Anda di halaman 1dari 15

PRAKTEK KORUPSI DI INDONESIA SULIT DIBERANTAS

DITINJAU DARI ETIKA DAN INTEGRITAS KEPEMIMPINAN


PANCASILA

BAB I PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Korupsi adalah suatu tindakan dimana seseorang menyalahgunakan uang negara secara

diam-diam untuk kepentingan pribadi atau pun kepentingan lain yang bukan menjadi urusan

negara. Dan menurut hukum di Indonesia, pengertian korupsi adalah perbuatan melawan

hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain, baik perorangan maupun

korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara/perekonomian negara.

Hal itu jika semakin marak terjadi, maka akan berdampak sangat besar bagi negara dan

hal itu akan sangat merugikan Negara yang akan membuat negara tersebut terganggu dalam

berbagai bidang. Dampaknya meliputi berbagai bidang kehidupan seperti : Bidang Ekonomi

seperti Penurunan produktivitas, menurunnya pendapatan Negara dari pajak, meningkatkan

utang Negara, ketimpangan pendaptan, meningkatkan kemiskinan dll, di bidang Pemerintahan

seperti Birokrasi tidak efisien, hilangnya fungsi pemerintahan dll, di bidang Hukum seperti

Peraturan perundangan tidak efektif, Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap Negara,

dibidang politik seperti Pemimpin Koruptor, Publik tidak percaya lagi Demokrasi,

Kedaulatan hancur itulah sebagian dampak dari praktek korupsi.

Tindak pidana korupsi itu sendiri antara lain : Kerugian keuangan Negara, suap menyuap,

Penggelapan dalam Jabatan, ,Gratifikasi, Kesalahan prosedur dalam proses pengadaan dll.
Praktek korupsi seringkali berhubungan dengan para pejabat-pejabat atau Pimpinan yang

memiliki kekuasaan sering menyalahgunakan kekuasaan tersebut dan menggunakannya untuk

kepentingan mereka sendiri tanpa memikirkan kepentingan-kepentingan bangsa dan

negaranya. Banyak negara-negara di dunia ini yang mengalami penyelewengan tindakan

korupsi, salah satunya adalah negara kita Indonesia. Di Indonesia korupsi adalah hal yang

sangat marak terjadi di lembaga pemerintahan, Walaupun sudah didirikannya KPK untuk

memberantas korupsi, hal itu tidaklah cukup untuk menghilangkan korupsi di Indonesia.

Pemberitaan tentang korupsi yang makin masif saja seakan tak pernah berhenti mewarnai

layar kaca. Para pelaku korupsi tersebut adalah para pegawai atau pejabat pemerintahan yang

menempati posisi strategis. Padahal seyogyanya pelaku korusi tersebut yang merupakan

pejabat pemerintahan atau pimpinan harus mampu mengaktualisasi moral, etika jabatan dan

etika pemerintahan, serta nilai-nilai bela Negara guna mengembangkan etika , sikap dan

perilaku dalam pengendalian pelayanan sebagai bagian dari upaya mewujudkan integritas

kepemimpinan Pancasila.

2. RUMUSAN MASALAH

Penulis sudah menyusun sebagian permasalahan yang hendak dibahas dalam essay ini.

Ada pula sebagian permasalahan yang hendak dibahas dalam essay ini adalah :

“Mengapa masih banyak yang korupsi padahal seorang pemimpin atau pejabat tersebut sudah

dibekali dengan dengan nilai-nilai integritas, kejujuran yang berpegang pada nilai-nilai

Pancasila yang merupakan sumber pandangan dan harus digunakan sebagai pedoman dalam

melakukan segala sesuatu .


BAB II PEMBAHASAN

Teori GONE mengungkapkan bahwa seseorang yang korupsi pada dasarnya serakah

dan tak pernah puas. Tidak pernah ada kata cukup dalam diri koruptor yang serakah.

