Anda di halaman 1dari 14

MENGOKOHKAN IDEOLOGI PANCASILA

MENYONGSONG GENERASI Z – ALPHA1


Oleh Prof. Dr. Moh. Mahfud MD2

Saya mengucapkan terimakasih kepada Pimpinan Universitas


Soegiyopranoto atas undangan kepada saya untuk menyampaikan
kuliah umum tentang relevansi Ideologi Pancasila dalam
menyongsong era pasca Generasi Milenial yakni Generasi Z – Alpha.

Sampai saat ini terbukti bahwa Pancasila sudah berakar kokoh di


lubuk hati sanubari bangsa Indonesia karena selalu bertahan dan
menang dan perkembangan‐perkembangan yang mengancamnya.
Pancasila pernah diperdebatkan secara resmi untuk diganti dengan
ideologi lain tetapi Pancasila tetap menang. Pernah juga dilawan
dengan kekuatan bersenjata dan pemberontakan ternyata juga
Pancasila menang sehingga pernah disebut sebagai azimat yang
memiliki kesaktian.

Saat ini tantangan terhadap eksistensi Pancasila dan tentunya juga


terhadap kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
juga terus bermunculan. Saat ini ada ideologi lain yang coba
dilawankan dengan Pancasila sementara perkembangan masyarakat
dari generasi ke generasi membawa tantangannya sendiri. Saat ini
generasi kita sedang didominasi oleh generasi milenial yang akan
segera disusul oleh generasi Z dan generasi Alpha yang tantangannya
akan jauh lebih besar.

Marilah kita jelajahi dulu sejarah pertumbuhan dan perkembangan


serta nilai‐nilai filosofis dan ideologis Pancasila untuk kemudian
memproyeksikannya ke masa depan.

1 Disampaikan pada Kuliah Umum di Universitas Soegiyopranoto, Semarang,


Senin tanggal 8 Oktober 2018.
2 Guru Besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum UII, Yogyakarta; Ketua

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia periode 2008‐2013; Ketua Badan


Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

1
Relevansi Ideologi Bagi Kita

Menghadapi perkembangan zaman dan perubahan tantangan dan
perilaku dari generasi ke generasi menimbulkan pertanyaan, apakah
iseologi masih diperlukan. Apakah ideologi ada gunanya? Sebenarnya
pertanyaan atau sikap skeptis terhadap ideologi bukanlah soal baru.
Pada tahun 1961 Daniel Bell telah menulis buku “the End of Ideology”
yang mendalilkan bahwa sebenarya ideologi itu tidak ada gunanya
lagi karena ideologi apa pun tidak pernah ada yang bisa menepati
janji. Tetapi meskipun buku Daniel Bell itu banyak didiskusikan
dalam wacana tentang sejarah sosial nyatanya ideologi masih sangat
berperan. Masyarakat tentu masih belum lupa bahwa setelah buku
Bell beredar luas masih terjadi perang ideologi antara liberal‐
kapitalisme (Barat) dan komunisme (Timur) yang bertarung dalam
perang dingin selama puluhan tahun. Perang dingin antara
kapitalisme dan komunisme (yang diwakili oleh dua negara
superopwer USA dan Uni Soviet) baru berakhir ketika pada tahun
1989 Uni Soviet runtuh dan bubar. Setelah runtuhnya Uni Soviet itu
muncul dominasi kapitalisme dan pasar besar sehingga Francois
Fukuyama menulis buku “the End of History” yang mendalilkan
bahwa dengan berakhirnya perang dingin antara USA dan Uni Soviet
maka satu‐satunya ideologi yang akan mengglobal dan
mempengaruhi seluruh dunia adalah kapitalisme. Kapitalisme tidak
akan tertandingi dan akan masuk ke seluruh dunia dengan ide pasar
bebas sehingga tidak akan ada lagi perang ideologi. Tetapi pada
tahun 1997 Samuel P. Huntington menulis buku yang sangat luas
didiskusikan yakni buku “the Clash of Civilizations” yang berbicara
tentang perang peradaban. Menurut Huntington berakhirnya perang
dingin anrara kapitalisme dan komunisme tidak lantas dunia
menjadi tenang dari perang. Yang akan terjadi berikutnya adalah
perang peradaban, perang antara Barat dan Timur. Dari dunia Islam
di belahan timur dunia akan muncul radikalisme dan terrorisme yang
berhadapan dengan peradaban Barat. Bagaimana ideologi negara
memainkan peran dalam menghadapi arah dan situasi baru
masyarakat dunia tersebut?

