Abstrak : Korupsi sudah merupakan masalah yang kronik yang terjadi di bangsa Indonesia. Fenomena fenomena
yang terjadi adalah budaya permisif yang timbul di masyarakat dimana haus akan hadirnya Negara yang bebas
dari korupsi tetapi masih mempraktekkan perilaku perilaku koruptif, Penegakan hukum atas tindak pidana
korupsi juga masih jalan ditempat khususnya pada aparat kejaksaan dan kepolisian, sektor pelayanan publik yang
cenderung birokratis dan tidak efisien, sektor swasta yang juga tak sungkan mempraktikan upaya upaya korupsi
demi keuntungan yang sebesar besarnya dan yang paling penting adalah sistem pemilihan pemimpin di
legislative dan eksekutif yang boros juga jadi penyebab suburnya korupsi. Dalam karrya tulis ini, penulis akan
menguraikan fenomena fenomena diatas dan mencoba memberikan masukan untuk mengatasinya sehingga bisa
meminimalisir tingkat korupsi di Indonesia.
1. LATAR BELAKANG
Korupsi sudah merupakan masalah yang kronik yang terjadi di bangsa Indonesia. Fenomena fenomena
yang terjadi adalah budaya permisif yang timbul di masyarakat dimana haus akan hadirnya Negara yang bebas
dari korupsi tetapi masih mempraktekkan perilaku perilaku koruptif, Penegakan hukum atas tindak pidana
korupsi juga masih jalan ditempat khususnya pada aparat kejaksaan dan kepolisian, sektor pelayanan publik yang
cenderung birokratis dan tidak efisien, sektor swasta yang juga tak sungkan mempraktikan upaya upaya korupsi
demi keuntungan yang sebesar besarnya dan yang paling penting adalah sistem pemilihan pemimpin di
legislative dan eksekutif yang boros juga jadi penyebab suburnya korupsi.
Sejak reformasi bergaung pada 15 tahun lalu, agenda pemberantasan korupsi merupakan salah satu
tuntutan yang diajukan oleh seluruh kalangan masyarakat di Indonesia. Mereka ingin agar pemerintahan yang
ada Indonesia menganut prinsip transparansi, akuntabilitas dan kewajaran yang merupakan juga prinsip prinsip
dalam penegakan anti korupsi. Namun pada praktek yang nyata perilaku perilaku koruptif masih sering
ditumbuhkan
Menyuap petugas pemerintahan dalam mengurus dokumen tertentu sudah menjadi kelaziman yang
terjadi, memberikan ‘salam tempel’ kepada aparat kepolisian yan melakukan tilang hal juga jamak terjadi.
Pelajar yang menjadi tumpuan bangsa untuk menjadi generasi penerus pembangunan juga tidak lepas dari
perbuatan perbuatan korupsi, contoh paling masif adalah adanya penyebaran kunci secara masal pada saat Ujian
Nasional.
Nilai nilai kejujuran yang selalu ditanamkan dan didengungkan kadang dalam praktik kehidupan
bermasyarakat menjadi suatu hal yang langka bahkan bisa menimbulkan pengucilan oleh masyarakat sekitar.
Masih mengambil contoh atas peristiwa Ujian Nasional, Pada tahun 2010 di Surabaya terdapat seorang ibu dan
anaknya yang harus pindah dari kampungnya karena memegang teguh prinsip kejujuran dengan tidak
memberikan toleransi atas perbuatan mencontek dan penyebaran kunci jawaban dan melaporkan peristiwa itu
kepada dinas pendidikan dan mendapat ekspose dari media.
Hal ini menjadi suatu yang ironi jika mengharapkan Negara ini menjadi Negara yang bebas dari korupsi
tapi perbuatan perbuatan yang mengarah pada korupsi justru dibiarkan dan nilai nilai yang mendukung untuk
hilangnya korupsi malah dianggap hal yang aneh dan mengakibatkan pengucilan bagi yang mempraktekannya.
Penegakan hukum di Indonesia khususnya di tindak pidana korupsi masih menjadi hal yang disorot
karena penuh dengan kelemahan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didirikan pada tahun 2002 untuk
melakukan penggalangan kegiatan pemberantasan korupsi dari segi penindakan sudah cukup menunjukkan
keberanian dengan membongkar berbagai praktik tindak pidanan korupsi di berbagai sektor dan dengan pelaku
yang berasal dari berbagai tingkatan jabatan namun menjadi tidak optimal karena tidak adanya support dari
lembaga penegak hukum lain yang telah ada jauh sebelum berdirinya KPK. Langkah langkah pemberantasan
korupsi di KPK juga sempat mengalami cobaan dari dua lembaga penegak hukum tersebut dengan adanya usaha
untuk menarik aparat mereka yang diperbantukan di KPK. Dengan segala keterbatasan sumber daya yang
dimiliki oleh KPK maka upaya untuk melakukan penuntasan kasus kasus yang berhasil diungkap menjadi
terkatung katung karena permasalahan yang baru juga tidak pernah berhenti untuk muncul.
Aparat penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian semestinya juga terpacu dan ikut mendukung
langkah langkah pengungkapan yang dilakukan oleh KPK tersebut karena dari segi jangkauan dan jumlah
personil yang dimiliki semestinya bisa sangat berdayaguna untuk melakukan pemberantasan korupsi jika
memiliki komitmen yang tegas.
Sektor pelayanan publik yang menjadi kepanjangan tangan Negara untuk melaksanakan fungsinya
mengayomi kepentingan umum warga yang berdomisili di wilayahnya juga sampai berjalannya reformasi sekian
lama masih juga menjadi sorotan karena terlalu rumit,tidak efisien dan penuh dengan praktik praktik KKN.
Peraturan peraturan telah banyak dibuat untuk menjamin terlaksananya praktik praktik pemerintahan yang
baik (good governance) sehingga pelayanan publik bisa menjadi lebih efisien dan dampak positif bisa langsung
dirasakan oleh masyarakat, kepastian atas kualitas dan kecepatan pelayanan. Namun tujuan tersebut menjadi
tidak terwujud karena masih banyaknya tumpang tindih antar peraturan tersebut dan SDM yang melaksanakan
tidak kompeten dan mereka melanggengkan praktek praktek KKN dengan alasan utama kesejahteraan yang
diperoleh tidak mampu mencukupi pengeluaran yang harus dipenuhi.