Keserakahan ditimpali dengan kesempatan, maka akan menjadi penyebab terjadinya tindak

pidana korupsi. Setelah serakah dan adanya kesempatan, seseorang berisiko melakukan

korupsi jika ada gaya hidup yang berlebihan serta pengungkapan atau penindakan atas pelaku

yang tidak mampu menimbulkan efek jera.

Jika dijabarkan lagi, faktor penyebab korupsi meliputi dua faktor, yaitu internal dan

eksternal. faktor internal merupakan penyebab korupsi dari diri pribadi antara lain karena sifat

serakah/tamak, adanya gaya hidup konsumtif dan moral yang lemah sedang faktor eksternal

karena sebab-sebab dari luar antara lain karena aspek social yakni masyarakat hanya

menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya atau terbiasa memberikan gratifikasi

kepada pejabat, aspek politik sepert pemimpin hasil money politics tidak akan peduli nasib

rakyat yang memilihnya, yang terpenting baginya adalah bagaimana ongkos politiknya bisa

kembali dan berlipat ganda, aspek Hukum yakni penegakan hukum yang tidak bisa

menimbulkan efek jera akan membuat koruptor semakin berani dan korupsi terus terjadi.

Hukum menjadi faktor penyebab korupsi jika banyak produk hukum yang tidak jelas

aturannya, pasal-pasalnya multitafsir, dan ada kecenderungan hukum dibuat

untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sanksi yang tidak sebanding terhadap pelaku

korupsi, terlalu ringan atau tidak tepat sasaran, juga membuat para pelaku korupsi tidak segan-

segan menilap uang negara. Aspek ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi.

Di antaranya tingkat pendapatan atau gaji yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fakta
juga menunjukkan bahwa korupsi tidak dilakukan oleh mereka yang gajinya pas-

pasan. Korupsi dalam jumlah besar justru dilakukan oleh orang-orang kaya dan berpendidikan

tinggi.dan yang terakhir aspek organisasi yang memberi andil terjadinya korupsi, karena

membuka peluang atau kesempatan. Misalnya tidak adanya teladan integritas dari pemimpin,

kultur yang benar, kurang memadainya sistem akuntabilitas, atau lemahnya sistem

pengendalian manajemen.

Masih besarnya angka data statistic Perkara Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan

oleh Pimpinan Daerah atau yang memegang jabatan strategis di Pemerintahan baik eselon I

sampai IV menunjukkan bukti hilangnya esensi kepemimpinanyang berkomitmen terhadap

nila-nilai Pancasila. Padahal pemimpin merupakan penggerak utama organisasi. Pemimpin

juga menjadi kunci keberhasilan dari suatu organisasi. Begitu juga kegagalan organisasi juga

tergantung bagaimana pemimpin melakukan proses kepemimpinanya. Pemberian layanan

dapat dilakukan secara optimal jika sistem kepemimpinan dikelola secara baik atas kendali

pemimpin. Harapannya dapat mendukung upaya memperkokoh makna dan implementasi

integritas dalam perilaku kerja serta menjadikan unit organisasi sebagai institusi yang

memiliki kesungguhan untuk mempraktikkan integritas. Integritas sering disederhanakan

maknanya sebagai kejujuran, kebajikan, berperilaku baik dan benar, atau bermoral. Maknanya

seringkali berkembang dan dikaitkan dengan pencegahan korupsi. Integritas merupakan hal

yang sangat penting bagi seorang Aparatur Sipil Negara karena integritas menjadi dasar dari

semua nilai pribadi seseorang.

Oleh karena itu apabila kita yang sudah dipercayakan menjadi pimpinan baik di level

yang tertinggi maupun level yang rendah dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab

milikilah etika dan integritas kepemimpinan Pancasila. Menjiwai nilai-nilai luhur yang
terkandung dari tiap sila yang ada dalam Pancasila. Dalam Pancasila terdapat lima sila yang

dimana setiap sila-sila itu memiliki arti yang berbeda tetapi memiliki tujuan yang satu yaitu

menciptakan dan mewujudkan cita-cita negara Indonesia. Apabila kita melakukan perbuatan

korupsi bukan hanya melanggar aturan negara tetapi hal itu juga telah melanggar ideologi dan