2
Kita harus yakin bahwa Pancasila sebagai ideologi negara akan tetap
sangat dibutuhkan dalam mennghadapi situasi yang mengancam
perdamaian dan kemanusiaan. Pancasila sebagai ideologi bukan
hanya berisi seperangkat nilai tentang ekonomi dan politik seperti
yang banyak diperdebatkan tetapi juga merupakan pemberi arah
jalan tengah atau prismatika untuk membangun kedamaian di
anatara manusia sekaligus mengikat kebersatuan kita sebagai
bangsa. Dalam menghadapi berbagai situasi itu Pancasila jusetru
semakin dibutuhkan karena ia merupakan kristalisasi dari nilai‐nilai
budaya adiluhung yang dihayati selama berabad‐abad. Marilah kita
lihat peran subtansial Pancasila sebagai dasar ideologi negara.

Merdeka dengan kekuatan sendiri
Kita dapat mengatakan bahwa Indonesia adalah satu‐satunya bangsa
dan negara yang merdeka dengan kekuatan sendiri, yakni, “bersatu”
mengusir penjajah (kolonialisme) yang menguasainya selama
berabad‐abad. Berbeda dengan negara‐negara lain yang menjadi
negara karena menindas dan merampas dari penduduk asli atau
karena diberi kemurahan (hadiah kemerdekaan) oleh negara yang
menjajahnya atau karena penguasaan sepihak yang turun temurun.
Indonesia merdeka atas kekuatan sendiri dengan pengorbanan jiwa
dan raga putera‐puteri dan para pahlawannya.

Memang, menurut sejarah, semula Jepang menjanjikan akan
memberi kemerdekaan kepada Indonesia dengan terlebih dahulu
membentuk panitia perancang konstitusi yakni Badan Penyelidik
Usaha‐usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Badan yang mulai
bersidang tanggal 29 Mei 1945 ini dinyatakan selesai tugasnya dan
dibubarkan pada tanggal 7 Agustus 1945 untuk selanjutnya diganti
dengan badan baru yang tugasnya melakukan pemindahan
kekuasaan (meresmikan kemerdekaan) yakni Panitia Persiapan
Kemerdekaan (PPK). Pada tanggal 9 Agustus 1945 tiga tokoh
Indonesia yakni Soekarno, Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat
dipanggil ke Dalat (Vietnam) untuk menghadap penguasa tertinggi
pemerintahan penjajahan Jepang untuk Asia Tengaran yakni Jenderal
Terauchi. Ketiga tokoh Indonesia itu dipanggil mengahadap Jenderal
Terauchi untuk mendapat pemberitahuan bahwa Indonesia akan

