Anda di halaman 1dari 10

RESUME PENDIDIKAN KARAKTER DAN ANTI KORUPSI

Nama : Tania Stephanie Wagiu


Stambuk : 22130028
Kelas : M1M21
Mata Kuliah : Pendidikan Karakter dan Anti Korupsi
Dosen Pengampu : Dr. Fatma, S.Pd.,M.Pd.

Pendidikan Karakter dan Anti Korupsi


Korupsi sendiri adalah kejahatan yang mendapat perhatian masyarakat
luas. Korupsi merupakan penyelewengan terhadap wewenang publik yang
timbul karena kurangnya kontrol terhadap kekuasaan yang dimiliki dan
terbukanya kesempatan untuk menyelewengkan kekuasaan tersebut.
Sejak era reformasi, korupsi menjadi kejahatan yang secara terus
menerus mendapatkan perhatian untuk mendapatkan penanganan secara
serius. Korupsi berakar dari lemahnya pendidikan karakter antikorupsi
dalam keluarga. Oleh karenanya pendidikan karakter antikorupsi mulai
digiatkan kembali dalam jalur pendidikan formal.
Karakter adalah suatu pembawaan individu berupa sifat, kepribadian,
watak serta tingkah laku yang diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Karakter merupakan istilah yang saat ini banyak didengar
yang memiliki arti sebagai bentuk kegiatan manusia yang didalamnya
terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi
selanjutnya yang bertujuan untuk membentuk penyempurnaan diri individu
secara terus-menerus dan melatih kemampuan diri demi menuju ke arah
hidup yang lebih baik. Dalam pendidikan pada hakekatnya ada dua tujuan
yang akan dicapai, yaitu membantu manusia untuk menjadi individu yang
cerdas dan pintar, dan membantu menjadi manusia yang baik.
Sikap antikorupsi merupakan tindakan untuk mengendalikan dan
mengurangi korupsi berupa keseluruhan upaya untuk mendorong
generasi mendatang untuk mengembangkan sikap menolak secara tegas
terhadap setiap bentuk korupsi. Dalam lingkungan keluarga sikap
antikorupsi ini sangat penting dan berperan besar dalam menciptakan
generasi mendatang tanpa korupsi. Pola didikan dalam keluarga dan
pendidikan antikorupsi di sekolah atau perguruan tinggi akan mampu
membuat masyarakat terutama generasi muda dalam mengenal lebih dini
hal-hal yang berkenaan dengan korupsi temasuk sanksi yang akan
diterima jika melakukan korupsi. Dengan begitu, akan tercipta generasi
yang sadar dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi dan
tahu akan sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi. Sehingga,
masyarakat akan mengawasi setiap tindak korupsi yang terjadi dan secara
bersama memberikan sanksi moral bagi koruptor.
Pendidikan antikorupsi melalui jalur pendidikan lebih efektif, karena
pendidikan merupakan proses perubahan sikap mental yang terjadi pada
diri seseorang, dan melalui jalur ini lebih tersistem serta mudah terukur,
yaitu perubahan perilaku antikorupsi. Perubahan dari sikap membiarkan
dan memaafkan para koruptor ke sikap menolak secara tegas tindakan
korupsi, tidak pernah terjadi jika kita tidak secara sadar membina
kemampuan generasi mendatang untuk memperbaharui sistem nilai yang
diwarisi untuk menolak korupsi sesuai dengan tuntutan yang muncul
dalam setiap tahap pernjalanan bangsa kita.
Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan oleh pemerintah
Indonesia dengan membentuk berbagai macam unit khusus dan mengatur
berbagai kebijakan dalam rangka mempersempit kesempatan bagi
siapapun untuk melakukan korupsi. Namun setelah lebih satu dekade
upaya pemberantasan korupsi, indeks persepsi korupsi yang
menggambarkan tingkat korupsi di Indonesia menunjukkan angka yang
sangat fantastis. Indonesia masih menempati urutan pertama negara
terkorup di kawasan asia tenggara. Ancaman hukuman mati bagi koruptor
bahkan saat ini didengungkan namun bila melihat data statistik yang ada,
tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi bahkan semakin terang-terangan
dari mulai pelayanan masyarakat di tingkat kelurahan hingga tingkat
pusat.
Korupsi diibaratkan sebagai mata rantai yang saling berhubungan satu
sama lain dan hal itu juga yang menyebabkan korupsi seakan-akan tidak
memiliki ujung pangkal. Untuk memudahkan pemahaman kita agar dapat
mengetahui penyebab-penyebab terjadinya korupsi, maka perlu dibuat
rumusan yang agar dapat memudahkan kita dalam memahami dan
mengerti faktor penyebab korupsi.