prinsip terhadap Pancasila dan akan menghancurkan Pancasila yang telah susah payah dibuat

oleh pendiri bangsa kita yang berjuang mati-matian. Tanamkan itu dalam pribadi kita sendiri

dan mulailah dari diri kita sendiri. Jadilah contoh dan teladan bagi bawahan dan lingkungan

sekitar kita. Dan mempunyai komitmen untuk “SAY N0 TO CORRUPTION” Mempunyai

budaya malu bukan saja terhadap diri sendiri,keluarga, masyarakat , bangsa dan Negara tetapi

terutama Tuhan yang sudah mempercayakan Tanggung Jawab yang kita pikul.. Sehingga kita

menjadi pimpinan yang berintegritas anti korupsi yang mampu mempertanggungjawabkan

kekayaan yang dimiliki sebagai penyelenggara Negara.


BAB III PENUTUP

1. KESIMPULAN

Praktek korupsi seringkali berhubungan dengan para pejabat-pejabat atau

Pimpinan yang memiliki kekuasaan sering menyalahgunakan kekuasaan tersebut dan

menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri tanpa memikirkan kepentingan-

kepentingan bangsa dan negaranya. Banyak negara-negara di dunia ini yang

mengalami penyelewengan tindakan korupsi, salah satunya adalah negara kita

Indonesia. Di Indonesia korupsi adalah hal yang sangat marak terjadi di lembaga

pemerintahan, Walaupun sudah didirikannya KPK untuk memberantas korupsi, hal itu

tidaklah cukup untuk menghilangkan korupsi di Indonesia.

2. SARAN

Milikilah etika dan integritas kepemimpinan Pancasila. Menjiwai nilai-nilai luhur

yang terkandung dari tiap sila yang ada dalam Pancasila. Jadilah contoh dan teladan

sebagai Pimpinan yang tidak gambang terjebak dalam praktek korupsi. Dan sebagai

orang yang mempunyai iman kepada Tuhan bahwa Jabatan adalah pemberian Tuhan

yang harus dipertanggungjawbkan kepada Tuhan. Sehingga tidak menjalankan

kekuasaan untuk kepentingan pribadi tetapi memberikan pelayanan untuk kepentingan

masyarakat umumnya.
Tindakan korupsi merupakan tindakan yang sangat fatal bagi negara, terutama tindakan

korupsi juga telah melanggar dan menyeleweng dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
Pancasila. Dengan menyelewengnya tindakan korupsi terhadap nilai-nilai luhur Pancasila itu

menyebabkan kondisi negara kita semakin bertambah buruk dan banyaknya terjadi

kegaduhan-kegaduhan yang sangat parah. Maka dari itu, kita haruslah melakukan segala

sesuatu sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila, terutama bagi para pejabat

agar ketika melakukan sesuatu tidak menimbulkan penyelewengan-penyelewengan yang

berdampak buruk bagi negara.


.

Faktor Penyebab Internal

1. Sifat serakah/tamak/rakus manusia

Keserakahan dan tamak adalah sifat yang membuat seseorang selalu tidak merasa cukup atas

apa yang dimiliki, selalu ingin lebih. Dengan sifat tamak, seseorang menjadi berlebihan

mencintai harta. Padahal bisa jadi hartanya sudah banyak atau jabatannya sudah tinggi.

Dominannya sifat tamak membuat seseorang tidak lagi memperhitungkan halal dan haram

dalam mencari rezeki. Sifat ini menjadikan korupsi adalah kejahatan yang dilakukan para

profesional, berjabatan tinggi, dan hidup berkecukupan.

2. Gaya hidup konsumtif

Sifat serakah ditambah gaya hidup yang konsumtif menjadi faktor pendorong internal

korupsi. Gaya hidup konsumtif misalnya membeli barang-barang mewah dan mahal atau

mengikuti tren kehidupan perkotaan yang serba glamor. Korupsi bisa terjadi jika seseorang

melakukan gaya hidup konsumtif namun tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai.

