DOSEN PENGAMPU :
DISUSUN OLEH:
KARMILA 150563201080
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada allah subhanahuwata’ala atas rahmat dan karunia yang
telah di berikan kepada kami, sehingga tugas makalah yang berjudul
“Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam Perspektif State/Society” ini dapat
kami selesaikan dengan baik.
Makalah ini di maksud untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Otonomi
Daerah. Hasil pendidikan yang bermutu adalah mahasiswa yang sehat ,mandiri,
berbudaya, berahlak mulia, beretos kerja, berpengetahuan dan mengusai
teknologi, serta cinta tanah air.
Kami berharap semoga makalah ini akan bermanfaat bagi yang membaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui tentang konsep desentralisasi politik dan
desentralisasi administrasi
2. Untuk mengetahui tentang desentralisasi dan otonomi daerah
dalam perspektif state / society relation
3. Untuk mengetahui tentang dinamika desentralisasi di Indonesia
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
hierarchy, which could be one of government within a state, or offices
within a large organisation.” Poin penting yang menarik untuk digaris
bawahi di sini adalah bahwa Smith juga mendudukkan ide devolution of
power sebagai substansi utama desentralisasi, kendati devolusi kekuasaan
yang dimaksud tidak hanya dibatasi pada struktur pemerintahan.
Pada sisi lain, perspektif desentralisasi administrasi lebih
menekankan definisi desentralisasi sebagai delegasi wewenang
administratif (administrative authority) dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Rondinelli and Cheema, misalnya, mengatakan:
Decentralisation is the transfer of planning, decision-making, or
administrative authority from central government to its field
organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal
organisations, local government, or non-government organisations.
Perbedaan kedua perspektif dalam mendefinisikan desentralisasi, tidak
dapat dihindari, berimplikasi pada perbedaan dalam merumuskan tujuan
utama yang hendak dicapai.
Prespektif desentralisasi politik mendefinisikan desentralisasi
sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Devolusi atau desentralisasi politiklah yang lebih dapat
menciptakan pola hubungan yang lebih demokratis baik khususnya antara
pemerintah dan daerah sebagai institusi formal dibawahnya. Devolusi juga
dapat meningkatan peran pemerintah lokal dalam berbagai bidang,
khususnya dalam rangka menjaga keseimbangan ekonomi, sosial dan
politik di daerah, serta juga dapat lebih meningkatkan partisipasi warga
negara untuk ikut menentukan arah berbagai kebijakan yang akan
diputuskan dan di implementasikan. Secara umum, perspektif
desentralisasi politik lebih menekankan tujuan yang hendak dicapai pada
aspek politis, antara lain: meningkatkan keterampilan dan kemampuan
politik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, serta
mempertahankan integrasi nasional. Desentralisasi politik atau devolusi
memiliki system kewenangan yang diharapkan adalah pelimpahan seluas-
4
luasnya atas kebijaksanaan politik yang dalam pola tata negara dan
administrasi pemerintah yang bersifat bertanggungjawab. Agar
desentralisasi politik dapat dijalankan dengan baik diperlukan
pengembangan dan penerapan system pertanggungjawaban yang tepat,
jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat berdaya
guna dan berhasil guna, bersih dan bertangungjawab serta bebas dari
korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam formulasi yang lebih rinci, Smith (dalam syarif, 2008:3-5)
membedakan tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional
(pemerintah pusat), dan dari sisi kepentingan pemerintah daerah.
1. Kepentingan Nasional
5
menciptakan stabilitas politik). Para pendukung dari tujuan
desentralisasi yang ketiga ini percaya bahwa melalui kebijakan
desentralisasi akan terwujud kehidupan sosial yang harmonis dan
kehidupan politik yang stabil.
