Pada awalnya setelah adanya amandemen keempat UUD 1945, hanya terdapat Komisi
yudisial(pasal 24 B) akan tetapi dengan perkembangannya pada saat ini kurang lebih
sudah terdapat sekitar 88 State auxiliary bodies beserta dengan dasar hukum
pembententukan yang berbeda - beda baik dari UUD 1945, Undang - Undang maupun
Keputusan presiden salah satunya adalah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang
dibentuk dengan UU Nomor 30 tahun 2002 yang telah di ubah dengan UU Nomor 19
tahun 2019. Dalam pasal 3 UU No. 30/2002 disebutkan bahwa “ komisi pemberantasan
korupsi adalah lembaga yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun “. 1dengan berubahannya pada
UU No. 19 tahun 2019 dalam pasal 3 disebutkan bahwa “Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah lembaga eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun “.
Anggapan klasik bahwa KPK merupakan salah satu lembaga negara bantu yang
dibentuk dengan Undang-Undang yang bersifat independen dan bebas dari kekuasaan
manapun, namun KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitan dengan
masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif
dalam hal penyelidikan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi. Bawasanya
sesungguhnya KPK merupakan lembaga independen yang tidak bisa di masukan ke dalam
salah satu dari trias politika eksekutif, legislative maupun yudikatif. Meninjau lahirnya
KPK, karena penegak hukum dalam lembaga eksekutif dulu tidak mampu berjalan.
Kedudukan Independen KPK dapat dibuktikan salah satunya dalam Putusan MK pada 19
Desember 2006 Pimpinan KPK menyebut putusan MK terbaru itu inkonsistensi, karena
1 Indonesia, Undang - Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Nomor 30 Tahun 2002, LN Nomor -, TLN No.
4250, ps. 3.
pada putusan terdahulu MK menyatakan bahwa KPK sebagai lembaga independen.
Menurut Harjono, Hakim MK periode 2003-2008 dan 2009-2014 mengatakan keputusan
MK yang memasukkan KPK dalam golongan eksekutif terlalu dipaksakan sebab dilihat
dari kewenangannya KPK itu independen. Rekrutmen KPK berbeda dengan lembaga
eksekutif, begitupun kewenangan yang dimiliki KPK, hal ini menunjukkan bahwa KPK
merupakan lembaga khusus yang berbeda dengan lembaga yang lain dan tidak dapat
digolongkan dalam salah satu dari tiga cabang lembaga negara.
Jika kedudukan KPK saat ini kembali ditarik menjadi golongan lembaga eksekutif,
maka sifat KPK yang independen akan dipertanyakan. Hal ini kontradiksi dengan
keputusan yang lama, dimana keputusan yang lama menjelaskan bahwa KPK independen.
Dengan adanya keputusan peralihan ini dipertanyakan, apakah nantinya akan membuat
KPK tidak independen lagi. Sebab independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh
kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya justru menjadi penting
agar tidak terdapat keragu-raguan dalam diri pejabat KPK. Sebab, sesuai dengan ketentuan
Pasal 11 UU KPK, pihak-pihak yang paling potensial untuk diselidiki, disidik, atau
dituntut oleh KPK karena tindak pidana korupsi terutama adalah aparat penegak hukum
atau penyelenggara negara.
Teori klasik trias politica sudah tidak dapat lagi digunakan untuk menganalisis relasi
kekuasaan antar lembaga negara sebab semakin banyak munculnya lembaga-lembaga baru
yang bergerak diluar ketiga bidang yang ada yakni eksekutif, legislatif, dan yudisial.
Begitu halnya dengan KPK yang sebenarnya tidak termasuk dalam lembaga eksekutif
maupun yudisial karena ia adalah lembaga independen yang menangani masalah korupsi
yang menjadi polemik khusus di Indonesia. Sinergis dalam menjalankan tugas dengan
eksekutif maupun yudisial tidak lantas membuat KPK menjadi bagian dari lembaga
tersebut, hal ini dilakukan dalam rangka checks and balances.
1. Dalil salus populi supreme lex, yang berarti keselamatan rakyat (bangsa dan
negara) adalah hukum yang tertinggi. Dalam hal ini, kehadiran KPK dipandang
sebagai keadaan darurat untuk menyelesaikan korupsi yang sudah luar biasa.
2. Asas lex specialis derogate legi generali, yang artinya undang-undang
istimewa/khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum.
Dalam konteks ini, KPK
merupakan hukum khusus yang kewenangannya diberikan oleh UU selain
kewenangan-kewenangan umum yang diberikan kepada Kejaksaan dan
Kepolisian.