3. Moral yang lemah

Seseorang dengan moral yang lemah mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Aspek lemah

moral misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, atau rasa malu melakukan tindakan korupsi.

Jika moral seseorang lemah, maka godaan korupsi yang datang akan sulit ditepis. Godaan

korupsi bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberi

kesempatan untuk melakukannya.

Faktor Penyebab Eksternal

1. Aspek Sosial
Kehidupan sosial seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi, terutama

keluarga. Bukannya mengingatkan atau memberi hukuman, keluarga malah justru

mendukung seseorang korupsi untuk memenuhi keserakahan mereka. Aspek sosial lainnya

adalah nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung korupsi. Misalnya, masyarakat

hanya menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya atau terbiasa memberikan

gratifikasi kepada pejabat.

2. Aspek Politik

Pejabat yang berkuasa dengan politik uang hanya ingin mendapatkan harta, menggerus

kewajiban utamanya yaitu mengabdi kepada rakyat. Melalui perhitungan untung-rugi,

pemimpin hasil money politics tidak akan peduli nasib rakyat yang memilihnya, yang

terpenting baginya adalah bagaimana ongkos politiknya bisa kembali dan berlipat ganda.

3. Aspek Hukum

Hukum sebagai faktor penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi, sisi perundang-undangan

dan lemahnya penegakan hukum. Koruptor akan mencari celah di perundang-undangan

untuk bisa melakukan aksinya. Selain itu, penegakan hukum yang tidak bisa menimbulkan

efek jera akan membuat koruptor semakin berani dan korupsi terus terjadi.

Hukum menjadi faktor penyebab korupsi jika banyak produk hukum yang tidak jelas

aturannya, pasal-pasalnya multitafsir, dan ada kecenderungan hukum dibuat

untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sanksi yang tidak sebanding terhadap pelaku

korupsi, terlalu ringan atau tidak tepat sasaran, juga membuat para pelaku korupsi tidak

segan-segan menilap uang negara.

4. Aspek Ekonomi
Faktor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Di antaranya tingkat

pendapatan atau gaji yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fakta juga menunjukkan

bahwa korupsi tidak dilakukan oleh mereka yang gajinya pas-pasan. Korupsi dalam jumlah

besar justru dilakukan oleh orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi.

5. Aspek Organisasi

Faktor eksternal penyebab korupsi lainnya adalah organisasi tempat koruptor berada.

Biasanya, organisasi ini memberi andil terjadinya korupsi, karena membuka peluang atau

kesempatan. Misalnya tidak adanya teladan integritas dari pemimpin, kultur yang benar,

kurang memadainya sistem akuntabilitas, atau lemahnya sistem pengendalian manajemen.


Praktik korupsi di Indonesia sulit diberantas sampai habis

korupsi merupakan budaya bangsa Indonesia. Ungkapan tersebut sering kita dengar, dan
bahkan secara tidak sadar, kita sering membenarkan ungkapan tersebut. Ungkapn tersebut
tentu lahir bukan tanpa sebab. Menjamurnya korupsi di setiap lapisan masyarakat, membuat
banyak orang yang secara tidak sadar menganggap bahwa korupsi memang telah menjadi
budaya di negeri ini. Bagaimana tidak, tak perlulah rasanya melihat berbagai kasus korupsi
atau OTT KPK yang diberitakan di media massa atau televisi nasional kita, itu terlalu
mainstream, sudah bukan barang aneh lagi di negeri ini. Dan juga, “terlalu sedikit” untuk
menggambarkan bahwa korupsi memang mewabah di negeri ini. Kenapa saya katakan
terlalu sedikit? Karena kenyataan yang terjadi di lapangan membuka mata kita bahwa
korupsi memang telah terjadi merata di seluruh lapisan masyarakat kita, bukan hanya di
level politisi, bukan hanya di level kepala daerah, tidak juga hanya di level para pejabat
pemerintahan, atau hanya terjadi di lingkungan pemerintahan serta dilakukan oleh para
PNS/ASN. Tidak. Tidak hanya itu! Korupsi memang seakan-akan telah menjadi budaya
bangsa ini. Kenapa? Karena budaya merupakan sesuatu yang baik dan perlu dilestarikan,
sementara korupsi, nyolong, merupakan sesuatu pekerjaan yang tidak baik dan perlu
dibumihanguskan dari negeri ini. karena masih lemahnya integritas dan kesadaran diri
sejumlah pejabat dan sebagian masyarakat,