Penyebab Terjadinya Korupsi


1. Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang.
Persepsi terhadap korupsi atau pemahaman seseorang mengenai korupsi
tentu berbeda-beda. Salah satu penyebab korupsi di Indonesia adalah
masih bertahannya sikap primitif terhadap praktik korupsi karena belum
ada kejelasan mengenai batasan bagi istilah korupsi. Sehingga terjadi
beberapa perbedaan pandangan dalam melihat korupsi.
Kualitas moral dan integritas individu juga berperan penting dalam
peyebab korupsi di Indonesia dari faktor internal. Adanya sifat serakah
dalam diri manusia dan himpitan ekonomi serta self esteem yang rendah
dapat membuat seseorang melakukan korupsi. Adapun beberapa
pernyataan ahli yang menyimpulkan beberapa poin penyebab korupsi di
Indonesia adalah sebagai berikut:
• peninggalan pemerintahan kolonial.
• kemiskinan dan ketidaksamaan.
• gaji yang rendah.
• persepsi yang popular.
• pengaturan yang bertele-tele.
• pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
 Aspek Perilaku Individu:
1. Sifat tamak atau rakus
2. Moral yang kurang kuat
3. Gaya hidup yang konsumtif
 Aspek Sosial
Keluarga dapat menjadi pendorong seseorang untuk berperilaku korup.
Menurut kaum bahviouris, lingkungan keluarga justru dapat menjadi
pendorong seseorang bertindak korupsi, mengalahkan sifat baik yang
sebenarnya telah menjadi karakter pribadinya. Lingkungan justru memberi
dorongan, bukan hukuman atas tindakan koruptif seseorang.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri seseorang.
Faktor eksternal yang menjadi penyebab korupsi di Indonesia adalah
sebagai berikut;
 Hukum
Sistem hukum di Indonesia untuk memberantas korupsi masih sangat
lemah. Hukum tidak dijalankan sesuai prosedur yang benar, aparat mudah
disogok sehingga pelanggaran sangat mudah dilakukan oleh masyarakat.
 Politik
Monopoli Kekuasaan merupakan sumber korupsi, karena tidak adanya
kontrol oleh lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat. Faktor yang
sangat dekat dengan terjadinya korupsi adalah budaya penyalahgunaan
wewenang yang berlebih dalam hal ini terjadinya KKN. Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme (KKN) yang masih sangat tinggi dan tidak adanya sistem
kontrol yang baik menyebabkan masyarakat meng anggap bahwa korupsi
merupakan suatu hal yang sudah biasa terjadi.
 Sosial
Lingkungan sosial juga dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan
korupsi. Korupsi merupakan budaya dari pejabat lokal dan adanya tradisi
memberi yang disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab.
Aspek-Aspek Penyebab Korupsi di Indonesia
Terdapat aspek-aspek yang menjadi penyebab orang-orang melakukan
tindak pidana korupsi, terutama di Indonesia. Aspek-aspek penyebab
korupsi di Indonesia tersebut meliputi:
1. Aspek Sikap Masyarakat terhadap Korupsi
2. Aspek Ekonomi
3. Aspek Politis
4. Aspek Organisasi

Dampak Negatif Korupsi di Indonesia


Korupsi memiliki dampak negatif bagi negara indonesia. Korupsi memiliki
dampak hebat, utamanya terhadap ekonomi. Beberapa ahli juga membuat
statement yang dapat diringkas beberapa poin, bahwa korupsi
menyebabkan enam hal sebagai berikut:
 Investasi mejadi rendah, terutama investasi langsung dari luar negeri.
 Mengurangi pertumbuhan ekonomi.
 Mengubah komposisi belanja pemerintah menjadi tidak produktif.
 Ketidaksamaan dan kemiskinan menjadi lebih besar.
 Mengurangi efisiensi bantuan.
 Menyebabkan negara menjadi krisis.

