Anda di halaman 1dari 7

TUGAS ESSAY AGENDA I

PERAN KEPEMIMPINAN PANCASILAN DALAM


PENCEGAHAN KORUPSI

Disusun oleh: Yovi Silfani, S.E.


Peserta Diklat PKP Angkatan I Tahun 2022
A. Pendahuluan

Integritas diartikan sebagai sifat yang menggambarkan keadaan seseorang


dengan segenap keutuhan potensi diri serta kemampuan yang memancarkan
kewibawaan yang baik dan jujur, diwujudkan dalam tindakan yang konsisten dan teguh
serta tidak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dengan sepenuh
keyakinan. Rusaknya integritas, antara lain telah menghadirkan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) di Indonesia. KKN bukan lagi merupakan fenomena, melainkan
sudah merupakan fakta yang terkenal di mana-mana serta menjangkiti seluruh
komponen warga bangsa.
Praktik KKN di Indonesia pada dasawarsa terakhir ini menunjukkan peningkatan
atau eskalasi, baik kualitas dan kuantitas, terutama berkenaan dengan korupsi.
Anggapan ini dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu pertama, memang telah terjadi
penambahan korupsi baik dalam perilaku, maupun jumlah uang yang dikorupsi, kedua,
makin banyak perbuatan korupsi yang dapat diungkap dan ketiga, penegak hukum tidak
berhasil secara efektif memberantas korupsi. Kini, pasca rezim otoriter Orde Baru
berlalu lebih dari satu dekade, wabah itu semakin masif menjangkiti masyarakat.
Semakin jelas bahwa praktik KKN tidak sekedar meluas keberadaannya, tetapi juga
telah berurat-akar dan menggurita dalam sistem birokrasi Indonesia, mulai dari Aparatur
Sipil Negara (ASN) di tingkat pusat hingga lapisan penyelenggara negara yang paling
bawah, termasuk hakim-hakim.
Banyaknya kejadian Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK terhadap aparat
peradilan membuktikan bahwa Korupsi masih saja terjadi di Lembaga peradilan. Yang
terbaru adalah OTT terhadap seorang Hakim dan Panitera Pengganti pada Pengadilan
Negeri Surabaya yang terjadi pada bulan Januari 2022. Hal ini tentu saja sangat
mencoreng wajah Lembaga peradilan, apalagi diketahui bahwa Pengadilan Negeri
Surabaya telah mendapat Predikat WBK (Wilayah Bebas Korupsi). Kejadian OTT
Hakim dan Panitera Pengganti di Pengadilan Negeri Surabaya mengakibatkan
dicabutnya sertifikat Wilayah Bebas Korupsi bagi Pengadilan Negeri Surabaya.
Fenomena banyaknya aparat peradilan yang terlibat kasus korupsi menjadi
menarik untuk dibahas lebih lanjut, karena jika dilihat dari segi pendapatan para aparat
peradilan sudah jauh lebih besar daripada sebelumnya terutama untuk para Hakim
adanya kenaikan tunjangan Hakim pasca dikeluarkan PP nomor 94 Tahun 2012
mengenai hak keuangan dan fasilitas hakim.
Apa yang menjadi penyebabnya? Bahkan yang lebih ironis adalah, selalu saja
ada perlawanan terhadap penindakan pelaku KKN dari berbagai pihak dengan
berbagai dalih yang terkesan dicari-cari sekedar untuk melemahkan penegakkan
hukum terhadap pelaku KKN. Apakah pemberantasan KKN sekedar persoalan
penegakan hukum semata? Atau memang tuntutan dan gaya hidup yang semakin
meningkat mengakibatkan sesorang bahkan sampai Hakim pun terlibat praktik
Korupsi. Tulisan ini untuk membahas betapa integritas moral yang tinggi seyogianya
inheren dalam diri setiap warga bangsa, utamanya hakim sebagai penegak hukum
yang merupakan bagian dari penyelenggara negara, termasuk di dalamnya semua
ASN sebagai birokrat yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat, agar
segala daya upaya untuk membersihkan perilaku KKN akan mendapatkan hasil yang
gemilang.

