Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Disusun Oleh :
Kelompok 5

Salma Rahma Aliyah 2214051004


Arfi Laila Putri 2214051003
Tali Atiqa Juita Sari 2214051028
Febi Juana 2214051035

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Pendidikan
Pancasila dengan judul: ”Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Bandar Lampung, 12 Oktober 2022

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh


bangsa Indonesia sampai saat ini. Berbagai survei yang dilakukan oleh
sejumlah lembaga internasional selalu menempatkan Indonesia dalam urutan
tertinggi dari negara yang paling korup di dunia. Hasil ini tidak jauh berbeda
setiap tahunnya, sehingga banyak pihak yang berpendapat bahwa korupsi di
Indonesia tetap dianggap sebagai endemic, systemic dan widespread (Lubis,
2005). Apabila kita melihat dari sejumlah kasus korupsi yang ada di
Indonesia, kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh komisi
pemberantasan korupsi (KPK) sebagian besar (77%) adalah kasus tindak
pidana korupsi yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa
(Hardjowiyono, 2006).
Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan di
Indonesia, dapat dilihat bahwa upaya yang dilakukan masih cenderung parsial
dan tidak memiliki desain strategi yang jelas sehingga dalam banyak hal tidak
mampu mengurangi secara signifikan tingkat korupsi yang terjadi. Terdapat
setidaknya dua kemungkinan dari gagalnya suatu program anti-korupsi dalam
mencapai tujuannya, yaitu akibat kesalahan dalam mendesain program anti-
korupsi yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang berpengaruh serta
akibat diagnosa yang salah terhadap permasalahan korupsi yang dihadapi
(Mahmood, 2005). Sementara itu terkait dengan penyusunan strategi anti
korupsi ini, Klitgaard (1998a; 1998b) berpendapat bahwa strategi anti-korupsi
juga harus diarahkan pada penguatan peran masyarakat dalam mengawasi
pemerintah serta penguatan akuntabilitas publik.
Pentingnya peran partisipasi masyarakat dan akuntabilitas publik
dalam pemberantasan korupsi ini ternyata belum begitu mendapat perhatian
dan dikaji secara mendalam di Indonesia. Minimnya perhatian dan kajian
terhadap peran partisipasi masyarakat maupun akuntabilitas publik dalam
upaya pemberantasan korupsi telah memberikan dampak terhadap kualitas
yang tidak memadai dari partisipasi masyarakat itu sendiri. Aturan dalam PP
Nomor 71 Tahun 2000 sendiri hanya mengatur mengenai tata cara pelaporan
oleh masyarakat ke KPK terhadap suatu tindak pidana korupsi, padahal, untuk
melakukan itu diperlukan upaya penguatan masyarakat sehingga masyarakat
bisa berpartisipasi secara lebih baik dan dapat menghasilkan laporan yang
berkualitas. Sementara itu, terkait akuntabilitas publik, kita dapat menemukan
adanya aturan mengenai Laporan Akuntabilitas dan Kinerja Instansi
Pemerintah (LAKIP), sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 7 Tahun 1999 serta Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara
(LAN) Nomor 589/IX/6/Y/99 juncto Keputusan Kepala LAN Nomor
239/IX/6/8/2003.