Tujuan diadakannya pendidikan karakter anti korupsi


1. pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk korupsi
dan aspek – aspeknya
2. pengubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi
3 pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang dituduhkan untuk
melawan korupsi.
Manfaat jangka panjangnya dapat menyumbang pada keberlangsungan
sistem integrasi Nasional dan program anti korupsi. Dalam jangka pendek
adalah pembangunan kemauan politik bangsa Indonesia untuk
memerangi korupsi.

Peran Generasi Muda dalam Pemberantasan Korupsi


Generasi muda merupakan lapisan terbawah dari masyarakat yang
umumnya terdiri dari anak-anak, remaja dan pemuda yang berumur
antara 0 - 30 tahun. Generasi muda memiliki arti yang amat penting dalam
tatanan kehidupan suatu bangsa. Sebagaimana umum diketahui, generasi
muda merupakan tulang punggung suatu bangsa yang dibahunya
terdapat harapan-harapan akan masa depan yang lebih baik. Generasi
muda sangat identik dengan perubahan dan bahkan kerap menjadi motor
bagi perubahan itu sendiri. Contohnya di masa penjajahan atau sebelum
kemerdekaan, ada gerakan pemuda yang menghantarkan pemuda
Indonesia untuk melakukan Sumpah Pemuda yang melibatkan berbagai
pemuda dari seluruh Indonesia. Kemudian di masa setelah kemerdekaan,
ada beberapa gerakan pemuda seperti Angkatan 66 yang mengkritisi
pemerintah Indonesia sampai gerakan pemuda pada reformasi 1998.
Uraian tersebut menggambarkan bahwa pemuda memiliki suatu potensi
sebagai agen perubahan atau agent of change. Potensi agent of change
ini terlihat dalam idealisme dan integritas murni dari generasi muda dalam
menyikapi permasalahan-permasalahan sosial. Seringkali generasi muda
memiliki pemikiran dan tindakan kritis yang dapat membawa perubahan
bagi bangsa menuju ke arah yang lebih positif di masa mendatang.
Potensi agent of change menjadikan generasi muda selalu diyakini
sebagai asset bangsa. Kesadaran hukum dalam diri manusia kerap kali
muncul dalam bentuk nilai-nilai positif dan negative yang difilterisasi
dengan menggunakan kesusilaan dan keadilan kemudian melahirkan
konsepsi abstrak tentang kepatutan yang diwujudkan dengan kepatuhan
hukum. Oleh karena itu, dalam upaya membangun kesadaran hukum
seseorang, edukasi atau pendidikan merupakan salah satu jalur yang
dapat dipergunakan. Dengan jalan pendidikan seseorang diharapkan
dapat membangun karakter yang paham dan taat akan hukum sehingga
akan memiliki kemauan untuk melaksanakan hukum dan menjadi bagian
dari hukum itu sendiri. Dimulai dari pendidikan yang kita dapat pertama
kali yaitu dari orang tua atau lingkungan rumah kemudian ketingkat-tingkat
yang lebih tinggi.
Pendidikan memiliki suatu peran penting dalam pembentukan karakter
dari pada suatu bangsa. Melalui pendidikan seringkali muncul harapan-
harapan tentang kesejahteraan di berbagai bidang. Secara terminology,
pendidikan berasal dari kata paideia (pedagogi), artinya pembentukan
generasi muda agar menjadi manusia yang berbudaya dan mampu
mengambil bagian dalam kehidupan di tengah masyarakat.
Dalam kaitannya dengan pencegahan korupsi, maka pembentukan
karakter haruslah menjadi dasar utama pendidikan anti koruptif. Tanpa
adanya dasar utama pembentukan karakter maka tujuan dilaksanakannya
pendidikan anti koruptif pun akan menjadi sia-sia. Pendidikan anti koruptif
tidak dirancang untuk memberantas korupsi tanpi mencegah dengan jalan
melatih orang untuk memiliki kesadaran untuk berperilaku anti koruptif.
Pendidikan anti koruptif tidak akan memiliki daya guna jika karakter yang
terbentuk masih bukan karakter anti koruptif. Oleh karena itu dalam
pendidikan anti koruptif, pemahaman tentang nilai-nilai korupsi sebagai
nilai-nilai yang negative dan merugikan banyak pihak sangatlah penting
diberikan. Dengan pemahaman demikian maka akan terbentuk karakter
anti koruptif.
Pembentukan karakter anti koruptif yang dilakukan melalui pendidikan anti
koruptif akan mempertajam dan mengasah idealisme dan integritas yang
dimiliki oleh generasi muda dalam memandang korupsi sebagai perbuatan
melawan hukum yang harus segera dicegah, ditanggulangi dan diberantas
karena dapat mengakibatkan kerugian yang sifatnya materiil maupun
immateriil. Pendidikan anti koruptif dengan mengembangkan
pembentukan karakter anti koruptif pada prinsipnya mendapat tantangan
besar dari kondisi korupsi yang saat ini sudah begitu membudaya dan
mengakar daging namun pembentukan karakter anti koruptif ini harus
terus menerus diupayakan sebagai bentuk penanggulangan korupsi di
masa mendatang.

