Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

OTONOMI DAERAH, POTENSI KORUPSI DAN TRANSPARANSI


HUKUM DI INDONESIA

Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi


Dosen Pengampuh : M.N. Romi As, S.H,.M.Kn

Oleh :
Yordanus Dimus
NIM. 2016210195

KOMPETENSI PERENCANAAN PEMBANGUNAN


PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI
MALANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otonomi daerah membawa beberapa perubahan dalam hubungan antara
eksekutif dengan legislatif. Eksekutif bersama dewan mempunyai otonomi penuh
untuk membuat kebijakan-kebijakan lokal dan anggota dewan memiliki otonomi
penuh dan mempunyai peluang besar dalam proses legislasi. Kewenangan dewan
dalam membuat kebijakan tidak terbatas hanya dalam memilih kepala daerah,
tetapi juga berwenang membuat undang-undang, pengawasan, investigasi dan
bersama-sama dengan eksekutif menyusun APBD yang sebelumnya tidak pernah
dilakukan. Implikasi lain dari otonomi daerah adalah pelimpahan dana ini
dibarengi dengan dilaksanakannya reformasi penganggaran dan reformasi sistem
akutansi keuangan daerah.
Otonomi daerah banyak memunculkan dampak negatif, salah satu yang
menonjol adalah munculnya kejahatan institusional. Baik eksekutif maupun
legislatif sering kali membuat peraturan yang tidak sesuai dengan logika
kebijakan publik. Jika kejahatan institusional itu dipraktikan secara kolektif antara
eksekutif dan legislatif. Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja eksekutif
justru ikut dan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan
cara yang “legal” karena dilegitimasi dengan keputusan.
Fenomena korupsi tersebut diatas pada dasarnya berakar pada bertahannya
jenis birokrasi patrimonial di negeri ini. Dalam birokrasi ini, dilakukannya korupsi
oleh para birokrat memang sulit dihindari. Sebab kendali politik terhadap
kekuasaan dan birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya karena sangat
kuatnya pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini, sehingga
cenderung masih mentabukan sikap oposisi. Karakteristik negara kita yang
merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan
lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi.
Menurut Hary Susanto 3 korupsi pada level pemerintahan daerah adalah
dari sisi penerimaan, pemerasan, uang suap, pemberian perlindungan, pencurian

1
barang- barang publik untuk kepentingan pribadi. Sementara Baswir menjelaskan
ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oknum-oknum pelaku tindak korupsi
baik dari kalangan pemerintah. Ketujuh pola tersebut meliputi : pola
konvensional, pola upeti, pola komisi, pola menjegal order, pola perusahaan
rekanan, pola kuitansi fiktif dan pola penyalagunaan wewenang. Fakta tumbuh
suburnya praktik korupsi yang dilakukan pemerintah daerah dapat juga dilihat
berdasarkan laporan Dr. M. Umar Hasibuan (Staf Khusus Menteri Dalam Negeri)
juga mengemukakan bahwa aktor utama terjadinya praktik korupsi di daerah
dilakukan oleh Walikota/Bupati. Sejak tahun 2004-2012 tercatat 16 Wali kota/Plt
Wali kota menjadi tersangka, 1 Wali kota menjadi saksi, dan 8 wakil Wali Kota
terkait dengan dugaan kasus korupsi di masing-masing daerah kekuasaannya.
Pada kurun waktu tersebut 114 Bupati dan 59 wakil Bupati terlibat dengan kasus
korupsi. Keseluruhan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang terlibat kasus
korupsi dalam kurun waktu 2004-2012 tercatat 173 orang (Laporan Indonesian
Corruption Watch (ICW) Tahun 2012.
Kasus yang akan penulis teliti adalah kasus korupsi pengelolaan dana
penyertaan modal BUMD PT. Tulang Bawang Jaya yang melibatkan Wakil
Bupati Mesuji Terpilih, sebagai terdakwa kasus korupsi dana penyertaan modal
BUMD PT. Tulang Bawang Jaya. Ismail Iskak dalam kedudukannya sebagai
Anggota DPRD Kabupaten Tulang Bawang periode 2004-2009 telah
menyalagunakan dana APBD Kabupaten tahun anggran 2006 dalam penggunaan
dana penyertaan modal BUMD PT. Tulang Bawang Jaya yang mana karena
perbuatannya tersebut mengakibatkan Negara mengalami kerugian sebesar Rp.
1.405.000.000 (satu miliar empat ratus lima juta rupiah).
Setelah melalui proses di Pengadilan Negeri Menggala, Hakim
memberikan putusan yang tertuang didalam putusan Nomor :
132/Pid.B/2011/PN.Mgl pada tanggal 8 November 2011 dengan menyatakan
bahwa Ismail Ishak selaku Wakil Bupati Mesuji Terpilih yang secara sah terbukti
melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan dana penyertaan modal BUMD PT.
Tulang Bawang Jaya. Majelis Hakim Menggala menetapkan vonis 1 (satu) tahun
penjara, denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) subsider 1 (satu)

2
bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp. 396.000.000 (tiga ratus
sembilan puluh enam juta rupiah) subsider 1 tahun kurungan.
Kondisi penjatuhan putusan pemberantasan korupsi sebagaimana
diuraikan diatas yang apabila diperbandingkan dengan nominal kerugian
keuangan Negara yang sangat besar, tentunya penjatuhan hukuman belum dapat
dikatakan bermanfaat secara maksimal. Kondisi tersebut tidak banyak didapat
manfaatnya oleh Negara, sebaliknya Negara akan tetap mengalami kesulitan
dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomiannya, khususnya dalam tujuannya
untuk menuju masyarakat adil, makmur, sejahtera dan madani, maka dengan
demikian upaya pemeberantasan tindak pidana korupsi dapat dikatakan sangat
jauh dari yang diharapkan.
Tentunya keadaan sedemikian tidak boleh terlalu berlarut-larut dibiarkan
berlangsung bagi bangsa Indonesia, untuk itulah pengambilan kebijakan (stake
holder) yaitu pemerintahan (lembaga eksekutif) dan pembuat undang-undang
(lembaga legislatif), serta pelaksana undang-undang (lembaga yudikatif) harus
segera bertindak cepat dalam mengambil langkah berupa tindakan antisipatif,
dengan merakukan koreksi, inovasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum tentang
tindak pidana korupsi . Pada intinya penulis membandingkan putusan hakim
apakah sudah sesuai dengan ketentuan dan aturan hukum yang berlaku.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Otonomi Daerah


Otonomi daerah secara sederhana dapat diartikan sebagai hak untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri oleh satuan organisasi pemerintah
di daerah. Otonomi daerahdiberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Dengan demikian berdasarkan prinsip otonomi tersebut, maka ada keharusan dari
pemerintah pusat untuk menyerahkan sebagaian hak dan kewenangan daerah
dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan atau
intervensi dari pihak lain termasuk pemerintah pusat. Otonomi daerah dapat
diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga daerah atas inisiatif atau prakarsa sendiri tanpa instruksi
pemerintah pusat.
Otonomi daerah adalah perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung
jawab serta mempunyai hubungan erat dengan desentralisasi. Mahfud
MDmengatakan bahwa desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerah
mulai dari kebijakan, perencanaan, sampai pada implementasi dan pembiayaan
dalam rangka demokrasi. Otonomi adalah adalah wewenang yang dimiliki daerah
untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka desentralisasi.
Secara klasik ada 4 bentuk pokok dari desentralisasi sebagai berikut (Ratnawati,
dalam Karim. 2003).
1. Dekonsentrasi, adalah pengalihan beberapa wewenang atau tanggung
jawab administrasi di dalam (internal) suatu kementrian atau jawatan. Di
sini tidak ada transfer kewenangan yang nyata. Bawahan menjalankan
kewenangan atas nama atasannya dan bertanggung jawab kepada
atasannya.
2. Delegasi, adalah pelimpahan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu
kepada organisasi-organisasi di luar struktur birokrasi pemerintah dan
dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat.

