Disusun oleh:
Sarah Nurul Izzati (2106640442)
Kayla Cantika Zahrani (2106656384)
Arief Wahyu Wibowo (2106737690)
Jennifer Maydeline (2106737633)
Naurah Sabrina Putri Rasdi (2106719800)
Ariella Sassy Kirana Riefita (2106736321)
Dosen Pengajar:
Asmanedi, S.Sos., M.Si.
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS INDONESIA
2022
I. Pendahuluan
Pembentukan karakter seorang warga negara tentunya dipengaruhi oleh kisaran nilai yang
mereka dapatkan dari sekitar; hal ini bisa diatasi dengan pembentukan gerakan antikorupsi.
Semangat antikorupsi yang patut menjadi kajian adalah penanaman pola pikir, sikap, dan
perilaku antikorupsi ini bisa diwujudkan. Nilai konkret dari upaya antikorupsi itu beserta
kajiannya yang berputar pada hak dan kewajiban seorang warga negara penganut nilai pancasila
akan dibahas pada makalah ini.
II. Pembahasan
Menurut Alfian S. Siagian, S. S., M. Hum., kata kunci yang dapat diambil dalam memahami
pengertian korupsi adalah abuse. Korupsi merupakan penyalahgunaan wewenang untuk
kepentingan-kepentingan pribadi. Meskipun demikian, secara konteks, korupsi adalah sesuatu
yang secara moral environment dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Kesempatan
untuk menyalahgunakan wewenangnya demi memperkaya diri itu disebut sebagai tindakan
korupsi.
2. Penggelapan/Pencurian (Embezzlement)
Penggelapan atau pencurian merupakan tindakan kejahatan menggelapkan atau mencuri uang
rakyat yang dilakukan oleh pegawai pemerintah, pegawai sektor swasta, atau aparat birokrasi.
3. Penipuan (Fraud)
Penipuan dapat didefinisikan sebagai kejahatan ekonomi berwujud kebohongan, penipuan, dan
perilaku tidak jujur.
4. Pemerasan (Extortion)
Korupsi dalam bentuk pemerasan merupakan jenis korupsi yang melibatkan aparat dengan
melakukan pemaksaan untuk mendapatkan keuntungan sebagai imbal jasa pelayanan yang
diberikan.
5. Favoritisme (Favortism)
Favoritisme dikenal juga dengan pilih kasih merupakan tindak penyalahgunaan kekuasaan yang
melibatkan tindak privatisasi sumber daya.
Di samping itu, aspek sosial juga turut andil memicu adanya tindak korupsi. dorongan perilaku
keluarga dan lingkungan sosial. Perilaku keluarga dan lingkungan yang mengelilingi individu,
apabila melanggar moral akan turut mempengaruhi individu tersebut. Lingkungan, dalam hal ini,
justru memberikan dorongan dan bukan hukuman dalam menjalankan aksi korupsi.
Kedua aspek ini terlihat saling berkaitan. Seseorang dengan pengendalian diri yang buruk namun
berada di lingkungan yang negatif akan menambah peluang untuk melakukan tindak korupsi.
Aspek ekonomi juga berperan sebagai pemicu dalam aski korupsi ini. Seseorang yang merasa
pendapatannya tidak atau kurang mencukupi kebutuhan maupun keinginannya, akan berusaha
mencari jalan pemasukan lain. Dalam memenuhinya, seseorang bisa saja melakukan apapun
bahkan sesuatu yang melanggar nilai dan norma, seperti korupsi.
Aspek politis dalam faktor penyebab korupsi seringkali dikaitkan dengan upaya seorang individu
dalam meraih dan mmepertahankan kekuasaannya yang ia lakukan melalui tindak korupsi. Demi
mempertahankan kekuasaan–bagi sebagian orang–membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit,
sehingga korupsi marak terjadi di para petinggi kekuasaan.
Aspek organisasi pun menjadi salah satu penyebab yang turut mendorong terjadinya tindak
korupsi. Kultur organisasi yang kurang baik, sistem pengendalian manajemen yang kurang
efektif, hingga lemahnya sistem pengorganisasian menjadi bibit tumbuhnya korupsi di lingkup
organisasi.
Selain itu, secara regulatif, perbuatan tindak pidana korupsi telah diatur dalam UU No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada sila Ketuhanan, korupsi sama halnya dengan kita mengingkari Tuhan dan juga merugikan
orang lain yang mana adalah perbuatan dosa. Pada sila Kemanusiaan, orang yang melakukan
korupsi mengabaikan sikap saling mencintai, tenggang rasa, dan persamaan derajat serta tidak
adil karena mengambil hak rakyat. Pada sila Persatuan, Korupsi menghilangkan rasa percaya
masyarakat akan pemerintah dan lama kelamaan masyarakat akan memberontak dan saling
terpecah. Pada sila Kerakyatan, koruptor mengabaikan asas musyawarah yang selama ini
dijunjung tinggi bangsa Indonesia karena mementingkan kepentingan golongan/pribadi diatas
kepentingan bersama. Pada sila Keadilan, dengan adanya korupsi semakin banyak kepentingan
umum yang terganggu, semakin tidak meratanya pembangunan, dan juga semakin terlihat jelas
kesenjangan sosial. Dengan melihat hal tersebut dapat disimpulkan korupsi merusak nilai-nilai
Pancasila yang suci dan dapat juga membuat negara menjadi terpuruk. Nilai- nilai dalam
Pancasila ini sudah seharusnya diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat
mengetahui dampak buruk korupsi sehingga tidak tergoda untuk melakukan korupsi.
