Anda di halaman 1dari 10

KORUPSI SEBAGAI BUKTI RUSAKNYA MORAL ANAK

BANGSA DAN LEMAHNYA PENEGAKAN HUKUM


DEYA

Stie Panca Bhakti Palu


Dea07vvdvx@gmail.com

Abstrak: Korupsi merupakan perbuatan amoral, menyengsaranakan rakyat, merusak


tata nilai kehidupan bangsa, dan di Indonesia seakan-akan sudah membudaya sejak
dulu kala, sebelum dan sesudah kemerdekaan, sejak penjajahan, di zaman Orde Lama,
Orde Baru, hingga berlanjut sampai era Reformasi sekarang ini. Berbagai usaha dan
upaya yang telah dijalankan untuk memberantas korupsi. Namun belum mampu
membuahkan hasil yang siknifikan bahkan masih jauh dari harapan, bahkan semakin
merajalela perbuatan amoral itu dan banyak terjadi korupsi yang direncanakan yaitu
dengan melakukan mark-up anggaran.
Perbuatan Korupsi di pengaruhi oleh factor ekstrenal dan Internal. Faktor ekternal ini
sangat kuat sekali dalam mempengaruhi terjadinya tindak pidana Korupsi, sehingga
seringkali orang tidak mampu menghidarinya karena perbuatan korupsi sudah
semacam system yang diciptakan oleh pihak-pihak tertentu, kecuali orang yang
bersangkutan mempunyai keteguhan Iman dan moralitas yang kuat, Faktor luar
tersebut bisa berupa faktor Politik. Faktor Internal ini merupakan penyebab terjadinya
korupsi yang datangnya dari diri sendiri (si Pelaku), yaitu ketika seseorang yang
menduduki suatu jabatan dirinya berpikir secara materialistik, konsumtif, serta ingin
cepat meraih kekayaan. Hal itu tidak lain didasari dari sifat tamak manusia, moralitas
yang tipis, gaya hidup konsumtif, dan tidak mau bekerja keras. Serta Faktor penegakan
hukum yang kurang bermoral, kerena banyak aparat penegak hukum yang mudah
diajak Kerja sama atau kongkalingkong oleh para pelanggar hukum (koruptor),
sehingga hukumannya relatif ringan, maka para pelaku korupsi tidak jera, untuk itu
guna menaggulangi atau untuk mengendalikan tidak pidana korupsi adalah bisa
dilakukan dengan penerapan sanksi yang berat serta penyitaan semua harta miliknya.
Indonesia telah melakukan berbagai upaya memerangi korupsi. Lembaga penegak
hukum, seperti komisi pemberantasan korupsi juga telah digulirkan. Semua celah
korupsi telah diupayakan dittup seketat mungkin. Namun, korupsi masih tetap saja
terjadi disemua penyelenggaraan negara. Penindakan dan pencegahan korupsi seakan
tiada artinya mennyelamatkan negara dari praktik haram tersebut. Penindakan korupsi
malah mendapatkan serangan balik berupa kriminalisasi pimpinan KPK dan
pelemahan institusinya. Begitu juga pencegahan korupsi mengalami hal yang sama.
Hampir semua kebijakan, program, system anti korupsi, dan reformasi birokrasi
disemua instansi seakan tak mampu mencegah korupsi. Lalu dimana akar masalah
sehingga upaya tersebut belum menunjukan dampak signifikan terhadap pengelolaan
negara yang bersih, apalgi berdampak pada kesejahteraan rakyat?

Keywords: Corruption, Evidence, Morals, Children, Nation, enforcement, law.

