Anda di halaman 1dari 26

Langkah Langkah Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Abstrak : Korupsi sudah merupakan masalah yang kronik yang terjadi di bangsa Indonesia. Fenomena fenomena
yang terjadi adalah budaya permisif yang timbul di masyarakat dimana haus akan hadirnya Negara yang bebas
dari korupsi tetapi masih mempraktekkan perilaku perilaku koruptif, Penegakan hukum atas tindak pidana
korupsi juga masih jalan ditempat khususnya pada aparat kejaksaan dan kepolisian, sektor pelayanan publik yang
cenderung birokratis dan tidak efisien, sektor swasta yang juga tak sungkan mempraktikan upaya upaya korupsi
demi keuntungan yang sebesar besarnya dan yang paling penting adalah sistem pemilihan pemimpin di
legislative dan eksekutif yang boros juga jadi penyebab suburnya korupsi. Dalam karrya tulis ini, penulis akan
menguraikan fenomena fenomena diatas dan mencoba memberikan masukan untuk mengatasinya sehingga bisa
meminimalisir tingkat korupsi di Indonesia.

1. LATAR BELAKANG
Korupsi sudah merupakan masalah yang kronik yang terjadi di bangsa Indonesia. Fenomena fenomena
yang terjadi adalah budaya permisif yang timbul di masyarakat dimana haus akan hadirnya Negara yang bebas
dari korupsi tetapi masih mempraktekkan perilaku perilaku koruptif, Penegakan hukum atas tindak pidana
korupsi juga masih jalan ditempat khususnya pada aparat kejaksaan dan kepolisian, sektor pelayanan publik yang
cenderung birokratis dan tidak efisien, sektor swasta yang juga tak sungkan mempraktikan upaya upaya korupsi
demi keuntungan yang sebesar besarnya dan yang paling penting adalah sistem pemilihan pemimpin di
legislative dan eksekutif yang boros juga jadi penyebab suburnya korupsi.
Sejak reformasi bergaung pada 15 tahun lalu, agenda pemberantasan korupsi merupakan salah satu
tuntutan yang diajukan oleh seluruh kalangan masyarakat di Indonesia. Mereka ingin agar pemerintahan yang
ada Indonesia menganut prinsip transparansi, akuntabilitas dan kewajaran yang merupakan juga prinsip prinsip
dalam penegakan anti korupsi. Namun pada praktek yang nyata perilaku perilaku koruptif masih sering
ditumbuhkan
Menyuap petugas pemerintahan dalam mengurus dokumen tertentu sudah menjadi kelaziman yang
terjadi, memberikan ‘salam tempel’ kepada aparat kepolisian yan melakukan tilang hal juga jamak terjadi.
Pelajar yang menjadi tumpuan bangsa untuk menjadi generasi penerus pembangunan juga tidak lepas dari
perbuatan perbuatan korupsi, contoh paling masif adalah adanya penyebaran kunci secara masal pada saat Ujian
Nasional.
Nilai nilai kejujuran yang selalu ditanamkan dan didengungkan kadang dalam praktik kehidupan
bermasyarakat menjadi suatu hal yang langka bahkan bisa menimbulkan pengucilan oleh masyarakat sekitar.
Masih mengambil contoh atas peristiwa Ujian Nasional, Pada tahun 2010 di Surabaya terdapat seorang ibu dan
anaknya yang harus pindah dari kampungnya karena memegang teguh prinsip kejujuran dengan tidak
memberikan toleransi atas perbuatan mencontek dan penyebaran kunci jawaban dan melaporkan peristiwa itu
kepada dinas pendidikan dan mendapat ekspose dari media.
Hal ini menjadi suatu yang ironi jika mengharapkan Negara ini menjadi Negara yang bebas dari korupsi
tapi perbuatan perbuatan yang mengarah pada korupsi justru dibiarkan dan nilai nilai yang mendukung untuk
hilangnya korupsi malah dianggap hal yang aneh dan mengakibatkan pengucilan bagi yang mempraktekannya.
Penegakan hukum di Indonesia khususnya di tindak pidana korupsi masih menjadi hal yang disorot
karena penuh dengan kelemahan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didirikan pada tahun 2002 untuk
melakukan penggalangan kegiatan pemberantasan korupsi dari segi penindakan sudah cukup menunjukkan
keberanian dengan membongkar berbagai praktik tindak pidanan korupsi di berbagai sektor dan dengan pelaku
yang berasal dari berbagai tingkatan jabatan namun menjadi tidak optimal karena tidak adanya support dari
lembaga penegak hukum lain yang telah ada jauh sebelum berdirinya KPK. Langkah langkah pemberantasan
korupsi di KPK juga sempat mengalami cobaan dari dua lembaga penegak hukum tersebut dengan adanya usaha
untuk menarik aparat mereka yang diperbantukan di KPK. Dengan segala keterbatasan sumber daya yang
dimiliki oleh KPK maka upaya untuk melakukan penuntasan kasus kasus yang berhasil diungkap menjadi
terkatung katung karena permasalahan yang baru juga tidak pernah berhenti untuk muncul.
Aparat penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian semestinya juga terpacu dan ikut mendukung
langkah langkah pengungkapan yang dilakukan oleh KPK tersebut karena dari segi jangkauan dan jumlah
personil yang dimiliki semestinya bisa sangat berdayaguna untuk melakukan pemberantasan korupsi jika
memiliki komitmen yang tegas.
Sektor pelayanan publik yang menjadi kepanjangan tangan Negara untuk melaksanakan fungsinya
mengayomi kepentingan umum warga yang berdomisili di wilayahnya juga sampai berjalannya reformasi sekian
lama masih juga menjadi sorotan karena terlalu rumit,tidak efisien dan penuh dengan praktik praktik KKN.
Peraturan peraturan telah banyak dibuat untuk menjamin terlaksananya praktik praktik pemerintahan yang
baik (good governance) sehingga pelayanan publik bisa menjadi lebih efisien dan dampak positif bisa langsung
dirasakan oleh masyarakat, kepastian atas kualitas dan kecepatan pelayanan. Namun tujuan tersebut menjadi
tidak terwujud karena masih banyaknya tumpang tindih antar peraturan tersebut dan SDM yang melaksanakan
tidak kompeten dan mereka melanggengkan praktek praktek KKN dengan alasan utama kesejahteraan yang
diperoleh tidak mampu mencukupi pengeluaran yang harus dipenuhi.
Sektor swasta yang merupakan tulang punggung perekonomian suatu Negara pada dasarnya diharapkan
efisien sehingga tingkat kesejahteraan suatu Negara menjadi meningkat dengan adanya pertumbuhan yang pesat
dan secara tidak langsung pembiayaan pelaksanaan pelayanan publik yang berasal dari perpajakan akan ikut naik
dan kebijakan pengeluaran Negara untuk fungsi pemerataan pendapatan seharusnya akan menjadi lebih optimal.
Tetapi pada kenyataan, praktik praktik usaha tidak sehat sering timbul dengan bekerjasama dengan oknum
pemerintah untuk memperoleh ‘kue’ yang lebih dari bidang yang digeluti
Praktek penggelapan pajak dengan berbagai metode baik dengan memanfaatkan celah celah yang ada
pada aturan aturan akuntansi dan perpajakan hingga perbuatan melakukan perbuatan penyuapan kepada aparat
pajak banyak ditemui.
Komponen suksesi kepemimpinan di legislatif dan eksekutif juga merupakan salah satu sumber timbulnya
korupsi juga menjadi hal yang menjadi sorotan utama. Sejak tumbangnya era orde baru, Indonesia telah
mengalami pemilu sebanyak 3 kali. Pemilihan yang dilakukan tidak hanya digunakan untuk menentukan siapa
saja orang orang ‘pilihan’ yang akan bertugas untuk mewakili kepentingan seluruh rakyat melalui mekanisme
legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat tetapi juga digunakan untuk melakukan pemilihan langsung bagi figure
yang akan menjadi Pimpinan Pemerintah Pusat yaitu Presiden dan Pimpinan Pemerintah daerah yaitu gubernur
pada level provinsi dan bupati/walikota untuk tingkatan kabupaten/kotamadya.
Pemilihan Umum dengan format tersebut ternyata memakan anggaran yang sangat besar berdasarkan data
Litbang Kompas Pada tahun 2004, biaya pemilu mencapai Rp 55,909 triliun. Lalu, pada tahun 2009, biaya
pemilu mencapai Rp 47,941 triliun untuk semua tingkatan. Biaya ini jika bisa dilakukan penghematan tentu bisa
digunakan untuk membiayai pengeluaran yang terkait pelayanan publik.
Namun bukan biaya penyelenggaran yang menjadi sorotan utama, biaya yang digunakan oleh para calon
yang hendak maju dalam pemilihan anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah ternyata cukup
mencengangkan. Berdasarkan rilis Indonesian Public Institute biaya yang digunakan untuk tiap calon bupati
sekitar 5 miliar dan untuk daerah tertentu bisa mencapai 20-50 milyar dan bagi pemilihan gubernur bisa berkisar
antara 20-100 milyar. Dengan tingginya biaya yang dikeluakan tersebut yang terjadi adalah kepala daerah
terpilih akan lebih berfokus untuk bagaimana cara mengembalikan dana yang telah dikeluarkan tersebut dan
tentunya cara cara yang digunakan mengarah pada tindak pidan korupsi.
Atas keadaan keadaan diatas penulis tertarik untuk mencoba menyusun sebuah tulisan mengenai
pemberantasan korupsi secara komprehensif

2. LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Korupsi
Korupsi secara etomologis berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik,
baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Kemudian Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption (1998) yang dikutip oleh Wiwit (2010)
mendefinisikan korupsi sebagai "tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara
karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri);
atau untuk melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi". Menurut Komberly Ann Elliott
dalam Corruption and The Global Economy yang dikutip oleh Wiwit (20101) menyajikan definisi korupsi, yaitu
"menyalahgunakan jabatan pemerintahan untuk keuntungan pribadi".
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang Undang Nomor 30 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
a) perbuatan melawan hukum;
b) penyalahgunaan kewenangan kesempatan, atau sarana;
c) memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
d) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
a) memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
b) penggelapan dalam jabatan;
c) pemerasan dalam jabatan;
d) ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara);
e) menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara)
Sedangkan berdasarkan syed husen alatas (1997) yang dikutip didalam
http://leinadunam.blogspot.com/2010/05/memahami-korupsi-dan-modus-operandinya.html secara sosiologis
korupsi terdiri dari :
a) Korupsi transaktif (transactive corruption)Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal
balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif
merekamengusahakan keuntungan tersebut.
b) Korupsi yang memeras (extortive corruption)Pemerasan adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa
menyerahkan uang suapuntuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau
sesuatuyang berharga baginya.
c) Korupsi defensif (defensive corruption)Orang yang bertindak menyeleweng karena jika tidak
dilakukannya, urusan akanterhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi
korupsinya dalamrangka mempertahankan diri).
d) Korupsi investif (investive corruption)Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu,
selain keuntunganyang masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan diperoleh di masa
mendatang.
e) Korupsi perkerabatan atau nepotisme (nepotistic corruption)Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara
tidak sah terhadap Sanak-Saudara atauteman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Imbalan
yang bertentangandengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan
sebagainya
f) Korupsi otogenik (autogenic corruption)Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya
hanya satu orangsaja.
g) Korupsi dukungan (supportive corruption)

Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah adamaupun yang akan
dilaksanakan.