2. Kepentingan Pemerintah Daerah
Dari sisi kepentingan pemerintah daerah, tujuan pertama
desentralisasi adalah untuk mewujudkan political equality. Melalui
pelaksanaan desentralisasi diharapkan akan lebih membuka
kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas politik di tingkat lokal. Masyarakat di daerah, dapat
dengan elegan mempraktikkan bentuk-bentuk partisipasi politik,
misalnya menjadi anggota partai politik dan kelompok
kepentingan, mendapatkan kebebasan mengekspresikan
kepentingan, dan aktif dalam proses pengambilan kebijakan.
Tujuan kedua desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah
daerah adalah local accountability. Melalui pelaksanaan
desentralisasi diharapkan dapat tercipta peningkatan kemampuan
pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak komunitasnya,
han daerahyang meliputi hak untuk ikut serta dalam proses
pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan di daerah,
serta hak untuk mengontrol pelaksanaan pemerinta Tujuan ketiga
desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah local
responsiveness. Asumsi dasar dari tujuan desentralisasi yang
ketiga ini adalah: karena pemerintah daerah dianggap lebih
mengetahui berbagai masalah yang dihadapi komunitasnya,
pelaksanaan desentralisasi akan menjadi jalan terbaik untuk
mengatasi masalah dan sekaligus meningkatkan akselerasi
pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.
Bagaimana halnya dengan tujuan desentralisasi menurut
perspektif desentralisasi administrasi (administrative
decentralisastion perspective)? Secara singkat dapat dikatakan
6
bahwa perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan
pada aspek efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan ekonomi didaerah sebagai tujuan utama
desentralisasi.
2.2 Desentralisasi dan otonomi daerah dalam perspektif state / society relation
7
Tujuan akhir yang hendak dicapai, dalam hal ini, tidak lain adalah
demokratisasi, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dengan kerangka
berfikir seperti ini, maka sulit dipungkiri bila kemudian persepektif state /
society relation cenderung tidak memisahkan antara konsep dan
implementasi kebijakan desentralisasi dengan sistem politik dan / atau tipe
rezim yang sedang berkuasa.
8
satu arah. Kalaupun terdapat dinamika dalam proses pengambilan
keputusan, misalnya namun hal tersebut lebih banyak diwarnai oleh
kompetensi kepentingan, koalisi, kompromi, atau bahkan
“perselingkuhan” antar segelintir elit didalam negara atau (state
actors).
Desentralisasi, baik konsep maupun implementasinya, yang
lahir dan dibidani oleh rezim otoriter, sulit dipungkiri akan banyak
dipengaruhi oleh sifat dasar “induknya”. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa disentralisasi dalam rezim yang otoriter lebih
banyk diinisiasi oleh pihak state,atau untuk lebih spesifiknya oleh
pemerintah pusat. Dominasi peran pemerintah pusat, dalam hal ini
tidak hanya terjadi dalam proses perumusan kebijakan
disentralisasi, tetapi juga dalam mengontrol pelaksanaan kebijakan
itu sendiri. Pada sisi lain, masyarakt (society) cenderung
dipinggirkan atau lebih diposisikan sebagai objek kebijakan
desentralisasi. Dengan demikian, interkasi dua arah antara state dan
society dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi
kebijakan di daerah, praktis dan tidak terjadi.
3. Desentralisasi dan pola interaksi state/society pada periode transisi.
Pada priode transisi menuju demokrasi, sifat dasar dari
rezim otoriter seperti dikemukakan diatas, tentunya belum secara
total dapat dihilangkan. Kendati, salah satu tuntutan reformasi
politik itu sendiri mengharuskan adanya perluasan peran society,
namun dalam banyak hal state relatif mendominasi proses
pengambilan keputusan nasional, atau bahkan dalam kasus-kasus
tertentu, dapat memaksakan kehendaknya. Diperbesarnya peluang
bagi partisipasi masyarakat sebagai bagian dari tuntutan reformasi
politik harus diakui, telah memberi nuansa baru, bagi pola interaksi
antara state dan society pada periode transisi menuju demokrasi.