1
Abstract: orruption is an immoral act, it hurts the people, destroys the values of the
nation's life, and in Indonesia it seems as if it has been entrenched since time
immemorial, before and after independence, since colonialism, in the Old Order, New
Order, until it continues until the Reformation era today. Various efforts and efforts
have been carried out to eradicate corruption. However, it has not been able to produce
significant results and is still far from expectations, even more rampant immoral acts
and a lot of corruption is planned, namely by carrying out budget mark-ups.
Corruption is influenced by external and internal factors. This external factor is very
strong in influencing the occurrence of criminal acts of corruption, so often people are
unable to avoid it because corruption is a kind of system created by certain parties,
unless the person concerned has a firm faith and strong morality. Political factors. This
internal factor is the cause of corruption that comes from oneself (the perpetrator),
namely when someone who occupies a position himself thinks materialistically,
consumptively, and wants to get rich quickly. This is based on human greed, thin
morality, a consumptive lifestyle, and an unwillingness to work hard. As well as law
enforcement factors that are less moral, because there are many law enforcement
officers who are easily invited to cooperate or collusion by lawbreakers (corruptors),
so the punishment is relatively light, so the perpetrators of corruption are not deterrent,
for that to overcome or to control the crime of corruption This can be done with the
application of severe sanctions and the confiscation of all his property.
Indonesia has made various efforts to fight corruption. Law enforcement agencies,
such as the anti-corruption commission, have also been established. All corruption
loopholes have been attempted to be closed as tightly as possible. However, corruption
still occurs in all state administrations. Enforcement and prevention of corruption
seems meaningless to save the country from this illicit practice. The crackdown on
corruption has even received a backlash in the form of criminalizing the KPK
leadership and weakening its institutions. Likewise, the prevention of corruption
experienced the same thing. Almost all policies, programs, anti-corruption systems,
and bureaucratic reforms in all agencies seem unable to prevent corruption. Then
where is the root of the problem so that these efforts have not shown a significant
impact on clean state management, let alone have an impact on the welfare of the
people?

Kata Kunci : Korupsi, Bukti, Moral, Anak, Bangsa, penegakan, hukum.

1. PENDAHULUAN

“Hal yang paling merisaukan saya lebih dari apapun juga,” kata Presiden
Nigeria Shehu Shagari di tahun 1982, “adalah soal kemerosotan akhlak di negeri
kami. Ada masalah suap, kurangnya ketaatan akan tugas, ketidakjujuran, dan segala
cacat semacam itu.”

Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur


2
pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan
pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan
hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan
pembuktian-pembuktian yang eksak. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya
dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan
bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat
itu sendiri.

Bahwa korupsi sekurang-kurangnya menguntungkan beberapa orang yang


duduk dalam kekuasaan, membuatnya menjadi suatu masalah yang sulit diatasi.
Namun, banyak pemimpin dan pejabat pemerintah di negara-negara berkembang
ingin lebih baik dalam mengendalikan penipuan, penyuapan, pemerasan,
penggelapan, penghindaran pajak, sogok, dan bentuk-bentuk tingkah laku lain yang
tidak halal. Beberapa pemimpin yang menaruh perhatian ini adalah anggota-anggota
legislatif dan pucuk-pucuk pimpinan eksekutif. Lain-lainnya memegang posisi
penting dalam angkatan kepolisian, bea cukai, kantor-kantor pajak, kementerian-
kementerian yang membidangi arus barang dan jasa, serta badan-badan pengatur.
Orang- orang ini melihat korupsi sebagai hal yang mengancam tugas lembaga
mereka dan tujuan pembangunan nasional yang lebih luas. Mereka bukanlah naif:
mereka mengakui bahwa korupsi tak pernah dapat dihapuskan seluruhnya, dan
mereka tidak beranggapan bahwa korupsi dapat diobati sekali pukul seperti halnya
polio diobati dengan vaksin. Namun para pejabat ini ingin mengurangi banyaknya
bentuk korupsi, dan harapan mereka dirasakan pula oleh rakyat kebanyakan di
negara berkembang Setepatnya, apakah "korupsi" yang ingin mereka perangi itu?
Hal tersebut tergantung dari apa yang dianggap korup dalam satu masyarakat, sebab
barangkali tidak dianggap korup dalam masyarakat lain.