2.2 Penyebab Korupsi


Banyak teori yang membahas mengenai penyebab timbulnya korupsi. Teori GONE yang dicetuskan oleh
Jack Bologne menguraikan bahwa akar penyebab korupsi berasal dari greed (keserakahan), opportunity
(kesempatan), need (kebutuhan) dan Exposes (hukuman).
Keserakahan timbul karena adanya sifat tidak pernah puas yang dimiliki oleh manusia. Dengan penghasilan
yang sudah tinggi pun jika dikuasai keserakahan yang dilandasi akan rasa tidak pernah puas akan kebutuhan
yang dipenuhi maka korupsi pun akan dilakukan. Contoh yang ditemui baru baru ini adalah pada kasus Suap
kepada mantan Kepala SKK Migas yang berinisial RR, sebagai kepala SKK Migas dan komisaris Bank Mandiri
gaji yang diperoleh berkisar 260 juta perbulan tetapi dengan penghasilan tersebut RR diduga mau menerima
suap dari Kernel Oil.
Kesempatan merupakan suatu keadaan yang menjadi faktor penarik tindakan kriminal. Didalam tindak
pidana korupsi, kelemahan peraturan ataupun kekuasaan yang dimiliki menjadikan seseorang memiliki
kesempatan untuk melancarkan aksinya.
Need atau kebutuhan merupakan salah satu penyebab lain dari korupsi. Jika pada keserakahan didorong
oleh rasa tidak pernah puas, maka kebutuhan menyebabkan korupsi dikarenakan adanya keadaan yang
mengharuskan seseorang untuk memberanikan diri melakukan perbuatan korupsi tersebut.
Ekposes/ hukuman menjadi salah satu penyebab korupsi karena jika hukuman yang diterapkan kepada para
koruptor lemah ataupun penegakan hukumnya bisa dilakukan hanky panky tentunya tidak aka efek jera dalam
penindakan korupsi tersebut. Pada tulisan ini akan dibahas secara khusus mengenai langkah langkah yang bisa
dilakukan untuk memperbaiki penegakan hukum tersebut.
Keempat faktor greed, opportunity, need dan expose diatas bisa saling berdiri sendiri atau bisa juga timbul
menjadi faktor faktor yang saling mendukung untuk mendorong seseorang melakukan perbuatan korupsi.
2.3 Dampak Korupsi
Menurut Soejono Karni (2010) pada bloghttp://soejonokarni.wordpress.com/category/11-sebab-akibat-praktek-
korup-dan-korupsi/ dampak dampak yang ditimbulkan oleh perbuatan korupsi adalah :
 Merusak Sistem Tatanan Masyarakat, Norma-Norma Masyarakat Dirusak Oleh Persekongkolan-
Persekongkolan. Korupsi Cenderung Menggerogoti Pemerintah yang Didukung Publik

 Masyarakat Sebagian Besar Menderita Baik Dalam Dunia Ekonomi, Administrasi, Politik dan Hukum
 Terjadi Biaya Ekonomi Tinggi
 Sulit Meningkatkan Efisiensi
 Kemiskinan
 Banyak Orang Yang Menjadi Putus Asa Dan Frustasi
Sedangkan K.A. Abbas (2010) menguraikan bahaya bahaya akibat korupsi adalah :
K.A Abbas (1975), korupsi berakibat sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, baik aspek kehidupan
sosial, politik, birokrasi, ekonomi, dan individu. Bahaya korupsi bagi kehidupan diibaratkan bahwa korupsi
adalah seperti kanker dalam darah, sehingga si empunya badan harus selalu melakukan “cuci darah” terus
menerus jika ia menginginkan dapat hidup terus. Secara aksiomatik, akibat korupsi dapat dijelaskan seperti
berikut:
a. Bahaya korupsi terhadap masyarakat dan individu.
Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan masyarakat setiap hari, maka
akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang
dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri (self
interest), bahkan selfishness. Tidak akan ada kerjasama dan persaudaraan yang tulus.
b. Bahaya korupsi terhadap generasi muda.
Salah satu efek negatif yang paling berbahaya dari korupsi pada jangka panjang adalah rusaknya generasi
muda. Dalam masyarakat yang korupsi telah menjadi makanan sehari-harinya, anak tumbuh dengan pribadi
antisosial, selanjutnya generasi muda akan menganggap bahwa korupsi sebagai hal biasa (atau bahkan
budayanya), sehingga perkembangan pribadinya menjadi terbiasa dengan sifat tidak jujur dan tidak
bertanggungjawab. Jika generasi muda suatu bangsa keadaannya seperti itu, bisa dibayangkan betapa suramnya
masa depan bangsa tersebut.
c. Bahaya korupsi terhadap politik.
Kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan pemerintahan dan pemimpin
masyarakat yang tidak legitimate di mata publik. Jika demikian keadaannya, maka masyarakat tidak akan
percaya terhadap pemerintah dan pemimipin tersebut, akibatnya mereka tidak akan akan patuh dan tunduk pada
otoritas mereka.
d. Ekonomi
Korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa. Jika suatu projek ekonomi dijalankan sarat dengan
unsur-unsur korupsi (penyuapan untuk kelulusan projek, nepotisme dalam penunjukan pelaksana projek,
penggelepan dalam pelaksanaannya dan lain-lain bentuk korupsi dalam projek), maka pertumbuhan ekonomi
yang diharapkan dari projek tersebut tidak akan tercapai.
e. Birokrasi
Korupsi juga menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi dalam
birokrasi. Jika birokrasi telah dikungkungi oleh korupsi dengan berbagai bentuknya, maka prinsip dasar birokrasi
yang rasional, efisien, dan kualifikasi akan tidak pernah terlaksana. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan
mengecewakan publik. Hanya orang yang berpunya saja yang akan dapat layanan baik karena mampu menyuap.
Keadaan ini dapat menyebabkan meluasnya keresahan sosial, ketidaksetaraan sosial dan selanjutnya mungkin
kemarahan sosial yang menyebabkan jatuhnya para birokrat.

2.4 Upaya Pemberantasan Korupsi


Menurut Soepardi dan Edi Mulyadi yang dikutip oleh Wiwit (2010) upaya upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia dibagi menjadi 3 periode yaitu :
Orde Lama
Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960
Antara 1951 - 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran
tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi
yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar
negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta
rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut
mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur,
dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan
politik Sukarno.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik
awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan
menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan
korupsi di tubuh TNI.
Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil.
Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur.
Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa
oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai
hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto
saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung.
Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad.
Orde Baru
Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971
Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis.
Reformasi
Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
a. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
b. Komisi Pemberantasan Korupsi
c. Kepolisian
d. Kejaksaan
e. BPKP
f. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW).

3. PEMBAHASAN
Pemberantasan korupsi merupakan suatu tindakan yang mesti dilakukan secara komprehensif melalui
kombinasi langkah langkah pencegahan dan penindakan hukum yang tegas. Pemberantasan tersebut menuntut
adanya komitmen bersama yang kuat dari berbagai komponen bangsa tidak hanya penegak hukum dan
pemerintah tetapi juga kepedulian masyarakat. Negara Singapura memerlukan waktu puluhan tahun sejak 1959
hingga saat ini diakui sebagai salah satu Negara terbaik di Asia dalam pemberantasan korupsi karena adanya
komitmen kuat dari pemimpinnya Lee Kuan Yew, aparat penegak hukumnya yang dikomandoi Corupt Practices
Investigation Beurau (CPIB) dan kemauan warga untuk tunduk kepada peraturan.
Indonesia sebagai Negara yan jauh lebih luas dari Singapura dan terdiri dari banyak suku bangsa sehinga
memiliki tingkat heterogenitas yang lebih tinggi tentu memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dalam
melakukan upaya upaya menciptakan Negara yang bebas dari korupsi. Untuk itu penulis akan mencoba
mengelaborasi langkah langkah yang bisa digunakan untuk melakukan pemberantasan korupsi dari 5 sudut
pandang fenomena yang telah diuraikan pada bagian latar belakang yaitu :
1. Pemberantasan korupsi pada kehidupan bermasyarakat
2. Pemberantasan korupsi melalui perbaikan penegakan hukum
3. Pemberantasan korupsi pada Pelayanan Publik
4. Pemberantasan korupsi pada Sektor Swasta
5. Pemberantasan korupsi melalui perbaikan sistem Pemilihan umum.

