Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KORUPSI

DI KALANGAN ELIT POLITIK

Untuk memenuhi tugas matakuliah

Pendidikan Kewarganegaraan

Oleh

Nama : Endri Susanto

NIM : 21060112060002
PSD III TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2013

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................... 1

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................................................. 2

B. Rumusan Masalah........................................................................................................... 3

C. Tujuan Penulisan Makalah................................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi........................................................................................................... 4

B. Pola-Pola Korupsi............................................................................................................. 4

C. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi....................................................................................... 5

1.Aspek Perilaku individu............................................................................................. 5

2.Aspek Organisasi Kepemerintahan............................................................................ 5

3.Aspek Peraturan Perundang-Undangan..................................................................... 6

4.Aspek Pengawasan................................................................................................... 6

D. Korupsi APBD................................................................................................................... 7
E. Solusi Penanggulangan Korupsi........................................................................................ 8

BAB III PENUTUPAN

KESIMPULAN........................................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................... 11

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah tentang politik ini yang alhamdulillah tepat
pada waktunya yang berjudul “KORUPSI DI KALANGAN ELIT POLITIK”. Makalah ini dibuat dengan tujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Pkn (Pendidikan Kewarganegaraan) .

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha
kita. Amin.

Penyusun
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

APBD Seiring gelombang otonomi daerah, ada beberapa perubahan dalam hubungan antara eksekutif
dengan legislatif. Pertama, eksekutif bersama dewan mempunyai otonomi penuh untuk membuat
kebijakan-kebijakan lokal; dankedua, anggota dewan memiliki otonomi penuh dan mempunyai peluang
besar dalam proses legislasi. Kewenangan dewan dalam membuat kebijakan tidak terbatas hanya dalam
memilih kepala daerah, tetapi juga berwenang membuat undang-undang, pengawasan, investigasi, dan
bersama-sama dengan eksekutif menyusun yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Implikasi lain dari
otonomi daerah adalah pelimpahan dana ini dibarengi dengan dilaksanakannya reformasi penganggaran
dan reformasi sistem akuntansi keuangan daerah (Halim, 2003). Reformasi penganggaran yang terjadi
adalah munculnya paradigma baru dalam penyusunan anggaran yang mengedepankan prinsip
akuntabilitas publik, partisipasi masyarakat, dan transparansi anggaran. Disamping itu, anggaran harus
dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented), prinsip efisien dan efektif (Value For
Money), keadilan dan kesejahteraan dan sesuai dengan disiplin anggaran (Mardiasmo, 2003).

Namun, euforia otonomi daerah ternyata banyak memunculkan dampak negatif. Menurut Khudori
(2004) salah satu yang menonjol adalah munculnya "kejahatan institusional". Baik eksekutif maupun
legislatif seringkali membuat peraturan yang tidak sesuai dengan logika kebijakan publik. Jika kejahatan
institusional itu dipraktikkan secara kolektif antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang mestinya
mengawasi kinerja eksekutif justru ikut bermain dan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-
sama dengan cara yang "legal". "Legal" karena dilegitimasi dengan keputusan.

Korupsi di Indonesia benar-benar sangat sistemik, bahkan korupsi yang terjadi sudah berubah menjadi
vampir state karena hampir semua infra dan supra struktur politik dan sistem ketatanegaraan sudah
terkena penyakit korupsi. Agenda pemberantasan korupsi sampai detik ini hanyalah dijadikan komoditas
politik bagi elit politik, lebih banyak pada penghancuran karakter (character assasination) bagi elit yang
terindikasikan korupsi dibanding pada proses hukum yang fair dan adil. Law enforcement bagi koruptor
juga menjadi angin lalu, padahal tindakan korupsi yang dilakukan koruptor sangatlah merugikan rakyat
Masduki (2002) dalam Klitgaard, dkk (2002).

Fenomena korupsi tersebut diatas menurut Baswir (1996) pada dasarnya berakar pada bertahannya jenis
birokrasi patrimonial di negeri ini. Dalam birokrasi ini, dilakukannya korupsi oleh para birokrat memang
sulit dihindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan dan birokrasi memang sangat terbatas.
Penyebab lainnya karena sangat kuatnya pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini,
sehingga cenderung masih mentabukan sikap oposisi. Karakteristik negara kita yang merupakan birokrasi
patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga
merebaklah budaya korupsi itu.