4
3. Devolusi, adalah pembentukan dan pemberdayaan unit-unit pemerintahan
di tingkat lokal oleh pemerintah pusat dengan kontrol pusat seminimal
mungkin dan terbatas pada bidang-bidang tertentu saja
4. Privatisasi/debirokratisasi, adalah pelepasan semua tanggung jawab
fungsi-fungsi kepada organisasi-organisasi pemerintah atau perusahaan-
perusahaan swasta.
Secara politis devolusi dianggap sebagai desentralisasi politik karena
wewenang yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah adalah
wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan politik. Selain itu, juga
disebut democratic decentralization karena terjadinya penyerahan wewenang/
kekuasaan kepada lembaga perwakilan rakyat daerah yang dipilih.
Selain itu, ternyata tidak semua bentuk desentralisasi sejalan dengan proses
demokratisasi. Dalam sistem yang non-demokratispun, desentralisasi tetap bisa
jalan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan desentralisasi dapat mendekatkan
penyedia layanan publik (negara) pada konsumen layanan publik (masyarakat).
Disamping itu, desentralisasi juga dapat menimbulkan konflik negara dengan
masyarakat di tingkat lokal menguat setelah otonomi daerah berjalan (Karim,
2003).

2.2 Kelebihan dan Kelemahan Otonomi Daerah


2.2.1 Kelebihan Otonomi Daerah
Kelebihan otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi
daerah maka pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk
menampilkan identitas local yang ada di masyarakat. Berkurangnya
wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari
pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya
sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak dari pada yang
didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut
memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta
membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata

5
Dengan melakukan otonomi daerah maka kebijakan-kebijakan
pemerintah akan lebih tepat sasaran, hal tersebut dikarenakan pemerintah
daerah cenderung lebih mengerti keadaan dan situasi daerahnya, serta
potensi-potensi yang ada di daerahnya dari pada pemerintah pusat. Contoh
di Maluku dan Papua program beras miskin yang dicanangkan pemerintah
pusat tidak begitu efektif, hal tersebut karena sebagian penduduk disana
tidak bisa mengkonsumsi beras, mereka biasa menkonsumsi sagu, maka
pemeritah disana hanya mempergunakan dana beras miskin tersebut untuk
membeli sayur, umbi, dan makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat.
Selain itu, dengan system otonomi daerah pemerintah akan lebih cepat
mengambil kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu saat itu, tanpa harus
melewati prosedur di tingkat pusat.

2.2.2 Kelemahan Otonomi Daerah

Kelemahan dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagi


oknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat
merugikan Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain
itu terkadang ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan
konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu
dengan daerah tetangganya. Hal tersebut dikarenakan dengan system
otonomi daerah maka pemerintah pusat akan lebih susah mengawasi
jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan
sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu
berarti.

Otonomi daerah juga menimbulkan persaingan antar daerah yang


terkadang dapat memicu perpecahan. Contohnya jika suatu daerah sedang
mengadakan promosi pariwisata, maka daerah lain akan ikut melakukan
hal yang sama seakan timbul persaiangan binis antar daearah. Selain itu
otonomi daerah membuat kesenjangan ekonomi yang terlampau jauh antar
daerah. Daerah yang kaya akan semakin gencar melakukan pembangunan

6
sedangkan daerah yang pendapatannya kurang akan tetap begitu-begitu
saja tanpa ada pembangunan. Hal ini sudah sangat menghawatirkan
karena sudah melanggar pancasila sila ke-lima, yaitu ‘’Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’’.

2.3 Otonomi Daerah dan Potensi Korupsi


Banyak orang mengatakan otonomi daerah di Indonesia cukup baik secara
konsepnya namun tidak dalam prakteknya. Otonomi daerah yang seharusnya
mempermudah berkembangnya suatu daerah, disalahartikan sebagai upaya
mempermudah korupsi di tiap-tiap lini yang ada dalam struktural
pemerintahan. Otonomi yang diberikan kepada daerah, pada dasarnya
berhubungan dengan semangat demokratisasi, dan berkaitan dengan usaha
optimalisasi pemberian pelayanan kepada masyarakat. Melalui otonomi daerah
masyarakat tidak hanya memiliki peluang yang lebih besar untuk berpartisipasi
dalam pemerintahan, tetapi juga memiliki akses yang lebih luas untuk ikut
mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian, otonomi
daerah dapat berpengaruh positif terhadap terbangunnya pemerintah yang bersih
dan berwibawa.

Namun harus disadari adanya realitas bahwa otonomi daerah juga dapat
diikuti dengan berpindahnya tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme dari
pusat ke daerah. Sebagai bentuk pemencaran kekuasaan. Melalui otonomi
diharapkan tidak terjadinya penumpukan kekuasaan, yang secara teoritis
cenderung mendorong terjadinya korupsi.

Otonomi daerah dan desentralisasi kerap disebut sebagai desentralisasi


korupsi akibat berpindahnya penyelewengan kekuasaan dari pusat ke daerah
(Karim, 2003). Pelaksanaan otonomi daerah ditenggarai membawa problem
tersendiri bagi terjadinya praktek korupsi di daerah. Di berbagai daerah muncul
kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara di daerah. Kasus-
kasus tersebut dapat berupa penyimpangan administrasi (mal administration),

7
penggelembungan anggaran (mark up) oleh ekskutif maupun legislatif, suap
dan money politic (Kurniawan, dkk., 2003)

.
2.4 Bentuk-Bentuk Korupsi di Daerah
Data yang ada menunjukkan, tren pemberantasan korupsi pada 2013 dan
2014 setidaknya 95 persen kasus berlokasi di kabupaten, kota, dan provinsi. Kasus
korupsi di daerah umumnya memiliki banyak kesamaan dari sisi obyek dan
modus, pelaku, serta proses.Beberapa hal diantaranya ialah :
1. Obyek dan Modus Korupsi.
Bagi daerah yang memiliki banyak sumber daya alam sasarannya
berada di sektor pendapatan. Modus korupsinya dengan obral
perizinan, setoran liar, dan mark down pendapatan daerah. Bagi
daerah-daerah yang miskin sumber daya alam, konsentrasi korupsi ada
pada sisi belanja. Kasus yang paling banyak terungkap adalah proyek-
proyek pengadaan, seperti pembangunan infrastruktur, pembelian
barang dan jasa, serta program bantuan kemasyarakatan.
2. Pelaku Korupsi.
Didominasi oleh pegawai Satuan Kerja Perangkat Daerah/Dinas
(SKPD), anggota DPRD, dan Kepala Daerah. Sebagian besar kasus
bahkan melibatkan ketiganya sekaligus. Mereka membentuk semacam
jamaah korupsi di daerah. Pihak yang mengawasi dan diawasi justru
bersatu padu membobol anggaran daerah. Apalagi dari sisi eksternal,
kondisi di sebagian besar daerah, pengawasan dari masyarakat masih
sangat minim.
3. Proses Korupsi.
Selalu diawali oleh korupsi politik, korupsi yang dilakukan oleh
mereka yang memiliki kekuasaan secara politik di daerah, seperti
kepala daerah dan anggota DPRD. Biasanya dilakukan pada saat
perencanaan anggaran dengan cara menitip atau memaksa berbagai
usulan program atau proyek masuk dalam RAPBD. Mulai dari proyek

8
pengadaan barang dan jasa hingga jatah program bantuan sosial dan
hibah.

