PERTEMUAN 14
KORUPSI DAN ANTI KORUPSI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF
KEILMUAN
1. Pengertian Korupsi
Korupsi sudah ada sejak lama, terutama sejak manusia pertama kali belajar
tentang pemerintahan. Dalam banyak kasus korupsi yang diberitakan dimedia, korupsi
mungkin tidak dapat dipisahkan semenjak adanya kekuasaan, birokrasi dan
pemerintah. Acapkali korupsi dihubungkan melalui politik. Mesi tergolong pelanggaran
hukum, namun konsep korupsi terpisah dari bentuk pelanggaran hukum lainnya. Selain
menghubungkan politik dan korupsi, korupsi berhubungan pula dengan ekonomi,
program public, program internasional, kemakmuran rakyat, serta pelaksanaan jangka
panjang nasional. Aspek korupsi begitu luas, wadah perkumpulan internasional semisal
PBB mempunyai institusi khusus untuk mengawasi tindakan korupsi skala global.
a. Andi Hamzah (2002) bahawa secara harfiah, kata korupsi berarti kejelekan,
keburukkan, ketidakjujuran, suap, maksiat, serta distorsi pada kemurnian. Negeri
Jiran tersebut mempunyai regulasi bebas korupsi serta menurut Kamus Umum
Bahasa Arab Indonesia, istilah “resuah” berawal pada bahasa Arab “risywah”. Hal
ini identic dengan korupsi.
b. Subekti dan Tjitrosoedibio (1973) termuat pada glosarium hukum, korupsi dipahami
sebagai perbuatan penggelapan, penipuan, delik yang mengakibatkan kerugian
keuangan negara.
Adanya banyak faktor korupsi, dan semua berasal dari dalam atau luas pelaku.
Menurut Nur Syam (2000) yang dikutip oleh Nanang Puspito., dkk (2011: 39-40)
pemicu setiap insan berbuat korupsi disebabkan godaan duniawi akan materi bahkan
kekayaan tak tertahankan. Saat anda tidak bisa menahan keinginan untuk menjadi
kaya dan anda bisa mendapatkan kekayaan melalui korupsi, maka seseorang akan
menjadi korup. Apabila mengkaji dari perspektif pemicu korupsi tersebut, diantaranya
disebabkan perspektif kekayaan. Langkah yang salah dalam memandang kekayaan
dapat mengakibatkan langkah yang salah pula untuk memperoleh kekayaan. Hal
senanda juga dikatakan Ery
Riyana Herdjapamekas (2008) yang dikutip Nanang Puspito., dkk (2011). Ia
mencontohkan melambungnya delik korupsi negara ini dilatarbelakangi, oleh
beberapa hal :
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) (200) dalam buku “Peran Parlemen
Dalam Membasmi Korupsi” yang dikutip Puspito., dkk (2011) disebutkan bahwa
perilaku korupsi secara global diakibatkan unsur politik, hukum, ekonomi, serta
organisasi. Beriku ke-empat faktor tersebut adalah sebagai berikut :
a. Faktor Politik
b. Faktor Hukum
Faktor hukum dapat dilihat dari dua aspek, satu adalah tingkat legislative dan
yang lainnya adalah mata rantai yang lemah dalam penerapan hukum. Latar
belakang hukum yang buruk, dapat dijumpai pada regulasi yang intoleran, serta
tidak adil; belum jelas dan eksplisit (no lex certa), menyebabkan terjadinya
multitafsir, paradoks serta tumpeng tindih pada perilaku terlarang, acapkali tidak
memenuhi tujuan, dianggap terlampau mudah bahkan terlampau kuat;
kesemuanya berpeluang regulasi tidak sesuai pada realitas factual masyarakat,
menyebabkan ketidakmampuan fungsi maupun produktivitas, serta akan ada
ketahanan. Ada banyak alas an untuk situasi ini, tetapi yang dominan adalah;
Pertama, negosiasi dan perebutan kepentingan antar kelompok di parlemen telah
Dalam hal ini, Hamzah (2004) menyebutkan bahwa korupsi rawan terjadi
karena kelemahan regulasi perundang-undangan, antara lain :
Dari apa yang terlah diuraikan, yang cukup subtansial ialah budaya akan
sadar pada aturan hukum. Melalui pengakuan hukum, warga negara memahami
akibat dari apa yang telah dilakukannya, Rahman Saleh (2006) menjabarkan bahwa
terdapat 4 faktor menonjol munculnya korupsi di Indonesia, ialah faktor
pengukuhan hukum, mentalitas aparatur, rendahnya kesadaran berbangsa dan
rendahnya political will (Puspito,dkk.,2011:42).
c. Faktor Ekonomi
Pandangan Henry Kissinger, yang dikutip Nanan Puspito, dkk. Bahwa praktek
korupsi para pejabat mengakibatkan 10% sisanya terpampang buruk. Didasari
dorongan pribadi guna mendapatkan keuntungan dari cara yang tidak adil, ketidak
percayaan akan sistem peradilan, hingga inkonsistensi identitas nasional, banyak
faktor yang memotivasi mereka berkuasa, sekelompok parlemen tercakup warga
negara biasa didalamnya, termasuk pada prakti korpsi (Puspito, dkk., 2011;44).
d. Faktor Organisasi
Jika budaya institusi tidak diolah secara optimal, dapat memberikan dampak
seluruh aspek yag tidak baik turut menggambarkan keadaan intitusi.