3.1. Pemberantasan korupsi pada kehidupan bermasyarakat


Pada sub pembahasan ini penulis akan membahas langkah langkah yang dikembangkan melalui penanaman
nilai nilai budaya melalui pemaparan kondisi yang terjadi pada masyarakat saat ini dan juga budaya budaya
yang dimiliki bangsa lain yang bisa diadopsi oleh masyarakat Indonesia.
Seperti yang diuraikan pada latar belakang bahwa masyarakat Indonesia selalu mendambakan Negara yang
bebas dari korupsi, tetapi pada kehidupan sehari hari masyarakat kita perbuatan perbuatan korupsi seolah
menjadi hal yang lumrah dan bagi orang orang yang berusaha menerapkan nilai nilai yang mendukung
terciptanya kebebasan dari korupsi malah dikucilkan bahkan berdasarkan kegiatan diskusi yang dilakukan pada
Mata Kuliah Seminar Pemberantasan Korupsi timbul suatu pernyataan bahwa didalam masyarakat Indonesia
orang orang yang secara konsisten menegakkan sikap sikap kejujuran dianggap sebagai orang yang aneh dan
melawan arus yang aneh. Disitir juga dari syair terkenal Ronggowarsito yang relevan dengan keadaan sekarang
yang berbunyi
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan nora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren
Yang kurang lebih bermakna bahwa kehidupan bermasyarakat saat ini sudah menjadi jaman edan orang
orang yang tetap mempertahankan kejujuran dan tidak mengikuti arus tidak akan ikut menikmati kemamkmuran
yang ada.
Berikutnya didalam buku Manusia Indonesia karya Mochtar Lubis yang dikutip didalam
www.umaginews.com (diakses 11 September 2013) menyebutkan bahwa manusia Indonesia memiliki 12 sifat
negatif yaitu :
1. Hipokrit alias Munafik:
2. Segan dan Enggan Bertanggung Jawab:“
3. Berjiwa Feodal:
4. Percaya Takhayul:
5. Artistik:
6. Watak yang Lemah:.
7. Tidak Hemat:.
8. Lebih suka tidak bekerja keras,
9. Manusia Indonesia Tukang Menggerutu/
10. Cepat Cemburu dan Dengki:
11. Manusia Yang Sok:
12. Manusia Plagiat:
Dari kedua belas sifat tersebut sifat hipokrit atau munafik inilah yang bisa menggambarkan kondisi yang
diuraikan oleh penulis didalam latar belakang masalah. Selain itu sifat sifat tidak hemat, tidak suka kerja keras
dan cepat cemburu dan dengki, manusia yang sok merupakan sifat sifat yang mendorong sikap korupsi.
Hal ini jika dibandingkan dengan Negara lain di Cina juga bisa ditemui sifat sifat yang menyebabkan
timbulnya korupsi, bahkan tindakan suap menyuap juga merupakan menjadi hal yang lumrah dan menjadi epos
budaya dalam kehidupan bangsa China.
Untuk mengatasi korupsi yang didorong oleh budaya budaya atau etos yang sudah mengakar tersebut,
pemerintah China melakukan pengenaan hukuman yang sangat keras berupa hukuman mati Hal ini bisa menjadi
efek getar yang keras bagi masyarakat China karena dilakukan secara ekstensif dan masif.
Sekedar penerapan hukuman mati yang keras berupa hukuman mati tidak akan efektif diterapkan di
Indonesia karena sistem pemerintahan yang ada saat ini tidak seotoriter di China dimana apapun hukuman yang
diberlakukan oleh Pemerintah akan dipatuhi, sedangkan di Indonesia penerapan hukuman mati tersebut akan
mengundang berbagai reaksi pro kontra dan wacana diskusi yang berkepanjangan.
Kemudian terkait budaya yang dimiliki oleh Negara seperti Jepang dan Korea yaitu budaya malu bisa
merupakan salah satu budaya yang mesti ditanamkan sejak dini kepada seluruh masyarakat Indonesia Budaya
malu ini bisa mengatasi penyebab korupsi yang terkait dengan greed ataupun need karena sifat malu akan bisa
menjadi rem bagi dua sifat sifat penyebab korupsi diatas.
Meski begitu efek negatif budaya malu yang berujung bunuh diri seperti di kedua Negara tersebut tidak
akan memberi solusi karena akan membuat pengungkapan kasus korupsi akan mandeg dengan sendirinya. Hal
yang bisa diadopsi di Indonesia adalah bagi seseorang yang gagal mengemban amanat yang diberikan alangkah
baiknya mengundurkan diri dan jika tersangkut kasus korupsi agar berkonsentrasi untuk menempuh proses
hukum yang berlaku.
Tidak hanya saat timbul masalah saja, jika budaya malu benar benar dianut maka seharusnya seseorang
akan berfikir dua kali untuk melakukan perbuatan korupsi karena sangsi sosial yang diperoleh dari masyarakat
akan menjadi efek yang sangat buruk bagi kehidupan.
Budaya yang selanjutnya yang mesti dikembangkan bagi masyarakat Indonesia adalah budaya yang
dimiliki oleh bangsa Singapura. Bangsa Singapura terkenal akan keteraturannya sehingga warga Negara asing
suka melakukan kunjungan di Singapura. Keteraturan tersebut timbul karena adanya sikap mental kedisiplinan
dan taat aturan. Jika masyarakat Indonesia menerapkan kedua sifat diatas maka penyebab korupsi yang terkait
kesempatan akan tertutup dengan sendirinya karena pelanggaran pelanggaran yang menjadi celah/ kesempatan
bagi aparat pemerintah khususnya penegak hukum untuk menawarkan patgulipat akan bisa dieliminasi bahkan
jikapun ada melakukan pelanggaran maka warga akan memilih untuk mengikuti prosedur hukum yang ada.
Budaya budaya diatas akan menjadi efektif jika pengelaborasiannya dilakukan melalui kegiatan pendidikan
sejak dini. Selain budaya budaya yang telah dipaparkan diatas nilai nilai yang terdapat norma norma yang ada
seperti kejujuran, adil, berani, hidup sederhana, dan tanggung jawab mesti juga terus dikembangkan. Selain itu
perbaikan atas sistem pendidikan merupakan kunci dalam upaya pemberantasan korupsi. Contoh nyata adalah
bagaimana dengan upaya pencerdasan masyarakat yang dilakukan di Finlandia menyebabkan warganya selalu
kritis dan memiliki kesadaran dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan pengembangan kognitif disertai
penanaman nilai nilai diatas tentunya manusia Indonesia dengan sendirinya akan menjadi peka dalam
mewujudkan Negara yang bebas dari korupsi
Selain melalui pendidikan seperti diatas terdapat langkah lain lagi untuk memperkuat penanaman budaya
budaya dan nilai anti korupsi yaitu melalui tokoh tokoh kunci di setiap lapisan masyarakat yang selama ini
menjadi panutan bagi masyarakat di sekitarnya harus secara aktif menyebarkan nilai nilai tersebut tidak hanya
melalui upaya retoris diatas mimbar mimbar dan pidato tetapi juga melalui keteladanan dikehidupan sehari hari.
3.2. Pemberantasan Korupsi Melalui Perbaikan Penegakan Hukum
KPK didirikan didirikan pada tahun 2002 dengan memiliki kewenangan yang sangat luas yaitu :
a) Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b) Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c) Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang
terkait;
d) Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e) Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Dan dengan tugas antara lain :
a) Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b) Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e) Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Lembaga ini dibentuk karena tindak pidana korupsi sudah merupakan tindak pidana yang yang bersifat luar
biasa dan memiliki dampak yang sangat buruk bagi kehidupan berbangsa dan bertanah air, namun pada
kenyataannya saat itu aparat penegak hukum yang ada dan diberi mandate untuk melakukan kegiatan penindakan
atas tindak pidana korupsi tersebut ternyata dipandang tidak efektif bahkan diindikasikan menjadi sarang
perbuatan perbuatan korupsi.
Dibanding dengan Lembaga Anti Korupsi dinegara lain seperti CPIB di Singapura, KICAC di Korea
Selatan dan ICAC di Hongkong, KPK memiliki tingkat independensi yang lebih tinggi dari tiga lembaga lainnya.
CPIB di Singapura memiliki tanggung jawab untuk melaporkan kegiatannya kepada perdana menteri, sedangkan
KICAC bertanggung jawab kepada presiden sedangkan ICAC di Hongkong memiliki mandate dari parlemen .
Walau tidak memiliki tingkat independensi sebesar KPK namun lembaga lembaga tersebut dinilai berhasil
melakukan pemberantasan korupsi dinegaranya. Berdasarkan studi yang dilakukan KPK ada beberapa faktor
pendorong keberhasilan suatu lembaga anti korupsi memperoleh keberhasilan yaitu antara lain :
a) Memiliki Kerangka Hukum dan Rule of law: Terdapat Kerangka hukum yang kuat dan
peraturan perundang-undangan yang jelas tidak menimbulkan multi tafsir dan pelaksanaan dari
substansi hukum tersebut secara konsisten yang berdasarkan prinsip equality before the Law,
sehingga tidak terjadi diskriminasi dalam penanganan kasus tindak Pidana Korupsi.
b) Memiliki Visi dan Misi yang Jelas. Yakni menetapkan arah yang jelas dan strategi yang
komprehensif dan handal dalam pemberantasan korupsi, menyesuikankebijakan secara bertahap
sesuai dengan perkembangan lingkungan.
c) Pimpinan dan Staf Mempunyai Standar Kompetensi dan Terlatih. Dalam pengisian struktur organisasi
lembaga anti korupsi dilakukanrekrutmen yang obyektif didasarkan kepada kompetensi sesuai
dengan bidang tugas dari tingkat Pimpinan hingga staf terbawah. Rekrutmen dilakukan oleh
lembaga independen yang bekerjasecara profesional.
d) Pendekatan koheren antara penacegahan dan penindakan, di bidang pencegahan dilakukan secara
agresif pendidikan masyarakat dalam rangka meningkatan kesadaran anti korupsi serta studi
dilakukan untuk mengumpulkan informasi yangakurat mengenai tingkat dan modus operandi
korupsi yang dilakukan pegawai pemerintah/swasta, sehingga dapat dipakai sebagai acuhan
dalam merubah hukumdan undang-undang anti korupsi. Di bidang penindakan dilakukan
denganmemaksimalkan pelaksanaan kewenangan yang dimiliki didukung dengan prasaranayang
memadahi serta penegakan hukum yang konsisten;
e) Dukungan dana yang cukup besar untuk mendukung kontinuitas operasional pencegahan dan
penindakan kasus korupsi;
f) Adanya Dukungan Politik: Terdapat dukungan politik dari pemerintah serta konsistensi
dukungan yang terus menerus terhadap langlah strategis yang dilakukanoleh lembaga anti korupsi.
Lembaga anti korupsi dalam melaksanakan tugasnya tidak mendapatkan hambatan dari
Pemerintah terutama dalam penanganan proses hukum para pejabat yang diduga melakukan korupsi.
g) Mendapat Support yang Kuat dari Masyarakat: Masyarakat mendukung program
pemberantasan korupsi nasional. Peran serta masyarakat tidak hanya aktif dalampelaporan
dugaan korupsi, akan tetapi juga aktif dalam pencegahan korupsi misalnya pendidikan anti korupsi
kepada masyarakat melalui berbagai media termasuk advokasi publik.
h) Bekerja Secara Independen. Dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengantugas dan
funsinya lembaga anti korupsi bebas dari pengaruh legislatif, eksekutif dan dari pengaruh manapun
juga (KPK:2006).

Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang bahwa KPK usaha untuk melakukan pemberantasan
korupsi lebih memiliki gaung dan menunjukkan komitmen yang jelas dalam hal pemberantasan korupsi sehingga
untuk saat ini KPK masih bisa dijadikan tumpuan untuk melakukan penegakan hukum.
Dari faktor faktor keberhasilan yang dipaparkan diatas, masih terdapat beberapa faktor yang belum
terpenuhi atau kurang dimaksimalkan. Faktor faktor tersebut antara lain kerangka hukum yang jelas, kecukupan
staff, dukungan dana dan dukungan politik.
Kerangka hukum yang dinaungi KPK memang memiliki kedudukan yang sangat kuat yaitu berupa Undang
Undang namun beberapa tindak pidana korupsi yang terdapat dalam konvensi ICAC masih belum tercakup
dalam Undang Undang Tindak Pidana Korupsi yang menjadi landasan hukum KPK dalam melakukan
penegakan. Tindakan pidana yang belum diatur secara jelas antara lain mengenai illicit enrichment yaitu
merupakan tindak pidana jika ternyata dilakukan dengan sengaja. Apabila diketahui peningkatan yang signifikan
dalam aset seseorang pejabat publik dan ia tidak dapat menjelaskan dalam kaitannya dengan pendapatannya
yang sah. Dengan adanya tambahan pasal ini asas pembuktian terbalik bisa dimanfaatkan secara optimal
Faktor selanjutnya yang harus diperhatikan adalah kecukupan staff. Selama ini tenaga penyidik yang
dimiliki KPK berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Walau dalam keadaan yang sudah minim personil KPK
masih sempat diguncang peristiwa penarikan personil dari institusi kejaksaan dan kepolisian. Saat ini KPK sudah
mulai melakukan perekrutan pegawai baru untuk memback-up load perkara yang semakin tinggi. Kedepannya
kebijakan seperti yang diambil CPIB yaitu semua penanganan tindak pidana korupsi sebaiknya dilakukan oleh
lembaga khusus dalam hal ini KPK. KPK juga diberi kewenangan untuk merekrut tenaga tenaga penyidik
tipikor yang dimiliki oleh kejaksaan dan kepolisian.
Dengan kewenangan penanganan tindak pidana korupsi sepenuhnya dilakukan oleh KPK maka sebaiknya
dukungan dana juga harus disupport penuh oleh pemerintah dan DPR sehingga bisa jangkauan penangannya bisa
dilakukan hingga keseluruh Indonesia.
Dukungan dana tersebut akan diperoleh jika dukungan politik dari pemerintah dan DPR bisa diraih. Namun
keadaan sekarang terdapat beberapa anggota DPR yang memiliki intensi untuk melakukan pengurangan
kewenangan yang dimiliki KPK dan bahkan secara terbuka ingin melakukan pembubaran KPK. Oleh karena itu
masyakarat selaku pemegang mandat diharapkan bisa memilih anggota legislatif yang mendukung kegiatan
pemberantasan korupsi pada Pemilu 2014.
Langkah selanjutnya adalah melakukan reformasi terhadap sistem peradilan. Pengadilan menjadi palang
pintu terakhir dalam upaya penegakan hukum khususnya pada tindak pidana korupsi. Selama ini kasus yang
ditangani oleh KPK memang hamper selalu berhasil memperoleh putusan bersalah. Namun terhadap penanganan
kasus tipikor yang dilakukan oleh institusi kejaksaan dan kepolisian banyak yang diputus bebas.
Reformasi pengadilan yang bersifat integral, dimulai dengan melakukan reformasi dan “kekuasaan
kehakiman” dan “desain penerapan kekuasaan kehakiman”. Kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana
khususnya tindak pidan korupsi bukan hanya diwujudkan dalam “kekuasaan mengadili”, tetapi
diwujudkan/diimplementasikan dalam keseluruhan proses peradilan pidana, yaitu tahap penyidikan,
penuntutan, sidang pengadilan yang didan pelaksanaan putusan pengadilan. Maka dari itu menjadi penting
peranan KPK untuk menjadi satu satunya lembaga yang memiliki kewenangan penyidikan dan penuntutan.
J Pajar Wibowo dalam jurnalnya yang berjudul reformasi sistem peradilan pidana dalam rangka
penanggulangan mafia peradilan menyatakan bahwa dalam reformasi kehakiman Penerapan nilai-nilai dasar
akuntabilitas publik dalam penegakan hukum, khususnya dalam upaya pemberantasan mafia peradilan,
meliputi prinsip-prinsip, pertama adalah access to justice(akses kepada keadilan), pada proses hukum dan
putusan; kedua adalah timelines of justice delivery (standar waktu untuk mencapai keadilan); ketiga adalah
quality of justice delivery(kualitas keadilan dari penegak hukum dan putusan hakim); dan keempat adalah
independence, impartiality and fairness of the judiciary (independensi, imparsialitas juga keterbukaan dari
kekuasaan peradilan); kelima adalah public trust in judiciary (kepercayaan masyarakat pada kekuasaan
kehakiman/peradilan) harus dilaksanakan secara berkelanjutan.
Selain itu pengawasan atas kinerja kehakiman juga menjadi unsur yang sangat vital dalam melakukan
reformasi pengadilan. Keberadaan Komisi Yudisial bertujuan untuk menampung keluhan masyarakat pencari
keadilan yang diperlakukan tidak adil dalam proses hukum. Untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap
kinerja pengadilan, KY dan MA, berdasarkan UU. No. 3 Tahun 2009 tentang MA, dibentuk Majelis
Kehormatan Hakim (MKH) yang masih bersifat ad hoc, dengan komposisi anggota 3 nama berasal dari
MA dan 4 nama dari KY. MKH adalah sarana institusi kontrol terhadap perilaku hakim secara internal
peradilan. MKH dibentuk untuk mengambil keputusan terhadap pelanggaran kode etik dan perilaku
Hakim dengan hukuman pemberhentian secara tidak hormat atau pemberhentian sementara.
Untuk memperkuat akuntabilitas peradilan di masyarakat, kerjasama dengan LSM seperti ICW, TII,
MaPPI FH UI, beberapa Perguruan Tinggi melakukan Eksaminasi Publik terhadap putusan pengadilan yang
terindikasi praktik mafia peradilan. Peran serta masyarakat dalam pengawasan kinerja penegak hukum
dalam pemberantasan korupsi, dapat dilakukan dengan membangun gerakan massa anti korupsi (critical
mass) terutama dijalankan LSM sebagai kekuatan pedobrak (social movement) seluruh masyarakat
memperkuat nilai-nilai dan institusi demokrasi dan supremasi sipil.
Penguatan prinsip akuntabilitas publik atas putusan pengadilan dapat dilakukan masyarakat sebagai
partisipasi pengawasan sistem peradilan pidana sejalan dengan spirit transparansi dan akuntabilitas publik.
Partisipasi masyarakat dalam mengawasi kinerja lembaga peradilan pada dasarnya menjadi bagian dalam
reformasi sistem peradilan pidana dalam ber-bagai peraturan perundang-undangan. Bahkan pada era teknologi
informasi ini, pola pengawasan masyarakat terhadap kinerja peradilan akan lebih mudah dan efektif dengan
dukungan perangkat teknologi informasi.
Selanjutnya yang menjadi sangat penting juga adalah kekuatan efek jera dari putusan pengadilan. Selain
hukuman badan yang diperberat, masyarakat juga menuntut adanya upaya pemiskinan bagi koruptor. Seperti
yang telah diuraikan bahwa hukuman mati bukan menjadi jalan yang baik dalam menegakkan korupsi tetapi
justru hasil dari korupsi itulah yang mesti disita dan dimanfaatkan sebesar besarnya bagi seluruh masyarakat.
Pintu masuk untuk melakukan pemiskinan koruptor adalah penerapan tindak pidana pencucian uang sebagai
pidana tambahan bagi tersangka tindak pidana korupsi. Kerjasama antara PPATK, KPK dan Tim Pemulihan Aset
akan memiliki dampak yang besar bagi pemulihan kerugian Negara dan memiliki efek jera yang lebih mengena
bagi pelaku korupsi yang kebanyakan motif yang ditemui adalah berasal dari motif keserakahan.
3.3. Pemberantasan Korupsi melalui Perbaikan Pelayanan Publik
Berdasarkan Undang Undang nomor 25 tahun 2009 mengenai pelayanan publik, pelayanan public
didefinisikan sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau
pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sedangkan Sedangkan Lewis dan
Gilman (2005:22) mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut: Pelayanan publik adalah kepercayaan
publik. Warga negara berharap pelayanan publik dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan sumber
penghasilan secara tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Pelayanan publik yang adil dan dapat
dipertanggung-jawabkan menghasilkan kepercayaan publik. Dibutuhkan etika pelayanan publik sebagai pilar dan
kepercayaan publik sebagai dasar untuk mewujudkan pemerintah yang baik
Dari 2 definisi tersebut karakteristik pelayanan public adalah
1. Serangkaian kegiatan dalam rangka pemberian pelayanan
2. Pelayanan tersebut timbul karena adanya kepercayaan public
3. Penyelengaraan pelayanan tersebut diharapkan dilakukan dengan berlandaskan kejujuran, dapat
dipertanggung jawabkan dan berdasarkan pada nilai etika tertentu.
Terdapat empat unsur penting dalam proses pelayanan publik, yaitu (Bharata, 2004:11):
a) Penyedia layanan, yaitu pihak yang dapat memberikan suatu layanan tertentu kepada konsumen, baik
berupa layanan dalam bentuk penyediaan dan penyerahan barang (goods) atau jasa-jasa (services).
b) Penerima layanan, yaitu mereka yang disebut sebagai konsumen (costomer) atau customer yang
menerima berbagai layanan dari penyedia layanan.
c) Jenis layanan, yaitu layanan yang dapat diberikan oleh penyedia layanan kepada pihak yang
membutuhkan layanan.
d) Kepuasan pelanggan, dalam memberikan layanan penyedia layanan harus mengacu pada tujuan utama
pelayanan, yaitu kepuasan pelanggan. Hal ini sangat penting dilakukan karena tingkat kepuasan yang
diperoleh para pelanggan itu biasanya sangat berkaitan erat dengan standar kualitas barang dan atau
jasa yang mereka nikmati.
Ciri-ciri pelayanan publik yang baik adalah memiliki unsur-unsur sebagai berikut (Kasmir, 2006:34):
a) Tersedianya karyawan yang baik.
b) Tersedianya sarana dan prasarana yang baik.
c) Bertanggung jawab kepada setiap nasabah (pelanggan) sejak awal hingga akhir.
d) Mampu melayani secara cepat dan tepat.
e) Mampu berkomunikasi.
f) Memberikan jaminan kerahasiaan setiap transaksi.
g) Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang baik.
h) Berusaha memahami kebutuhan nasabah (pelanggan).
i) Mampu memberikan kepercayaan kepada nasabah (pelanggan)
Untuk mewujudkan hal tersebut pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah harus memenuhi asas
asas berikut :
a) kepentingan umum, yaitu; Pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau
golongan.
b) kepastian hukum, yaitu Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan.
c) kesamaan hak, yaitu Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan
status ekonomi.
d) keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu Pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus
dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan.
e) keprofesionalan, yaitu Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas.
f) partisipatif, yaitu Peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan
memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
g) persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, yaitu Setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang
adil.
h) keterbukaan, yaitu Setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi
mengenai pelayanan yang diinginkan.
i) akuntabilitas, yaitu Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
j) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yaitu Pemberian kemudahan terhadap kelompok
rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan.
k) ketepatan waktu, yaitu Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar
pelayanan.
l) kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, yaitu Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah,
dan terjangkau. (Pasal 4 UU No 25 Tahun 2009)
Dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan publik yang prima dan memenuhi asas asas tersebut diatas
pemerintah telah melakukan upaya upaya reformasi birokrasi yang berlandaskan pada kerangka good
governance. Reformasi birokrasi ini dilakukan dengan cara penerapan perbaikan integral pelayanan publik
meliputi perbaikan orang, struktur, dan prosesnya. Berdasarkan Road Map Reformasi Birokrasi yang ditetapkan
oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi area yang akan dilakukan perubahan
terkait dengan penerapan reformasi birokrasi dan hasil yang diharapkan adalah:
a) Organisasi. Organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran
b) Tatalaksana. Sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai prinsip-
prinsip good governance
c) Peraturan Perundang-undangan. Regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih dan kondusif.
d) Sumber Daya Manusia Aparatur SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable,
profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera
e) Pengawasan. Meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bebas KKN
f) Akuntabilitas Meningkatnya kapasitas dan kapabilitas kinerja birokrasi
g) Pelayanan publik Pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat
h) Mindset dan cultural Set Aparatur Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi
Dari area area perubahan yang disasar dan hasil yang diharapkan, reformasi birokrasi ini idealnya
mampu untuk menjawab segala tuntutan terkait asas asas yang diembankan dalam Undang Undang Pelayanan
Publik dan terlebih lagi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Namun pada pelaksanaanya sampai dengan sekarang yang diamati oleh penulis, reformasi birokrasi
yang didengung-dengungkan hanyalah sebatas menyusun dokumen untuk memenuhi ketentuan agar bisa
memperoleh tunjangan kinerja. Area area perubahan seperti organisasi yang diharapkan tepat fungsi dan tepat
ukuran sampai sekarang belum terwujud sepenuhnya karena struktur pemerintahan baik dari jumlah lembaga
Negara dibawah kepresidenan masih sangat gemuk dan memiliki fungsi yang tumpang tindih. Perubahan harus
dilakukan dengan mengurangi jabatan structural dan lebih mengedepankan peran yang bersifat fungsional
Perubahan tata laksana hanyalah pembuatan setumpuk SOP yang berisi prosedur prosedur tetapi tidak
memiliki indikator kualitas dan kecepatan pelayanan yang diharapkan sehingga dua unsur tersebut masih belum
bisa diukur dengan baik.
Regulasi yang tumpang tindih juga menjadi salah satu momok yang belum bisa diselesaikan sehingga
asas kepastian hukum yang mesti didapatkan masyarakat saat mengakses pelayanan publik jadi terabaikan.
TErkait sumber daya yang ada saat ini perlu diberikan adalah standar kinerja yang jelas, kompetensi
bagi masing masing jabatan harus didefinisikan dan dilakukan penempatan orang orang yang memenuhi standar
kompetensi itu pada jabatan jabatan yang telah ditetapkan. Hal ini akan mewujudkan pengelolaan sumber daya
mengacu pada prinsip right man in the right place.
Pelayanan prima yang sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat akan terwujud jika standar pelayanan
minimal atas pelayanan yang diberikan itu ditetapkan dengan indikator yang jelas.
Perubahan mindset merupakan salah satu PR berat bagi pemerintahan saat ini, penetapan budaya kerja
bagi masing masing instansi menjadi perlu, penyusunan dan pelaksanaan pengukuran atas penerapan budaya
kerja tersebut menjadi suatu keharusan dalam mewujudkan tujuan diatas.
Selain langkah langkah diatas diterapkan terdapat beberapa kebijakan yang ditetapkan oleh berbagai
Negara yang bisa meningkatkan pelayanan publik dan sebagai langkah pencegahan timbulnya praktik KKN di
bidang pelayanan publik. Kebijakan tersebut antara lain :
a) Refendary sistem suatu sistem yang dikembangkan didalam birokrasi di Finlandia terkait pengambilan
keputusan bersifat kolektif dan kolegial dengan harapan keterlibatan dari para pihak selain bisa
meningkatkan kualitas keputusan juga dapat memberikan transparansi atas pengambilan keputusan
tersebut.
b) Pengimplementasian e-government secara meluas
c) Blind Trust System (November 2005): seluruh rekening keuangan para pejabat wajib ditata usahakan
kepada bank tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah
d) Remunerasi yang mengacu kepada penggajian di sektor swasta
e) Penetapan kode etik khususnya terkait pencegahan konflik kepentingan
f) Mewajibkan kepada setiap PNS untuk menerbitkan pernyataan bebas dari masalah hutang budi.