Selain dari itu, dan hal ini menjadi penting untuk dicatat bahwa
salah satu impilikasi dari perluasan partisipasi masyarakat pada
9
periode transisi menuju demokrasi adalah semakin transparannya
kompetisi kepentingan antar elit massa kecenderungan ini tentunya
mudah dipahami, karena society dalam arti civil society itu sendiri
belum siap untuk berperan, maka dapat di mengerti bila kemudian
peluang partisipasi masyarakat pada priode transisi menuju
demokrasi telah lebih dimanfaatkan banyak ditangkap dan
dimanfaatkan oleh elit massa. Secara umum, dapat dikemukakan
sedikitnya ada 3(tiga) karakteristik utama dari praktik
desentralisasi pada prioede transisi menuju demokrasi.
Pertama, dominasi peran pemerintah pusat dalam proses
kperumusan kebijakan desentralisasi mulai berkurang. Namun
demikian, perlu ditegaskan disini, bahwa pengurangan dominasi
peran pemerintah pusat tersebut lebih dalam dimensi kuantitas
(bukan dalam dimensi kualitas). Ini berarti secara implisit
mengisyaratkan bahwa pemerintah pusat masih tetap dapat
memaksakan kepentingannya, kendati hal tersebut dilakukan dalam
kemasan demokrasi, dan diperjuangkan melalui proses politik
informal.
Kedua, pendekatan dalam implementasi kebijakan
desentralisasi mulai bergeser dari pola lama yang bersifat monolitik
dengan semangat top-down kearah pola baru yang bersifat holistic,
dengan semangat bottom-up. Salah satu konsekuensi logis dari
adanya pergeseran pendekatan implementasi kebijakan
desentralisasi ini, maka pemerintah daerah mulai diberi
keleluasaan, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam
implementasi kebijakan sejauh tidak “melanggar” kepentingan
pemerintah pusat.
Ketiga, masyarakat (society) tidak lagi sepenuhnya
terpinggirkan dalam implementasi kebijakan desentralisasi, tetapi
mulai diikutsertakan baik dalam proses pengambilan keputusan
maupun dalam pelaksanaan kebijakan di daerah. Dengan demikian,
10
barang kali tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pola interaksi
antara state dan society dalam implemetasi kebijakan desentralisasi,
lebih berkarakterkan interaksi antara elit penguasa (state actors)
dan elit massa (society actors).
2.3 Dinamika Desentralisasi di Indonesia
Bahwa periode Orde Baru Indonesia dilabeli sebagian besar
pengamat sebagai negara yang dipimpin rezim otoriter adalah kenyataan
yang sulit diingkari. Sedikitnya tercatat 5 (lima) model pendekatan yang
digunakan para pengamat dalam menjelaskan pola interaksi state society
pada dekade pemerintahan rezim otoriter Soeharto.(syarif, 2008:13-14)
1. Pertama, oleh R. O’G (syarif, 2008:13-14). Anderson disebut sebagai
model state-qua state. Anderson adalah salah satu penulis yang
menganalisa karakteristik dari state-society relation di Indonesia pada
periode Orde Baru dikaitkan dengan karakteristik pemerintahan pada
masakolonial. Berangkat dari asumsi dasar bahwa rezim kolonial
secara keseluruhan mengabaikan atau menekan aspirasi (interests)
masyarakat, Anderson menyimpulkan bahwa pola state-society
relation pada periode Orde Baru memiliki karakteristik dasar yang
sama dengan pola state-society relation pada masa kolonial, yakni
dominannya peran state dan diabaikannya peran society dalam proses
pengambilan keputusan (policy formulation). Hampir semua kebijakan
nasional, tegas Anderson, adalah refleksi dari the state interests
daripada refleksi dari societal and extra state interests.