Korupsi politik akan dilanjutkan oleh korupsi birokrasi. Hasil kompromi


antara kepaladaerah dan DPRD akan dieksekusi birokrasi masing-masing SKPD
atau badan perencanaan pembangunan daerah (Bappeda). Para abdi negara ini
yang bertugas secara teknis untuk memasukkan daftar kegiatan dan proyek titipan
ketika APBD dirancang.
Dalam implementasi anggaran, birokrasi di SKPD berperan mengawal dan
memuluskan kegiatan dan proyek yang telah dipesan oleh atasan. Caranya dengan
memanipulasi proses tender, merekayasa spesifikasi barang, dan bikin kegiatan
fiktif.
Birokrasi merupakan eksekutor korupsi karena mereka yang bertugas secara
langsung mengimplementasikan anggaran. Bagi sebagian besar birokrasi, perintah
atasan sekalipun bermasalah, adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Walau
begitu tak tertutup kemungkinan birokrasi di SKPD berinisiatif sendiri
mengkorupsi APBD.
Dilihat dari pola dan modus korupsi di daearah tersebut, tampak bahwa
korupsi di daerah dapat dilakukan oleh hampir semua pihak. DPRD yang menurut
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan juga dapat menjadi aktor korupsi. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan Sumodihardjo, 2006 bahwa praktek korupsi yang sebelumnya hanya
terjadi di ranah birokrasi dan perbankan, kini merambah masuk ke lingkungan
legislatif.
Sudah banyak pendekatan untuk menekan korupsi di daerah. Dari sisi
regulasi, pemerintah mengeluarkan instruksi presiden mengenai aksi pencegahan
dan pemberantasan korupsi, mempromosikan berbagai inovasi mulai dari e-
budgeting, e-procurement hingga mendorong penyederhanaan kelembagaan dan
birokrasi pelayanan publik, seperti program pelayanan satu atap. Berbagai
pendekatan tersebut ternyata tak terlalu efektif, juga tak bisa dikatakan gagal
dalam mengurangi korupsi di daerah. Sebagian besar hanya menyentuh aspek

9
teknis. Padahal, hulu masalah korupsi di daerah berkaitan aspek politis, terutama
komitmen dan keseriusan kepala daerah dan anggota DPRD untuk tidak
melakukan korupsi.
Prasyarat utama untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi
korupsi di daerah adalah :
a Adanya pemimpin yang tidak hanya bersih, tetapi juga memiliki
keberanian dan komitmen kuat untuk melawan korupsi.
b Dibutuhkan kepala daerah "juara". Salah satunya yang sering dijadikan
rujukan saat ini adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Basuki tidak hanya keras terhadap anak buah yang menyimpangkan
kewenangan, tetapi juga berani menolak permintaan "jatah anggaran" dari
DPRD.
c Para pemimpin yang memiliki komitmen anti korupsi tidak akan
menjadikan birokrasinya sebagai operator korupsi. Sebaliknya mereka
akan menjaga dan mengawasi anak buahnya. Selain itu, tanpa dipaksa pun
mereka akan menggunakan berbagai perangkat, seperti e-budgeting, e-
procurement, dan pelayanan satu atap untuk mengurangi korupsi di
daerahnya.

2.5 Otonomi Daerah Dan PILKADA Langsung

Salah satu momentum penting untuk mendorong munculnya kepala daerah


"juara" adalah pemilihan kepala daerah langsung yang akan diselenggarakan
secara serentak pada akhir tahun nanti. Sejatinya pilkada adalah alat warga untuk
menghukum kepala daerah korup dan mempromosikan kandidat yang lebih
berintegritas. Pilkada merupakan momentum penting untuk melawan korupsi di
daerah.

Terpilihnya kepala daerah "juara" menjadi modal penting untuk


mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah, seperti yang ingin diwujudkan
dalam kebijakan otonomi daerah dan pilkada langsung. Pilkada merupakan kunci

10
keberhasilan penerapan otonomi daerah. Setidaknya ada tiga pihak yang bisa
berperan besar dalam menjaga pilkada agar melahirkan kepala daerah yang bersih,
berkualitas, berani, dan pro pemberantasan korupsi, yaitu partai politik, pemilih,
dan penyelenggara pemilihan. Mereka yang akan menentukan korupsi di daerah
makin marak atau mulai berkurang.

Partai politik dapat berperan memilih kandidat terbaik. Calon kepala


daerah yang mereka usung berasal dari hasil seleksi ketat sehingga tidak
menyulitkan pemilih untuk menentukan pilihan. Kekhawatiran munculnya dinasti
yang menjadi salah satu penyebab maraknya korupsi bisa dicegah oleh partai
dengan melakukan seleksi yang benar.

Peran pemilih, memilih kandidat terbaik yang diusung partai atau melalui
jalur perseorangan. Pertimbangan rasional yang dijadikan dasar membuat pilihan,
seperti rekam jejak, visi dan misi, serta program yang usung kandidat. Mereka
tidak menukar suara dengan uang atau barang. Sementara penyelenggara berperan
dengan menjaga agar proses pemilihan berlangsung jujur dan adil. Mereka tidak
memberi ruang bagi kandidat untuk melakukan kecurangan dan korupsi. Apalagi
terlibat dalam kecurangan, seperti memanipulasi hasil perhitungan suara.

Memang bukan hal mudah membuat petinggi partai, pemilih, dan


penyelenggara pada tingkat lokal untuk bersikap dan bertindak ideal. Karena itu,
harus ada pihak yang memulai untuk melakukan perubahan. Perubahan itu bisa
dari para ketua umum partai yang benar-benar mengawal proses penyaringan
kandidat kepala daerah. Pemerintah memperbaiki dalam hal aturan main pilkada,
dan masyarakat sipil dengan melakukan pemantauan pelaksanaan pemilihan.

Beberapa kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada langsung antara lain


sebagai berikut :
1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena
pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa
selama ini telah dilakukan secara langsung.

