Anda di halaman 1dari 7

NAMA : JEVI KURNIAWAN

NIM : 020646722

I. PENDAHULUAN

Korupsi, yang kata Latinnya, corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat
publik, baik politikus maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Ada beberapa sebab terjadinya korupsi. Menurut para penelitian bahwa penyebab terjadinya
korupsi di Indonesia adalah

1. kelemahan moral

2. Tekanan ekonomi,

3. hambatan struktur administrasi,

4. hambatan struktur sosial.

Sebab lainnya yang sudah menjadi pengetahuan umum adalah: perumusan perundang-
undangan yang kurang sempurna, administrasi yang lamban serta tidak luwes, tradisi untuk
menambah penghasilan, anggapan “sudah biasa” terhadap tindakan korupsi di mana contohnya
seperti pembiasaan budaya suap-menyuap, dan hukuman yang cenderung ringan dan tidak
sesuai dengan besaran yang telah dikorupsi.

Selain itu, pelaku tindak pidana korupsi juga ditujukan kepada pejabat atau profesi di luar
struktur pemerintahan seperti advokat (Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
tahun 2001) dan pemborong (Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2001). Meluas dan berkembangnya tindak pidana korupsi tidak hanya terjadi pada modus
operandi atau kualitas dan kuantitasnya saja, melainkan sudah mencapai suatu akibat pada
kemunduran suatu negara baik secara politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan
keamanan seperti yang terjadi di Indonesia sekarang ini dimana pemberantasan atau
penanggulangan tindak pidana korupsi kerap kali mengalami kegagalan baik pada upaya
preventif maupun upaya represif dan hukum hanya berdiri tegak dalam batas mencari
kewibawaan.

Perbuatan korupsi pada umumnya dapat digolongkan dalam dua bentuk / ruang lingkup yaitu :

1. Administratif corruption (penyalahgunaan kewenangan)

2. Against the rule of coruption (Penyimpangan terhadap peraturan

perundang-undangan)
Pembagian ruang lingkup tersebut berarti korupsi terjadi pada suatu tatanan administrasi
tertentu yang berhubungan dengan jabatan, kedudukan atau suatu departemen yang lebih
akrab dikenal dengan penyalahgunaan wewenang yang diikatkan dalam suatu proses
administrasi. Di samping itu korupsi dapat juga merupakan penyimpangan atau penentangan
terhadap peraturan perundang- undangan yang berlaku, dalam hal ini sepenuhnya
korupsi merupakan pelanggaran terhadap undang-undang yang berlaku

Syed H. Alatas yang pernah meneliti korupsi sejak Perang Dunia Kedua menyebutkan, esensi
korupsi adalah melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Beliau
membagi korupsi ke dalam tujuh macam, yaitu korupsi transaksi, memeras, investif,
perkerabatan, defensif, otogenik dan dukungan. Indonesia berusaha untuk memberantas
korupsi sejak 1950-an dengan mendirikan berbagai lembaga pemberantas korupsi, terakhir
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) suatu “ superbody ” dengan kewenangan istimewa.

Peraturan perundang-undangan merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang
dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial,
dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak
pidana korupsi di negeri ini. Tebang pilih, Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan
pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.

II. PEMBAHASAN

A. DAMPAK DARI PERILAKU KORUPSI

1. Kesejahteraan umum Negara menjadi tergganggu


Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga
negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi
sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat
peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan
kecil (SME). Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan pertolongan kepada
perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

2. Demokrasi menjadi tidak lancar

Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,


korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan
cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif
mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem
pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik
menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi
mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan
sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat
yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti
kepercayaan dan toleransi.
3. Menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Menurut Chetwynd et al (2003), korupsi akan menghambat pertumbuhan investasi. Baik


investasi domestik maupun asing. Mereka mencontohkan fakta business failure di Bulgaria
yang mencapai angka 25 persen.
Maksudnya, 1 dari 4 perusahaan di negara tersebut mengalami kegagalan dalam melakukan
ekspansi bisnis dan investasi setiap tahunnya akibat korupsi penguasa. Selanjutnya,
terungkap pula dalam catatan Bank Dunia bahwa tidak kurang dari 5 persen GDP dunia
setiap tahunnya hilang akibat korupsi. Sedangkan Uni Afrika menyatakan bahwa benua
tersebut kehilangan 25 persen GDP-nya setiap tahun juga akibat korupsi.Menurut Mauro
(2002),Setelah melakukan studi terhadap 106 negara, ia menyimpulkan bahwa kenaikan 2
poin pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK, skala 0-10) akan mendorong peningkatan investasi
lebih dari 4 persen. Sedangkan Podobnik et al (2008) menyimpulkan bahwa pada setiap
kenaikan 1 poin IPK, GDP per kapita akan mengalami pertumbuhan sebesar 1,7 persen
setelah melakukan kajian empirik terhadap perekonomian dunia tahun 1999-2004. Menurut
Gupta et al (1998). Menyatakan fakta bahwa penurunan skor IPK sebesar 0,78 akan
mengurangi pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin sebesar 7,8 persen. Ini
menunjukkan bahwa korupsi memiliki dampak yang sangat signifikan dalam menghambat
investasi dan pertumbuhan ekonomi.

4. Korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program


pembangunan.

Pada institusi pemerintahan yang memiliki angka korupsi rendah, layanan publik cenderung
lebih baik dan lebih murah. Terkait dengan hal tersebut, Gupta, Davoodi, dan Tiongson
(2000) menyimpulkan bahwa tingginya angka korupsi ternyata akan memperburuk layanan
kesehatan dan pendidikan. Konsekuensinya, angka putus sekolah dan kematian bayi
mengalami peningkatan.Sebagai akibat dampak pertama dan kedua, maka korupsi akan
menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Terkait dengan
hal ini, riset Gupta et al (1998) menunjukkan bahwa peningkatan IPK sebesar 2,52 poin akan
meningkatkan koefisien Gini sebesar 5,4 poin. Artinya, kesenjangan antara kelompok kaya
dan kelompok miskin akan semakin melebar. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya
aliran dana dari masyarakat umum kepada para elit, atau dari kelompok miskin kepada
kelompok kaya akibat korupsi.

5. Korupsi berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak.

Baik individual maupun masyarakat secara keseluruhan. Selain meningkatkan ketamakan


dan kerakusan terhadap penguasaan aset dan kekayaan korupsi juga akan menyebabkan
hilangnya sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama. Rasa saling percaya yang
merupakan salah satu modal sosial yang utama akan hilang. Akibatnya, muncul fenomena
distrust society, yaitu masyarakat yang kehilangan rasa percaya, baik antar sesama individu,
maupun terhadap institusi negara. Perasaan aman akan berganti dengan perasaan tidak
aman (insecurity feeling). Inilah yang dalam bahasa Al-Quran dikatakan sebagai libaasul
khauf (pakaian ketakutan). Fakta bahwa negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki
tingkat ketidakpercayaan dan kriminalitas yang tinggi pula. Ada korelasi yang kuat di antara
ketiganya.

6. Mempersulit Pembangunan Ekonomi

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan


pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi
dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga
karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan
pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada
yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah
birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan
menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana
korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan
perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Korupsi menimbulkan
distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-
proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin
menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang
akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan
syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga
mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-
tekanan terhadap anggaran pemerintah.Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa
salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di
Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan
penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam
negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki
rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering
mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi
untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar
dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian
modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar
negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya
pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson).
Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan
bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat
dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di
luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.

7. Korupsi akan menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan


pendapatan.
Terkait dengan hal ini, riset Gupta et al (1998) menunjukkan bahwa peningkatan IPK sebesar
2,52 poin akan meningkatkan koefisien Gini sebesar 5,4 poin. Artinya, kesenjangan antara
kelompok kaya dan kelompok miskin akan semakin melebar. Hal ini disebabkan oleh
semakin bertambahnya aliran dana dari masyarakat umum kepada para elit, atau dari
kelompok miskin kepada kelompok kaya akibat korupsi.

B. SOSIOLOGI KORUPSI

Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan bersama,
dengan demikian sosiologi korupsi mengandung pengertian sebagai ilmu yang mempelajari
perilaku manusia yang mengandung unsur penyimpangan dan penyalahgunaan.
Sosiologi Korupsi membahas fenomena korupsi melalui teori-teori sosiologi seperti
fungsionalisme struktural, teori konflik serta interaksionisme simbolik.
Berikut ini beberapa teori sosiologi terhadapap masalah sosial korupsi yaitu :