UUD 1945 adalah konstitusi hukum tertinggi negara Indonesia, ini menjadi dasar hukum
berperilaku dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia. UUD 1945 asli yang disahkan oleh
PPKI 18 Agustus 1945 tidak ada dalam pasalnya yang menyebut korupsi karena UUD 1945
disusun dalam suasana yang tidak ideal dan perumus hanya fokus pada hal-hal yang penting
sehingga pada saat itu diharapkan agar konstitusi ini dapat diperbaiki agar menjadi lebih
sempurna. Setelah amandemen tahun 1999-2002 barulah secara resmi menyebut kata korupsi
pada pasal 7A “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” dan pada pasal 7B ayat 1 “Usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus Dewan Perwakilan Rakyat
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden” serta pasal 7B ayat 5 “Apabila Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Selain itu, terdapat UU No 20 Tahun
2001 sebagai perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 yang membahas tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa keberadaan UUD 1945 sangat
penting karena memiliki kaitan erat dengan antikorupsi, apabila generasi muda dapat memahami
UUD 1945 dengan benar maka hal itu dapat mencegah perilaku korupsi.
Secara etimologis, kata korupsi (corruption) memiliki padanan kata Latin “corruptus” ataupun
“corrumpere” yang berarti merusak, menghancurkan, membusuk, dan hancur berkeping (Skeat
1888, 136; Klein 1971, 169). Makna ini bersesuaian dengan penjelasan Aristotle (2001) dalam
karyanya De Generatione et Corruptione bahwa korupsi (corruption), sebagai lawan dari
pembentukan/ pembangkitan (generation), mengacu pada sesuatu yang berhenti menjadi, yang
mengalami kemerosotan, atau yang binasa.
Keterkaitan antara keduanya adalah, Moral menjadi pemandu dan pengarah pikiran sikap dan
tingkah-laku yang dilakukan oleh individu yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Nilai ini
merupakan pancaran atau aktualisasi jati diri manusia yang bersumber dari pola pikir, keimanan
yang dimiliki seseorang. Korupsi berkaitan dengan etika individu, yang berarti bahwa idealnya
seseorang yang mempunyai wewenang seharusnya menjalankan tugas sesuai dengan kewajiban
dan penuh tanggung jawab. Nilai dan norma tersebut harus dipatuhi oleh masyarakat setempat
karena merupakan sebuah kewajiban.
Di lingkungan kampus, mahasiswa juga bisa berperan aktif dalam pencegahan korupsi yang
dimulai dari awal masuk perkuliahan, masa proses perkuliahan, hingga tahap akhir perkuliahan.
Masa awal perkuliahan ini berkaitan dengan pendaftaran hingga penerimaan mahasiswa baru, di
mana mahasiswa diharapkan bisa berpartisipasi aktif dalam mengawasi kebijakan kampus dan
mengawasi pemerintah supaya tidak ada peraturan atau undang-undang yang bisa menjadi jalan
untuk melakukan korupsi. Masuk ke masa proses perkuliahan, diperlukan untuk menjunjung
moralitas supaya tidak melakukan cara-cara yang curang untuk meraih prestasi yang
setinggi-tingginya di antara mahasiswa. Terakhir, tahap akhir perkuliahan, dalam mendapatkan
gelar kesarjanaan, mahasiswa perlu menyadari bahwa kedudukannya gelarnya mempunyai
tanggung jawab moral, sehingga harus diraih dengan cara yang bersih.
Setadi, Wicipto. (2018). KORUPSI DI INDONESIA (Penyebab, Bahaya, Hambatan dan Upaya
Pemberantasan, Serta Regulasi). Jurnal LEGISLASI INDONESIA, 15(3), 249-262.
Diakses pada 20 Maret 2022, dari Universitas Pembangunan Nasional.
Pradiptyo, Rimawan. 2016. Modul Integritas Bisnis Dampak Sosial Korupsi. Jakarta:
Direktorat Pendidikan dan Pelayaan Masyarakat.
Pusat Edukasi Antikorupsi. Faktor Internal dan Faktor Eksternal Penyebab Korupsi. Diakses
pada 20 Maret 2022, dari
https://aclc.kpk.go.id/materi-pembelajaran/pendidikan/infografis/faktor-internal-dan-fakt
or-eksternal-penyebab-korupsi
“Korupsi: Pengertian, Jenis, dan Cara Memberantasnya.” Detikcom, 9 November 2021,
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5803362/korupsi-pengertian-jenis-dan-cara-me
mberantasnya. Accessed 20 March 2022.
Gufroni. (2018). “Integritas Moral dan Korelasinya dengan Perilaku Korupsi”. Universitas
Muhammadiyah Tangerang. Diakses 20 Maret 2022, dari
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/9716/34.%20Gufroni.pdf?seque
nce=1.
Risbiyantoro, Mohamad. 2005. “Peranan Mahasiswa dalam Memerangi Korupsi”,
https://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/investigasi/files/Gambar/PDF/peranan_mahasiswa.pd
f, diakses pada 20 Maret 2022 pukul 17.45