11
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945.
Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati
dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah
diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi
rakyat .Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat
yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur
bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai
nuraninya.
4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.
Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh
pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam
pilkada langsung 2015, maka komitmen pemimpin lokal dalam
mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan
aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi
kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional
amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta,
jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka
sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi
Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru
dari pilkada langsung ini.
Sedangkan kelemahan pilkada langsung diantaranyasangatbesarnya dana
yang dibutuhkan, membuka kemungkinan konflik elite dan massa, aktivitas rakyat
terganggu. Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan
penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon
seperti :

12
1. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap
pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat
yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat
diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan desa
Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut.
Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada
masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi
memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya
tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat
diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang.Jadi sangat rasional
sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang
banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
2. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh yaitu pegawai
pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah
satu calon. Hal ini sangat menyeleweng dari aturan pelaksanaan pemilu.
3. Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas aturan-aturan
yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti
pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon
yang merupakan kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai
daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati
pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain
itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon
menyampaikan visi misinya dalam acara tersebut padahal jadwal
pelaksanaan kampanye belum dimulai.
4. Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal
calon kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat masih
kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan

13
orang yang di sekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif
ini dapat mengarah pada munculnya fitnah yang dapat merusak integritas
daerah tersebut.

2.6 Peran Masyarakat Dalam Memberantas Korupsi

Otonomi daerah di negara kita telah banyak menciptakan kekuasaan.


Kekuasaan untuk mempersubur korupsi di tanah air. Tak dapat disangkal
bahwasanya sebuah kasus korupsi timbul karena adanya kesempatan dari sebuah
kekuasaan. Sehingga semakin banyak kekuasaan yg diciptakan oleh otonomi
daerah, maka semakin besar adanya korupsi. Selain itu, otonomi daerah yang
bertujuan untuk mempermudah segala akses hubungan antara pemerintah dengan
rakyat, justru menyebabkan kegiatan prosedural yang sulit dan memakan waktu
yang lama dikarenakan banyaknya kekuasaan-kekuasaan kecil yang harus dilewati
dalam prosedur tersebut, sehingga muncullah beberapa kesempatan untuk
melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Oleh karenanya, pemerintah haruslah benar-benar tegas dalam
menentukan sebuah kebijakan terhadap pencegahan timbulnya perbuatan korupsi
yang disebabkan oleh kebijakan otonomi daerah itu sendiri. Karena sebuah badan
pengawas ataupun para penegak hukum saja tidaklah cukup untuk memberantas
korupsi dinegara kita. Diperlukan juga sebuah sikap pemerintah yang sangat
bijaksana untuk membatasi tiap-tiap kekuasaan.
Dalam situasi yang demikian maka peran serta masyarakat menjadi
semakin penting. Peran serta yang dimaksudkan adalah partisipasi publik atau
keterlibatan masyarakat dalam mengontrol negara. Di samping untuk
melakukan chek and balances terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan,
juga dimaksudkan sebagai upaya mempertahankan kelangsungan pemerintah dari
ancaman delegitimasi publik.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara dinyatakan

14
bahwa yang dimaksud dengan peran serta masyarakat adalah peran aktif
masyarakat untuk ikut serta mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang dilaksanakan dengan mentaati
norma hukum, moral, dan sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara untuk mewujudkan
Penyelenggara Negara yang bersih dilaksanakan dalam bentuk:
1. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai
penyelenggaraan Negara
2. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara
Negara;
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
4. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
a. Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
b. Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peran serta masyarakat harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama
dan norma sosial lainnya. Masyarakat yang dapat berperan aktif melaksanakan
fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah adalah masyarakat yang
memiliki kesadaran hukum tinggi. Artinya, masyarakat mengetahui dan mengerti
aturan main dan perangkat-perangkat hukum yang diperlukan serta dapat
meyakinkan kelompok masyarakat yang lain, maupun aparat penegak hukum
terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi.

15
2.7 Transparansi Penegakan Hukum di Indonesia
Transparansi adalah suatu proses keterbukaan para pengelola manajemen
publik untuk membangun akses dalam proses pengelolaannya, sehingga arus
informasi keluar dan masuk dapat berimbang. Konsep Transparansi menurut
Peraturan Daerah (Perda) adalah, keadaan dimana setiap orang dapat mengetahui
proses pembuatan dan pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Selanjutnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pemerintahan
berarti lembaga atau orang yang bertugas mengatur dan memajukan negara
dengan rakyatnya. Tujuan transparansi pemerintahan adalah terjaminnya akses
masyarakat dalam berpartisipasi, terutama dalam proses pengambilan keputusan
bersama untuk kemajuan pembangunan.
Smith yang dikutip dalam Disertasi Arifin T mengemukakan, bahwa
proses transparansi meliputi:
 Standard procedural requirements (Persayaratan Standar Prosedur),
bahwa proses pembuatan peraturan harus melibatkan partisipasi dan
memperhatikan kebutuhan masyarakat.
 Consultation processes (Proses Konsultasi), Adanya dialog antara
pemerintah dan masyarakat
 Appeal rights (Permohonan Izin), adalah pelindung utama dalam proses
pengaturan. Standard dan tidak berbelit, transparan guna menghindari
adanya korupsi.
Dalam Good Gevernance, transparansi merupakan salah satu prinsip Good
Governance. Pengertian transparansi disini adalah segala keputusan yang diambil
dan penerapannya dibuat serta dilaksanakan sesuai koridor hukum dan peraturan
yang berlaku. Sementara dalam hhtp.www.transparansi.or.id Jurnal Masyarakat
Transparansi mengemukakan, bahwa transparansi dibangun atas dasar arus
informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan
informasi dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan serta informasi
tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau semua orang sebagai
bentuk pertanggung jawaban secara tidak langsung.

16
Diberi pengertian pula bahwa transparansi adalah keadaan dimana segala
bentuk aktifitas yang dilakukan dalam tataran pemerintahan bersifat terbuka dan
memberi kebebasan kepada semua pihak demi kemajuan, serta terpenuhinya hak
masyarakat dalam memberikan pendapat, saran dan kritikan membangun yang
dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sementara dalam buku yang diterbitkan Bappenas dan Depdagri, bahwa
Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap
orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni
informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaannya serta hasil-
hasil yang dicapai. Pengertian ini menunjukkan bahwa transparansi adalah adanya
kebijakan terbuka bagi pengawasan serta tersedianya informasi yang cukup,
akurat dan tepat waktu tentang kebijakan publik serta proses pembentukannya.
Adanya ketersediaan informasi seperti ini, masyarakat dapat sekaligus
mengawasi kebijakan publik yang ditetapkan sehingga memberikan hasil yang
optimal bagi masyarakat serta mencegah terjadinya kecurangan dan manipulasi
yang menguntungkan kelompok tertentu secara tidak proporsional
Pada dasarnya prinsip transparansi meliputi 2 aspek, yaitu :
 komunikasi publik oleh pemerintah, dan
 hak masyarakat terhadap akses informasi.
Transparansi paling tidak dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti:
1. mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi semua
proses-proses pelayanan publik.
2. mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang
berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses di dalam
sektor publik.
3. mekanisme yang memfasilitasi pelaporan, penyebaran informasi dan
penyimpangan tindakan aparat publik dalam kegiatan melayani
keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik.