Sektor swasta yang merupakan tulang punggung perekonomian suatu Negara pada dasarnya diharapkan
efisien sehingga tingkat kesejahteraan suatu Negara menjadi meningkat dengan adanya pertumbuhan yang pesat
dan secara tidak langsung pembiayaan pelaksanaan pelayanan publik yang berasal dari perpajakan akan ikut naik
dan kebijakan pengeluaran Negara untuk fungsi pemerataan pendapatan seharusnya akan menjadi lebih optimal.
Tetapi pada kenyataan, praktik praktik usaha tidak sehat sering timbul dengan bekerjasama dengan oknum
pemerintah untuk memperoleh ‘kue’ yang lebih dari bidang yang digeluti
Praktek penggelapan pajak dengan berbagai metode baik dengan memanfaatkan celah celah yang ada
pada aturan aturan akuntansi dan perpajakan hingga perbuatan melakukan perbuatan penyuapan kepada aparat
pajak banyak ditemui.
Komponen suksesi kepemimpinan di legislatif dan eksekutif juga merupakan salah satu sumber timbulnya
korupsi juga menjadi hal yang menjadi sorotan utama. Sejak tumbangnya era orde baru, Indonesia telah
mengalami pemilu sebanyak 3 kali. Pemilihan yang dilakukan tidak hanya digunakan untuk menentukan siapa
saja orang orang ‘pilihan’ yang akan bertugas untuk mewakili kepentingan seluruh rakyat melalui mekanisme
legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat tetapi juga digunakan untuk melakukan pemilihan langsung bagi figure
yang akan menjadi Pimpinan Pemerintah Pusat yaitu Presiden dan Pimpinan Pemerintah daerah yaitu gubernur
pada level provinsi dan bupati/walikota untuk tingkatan kabupaten/kotamadya.
Pemilihan Umum dengan format tersebut ternyata memakan anggaran yang sangat besar berdasarkan data
Litbang Kompas Pada tahun 2004, biaya pemilu mencapai Rp 55,909 triliun. Lalu, pada tahun 2009, biaya
pemilu mencapai Rp 47,941 triliun untuk semua tingkatan. Biaya ini jika bisa dilakukan penghematan tentu bisa
digunakan untuk membiayai pengeluaran yang terkait pelayanan publik.
Namun bukan biaya penyelenggaran yang menjadi sorotan utama, biaya yang digunakan oleh para calon
yang hendak maju dalam pemilihan anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah ternyata cukup
mencengangkan. Berdasarkan rilis Indonesian Public Institute biaya yang digunakan untuk tiap calon bupati
sekitar 5 miliar dan untuk daerah tertentu bisa mencapai 20-50 milyar dan bagi pemilihan gubernur bisa berkisar
antara 20-100 milyar. Dengan tingginya biaya yang dikeluakan tersebut yang terjadi adalah kepala daerah
terpilih akan lebih berfokus untuk bagaimana cara mengembalikan dana yang telah dikeluarkan tersebut dan
tentunya cara cara yang digunakan mengarah pada tindak pidan korupsi.
Atas keadaan keadaan diatas penulis tertarik untuk mencoba menyusun sebuah tulisan mengenai
pemberantasan korupsi secara komprehensif
2. LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Korupsi
Korupsi secara etomologis berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik,
baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Kemudian Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption (1998) yang dikutip oleh Wiwit (2010)
mendefinisikan korupsi sebagai "tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara
karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri);
atau untuk melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi". Menurut Komberly Ann Elliott
dalam Corruption and The Global Economy yang dikutip oleh Wiwit (20101) menyajikan definisi korupsi, yaitu
"menyalahgunakan jabatan pemerintahan untuk keuntungan pribadi".
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang Undang Nomor 30 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
a) perbuatan melawan hukum;
b) penyalahgunaan kewenangan kesempatan, atau sarana;
c) memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
d) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
a) memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
b) penggelapan dalam jabatan;
c) pemerasan dalam jabatan;
d) ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara);
e) menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara)
Sedangkan berdasarkan syed husen alatas (1997) yang dikutip didalam
http://leinadunam.blogspot.com/2010/05/memahami-korupsi-dan-modus-operandinya.html secara sosiologis
korupsi terdiri dari :
a) Korupsi transaktif (transactive corruption)Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal
balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif
merekamengusahakan keuntungan tersebut.
b) Korupsi yang memeras (extortive corruption)Pemerasan adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa
menyerahkan uang suapuntuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau
sesuatuyang berharga baginya.
c) Korupsi defensif (defensive corruption)Orang yang bertindak menyeleweng karena jika tidak
dilakukannya, urusan akanterhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi
korupsinya dalamrangka mempertahankan diri).
d) Korupsi investif (investive corruption)Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu,
selain keuntunganyang masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan diperoleh di masa
mendatang.
e) Korupsi perkerabatan atau nepotisme (nepotistic corruption)Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara
tidak sah terhadap Sanak-Saudara atauteman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Imbalan
yang bertentangandengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan
sebagainya
f) Korupsi otogenik (autogenic corruption)Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya
hanya satu orangsaja.
g) Korupsi dukungan (supportive corruption)
Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah adamaupun yang akan
dilaksanakan.
Masyarakat Sebagian Besar Menderita Baik Dalam Dunia Ekonomi, Administrasi, Politik dan Hukum
Terjadi Biaya Ekonomi Tinggi
Sulit Meningkatkan Efisiensi
Kemiskinan
Banyak Orang Yang Menjadi Putus Asa Dan Frustasi
Sedangkan K.A. Abbas (2010) menguraikan bahaya bahaya akibat korupsi adalah :
K.A Abbas (1975), korupsi berakibat sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, baik aspek kehidupan
sosial, politik, birokrasi, ekonomi, dan individu. Bahaya korupsi bagi kehidupan diibaratkan bahwa korupsi
adalah seperti kanker dalam darah, sehingga si empunya badan harus selalu melakukan “cuci darah” terus
menerus jika ia menginginkan dapat hidup terus. Secara aksiomatik, akibat korupsi dapat dijelaskan seperti
berikut:
a. Bahaya korupsi terhadap masyarakat dan individu.
Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan masyarakat setiap hari, maka
akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang
dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri (self
interest), bahkan selfishness. Tidak akan ada kerjasama dan persaudaraan yang tulus.
b. Bahaya korupsi terhadap generasi muda.
Salah satu efek negatif yang paling berbahaya dari korupsi pada jangka panjang adalah rusaknya generasi
muda. Dalam masyarakat yang korupsi telah menjadi makanan sehari-harinya, anak tumbuh dengan pribadi
antisosial, selanjutnya generasi muda akan menganggap bahwa korupsi sebagai hal biasa (atau bahkan
budayanya), sehingga perkembangan pribadinya menjadi terbiasa dengan sifat tidak jujur dan tidak
bertanggungjawab. Jika generasi muda suatu bangsa keadaannya seperti itu, bisa dibayangkan betapa suramnya
masa depan bangsa tersebut.
c. Bahaya korupsi terhadap politik.
Kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan pemerintahan dan pemimpin
masyarakat yang tidak legitimate di mata publik. Jika demikian keadaannya, maka masyarakat tidak akan
percaya terhadap pemerintah dan pemimipin tersebut, akibatnya mereka tidak akan akan patuh dan tunduk pada
otoritas mereka.
d. Ekonomi
Korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa. Jika suatu projek ekonomi dijalankan sarat dengan
unsur-unsur korupsi (penyuapan untuk kelulusan projek, nepotisme dalam penunjukan pelaksana projek,
penggelepan dalam pelaksanaannya dan lain-lain bentuk korupsi dalam projek), maka pertumbuhan ekonomi
yang diharapkan dari projek tersebut tidak akan tercapai.
e. Birokrasi
Korupsi juga menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi dalam
birokrasi. Jika birokrasi telah dikungkungi oleh korupsi dengan berbagai bentuknya, maka prinsip dasar birokrasi
yang rasional, efisien, dan kualifikasi akan tidak pernah terlaksana. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan
mengecewakan publik. Hanya orang yang berpunya saja yang akan dapat layanan baik karena mampu menyuap.
Keadaan ini dapat menyebabkan meluasnya keresahan sosial, ketidaksetaraan sosial dan selanjutnya mungkin
kemarahan sosial yang menyebabkan jatuhnya para birokrat.
3. PEMBAHASAN
Pemberantasan korupsi merupakan suatu tindakan yang mesti dilakukan secara komprehensif melalui
kombinasi langkah langkah pencegahan dan penindakan hukum yang tegas. Pemberantasan tersebut menuntut
adanya komitmen bersama yang kuat dari berbagai komponen bangsa tidak hanya penegak hukum dan
pemerintah tetapi juga kepedulian masyarakat. Negara Singapura memerlukan waktu puluhan tahun sejak 1959
hingga saat ini diakui sebagai salah satu Negara terbaik di Asia dalam pemberantasan korupsi karena adanya
komitmen kuat dari pemimpinnya Lee Kuan Yew, aparat penegak hukumnya yang dikomandoi Corupt Practices
Investigation Beurau (CPIB) dan kemauan warga untuk tunduk kepada peraturan.
Indonesia sebagai Negara yan jauh lebih luas dari Singapura dan terdiri dari banyak suku bangsa sehinga
memiliki tingkat heterogenitas yang lebih tinggi tentu memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dalam
melakukan upaya upaya menciptakan Negara yang bebas dari korupsi. Untuk itu penulis akan mencoba
mengelaborasi langkah langkah yang bisa digunakan untuk melakukan pemberantasan korupsi dari 5 sudut
pandang fenomena yang telah diuraikan pada bagian latar belakang yaitu :
1. Pemberantasan korupsi pada kehidupan bermasyarakat
2. Pemberantasan korupsi melalui perbaikan penegakan hukum
3. Pemberantasan korupsi pada Pelayanan Publik
4. Pemberantasan korupsi pada Sektor Swasta
5. Pemberantasan korupsi melalui perbaikan sistem Pemilihan umum.
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang bahwa KPK usaha untuk melakukan pemberantasan
korupsi lebih memiliki gaung dan menunjukkan komitmen yang jelas dalam hal pemberantasan korupsi sehingga
untuk saat ini KPK masih bisa dijadikan tumpuan untuk melakukan penegakan hukum.
Dari faktor faktor keberhasilan yang dipaparkan diatas, masih terdapat beberapa faktor yang belum
terpenuhi atau kurang dimaksimalkan. Faktor faktor tersebut antara lain kerangka hukum yang jelas, kecukupan
staff, dukungan dana dan dukungan politik.
Kerangka hukum yang dinaungi KPK memang memiliki kedudukan yang sangat kuat yaitu berupa Undang
Undang namun beberapa tindak pidana korupsi yang terdapat dalam konvensi ICAC masih belum tercakup
dalam Undang Undang Tindak Pidana Korupsi yang menjadi landasan hukum KPK dalam melakukan
penegakan. Tindakan pidana yang belum diatur secara jelas antara lain mengenai illicit enrichment yaitu
merupakan tindak pidana jika ternyata dilakukan dengan sengaja. Apabila diketahui peningkatan yang signifikan
dalam aset seseorang pejabat publik dan ia tidak dapat menjelaskan dalam kaitannya dengan pendapatannya
yang sah. Dengan adanya tambahan pasal ini asas pembuktian terbalik bisa dimanfaatkan secara optimal
Faktor selanjutnya yang harus diperhatikan adalah kecukupan staff. Selama ini tenaga penyidik yang
dimiliki KPK berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Walau dalam keadaan yang sudah minim personil KPK
masih sempat diguncang peristiwa penarikan personil dari institusi kejaksaan dan kepolisian. Saat ini KPK sudah
mulai melakukan perekrutan pegawai baru untuk memback-up load perkara yang semakin tinggi. Kedepannya
kebijakan seperti yang diambil CPIB yaitu semua penanganan tindak pidana korupsi sebaiknya dilakukan oleh
lembaga khusus dalam hal ini KPK. KPK juga diberi kewenangan untuk merekrut tenaga tenaga penyidik
tipikor yang dimiliki oleh kejaksaan dan kepolisian.