Integritas Penegak Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi


Tindak pidana korupsi merupakan persoalan klasik yang telah lama ada.
Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah
satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian di indonesia yang terjadi
secara sistemik dan meluas hingga bukan saja merugikan kondisi
keuangan negara tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas.
Korupsi dewasa ini telah menjadi masalah global antar negara, yang
tergolong kejahatan transnasional bahkan atas implikasi buruk
multidimensi kerugian ekonomi dan keuangan negara yang besar, maka
korupsi dapat digolongkan sebagai extra-ordinary crime sehingga harus
diberantasG. Pemberantasan korupsi harus selalu dijadikan prioritas
agenda pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak
serta sebagai bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat
dan dunia internasional.
Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara yang
bersangkutan, tidak terkecuali Indonesia. Berbagai kebijakan dalam
bentuk perundang-undangan tersebut berupa : TAP MPR No.
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme 6; Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi; Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindan Pidana Korupsi; dan Pengadilan Khusus Korupsi.
Pembentukan dua institusi ini merupakan salah satu upaya yang
dilakukanoleh pemerintah dan legislatif dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption 2003.
Dengan banyaknya penerbitan peraturan perundangan yang terkait
dengan pemberantasan korupsi tersebut, tidak seketika membuat para
koruptor menjadi takut untuk melakukan tindak pidana korupsi, tapi yang
paling penting adalah bagaimana penerapan/ operasionalisasi/
implementasi kesemua peraturan tersebut dalam menanggulangi
tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia. Seperti yang diungkapkan
oleh Muladi bahwa penegakan hukum pidana tidak selesai hanya pada
pengaturan dalam suatu undang-undang, tetapi juga harus diterapkan dan
dilaksanakan dalam masyarakat (Muladi: 1995: 13).
Oleh karena tidaklah berlebihan ketika tindak pidana korupsi merupakan
tindak pidana yang sudah kronis dan sulit untuk di sembuhkan, sehingga
dalam penanganannya harus dilakukan oleh beberapa instansi yang
mempunyai kewenangan tentang hal itu. Dalam pelaksanaannya ternyata
tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.
Karena dalam praktek, baik yang sudah terjadi atau baru diprediksikan
akan terjadi, ternyata pelaksanaan kerja KPK terbentur banyak
permasalahan. Permasalahan tersebut antara lain adalah hubungan
kordinasi antara KPK dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan sebagai
sub sistem dari Peradilan Pidana Terpadu dan juga tugas danperanan
KPK itu sendiri sebagai super body. Dalam rangka membangun kembali
kepercayaan publik terhadap peran dancitra lembaga peradilan dan
lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan,dan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka salah satu mekanisme
dalam sub sistem peradilan pidana yaitu penyidikan dan penuntutan, perlu
untuk diberdayakan secara lebih optimal.
“Maraknya Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual, Tanda
Kurangnya Peran Pendidikan Karakter di Indonesia”
Pelecehan dan kekerasan seksual menjadi isu aktual dalam beberapa
bulan terakhir di Indonesia, apalagi setelah lahirnya Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia Nomor
30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
di Perguruan Tinggi, diskusi tentang isu ini semakin ramai dilakukan.
Angka pelecehan dan kekerasan seksual memang menunjukkan angka
yang masih tinggi di Indonesia. Komnas Perempuan mencatat ada