17
2.7.1 Reformasi Sistem Penegakan Hukum Dan Pelayanan Publik Yang
Transparan Dan Akuntabel
Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dilakukan di
Indonesia bukanlah isu baru. Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disertai
dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, menunjukkan bahwa korupsi menjadi perhatian khusus bagi
negara.
Bahkan dalam consideran Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tersebut disebutkan bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa dimana
dampaknya akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.
Dalam melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK
dapat berkoordinasi dengan instansi lain, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 7 huruf e disebutkan
juga bahwa dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan TPK
b. Meminta Informasi Kegiatan pemberantasan TPK
c. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang
d. Meminta laporan mengenai pencegahan TPK
Selain melaksanakan tugas penindakan, KPK juga berperan aktif
dalam upaya-upaya pencegahan. Upaya pencegahan yang dilakukan KPK
menggandeng instansi terkait sebagai mitra dalam upaya percepatan
pemberantasan korupsi di Indonesia. Tidak hanya itu, KPK terlibat aktif dalam
kerjasama internasional dalam memberantas korupsi, termasuk

18
menjadi National Focal Point dalam review implementasi United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) serta pada Anti-Corruption
Working Group G-20.
KPK sebagaimana diamanahkan undang-undang telah melaksanakan
tugas pemberantasan korupsi baik melalui upaya pencegahan maupun
penindakan. Sejak awal berdirinya, KPK telah mendorong berbagai upaya
pencegahan korupsi bersama dengan lembaga eksekutif. Diantaranya adalah
bersama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi
Birokrasi berupaya mewujudkan berbagai strategi dalam mendorong
terciptanya Reformasi Birokrasi, mendorong terciptanya Zona Integritas
sehingga terciptanya Wilayah Bebas Korupsi serta bekerjasama dengan
Bappenas dalam upaya mewujudkan Strategi Nasional Pemberantasan
Korupsi yang diturunkan melalui berbagai Rencana Aksi Nasional
Pemberantasan Korupsi.
Fungsi koordinasi dan trigger mechanism yang dilakukan KPK selama
ini juga tercermin dalam Kegiatan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber
Daya Alam (GN SDA) yang melibatkan Kementerian/Lembaga dan
Pemerintah Daerah. Dalam kegiatan ini KPK mendorong pelaksanaan
berbagai rencana aksi dalam rangka mewujudkan transparansi dan tata kelola
yang baik di bidang Sumber Daya Alam.
Pada bidang penindakan, berbagai upaya telah dilakukan oleh KPK
bersama dengan penegak hukum lain baik dari Kepolisian maupun Kejaksaan.
Upaya tersebut dilakukan melalui penanganan perkara secara langsung
maupun dalam kerangka koordinasi dan supervisi. Dengan Mahkamah Agung,
KPK bersama dengan Lembaga Penegak Hukum lainnya mendorong
tersusunnya Peraturan Mahkamah Agung terkait Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi. Kerjasama ini merupakan kolaborasi yang sangat strategis dalam
rangka mendukung upaya penyelesaian perkara pidana yang melibatkan
korporasi yang selama ini terkesan sulit disentuh oleh hukum. Tidak
ketinggalan kerjasama dengan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia

19
bersama-sama dengan Universitas dan Komisi Yudisial, untuk mendorong
pelaksanaan peradilan yang transparan dan bersih dari korupsi.
Menyadari bahwa dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi,
perlu partisipasi dan peran semua elemen bangsa, baik eksekutif, legislatif
maupun yudikatif. Tidak ketinggalan dari unsur akademisi dan praktisi, juga
NGO sebagai kontrol sosial. Kerjasama diperlukan baik dalam maupun
dengan negara lain. Pelaksanaan kegiatan dan inisiatif yang dilakukan
tersebut, kiranya dapat disampaikan kepada masyarakat secara luas sebagai
salah satu bentuk pertanggungjawan atas amanah masyarakat.
Untuk itulah, dengan dilaksanakannya Konferensi Nasional
Pemberantasan Korupsi (KNPK) Tahun 2016, hendaknya dapat disampaikan
kepada masyarakat secara luas, upaya-upaya yang telah dilakukan negara
dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Pada agenda prioritas keempat Nawacita, yaitu “Menolak negara
lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas
korupsi, bermartabat dan terpercaya”, KPK mempunyai peran pada program
pencegahan dan pemberantasan korupsi karena berkaitan erat dengan
menurunnya tingkat korupsi serta meningkatkan efektivitas pencegahan dan
pemberantasan korupsi.
Arah kebijakan dan strategi yang ditetapkan dalam program tersebut
terdiri dari:
a. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Korupsi dengan
mengacu pada ketentuan United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC);
b. Penguatan Kelembagaan Dalam Rangka Pemberantasan Korupsi, yang
berkonsekuensi pada perlunya jaminan peraturan perundang-undangan
yang dapat menjamin kualitas penanganan kasus korupsi. Penguatan SDM
maupun dukungan operasional ini berlaku baik bagi KPK, maupun
Kepolisian dan Kejaksaan yang juga berwenang menangani kasus korupsi;

20
c. Optimalisasi peran KPK dalam menjalankan fungsi koordinasi dan
supervisi terhadap apgakum lain akan mendorong peningkatan kualitas
dan kuantitas penegakan hukum tipikor di Indonesia;
d. Meningkatkan Efektivitas Implementasi Kebijakan Anti-korupsi, melalui
optimalisasi penanganan kasus korupsi, mutual legal asisistance (MLA)
dalam hal pengembalian aset hasil tipikor, serta penguatan mekanisme
koordinasi dan monev Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi;
e. Meningkatkan Pencegahan Korupsi, dengan meningkatkan kesadaran dan
pemahaman anti-korupsi masyarakat maupun penyelenggara negara.
Pada KNPK Tahun 2016 yang dislenggarakan pada 23 November dan
1 Desember 2016 diharapkan dapat menjadi wadah diseminasi dan
pertanggungjawaban kementerian dan lembaga kepada publik atas upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi, serta menggambarkan peran
masyarakat sipil dalam rangka ikut mendukung upaya pemberantasan korupsi
di Indonesia selama tahun 2016.
Adapun tema yang diangkat dalam KNPK Tahun 2016 ini
diselaraskan dengan Nawacita Pembangunan nasional tahun 2015-2019 dan
rencana strategis KPK dalam Penegakan Hukum dan Pelayanan Publik,
dengan mengusung tema “Reformasi Sistem Penegakan Hukum dan
Pelayanan Publik yang Transparan dan Akuntabel”.
Selain itu, upaya mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia
juga perlu didorong oleh peran serta masyarakat secara terbuka dan
partisipatif. Penegakan hukum dan intervensi perbaikan sistem politik tidak
akan bermakna tanpa social enforcement yang melibatkan masyarakat. Agenda
peningkatan kesadaran publik terkait keberadaan, penyebab dan keseriusan
serta ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi pun mendesak dilakukan. Salah
satu forum multipihak yang telah digagas oleh masyarakat sipil bersama
pemerintah adalah Indonesia Anti-Corruption Forum atau IACF. Memasuki
forum penyelenggaran ke-5 tahun ini, forum ini telah menjadi ruang untuk
mempertemukan dan mengkonsolidasikan peran masyarakat sipil di dalam

21
upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. IACF telah dimulai sejak 2010
dengan melibatkan pemerintah, penegak hukum, lembaga pendidikan, media,
sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil. Adapun maksud
diselenggarakannya kegiatan ini adalah:
a. Sebagai wadah koordinasi dan diskusi terkait upaya dan inisiatif
stakeholder dalam mendukung Pemberantasan TPK.
b. Sebagai wadah penyelenggara negara untuk menyampaikan capaian dan
kinerja pemberantasan korupsi kepada masyarakat.
Kemudian tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai berikut:
a. Mendapatkan gambaran perkembangan kegiatan yang telah dilakukan oleh
Kementerian dan Lembaga, termasuk masyarakat sipil dalam mendukung
pemberantasan tindak pidana korupsi.
b. Memperkuat komitment dan kerjasama antara Kementerian/Lembaga serta
Penegak Hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia
c. Mendorong peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
d. Mendapatkan gambaran rencana tindak lanjut ke depan dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi di instansi masing-masing.