Ada peluang perilaku negative seperti korupsi terjadi pada posisi tersebut. Disatu
sisi lain, sistem pertanggungjawaban yang tidak memadai, pemerintah biasnaya
tidak secara jelas mendefinisikan visi dan misi yang mereka laksanakan, dan untuk
mencapainya harus dicapai dalam jangka waktu tertentu, serta tujuan dan sasaran
tidak ditetapkan. Akibatnya, instansi pemerintah sulit menilai keberhasilnya dalam
mencapai tujuan tersebut.
Konsekuensi baru iala minimnya atensi terhadap efesiensi pemakaian sumber daya
pada lingkungan. Situasi menciptakan kemampuan berperilaku korupsi lebih besar.
tersebut. Secara singkat penyebab terjadinya praktik kotor dibedakan dalam 2 jeni,
ialah faktor internal serta faktor eksternal.
e. Faktor Ekstenal
2) Aspek Sosial
f. Faktor Eksternal
g. Aspek Ekonomi
Penghasilan yang didapati kurang memenuhi kebutuhan hajat hidup setiap orang.
Pada beberapa situasi menaruh beberapa orang untuk merasakan situasi tersedak
dan keterpaksaan ekonomi. Keterdesakkan ini, membuka peluang bagi manusia
guna menuju jalan alternatif yang cenderung beresiko dan berbahaya seperti
praktik kotor.
h. Aspek Politis
Dalam cetakan saku yang disebarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
tahun 2006 dijelaskan bentuk korupsi dan perbuatan korupsi sebagaimana dikutip
Nanang Puspito., dkk. (2011:25-27) bahwa bentuk korupsi dan perbuatan korupsi
adalah sebagai berikut :
b. Suap Menyuap
4) Setiap pegawai negeri bahkan pelaksana negara yang menerima hasil atau
janji;
10) Hakim yang disinyalir mendapati barang barang teretenu perlu diduga
pembagian tersebut mempengaruhi hasil perkara.
2) Pemerasan
3) Tindakan Curang
5) Gratifikasi
u. Pihak yang mendapatkan barang TNI/ Polri dengan sengaja terjadinya perilaku
kecurangan
v. Pegawai negeri mengakui sepihak tanah negara menimbulkan kerugian pihak lain.
bb. Sanksi bahkan pakar enggan membagikan kebenaran ataupun pemberian perihal
palsu.
kebenaran ataupun membagikan perihal palsu dd. Sanksi yang membuka identitas
Selain itu, perilaku berikut diuraikan sebelumnya saat praktik dimasyarakat diketahui
ialah gratifikasi.
a. Definisi Gratifikasi
Dalam Pasal 12 B ayat (1) UUD 1945, dijelaskan bahwa gratifikasi adalah pemberian
dalam arti luas, yaitu meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
pembagian, sangkutan tanpa bunga. Kuitansi perjalanan, sarana penginapan,
transportasi wisata, pemeriksaan Cuma-Cuma serta sarana lainnya.
1) Regulasi termuat dalam Pasal 12 B ayat (1) perihal gratifikasi dipandang suatu
pembagian suapan serta tidak berlaku, apabila pihak yang mendapati
memberikan keterangan gratifikasi yang ia peroleh melalui KPK
b. Bentuk Gratifikasi
e) Pembagian biaya maupun tarif menjalani ibadah haji berasal pada pihak
lain guna kepentinga pejabat/ pegawai negeri.
k) Pemalakan liar saat berada di jalan raya serta ketidak adanya bukti yang
valid bertujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat
bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi (dinas
pendapatn daerah), LLAJR dan masyarakat (preman). Apabila kasus ini
terjadi KPK menyarankan agar laporan dipublikasikan oleh media massa
dan dilakukan penindakan tegas terhadap pelaku.
siapapun yang melakukan praktik kotor ini dapat dijatuhi hukuman sebart-beratnya.
Disebabkan perilaku ini mendorong keputusan pejabat pemerintahan yang tidak stabil
saat melaksanakan tugas yang diembannya. Melihat dari sudut yang lebih luas,
beberapa kalangan melarang keras perilaku praktik kotor ini, contohnya adanya
tindakan tegas melarang peliput berita mendapatkan uang bahkan barang dalam
berbagai bentuk apapun bahkan siapapun pihaknya yang membagikan. Oleh sebab itu
gratifikasi wajib dilarang keras dengan diadakannya denda yang sepada baik kurungan
tahanan maupun denda sejumlah uang bagi setiap insan yang melanggar baik
penerima maupun pemberi