B. Permasalahan dan Analisa


Apakah oknum Hakim dan ASN yang melakukan KKN itu merupakan
penyebab atau akibat dari suatu keadaan yang lebih luas. Pertama, benarkah kasus-
kasus KKN yang dilakukan oleh oknum hakim dan/atau ASN pengadilan pada setiap
tingkatan itu akibat kesejahteraan mereka yang tidak dipenuhi? Kedua, bila itu yang
terjadi, benarkah pemenuhan tuntutan kenaikan gaji serta take home pay akan
berbanding lurus dengan perbaikan integritas moral personal hakim serta ASN di
Indonesia? Ketiga, benarkah model “lelang jabatan” dalam pengisian jabatan birokrasi
ASN untuk meraih karier tertinggi pada lingkungan jabatannya?
Integritas dan moral terpuji, ternyata merupakan unsur yang sangat langka pada
dewasa ini, tidak terkecuali juga para aparatur di pengadilan, termasuk para hakim.
Akibatnya, semakin merosotnya komitmen moral terhadap cita-cita profesi yang dapat
diamati dari makin melembaganya penyelewengan cita-cita profesi, baik melalui praktik
dagang hukum, suap menyuap, maupun kolusi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
putusan hakim bisa diatur (dikompromikan) sesuai permintaan pihak yang berperkara
dengan kompensasi sejumlah uang. Tolok ukur uang kompensasi tergantung kepada
bobot kasus (nilai uangnya) dan berat ringannya putusan yang diharapkan. Semakin
tinggi bobot perkara, semakin tinggi pula kompensasinya, dan semakin ringan vonis
yang dimintakan, semakin besar pula uang balas jasanya, begitu pula sebaliknya.
Para hakim cenderung lebih mengutamakan ambisinya ketimbang misi hukum
dan keadilan. Cukup banyak hakim yang telah dengan sadar menggadaikan
idealismenya (cita-cita profesi) demi untuk mendapatkan uang guna memperkaya diri
sendiri. Motto perjuangan fiat justitia roeat coelum, yang artinya tegakkan keadilan
meskipun langit akan runtuh, telah diselewengkan demi uang meskipun keadilan akan
hancur.
Hakim itu harus bebas dalam menentukan keputusannya, namun apabila
tindakan itu dikaitkan pada kehidupan sosial yang lebih besar yang melingkupinya,
maka diketahui bahwa peranan yang dapat dimainkan oleh seorang hakim dalam
masyarakat itu sangat ditentukan oleh adanya beban pengaruh berupa harapan dan
tuntutan yang datang dari masyarakat itu sendiri. Beban pengaruh, harapan, dan
tuntutan dari masyarakat bagi penegak hukum kadang-kadang datangnya itu tidak
menunjang bagi pelaksanaan tugas penegakan hukum. Sebagai contoh, rendahnya
kesadaran hukum masyarakat dan berlangsungnya praktik-praktik KKN (suap-
menyuap dan sogok-menyogok) dalam praktik penegakan hukum. Oleh karena itu,
kelompok masyarakat yang memiliki sumber daya ekonomi kuat, politik, dan
kekuasaan, tentu sangat membawa pengaruh terhadap proses penegakan hukum di
pengadilan. Dengan kata lain, kelompok masyarakat dengan status sosial tinggi, yang
didukung oleh kondisi ekonomi kuat, tentu lebih memiliki akses untuk mendapatkan
keadilan.
Tantangan eksternal lain yang datang dari masyarakat dalam proses
penegakan hukum adalah kurangnya kepercayaan kepada penegak hukum,
merosotnya wibawa hukum, dan melembaganya budaya hedonis dan konsumtif
dalam masyarakat. Budaya hedonis dan konsumtif jika sempat menghinggapi perilaku
hakim maupun penegak hukum yang lainnya, hasilnya sungguh sangat
membahayakan. Masalahnya, seperti dikonstatir oleh Chambliss & Seidman, yang
dituturkan kembali oleh Satjipto Rahardjo, bahwa sama halnya dengan orang-orang
lain, hakim juga menginginkan status, kekuasaan, dan kedudukan istimewa (privilege)
yang semakin meningkat di masyarakat. Dalam kedudukannya yang demikian itu, ia
akan terlibat dalam suasana kehidupan golongan atas atau elit. Menghadiri acara-
acara minum-minum, menjadi anggota di klub-klub, mengikuti pertemuan-pertemuan
politik, merupakan bagian dari kegiatan-kegiatan sosial yang harus dilakukannya.
Dengan demikian, ia (hakim) juga akan mengalami pergaulan yang erat dengan
orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan orang-orang kaya. Dalam hal ini,
pengaruh orang-orang tersebut dengan mudah akan memasuki pikiran hakim melalui
percakapan-percakapan informal yang dilakukan di situ.
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi
menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor- faktor penyebabnya bisa
dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi
lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini adalah
aspek-aspek penyebab seseorang berbuat Korupsi:
a. Aspek Individu Pelaku, yaitu sifat tamak manusia, moral yang kurang kuat,
penghasilan yang kurang mencukupi, kebutuhan yang mendesak, gaya hidup
konsumtif, malas atau tidak mau kerja, serta ajaran agama yang kurang
diterapkan.
b. Aspek Organisasi, yaitu :
1. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan. Posisi pemimpin dalam suatu
lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi
bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di
hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan
besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya.
2. Tidak adanya kultur organisasi yang benar. Kultur organisasi biasanya
punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak
dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif
mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif,
seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
3. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang
memadai. Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan
dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan
dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna
mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit
dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya
atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi
penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi
organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
4. Kelemahan sistim pengendalian manajemen. Pengendalian manajemen
merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi
dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian
manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak
korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
5. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi. Pada
umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang
dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini
pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
c. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada, yaitu ;
1. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa
ditimbulkan oleh budaya masyarakat
2. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi.
3. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi
pasti melibatkan anggota masyarakat.
4. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan
diberantas bila masyarakat ikut aktif.