3.4. Pemberantasan Korupsi di Sektor Swasta


Pada uraian latar belakang disebutkan bahwa tindakan penyuapan dan penggelapan pajak merupakan tindak
pidana korupsi yang paling sering ditemui pada sektor swasta.

2.4.1. Penyuapan
Berdasarkan data Global Corruption Report Tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Transparency International
secara khusus menyorot korupsi dan sektor swasta terutama dalam bentuk penyuapan disebutkan memainkan
peranan sentral sebagai sumber utama transaksi korupsi di antara pegawai negeri, pejabat pemerintah dan
anggota partai politik. Krisis finansial yang melanda ekonomi dunia pada 2008, memperlihatkan faktor sisi
penawaran korupsi dari bisnis menjadi masalah besar saat ini.
Didalam laporan tersebut disampaikan fakta bahwa dari 2.700 lebih eksekutif bisnis yang disurvei di 26
negara, ditemukan 2 dari 5 pejabat eksekutif bisnis mengakui pernah diminta melakukan suap ketika
berhubungan dengan lembaga publik. Kemudian masih dari hasil survey tersebut disebutkan 60 persen
pengusaha yang melakukan transaksi bisnis di Mesir, India, Indonesia, Maroko, Nigeria, dan Pakistan mengaku
harus melakukan suap ketika berhubungan dengan lembaga publik (Bribe Payer Index, 2008).
Nilai transaksi suap yang diberikan juga bukan angka yang sedikit yaitu antara US$ 20-40 miliar setiap
tahunnya yang diberikan kepada aparat pemerintah dan pejabat, setara dengan sekitar 20-40 persen bantuan
pembangunan (Bribe Prayer Index, 2008). Dan 50 persen manajer bisnis memperkirakan bahwa korupsi
menambah biaya proyek sedikitnya 10 persen, dan dalam beberapa kasus lebih dari 25 persen. Satu dari lima dari
mereka mengakui dikalahkan oleh pesaing yang melakukan suap (Control Risks and Simmons & Simmons,
2007).
Praktik yang ditemui di Indonesia, suap setidaknya ada tiga hal, yaitu secara aktif diminta, diminta dengan
pemerasan, ditawarkan secara proaktif oleh pebisnis, dan ketiga bentuk itu sangat ditentukan oleh sejauh mana
relasi kekuasaan antara pemerintah dan bisnis. Dalam survei Indeks Suap (2009) di 50 kota di Indonesia yang
dilakukan oleh Transparency International Indonesia, mengaku juga biasa mendapat tawaran suap (45 persen)
dari kalangan bisnis.
Karena itu, penyuapan pejabat asing dalam transaksi bisnis internasional adalah fenomena dunia yang perlu
mendapat perhatian serius, terutama di negara-negara berkembang yang tingkat korupsinya sangat tinggi seperti
di Indonesia, karena pengaruhnya yang luar biasa ke dalam jantung perekonomian negara- negara tersebut.
Indonesia punya pengalaman nyata yang sangat panjang bagaimana transaksi bisnis yang kotor baik dengan
perusahaan asing maupun dengan perusahaan nasional dalam pengelolaan sumber daya alam, impor komoditas
pangan atau mega kontrak pemerintah dalam pembangunan infrastruktur selain membebani anggaran publik juga
membangun pemerintahan korup yang bisa berkuasa cukup lama.
Rezim pemerintahan otoriter dan perusahaan multinasional atau konglomerasi nasional menjadi semacam
simbiose yang saling menguntungkan. Ia berkontribusi mempertahankan birokrasi, partai politik, dan
pemerintahan yang korup. Pelaku bisnis yang kuat dapat mengendalikan kebijakan publik dan pemerintahan
sehingga menghalangi terciptanya keputusan yang demokratis. Dalam hal ini sebenarnya yang terjadi adalah
perampokan negara (state capture) secara sistematis, dimana perusahaan melakukan pembayaran pada pejabat
publik untuk mempengaruhi pilihan dan desain hukum, aturan dan kebijakan publik.