Korupsi harus diberantas karena korupsi bisa berdampak kerugian di segala segi
kehidupan, mulai dari kemiskinan hingga hancurnya perekonomian negara. Tindakan
korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan negara. Korupsi mengakibatkan
melambatnya pertumbuhan ekonomi negara, menurunnya investasi, meningkatnya kemiskinan
serta meningkatnya ketimpangan pendapatan.

Semakin tinggi korupsi di suatu negara, bisa dipastikan negara tersebut tidak
sejahtera/maju dan layanan publiknya memprihatinkan. Sebaliknya, negara
yang sangat rendah tingkat korupsinya, maka negara tersebut sejahtera/
maju, kehidupan sosial dan pelayanan publiknya baik. Oleh sebab itu, korupsi
bukanlah budaya, namun kemungkinan bisa membudaya

Peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi adalah mencegah, melaporkan dan
menolak ikut serta dalam praktik korupsi.

tindak pidana korupsi, yaitu:

 Kerugian Keuangan Negara. ...


 Suap Menyuap. ...
 Penggelapan dalam Jabatan. ...
 Pemerasan. ...
 Perbuatan Curang. ...
 Benturan Kepentingan dalam Pengadaan. ...
 Gratifikasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian korupsi adalah penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain.

Sementara itu, menurut hukum di Indonesia, pengertian korupsi adalah perbuatan melawan
hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain, baik perorangan maupun
korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara/perekonomian negara.
Dalam arti yang luas, pengertian korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan
pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya
korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan
untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya.

Kenapa di atas saya katakan bahwa korupsi tidak sesempit yang diberitakan di
televisi/koran-koran saja? Korupsi juga tidak sebatas yang dilakukan oleh para pejabat,
kepala daerah, atau para ASN, namun korupsi telah dilakukan merata di seluruh lapisan
masyarakat. Coba kita lihat, banyak pedagang yang mengurangi timbangan barang
dagangannya, banyak penjual BBM yang mengurangi jumlah literannya, sopir-sopir truk
yang minta jatah ketika mengirim barang kepada pelanggannya, tukang parkir yang tidak
memberikan uang kembalian kepada para pemarkir sepeda motor, dan sebagainya. Bahkan,
yang lebih memprihatinkan lagi adalah, banyak anak-anak sekolah yang mulai belajar
menipu orangtua mereka, lewat uang SPP lah, uang buku yang di-mark up lah, dan
sebagainya. Dan itu terjadi sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Miris bukan? Artinya,
proses belajar menjadi “maling” ini sudah dimulai semenjak bangsa ini masih berada di usia
sekolah. Artinya lagi, korupsi memang tidak hanya terjadi di lingkungan pemerintahan,
namun hampir di semua lini kehidupan kita. Ya tentu tidak semuanya ya, dan saya pribadi
sangat berharap bahwa hal itu hanya dilakukan oleh segelintir orang saja, para oknum.

Makna budaya

Di atas, saya mengatakan bahwa budaya merupakan sesuatu hal yang baik dan layak untuk
dipertahankan, sehingga korupsi memang bukanlah budaya. Dari sudut pandang bahasa, kata
“budaya” berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu Buddhaya, yang merupakan bentuk jamak dari
kata Buddhi yang artinya adalah segala hal yang berhubungan dengan budi dan akal
manusia. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan budaya
sebagai pikiran, akal budi atau adat istiadat. Sehingga dari pengertian tersebut, sangat jelas
bahwa dalam pengertian budaya terdapat sebuah perilaku yang didasarkan pada unsur
kebaikan, yakni berstandar pada akal budi.