C. Peranan Kepemimpinan Pancasila dalam Pencegahan Korupsi


Posisi pemimpin dalam suatu birokrasi pemerintahan mempunyai pengaruh
penting bagi bawahannya maupun masyarakat sekitarnya. Bila pemimpin tidak bisa
memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi,
maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya. Oleh karena itu dalam upaya pemberantasan korupsi peran kepemimpinan
dapat diwujudkan melalui penerapan Kepemimpinan Pancasila yaitu suatu
kepemimpinan yang memiliki jiwa/semangat Pancasila dengan sikap yang konsisten
dan konsekwen dalam pengamalan nilai-nilai/norma-norma Pancasila sehari-hari yang
berdasarkan tata demokrasi. Prinsip-prinsip dasar Kepemimpinan Pancasila yaitu
kesadaran akan dirinya sebagai Insan Hamba Tuhan Yang Maha Esa, Insan Politik
Pancasila, Insan Ekonomi Pancasila, Insan Sosial Budaya Pancasila dan Sebagai Insan
Warga Negara Pancasila.
Guna kemantapan dalam Kepemimpinan Pancasila dalam upaya pencegahan
dan pemberantasan korupsi pada pemerintahan pasca reformasi ini, maka para
pemimpin harus meiliki sifat-sifat sebagai berikut :
a. Kewibawaan : dimana seorang pemimpin yang pancasilais harus memiliki
kelebihan-kelebihan tertentu dari orang-orang yang dipimpinnya, terutama
yang berkaitan dengan mental perjuangan dan kejuangan, memiliki
integritas kepribadian, royal terhadap organisasi/satuan, memiliki etos
kerja yang tinggi, peka terhadap perubahan situasi, serta memiliki
kemampuan persuasi, serta memberi motivasi kepada anggota-
anggotanya termasuk untukmencegah dan memberantas tindak korupsi.

b. Disiplin : yaitu sikap mental yang terermin dalam perbuatan atau tingkah
laku yang berupa kepatuhan dan ketaatan baik secara sadar maupun
melalui pembinaan terhadap norma-norma kehidupan dan penghidupan
yang berlaku dengan keyakinan, bahwa dengan norma-norma tersebut
cita-cita bersama akan dapat tercapai. Dalam hal pencegahan dan
pemberantasan korupsi peranan kepemimpinan untuk menanamkan
kedisiplinan kepada bawahannya dengan mentaati dan patuh terhadap
peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi yang
merugikan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

c. Keteladanan: adalah sikap hidup dan perbuatan dimana obyek


ketauladanan terletak pada subyek diri pribadi. Untuk itu sikap ketauladanan
tidak sama dengan contoh dimana obyek keteladanan terletak pada diri
orang lain yang ditiru. Sikap tauladan bagi seorang pemimpin sangat
berperan dalam mempengaruhi masing-masing pribadi anggota bawah
perintahnya dalam rangka menjadikan dirinya sebagai ”panutan”.

Anda mungkin juga menyukai