Masalah pemberatasan korupsi tidak hanya dapat dilakukan oleh aparat


penegak hukum saja, dunia pendidikan diharapkan dapat berperan dalam
pencegahan korupsi sejak dini. Pendidikan sebagai wadah untuk membentuk
generasi penerus bangsa menjadi wadah yang efktif dalam rangka pencegahan
korupsi. Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan menghukum dan memberikan
ceramah atau seminar anti korupsi. Agar tidak terjadi tumbuh silih bergantinya
korupsi di Indonesia, maka perlu dicari sampai dari akar masalahnya. Dengan
membekali pendidikan anti korupsi yang cukup akan memberikan perlindungan
kepada para calon generasi penerus bangsa dari maraknya tindak korupsi.

Pendidikan diyakini merupakan kunci masa depan bangsa dan pendidikan anti
korupsi merupakan pendidikan seumur hidup yang sangat penting ditanamkan sejak
dini. Kualitas sumber daya manusia merupakan modal utama pembangunan bangsa.

3
Penanaman karakter menjadi salah satu prasyarat keberhasilan pengembangan
sumber daya manusia Indonesia. Kampus sebagai lingkungan pencetak generasi
bangsa dengan taraf yang lebih tinggi juga sangat peduli terhadap pendidikan anti
korupsi di lingkungan mahasiswa. Sebagai barometer pendidikan untuk jenjang
dibawahnya.

II. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian


kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan dengan membandingkan dan mengecek
derajat kepercayaan informasi yang diperoleh. Penelitian kualitatif dilakukan untuk
mengambil suatu kajian metode atau solusi yang efektif untuk mengatasi masalah
korupsi.

Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif. Penelitian deskriptif


kualitatif dilakukan karena penelitian ini dilakukan untuk mengambil makna yang
sebenarnya. Karena itu penelitian deskriptif disebut juga metode analisis. Penelitian
diskriptif merupakan penelitian yang mereinterpretasi objektif tentang fenomena sosial
yang terdapat dalam permasalahan yang akan diteliti.

Dalam kerangka pemikiran demikian, rancangan penelitian kualitatif


sesungguhnya bersifat fleksibel, luwes dan terbuka kemungkinan bagi suatu perubahan
dan penyesuaian-penyesuaian ketika proses penelitian berjalan. Dengan demikian,
meskipun tetap menjadi pedoman awal yang begitu penting untuk masuk ke lapangan
tetapi rancangan penelitian yang di susun tidak perlu membelenggu peneliti untuk
terlalu tunduk padanya manakala kenyataan di lapangan menunjukan kecenderungan
yang berbeda dengan yang dipikirkan sebelumnya.

III. KAJIAN TEORI


Dalam pasal 435 KUHP, korupsi berarti busuk, buruk, bejat dan dapat disogok,
suka disuap. Korupsi adalah tindak pidana yang memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan yang yang secara langsung ataupun tidak langsung merugikan
keuangan Negara (Evi Hartanti, 2005:7).
Secara teori (Handoyo, 2009:55) menyatakan bahwa korupsi merupakan suatu
perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial. Teori lain yang menjabarkan

4
terjadinya korupsi adalah teori Solidaritas Sosial yang dikembangkan oleh (Emile
Durkheim: 1917) memandang bahwa watak manusia sebenarnya bersifat pasif dan
dikendalikan oleh masyarakatnya. Emile Durkheim berpandangan bahwa
masyarakatlah yang menciptakan kepribadiannya (Angha:2002). Jack Bologne
(Bologne:2006), yang dikenal dengan teori GONE. Ilustrasi GONE Theory terkait
dengan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi Greeds
(keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan) dan Exposure
(pengungkapan).
Korupsi menurut Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 “Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman Negara.
Definisi korupsi yang dipahami umum adalah merugikan negara atau institusi baik
seara langsung atau tidak langsung sekaligus memperkaya diri sendiri (Soenarto
Soeryodibroto, 2006:2).
Korupsi dapat dilakukan oleh setiap orang yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana korupsi seperti yang di tuliskan dalam undang-undang (Prinst Darwin,
2002:12). UU No 20 Th 2000 atas perubahan UU No 33 T1 1999 tentang
Pemberantasan tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur perbuatan
melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, memperkaya diri sendiri, orang lain,
atau korporasi, merugikan keuangan Negara.
Adanya sistem hukum dalam praktek korupsi sehingga sulit dihilangkan (Otje
Salman, 2005:86). Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum selain mengacu pada hukum materiil, juga mengacu hukum formil (V.
Apeldoorn. 2005:171).