3
segera diberi kemerdekaan dan Kaisar Tenno Haika akan
menyerahkannya di Tokyo. Ada pun hari dan tanggalnya akan
ditentuka oleh rapat PPK tanggal 18 Agustus 1945 dengan ancar‐
ancar sekitar 22 – 24 Agustus 1945. Dengan sukacita mereka bertiga
menyampaikan kabar itu kepada tokoh‐tokoh Indonesia lain melalui
telegram sebelum pulang ke Indonesia. Setiba di Indonesia, pada
tanggal 14 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta didatangi oleh
beberapa pemuda yang memintanya agar dalam situasi perang dunia
saat itu Indonesia segera menyatakan kemerdekaannya. Bung Karno
dan Bung Hatta menolak karena keduanya sudah berjanji akan
menerima pemberian kemerdekaan dari Kaisar Tenno Haika yang
akan mengumumkannya dari dari Tokyo antara tanggal 22 ‐ 24
Agustus 1945. Anak‐anak muda itu tetap mendesak Bung Karno dan
Bung Hatta untuk menyatakan kemerdekaan sebelum jadwal yang
dijanjikan oleh pemerintah penjajahan Jepang dengan alasan secara
hukum internasional Jepang yang sudah kalah dalam perang tidak
bisa memberikan kemerdekaan sehingga kemerdekaan itu harus
direbut secara sepihak. Menurut Konvensi Wina Liga Bangsa Bangsa
Tahun 1938 negara‐negara yang kalah dalam perang harus
meletakkan status negara jajahan dalam “status quo” untuk
kemudian dikembalikan ke penjajah sebelumnya. Jadi, kata para
pemuda itu, berdasar hukum internasional saat itu Jepang tidak
boleh memberi kemerdekaan kepada Indonesia melainkan harus
mengembalikannya kepada Belanda karena dulu Jepang mengambil
Indonesia dari Belanda ketika pada tahun 1941/1942 tentara sekutu
kalah dalam perang. Karena Bung Karno dan Bung Hatta tetap
menolak usul tersebut maka pada tanggal 16 Agustus 1945 pagi para
pemuda itu “menculik” Bung Karno dan Bung Hatta dan
membawanya ke Rengasdengklok. Di Rengasdengklok itu Bung
Karno dan Bung Hatta “dipaksa” untuk menyatakan kemerdekaan.
Namun pada malam harinya, sepulang dari penculikan itu, Bung
Karno mengumpukan anggota‐anggota PPKI dan tokoh‐tokoh bangsa
serta tokoh pemuda untuk bermusyawarah dan memutuskan bahwa
kemerdekaan akan diproklamasikan secara sepihak besok harinya
yakni tanggal 17 Agutus 1945.

4
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya tanggal 18 Agustus
1945, diadakanlah rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan untuk
menetapkan Undang Undang Dasar dan memilih Presiden dan Wakil
Presiden. Pada hari itu disahkanlah Pembukaan UUD 1945 berseta
seluruh naskah konstitusinya yakni UUD 1945. Di dalam Pembukaan
UUD 1945 dmuat Pancasila sebagai dasar negara meskipun kata
Pancasila tidak disebutkan secara eksplisit. Pancasila menurut
pengusul dan perumusnya, Soekarno, digali dari nilai‐nilai yang
tumbuh, hidup, dan berkembang selama berabad‐abad sebagai
budaya nenek moyang bangsa Indonesia sehingga cocok dengan
kebutuhan bangsa Indonesia yang ketika itu akan segera mendirikan
negara merdeka.

Pancasila adalah nilai‐nilai yang mendasari dan dihayati dalam hidup
bangsa Indonesia yakni Ketuhanan Yang Maha Esa (manusia
Indonesia percaya akan adanya Tuhan sebagai penguasa tertinggi di
jagat raya), Kemanusian yang adil dan beradab (manusia Indonesia
menghargai dan menghormati martabat manusia‐manusia lainnya),
Persatuan Indonesia (manusia Indonesia selalu dan ingin terus
bersatu untuk memperbaiki nasib bersama dan untuk mencapai
tujuan bersama), Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (manusia
Indonesia suka bergotong royong melalui musyawarah), dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (manusia Indonesia
selalu ingin bersikap adil secara sosial ekonomi dalam kehidupan
bersama).

Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 yang disahkan pada
tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan berdasarkan kesepakatan
(resultante) atas hasil kesepakatan rapat‐rapat BPUKP dengan
beberapa revisi yang disepakati kembali oleh PPK pada hari itu.
Dalam perdebatan‐perdebatan pada sidang‐sidang BPUPK sejak 80
hari sebelumnya (sejak 29 Mei 1945) memang terjadi kontroversi
tajam sebelum mencapai kesepakatan, yakni, tentang dasar negara,
tentang bentuk dan sistem pemerintahan, tentang hak asasi manusia,
tentang peradilan, tentang ekonomi dan kesejahteraan sosial, dan
sebagainya.