431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang
2019, di mana 4.989 kasus di antaranya merupakan
kasus kekerasan seksual. Bahkan angka kasus tersebut mengalami
kenaikan hingga 700 persen (Ketik.unpad.ac.id., 2020). Data lain
menjelaskan bahwa 82 persen perempuan Indonesia pernah
mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, dan hal itu dilakukan di
ruang publik (idn times, 26 September 2021). Pada masa pandemi Covid-
19 di sepanjang tahun 2020, angka kekerasan seksual terjadi
peningkatan. Pada tahun 2020, Komnas Perempuan telah menerima 461
laporan mengenai kekerasan seksual, dan melaporkan
terjadi pelecehan 371 kasus, perkosaan 229 kasus, pelecehan seksual
181 kasus, pencabulan 166 kasus, percobaan pemerkosaan 10 kasus,
persetubuhan 5 kasus (Siti Nurul Hikmah, 2021). Yang lebih
tragis, pelecehan dan kekerasan seksual ini terjadi di lembaga pendidikan,
sebuah lembaga yang mestinya sebagai penjaga gawang moralitas.
Data dari Komnas Perempuan menyebutkan, dari tahun 2015 hingga 2020
setidaknya 27 persen pelecehan terjadi di tingkat Universitas, 19 persen di
Pesantren, lalu 15 persen terjadi di sekolah khususnya SMA sederajat
(www.siswaindonesia.com, 23 Juni 2021). Bahkan kasus serupa juga
terjadi di perguruan tinggi. Berita tentang seorang mahasiswi yang diduga
mengalami pelecehan seksual oleh dosennya yang juga seorang Dekan
Universitas Riau (UNRI) merupakan bukti akan hal itu. Juga kasus yang
terjadi di IAIN Kediri Jawa Timur, kasus IAIN Sultan Amai Gorontalo, UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, Universitas Negeri Padang (UNP),
Universitas Palangka Raya (UPR), Universitas Negeri Jakarta, Universitas
Jember, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta merupakan daftar
panjang bukti-bukti akan terjadinya kasus pelecehan seksual
(Media Indonesia, 20 November 2021).
Setiap yang terjadi dalam suatu bangsa, tentu tidak bisa dipisahkan dari
pendidikan yang dilaksanakan. Merespon tindak kekerasan seksual yang
sering terjadi di perguruan tinggi, Nadiem Makarim selaku Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) baru-
baru ini mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Permendikbud) Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 sebagai
payung hukum bagi perguruan-perguruan tinggi untuk menangani kasus-
kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Pendidikan merupakan wadah dari kemajuan peradaban suatu bangsa, di
mana pendidikan akan melahirkan generasi penerus yang diharapkan
cerdas, berkarakter, dan memiliki keterampilan yang bermanfaat. Apapun
yang terjadi seperti kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di ruang
pendidikan tentu ada keterkaitan dengan sistem pendidikan karakter di
suatu bangsa itu sendiri. Hal yang seharusnya diharapkan tidak terjadi di
dalam ruang pendidikan tersebut juga menjadi bukti cacatnya pendidikan
karakter bangsa ini. Pendidikan karakter sangat penting menjadi fokus
dari sistem pendidikan, sebab karakter bangsa di kemudian hari akan
ditentukan oleh karakter para pelajar saat ini (Siti Julaeha, 2019). Maka
dari itu, penting adanya beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
membangun pendidikan karakter.
Bagaimanapun perilaku suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari
praktek pendidikan yang dilaksanakan negaranya. Pembelajaran yang
berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan memiliki andil dalam
pembentukan karakter bangsa. Hal ini dikarenakan pendidikan memiliki
posisi dan peran penting dalam pembentukan karakter siswa (Peshkin,
1992). Pembangunan dan pengembangan masyarakat bisa dilakukan
lewat jalur pendidikan (Schubert, 1986).
Pembenahan Pendidikan Karakter di Indonesia