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Korupsi dapat merusak fondasi ekonomi di suatu negara. Hal ini disebabkan
tindakan korupsi telah mengambil uang sebagai aset negara dengan jumlah yang tidak
sedikit, sehingga memberi dampak salah satunya adalah negara akan merasa sulit
untuk meningkatkan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Setiap pelaku
tindakan korupsi harus bertanggung jawab untuk mengembalikan hasil korupsi sebagai
aset negara ke negara itu sendiri. Negara khususnya Indonesia memiliki undang-
undang yang dapat digunakan sebagai instrumen untuk mengembalikan aset keuangan
negara yang telah dikorupsi, sedangkan instrumen hukum yang digunakan adalah
Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Hukum Administrasi Negara. Di dalam Hukum
5
Pidana, aset hasil korupsi dapat disita dilelang dan dijual. Menurut Hukum Perdata,
negara dapat mengklaim kompensasi terhadap para pelaku korupsi (koruptor),
sedangkan dari Hukum Administrasi Negara, pejabat yang bersangkutan harus
bertanggung jawab untuk mengembalikan aset negara akibat perbuatan melawan
hukum (korupsi) yang telah dilakukan oleh pejabat tersebut.

Relevansi Nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan dalam pemberantasan tindak


pidana korupsi di Indonesia diwujudkan dalam mengadopsi nilai Ketuhanan dan Nilai
Kemanusiaan. Penanaman nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan diharapkan mampu
menciptakan prilaku yang tidak korup sebab nilai Ketuhanan dan Nilai Kemanusiaan
mencerminkan hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan sebagai penciptanya
dan hubungan yang baik antara manusia dengan sesamanya. Hal tersebutlah yang
menjadi relevansi nilai Ketuhanan dan nilai Kemanusiaan dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi.
Faktor internal penyebab korupsi adalah aspek perilaku Individu, seperti sifat
tamak/rakus, moral yang kurang kuat; cenderung mudah tergoda untuk korupsi, gaya
hidup yang konsumtif tidak diimbangi dengan pendapatan.
Faktor eksternal peneyebab korupsi adalah aspek sikap masyarakat terhadap
korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai
seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Aspek ekonomi, pendapatan tidak
mencukupi kebutuhan.
Aspek Politis menurut (Rahardjo:1983) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses
yang dilakukan untuk mempengaruhi orang agar bertingkah laku sesuai dengan
harapan masyarakat. Aspek organisasi, kurang keteladanan pimpinan, pengawasan
lemah serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan (KPK,
2011:51).
Bentuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi
berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi berupa:
1. Melawan hukum untuk memperkaya diri dan merugikan Negara,
2. Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat
merugikan keuangan Negara,
3. Menyuap pegawai negeri,
4. Memberi hadiah kepada pihak lain karena jabatannya,
5. Menerima suap,
6. Menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya,
7. Menyuap,
6
8. Menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan,
9. Memeras pihak lain,
10. Berbuat curang,
11. Menyerobot tanah Negara dan merugikan orang lain,
12. Menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK,
13. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan
atau memberi keterangan palsu, (KPK,2011:52).