Secara masif masalah ini dengan sangat vulgar diperlihatkan pada era pemerintahan otoriter di bawah rezim
Orde Baru (dan secara samar berlangsung sampai sekarang) yang menyabot hampir semua sumber sumber
ekonomi negara penting, antara lain dalam bentuk kredit subsidi, penghindaran pajak, kredit investasi, subsidi,
pinjaman bersubsidi pinjaman swasta dengan jaminan anggaran pemerintah. Krisis finansial dan skandal
kebijakan BLBI pada 1998 yang sampai sekarang membebani APBN adalah contoh ekstrim fenomena state
capture yang paling menyakitkan masyarakat.
Anehnya di Indonesia, praktek suap dilakukan oleh pelaku bisnis di tengah pengetahuan mereka tentang
undang-undang pemberantasan korupsi jauh lebih baik. Hasil survei TII pada 2008, menyebutkan 90 persen
pebisnis paham tentang undangundang pemberantasan korupsi. Sementara hampir 77 persen dari 2.700 pejabat
eksekutif, investor dan eksportir besar di Prancis, Inggris, Jerman dan AS tidak mengetahui Konvensi OECD
tentang Pemberantasan Suap terhadap Pejabat Publik terlibat dalam Transaksi Bisnis International (TI, 2008).
Tapi belakangan upaya untuk mengurangi suap dari kalangan bisnis sedang mendapat perhatian global,
termasuk korupsi dalam tubuh perusahaan swasta itu sendiri. Sejak demokratisasi yang meluas hampir di seluruh
pelosok dunia, bentukbentuk transaksi bisnis kotor yang dilakukan perusahaan multinasional dengan rezim-
rezim otoriter di negara-negara berkembang sebagai komprador mereka sudah memasuki babak akhir. Kini
dengan tuntutan transaksi bisnis yang kompetitif dan bersih, agenda pemberantasan korupsi mendunia, termasuk
peran dunia bisnis di dalamnya. Meskipun harus diakui tatanan ekonomi global, dan pasar yang dinamis terus
melahirkan berbagai peluang korupsi.
Meniru AS yang sudah lama memiliki Foreign Practice Corruption Act (FPCA), pemerintah Inggris dalam
upaya untuk meningkatkan standar kepatuhan perusahaan jika tidak ada penundaan lagi pada 1 Juli 2011 akan
memberlakukan undang-undang Tindak Pidana Penyuapan (UK Bribery Act) yang proses legislasinya memakan
waktu 12 tahun. UU ini mengatur tentang tindakan kriminal penyuapan pejabat publik negara lain (foreign
public offi cials bribery), tindakan kriminal organisasi komersial yang tidak dapat mencegah terjadinya
penyuapan. Perusahaan Inggris yang beroperasi di luar negeri seperti Indonesia harus mematuhi UU ini,
sehingga praktek “facilitation payment” yang sebelumnya biasa dilakukan,menjadi ilegal.
Memerangi suap dalam transaksi bisnis internasional memerlukan kerangka kerja internasional dan
nasional sekaligus, dan kerja sama internasional yang betul-betul bisa bekerja dengan baik, untuk mengadili
penyuap dan penerima suap, serta menarik kembali aset yang sudah dilarikan para koruptor ke luar negeri.
Dalam konteks ini, semestinya setiap negara yang telah meratifikasi UNCAC, seperti Indonesia, wajib
mengadopsi tindakan legislatif untuk mencegah, sistem penegakan hukumnya untuk membasmi penyuapan
pejabat asing dalam bisnis internasional.
Penguatan sistem hukum yang terkait, seperti perlindungan saksi dengan sendirinya akan memberikan
landasan hukum yang kuat bagi kerja-kerja jurnalistik atau lembaga watchdog dalam upaya membantu aparat
hukum mengungkap transaksi suap yang biasanya dilakukan di “ruang remang-remang”.
pencegahan korupsi di dalam sektor swasta menjadi sangat penting, sejak banyak skandal bisnis yang
mengguncang perekonomian dunia. Kita tahu selama ini telah lazim praktek kotor di dalam binsis antara
pembuatan catatan catatan di luar pembukuan (off books account) mencatat pengeluaran yang tidak ada,
membuat catatan tentang kewajiban kewajiban fi nansial yang tidak benar, penggunaan dokumendokumen palsu,
pemusnahan secara sengaja dokumen-dokumen pembukuan dan sebagainya. Dalam banyak kasus kebangkrutan
perbankan di Indonesia, dan yang terakhir kasus Bank Century, misalnya. Negara akibatnya harus menanggung
kebobrokan manajemen. Dalam skala bisnis tertentu yang pengaruhnya besar terhadap perekonomian nasional,
mau tidak mau, pemerintah sepertinya menjadi tawanan dunia bisnis.
Sistem transaksi keuangan noncash semestinya juga diberlakukan oleh BI dan Pemerintah, baik dalam
transaksi keuangan antara lembaga pemerintah, lembaga pemerintah dengan swasta, atau swasta ke swasta.
Karena realitasnya dalam beberapa kasus transaksi suap yang berhasil ditangkap KPK senantiasa menggunakan
uang tunai.

2.4.2 Penggelapan Pajak


Penggelapan Pajak pada sistem hukum indonesia merupakan suatu tindak pidana khusus yang diatur
tersendiri didalam Undang Undang Perpajakan. Tindakan penggelapan pajak ini menjadi isu panas ketika
dilakukannya pengungkapan kasus Gayus Tambunan dan pengungkapan penggelapan pajak yang dilakukan oleh
Asian Agri. Walaupun masuk dalam tindak pidana perpajakan, penggelapan pajak ini memiliki dampak yang
sama dengan korupsi yang diatur pada Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu merugikan
keuangan Negara dan secara tidak langsung bisa menimbulkan permasalahan bagi perekonomian nasional.
Dalam bukunya, Mardiasmo (2002:1) mengemukakan pengertian pajak sebagai berikut: “Pajak adalah
iuran rakyat kepada negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat di paksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum”. Sedangkan penggelapan pajak sendiri memiliki arti sebagai penghindaran pajak yang dilakukan secara
illegal.
Penghindaran pajak sendiri sebenarnya adalah suatu masalah yang berada di area abu abu antara
diperbolehkan atau merupakan suatu pelanggaran perpajakan. Penghindaran pajak masih dikategorikan bukan
sebagai suatu pelanggaran manakala memanfaatkan celah celah aturan yang timbul antara peraturan perpajakan
dengan beberapa metode akuntansi yang boleh dipergunakan.
Penghindaran perpajakan menjadi suatu penggelapan pajak jika tindakan tindakan yang dilakukan tersebut
melalui serangkaian tindakan melanggar hukum seperti melakukan pelaporan SPT secara tidak benar dengan
cara memanipulasi laporan keuangan.
Salah satu contoh penggelapan pajak dengan manipulasi laporan keuangan yang berhasil diungkap adalah
pada kasus Asian Agri. Dalam kasus tersebut Asian Agri melakukan manipulasi laporan keuangan dengan modus
Modus adanya pengiriman uang kepada dua orang pegawai untuk melakukan perjalanan ke Jakarta beberapa kali
namun sebenarnya tidak terjadi dan ternyata uang tersebut dimasukkan ke dalam biaya, sehingga harga pokok
penjualan menjadi lebih tinggi dari yang sebenarnya. Modus kedua, dilakukan oleh Asian Agri dengan menjual
produk kepada perusahaan afiliasi mereka di luar negeri dengan harga yang sangat rendah. Modus ketiga terkait
manajemen fee, ada kegiatan jasa konsultan juga yang dimasukkan dalam biaya padahal pekerjaanya tidak ada
dan modus keempat, dilakukan dengan membebankan biaya ke dalam keuangan, perhitungan laba rugi yang
tidak sesuai dengan kondisi perhitungan laba rugi sebenarnya. Hal ini bisa terjadi karena tersangka SL
mengerjakan sendiri laporan keuangan 14 perusahaan yang tergabung dalam kelompok perusahaan Asian Agri
selama empat tahun terakhir. Akibat perbuatan tersebut negara mengalami kerugian berupa pajak yang tidak
dibayar sebesar Rp 1,294 triliun.
Secara makro akibat dari penggelapan pajak yang dilakukan oleh sektor swasta ini menyebabkan
berkurangnya potensi pembiayaan yang digunakan pemerintah untuk membiayai kegiatan pelayanan kepada
masyarakat yang berasal dari perpajakan.
Atas hal tersebut langkah langkah utama dalam hal pencegahan berada pada Direktorat Jenderal Pajak
selaku regulator dibidang perpajakan. Namun kedepannya kasus penggelapan pajak ini bisa mestinya bisa juga
diarahkan kepada tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak swasta seperti yang terjadi di Korea Selatan
dimana pemilik atau orang yang bertanggung jawab atas perpajakan dalam perusahaan yang melakukan
perbuatan melawan hukum tersebut bisa dituntut kemuka pengadilan dan tidak hanya dengan solusi mengenakan
denda pajak saja.