1.2 Tinjauan Pustaka


Secara etimologis, Korupsi berasal dari Bahasa latin yakni corruption
atau corruptus yang berarti merusak, tidak jujur, dapat disuap. Korupsi
disebut ghulul dalam Al Qur'an, yang berarti penyalahgunaan kepercayaan
(amanah). Korupsi juga memerlukan kekerasan, degradasi, amoralitas, dan
kebobrokan. Korupsi juga didefinisikan sebagai al-suht, yang berarti
menengahi dengan menerima kompensasi untuk kepentingan antara seseorang
dan pihak berwenang (Umar, 2011). Secara umum, korupsi adalah hasil dari
kurangnya transparansi dan akuntabilitas, kedua prasyarat tersebut yang
menjadi tata pemerintahan yang baik (Good Governance). Dan ia juga
mengatakan bahwa sistem politik Indonesia memiliki tradisi panjang dalam
kekurangan kedua hal tersebut (Kristiansen & Ramli, 2013).
Korupsi merupakan juga sebuah tindakan yang tidak sesuai dengan
tujuan kehidupan bermasyarakat. Kegiatan itu bisa muncul dari berbagai
penjuru, baik itu dari kalangan masyarakat biasa sampai dengan kelas negara.
Sampai saat ini, korupsi telah diterima daripada diberantas oleh berbagai
pihak, sementara korupsi adalah salah satu bentuk kesehatan yang dapat
mempengaruhi berbagai kepentingan dalam hak asasi manusia, ideologi
negara, ekonomi dan keuangan negara, modal nasional, dan sebagainya, yang
merupakan kebiasaan jahat yang tampaknya sulit diatasi (Nasution, 2018).
Menurut Transparansi Internasional, Korupsi adalah penyalahgunaan
wewenang yang diberikan untuk kepentingan pribadi. Korupsi tersebut
tergantung pada jumlah uang yang hilang dan bidang tempat mereka berada.
Korupsi dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni korupsi kecil, korupsi besar,
dan korupsi politis1. Namun dalam penelitian ini yang berhubungan adalah
korupsi politik, dimana korupsi politik adalah manipulasi politik, struktur,
dan aturan procedural dalam alokasi sumber daya dan pendanaan oleh
pembuat kebijakan yang menyalahgunakan posisi mereka untuk
mempertahankan kekuasaan, kekuatan, status dan kekayaan mereka. Menurut
Warren (2004), ia justru mengatakan Korupsi politik adalah penggunaan
kekuasaan dan wewenang bersama yang tidak tepat untuk tujuan keuntungan
individu atau kelompok dengan biaya bersama.
Berdasarkan Zyglidopoulos (2015), berdasarkan interpretasi yang
mungkin dari "penyalahgunaan kekuasaan," ia mengatakan terdapat tingkatan
korupsi, yakni korupsi tingkat pertama dan korupsi tingkat kedua. Kedua
tingkat korupsi tersebut dapat didefinisikan. Korupsi tingkat pertama adalah
penyalahgunaan kekuasaan oleh individu atau kelompok untuk keuntungan
pribadi yang diberikan seperangkat aturan atau norma yang ada, sedangkan
korupsi tingkat kedua adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh individu atau
kelompok di mana mereka mengubah aturan atau norma yang ada untuk
mendapatkan keuntungan secara tidak adil.
Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) umumnya
mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang
dipercayakan untuk keuntungan pribadi. Korupsi juga dicirikan sebagai
penyalahgunaan untuk keuntungan pribadi dari kekuasaan publik, kantor atau
otoritas untuk keuntungan pribadi melalui penyuapan, pemerasan, pengaruh
menjajakan, nepotisme, penipuan, uang cepat atau penggelapan (Ameen &
Ahmad, 2011).
Tipe tindak pidana korupsi memiliki berbagai macam jenis, yang
pertama adalah Gratifikasi, gratifikasi dapat digolongkan tindak pidana
korupsi suap bilamana gratifikasi tersebut diberikan kepada negara / pejabat
yang dengan jabatannya (Wedantha & Dewi, 2015). Kedua, terdapat yang
mirip istilah dengan gratifikasi, yakni suap (bribery) and pemberian (gift).
Jika dilihat sekilas memiliki pengertian yang hampir sama, tetapi diantara
keduanya terdapat perbedaan, yaitu secara gift adalah perpindahan sesuatu
(barang atau uang) dari sesorang pada orang lain tanpa atau mengharap
imbalan (Santoso, 2011).
Ketiga, jaringan (network) dimana konsep ini merupakan konsep alur
atau komunikasi yang terjalin antara pelaku tindak pidana korupsi dengan
para korbannya.
Konsep jaringan ini pernah diteliti oleh Ribeiro et al. (2018) yang
menemukan bahwa pentingnya untuk ilmu jaringan dalam mendeteksi dan
mengurangi kasus korupsi. Sedangkan Brass et al. (1998) menemukan bahwa
hubungan jaringan dalam suatu organisasi antara individu dapat
mempengaruhi tindakan organisasi yang tidak etis dalam suatu organisasi
baik secara positif maupun negatif. Keempat, wewenang dimana sistem
demokrasi menghadapi tantangan mempertahankan otoritas (wewenang)
politik mereka sambil secara bersamaan memberikan akses ke sistem politik
bagi warganya, dan memastikan adanya mekanisme akuntabilitas formal dan
politis dari mereka yang menjabat. Dengan ketiga hubungan tersebut maka
akan terjadi kasus korupsi yang cukup kompleks (Philp, 2001).
BAB 2
PEMBAHASAN

Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara


(perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau
orang lain.Terdapat tiga puluh bentuk/jenis dari tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur dalam tiga belas buah pasal pada UU tersebut. Ketiga puluh
bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan
menjadi tujuh kelompok, yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap,
penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan
dalam pengadaan, serta gratifikasi (KPK, 2006). Peraturan-peraturan tentang
pemberantasan korupsi silih berganti, selalu orang yang belakangan yang
memperbaiki dan menambahkan, namun korupsi dalam segala bentuknya
dirasakan masih tetap merajalela. Istilah korupsi sebagai istilah hukum pengertian
korupsi adalah perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian
Negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal atau
kelonggaran yang lain dari masyarakat, sebagai bentuk khusus daripada perbuatan
korupsi. Oleh karena itu, Negara memandang bahwa perbuatan atau tindak pidana
korupsi telah masuk dan menjadi suatu perbuatan pidana korupsi yang selama ini
terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara dan daerah, tetapi
juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai
kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dalam
melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga)
pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu:
1. Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi (Preventif)
2. Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi (Deduktif)
3. Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi (Represif)
Dalam tulisan Marx, German Ideology,beliau merumuskan suatu premis
dasar bahwa bidang ekonomi menentukan pemikiran manusia, Mengapa
ekonomi? Karena Marx hendak konsisten dengan dalilnya mengenau dialektika
materi. Baginya materi ini dapat diidentikan sebagai ekonomi. Kondisi ekonomi
seseorang yang kemudian membentuk kesadaran seseorang tersebut. Sehingga
pandangan seseorang mengenai dunia ditentukan oleh posisi ekonominya (Marx:
posisi kelasnya). Seseorang yang berada pada kelas yang terhormat tentu memiliki
pandangan dan wawasan yan berbeda dengan orang yang berada pada kelas
bawah. Perbedaan inilah yang kemudian menimbulkan konflik seperti halnya
tindak Korupsi yag dilakukan oleh kalangan yang berada pada kelas atas sehingga
menimbulkan perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang
mengenai status,kekuasaan, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya
tidak mencukupi sehingga tindak korupsipun akan terjadi, karena kepentingan dari
pihak yang berkuasa pasti berbeda dengan kepentingan dari pihak lemah sehingga
ada celah-celah kesempatan untuk bisa melakukan tindak korupsi tanpa
memikirkan kaum yang berada di bawah (kaum lemah). Hal penting dalam Teori
Konflik yang pertama adalah Kekuasaan, di mana setiap kemampuan untuk
memenangkan kemauan sendiri, juga kalau kemauan itu sendiri harus
bertentangan dengan kemauan orang lain, seperti halnya korupsi yang tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa itu muncul berawal dari konsep dan minusnya kekuasaan
yang selalu hadir dalam suatu relasi. Yang kedua adalah Kepentingan, masyarakat
terdiri dari kelas-kelas. Kelas yang tentu mempunyai perbedaan kepentingan
dengan kelas yang lain. Pihak penguasa memiliki kepentingan untuk
mempertahankan apa yang dimilikinya, sedangkan pihak bawah akan cenderung
mengadakan suatu perubahan. Bisa saja orang yang melakukan tindak korupsi
yang berada pada kelas atas mempertahankan jabatan dan wewenang yang
dimilikinya sedangkan pihak yang berada pada kelas bawah ingin melakukan
perubahan atas tindakan pihak kelas atas yang dianggap menyalahgunakan
kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan pribadi, sehingga pihak bawah
merasa keadilan Negara terhadap rakyat kelas bawah kurang, serta tindakan
tersebut dianggap merugikan mereka karena hak keungan Negara yang harusnya
digunakan untuk mensejahterakan mereka digelapkan oleh pihak kelas atas ang
tidak bertanggung jawab. Lima strategi yang dapat dilakukan untuk memberantas
korupsi, yakni meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, penilaian keinginan
politik dan titik masuk untuk memulai, mendorong partisipasi
masyarakat,mendiagnosa masalah yang ada, serta melakukan reformasi dengan
menggunakan pendekatan yang holistic.

BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan
Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri yang secara
langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam
perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan
menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang Negara untuk
kepentingannya. Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan dan kelemahan
pemimpin, kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan rendahnya
pendidikan, kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras, kelangkaan
lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia,
serta struktur ekonomi. Korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu
bentuk, sifat dan tujuan. Dampak korupsi dapat terjadi di berbagai bidang
diantara-Nya, bidang demokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan negara.
DAFTAR PUSTAKA

Ameen, A. A., & Ahmad, K. 2011. The Role of Finance Information Systems
in Anti Financial Corruptions : A Theoretical Review.
Brass, D. J., & Skaggs, B. C. 1998. Relationships and unethical behavior: A social
network perspective. Academy of Management Review, 23(1), 14–31.
Hardjowiyono, Budihardjo. 2006. Pengadaan Barang dan Jasa yang Bersih dari
Korupsi. Bahan Presentasi dalam Rapat Regional Pemprov, Pemkab, Pemkot
Sumatera dalam rangka Kormonev Inpres 5 Tahun 2004, Batam, 22-23
November.
Klitgaard, R. 1998. International Cooperation Against Corruption. Finance &
Development, Vol. 35(1).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2006. Memahami untuk Membasmi.
Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi.
KPK. 2007. Laporan Tahunan 2007. Pemberdayaan Penegakan Hukum.
Kristiansen, S., & Ramli, M. 2013. Buying an Income: The Market for Civil
Service Positions in Indonesia. Contemporary Southeast Asia, 28(2), 207–233.
Lubis, T. M. 2005. Index Persepsi Korupsi Indonesia. Bahan Presentasi. Jakarta:
Transparency International Indonesia.
Mahmood, M. 2005. Corruption in Civil Administration: Causes and Cures.
Humanomics, Vol. 2 (3 – 4).
Nasution, P. 2018. Hubungan Lembaga Penegak Hukum Dalam Penanggulang
Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia . 106–116.
Philp, M. 2001. Access, accountability, and authority: Corruption and the
democratic process. Crime, Law, and Social Change, 357–377.
Ribeiro, H. V., Alves, L. G., Martins, A. F., Lenzi, E. K., & Perc, M. 2018. The
dynamical structure of political corruption networks. . Journal of Complex
Networks, 6(6), 989–1003.
Santoso, T. 2011. Menguak Relevansi Ketentuan Gratifikasi Di Indonesia. 68(4),
402–414.
Umar, H. 2011. Menghitung Kembali Dampak Korupsi. XII(52).
Warren, M. E. 2004. What Does Corruption Mean in a Democracy? 48(2), 328–
343.
Wedantha, I. G., & Dewi, A. A. 2015. Penyuapan Sebagai Bentuk Gratifikasi
Dalam Tindak Pidana Korupsi. 1-5.
Zyglidopoulos, S. 2015. Toward a Theory of Second-Order Corruption.

Anda mungkin juga menyukai