Proses penegakan hukum di Indonesia ini juga banyak masyarakat yang menilai
kurang baik, banyak orang yang menyarankan janganlah menyelesaikan perkara di
Pengadilan. Mengapa? banyak berita-berita dari masyarakat yang menyatakan barang
siapa yang berurusan dengan lembaga peradilan (berperkara dengan masalah
peradilan) akan mengalami kerugian yang lebih besar lagi baik yang berposisi benar
maupun salah itu akan menderita kerugian. Pepatah bahasa jawa mengatakan “kebo
ilang tombok Kandang” (sudah kehilangan kerbaunya masih ditambah kehilangan
kandangnya/Rumah hewan) dengan istilah lain “sudah jatuh tertimpa tangga”. praktik-
praktik semacam ini sudah sering terjadi dan dilakukan oleh para penegak hukum,
yaitu dengan meminta bayaran kepada orang yang berperkara dengan memasang tarif
tertentu dengan catatan perkaranya akan dihentikan, atau kalau perkaranya sudah di
pengadilan dari hukuman.
Di Pengadilan ada contoh Gayus yang dibebaskan dari tuntutan oleh hakim MT
AS dengan membayar 350 Juta. Praktik semacam ini sudah lama terjadi puluhan tahun
yang lalu, namun masih agak takut atau sembunyi-sembunyi. Praktik ini semakin
menjadi berani setelah era reformasi dan kelihatannya dilindungi oleh atasannya secara
tidak langsung. Para pemimpin dan para penegak hukum dewasa ini kebanyakan hanya
berorientasi pada materi semata, untuk kepentingan pribadinya dengan tega
mengorbankan rakyat kecil, miskin, kebenaran dan keadilan. Dan fakta yang saya baca
sebagaimana yang di muat dalam media Solo Pos 28 Desember 2011, diungkapkan
oleh PPATK selama tahun 2011 mendapatkan laporan transaksi mencurigakan terkait
korupsi terhadap 294 nasabah di bank yang mana 50% nya atau 148 orang adalah PNS.
Sebanyak PNS 67 adalah PNS daerah dan 86 terlapor dari PNS Pusat. Di mana korupsi
dari masing-masing pelaku itu berkisar 1 M sampai dengan di atas 5 M. dengan
perincian sebagai berikut :

1. 42 kasus besaran yang dikorupsi di bawah 1 M,


2. 70 kauss besarannya adalah 1 s/d 2 M,

7
3. 33 kasus besarannya berkisar 2 s/d 3M,
4. 13 kasus besaran yang dikorupsi 3 s/d 4 M,
5. 7 kasus besaran yang dikorupsi 4 s/d 5 M dan
6. 60 kasus besaran yang dikorupsi di atas 5 M.

Juga berita 29 Desember 2011 dikatakan seorang Kepala dinas pendidikan di


Kota Makmur (Sukoharjo) sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana bantuan
siswa yang tidak mampu selama tahun ajaran 2009 dan tahun 2010 dengan nilai
milyaran Rupiah. Apalagi kondisi sekarang ini praktek korupsi semakin membabi buta
seolah-olah perbuatan itu sudah biasa, yang ramai sekarang ini banyak pejabat yang
terlibat korupsi yaitu seperti kasus Hambalang, SIM, E-KTP ini melibatkan banyak
pejabat dan para Pimpinan Dewan yang Mulia.
Keprihatian rakyat yang selama ini terus mempertanyakan pada para penegak
hukum tentang nilai keadilan yaitu: mengapa kalau rakyat kecil seperti mbak minah
hanya mengambil 3 buah kakao yang jatuh di pagar, 1 buah semangka di jawa timur,
menggunakan mukenah, pinjam uang dituduh pengelapan, mereka ini dijatuhi
hukuman penjara 5 bulan sampai 1 tahun, hal ini seberapa si kerugian yang
ditimbulkan, sedangkan para koruptor yang nilainya milyaran Rupiah hanya dijatuhi
hukuman 2 sampai 4 tahun, padahal ini dampaknya menyengsarakan banyak orang.
Mana letak keadilan yang diterapkan oleh para penegak hukum, para pengambil
keputusan?
Apakah kondisi yang seperti ini akan dibiarkan terus, lalu bagaimana tanggung
jawab para pemimpin Bangsa sekarang ini, para wakil Rakyat, kapan akan memikirkan
rakyat agar hidupnya tidak menderita dalam kemiskinan, sedangkan para pemimpin
dan wakil rakyat hidup bermewah-mewahan, bergelimangan harta, tapi harta
curian/tidak halal yang semestinya untuk memikirkan kesejahteraan rakyat.
Perilaku korupsi telah merusak mental dan moral berbagai kalangan. Produk
hukum undang-undang, diasumsikan belum dapat membidik pada sasaran dimensi
psikologis agar pelaku korupsi menjadi jera. Sanksi psikososial diasumsikan menjadi
solusi yang tepat untuk meningkatkan penalaran moral pelaku tindak korupsi skala
yang besar. Beberapa ide, alur pemikiran, pihak-pihak yang terlibat dan teknis langkah
strategis ditawarkan sebagai penelitian awal membangun hukuman sosial dan efek jera.
Gagasan ini diharapkan dapat membantu dalam memberantas korupsi secara
intrapersonal dan kuratif.