5

Sejauh menyangkut hubungan antara agama dan negara memang ada
perdebatan panas antara paham negara agama (teokrasi Islam) dan
negara sekular (kebangsaan inklusif). Jadi pada saat itu memang
sudah ada bibit‐bibit ide tentang khilafah yakni negara yang
didirikan atas dasar agama Islam. Tetapi dengan kebesaran hati para
pendiri negara pada akhirnya dicapai kompromi atau modus viendi
(kesepakatan luhur) dalam bentuk konsepsi prismatika bahwa
Indonesia didirikan bukan sebagai negara agama meupun negara
sekuler. Indonesia dibangun sebagai “religious nation state” (negara
kebangsaan yang berketuhanan), negara gotong royong, bersatu
dalam keberbedaan, bhinneka tunggal ika. Jika dipetakan ke dalam
situasi sekarang maka sungguh luar biasa. Indonesia mempersatukan
255 juta manusia di dalam 17.504 pulau dengan agama, keyakinan,
kepercayaan, adat, dan budaya yang sangat beragam,

Jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia adalah 1360 suku dengan
726 bahasa daerah. Dalam hal ini kita harus bersyukur karena
Indonesia bisa bersatu dalam perbedaan‐perbedaan yang begitu luar
biasa. Bandiangkan dengan Hindustan Raya yang ketika akan
dimerdekakan sebagai negara India ternyata pecah karena Pakistan
yang merasa terdiri dari kaum muslimin memilih menjadi negara
sendiri, memisahkan diri dari India pada tahun 1947, dan menjadi
Negara Islam Pakistan. Lihat juga Bangladesh yang lahir dari
pemecahan diri dari Pakistan pada tahun 1971 karena perbedaan
daerah, bahasa, dan sedikit warna kulit. Indonesia selamat dari
perpecahan seperti itu karena para pendirinya telah bersepakat
untuk bersatu dalam keberbedaan dengan menerima dasar ideologi
negara Pancasila.

Penuangan Pancasila ke dalam hukum3

3 Selanjutnya lihat dalam Moh. Mahfud MD “Pancasila sebagai Benteng Pertahanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dari Potensi Konflik Berdasarkan Isu Keagamaan”, makalah yang
disampaikan pada Rakernis Bidang Intelijen Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada hari
Senin, tanggal 18 September 2017 di Gedung Sasana Pradhana Kejaksaan Agung, Lihat juga
dalam makalah singkat Moh. Mahfud MD “Revitalisasi dan Revalidasi Pancasila Untuk Menjadi
Sumber Hukum dan Perundang‐undangan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” yang
disampaikan pada Diskusi Terbatas (Sitas) di Kantor Dewan Pertimbangan Presiden Republik
Indonesia di Jakarta, Rabu tanggal 22 Pebruari 2017. Lihat juga dalam Moh. Mahfud MD,

6
Pancasila mempunyai banyak kedudukan atau fungsi: sebagai dasar
ideologi negara, sebagai pemersatu bangsa, sebagai budaya bangsa,
sebagai pandangan hidup bangsa, dan sebagainya. Sebagai dasar
negara Pancasila melahirkan hukum positif yang dituangkan di
dalam peraturan perundang‐udangan sedangkan selain sebagai dasar
negara Pancasila melahirkan pedoman pergaulan yang bersifat non
hukum atau lebih bersifat etik bagi bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai dasar negara menjadi sumber dari segala sumber
hukum yang melahirkan berbagai peraturan perundang‐undangan.
Peraturan perundang‐undangan itu disusun secara hierarkis untuk
menunjukkan lebih kuatnya keberlakuan jika ada pertentangan
antara yang saru dengan yang lain. Peraturan perundang‐undangan
saat ini diatur di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang‐undangan yang menurut Pasal 7 Ayat (1) jenis‐
jenisnya terdiri dari: UUD 1945, Tap MPR (yang masih berlaku),
UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peratruran Presiden, Peraturan
Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan lain‐lain
sesuai dengan ketentuan Pasal 8 yang membuka kemungkinan
adanya peraturan perundang‐undangan lain yang dibuat oleh MPR,
DPR, DPD, MA, MK, dan sebagainya.

Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, artinya, selain
Pancasila masih ada sumber‐sumber hukum yang lain tetapi tetap
juga bersumberkan dari Pancasila itu sendiri. Sumber hukum belum
tentu merupakan hukum dalam arti peraturan perundang‐undangan
yang mengikat dan bisa dipaksakan. Agama adalah sumber hukum
karena Indonesia berdasar ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi hukum
agama bukan merupakan hukum jika belum dijadikan UU. Dalam hal
ini hukum agama menjadi sumber hukum materiil, bukan sumber
hukum formal yang memang pasti berlaku karena sudah diberi
bentuk tertentu yakni ditetapkan keberlakuannya oleh lembaga yang
berwenang. Jadi sumber hukum bisa diartikan dalam dua hal:
Pertama, sumber hukum dalam arti sebagai bahan untuk membuat

“Dialektika Antara Fatwa dan Hukum Positif di Indonesia” yang disampaikan pada Konperensi
Internasional “Moderasi Islam” yang diselenggarakan oleh Organisasi Alumni Al‐Azhar
Internasional (OAAI) tanggal 17‐19 Oktiber 2017 di Mataram, Nusa Tenggara Barat.

7
hukum yang biasa disebut sumber hukum materiil; Kedua, sumber
hukum dalam arti peraturan perundang‐perundangan yakni hukum
yang resmi mengikat karena ditetapkan keberlakuannya oleh
lembaga yang berwenang.

Haruslah selalu diingat bahwa sumber hukum tidak selalu berati
hukum itu sendiri melainkan bisa diartikan sebagai bahan untuk
membuat hukum. Selain itu yang menjadi sumber hukum di
Indonesia bukan hanya agama Islam melainkan semua agama, adat
istiadat, budaya, dan sebagainya yang dianut atau menjadi kesadaran
hukum masyarakat Indonesia. Kesemua sumber hukum itu harus
diambil dari dan diintegrasikan ke dalam Pancasila yang merupakan
sumber dari segala sumber hukum yang produknya dalam bentuk
peraturan perundang‐undangan merupakan hasil eklektisasi dari
berbagai sumber hukum itu. Oleh sebab itu hukum nasional
Indonesia merupakan produk eklektisitas antar berbagai sumber
hukum materiil yang ada di dalam Pancasila seperti Hukum Islam,
Hukum Adat, Hukum Barat, dan konvensi‐konvensi internasional.

Selain sebagai dasar negara Pancasila menjadi pedoman hidup
bersama yang berbentuk norma‐norma non hukum (seperti norma
agama, norma kesopnan, norma kesusilaan) atau pedoman etik yang
sanksinya tidak bisa ditegakkan oleh aparat penegak hukum negara.
Meskipun begitu semua norma ada sanksinya, bedanya hanyalah
sumber datangnya sanksi itu. Sanksi pelanggaran atas norma hukum
adalah sanksi heteronom yakni sanksi yang dijatuhkan dan
dipaksakan oleh aparat negara seperti polisi, jaksa, hakim melalui
proses pemngadilan. Sedangkan norma‐norma selain hukum
sanksinya bersifat otonom yakni sanksi yang datang dari dalam hati
berupa rasa berdosa, takut masuk neraka, dikucilkan dari pergaulan,
takut pada hukum karma, merasa tidak tenang, dan sebagainya. Oleh
sebab itu kita harus mentaati Pancasila sebagai pedoman berbangsa
dan bernegara baik Pancasila sebagai dasar negara yang melahirkan
hukum‐hukum positif dengan sanksi heteronomnya maupun
Pancasila selain sebagai dasar negara sebagai pemersatu dan
pedoman pergaulan yang melahirkan pedoman etik dengan sanksi
otonomnya.