Dengan kewenangan penanganan tindak pidana korupsi sepenuhnya dilakukan oleh KPK maka sebaiknya
dukungan dana juga harus disupport penuh oleh pemerintah dan DPR sehingga bisa jangkauan penangannya bisa
dilakukan hingga keseluruh Indonesia.
Dukungan dana tersebut akan diperoleh jika dukungan politik dari pemerintah dan DPR bisa diraih. Namun
keadaan sekarang terdapat beberapa anggota DPR yang memiliki intensi untuk melakukan pengurangan
kewenangan yang dimiliki KPK dan bahkan secara terbuka ingin melakukan pembubaran KPK. Oleh karena itu
masyakarat selaku pemegang mandat diharapkan bisa memilih anggota legislatif yang mendukung kegiatan
pemberantasan korupsi pada Pemilu 2014.
Langkah selanjutnya adalah melakukan reformasi terhadap sistem peradilan. Pengadilan menjadi palang
pintu terakhir dalam upaya penegakan hukum khususnya pada tindak pidana korupsi. Selama ini kasus yang
ditangani oleh KPK memang hamper selalu berhasil memperoleh putusan bersalah. Namun terhadap penanganan
kasus tipikor yang dilakukan oleh institusi kejaksaan dan kepolisian banyak yang diputus bebas.
Reformasi pengadilan yang bersifat integral, dimulai dengan melakukan reformasi dan “kekuasaan
kehakiman” dan “desain penerapan kekuasaan kehakiman”. Kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana
khususnya tindak pidan korupsi bukan hanya diwujudkan dalam “kekuasaan mengadili”, tetapi
diwujudkan/diimplementasikan dalam keseluruhan proses peradilan pidana, yaitu tahap penyidikan,
penuntutan, sidang pengadilan yang didan pelaksanaan putusan pengadilan. Maka dari itu menjadi penting
peranan KPK untuk menjadi satu satunya lembaga yang memiliki kewenangan penyidikan dan penuntutan.
J Pajar Wibowo dalam jurnalnya yang berjudul reformasi sistem peradilan pidana dalam rangka
penanggulangan mafia peradilan menyatakan bahwa dalam reformasi kehakiman Penerapan nilai-nilai dasar
akuntabilitas publik dalam penegakan hukum, khususnya dalam upaya pemberantasan mafia peradilan,
meliputi prinsip-prinsip, pertama adalah access to justice(akses kepada keadilan), pada proses hukum dan
putusan; kedua adalah timelines of justice delivery (standar waktu untuk mencapai keadilan); ketiga adalah
quality of justice delivery(kualitas keadilan dari penegak hukum dan putusan hakim); dan keempat adalah
independence, impartiality and fairness of the judiciary (independensi, imparsialitas juga keterbukaan dari
kekuasaan peradilan); kelima adalah public trust in judiciary (kepercayaan masyarakat pada kekuasaan
kehakiman/peradilan) harus dilaksanakan secara berkelanjutan.
Selain itu pengawasan atas kinerja kehakiman juga menjadi unsur yang sangat vital dalam melakukan
reformasi pengadilan. Keberadaan Komisi Yudisial bertujuan untuk menampung keluhan masyarakat pencari
keadilan yang diperlakukan tidak adil dalam proses hukum. Untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap
kinerja pengadilan, KY dan MA, berdasarkan UU. No. 3 Tahun 2009 tentang MA, dibentuk Majelis
Kehormatan Hakim (MKH) yang masih bersifat ad hoc, dengan komposisi anggota 3 nama berasal dari
MA dan 4 nama dari KY. MKH adalah sarana institusi kontrol terhadap perilaku hakim secara internal
peradilan. MKH dibentuk untuk mengambil keputusan terhadap pelanggaran kode etik dan perilaku
Hakim dengan hukuman pemberhentian secara tidak hormat atau pemberhentian sementara.
Untuk memperkuat akuntabilitas peradilan di masyarakat, kerjasama dengan LSM seperti ICW, TII,
MaPPI FH UI, beberapa Perguruan Tinggi melakukan Eksaminasi Publik terhadap putusan pengadilan yang
terindikasi praktik mafia peradilan. Peran serta masyarakat dalam pengawasan kinerja penegak hukum
dalam pemberantasan korupsi, dapat dilakukan dengan membangun gerakan massa anti korupsi (critical
mass) terutama dijalankan LSM sebagai kekuatan pedobrak (social movement) seluruh masyarakat
memperkuat nilai-nilai dan institusi demokrasi dan supremasi sipil.
Penguatan prinsip akuntabilitas publik atas putusan pengadilan dapat dilakukan masyarakat sebagai
partisipasi pengawasan sistem peradilan pidana sejalan dengan spirit transparansi dan akuntabilitas publik.
Partisipasi masyarakat dalam mengawasi kinerja lembaga peradilan pada dasarnya menjadi bagian dalam
reformasi sistem peradilan pidana dalam ber-bagai peraturan perundang-undangan. Bahkan pada era teknologi
informasi ini, pola pengawasan masyarakat terhadap kinerja peradilan akan lebih mudah dan efektif dengan
dukungan perangkat teknologi informasi.
Selanjutnya yang menjadi sangat penting juga adalah kekuatan efek jera dari putusan pengadilan. Selain
hukuman badan yang diperberat, masyarakat juga menuntut adanya upaya pemiskinan bagi koruptor. Seperti
yang telah diuraikan bahwa hukuman mati bukan menjadi jalan yang baik dalam menegakkan korupsi tetapi
justru hasil dari korupsi itulah yang mesti disita dan dimanfaatkan sebesar besarnya bagi seluruh masyarakat.
