Anda di halaman 1dari 6

Istikhomah_031811133049_C-1

Kebijakan Pelindungan Hukum oleh Indonesia terhadap Pengungsi dan Pencari Suaka
yang berstatus Stateless Person tanpa meratiikasi Konvensi 1951 dan 1967 tentang
Status Pengungsi

Tema : Kewarganegaraan dan Imigrasi

Rumusan masalah : Bagaimana kebijakan Indonesia memberikan perlindungan hukum bagi


para pengungsi dan pencari suaka yang berstatus tanpa
kewarganegaraan dengan tanpa meratifikasi Konvensi 1951 dan 1967
tentang Status Pengungsi?

Pembahasan

Pencari suaka dan pengungsi sering kali menjadi topik permasalahan dalam dunia
internasional terkhususnya bila membahas mengenai perlindungan yang harus mereka
dapatkan. Setiap manusia yang hidup di dunia ini memiliki hak dan keajiban yang sama. Begitu
pula dengan para pencari suaka dan pengungsi ini yang harus diperhatikan hak asasi
kemanusiaan mereka. Lebih lanjut, Pencari suaka adalah orang yang sedang mencari
perlindungan untuk mendapatkan status sebagai pengungsi lintas batas (refungee) mereka
sedang menunggu adanya pengakuan dari UNCHR (United Nations High Commissioner for
refugees).1 Pengungsi sendiri berdasarkan hukum pengungsian internasional juga dapat dikenal
dengan istilah mandat refugees, refugees sur place, stateless persons, statutory refugees, war
2
refugees, economic migrant dan displaced person (orang-orang terlantar). Pengertian
pengungsi dapat dilihat dalam ketentetuan Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi Pasal 1
ayat 1, telah dianggap sebagai pengungsi menurut Pengaturan-Pengaturan 12 Mei 1926 dan 30
Juni 1928, atau menurut Konvensi 28 Oktober 1933 dan 10 Februari 1938, Protokol 14
September 1939 atau Konstitusi Organisasi Pengungsi Internasional. Keputusan- Keputusan
yang tidak diakuinya seseorang sebagai pengungsi Organisasi Pengungsi Internasional dalam
periode kegiatan-kegiatannya tidak akan menghalangi pemberian status pengungsi kepada
orang-orang yang memenuhi syarat-syarat ketentuan ayat 2 bagian ini; Sebagai akibat
peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan disebabkan oleh ketakutan yang
beralasan akan persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada
kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan
tidak dapat, atau karena ketakutan tersebut tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu,
atau seorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan karena berada di luar negara
1
Andi Rosyid Muraga, Natalia L.Lenkong, Deicy N.Karamoy, ‘Analisi Hukum Internasional Terhadap
Pemenuhan Hak Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia Menurut Konvensi Janewa Tahun 1951 tentang
Status Pengungsi’ (2020) 8 Lex Privatum.[87].
2
Achmad Romsan,[et.,al.], ‘Pengantar Hukum Pengungsi Internasional: Hukum Internasional dan
Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional’, (Sanic Offset, 2003).[29].
Istikhomah_031811133049_C-1

dimana ia sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa


termaksud, tidak dapat atau, karena ketakutan tersebut, tidak mau kembali ke negara itu. 3

Indonesia merupakan salah satu negara favorite yang menjadi tempat singgah para
pencari suaka atau pengungsi Internasional. Dari data UNCHR sendiri pada akhir tahun 2015
tercatat 70,8 juta jiwa yang dipaksa untuk meninggalkan wilayahnya secara global. Dari data
tersebut diketahui bahwa sekitar 25,9 juta diantaranya merupakan pengungsi, 41,3 juta lainnya
merupakan internally displaced people, sedangkan sisanya sekitar 3,5 juta jiwa adalah pencari
suaka. 4 Di Indonesia tahun 2020 sendiri tercatat sebanyak 13,653 pengungsi dan pencari suaka
yang terdaftar di kantor UNCHR Indonesia terdiri dari 10,278 pengungsi dan 3,375 pencari
suaka dengan 28% dari jumlah total orang yang terdaftar di UNCHR Indonesia adalah anak-
anak yang mana 143 anak-anak ini dating sendiri atau terpisah dari keluarga mereka, untuk
jumlah pengungsi yang tanpa kewarganegaraan sekitar 643 atau 4,7% dimana sampai saat ini
belum terdapat data pasti yang tersedia mengenai prang tanpa kewarganegaraan di Indonesia
namun diperkirakan populasinya cukup besar, hingga akhir Juli 2020 diketahui pengungsi
5
datang dari Afgahanistan (56%), Somalia (10%) dan Irak (6%). Akan tetapi menjadi persoalan
baru Ketika dihadapkan dengan pemberian perlindungan terhadap para pencari suaka dan
pengungsi terlebih bila mereka terindikasi dalam kategori tanpa kewarganegaraan, dalam
hukum internasional sendiri seseorang tidak langsung mendapatkan status sebagai pengungsi,
sebelum dapat dinyatakan sebagai pengungsi para imigran ini terlebih dahulu berstatus sebagai
tanpa kewarganegaraan. Kondisi tanpa kewarganegaraan ini umumnya terjadi akibat dari
ketidakmampuan untuk menunjukkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
kewarganegaraannya, dan atau dokumen-dokumen imigrasi penunjang lainnya. 6 tentunya
menjadi tanpa kewarganegaraan akan menjadikan seseroang tersebut kehilangan hak-haknya
sebagai warga negara. Untuk imigran yang menjadi tanpa kewarganegaraan dapat mengajukan
suaka, atau mendapatkan status sebagai pengungsi.