3.5. Pemberantasan Korupsi melalui Perbaikan Sistem Politik


Berdasarkan Modul Pemilihan Umum Bagi Pemula yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum
Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dimana rakyat dapat memilih pemimpin politik secara
langsung. Yang dimaksud dengan pemimpin politik disini adalah wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga
perwakilan rakyat (parlemen) baik ditingkat pusat maupun daerah dan pemimpin lembaga eksekutif atau kepala
pemerintahan seperti presiden, gubernur, atau bupati/walikota.
Masih didalam modul tersebut, dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum bagi anggota legislative dikenal
beberapa metode yaitu :
a) Sistem Distrik
Sistem distrik biasa disebut juga single-member constituency (tetapi ada juga yang memakai istilah
single-member-district untuk menyebut sistem ini). Pada intinya, sistem distrik merupakan sistem pemilihan
dimana suatu negara dibagi menjadi beberapa daerah pemilihan (distrik) yang jumlahnya sama dengan jumlah
wakil rakyat yang akan dipilih dalam sebuah lembaga perwakilan. Dengan demikian, satu distrik akan
menghasilkan satu wakil rakyat. Kandidat yang memperoleh suara terbanyak di suatu distrik akan menjadi wakil
rakyat terpilih, sedangkan kandidat yang memperoleh suara lebih sedikit, suaranya tidak akan diperhitungkan
atau dianggap hilang—sekecil apapun selisih perolehan suara yang ada—sehingga dikenal istilah the winner-
takes-all.
Kelebihan sistem distrik antara lain:
a. Karena kecil atau tidak terlalu besarnya distrik maka biasanya ada hubungan atau kedekatan antara kandidat
dengan masyarakat di distrik tersebut. Kandidat mengenal masyarakat serta kepentingan yang mereka
butuhkan.
b. Sistem ini akan mendorong partai politik untuk melakukan penyeleksian yang lebih ketat dan kompetitif
terhadap calon yang akan diajukan untuk menjadi kandidat dalam pemilihan.
c. Karena perolehan suara partai-partai kecil tidak diperhitungkan, maka secara tidak langsung akan terjadi
penyederhanaan partai politik. Sistem dwipartai akan lebih berkembang dan pemerintahan dapat berjalan
dengan lebih stabil.
Kekurangan sistem distrik, antara lain:
a. Sistem ini kurang representatif karena perolehan suara kandidat yang kalah tidak diperhitungkan sama
sekali atau suara tersebut dianggap hilang.
b. Partai-partai kecil atau golongan/kelompok minoritas/termarjinalkan yang memperoleh suara yang lebih
sedikit tidak akan terwakili (tidak memiliki wakil) karena suara mereka tidak diperhitungkan. Dalam hal
ini, kaum perempuan memiliki peluang yang kecil untuk bersaing mengingat terbatasnya kursi yang
diperebutkan.
c. Wakil rakyat terpilih akan cenderung lebih memperhatikan kepentingan rakyat di distriknya dibandingkan
dengan distrik-distrik yang lain.
b) Sistem Proporsional
Sistem proporsional lahir untuk menjawab kelemahan dari sistem distrik. Sistem proporsional merupakan
sistem pemilihan yang memperhatikan proporsi atau perimbangan antara jumlah penduduk dengan jumlah
kursi di suatu daerah pemilihan. Dengan sistem ini, maka dalam lembaga perwakilan, daerah yang memiliki
penduduk lebih besar akan memperoleh kursi yang lebih banyak di suatu daerah pemilihan, begitupun
sebaliknya.
Sistem proporsional juga mengatur tentang proporsi antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai
politik untuk kemudian dikonversikan menjadi kursi yang diperoleh partai politik tersebut. Karena adanya
perimbangan antara jumlah suara dengan kursi, maka di Indonesia dikenal Bilangan Pembagi Pemilih (BPP).
BPP merefleksikan jumlah suara yang menjadi batas diperolehnya kursi di suatu daerah pemilihan. Partai politik
dimungkinkan mencalonkan lebih dari satu kandidat karena kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan lebih
dari satu.
Kelebihan sistem proporsional antara lain:
a. Menyelamatkan suara masyarakat pemilih dimana suara kandidat yang lebih kecil dari kandidat yang lain
tetap akan diperhitungkan sehingga sedikit suara yang hilang.
b. Memungkinkan partai-partai yang memperoleh suara atau dukungan yang lebih sedikit tetap memiliki
wakil di parlemen karena suara mereka tidak otomatis hilang atau tetap diperhitungkan.
c. Memungkinkan terpilihnya perempuan karena kursi yang diperebutkan dalam satu daerah pemilihan
lebih dari satu.
Kekurangan sistem proporsional antara lain:
a. Sistem ini cenderung menyuburkan sistem multipartai yang dapat mempersulit terwujudnya
pemerintahan yang stabil.
b. Biasanya antara pemilih dengan kandidat tidak ada kedekatan secara emosional. Pemilih tidak atau
kurang mengenal kandidat, dan kandidat juga tidak mengenal karakteristik daerah pemilihannya,
masyarakat pemilih dan aspirasi serta kepentingan mereka. Kandidat lebih memiliki keterikatan dengan
partai politik sebagai saluran yang mengusulkan mereka. Pada akhirnya nanti, kandidat yang terpilih
mungkin tidak akan memperjuangkan dengan gigih kepentingan pemilih karena tidak adanya
kedekatan emosional tadi.
c) Sistem Campuran (Distrik dan Proporsional).
Sistem ini menggabungkan 2 (dua) sistem sekaligus (distrik dan proporsional) Setengah dari anggota
Parlemen dipilih melalui sistem distrik dan setengahnya lagi dipilih melalui proporsional. Sistem ini
mencerminkan adanya keterwakilan sekaligus ada kesatuan geografis.
Sejak Pemilu Tahun 2004, presiden atau wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, sebelum
Pemilu Tahun 2004 presiden atau wakil presiden dipilih oleh anggota DPR/MPR. Pemilu presiden dan
wakil presiden adalah pemilu untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh
parpol atau gabungan parpol secara berpasangan dengan aturan bahwa . Peserta pemilu presiden dan wakil
presiden adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang telah
memenuhi persyaratan yang memperoleh jumlah kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi
di
DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, DPD,
dan DPRD sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
Kemudian Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pemilu untuk memilih pasangan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol dan Perseorangan
(melalui jalur independen). Peserta pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah dari parpol atau gabungan
parpol yang dapat mengajukan pasangan calon adalah yang memperoleh 15% (lima belas persen) kursi di DPRD
atau 15% (lima belas persen) suara di DPRD pada pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Pada penjelasan diatas disebutkan pada pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah dimungkinkan
untuk adanya calon yang maju melalui jalur independen dengan syarat memperoleh dukungan minimal 3%-6,5%
dari jumlah penduduk. Variasi besaran dukungan ini bergantung dari jumlah penduduk dari masing masing
daerah.
Dalam penyelenggaraan pemilu ini menurut Bambang Widjoyanto (2008) dalam artikelnya di Koran
Tempo yang dikutip oleh www.antikorupsi.org menyebutkan bahwa terdapat beberapa titik kritis yang
berpotensi menimbulkan korupsi. Titik titik kritis itu antara lain :
a) sebagian pejabat negara dan kepala pemerintahan di daerah adalah orang partai yang notabene peserta
pemilu, atau setidaknya, pihak yang mempunyai afiliasi dan kedekatan politik tertentu yang berkaitan
dengan posisi dan jabatannya. Pejabat negara tersebut mempunyai potensi untuk menggunakan sumber
daya yang didasarkan pada jabatan publiknya untuk kepentingan sang peserta pemilu
b) penyusunan anggaran pada instansi teknis, departemen, ataupun APBD/ APBN, serta pelaksanaan proyek
yang dibiayai APBN dan APBD pada akhir tahun mata anggaran rawan untuk dimanipulasi
c) penyelenggara pemilu menyiasati proses pengadaan barang melalui tender "kolusif" atau penunjukan
langsung dengan alasan situasi "darurat" dalam melaksanakan tahapan pemilu.
d) Pada tahap pemilihan calon kandidat oleh partai politik rawan adanya politik uang untuk dimasukan
kedalam daftar calon legislatif maupun untuk dicalonkan menjadi kepala daerah
e) Pada tahapan verifikasi dimungkinkan adanya penyuapan kepada verifikator untuk meloloskan calon yang
tidak memenuhi syarat
f) Pada tahapan kampanye tidak ada mekanisme yang jelas mengenai akuntabilitas dana kampanye
g) Pada tahap pemilihan hal yang paling sering terjadi adalah ‘serangan fajar’ atau money politic dengan
tujuan untuk meloloskan calon tertentu.
Selain yang dikemukakan diatas ada beberapa titik kritis lain yang bisa dikemukakan oleh penulis yaitu
antara lain :
a. Pada saat penyusunan DPT (Daftar Pemilih Tetap) sering terjadi kesalahan, hal ini bisa timbul karena
adanya kelemahan administrasi namun juga bisa timbul karena adanya kesengajaan yang dilakukan
oleh petugas KPU dalam rangka untuk memenangkan calon tertentu.
b. Pemilihan Umum untuk memilih calon Kepala Daerah dan calon legislatif yang diselenggarakan secara
tidak bersamaan bisa menimbulkan adanya proses penggelembungan peralatan perlengkapan pemilu
yang sebenarnya masih bisa dimanfaatkan.
c. Pemilihan Umum tidak dilaksanakan serentak juga menyebabkan ongkos biaya tinggi.
d. Munculnya fenomena dinasti atas suksesi kepemimpinan kepala daerah dimana pengganti dari kepala
daerah itu masih memiliki hubungan darah ataupun trah. Fenomena yang ditemui antara lain di daerah
Bangkalan dimana bupati saat ini adalah anak dari mantan bupati periode sebelumnya kemudian di
Banten dan Sulawesi Selatan saudara kandung dari gubernur terpilih menjadi kepala daerah tingkat II
didalam provinsi tersebut.
Untuk mengatasi hal hal tersebut diatas maka ada beberapa usulan yang bisa dijadikan masukan untuk
memperbaiki titik rawan korupsi dan biaya tinggi bagi penyelenggaraan pemilu. Usulan tersebut antara lain :
a. Pelaksanaan pemilu secara serentak bagi seluruh pemilihan kepala daerah
b. Pengawasan atas proses perencanaan hingga pengadaan barang dan jasa penyelenggaraan pemilu
harus diperkuat. Hal ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan transparansi proses tersebut dengan
mengumumkan dokumen perencanaan tersebut kepada publik sehingga bisa dilakukan pengawasan
bersama
c. Permasalahan politik uang pada saat penetapan calon dalam partai politik maupun akuntabilitas dana
kampanye bisa diatasi dengan jalan adanya kewajiban untuk audit bagi keuangan partai politik dan
dana kampanye yang diterima
d. Permasalahan verifikasi calon dan DPT bisa dikurangi dengan adanya penguatan yang lebih intens dari
Badan Pengawas Pemilu dan pengumuman DCS (Daftar Caleg Sementara) kepada masyarakat
e. Untuk penyelenggaraan kampanye yang lebih murah, KPU bisa menetapkan mekanisme tertentu yang
harus digunakan oleh masing masing calon dan besaran maksmimal dana kampanye juga harus
ditetapkan
f. Pembatasan hak untuk dipilih bagi keluarga kepala daerah terpilih maupun mantan kepala daerah yang
menjabat sebelum proses pemilihan