2.7.2 Arah Reformasi Penegakan Hukum


Saat ini iklim penegakan hukum tengah dilanda euforia reformasi
yang mengunggulkan transparansi dan akuntabilitas publik kepada
masyarakat luas tanpa menghiraukan masalah etika dan sopan santun, baik
secara personal maupun secara institusional. Reformasi diterjemahkan
sebagai “serba-terbuka” yang memiliki konotasi berbeda dengan
“transparansi” karena yang terakhir harus dilandaskan pada aturan hukum.
Tanpa aturan hukum, itulah yang dimaksudkan dengan “serba-terbuka”.
Fenomena negatif ini melanda bukan hanya lapisan masyarakat luas
yang konon sebagian besar belum melek hukum, tetapi telah pula menjangkiti
lapisan birokrasi yang sangat mengetahui aturan hukum yang berlaku dan
kode etik kelembagaan yang dimilikinya dan seharusnya ditaati. Akibat dari
kondisi serba-tidak jelasnya batas-batas mana yang “transparan” dan mana

22
yang “serba-terbuka”, mana yang beretika dan tidak, mana yang sopan dan
yang tidak santun, kondisi riil penegakan hukum tengah mengalami anomi
dan distorsi disusul dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pejabat
publik dan lembaga pemerintah yang semakin rendah.
Kemerosotan tingkat kepercayaan publik terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika itu disebabkan salah satunya lembaga
ini telah “dipasung” oleh kasus Bibit-Chandra yang diikuti penunjukan
pelaksana tugas (plt) pimpinan melalui peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perppu) yang kemudian bahkan ditolak DPR RI.
Penanganan kasus Century merupakan penyebab lain yang memicu
rendahnya kepercayaan publik terhadap KPK. Kepercayaan masyarakat,
khususnya ahli hukum, kepada KPK Jilid III terjadi pada peristiwa
pembatalan penetapan status tersangka BG dan HP oleh putusan praperadilan
yang mencerminkan kecerobohan KPK selama 17 tahun berkiprah
memberantas korupsi. Ini diperburuk dengan penetapan tersangka RJ Lino
dan beberapa tersangka lain yang telah berlangsung lebih dari satu tahun
tanpa kejelasan tindak lanjutnya. Ini jelas pelanggaran HAM.
Akan tetapi dengan Perubahan Undang-Undang KPK yang telah
setujui DPR pada 17 September 2019, peristiwa seperti itu tidak akan terjadi
lagi karena status tersangka lebih dari satu tahun harus dibebaskan. Dilema
penegakan hukum yang kini tengah dialami KPK adalah sering menjadi
“perantara” keinginan publik untuk menghukum atau tidak menghukum
seseorang yang diduga terlibat dalam perkara pidana. Imparsialitas, Integritas,
dan Akuntabilitas pejabat publik lembaga penegak hukum merupakan
conditio sine qua non terhadap tinggi rendahnya tingkat kepercayaan publik
terhadap lembaga dimaksud.
Melihat kondisi dilematis dalam penegakan hukum, kiranya patut kita
pertanyakan mengenai arah reformasi birokrasi yang telah dilaksanakan oleh
lembaga penegakan hukum saat ini. Pemerintah kehilangan arah reformasi di
bidang penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi, hanya
karena lembaga KPK yang mendominasinya telah menyimpang jauh dari

23
tujuan semula, yaitu penghukuman dan pengembalian kerugian negara tanpa
dilandasi balanced probability principle. Politik hukum pidana bertolak dari
doktrin yang membedakan antara tujuan mencapai keadilan retributif,
keadilan distributif, keadilan komutatif atau keadilan restoratif.
Model keadilan terakhir mengutamakan rekonsiliasi dan
menghindarkan persengketaan yang lebih mendahulukan konflik berdasarkan
prinsip cost and benefit ratio dan prinsip ultimum remedium. Ataukah
pemerintah memiliki komitmen sungguh-sungguh untuk menegakkan hukum
versi ajaran Kelsen yang menafikan kepentingan moral dan kesusilaan dalam
penegakan hukum kecuali hanya semata-mata bersumber pada hukum yang
lebih tinggi yang dijadikan dasar penegakan hukum?
Jika ajaran ini yang akan diikuti, konsekuensi logis bagi aparat
penegak hukum adalah hanya melihat fakta hukum semata-mata sebagai suatu
sistem norma (normative system) yang mengandalkan “aturan dan logika
(rules and logic) – (Roger Cotterrell, 2003). Jika pemerintah memiliki
komitmen penegakan hukum dengan berkiblat pada ajaran Roscou Pound
pragmatic legal realism yang menegaskan bahwa law as a tool of social
engineering atau “hukum merupakan sarana pembaruan masyarakat”
(Mochtar Kusumaatmadja), maka apakah hukum yang berlaku saat ini sudah
cukup memadai untuk membawa perubahan pandangan masyarakat ke arah
yang lebih maju atau sesuai dengan nilai peradaban modern?
Jika komitmen politik hukum (penegakan hukum) pemerintah adalah
agar hukum lebih mendekati kenyataan sosial atau hukum yang hidup dalam
masyarakat (Eugen Erlich), apakah pemerintah telah dapat meyakinkan
masyarakat luas tentang kebutuhan yang riil dan mendesak dari masyarakat
Indonesia saat ini dalam berbagai kehidupan sosial ekonomi? Atau apakah
pemerintah akan memelihara keragaman adat dan budaya setempat sebagai
salah satu alternatif solusi dari tegaknya kepastian hukum, keadilan, dan
kemanfaatan dalam kehidupan masyarakat?
Sudah tentu jika kerangka teoritik hukum masih melekat pada para
pengambil keputusan, baik pemerintah maupun badan legislatif, tampak