8

Tantangan ketidakadilan
Dalam perjalanannya yang sudah lebih dari 73 tahun dipergunakan
sebagai dasar ideologi negara Pancasila tetap eksis dan selalu
menjadi tempat kembali dan rujukan kesepakatan jika terjadi konflik
antar sesama warga bangsa. Pancasila pernah dilawan atau
dipertentangkan dan ingin diganti dengan ideologi lain, baik melalui
jalur inkonstitusional seperti pemberontakan maupun melalui jalur
konstitusional seperti berkontes melalui pemilu dan berdebat di
BPUPK, PPK, Konstitusnte, MPR hasil pemilu, Pancasila selalu
menang dalam menghadapi tantangan‐tantangan itu. Itulah sebabnya
ada semacam kesepahaman umum bahwa Pancasila itu sakti atau
azimat bangsa yang memberi kesaktian.

Meskipun begitu tentu masih akan terus banyak tantangan yang kita
hadapi dalam membawa Indonesia ke masa depan dengan tetap
berdasar Pancasila. Pada saat ini keutuhan Indonesia berdasar
Pancasila ditantang oleh gerakan ideologi lain yang dianggap lebih
baik, misalnya, munculnya sikap intoleran, radikalisme, sampai ide
khilafah. Sebenarnya menurut saya masalahnya lebih terletak pada
maraknya pelanggaran hukum dan meluasnya ketidakadilan sosial
sehingga terjadi kesenjangan sosial dan kemiskinan yang agak
massal. Oleh sebab itu nasionalisme kita ke depan harus dibangun
dengan basis dan paradigma baru yakni penegekan hukum dan
keadilan sosial. Tantangan kita ke depan bukan lagi perang fisik yang
harus dihadapi dengan persenjataan yang canggih tetapi
ketidakadilan hukum, sosial, dan ekonomi yang meruyak di tubuh
bangsa kita sendiri.

Tantangan generasi Z ‐ Alpha
Tantangan lainnya adalah begitu cepatnya perkembangan sosial di
dunia yang terus mengglobal tanpa bisa dihadapi oleh sekat‐sekat
dan pengamanan fisik antar berbagai bangsa dan negara.
Perkembangan sosial masyarakat di seluruh dunia saat ini telah
ditandai oleh pertumbuhan dan perkembangan generasi dari waktu
ke waktu dengan watak dan kebutuhan yang berbeda. Jika dilacak
dari perkembangan sejarah generasi dan kebutuhannya masing‐

9
masing maka pada saat ini kita sedang didominasi oleh Generasi
Milenial (Generasi Y) yang sudah mulai disusul oleh Generasi Z dan
selanjutnya Generasi Alpha. Marilah kita identifikasi sekilas tentang
perkembangan, watak, dan kebutuhan generasi‐generasi tersebut.

1) Generasi Baby Boomers.
Generasi Baby Boomers adalah generasi yang lahir sebelum
tahun 1960 yakni generasi yang lahir setelah Perang Dunia II
saat mana perekonomian mulai ditata, adat istiadat dipegang
teguh, tidak banyak bahasa slank. Orang‐orangnya cenderung
kolot dan konservatif tetapi sangat matang dalam pengambilan
keputusan. Mereka cenderung feodal dan anti kritik dengan
menganggap hidup untuk bekerja, bukan bekerja untuk hidup,
Positifnya mereka loyal dan dedikatif.
2) Generasi X
Generasi X adalah generasi yang lahir antara 1961 sampai
dengan 1980. Generasi ini lebih suka akan risiko dan
pengambilan keputusan yang matang karena ada pengaruh
dari generasi sebelumnya. Generasi ini lahir pada saat banyak
gejolak, terjadinya perang dingin, jatuhnya tembok Berlin, dan
sebagainya yang terjadi pada saat mereka beranjak dewasa dan
mulai memasuk ke dunia kerja.. Generasi ini cenderung lebih
toleran dan bisa berbeda pendapat. Generasi ini mulai
mengenal komputer sehingga mulai inovatif untuk
mempermudah kehidupan. Pndangannya adalah bekerja untuk
hidup, bukan hidup untuk bekerja sehingga ada keseimbangan
antara pekerjaan, pribadi, dan keluarga.