Sedangkan korupsi jelas secara nyata merupakan perbuatan busuk dan tidak bersandar pada
budi maupun akal yang baik. Oleh karena itu korupsi bukanlah merupakan budaya. Korupsi
merupakan perbuatan yang merugikan orang lain dan bahkan merugikan bangsa dan negara,
korupsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam kehidupan
masyarakat.

Menurut Prof. Mahfud MD, salah satu ahli hukum di negeri ini, korupsi bukan merupakan
budaya bangsa Indonesia dengan menyebutkan tiga alasan. Pertama, yang namanya budaya
pasti selalu berkaitan dengan kebaikan budi. Budaya adalah hasil daya cipta, rasa, dan karsa
manusia yang tentu melahirkan perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Apalagi kita
sudah mengklaim sendiri sebagai bangsa yang mempunyai budaya adiluhung (unggul), dan
ini diamini pula oleh bangsa lain. Bahkan dalam tiga azimat revolusi yang dikemukakan
oleh Bung Karno, bangsa Indonesia harus berkepribadian sesuai dengan budaya bangsa. Apa
iya, Bung Karno akan menyuruh Bangsa Indonesia berkepribadian korupsi? Tentu saja tidak
bukan?

Yang kedua, apabila kita beranggapan dan percaya bahwa korupsi merupakan bagian dari
budaya, maka kita adalah bangsa yang pesimis dan takluk terhadap korupsi. Berarti sama
saja kita menganggap korupsi sebagai hal yang biasa dan amat sulit diberantas, sebab yang
namanya budaya itu sudah dihayati sebagai kebiasaan hidup yang tumbuh dan berkembang
selama berabad-abad sehingga sulit dihentikan juga sampai berabad-abad ke depannya.
Dengan sikap “lemah” seperti itu bagaimana mungkin kita akan memerangi korupsi?

Yang ketiga, perjalanan bangsa Indonesia pada awal kemerdekaan kenyataan menunjukkan
korupsi bisa diatasi atau diminimalisasikan melalui konfigurasi dan kebijakan-kebijakan
politik. Pada awal kemerdekaan sampai menjelang tahun 1950-an, negara kita relatif bisa
memerangi korupsi. Pada era itu, korupsi besar bisa dihitung dengan jari dan tetap mudah
diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Ada menteri-menteri diajukan ke pengadilan dan
dihukum karena tindak pidana korupsi (seperti Menteri Agama dan Menteri Kehakiman).

Kesimpulan dan bagaimana selanjutnya

Korupsi tidak hanya terjadi di lapisan “atas” negeri ini, tidak hanya para pejabat, tidak hanya
para ASN, pun tidak sesempit yang telah muncul diberitakan di media-media. Korupsi jauh
lebih luas dari itu semua, dan telah mewabah di seluruh lapisan masyarakat kita. Korupsi
bukanlah budaya bangsa kita. Akan lebih tepat jika dikatakan bahwa korupsi merupakan
wabah penyakit yang menjangkiti seluruh lapisan bangsa ini. Oleh karena wabah penyakit,
maka korupsi harus segera ditemukan obat penawarnya, sehingga bangsa ini perlahan dapat
menjadi bangsa yang anti korupsi. Korupsi harus dijadikan momok, harus dijadikan sebagai
musuh bersama bangsa ini, sehingga setiap orang di negeri ini akan merasa “jijik” dengan
semua hal yang berbau korupsi. Setiap orang harus merasa jijik terharap koruptor, setiap
orang harus merasa jijik dengan para pengemplang pajak, setiap orang harus merasa jijik
dengan para pedagang yang suka mengurangi timbangan, setiap orang harus merasa jijik
dengan orang-orang yang meminta sesuatu yang diluar haknya, bahkan setiap orang harus
merasa jijik dengan dirinya sendiri jika melakukan kegiatan mencuri/korupsi. Dengan
menanamkan rasa jijik itu, maka semua aktivitas terkait korupsi, akan menjadi “kotoran”
yang menjijikkan seluruh lapisan bangsa ini, dan harus dijauhi bersama.

Anda mungkin juga menyukai