Persoalan menjadi semakin rumit dengan indonesia yang belum meratifikasi Konvensi
Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi. Oleh sebab itu, Pemerintah
Indonesia tidak langsung dapat menetapakan status para imigran ini sebagai pencari suaka atau
pengungsi.7 Oleh sebab itu, belum terbentuknya kerangka legislative bagi perlindungan
pengungsi dan pencari suaka sebagai akibat belum adanya ratifikasi terhadap konvensi ini.
3
Konvensi Mengenai Status Pengungsian 1951
4
Fransiska Ayulistya Susant, ‘Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Pengungsi di Negara Non Anggota
Konveksi Status Pengungsi 1951’ (2020) 20 Law Review. [170].
5
UNCHR Indonesia, ‘Sekilas Data’ (UNCHR, 2020)<https://www.unchr.org/id/figures-at-a-glace>
accessed 27 November 2020.
6
Siciliya Mardian Yo’el, ‘Kajian Yuridis Perlindungan Pengungsi di Indonesia Setelah Berlakunya
Peraturan Persiden Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar
Negeri’ (2016) 2 Journal Diversi [466].
Istikhomah_031811133049_C-1

dalam hal ini ketidakadaan perosedur-prosedur dan peraturan perundang-undangan maka


UNCHR merupakan peran utama perlindungan dan bantuan bagi para pengungsi dan pencari
suaka ini. 8 Pemerintah Indonesia sendiri secara hukum sebenarnya tidak wajib mengakui dan
bahkan tidak memberikan perlindungan bagi para pencari suaka yang berada di Indonesia.
Walaupun begitu Indonesia tetap mengakui dan menghormati akan hak atas rasa aman dari
pengungsi dan pencari suaka sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 28 ayat (1) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mana
menyatakan bahwa setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik
dari negara lain. Indoneisa juga tetap mengakui prinsip non-refoulment sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Dirjen Imigrasi Nomor IMI-1489.UM.08.05 tentang Penangan
Imigran Ilegal. 9 Dalam hal ini pemberian suaka diberikan oleh Presiden berdasarkan Keputusan
Presiden asalkan pencari suaka, berstatus sebagai seseorang yang berada dibawah
perlindungan UNCHR, atau berstatus sebagai pengungsi dari UNCHR. 10Namun para pengungsi
dan pencari suaka terutama yang tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak bernegara di
Indonesia mengalami kesulitan untuk tinggal. Mereka tidak memiliki izin bekerja dan tidak
menerima bantuan sosial dari pemerintah Indonesia. Yang mana diketahui bahwa pemerintah
Indonesia hanya mengijinkan para pengungsi dan pencari suaka untuk tinggal di Indonesia
dengan catatan mereka memiliki dokumen-dokumen pendaftaran dari Kantor Perserikatan
Bangsa-Bangsa yakni dari Komisaris Tinggi untuk Pengungsi (UNCHR). 11 Hal ini dapat kita lihat
dalam kasus orang-orang Roghinya.