8
V. SIMPULAN

Korupsi sudah bukan kata yang asing terdengar di telinga masyarakat yang
negaranya sedang berkembang ini membuat masyarakat berfikir bagaimana
pemerintah dan terutama aparat penegak hukum dinegara ini mengelola dan
mensejahterakan masyarakatnya jika korupsi dan keadilan sudah terabaikan dan
hukum tidak ter-realisasi dengan baik. Memang tidak mudah bagi suatu negara
memberantas korupsi yang berkelanjutan ini. Kurangnya aspek moral yang ditanamkan
dalam masyarakat menjadi salah satu pemicu Tindakan korupsi tersebut.

Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah bersifat kolosal dan ibarat penyakit
sudah sulit untuk disembuhkan. Korupsi dalam berbagai tingkatan sudah terjadi pada
hampir seluruh sendi kehidupan dan dilakukan oleh hampir semua golongan
masyarakat. Dengan kata lain korupsi sudah menjadi bagian dari kehidupan kita
sehari-hari yang sudah dianggap biasa. Oleh karena itu sebagian masyarakat
menganggap korupsi bukan lagi merupakan kejahatan besar. Jika kondisi ini tetap
dibiarkan seperti itu, maka hampir dapat dipastikan cepat atau lambat korupsi akan
menghancurkan negeri ini. Oleh karena itu sudah semestinya kita menempatkan
korupsi sebagai musuh bersama (common enemy) yang harus kita perangi bersama-
sama dengan sungguh-sungguh.

Karena sifatnya yang sangat luar biasa, maka untuk memerangi atau
memberantas korupsi diperlukan upaya yang luar biasa pula. Upaya memberantas
korupsi sama sekali bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Upaya memberantas
korupsi tentu saja tidak bisa hanya menjadi tanggungjawab institusi penegak hukum
atau pemerintah saja, tetapi juga merupakan tanggungjawab bersama seluruh
komponen bangsa. Oleh karena itu upaya memberantas korupsi harus melibatkan
seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait, yaitu pemerintah, swasta
dan masyarakat. Dalam konteks inilah mahasiswa, sebagai salah satu bagian penting
dari masyarakat, sangat diharapkan dapat berperan aktif.

Mungkin salah satu cara terbaik untuk mencegah tindakan korupsi adalah
dengan menanamkan Pendidikan karakter sejak dini, sudah sepatutnya Pendidikan di
Indonesia tidak hanya berfokus pada pelajaran teori dan matematis semata, tapi juga
menyeimbangkan dengan Pendidikan karakter untuk membentuk calon penerus bangsa
yang lebih bermoral, berkarakter, dan mempunyai nilai. Penanaman moral yang kuat
sejak dini harus menjadi salah satu fokus utama Pendidikan di Indonesia.

9
Cara lain mencegah tindakan korupsi ini adalah dengan memperbaiki sistem
hukum di negara ini, menjadikan hukum tersebut sebagai keadilan yang tegas dan
kokoh tanpa memandang siapa yang berhadapan dengan hukum tersebut. Menjadikan
hukum tersebut sebagai keadilan tertinggi.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Widi Nugroho. (2017). Mudahnya Korupsi. Relasi Inti Media Group.

Robert Klitgaard. (1998). Membasmi Korupsi. Yayasan Obor Indonesia.

Harono. Korupsi Perbuatan Tak Bermoral Menjatuhkan Wibawa Bangsa Dan


Merampas Kesejahteraan Rakyat. http://publikasiilmiah.ums.ac.id

Ita Suryani. Penanaman Nilai-Nilai Anti Korupsi Di Lembaga Pendidikan Perguruan


Tinggi Sebagai Upaya Preventif Pencegahan Korupsi.
http://publikasi.mercubuana.ac.id

10

Anda mungkin juga menyukai