2. Model kedua yang digunakan dalam upaya menganalisa pola state-
society relation pada periode pemerintahan rezim Soeharto adalah
bureaucratic polity and patrimonial cluster. Menurut Jackson (syarif,
2008:13-14), kendati ‘baju’ dari pemerintahan di Indonesia telah
berubah dari Orde Lama ke Orde Baru, namun sejak dekade
Demokrasi Parlementer berakhir. polastate-society relation di
Indonesia tetap berkarakteristikan bureaucratic polity.
11
3. Model ketiga adalah bureaucratic authoritarian. Dengan modifikasi,
King menggunakan model ini dalam memahami pola state-society
relation di Indonesia. Di antara modifikasi yang dilakukan King adalah
dengan memasukkan peran state corporatism, yaitu unit-unit instrumen
(organisasi) yang dibentuk oleh state dengan tujuan meregulasi
mekanisme partisipasi masyarakat. Menurut King (syarif, 2008:13-14),
state-corporatism merupakan pendekatan yang paling relevan dalam
memahami bagaimana Orde Baru telah meregulasi, untuk tidak
mengatakan ‘menekan’, partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan
4. Model yang keempat adalah bureaucratic pluralistic. Model ini
digunakan oleh Emerson (syarif, 2008:13-14) dalam menganalisa
peran dari ‘birokrat-militer’ dan ‘birokrat-sipil’ dalam proses
pengambilan keputusan untuk berbagai kebijakan nasional di Indonesia
pada periode rezim Orde Baru. Dari hasil analisanya, Emerson
kemudian merumuskan beberapa kesimpulan, 2 (dua) yang menarik
untuk digarisbawahi adalah: (1) There is no a departmental
administration that was totally dominated by military officials, (2)
Suharto’s commitment to internal security and economic growth is
reflected not only in careful military control of the most security-
connected parts of bureaucracy, but also in willingness for the nation’s
economic growth mainly in civilian hands.
5. Model kelima, diberi lebel oleh MacIntyre (dalam syarif, 2008:13)
dengan sebutan restricted pluralism model, dan tokoh yang melahirkan
model ini adalah Liddle Bila empat model sebelumnya cenderung
bertumpu pada argumen bahwa proses pengambilan keputusan atas
kebijakan nasional sangat dimonopoli oleh state actors, maka
restricted pluralism model berargumen: memang diakui state-actors
memainkan peran utama, namun pada tingkat-tingkat tertentu masih
terdapat ‘ruang’ bagi extra state-actors untuk mempengaruhi proses
pengambilan keputusan pada tingkat nasional.
12
Contohnya, Kuntjara Jakti, misalnya, menyebutkan bahwa kebijakan
desentralisasi di Indonesia pada periode Orde Baru cenderung bergerak
antara dua kutub, yaitu antara kutub desentralisasi pada satu sisi dan
sentralisasi pada sisi yang lain. Namun, kecenderungan untuk mengayun
ke kutub sentralisasi tampak lebih besar daripada ke kutub desentralisasi.
Ada beberapa alas an mendasar tentang mengapa kecenderungan ini
terjadi. Secara politis, tulis Kuntjara Jakti, hal tersebut sangat erat
kaitannya dengan isu stabilitas politik dan ketahanan nasional. Sedangkan
alasan ekonomi, kecenderungan sentralisasi tersebut berkaitan dengan
kehadiran model Neo-Keynisian yang telah digunakan oleh para teknokrat
dalam ‘mendesain’ kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru. Model
ini, tak dapat dipungkiri memang lebih menghendaki sentralisasi.
Sementara, Michael Morfit mengkaji keterkaitan antara kebijakan
desentralisasi rezim Orde Baru dengan peningkatan kewenangan
pemerintah daerah. Berdasarkan hasil kajiannya, Morfit mencatat
sedikitnya ada dua kendala mendasar desentralisasi di Indonesia ketika itu.