Sistem hukum Indonesia yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi dan Protokol
Operasionalnya dan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian,
masihlah mengkategorikan pengungsi sebagai imigran illegal atau imigran yang memasuki
wilayah Indonesia tanpa dokumen keimigrasian yang resmi. 12 Untuk itu para pengungsi yang
masuk kewilayah Indonesia selalu dikenakan tindakan keimigrasian dalam bentuk penahanan
selama jangka waktu maksimun 10 tahun di rumah detensi imigrasi yang tersebar di 13 lokasi
di seluruh Indonesia hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 85 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian, Dalam hal Deportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
dapat dilaksanakan, detensi dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh)
7
Susetyo Heru [et.,al.], ‘Rohingya Stateless People and Nowhere To Go’, (ed. 2, PIARA PAHAM 2013)
[6].
8
Antje Missbach, ‘Trouble Transite : Politik Indonesia Bagi Para Pencari Suaka’ ( Yayasan Pusaka Obor
Indonesia, 2016) [151].
9
Peraturan Ditjen Imigran Nomor IMI-1489.UM.08.05 tentang Penanganan Imigram Ilegal.
10
Wagiman, ‘Hukum Pengungsian Internasional’, (Sinar Grafika, 2012) [52].
11
Iin Kartika Sakharina, Kadarudin, ‘Buku Ajar Hukum Pengungsi Internasional’, (ed.1, Pustaka Pena
Press 2016) [5].
12
Institute for Criminal Justice Reform, ‘Melihat Perlindungan Pengungsi di Indonesia’, (ICJR,2012)
<https://icjr.or.id/melihat-perlindungan-pengungsi-di-indonesia/#print> accessed 02 Desember 2020.
Istikhomah_031811133049_C-1

tahun. 13 Untuk level kebijakan mekanisme lebih lanjut penanganan pengungsi dapat ditemukan
dalam Peraturan Dirjen Imigrasi Nomor IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 tentang Penanganan
Imigran Ilegal, dimana setiap pengungsi yang masuk ke Indonesia akan dikenakan tindakan
keimigrasian dalam bentuk penahanan sampai status pengungsianya ditetapkan oleh UNCHR.
Dari hal ini terlihat bahwa kerangka perlindungan hukum yang ada di Indonesia masilah
menjadikan para pengungsi dan pencari suaka serta yang tanpa kewarganegaraan diperlakukan
sebagai imigran illegal, dengan ancaman akan dimasukan ke rumah detensi imigran bahkan
dapat pula dilakukan pendeportasian akibat tidak adanya dokumen-dokumen, padahal tidak
mungkin mereka sempat untuk mengurus segala dokumen-dokumen yang dibutuhkan disaat
kesalamatan mereka terancam di negara asalnya. Pada tahun 2016 Indonesia membentuk
suatu Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2016 tentang
Penanganan Pengungsi Luar Negeri. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa
pemerintah Indonesia tidak memiliki kewajiban atau tanggung jawab terhadap pengungsi yang
masuk ke Indonesia karena tidak meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, akan tetapi
Pemerintah Indonesia tidak dapat lepas tangan begitu saja. Dengan dibentuknya Perpres ini
sedikit memberikan angin segar bagi para pengungsi dan pencari suaka serta yang berstatus
tanpa kewarganegaraan.

Sebelum terbentuknya Perpres ini perlindungan pengungsi di Indonesia belum


mempunyai dasar hukum tersendiri. Meskipun belum terdapat pengaturan peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur Indonesia memiliki pengaturan perundang-
undangan lainnya yang masih dapat dijadikan sebagai acuan, seperti UUD NKRI 1945 dalam
Pasal 28 G (2), bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan drajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain,
TaP MPR No. XVII/MPR/1998, terdapat pengakuan terhadap DUHAM dalam Pasal 24, bahwa
setiap orang berhak mencari suaka untuk memperleh perlindungan politik dari negara lain, UU
No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan (Ratifikasi) Convention Against Torture and Other Cruel,
In Human or Degrading Treatment or Punishment, dalam Pasal 3 Konvensi ini menyebutkan
bahwa negara pihak dilarang melakukan tindakan non-refoulment, tindakan pegusiran,
repatriasi/pengembalian atau pengekstradisian seserorang ke negara lain, dan UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam pasal 28 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang
berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain. 14Dari adanya
peraturan-peraturan ini, menandakan bahwa Indonesia memiliki komitmen pada prinsip non-
refoulment terhadap pengungsi sebagai dari hak asasi manusia mereka. Pada Prepres No. 125
Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri, didalam Perpres ini penanganan

13
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Pasal 85.
14
Siciliya Mardian Yo’el, Op.Cit, hlm. 475.
Istikhomah_031811133049_C-1

pengungsi di Indonesia harus merujuk pada ketentuan yang ada dalam Konvensi Pengungsian
1951 dan Protokol Pengungsian 1967 selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang ada di Indonesia. Dalam Preprs ini juga perlindungan terhadap pengungsi
dilaksanakan sejak kedatangan pengungsi diwilayah Indonesia. Dan terdapat perlindungan
terhadap para pengungsi ini berupa penampungan hak-hak yang diterima para pengungsi saat
berada di penampungan. Pasal 38 Perpres Nomor 125 Tahun 2016, sendiri juga mengatur
tentang pemulangan pengungsi ke negara asalnya secara sukarela. Pada Perpres ini penanganan
terhadap pengungsian di dasarkan pada Kerjasama antara pemerintah dengan PBB melalui
UNCHR di Indonesia dan/atau organisasi internasional di bidang urusan migrasi dan
kemanusiaan15.