Pasal 13 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, menjelaskan bahwa jalur pendidikan di Indonesia terdiri atas
pendidikan formal, informal, dan non formal yang dapat saling melengkapi
dan memperkaya. Seharusnya kalimat saling melengkapi dan
memperkaya merupakan bahwa pendidikan formal haruslah berjalan
berkeseimbangan dengan pendidikan non formal (ranah masyarakat) dan
pendidikan informal (ranah keluarga).
Namun demikian, pendidikan saat ini lebih menekankan terhadap
perkembangan kognitif melalui ruang-ruang kelas. Sedangkan, hasil riset
Prabowo dan Sidi (2010) menunjukan bahwa proses pembelajaran pada
pendidikan belum menyumbangkan kontribusi yang baik terhadap
pembentukan karakter siswa (suaramerdeka.com, 2 Desember 2021).
Maka dari itu, seharusnya ketiga jalur pendidikan itu tidak berjalan sendiri-
sendiri melainkan saling berkesinambungan. Keluarga dan masyarakat
juga memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak. Sebab,
pembentukan karakter adalah upaya yang dipengaruhi oleh
lingkungannya (Siti Julaeha, 2019).
Selanjutnya, keteladanan. Keteladanan seseorang sangat berpengaruh
terhadap perkembangan karakter anak. Guru sebagai panutan di sekolah
haruslah memberikan keteladanan yang baik, menjadi contoh panutan
bagi para muridnya. Sebab apa yang peserta didik lihat akan dapat
memberikan banyak pelajaran baginya (Siti Julaeha, 2019). Tidak hanya
guru, orang tua yang menjadi sumber awal dari terbentuknya karakter
anak dan juga lingkungan masyarakat di mana merupakan tempat anak
berkembang haruslah menjadi contoh yang baik. Karena sejatinya
pembentukan karakter dipengaruhi oleh lingkungannya (Muhammad Ali
Ramdhani, 2014).
Selain itu, penjaminan terhadap sikap baik dan integritas pendidik. Banyak
kasus kekerasan dan pelecehan seksual dilakukan oleh guru dan dosen.
Faktornya dosen atau guru di dalam sekolah memiliki kekuatan untuk
menundukan muridnya. Dosen di dalam kampus, memegang kendali
dapat menentukan terhadap nilai dan kelulusan mahasiswa. Alih-alih
bimbingan skripsi atau yang lainnya, para oknum dosen dapat
melancarkan aksi pemuasan nafsunya. Maka dari itu, penting bagi
pendidikan untuk menjamin sikap baik dan integritas dari pendidik yang
akan menjadi fasilitator di sekolah ataupun perguruan tinggi.
Terakhir yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sistem pendidikan
di Indoensia terlalu berorientasi terhadap pengembangan otak kiri
(kognitif) dan terlihat kurang memperhatikan pengembangan otak kanan
(afektif, empati, dan rasa) (Tjipto Subadi, 2010). Tentu ketiga aspek itu
harus terpenuhi secara seimbang agar dapat menciptakan peserta didik
yang smart, berkarakter mulia, dan juga memiliki keterampilan yang
bermanfaat. Sudah menjadi tugas dari pendidikan itu sendiri untuk bisa
menangani ketiga aspek tersebut agar dapat terpenuhi.
Memang untuk membentuk karakter anak tidak serta merta dalam waktu
singkat akan terwujud, butuh waktu pendidikan yang panjang agar buah
dari pendidikan karakter itu dapat dirasakan. Namun demikian, pendidikan
karakter akan dapat terwujud apabila pendidikan itu sendiri senantiasa
berbenah menjadi yang lebih baik setiap saatnya agar tidak lagi
menjadikan ruang pendidikan yang bercahaya memiliki sisi kelam di
dalamnya. Sehingga pendidikan juga dapat menjadikan karakter bangsa
yang maju ke depannya.

Referensi :
Rouf, Ishak. 2021. “Pelecehan Seksual di Indonesia, Bukti Cacatnya
Pendidikan Karakter”, https://jurnalpost.com/pelecehan-seksual-di-
indonesia-bukti-cacatnya-pendidikan-karakter/29287/ , diakses pada 19
Mei 2022 pukul 22.19
Primasiwi, Andika. 2021. “Maraknya Pelecehan Seksual di Indonesia,
Pendidikan Karakter Gagal?” , diakses pada 19 Mei 2022 pukul 23.02

Anda mungkin juga menyukai