Pertama, ia sebut administrative and legal ambiguities. Persoalan ini, tulis
Morfit, ditunjukkan oleh ketidakjelasan pembagian tugas dan fungsi antara
dinas-dinas daerah dan instansi-instansi vertikal pemerintah pusat (Kanwil
dan Kandep) yang ditempatkan di daerah. Peran dari instansi-instansi
vertikal pemerintah pusat cenderung lebih dominan dibandingkan peran
dinas-dinas daerah. Kendala kedua adalah kemampuan keuangan
pemerintah daerah yang sangat tidak memadai, terutama untuk mendukung
anggaran pembangunan. Akibatnya, pemerintah daerah selalu
mengandalkan alokasi dana dari pemerintah pusat, yang justru
mengekalkan ketergantungan terhadap pemerintah pusat.
Fenomena semakin maraknya praktik KKN seiring implementasi
kebijakan desentralisasi merupakan salah satu konsekuensi logis dari
disorientasi pemahaman konsep desentralisasi (lihat karakteristik kedua
desentralisasi pada periode transisional). Hal ini juga dapat dipahami
13
sebagai salah satu implikasi dari pola interaksi antara state dan society di
tingkat lokal yang bersifat poliarki (lihat karakteristik yang ketiga).
Sementara, sikap pemerintah pusat yang setengah hati dalam mendukung
implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dapat
diartikulasi sebagai indikasi masih cukup kuatnya posisi tawar pemerintah
pusat atas daerah, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun
dalam implementasi kebijakan desentralisasi (lihat karakteristik pertama).
14
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Dengan adanya konsep desentralisasi menurut perspektif state-
society relation, konsep yang direkonstruksi menjadi sebuah konsep
yang baru. Keberadaan perspektif ini dapat menciptakan hubungan
pemerintah (state) dan masyarakat (society) yang sedemikian rupa
sehingga tercipta interaksi yang dinamis diantara keduanya.
Bagi perspektif state-society relation, baik tujuan politik
maupun tujuan administrasi adalah sama penting. Perbedaannya lebih
terletak pada metode dan tekanan prioritas untuk mencapai tujuan.
Karena itu tujuan desentralisasi pada rekonstruksi konseptual yang
dibangun lebih diformulasikan menurut kepentingan nasional dan
daerah. Dari sisi kepentingan nasional tujuan desentalisasi meliputi
memperkuat integrasi dan pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat. Dari segi kepentingan daerah tujuan desentralisasi adalah
mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal, meningkatkan pelayanan
publik, dan menciptakan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
pemerintah.
3.2.Saran
1) Dilihat dari permasalahan desentralisasi yang terjadi, secara konsep
perspektif State-society relation memiliki maksud yang baik, tetapi
pelaksanaannya tidak terlihat baik sampai saat ini. Pemerintah
harus lebih berani melepaskan diri dari ketergantungan dari
kebijakan-kebijakan desentralisasi rezim otoriter.
2) Tujuan dari perspektif state-society relation sebenarnya sederhana
yaitu menciptakan hubungan pemerintah dan masyarakat yang
15
dinamis. Namun tidak adanya kontrol terhadap perspektif ini
membuat tujuannya jadi tidak tercapai. Masyarakat harusnya lebih
ikut berperan aktif untuk penerapan desentralisasi menurut
perspektif state-society relation ini.
16
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal:
Fathur Rahman, 2012, Desentalisasi Fiskal dan Minimnya Pembangunan di
Indonesia, jurnal AKP, Vol.1 ,No.2
Hendra Kusuma, 2016, Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi di
Indonesia,jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan,Vol.9,No.1
Purwo Santoso, 2010, Jurnal Desentralisasi, Vol.8 ,No.5
Syarif hidayat, 2008, Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif
State-Society Relation,jurnal Poelitik,Vol.1,No.1
Wasisto Raharjo Jati, 2012, Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah Di
Indonesia: Dilema Sentralisasi Atau Desentralisasi, jurnal Konstitusi,
Vo.9, No.4