Kesimpulan dan rekomendasi

Indonesia merupakan negara dimana dijadikan sebagai tempat bagi para pengungsi dan
pencari suaka untuk transit. Sampai saat ini Indonesia belum melakukan rativikasi terhadap
Konvensi Pengungsian 1951 dan Protokol Penanganan 1967 tentang Status Pengungsi.
Tentunya hal tersebut dapat memberikan dampak bagi para pengungsi dan pencari suaka
terutama yang berstatus tanpa kewarganegaraan. Walaupun begitu, Indonesia tetap mengakui
dan menghormati akan hak atas rasa aman dari pengungsi dan pencari suaka, serta Indoneisa
juga tetap mengakui prinsip non-refoulment, hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya
berbagai ketentuan yang ada di Peraturan Perundang-Undangan yang ada, yaitu Pasal 28 (G)
UUD NKRI 1945, Tap MPR No. XVII/MPR/1998, UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian,
Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan (Ratifikasi) Convention Against Torture and
Other Cruel, In Human or Degrading Treatment or Punishment, Pasal 28 Ayat (1) UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan yang terbaru adalah Peraturan Presiden Nomor
125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri. Dengan adanya Perpres Nomor
125 Tahun 2016 ini, telah terdapat dasar hukum untuk memberikan perlindungan dan
penanganan terhadap para pengungsi dan pencari suaka. Oleh sebab itu, penulis
merekomendasikan bahwa meskipun Indonesia sudah membuat beberapa peraturan yang
terkait pengungsi dan pencari suaka, akan lebih baik lagi bila Indonesia mempertimbangakn
untuk meratifikasi Konvensi Pengungsian 1951 dan Protokol Penanganan 1967, dimana
permasalahan pengungisan dan pencari suaka tergolong dalam permasalahan Internasional.
Selain itu, dengan adanya Perpres Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar
Negeri, diharapakan Indonesia dapat lebih berperan aktif dan dapat membatu mengatasi

15
Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsian Dari Luar Negeri
Pasal 38.
Istikhomah_031811133049_C-1

permasalahan para pengungsi dan pencari suaka ini, meskipun tanpa meratifikasi Konvensi
Pengungsian 1951 dan Protokol Penanganan 1967.

Daftar Bacaan

Buku
Achmad Romsan, et.,al., Pengantar Hukum Pengungsi Internasional: Hukum Internasional dan
Prinsip Prinsip Perlindungan Internasional (Sanic Offset, 2003).
Antje Missbach, Trouble Transite: Politik Indonesia Bagi Para Pencari Suaka (Yayasan Pusaka Obor
Indonesia, 2016).
Iin Kartika Sakharina, Kadarudin Buku Ajar Hukum Pengungsi Internasional (ed.1, Pustaka Pena Press
2016).
Susetyo Heru, et.,al., Rohingya Stateless People and Nowhere To Go (ed.2 PIARA PAHAM 2013).
Wagiman, Hukum Pengungsian Internasional (Sinar Grafika, 2012)

Jurnal
Andi Rosyid Muraga, Natalia L.Lenkong, Deicy N.Karamoy, ‘Analisi Hukum Internasional Terhadap
Pemenuhan Hak Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia Menurut Konvensi Janewa
Tahun 1951 tentang Status Pengungsi’ (2020) 8 Lex Privatum.
Fransiska Ayulistya Susant, ‘Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Pengungsi di Negara Non Anggota
Konveksi Status Pengungsi 1951’ (2020) 20 Law Review.
Siciliya Mardian Yo’el, ‘Kajian Yuridis Perlindungan Pengungsi di Indonesia Setelah Berlakunya
Peraturan Persiden Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan
Pengungsi Dari Luar Negeri’ (2016) 2 Journal Diversi.

Laman
Institute for Criminal Justice Reform, ‘Melihat Perlindungan Pengungsi di Indonesia’, (ICJR,2012)
<https://icjr.or.id/melihat-perlindungan-pengungsi-di-indonesia/#print> .
UNCHR Indonesia, ‘Sekilas Data’ (UNCHR, 2020)<https://www.unchr.org/id/figures-at-a-glace> .

Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5216).
Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsian Dari Luar Negeri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 368).

Instrumen Internasional
Konvensi Mengenai Status Pengungsian 1951

Anda mungkin juga menyukai