24
masih banyak jalan menuju Roma untuk solusi atas karut-marut pembentukan
undang-undang dan penegakan hukum di Tanah Air tercinta ini.
Fungsi dan peranan penegak hukum bukan lagi solusi dari masalah,
tetapi bagian dari masalah. Masyarakat luas terutama mereka yang paham
hukum mendambakan adanya suatu sikap politik pemerintah di bidang
pemberantasan korupsi yang memiliki visi dan misi yang jelas disertai
landasan pemikiran (teoretik dan praksis) di dalam berbagai bidang
kehidupan, terutama perekonomian, perbankan, perdagangan, dan penegakan
hukum (pidana), yang dapat menegakkan kedaulatan hukum negara RI.
Solusi dari kondisi tanpa arah yang jelas, baik dalam pembentukan
hukum maupun dalam penegakan hukum, seharusnya becermin pada tiga hal.
Pertama, mengingatkan para legislator dan eksekutif mengenai fungsi filsafat
hukum yang bercita-cita menempatkan hukum dalam tempat dan perspektif
yang tepat sebagai bagian dari usaha manusia menjadikan dunia ini suatu
tempat yang lebih pantas untuk didiaminya (Mochtar Kusumaatmadja, 1986).
Dalam konteks hukum di Indonesia fungsi filsafat hukum adalah
menghaluskan pemikiran tentang hukum bukan semata-mata sebagai sistem
norma semata-mata. Lebih dari itu ia merupakan sistem nilai (values system)
yang lebih hidup dan dinamis mengikuti perkembangan perubahan yang
terjadi di dalam masyarakat. Cermin kedua yang perlu diperhatikan oleh
legislator dan eksekutif adalah fungsi hukum harus dapat menciptakan
ketertiban, keteraturan, kedamaian, dan keharmonisan dalam kehidupan
masyarakat (fungsi integratif), terlepas dari topik undang-undang
direncanakan dan termasuk ke dalam agenda prolegnas.
Atas dasar inilah fungsi dan peranan harmonisasi serta sinkronisasi
perancangan setiap UU sangat menentukan apakah setelah pengesahan, UU
dimaksud memperoleh akseptabilitas yang tinggi atau rendah dari masyarakat
luas atau justru menciptakan konflik sosial atau konflik kelembagaan baru.
Cermin ketiga yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa
lembaga penegak hukum di Indonesia sejak dikeluarkannya UU Kepolisian,
UU Kejaksaan, dan UU Kekuasaan Kehakiman adalah representasi

25
kemandirian kelembagaan secara organisasi dan struktural satu sama lain.
Berlainan halnya dengan ketika di bawah hukum Hindia Belanda di mana
jaksa termasuk kekuasaan kehakiman di bawah Menteri Kehakiman dan
polisi merupakan pembantu jaksa.
Konsekuensi logis dari keberadaan UU organik di atas seharusnya
tidak ada lagi pemikiran subordinasiantar-kelembagaanpenegak hukum,
apalagi saat ini kontrol masyarakat dan kebebasan pers yang telah menguat
didukung oleh keberadaan Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan serta
Komisi Yudisial, telah terbukti lebih ampuh dan efektif ketimbang peranan
supervisi dan koordinasi antara instansi penegak hukum itu sendiri.
Sesungguhnya pemikiran subordinatif lebih mencerminkan “berburuk
sangka” daripada “berbaik sangka” antarlembaga penegak hukum. Hal ini
potensial memicu konflik kelembagaan dan meningkatkan arogansi sektoral
di antara lembaga tersebut. Penyusunan RUU HAP baru pengganti KUHAP
1981 seharusnya mempertimbangkan hal tersebut secara serius. Arah politik
penegakan hukum jauh lebih penting untuk ditetapkan daripada penegakan
hukum yang bersifat “instan” dan “adhoc” sehingga dalam jangka panjang
kita akan memperoleh suatu jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang
adil.
2.7.3 Upaya Meningkatkan Peran Penegak Hukum Untuk
Menumbuhkan Kesadaran Hukum Anggota Masyarakat.
Pelaksanaan hukum di dalam masyarakat selain tergantung pada
kesadaran hukum ma- syarakat juga sangat banyak ditentukan oleh aparat
penegak hukum, oleh karena sering terjadi beberapa peraturan hukum tidak
dapat terlaksana dengan baik oleh karena ada beberapa oknum penegak
hukum yang tidak melaksanakan suatu ketentuan hukum sebagai mana
mestinya. Hal tersebut disebabkan pe- laksanaan oleh penegak hukum itu
sendiri yang tidak sesuai dan merupakan contoh buruk dan dapat menurunkan
citra .Selain itu teladan baik dan integritas dan moralitas aparat penegak
hukum mutlak harus baik, karena mereka sangat rentan dan terbuka peluang

26
bagi praktik suap dan penyelahgunaan wewenang. Uang dapat mempengaruhi
proses penyidikan, proses penuntutan dan putusan yang dijatuhkan.
Dalam struktur kenegaraan modern, maka tugas penegak hukum itu
dijalankan oleh kom- ponen yudikatif dan dilaksanakan oleh birokra- si,
sehingga sering disebut juga birokrasi pe- negakan hukum. Eksekutif dengan
birokrasinya merupakan bagian dari bagian dari mata rantai untuk
mewujudkan rencana yang tercantum dalam (peraturan) hukum. Kebebasan
peradilan merupakan essensilia daripada suatu negara hukum saat ini sudah
terwujud dimana kekuasa- an Kehakiman adalah merdeka yang bebas dari
pengaruh unsur eksekutif, legislatif .serta ke- bebasan peradilan ikut
menentukan kehidupan bernegara dan tegak tidaknya prinsip Rule of Law.

2.7.4 Proses Penegakan Hukum Di Lingkungan Peradilan


Peradilan sebagai salah satu institusi pe- negak hukum, oleh
karenanya aktivitasnya ti- dak terlepas dari hukum yang telah dibuat dan
disediakan oleh badan pembuat hukum itu. Dalam hal ini ada perbedaan
peradilan dan pe- ngadilan, peradilan menunjukan kepada proses mengadili,
sedangkan pengadilan adalah me- rupakan salah satu lembaga dalam proses
ter- sebut, lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam proses mengadili adalah
kepolisian, kejaksaan dan advokat.
Berjalannya proses peradilan tersebut berhubungan erat dengan
substansi yang diadili yaitu berupa perkara perdata atau pidana, keterlibatan
lembaga-lembaga dalam proses peradilan secara penuh hanya terjadi pada saat
mengadili perkara pidana. Dalam perkembang- annya terbentuklah beberapa
badan peradilan dalam lingkup Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, Pengadilan perpajakan dimana
masing-masing mempunyai kewenangan untuk mengadili perkara sesuai
dengan kewenangan masing-masing peradilan tersebut.
Menurut hemat penulis peranan lembaga peradilan dalam
mewujudkan pengadilan yang mandiri, tidak dipengaruhi oleh pihak manapun,

27
bersih dan profesional belum berfungsi sebagai- mana yang diharapkan. Hal
tersebut tidak hanya disebabkan oleh:
a. Adanya intervensi dari pemerintah dan pe- ngaruh dari pihak lain
terhadap putusan pengadilan, tetapi juga karena kualitas
profesionalisme, moral dan akhlak aparat penegak hukum yang
masih rendah. Akibat- nya kepercayaan masyarakat terhadap lem-
baga peradilan sebagai benteng terakhir untuk mendapatkan
keadilan semakin me- nurun.
b. lemahnya penegakan hukum juga disebab- kan oleh kinerja aparat
penegak hukum lainnya seperti Hakim, Polisian, Jaksa, Advokat
dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang belum
menunjukan sikap yang profesional dan integritas moral yang
tinggi. Kondisi sarana dan prasarana hukum yang sangat
diperlukan oleh aparat penegak hukum juga masih jauh dari
memadai sehingga sangat mempengaruhi pelaksanaan penegak- an
hukum untuk berperan secara optimal dan sesuai dengan rasa
keadilan di dalam masyarakat.
Sebagai upaya untuk meningkatkan pem- berdayaan terhadap lembaga
peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya langkah- langkah yang perlu
dilakukan yaitu:
a. Peningkatan kualitas dan kemampuan apa- rat penegak hukum yang lebih
profesioanal, berintegritas, berkepribadian, dan bermoral tinggi.
b. Perlu dilakukan perbaikan–perbaikan sistem perekrutan dan promosi
aparat penegak hukum, pendidikan dan pelatihan, serta me- kanisme
pengawasan yang lebih memberikan peran serta yang besar kepada
masyarakat terhadap perilaku aparat penegak hukum.
c. Mengupayakan peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum yang
sesuai dengan pemenuhan kebutuhan hidup
Krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum disebabkan antara
lain karena masih banyaknya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan

28
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang belum tuntas penyelesaiannya
secara hukum.
Dalam rangka memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap
hukum, upaya yang harus dilakukan adalah :
a. Menginventarisasi dan menindak lanjuti secara hukum berbagai
kasus KKN dan HAM.
b. Melakukan pemberdayaan terhadap aparat penegak hukum,
khususnya aparat kepolisi- an, kejaksaan, pengadilan dan
masyarakat.
c. Pemberian bantuan hukum kepada masya- rakat yang tidak
mampu.
Adanya kekerasan horizontal dan vertikal pada dasarnya disebabkan
melemahnya pene- rapan nilai-nilai budaya dan kesadaran hukum masyarakat
yang mengakibatkan rendahnya kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan
timbulnya berbagai tindakan penyalahgunaan wewenang. Demikian juga
kurangnya sosialisasi.
peraturan perundang-undangan baik sebelum maupun sesudah
diterapkan baik kepada ma- syarakat umum maupun kepada penyelenggara
negara termasuk aparat penegak hukum. Upaya yang akan dilakukan adalah
dengan meningkat- kan pemahaman dan kesadaran hukum di semua lapisan
masyarakat terhadap pentingnya hak-hak dan kewajiban masing-masing
individu yang pada akhirnya diharapkan akan mem- bentuk budaya hukum
yang baik. Penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh keadaan dan interaksi
sosial yang terjadi dalam masyarakat, dapat dicantumkan dalam masyarakat
yang memelihara atau mengem- bangkan sistem hak-hak berdasarkan atas
status, atau suatu masyarakat dengan perbeda- an yang tajam antara “ the
have “ dan “the have no“, atau suatu masyarakat yang berada dalam
lingkungan kekuasaann otoriter, akan menempatkan sistem penegakan hukum
yang berbeda dengan masyarakat yang terbuka dan egaliter. Dengan kata lain
penegakan hukum yang benar dan adil ditentukan oleh kehendak dan

29
partisipasi anggota masyarakat, bukan semata-mata keinginan pelaku penegak
hukum.

2.7.5 Upaya Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak


Hukum Lainnya
Pemberdayaan peradilan dan lembaga penegak hukum bertujuan
untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap pe- ran dan
citra lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum seperti; Pengadilan,
Kejaksaan, Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lainnya (PPNS)
sebagai bagian dari upaya me- wujudkan upaya supremasi hukum dengan
dukungan hakim dan aparat penegak hukum lainnya yang profesional,
berintegritas dan ber- moral tinggi.
Dalam rangka mewujudkan Penegakan Hukum dilingkungan
peradilan demi terciptanya lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh
penguasa maupun pihak lain dengan tetap mempertahankan prinsip cepat,
sederhana dan biaya ringan hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
a. Meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan
untuk me- mudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan
dan pembenahan ter- hadap sistem manajemen dan administrasi peradilan
secara terpadu.
b. Menyususn sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat dan
pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi dengan me- megang
asas kompetensi, transparansi, dan partisipasi baik bagi hakim maupun
bagi aparat penegak hukum lainnya.
c. Meningkatkan kesejahteraan hakim dan apa- rat penegak hukum lainnya
seperti jaksa, Polisi dan PNS melalui peningkatan gaji dan tunjangan-
tunjangan lainnya sampai dengan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup
yang disesuaikan dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab kerja
yang dibebankan.

30
d. Menunjang terciptanya sistem peradilan pi- dana yang terpadu melalui
sinkronisasi per- aturan perundang-undangan yang mengatur tugas dan
wewenang hakim dan aparat penegak hukum lainnya.
e. Meningkatkan peran Advokat dan Notaris melalui optimalisasi standar
kode etik di lingkungan masing-masing.
f. Menyempurnakan kurikulum dibidang pen- didikan hukum guna
menghasilkan aparatur hukum yang profesional, berintegrasi dan
bermoral tinggi.
g. Meningkatkan kualitas hakim dalam melaku- kan penemuan hukum baru
melalui putusan- putusan pengadilan (yurisprudensi) yang digunakan
sebagai dasar pertimbangan hukum, yang dapat digunakan oleh aparat
penegak hukum dilingkungan peradilan.
h. Meningkatkan pembinaan terhadap integritas moral, sikap perilaku dan
pemberdayaan ke- mampuan dan kerterampilan aparat penegak hukum.
i. Mengembangkan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar
pengadilan atau Alternative Dispute Resolution (ADR) dan dengan
memperbaiki upaya perdamaian di Pengadilan.
j. Meningkatkan mekanisme pertanggungja- waban lembaga pengadilan
kepada publik, kemudahan akses masyarakat untuk mem- peroleh putusan
pengadilan dan publikasi mengenai ada tidaknya perbedaan pendapat di
antara majelis hakim terhadap setiap pengambilan keputusan.
k. Melakukan pembinaan pemasyarakatan baik pembinaan di dalam maupun
di luar lembaga pemasyarakatan, agar bekas warga binaan dapat kembali
hidup normal di dalam masyarakat.
Negara Indonesia sebagai negara hukum tentang adanya kebebasan
peradilan telah di jamin sebagimana tersebut dalam Undang- undang Dasar
1945 hasil Amandemen dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan Kehakiman menurut UUD 1945
merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
dan Badan Peradilan dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
untuk menyeleng- garakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.

31
Perubahan UUD Dasar RI 1945 telah membawa perubahan penting terhadap
pe- nyelenggaraan kekuasaan kehakiman Undang- undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentu- an-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman telah
diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 1999 dan kemudian dirubah lagi
menjadi UU Nomor 4 Tahun 2006.

32
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan upaya untuk
mencapai ketertiban dan keadilan dalam penegakan hukum telah ada perubahan
dan perbaikan dari sistem per- adilan itu sendiri, serta upaya meningkatkan
sumber daya manasia dan pemberdayaan lem- baga peradilan dan lembaga
penegak hukum lainnya (Kepolisian dan Kejaksaan) serta adanya partisipasi
masyarakat demi mewujudkan hu- kum yang berkeadilan dan mengayomi masya-
rakat.

33
DAFTAR PUSTAKA

Juwono, Hikmahanto. 2006. Penegakan Hukum Dalam kajian Law and


Development: Pro- blem dan Fundamen bagi Solusi di Indonesia. Varia
Peradilan No. 244, Jakarta;
Manan, Bagir. 2005. Penegakan Hukum Yang Berkeadilan. Varia Peradilan
No.241, Jakarta;
-----------.2007. Persepsi Masyarakat Mengenai Peradilan yang Baik. Varia
Peradilan No.258, Jakarta;
Rahardjo, Satjipto. 1983. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis.
Bandung: Sinar Baru;
Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: Rajawali Pers;
Sutiyoso, Bambang. 2004. Aktualita Hukum Dalam Era Reformasi. Jakarta:
Rajawali- Pers.

Perundang – undangan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Perencanaan
Pembangunan Nasional
Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tantang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
Undang–Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

34

Anda mungkin juga menyukai