Menurut Susanto (2001) korupsi pada level pemerintahan daerah adalah dari sisi penerimaan,
pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan
pribadi. Sementara tipe korupsi menurut de Asis (2000) adalah korupsi politik, misalnya perilaku curang
(politik uang) pada pemilihan anggota legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk
pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi yang
menyimpang). Tipe korupsi yang terakhir yaitu clientelism (pola hubungan langganan).

Bentuk tindak pidana korupsi pada level legislatif adalah korupsi APBD untuk pos keuangan DPRD yang
terjadi akhir-akhir ini dan marak diberitakan di berbagai media. Pidana korupsi APBD kebanyakan
melanggar PP 110/2000 walaupun sekarang telah diganti dengan PP 24/2004 tentang Kedudukan
Keuangan DPRD. Kasus Kampar misalnya, sejumlah 45 anggota DPRD telah dijadikan tersangka karena
telah menganggarkan pesangon. Di Kota Padang Sumatera Barat 43 anggota DRPD telah dijatuhi vonis
karena merugikan uang negara sebanyak 10,4 M. Demikian juga DPRD Bali telah melakukan penggelapan
uang Tirtayatra (persembahyangan di India) sejumlah 112 juta. Deretan kasus penyimpangan APBD juga
terjadi di jawa Timur seperti di DPRD Kota Surabaya 2,7 M, DPRD Sidoarjo 20,3 M, DPRD Tulungagung 1,6
M, DPRD Nganjuk 5,3 M, DPRD Banyuwangi 225 juta, DPRD Kota Blitar 1,5 M dan masih banyak lagi
(Kompas, 8/9/04)

Oleh karena itu, melalui makalah ini akan dijelaskan apa itu korupsi sebenarnya, apa faktor-faktor yang
mengakibatkan beberapa pihak melakukan korupsi seperti penjelasan di atas, serta bagaimanakah solusi
yang harus ditempuh guna menyelesaikan persoalan korupsi, khususnya di kalangan elit politik.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari korupsi?

2. Bagaimanakah bentuk pola-pola korupsi di kalangan politik?

3. Apa sajakah faktor-faktor terjadinya korupsi di kalangan politik?

4. Bagaimana contoh konkrit perilaku korupsi yang terjadi di Indonesia?

5. Bagaimanakah solusinya?

C. Tujuan Penulisan Makalah

1. Mengetahui definisi dari korupsi.

2. Mengetahui pola-pola korupsi di kalangan politik.

3. Mengetahui faktor-faktor terjadinya korupsi di kalangan politik.

4. Mengetahui contoh konkrit perilaku korupsi yang terjadi di Indonesia.

5. Mengetahui solusi untuk mengatasinya.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa Inggris yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan
dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah dan
jebol. Menurut Bernardi (1994) istilah korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu perbuatan tidak jujur
atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Sementara Hermien H.K. (1994)
mendefinisikan korupsi sebagai kekuasaan tanpa aturan hukum. Oleh karena itu, selalu ada praduga
pemakaian kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan selain tujuan yang tercantum dalam pelimpahan
kekuasaan tersebut.

B. Pola-Pola Korupsi

Baswir (1993) menjelaskan ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oleh oknum-oknum pelaku
tindak korupsi baik daari kalangan pemerintah maupun swasta. Ketujuh pola tersebut meliputi : (1) pola
konvensional, (2) pola upeti, (2) pola komisi, (4) pola menjegal order, (5) pola perusahaan rekanan, (6)
pola kuitansi fiktif dan (7) pola penyalahgunaan wewenang. Untuk menanggulangi terjadinya korupsi
yang bermacam-macam jenisnya ini diperlukan strategi khusus dari semua bidang, meskipun untuk
menghilangkan sama sekali praktik korupsi adalah sesuatu yang mustahil, tertapi setidaknya-tidaknya
ada upaya untuk menekan terjadinya tindak korupsi. Strategi yang dibentuk hendaknya melibatkan
seluruh lapisaan masyarakat dan pejabat struktur pemerintahan.

Sementara menurut Fadjar (2002) pola terjadinya korupsi dapat dibedakan dalam tiga wilayah besar
yaitu ;Pertama, bentuk penyalahgunaan kewenangan yang berdampak terjadinya korupsi adalah
pertama; Mercenery abuse of power, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang yang
mempunyai suatu kewenangan tertentu yang bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-
menyogok, suap, mengurangi standar spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana (mark up).
Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini adalah biasanya non politis dan dilakukan oleh level pejabat
yang tidak terlalu tinggi kedudukannya.