3) Generasi Y (Generasi Milenial)

Generasi Y yang biasa disebut generasi milenial adalah
generasi yang lahir antara tahuan 1981 sampai dengan tahun
2000. Generasi ini bukan hanya dipengaruhi oleh komputer
tetapi sudah dipengaruhi oleh perkembanga video games,
gadget, smartphone dan berbagai kemudahan dengan layanan
information technology (IT) yang serba computerized dengan
kecanggihan internetnya. Mereka mudah mendapat informasi

10
secara cepat. Pola pikir mereka penuh dengan ide yang
visioner dan inovatif dengan semangat memiliki pengetahuan
luas dan penguasaan IPTEK. Mereka mau bertanya dan
meminta kritik, kepuasannya adalah jika pekerjaannya dinilai
bermanfaat. Dalam memilih pekerjaan mereka mencari
keseimbangan antara pekerjaan dan gaya hidup. Jika pekerjaan
tidak menunjang gaya hidup, mereka lebih memilih keluar dari
pekerjaannya.

4) Generasi Z
Genersi Z adalah gerasi yang lahir antara tahun 2001 sampai
dengan 2010. Generasi ini merupakan generasi peralihan dari
Generasi Y dimana teknologi informasi sedang berkembang
begitu hebatnya. Pola pikir mereka serba ingin instan,
kehidupannya cenderung bergantung pada teknologi,
memerlukan popularitas dari media sosial yang dipergunakan.
Kebutuhan‐kebutuhan mereka pada umumnya sudah bisa
dipenuhi dengan berbagai aplikasi pelayanan, mulai dari
transportasi, makanan, pengiriman barang, dan sebagainya.
Mereka lebih suka bebas daripada terikat dengan prosedur‐
prosedur yang membelenggu.

5) Generasi Alpha
Generasi Alpha adalah generasi yang lahir mulai tahun 2010
sampai dengan sekarang. Sekarang mereka ini sudah mulai
hadir sebagai tunas‐tunas bangsa. Mereka ini lahir pada saat
semakin berkembang pesat dan cepatnya teknologi informasi.
Dalam usia yang masih dini mereka sudah mengenal gadget,
smartphone, dan berbagai kecanggihan teknologi. Orang tua
mereka juga sudah mulai ada pada masa‐masa awal
kecanggihan teknologi. Mereka sangat terpengaruh oleh cara
berpikir terbuka, transformatif, dan inovatif. Kebutuhan
mereka sudah semakin mudah dipenuhi oleh teknologi
sehingga mulai ada kecenderungan mereka memenuhi
kebutuhannya sendiri secara sangat instan tanpa bantuan dan
basa basi dengan orang lain, termasuk dengan keluarganya
sendiri.

11

Pancasila pada generasi mendatang

Pada saat ini Generasi Milenial sudah mulai mengambil alih kendali
kehidupan masyarakat. Mereka yang paling tua sudah berusia 36
atau 37 tahun sementara yang paling muda berusia sekitar 23 tahun.
Jumlah mereka 1,8 miliar di seluruh dunia sehingga mereka ikut
menangani perputaran ekonomi. Di era milenial sudah lahir
facebook, youtube yang kemudian menjadi kebiasaan sehari‐hari
kita. Bermusik tak perlu kaset, cukup flashdisk dan googling serta
panggil di Youtube. Buku secara fisik menjadi tidak penting karena
mau membaca apa pun bisa melalui dunia maya seperti Google yang
langsung bisa menunjukkan ke materi yang dicari. Ke kantor tak
harus serba necis, jam kerja bisa bebas karena bisa dikendalikan dari
jalan. Kantor pun menjadi lebih santai, tidak menyeramkan. Yang
juga sangat baru dari generasi milenial adalah pemesanan makanan,
jasa antar jemput, jasa pijat, jasa bersih‐bersih rumah, ticket nonton,
ticket transportasi, transfer uang, mengisi pulsa cukup dengan satu
klik smartphone.

Generasi Z yang lahir pada pertengahan 2000‐an hingga 2010 ini
lebih fokus daripada generasi milenial, Orang yang paling tua dari
generasi Z sudah akan mulai memasuki lapangan kerja. Generasi Z
adalah mereka yang paling terdidik. Generasi Alpha juga sudah mulai
masuk ke tingkat Sekolah Dasar yang nantinya akan lebih banyak
dikuasai oleh kecanggihan teknologi yang serba melayani. Masa
depan generasi‐generasi penerus kita akan sangat banyak ditentukan
oleh penggunaan teknologi canggih yang serba praktis sehingga
pertemuan fisik dan keakraban antar manusia akan tidak terlalu
diperlukan. Semua serba bisa dilayani dengan teknologi robotic yang
serba cepat dan tidak banyak cingcong. Di sementara negara Eropah
sudah mulai disiapkan kebijakan bahwa pada tahun 2030 tidak boleh
ada orang mempunyai mobil pribadi karena pemerintah sudah
menyediakan trasportasi publik yang serba cepat, tanpa hambatan,
dan tepat waktu. Diperkirakan pada dua atau tiga generasi
mendatang sudah akan dimulai dimana orang tidak diperbolehkan
lagi mempunyai tanah dan rumah‐rumah besar sebagai aset atau

12
kekayaannya karena semua akan dibatasi luasannya sesuai dengan
kebutuhan riilnya. Semua yang diperlukan sudah bisa dipenuhi
dengan order dari dalam kamar. Kehidupan yang serba canggih dan
penuh pelayanan robotic itu tampaknya sangat memudahkan tetapi
juga agak sedikit mengerikan karena menyebabkan kehidupan antar
manusia menjadi teralienasi dari pergaulan sosialnya secara
langsung, bahkan dengan keluarganya sendiri.

Di sinilah letak pentingnya kita menyiapkan semua langkah yang
antisipatif agar Pancasila yang sarat dengan nilai kemanusian bagi
manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk individu bisa berperan
membangun kelangsungan bangsa dan negara Indonesia dengan
segala kekayaan sumberdaya alam dan sumber daya manusianya.
Kalau kita tidak berhati‐hati maka Indonesia ini bisa hilang dari peta
sosial dunia karena melebur tanpa identitas dan jatidiri yang khas.
Kita harus mencari cara yang bersifat antisipatif agar nilai‐nilai
ketuhanan, kemanusiaan, kebersatuan, gotong royong dan
permusyawaratan serta keadilan sosial dapat terus mengawal
perjalanan bangsa kita dari generasi ke generasi. Tepatnya kita harus
melakukan berbagai langkah agar manusia‐manusia masa depan
Indonesia tetap menjadi manusia yang mempunyai sifat manusia dan
bukan hanya manusia yang seperti robot, seperti benda mati yang
tidak berjiwa.
Itulah tantangan kita ke masa depan dalam menyongsong dan
mengantarkan generasi‐generasi selanjutnya dengan segala sifat dan
kebutuhannya.


BAHAN BACAAN

Daniel Bell, The End of Ideology: On The Exhaustion of Political Ideas in Fifties,
Free Press, New York, 1960.

Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, Hamish Hamilton,
London, 1992.

Hans Kelsen, General Theory of Law, Russel & Russel, New York, 1973.

Kaelan, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Paradigma,
Yogyakarta, 2002.

13

Manfred Steger, Globalism, the New Market Ideology, Rowman and Littlefield
Publishers, USA, 2002.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998.

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali
Press, Jakarta, 2012.

Muhammad Hatta, Pengertian Pancasila, CV Haji Masagung, Jakarta, 1989.

Roland C. Den Otter, Judicial Review in an Age of Moral Pluralism, Cambridge
University Press, New York, 2007.

Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order,
Harvard University, 1994.

Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila, Sebuah Pendekatan Sosio‐Budaya,
PT Gramedia, Jakarta, 1989.

14

Anda mungkin juga menyukai