3. Pembuat UU (badan legislatif) dapat mengatur lagi lanjutan sistem ketatanegaraan
yang tidak atau belum dimuat di dalam UUD sejauh tidak melanggar asas-asas dan
restriksi yang jelas-jelas dimuat di dalam UUD itu sendiri. Dalam kaitan ini,
dipandang bahwa kehadiran KPK merupakan perwujudan dari hak legislasi DPR
dan pemerintah setelah melihat kenyataan yang menuntut perlunya itu.
Hak angket adalah hak yang dimiliki oleh DPR untuk melakukan penyelidikan
terhadap Kebijakan yang dijalanakan oleh Pemerintahan yang mana secara Konstitusional
di pasal 20 Ayat (2) UUD NRI 1945 serta dalam UU No. 17 tahun 2014 tentang MD3
Pasal 79 Ayat (3), yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan
suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Penggunaan hak angket sudah lama digunakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dimulai
pada tahun 1950-an, pada masa pemerintahan Presiden Sukarno.1 Dalam kurun dua
dekade terakhir setidaknya ada 10 kali penggunaan hak angket, di antaranya seperti kasus
Bulog Gate yang menyebabkan di makdzulkan-nya Abdurrahman Wahid dari kursi
Presiden. Berikutnya pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ada beberapa
kasus yang berujung pada penggunaan hak angket oleh DPR seperti, BLBI yang
melibatkan banyak pihak, di mana salah satunya adalah juga melibatkan menteri Ekonomi
saat itu, kemudian yang cukup besar adalah kasus Bank Century yang juga menyeret nama
Wakil Presiden Budiono sebagai pihak yang dianggap terlibat.2 Kemudian pada kasus
yang terbaru adalah penggunaan hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), meskipun muncul kontroversi dalam pelaksanaannya. Menurut DPR,
penggunaan hak angket tersebut didasari pada frasa “pelaksanaan undang-undang” yang
dimakani berlaku secara luas, yang bermula dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang
dilakukan Komisi III DPR bersama KPK pada 18 – 19 April 2017, yang dalam
kesimpulannya Komisi III DPR meminta KPK melakukan klarifikasi, dengan membuka
rekaman berita acara pemeriksaan atas nama Miryam S. Haryani. Dalam rapat dengar
pendapat tersebut bertujuan agar DPR mengetahui sejumlah nama anggota dewan yang
tidak disampaikan oleh KPK.
Menurut pendapat Nur Roshinin Ana, adanya pasal 30 ayat (1) dalam UU
KPK justru menimbulkan Ketidakpastian hukum terhadap calon ketua KPK
karena adanya campur tangan dari lembaga lain yaitu DPR karena proses
pemilihannya menggunakan Technical selection
Selama ini seleksi Pemimpin KPK termasuk juga pada lembaga - lembaga
negara lainnya, terdapat permasalahan yang sama dalam proses seleksi yang
dilakukan oleh DPR yaitu tidak standar baku atau tolak ukur penilaian terhadap
kandidat. Sebagai contohnya adalah pada tahun 2019 ini terpilihnya lima
pemimpin KPK salah satunya adalah Firli Bhuri dan Alexander Marwata yang
tidak jauh berbeda dengan pemilihan ketua sebelumnya yaitu dimana terdapat
penolakan oleh masyarakat. Padahal apabila dilihat mereka memiliki rekam jejak
negatif dalam hal pemberantasan korupsi, Firli merupakan jenderal polisi
berpangkat inspektur jenderal. Saat menjabat deputi penindakan KPK,5
dinyatakan melanggar etik. Sama halnya degan Alexander Marwata merupakan
pimpinan KPK aktif. Sebelum terpilih masuk komisi anti rasuah lima lima lalu,
mantan hakim itu disorot karena memberi pendapat berbeda dalam sidang kasus
korupsi yang menjerat eks Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.
Pada tahun sebelumnya pemilihan calon ketua oleh DPR juga mengalami hal
serupa yaitu terpilihnya Antasari Ashar yang terpilih menjadi ketua KPK jilid II
dan pimpinan KPK yang mana juga terdapat penolakan oleh masyarakat
mengenai kinerja dan intergeritasnya. Ini menandakan bahwa DPR dalam
melakukan seleksi pemimpin tidak memperhatikan pada keutamaan dalam hal
integeritas, kualitas dan kinerjanya, hanya menggunakan logikanya dan
berdasarkan kepentingannya saja, dalam hal pemilihan ini DPR juga tidak
memperhatikan pada penilaian Pansel sebagai pertimbangan dalam untuk
memperoleh hasil akhir.
Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa alur pemilihan pimpinan KPK
yang melibatkan DPR akan membentuk secara alamiah afiliasi politik. Hal serupa
disampaikan oleh mantan wakil ketua KPK Bambang Widjonjanto proses
rekruitmen Komisioner KPK yang dilakukan oleh DPR bersifat Technical
selection yang rentan berpotensi adanya politik kepentingan dan political
invantion yang penuh dengan pretensi.