonesia?

Anda mungkin juga menyukai