a. Teori fungsionalisme struktural


Yaitu suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad
sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte,
Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi
oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu
terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan
hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya
dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk
mencapai keteraturan sosial.
Teori fungsionalisme struktural mempunyai pandangan bahwa kehidupan sosial
berlangsung dalam keteraturan, keseimbangan, dan keharmonisan. Hal ini disebabkan
oleh masing-masing anggotanya mematuhi norma-norma sosial yang disepakati.
Meskipun demikian, ada anggota masyarakat yang tidak mematuhi karena adanya
perbedaan tujuan yang dipunyainya dengan tujuan kelompok, atau karena perbedaan
antara tujuan yang ditetapkan kelompok dengan cara dan sarana untuk mencapainya.
Fenomena korupsi dari sudut pandang fungsionalme struktural dapat dijelaskan dari
adanya ketidakpatuhan pemegang kekuasaan terhadap norma-norma yang mengatur
penggunakekuasaan. Mereka berpandangan bahwa tujuan penggunaan kekuasaan itu
tidak sepenuhnya dapat mewujudkan kepentingan atau tujuan pribadinya. Sementara itu
sarana untuk mewujudkan tujuan kekeuasaan itu belum memadai.
Sehubungan dengan itu masalah korupsi sebagai penyakit masyarakat dapat dianalisis
dengan teori struktural funsional dikarenakan sebagai berikut :
1) Dalam teori struktural fungsional ada hubungan yang saling bergantung antara bagian-
bagian dari suatu sistem. Dalam konteks ini elemen-elemen masyarakat akan mengacu
dalam dua sistem yang disepakati bersama melalui hukum dan norma yang dibbuatnya.
Sejalan dengan hal tersebut korupsi adalah suatu penyimpangan terhadap hukum dan
norma yang telah disepakati.
2) Adanya keadaan yang nrmal/ keseimbangan bila dihubungkan dengan mekanisme, hal
ini berarti keadaan yang normal dan sehat. Korupsi sebagai penyimpangan sosial dengan
demikian merupakan suatu kondisi masyarakat yang tidak sehat, karena ada bagian
sistem yang difungsionalkan atau tidak berjalan seperti halnya sistem politik yang tidak
berjalan dengan baik dan kemudian pula sistem hukum yang tidak bisa tegas melengkapi
persoalan seperti ini.
3) Adanya bagian-bagian sistem sosial yang tidak berfungsi bisa diatur kembali supaya
sistem sosial bisa berjalan dengan normal kembali. Dalam konteks ini perlu adanya
kesadaran dari elemen-elemen sistem yang menambahkan bahwa korupsi adalah
penyakit sosial yang memerogoti mental masyarakat. Sebagai bagian dari fungsi yang
tidak benar korupsi sebagai perilaku sosial yang sudah membudaya pelu dihadapkan
pada tindakan hukum maupun sanksi sosial yang keras. Korupsi yang dilakukan oleh
anggotalapisan sosial tertentu pada prinsipnya bertujuan untuk meningkatkan status
sosial atau untuk mempertahankannya. Bentuknya berupa pembelian jabatan,
pemamfaatan hubungan nepotisme atau patron-klien, melalui hubungan kolusi dengan
pemegang kekuasaan.

b. Teori Interaksionisme Simbolik


Yaitu pendekatan teoritis dalam memahami hubungan antara manusia dan masyarakat. Ide
dasar teori interaksioisme simbolik adalah bahwa tindakan dan interaksi manusia hanya
dapat dipahami melalui pertukaran simbol atau komunikasi yang sarat makna.
Dalam pendekatan ini mencoba memberikan analisa sosiologi korupsi dengan teori interaksi
simbolik. Yang menjadi bahan pemikiran pendekatan ini adalah bahwa bagaimana adanaya
perspektif yang mengatakan perilaku manusia dalam melihat kesejahteraan hidup
individu/kelompok terlihat dari simbolik yang dimunculkannya. Simbol yang dimunculkan
kerap kalli berupa penampilan fisik dan dari simbolik benda-benda..

III PENUTUP

KESIMPULAN

Pernyataan korupsi sebagai sebuah kebudayaan tetap menjadi sebuah pernyataan yang
melahirkan dua pandangan yang berbeda. Ada pihak yang mengatakan bahwa tindakan korupsi
merupakan sebuah budaya dan ada juga yang menentang hal ini. Namun perbedaan pendapat
ini didasarkan pada pemahaman kebudayaan yang berbeda-beda pula. Korupsi bisa di lihat
sebagai sebuah kebudayaan jika kebudayaan memiliki diartikan sebagai sebuah tingkah laku
yang terus diwariskan dari generasi ke generasi, sebuah kebiasaan yang terus terpelihara
dalam masyarakat baik secara pribadi maupun kelompok yang besar seperti seperti bangsa
Indonesia. Namun secara filosofis, korupsi di satu pihak bukanlah sebuah kebudayaan sebab
korupsi sungguh bertentangan dengan nilai dan unsur kebudayaan itu sendiri dan di pihak lain
korupsi dapat dikatakan sebuah kebudayaan jika meneliti motif dari korupsi itu sendiri. Nilai
kebahagiaan yang merupakan hal yang mendasar dari manusia itu sendiri merupakan motif di
balik tindakan korupsi itu.
Dari pembahasan seputar korupsi, dapat diberi kesimpulan yaitu;

1. Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat ataupegawai demi
keuntungan pribadi, keluarga dan teman ataukelompoknya.

2. Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara danmerusak sendi-sendi


kebersamaan dan menghianati cita-citaperjuangan bangsa.

3. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif.Pencegahan (preventif)


yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat
maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara milik negara atau perusahaandengan
milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji),menumbuhkan kebanggaan-
kebanggaan dan atribut kehormatan dirisetiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku
pimpinan atau atasanlebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan
kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksisosial, menumbuhkan rasa
“sense of belongingness” diantara para pejabat dan pegawai. Sedangkan tindakan yang bersifat
Represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada koruptor dan penayangan wajah
koruptor di layar televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang) kekayaan pejabat dan pegawai.

Anda mungkin juga menyukai