Kedua, Discretinery abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa dengan mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya
keputusan Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan daerah/keputusan Walikota/Bupati yang biasanya
menjadikan mereka dapat bekerjasama dengan kawan/kelompok (despotis) maupun dengan keluarganya
(nepotis).

Ketiga, Idiological abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar tujuan dan
kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan kelompok pada pihak
tertentu untuk menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga ekskutif, dimana kelak mereka akan
mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal ini yang sering disebut politik balas budi yang licik.
Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, karena dengan praktek ini semua elemen yang mendukung
telah mendapatkan kompensasi.

C. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi

Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan dan birokrasi
yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya sistem kontrol dari
masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan perundang-perundangan yang tegas.
Faktor lainnya menurut Fadjar (2002) adalah tindak lanjut dari setiap penemuan pelanggaran yang masih
lemah dan belum menunjukkan “greget” oleh pimpinan instansi. Terbukti dengan banyaknya penemuan
yang ditutup secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas serta tekad dalam pemberantasan korupsi dan
dalam penuntasan penyimpangan yang ada dari semua unsur tidak kelihatan. Disamping itu kurang
memadainya sistem pertanggungjawaban organisasi pemerintah kepada masyarakat yang menyebabkan
banyak proyek yang hanya sekedar pelengkap laporan kepada atasan.

Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) aspek prilaku individu
organisasi, (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada.
Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) motif, baik motif
ekonomi maupun motif politik, (2) peluang, dan (3) lemahnya pengawasan. Berdasarkan uraian
sebelumnya, dalam penelitian ini penulis mengelompokkan empat aspek yang menyebabkan terjadinya
korupsi yaitu:

1. Aspek Perilaku individu

Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan
dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan.
Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain : (a) sifat tamak manusia, (b) moral
yang kurang kuat menghadapi godaan, (b) penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar,
(d) kebutuhan hidup yang mendesak, (e) gaya hidup konsumtif, (f) tidak mau bekerja keras, dan (g)
ajaran-ajaraan agama kurang diterapkan secara benar.
Dalam teori kebutuhan Maslow, demikian dikatakan Sulistyantoro (2004) korupsi seharusnya hanya
dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya
dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang bertahan hidup, namun saat ini korupsi
dilakukan oleh orang kaya, serta pendidikan ti nggi.

2. Aspek Organisasi Kepemerintahan

Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian
lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya
memberi adil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi
(Tunggal, 2000). Bilamana organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk
melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut
pandang organisasi ini meliputi: (a) kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak adanya kultur
organisasi yang benar, (c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, dan (d)
manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.

Berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan oleh Kompas 29/7/2004 di kota Surabaya, Medan,
Jakarta dan Makasar, menyebutkan bahwa korupsi yang terjadi di tubuh organisasi kepemerintahan
(eksekutif) maupun legislatif. Tidak kurang dari 40 persen responden menilai bahwa tindakan korupsi
dilingkungan birokrasi kepemerintahan dan wakil rakyat di daerahnya semakin menjadi-jadi. hanya 20
persen responden saja yang berpendapat bahwa prilaku korupsi di pemkot dan DPRD masing-masing
sudah berkurang.

3. Aspek Peraturan Perundang-Undangan

Tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan,
yang dapat mencakup: (a) adanya peraturan perundang-undangan yang monolistik yang hanya
menguntungkan kerabat dan “konco-konco” presiden, (b) kualitas peraturan perundang-undangan
kurang memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sangsi yang terlalu ringan, (e) penerapan
sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, dan (f) lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan
perundang-undangan. Beberapa ide strategis untuk menanggulangi kelemahan ini telah dibentuk oleh
pemerintah diantaranya dengan mendorong para pembuat undang-undang untuk melakukan evaluasi
atas efektivitas suatu undang-undang secara terencana sejak undang-undang tersebut dibuat.