4. KESIMPULAN
Korupsi sudah merupakan masalah yang kronik yang terjadi di bangsa Indonesia. Fenomena fenomena
yang terjadi adalah budaya permisif yang timbul di masyarakat dimana haus akan hadirnya Negara yang bebas
dari korupsi tetapi masih mempraktekkan perilaku perilaku koruptif, Penegakan hukum atas tindak pidana
korupsi juga masih jalan ditempat khususnya pada aparat kejaksaan dan kepolisian, sektor pelayanan publik yang
cenderung birokratis dan tidak efisien, sektor swasta yang juga tak sungkan mempraktikan upaya upaya korupsi
demi keuntungan yang sebesar besarnya dan yang paling penting adalah sistem pemilihan pemimpin di
legislative dan eksekutif yang boros juga jadi penyebab suburnya korupsi
Akar penyebab korupsi berasal dari greed (keserakahan), opportunity (kesempatan), need (kebutuhan)
dan Exposes (hukuman).
Keserakahan timbul karena adanya sifat tidak pernah puas yang dimiliki oleh manusia. Kesempatan
merupakan suatu keadaan yang menjadi faktor penarik tindakan kriminal. Didalam tindak pidana korupsi,
kelemahan peraturan ataupun kekuasaan yang dimiliki menjadikan seseorang memiliki kesempatan untuk
melancarkan aksinya. Need atau kebutuhan menyebabkan korupsi dikarenakan adanya keadaan yang
mengharuskan seseorang untuk memberanikan diri melakukan perbuatan korupsi tersebut. Sedangkan Ekposes/
hukuman menjadi salah satu penyebab korupsi karena jika hukuman yang diterapkan kepada para koruptor
lemah tentunya tidak akan efek jera dalam penindakan korupsi tersebut.
Dalam mengatasi hal tersebut beberapa hal yang bisa dilakukan adalah :
a) Mengembangkan budaya malu, disiplin dan tertibi hukum
b) Mengembangkan nilai nilai anti korupsi sejak dini
c) Menciptakan pendidikan berkarakter dan mencerdaskan
d) Memperkuat peran KPK melalui mandat yang lebih besar untuk menjadi satu satunya lembaga
yang melakukan kegiatan penegakan hukum di bidang korupsi khususnya pada proses
penyelidikan, penyidikan dan pentuntutan.
e) Meningkatkan dukungan tenaga SDM, dana dan dukungan politik bagi KPK dalam menjalankan
perannya tersebut.
f) Melakukan reformasi peradilan dengan jalan memperkuat kemerdekaan kehakiman, meningkatkan
akuntabilitas peradilan dengan bekerjasama dengan LSM dan perguruan tinggi untuk melakukan
eksaminasi publik atas putusan pengadilan khususnya di bidang tindak pidana korupsi, dan
memperkuat fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial
g) Menjalankan agenda reformasi birokrasi dengan arah yang lebih jelas dengan mengarah pada hal
berikut :
- Perampingan structural dengan lebih memperkaya jabatan yang bersifat fungsional
- Pembuatan SOP harus disertai dengan indikator kecepatan dan kualitas
- Melakukan pengelolaan sumber daya manusia dengan mengedepankan kompetensi dan
memiliki standar kinerja yang jelas
- Ditetapkan dan diterapkannya standar pelayanan minimal bagi seluruh jenis pelayanan yang
dilakukan oleh Pemerintah
h) Selain itu beberapa kebijakan terkait birokrasi yang bisa diadopsi dari luar negeri adalah :
 Refendary sistem suatu sistem yang dikembangkan didalam birokrasi di Finlandia terkait
pengambilan keputusan bersifat kolektif dan kolegial dengan harapan keterlibatan dari
para pihak selain bisa meningkatkan kualitas keputusan juga dapat memberikan
transparansi atas pengambilan keputusan tersebut.
 Pengimplementasian e-government secara meluas
 Blind Trust System (November 2005): seluruh rekening keuangan para pejabat wajib
ditata usahakan kepada bank tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah
 Remunerasi yang mengacu kepada penggajian di sektor swasta
 Penetapan kode etik khususnya terkait pencegahan konflik kepentingan
 Mewajibkan kepada setiap PNS untuk menerbitkan pernyataan bebas dari masalah hutang
budi.

i) Mengurangi kegiatan suap yang dilakukan swasta dengan cara menetapkan Undang Undang yang
mengatur penyuapan yang dilakukan oleh pihak asing, menerapkan mekanisme non cash dalam
transaksi sehari hari
j) Memungkinkan dimasukannya pengenaan tindak pidana korupsi bagi pelaku penggelapan pajak.
k) Meminimalisir titik kritis pemilihan umum dengan jalan :
o Pelaksanaan pemilu secara serentak bagi seluruh pemilihan kepala daerah
o -Pengawasan atas proses perencanaan hingga pengadaan barang dan jasa penyelenggaraan
pemilu harus diperkuat. Hal ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan transparansi proses
tersebut dengan mengumumkan dokumen perencanaan tersebut kepada publik sehingga bisa
dilakukan pengawasan bersama
o Permasalahan politik uang pada saat penetapan calon dalam partai politik maupun akuntabilitas
dana kampanye bisa diatasi dengan jalan adanya kewajiban untuk audit bagi keuangan partai
politik dan dana kampanye yang diterima
o Permasalahan verifikasi calon dan DPT bisa dikurangi dengan adanya penguatan yang lebih
intens dari Badan Pengawas Pemilu dan pengumuman DCS kepada masyarakat
o Untuk penyelenggaraan kampanye yang lebih murah, KPU bisa menetapkan mekanisme tertentu
yang harus digunakan oleh masing masing calon dan besaran maksmimal dana kampanye juga
harus ditetapkan
o Pembatasan hak untuk dipilih bagi keluarga kepala daerah terpilih maupun mantan kepala daerah
yang menjabat sebelum proses pemilihan

Daftar Pustaka
[1] ,“Biaya Tinggi Kampanye Pilkada Dinilai Pemicu Korupsi | Republika Online.” 2013. Republika
Online. Diakses pada 12 September 2013. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/07/19/mq6zjb-
biaya-tinggi-kampanye-pilkada-dinilai-pemicu-korupsi.
[2] ,“Pemerintah Ngebet Kembalikan Pilkada Ke DPRD.” 2013. KOMPAS.com. Diakses pada 12
September 2013.
http://nasional.kompas.com/read/2013/06/04/05005611/Pemerintah.Ngebet.Kembalikan.Pilkada.ke.DPRD.

[3] ,“Selat Katilada Karya Ronggo Warsito.” 2013. Sengkolo Ilange Roso Katresnan. Diakses pada 12
September 2013. http://yoyosw.wordpress.com/ronggo-warsito/.

[4] ,“GONE Theory.” 2013. Pengetahuan. Diakses pada 12 September 2013.


http://roeshanny.wordpress.com/2009/02/04/gone-theory/.
[5] Erisnanto, Muklis, and Rendi Saputra. 2013. “27465002 Makalah Transfer Pricing.” Scribd. Diakses pada 12
September 2013. http://ml.scribd.com/doc/130529589/27465002-Makalah-Transfer-Pricing.
[6] International, Transparency. 2010. “Global Corruption Report 2009.” Issuu. Diakses pada 12 September
2013. http://issuu.com/transparencyinternational/docs/global_corruption_report_2009.
[7]KPK. 2006. Komisi Anti Korupsi Di Luar Negeri (Deskripsi Singapura, Hongkong, Thailand, Madagascar,
Zambia, Kenya Dan Tanzania). Jakarta: Deputi Pencegahan KPK. Diakses pada 12 September 2013
http://acch.kpk.go.id/documents/10157/27925/Komisi-Anti-Korupsi-di-Luar-Negeri.pdf.
[8] KPU, Modul I Pemilu Bagi Pemula, 2010, diakses pada 13 September 2013
http://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1c.pdf
[9] Mardiasmo. .Perpajakan. 2002 Yogyakarta: Penerbit Andi
[10] Nur Asih, Wiwit, Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia, 2010. Diakses pada 12 September 2013.
http://wiwitna.blogspot.com/2013/03/upaya-pemberantasan-korupsi-di-indonesia.html
[11] WIdodo, J. Pajar. 2012. “Reformasi Sistem Peradilan Dalam Rangka Penanggulangan Mafia Peradilan.”
Jurnal Dinamika Hukum 1. 12 (January 1).
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDH2012/9.pdf.
[12] Widjoyanto, Bambang, Potensi Korupsi dalam Pelaksanaan Pemilu, 2008. Diakse pada 13 September 2013
http://www.antikorupsi.org/id/content/potensi-korupsi-dalam-pelaksanaan-pemilu

Anda mungkin juga menyukai