Pintu masuk untuk melakukan pemiskinan koruptor adalah penerapan tindak pidana pencucian uang sebagai
pidana tambahan bagi tersangka tindak pidana korupsi. Kerjasama antara PPATK, KPK dan Tim Pemulihan Aset
akan memiliki dampak yang besar bagi pemulihan kerugian Negara dan memiliki efek jera yang lebih mengena
bagi pelaku korupsi yang kebanyakan motif yang ditemui adalah berasal dari motif keserakahan.
3.3. Pemberantasan Korupsi melalui Perbaikan Pelayanan Publik
Berdasarkan Undang Undang nomor 25 tahun 2009 mengenai pelayanan publik, pelayanan public
didefinisikan sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau
pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sedangkan Sedangkan Lewis dan
Gilman (2005:22) mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut: Pelayanan publik adalah kepercayaan
publik. Warga negara berharap pelayanan publik dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan sumber
penghasilan secara tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Pelayanan publik yang adil dan dapat
dipertanggung-jawabkan menghasilkan kepercayaan publik. Dibutuhkan etika pelayanan publik sebagai pilar dan
kepercayaan publik sebagai dasar untuk mewujudkan pemerintah yang baik
Dari 2 definisi tersebut karakteristik pelayanan public adalah
1. Serangkaian kegiatan dalam rangka pemberian pelayanan
2. Pelayanan tersebut timbul karena adanya kepercayaan public
3. Penyelengaraan pelayanan tersebut diharapkan dilakukan dengan berlandaskan kejujuran, dapat
dipertanggung jawabkan dan berdasarkan pada nilai etika tertentu.
Terdapat empat unsur penting dalam proses pelayanan publik, yaitu (Bharata, 2004:11):
a) Penyedia layanan, yaitu pihak yang dapat memberikan suatu layanan tertentu kepada konsumen, baik
berupa layanan dalam bentuk penyediaan dan penyerahan barang (goods) atau jasa-jasa (services).
b) Penerima layanan, yaitu mereka yang disebut sebagai konsumen (costomer) atau customer yang
menerima berbagai layanan dari penyedia layanan.
c) Jenis layanan, yaitu layanan yang dapat diberikan oleh penyedia layanan kepada pihak yang
membutuhkan layanan.
d) Kepuasan pelanggan, dalam memberikan layanan penyedia layanan harus mengacu pada tujuan utama
pelayanan, yaitu kepuasan pelanggan. Hal ini sangat penting dilakukan karena tingkat kepuasan yang
diperoleh para pelanggan itu biasanya sangat berkaitan erat dengan standar kualitas barang dan atau
jasa yang mereka nikmati.
Ciri-ciri pelayanan publik yang baik adalah memiliki unsur-unsur sebagai berikut (Kasmir, 2006:34):
a) Tersedianya karyawan yang baik.
b) Tersedianya sarana dan prasarana yang baik.
c) Bertanggung jawab kepada setiap nasabah (pelanggan) sejak awal hingga akhir.
d) Mampu melayani secara cepat dan tepat.
e) Mampu berkomunikasi.
f) Memberikan jaminan kerahasiaan setiap transaksi.
g) Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang baik.
h) Berusaha memahami kebutuhan nasabah (pelanggan).
i) Mampu memberikan kepercayaan kepada nasabah (pelanggan)
Untuk mewujudkan hal tersebut pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah harus memenuhi asas
asas berikut :
a) kepentingan umum, yaitu; Pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau
golongan.
b) kepastian hukum, yaitu Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan.
c) kesamaan hak, yaitu Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan
status ekonomi.
d) keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu Pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus
dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan.
e) keprofesionalan, yaitu Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas.
f) partisipatif, yaitu Peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan
memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
g) persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, yaitu Setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang
adil.
h) keterbukaan, yaitu Setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi
mengenai pelayanan yang diinginkan.
i) akuntabilitas, yaitu Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
j) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yaitu Pemberian kemudahan terhadap kelompok
rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan.
k) ketepatan waktu, yaitu Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar
pelayanan.
l) kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, yaitu Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah,
dan terjangkau. (Pasal 4 UU No 25 Tahun 2009)
Dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan publik yang prima dan memenuhi asas asas tersebut diatas
pemerintah telah melakukan upaya upaya reformasi birokrasi yang berlandaskan pada kerangka good
governance. Reformasi birokrasi ini dilakukan dengan cara penerapan perbaikan integral pelayanan publik
meliputi perbaikan orang, struktur, dan prosesnya. Berdasarkan Road Map Reformasi Birokrasi yang ditetapkan
oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi area yang akan dilakukan perubahan
terkait dengan penerapan reformasi birokrasi dan hasil yang diharapkan adalah:
a) Organisasi. Organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran
b) Tatalaksana. Sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai prinsip-
prinsip good governance
c) Peraturan Perundang-undangan. Regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih dan kondusif.
d) Sumber Daya Manusia Aparatur SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable,
profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera
e) Pengawasan. Meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bebas KKN
f) Akuntabilitas Meningkatnya kapasitas dan kapabilitas kinerja birokrasi
g) Pelayanan publik Pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat
h) Mindset dan cultural Set Aparatur Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi
Dari area area perubahan yang disasar dan hasil yang diharapkan, reformasi birokrasi ini idealnya
mampu untuk menjawab segala tuntutan terkait asas asas yang diembankan dalam Undang Undang Pelayanan
Publik dan terlebih lagi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Namun pada pelaksanaanya sampai dengan sekarang yang diamati oleh penulis, reformasi birokrasi
yang didengung-dengungkan hanyalah sebatas menyusun dokumen untuk memenuhi ketentuan agar bisa
memperoleh tunjangan kinerja. Area area perubahan seperti organisasi yang diharapkan tepat fungsi dan tepat
ukuran sampai sekarang belum terwujud sepenuhnya karena struktur pemerintahan baik dari jumlah lembaga
Negara dibawah kepresidenan masih sangat gemuk dan memiliki fungsi yang tumpang tindih. Perubahan harus
dilakukan dengan mengurangi jabatan structural dan lebih mengedepankan peran yang bersifat fungsional
Perubahan tata laksana hanyalah pembuatan setumpuk SOP yang berisi prosedur prosedur tetapi tidak
memiliki indikator kualitas dan kecepatan pelayanan yang diharapkan sehingga dua unsur tersebut masih belum
bisa diukur dengan baik.
Regulasi yang tumpang tindih juga menjadi salah satu momok yang belum bisa diselesaikan sehingga
asas kepastian hukum yang mesti didapatkan masyarakat saat mengakses pelayanan publik jadi terabaikan.
TErkait sumber daya yang ada saat ini perlu diberikan adalah standar kinerja yang jelas, kompetensi
bagi masing masing jabatan harus didefinisikan dan dilakukan penempatan orang orang yang memenuhi standar
kompetensi itu pada jabatan jabatan yang telah ditetapkan. Hal ini akan mewujudkan pengelolaan sumber daya
mengacu pada prinsip right man in the right place.
Pelayanan prima yang sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat akan terwujud jika standar pelayanan
minimal atas pelayanan yang diberikan itu ditetapkan dengan indikator yang jelas.
Perubahan mindset merupakan salah satu PR berat bagi pemerintahan saat ini, penetapan budaya kerja
bagi masing masing instansi menjadi perlu, penyusunan dan pelaksanaan pengukuran atas penerapan budaya
kerja tersebut menjadi suatu keharusan dalam mewujudkan tujuan diatas.
Selain langkah langkah diatas diterapkan terdapat beberapa kebijakan yang ditetapkan oleh berbagai
Negara yang bisa meningkatkan pelayanan publik dan sebagai langkah pencegahan timbulnya praktik KKN di
bidang pelayanan publik. Kebijakan tersebut antara lain :
a) Refendary sistem suatu sistem yang dikembangkan didalam birokrasi di Finlandia terkait pengambilan
keputusan bersifat kolektif dan kolegial dengan harapan keterlibatan dari para pihak selain bisa
meningkatkan kualitas keputusan juga dapat memberikan transparansi atas pengambilan keputusan
tersebut.
b) Pengimplementasian e-government secara meluas
c) Blind Trust System (November 2005): seluruh rekening keuangan para pejabat wajib ditata usahakan
kepada bank tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah
d) Remunerasi yang mengacu kepada penggajian di sektor swasta
e) Penetapan kode etik khususnya terkait pencegahan konflik kepentingan
f) Mewajibkan kepada setiap PNS untuk menerbitkan pernyataan bebas dari masalah hutang budi.
2.4.1. Penyuapan
Berdasarkan data Global Corruption Report Tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Transparency International
secara khusus menyorot korupsi dan sektor swasta terutama dalam bentuk penyuapan disebutkan memainkan
peranan sentral sebagai sumber utama transaksi korupsi di antara pegawai negeri, pejabat pemerintah dan
anggota partai politik. Krisis finansial yang melanda ekonomi dunia pada 2008, memperlihatkan faktor sisi
penawaran korupsi dari bisnis menjadi masalah besar saat ini.
Didalam laporan tersebut disampaikan fakta bahwa dari 2.700 lebih eksekutif bisnis yang disurvei di 26
negara, ditemukan 2 dari 5 pejabat eksekutif bisnis mengakui pernah diminta melakukan suap ketika
berhubungan dengan lembaga publik. Kemudian masih dari hasil survey tersebut disebutkan 60 persen
pengusaha yang melakukan transaksi bisnis di Mesir, India, Indonesia, Maroko, Nigeria, dan Pakistan mengaku
harus melakukan suap ketika berhubungan dengan lembaga publik (Bribe Payer Index, 2008).
Nilai transaksi suap yang diberikan juga bukan angka yang sedikit yaitu antara US$ 20-40 miliar setiap
tahunnya yang diberikan kepada aparat pemerintah dan pejabat, setara dengan sekitar 20-40 persen bantuan
pembangunan (Bribe Prayer Index, 2008). Dan 50 persen manajer bisnis memperkirakan bahwa korupsi
menambah biaya proyek sedikitnya 10 persen, dan dalam beberapa kasus lebih dari 25 persen. Satu dari lima dari
mereka mengakui dikalahkan oleh pesaing yang melakukan suap (Control Risks and Simmons & Simmons,
2007).
Praktik yang ditemui di Indonesia, suap setidaknya ada tiga hal, yaitu secara aktif diminta, diminta dengan
pemerasan, ditawarkan secara proaktif oleh pebisnis, dan ketiga bentuk itu sangat ditentukan oleh sejauh mana
relasi kekuasaan antara pemerintah dan bisnis. Dalam survei Indeks Suap (2009) di 50 kota di Indonesia yang
dilakukan oleh Transparency International Indonesia, mengaku juga biasa mendapat tawaran suap (45 persen)
dari kalangan bisnis.
Karena itu, penyuapan pejabat asing dalam transaksi bisnis internasional adalah fenomena dunia yang perlu
mendapat perhatian serius, terutama di negara-negara berkembang yang tingkat korupsinya sangat tinggi seperti
di Indonesia, karena pengaruhnya yang luar biasa ke dalam jantung perekonomian negara- negara tersebut.
Indonesia punya pengalaman nyata yang sangat panjang bagaimana transaksi bisnis yang kotor baik dengan
perusahaan asing maupun dengan perusahaan nasional dalam pengelolaan sumber daya alam, impor komoditas
pangan atau mega kontrak pemerintah dalam pembangunan infrastruktur selain membebani anggaran publik juga
membangun pemerintahan korup yang bisa berkuasa cukup lama.
Rezim pemerintahan otoriter dan perusahaan multinasional atau konglomerasi nasional menjadi semacam
simbiose yang saling menguntungkan. Ia berkontribusi mempertahankan birokrasi, partai politik, dan
pemerintahan yang korup. Pelaku bisnis yang kuat dapat mengendalikan kebijakan publik dan pemerintahan
sehingga menghalangi terciptanya keputusan yang demokratis. Dalam hal ini sebenarnya yang terjadi adalah
perampokan negara (state capture) secara sistematis, dimana perusahaan melakukan pembayaran pada pejabat
publik untuk mempengaruhi pilihan dan desain hukum, aturan dan kebijakan publik.
Secara masif masalah ini dengan sangat vulgar diperlihatkan pada era pemerintahan otoriter di bawah rezim
Orde Baru (dan secara samar berlangsung sampai sekarang) yang menyabot hampir semua sumber sumber
ekonomi negara penting, antara lain dalam bentuk kredit subsidi, penghindaran pajak, kredit investasi, subsidi,
pinjaman bersubsidi pinjaman swasta dengan jaminan anggaran pemerintah. Krisis finansial dan skandal
kebijakan BLBI pada 1998 yang sampai sekarang membebani APBN adalah contoh ekstrim fenomena state
capture yang paling menyakitkan masyarakat.
Anehnya di Indonesia, praktek suap dilakukan oleh pelaku bisnis di tengah pengetahuan mereka tentang
undang-undang pemberantasan korupsi jauh lebih baik. Hasil survei TII pada 2008, menyebutkan 90 persen
pebisnis paham tentang undangundang pemberantasan korupsi. Sementara hampir 77 persen dari 2.700 pejabat
eksekutif, investor dan eksportir besar di Prancis, Inggris, Jerman dan AS tidak mengetahui Konvensi OECD
tentang Pemberantasan Suap terhadap Pejabat Publik terlibat dalam Transaksi Bisnis International (TI, 2008).
Tapi belakangan upaya untuk mengurangi suap dari kalangan bisnis sedang mendapat perhatian global,
termasuk korupsi dalam tubuh perusahaan swasta itu sendiri. Sejak demokratisasi yang meluas hampir di seluruh
pelosok dunia, bentukbentuk transaksi bisnis kotor yang dilakukan perusahaan multinasional dengan rezim-
rezim otoriter di negara-negara berkembang sebagai komprador mereka sudah memasuki babak akhir. Kini
dengan tuntutan transaksi bisnis yang kompetitif dan bersih, agenda pemberantasan korupsi mendunia, termasuk
peran dunia bisnis di dalamnya. Meskipun harus diakui tatanan ekonomi global, dan pasar yang dinamis terus
melahirkan berbagai peluang korupsi.
Meniru AS yang sudah lama memiliki Foreign Practice Corruption Act (FPCA), pemerintah Inggris dalam
upaya untuk meningkatkan standar kepatuhan perusahaan jika tidak ada penundaan lagi pada 1 Juli 2011 akan
memberlakukan undang-undang Tindak Pidana Penyuapan (UK Bribery Act) yang proses legislasinya memakan
waktu 12 tahun. UU ini mengatur tentang tindakan kriminal penyuapan pejabat publik negara lain (foreign
public offi cials bribery), tindakan kriminal organisasi komersial yang tidak dapat mencegah terjadinya
penyuapan. Perusahaan Inggris yang beroperasi di luar negeri seperti Indonesia harus mematuhi UU ini,
sehingga praktek “facilitation payment” yang sebelumnya biasa dilakukan,menjadi ilegal.
Memerangi suap dalam transaksi bisnis internasional memerlukan kerangka kerja internasional dan
nasional sekaligus, dan kerja sama internasional yang betul-betul bisa bekerja dengan baik, untuk mengadili
penyuap dan penerima suap, serta menarik kembali aset yang sudah dilarikan para koruptor ke luar negeri.
Dalam konteks ini, semestinya setiap negara yang telah meratifikasi UNCAC, seperti Indonesia, wajib
mengadopsi tindakan legislatif untuk mencegah, sistem penegakan hukumnya untuk membasmi penyuapan
pejabat asing dalam bisnis internasional.
Penguatan sistem hukum yang terkait, seperti perlindungan saksi dengan sendirinya akan memberikan
landasan hukum yang kuat bagi kerja-kerja jurnalistik atau lembaga watchdog dalam upaya membantu aparat
hukum mengungkap transaksi suap yang biasanya dilakukan di “ruang remang-remang”.
pencegahan korupsi di dalam sektor swasta menjadi sangat penting, sejak banyak skandal bisnis yang
mengguncang perekonomian dunia. Kita tahu selama ini telah lazim praktek kotor di dalam binsis antara
pembuatan catatan catatan di luar pembukuan (off books account) mencatat pengeluaran yang tidak ada,
membuat catatan tentang kewajiban kewajiban fi nansial yang tidak benar, penggunaan dokumendokumen palsu,
pemusnahan secara sengaja dokumen-dokumen pembukuan dan sebagainya. Dalam banyak kasus kebangkrutan
perbankan di Indonesia, dan yang terakhir kasus Bank Century, misalnya. Negara akibatnya harus menanggung
kebobrokan manajemen. Dalam skala bisnis tertentu yang pengaruhnya besar terhadap perekonomian nasional,
mau tidak mau, pemerintah sepertinya menjadi tawanan dunia bisnis.
Sistem transaksi keuangan noncash semestinya juga diberlakukan oleh BI dan Pemerintah, baik dalam
transaksi keuangan antara lembaga pemerintah, lembaga pemerintah dengan swasta, atau swasta ke swasta.
Karena realitasnya dalam beberapa kasus transaksi suap yang berhasil ditangkap KPK senantiasa menggunakan
uang tunai.
4. KESIMPULAN
Korupsi sudah merupakan masalah yang kronik yang terjadi di bangsa Indonesia. Fenomena fenomena
yang terjadi adalah budaya permisif yang timbul di masyarakat dimana haus akan hadirnya Negara yang bebas
dari korupsi tetapi masih mempraktekkan perilaku perilaku koruptif, Penegakan hukum atas tindak pidana
korupsi juga masih jalan ditempat khususnya pada aparat kejaksaan dan kepolisian, sektor pelayanan publik yang
cenderung birokratis dan tidak efisien, sektor swasta yang juga tak sungkan mempraktikan upaya upaya korupsi
demi keuntungan yang sebesar besarnya dan yang paling penting adalah sistem pemilihan pemimpin di
legislative dan eksekutif yang boros juga jadi penyebab suburnya korupsi
Akar penyebab korupsi berasal dari greed (keserakahan), opportunity (kesempatan), need (kebutuhan)
dan Exposes (hukuman).
Keserakahan timbul karena adanya sifat tidak pernah puas yang dimiliki oleh manusia. Kesempatan
merupakan suatu keadaan yang menjadi faktor penarik tindakan kriminal. Didalam tindak pidana korupsi,
kelemahan peraturan ataupun kekuasaan yang dimiliki menjadikan seseorang memiliki kesempatan untuk
melancarkan aksinya. Need atau kebutuhan menyebabkan korupsi dikarenakan adanya keadaan yang
mengharuskan seseorang untuk memberanikan diri melakukan perbuatan korupsi tersebut. Sedangkan Ekposes/
hukuman menjadi salah satu penyebab korupsi karena jika hukuman yang diterapkan kepada para koruptor
lemah tentunya tidak akan efek jera dalam penindakan korupsi tersebut.
Dalam mengatasi hal tersebut beberapa hal yang bisa dilakukan adalah :
a) Mengembangkan budaya malu, disiplin dan tertibi hukum
b) Mengembangkan nilai nilai anti korupsi sejak dini
c) Menciptakan pendidikan berkarakter dan mencerdaskan
d) Memperkuat peran KPK melalui mandat yang lebih besar untuk menjadi satu satunya lembaga
yang melakukan kegiatan penegakan hukum di bidang korupsi khususnya pada proses
penyelidikan, penyidikan dan pentuntutan.
e) Meningkatkan dukungan tenaga SDM, dana dan dukungan politik bagi KPK dalam menjalankan
perannya tersebut.
f) Melakukan reformasi peradilan dengan jalan memperkuat kemerdekaan kehakiman, meningkatkan
akuntabilitas peradilan dengan bekerjasama dengan LSM dan perguruan tinggi untuk melakukan
eksaminasi publik atas putusan pengadilan khususnya di bidang tindak pidana korupsi, dan
memperkuat fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial
g) Menjalankan agenda reformasi birokrasi dengan arah yang lebih jelas dengan mengarah pada hal
berikut :
- Perampingan structural dengan lebih memperkaya jabatan yang bersifat fungsional
- Pembuatan SOP harus disertai dengan indikator kecepatan dan kualitas
- Melakukan pengelolaan sumber daya manusia dengan mengedepankan kompetensi dan
memiliki standar kinerja yang jelas
- Ditetapkan dan diterapkannya standar pelayanan minimal bagi seluruh jenis pelayanan yang
dilakukan oleh Pemerintah
h) Selain itu beberapa kebijakan terkait birokrasi yang bisa diadopsi dari luar negeri adalah :
Refendary sistem suatu sistem yang dikembangkan didalam birokrasi di Finlandia terkait
pengambilan keputusan bersifat kolektif dan kolegial dengan harapan keterlibatan dari
para pihak selain bisa meningkatkan kualitas keputusan juga dapat memberikan
transparansi atas pengambilan keputusan tersebut.
Pengimplementasian e-government secara meluas
Blind Trust System (November 2005): seluruh rekening keuangan para pejabat wajib
ditata usahakan kepada bank tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah
Remunerasi yang mengacu kepada penggajian di sektor swasta
Penetapan kode etik khususnya terkait pencegahan konflik kepentingan
Mewajibkan kepada setiap PNS untuk menerbitkan pernyataan bebas dari masalah hutang
budi.
i) Mengurangi kegiatan suap yang dilakukan swasta dengan cara menetapkan Undang Undang yang
mengatur penyuapan yang dilakukan oleh pihak asing, menerapkan mekanisme non cash dalam
transaksi sehari hari
j) Memungkinkan dimasukannya pengenaan tindak pidana korupsi bagi pelaku penggelapan pajak.
k) Meminimalisir titik kritis pemilihan umum dengan jalan :
o Pelaksanaan pemilu secara serentak bagi seluruh pemilihan kepala daerah
o -Pengawasan atas proses perencanaan hingga pengadaan barang dan jasa penyelenggaraan
pemilu harus diperkuat. Hal ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan transparansi proses
tersebut dengan mengumumkan dokumen perencanaan tersebut kepada publik sehingga bisa
dilakukan pengawasan bersama
o Permasalahan politik uang pada saat penetapan calon dalam partai politik maupun akuntabilitas
dana kampanye bisa diatasi dengan jalan adanya kewajiban untuk audit bagi keuangan partai
politik dan dana kampanye yang diterima
o Permasalahan verifikasi calon dan DPT bisa dikurangi dengan adanya penguatan yang lebih
intens dari Badan Pengawas Pemilu dan pengumuman DCS kepada masyarakat
o Untuk penyelenggaraan kampanye yang lebih murah, KPU bisa menetapkan mekanisme tertentu
yang harus digunakan oleh masing masing calon dan besaran maksmimal dana kampanye juga
harus ditetapkan
o Pembatasan hak untuk dipilih bagi keluarga kepala daerah terpilih maupun mantan kepala daerah
yang menjabat sebelum proses pemilihan
Daftar Pustaka
[1] ,“Biaya Tinggi Kampanye Pilkada Dinilai Pemicu Korupsi | Republika Online.” 2013. Republika
Online. Diakses pada 12 September 2013. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/07/19/mq6zjb-
biaya-tinggi-kampanye-pilkada-dinilai-pemicu-korupsi.
[2] ,“Pemerintah Ngebet Kembalikan Pilkada Ke DPRD.” 2013. KOMPAS.com. Diakses pada 12
September 2013.
http://nasional.kompas.com/read/2013/06/04/05005611/Pemerintah.Ngebet.Kembalikan.Pilkada.ke.DPRD.
[3] ,“Selat Katilada Karya Ronggo Warsito.” 2013. Sengkolo Ilange Roso Katresnan. Diakses pada 12
September 2013. http://yoyosw.wordpress.com/ronggo-warsito/.