Lembaga-lembaga ekskutif (Bupati/Walikota dan jajarannya) dalam melakukan praktek korupsinya


tidak selalu berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu konspirasi dengan para pengusaha atau dengan
kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal penentuan tender pembangunan yang terlebih
dahulu pengusaha menanamkan saham kekuasaannya lewat proses pembiayaan pengusaha dalam
terpilihnya bupati/Walikota tersebut. Kemudian mereka secara bersama-sama dengan DPRD,
Bupati/Walikota membuat kebijakan yang koruptif yang hanya menguntungkan sebagian kecil
masyarakat yaitu para kolega, keluarga maupun kelompoknya sendiri. Dengan kemampuan lobi
kelompok kepentingan dan pengusaha kepada pejabat publik yang berupa uang sogokan, hadiah, hibah
dan berbagai bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif telah berhasil membawa pengusaha
melancarkan aktifitas usahanya yang berlawanan dengan kehendak masyarakat, sehingga masyarakat
hanya menikmati sisa-sisa ekonomi kaum borjuasi atau pemodal yang kapitalistik. Dari kasus ini dapat
disimpulkan bahwa terjadinya korupsi APBD sangat mungkin jika aspek peraturan perundang-undangan
sangat lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Hal senada juga dikemukakan oleh
Basyaib, dkk (2002) yang menyatakan bahwa lemahnya sistem peraturan perundang-undangan
memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi.

4. Aspek Pengawasan

Pengawasan yang dilakukan instansi terkait (BPKP, Itwil, Irjen, Bawasda) kurang bisa efektif karena
beberapa faktor, diantaranya (a) adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, (b)
kurangnya profesionalisme pengawas, (c) kurang adanya koordinasi antar pengawas (d) kurangnya
kepatuhan terhadap etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. hal ini sering kali para
pengawas tersebut terlibat dalam praktik korupsi. belum lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal
yang dilakukan masyarakat dan media juga lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk
pengawasan APBD yang sarat dengan korupsi. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Baswir (1996) yang
mengemukakan bahwa negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik
tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.

Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal (pengawasan
fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) serta pengawasan bersifat eksternal (pengawasan
dari legislatif dan masyarakat). Dimana pengawasan ini kurang bisa efektif karena adanya beberapa
faktor, diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurang
profesionalismenya pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan oleh
pengawas sendiri. Dan berkaitan dengan hal ini pengawas sendiri sering kali terlibat dalam praktek
korupsi.

D. Korupsi APBD

Secara umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Daerah (APBD) adalah pernyataan tentang
rencana pendapatan dan belanja daerah dalam periode tertentu (1 tahun). Pada awalnya fungsi APBD
adalah sebagai pedoman pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah untuk satu periode.
Selanjutnya, sebelum anggaran dijalankan harus mendapat persetujuan dari DPRD sebagai wakil rakyat
maka fungsi anggaran juga sebagai alat pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap kebijakan
publik. Dengan melihat fungsi anggaran tersebut maka seharusnya anggaran merupakan power relation
antara eksekutif, legislatif dan rakyat itu sendiri (Sopanah & Wahyudi, 2004).

Semenjak DPRD mempunyai otoritas dalam penyusunan APBD terdapat perubahan kondisi yang
menimbulkan banyak masalah. Pertama, sistem pengalihan anggaran yang tidak jelas dari pusat ke
daerah. Kedua, karena keterbatasan waktu partisipasi rakyat sering diabaikan. Ketiga, esensi otonomi
dalam penyusunan anggaran masih dipelintir oleh pemerintah pusat karena otonomi pengelolaan
sumber-sumber pendapatan masih dikuasai oleh pusat sedangkan daerah hanya diperbesar porsi
belanjanya. Keempat, ternyata DPRD dimanapun memiliki kesulitan untuk melakukan asessment
prioritas kebutuhan rakyat yang harus didahulukan dalam APBD. Kelima, volume APBD yang disusun oleh
daerah meningkat hingga 80% dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan masalah karena
sedikit-banyak DPRD dan pemerintah daerah perlu berkerja lebih keras untuk menyusun APBD. Keenam,
meskipun masih harus melalui pemerintah pusat namun pemerintah menurut UU No 25 tahun 1999
memiliki kewenangan untuk melakukan pinjaman daerah baik ke dalam negeri maupun ke luar negeri.

Kondisi yang berubah diatas memicu beberapa kecenderungan. Pertama,, adanya jargon dari
pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dalam rangka
otonomi daerah. Dengan demikian bagi beberapa daerah yang miskin SDA akan memilih menggali PAD
dengan meningkatan pajak. Bagi daerah kaya sekalipun meningkatkan pajak adalah alternatif yang paling
mudah karena tidak perlu melakukan banyak investasi dibandingkan jika mengekplorasi SDA. Oleh
karena itu tidak heran bila kecenderungan meningkatkan pajak ini terjadi di banyak daerah bahkan
daerah yang kaya sekalipun.

Dengan mengingat bahwa tingkat korupsi birokrasi daerah di Indonesia masih tinggi, hal ini
ditunjukkan dalam survey kecenderungan korupsi birokrasi yang diselenggarakan oleh PERC. Pada tahun
1999, angka kecenderungan korupsi birokrasi menunjukkan angka 8,0 dari skala 0-10. Dimana angka nol
berarti mutlak bersih dan 10 berarti mutlak memiliki kecenderungan korupsi. Dan satu tahun kemudian,
tahun 2000, angka ini tidak mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka
meningkatkan PAD akan lebih baik bila diprioritaskan dengan cara mengurangi kebocoran pendapatan
pemerintah daerah yang selama ini ada bukan dengan cara meningkatkan pajak karena akan
menyengsarakan rakyat (Ardyanto, 2002)

Kedua, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan menyusun anggaran
untuk DPRD sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBD karena tidak ada pengawasan yang
sistematis kecuali jika rakyat mempunyai kesadaran yang tinggi. Dengan demikian kembali pada
kenyataan bahwa anggaran adalah power relationmaka kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap
DPRD untuk menyetujui pos anggaran tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat mungkin terjadi.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa korupsi begitu merajalela di Indonesia? Secara teoritis
Tanzi (1998) menunjukkan terjadinya korupsi APBD dipengaruhi oleh faktor permintaan dan faktor
penawaran. Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya (1) regulasi dan otorisasi yang
memungkinkan terjadinya korupsi, (2) karakteristik tertentu dari sistem perpajakan, dan (3) adanya
provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi
karena (1) tradisi birokrasi yang cenderung korup, (2) rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3) kontrol
atas institusi yang tidak memadai, dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum. Lebih Lengkap lihat
catatan atas kelompok Anggaran (Helmi, Ahmad dkk, 2002).

E. Solusi Penanggulangan Korupsi

Seperti yang telah kita ketahui, korupsi telah menjadi kebiasaan bagi para kalangan elit politik. Bahkan
kini korupsi sudah mulai mendesentralisasi sampai ke pejabat tingkat daerah atau lokal. Korupsi biasanya
dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses
birokrasi relaif lambat, sehingga setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat dengan
memberikan imbalan-imbalan dengan cara memberikan uang pelicin (uang sogok). Praktek ini akan
berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah dan masyarakat, sehingga
timbul golongan pegawai yang memperkaya diri sendiri.Agar tercapai tujuan pembangunan nasional,
maka mau tidak mau korupsi harus diberantas. Ada beberapa solusipenanggulangan korupsi, dimulai
yang sifatnya preventif maupun yang represif. Upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :

a. Preventif.

1) Membangun etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang
pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.

2) Memulai dari diri sendiri, dari sekarang dan dari yang kecil untuk menghindari korupsi. Karena ini
adalah cara yang sederhana tapi sulit untuk dilakukan.

Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri

sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling
menegakkan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang
diberikan oleh wewenangnya.

4) Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan


pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi
mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.

5) Pimpinan harus memberi teladan. Karena kewajiban seorang pemimpin adalah memberi teladan
yang baik bagi yang di pimpin. Seorang pemimpin harus berupaya memikirkan solusi korupsi yang sudah
menjadi tradisi klasik di tanah air. Contoh yang bersih ini otomatis akan memberi kekuatan bagi seorang
pemimpin untuk menegakkan hukum bagi para pelaku korupsi secara tegas, dan atasan lebih efektif
dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.

6) Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness”
dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan tersebut adalah milik sendiri dan
tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
7) Memberi pelajaran pendidikan anti korupsi sejak dini. Bagi kalangan pendidik, peran mereka
sangat penting dalam menanamkan prinsip untuk tidak melakukan korupsi dari sekolah. Relevansi antara
pendidikan karakter sejak dini untuk membentengi generasi masa depan bebas korupsi sangat jelas.
Sebagai individu yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan di masa depan, seorang anak tentunya
harus ditanamkan nilai-nilai positif dalam dirinya. Sikap, prilaku, mental dan karakternya harus dibangun
dan dikembangkan dari awal agar tidak terjadi penyimpangan. Dengan karakter yang kuat dan mentalitas
yang sarat dengan nilai moral religius akan tumbuh tunas harapan generasi masa depan yang bersih dari
praktek-praktek korupsi.

b. Represif

1) Perlu penayangan wajah koruptor di televisi

Dengan adanya penayangan ini maka secara langsung koruptor tersebut akan dilihat oleh masyarakat
luas sehingga muncul rasa malu baik dari dirinya atau keluarganya. Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi
koruptor-koruptor yang lain.

2) Pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat

Kekayaan pejabat harus dipantau oleh lembaga khusus, setiap beberapa periode. Proses pencatatan
terhadap kekayaan pejabat ini bisa berupa uang tunai, harta benda atau investasi berupa perhiasan,
tanah dan lain lain. Ini bertujuan agar jika ada kepemilikan yang mencurigakan harus segera ditelusuri.

3) Penegakan hukum

Para koruptor perlu diberi hukuman seberat beratnya yang membuat mereka jera. Sistem penegakan
hukum di Indonesia kerap terhambat dengan sikap para penegak hkum itu sendiri yang tidak serius
menegakkan hukum dan undang undang. Para pelaku hukum malah memanfaatkan hukum itu sendiri
untuk mencari keuntungan pribadi, ujungnya juga pada tindakan korupsi . Alih alih muncullah istilah
mafia hukum, yakni mereka yng diharapkan mampu menegakkan mampu menegakkan masalah hukum
malah mencari hidup dari penegakan hukum tersebut.

BAB III

KESIMPULAN

1. Korupsi dapat diartikan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan
karena adanya suatu pemberian.

2. Ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oleh oknum-oknum pelaku tindak korupsi baik daari
kalangan pemerintah maupun swasta. Ketujuh pola tersebut meliputi : (1) pola konvensional, (2) pola
upeti, (2) pola komisi, (4) pola menjegal order, (5) pola perusahaan rekanan, (6) pola kuitansi fiktif dan
(7) pola penyalahgunaan wewenang.

3. Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan dan birokrasi
yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya sistem kontrol dari
masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan perundang-perundangan yang tegas.

4. Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) aspek prilaku individu organisasi, (2) aspek
organisasi, (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada, (4) motif, baik motif ekonomi
maupun motif politik, (5) peluang, dan (6) lemahnya pengawasan.

5. Upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :

a. Preventif.

1) Membangun etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang
pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.

2) Memulai dari diri sendiri, dari sekarang dan dari yang kecil untuk menghindari korupsi. Karena ini
adalah cara yang sederhana tapi sulit untuk dilakukan.

3) Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan
kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakkan wibawa dan
integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh
wewenangnya.

4) Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan


pekerjaan.

5) Pimpinan harus memberi teladan.

6) Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness”
dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan tersebut adalah milik sendiri dan
tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.

7) Memberi pelajaran pendidikan anti korupsi sejak dini.

b. Represif

1) Perlu penayangan wajah koruptor di televisi

2) Pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat

3) Penegakan hukum
DAFTAR PUSTAKA

Ardyanto, Donny. 2002. Korupsi di sektor pelayanan Publik dalam Basyaib, H., dkk. (ed.) 2002, Mencuri
Uang Rakyat : 16 kajian Korupsi di Indonesia, Buku 2, Yayasan aksara dan Patnership for Good
Governance Reform, Jakarta

Baswir Revrisond. 1993. Ekonomi, Manusia dan Etika, Kumpulan Esai-esai Terpilih: BPFE. Yogyakarta.

______________, 1996. Ekonomi Politik Kesenjangan, Konglomerasi, dan korupsi di Indonesia, dalam
bukuPembangunan Ekonomi dan Pemberdayaan Rakyat: BPFE. Yogyakarta.

De Asis, Maria Gonzales. Coalition-Building to Fight Corruption, Paper Prepared for the Anti-Corruption
Summit: World Bank Institute. November 2000.

Fadjar, Mukti. 2002. Korupsi dan Penegakan Hukum dalam pengantar

Helmi, dkk. 2003. Memahami Anggaran Publik: Idea Press. Jogjakarta

Hermien H.K.. 1994. Korupsi di Indonesia: dari delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi: Citra Aditya Bakti.
Bandung

Klitgaard, dkk (2002). Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor
Indonesia & Patnership for Governance in Indonesia, Jakarta

Republik Indonesia. 2001. Undang-Undang No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah: Citra
Umbara. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai