Anda di halaman 1dari 5

SEMI PRESIDENSIAL

Pada tahun 1970, model semi presidensial dianggap sebagai pembandingan dari
sistem politik perancis yang ditetapkan antara tahun 1958 dan tahun 1962 dengan
sistem politik di suatu negara lain di Eropa dimana seseorang yang menjadi presiden
republik, yang telah dipilih melalui hak pilih universal dan dalam kekuasaan pribadi
tertentu, dan berdampingan dengan pemerintahan yang bersandar pada suatu
kepercayaaan yang di berikan melalui parlemen. dan bentuk semi presidensial
merupakan penggabungan dari bentuk - bentuk pemerintahan parlementer dan
pemerintahan presidensial. Selain berada dalam sistem negara paris, saat itu juga
terdapat lima sistem lain, ke empat sistem ini berjalan di berbagai negara yaitu negara
Finlandia, Austria, Irlandia, dan Islandia, dan sistem terakhirnya berlaku di negara
Jerman dimulai dari tahun 1919 sampai dengan tahun 1933 di bawah Republik
Weimar. Dan mulai sejak saat itu, sistem lain ditetapkan di portugal melalui Undang
undang dasar tahun 1975. konsep bentuk pemerintahan dari semi-presidensial hanya
didefinisikan oleh suatu isi dari Undang undang dasar. Sebuah rezim politik akan
dianggap sebagai sistem semi-presidensial jika dalam Undang undang dasar yang
menetapkannya telah menyatukan tiga unsur di dalamnya yaitu, 1. preisden suatu
republik dipilih melalui hak pilih universal/umum, 2. ia telah dianggap memiliki suatu
kekuasaan yang cukup besar, 3. ia memiliki lawan dalam politik, namun seseorang
perdana menteri atau para menteri yang sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan
pemerintahannya dapat untuk tetap memegang suatu jabatan seandainya parlemen
tidak dapat menunjukkan oposisi kepada mereka nantinya.

Macam - macam Praktik Semi-presidensial


Dalam sistem pemerintahan semi-presidensial semua Undang - Undang Dasarnya
yang menetapkan sistem ini tampak memiliki suatu sifat yang tampak relatif
homogen. Yang mana semua Undang undang dasar itu telah memperhatikan dalam
hal perbedaan yang cukup mencolok dalam hal kekuasaan kepala negaranya. Namun
suatu perbedaan ini tidak menjadi terlalu penting jika dalam pengkaitannya dengan
suatu sistem fisiognomi sistem. Bahkan perbedaan ini menjadi sangat tidak terlalu
penting jika dibandingkan dengan suatu keragaman praktek politik, yang mana
merupakan ciri utama yang telah terungkap melalui suatu analisi komparatif terhadap
ketujuh negara di atas tadi. Dalam hal aturan - aturannya memiliki kesamaan, namun
dalam hal permainannya yang berbeda, yang mana ini merupakan satu sisi kotak yang
dibentuk oleh ketujuh negara tadi yang sudah memberlakukan model pemerintahan
semi-presidensial. Di tiga negara, seoarang presiden hanya merupakan sebuah boneka,
di satu negara lain, ia menjadi sosok yang sangat berkuasa, di tiga negara lainnya, ia
membagi kekuasannya dengan seorang perdana menteri.
Sistem pemerintahan semi presidensial sering disebut sebagai sistem yang
berada diantara sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan
parlamenter. Kelemahan sistem presidensial terkait dengan kemandegan lembaga
eksekutif dan legislatif dianggap menjadi dasar pemikiran timbulnya sitem semi
presidensial ini. Presidensial dianggap dapat berjalan apabila presiden dalam
menjalankan tugasnya, mendapat dukungan penuh dari parlemen, yang keduanya
dapat berjalan dengan serasi namun parlemen berdiri sendiri dan tidak harus
mendukung presiden. Selain itu dalam sistem presidensial, posisi presiden sebagai
eksekutif tunggal menggoda presiden untuk dapat memperpanjang masa jabatannya
dan akan berujung pada kekuasaan yang otoriter. Oleh karena itu pada abad ke 20
timbul system pemerintahan baru yang dimunculkan oleh Duverger sebagai sistem
pemerintahan yang baru. Hal ini tak jarang terjadi di beberapa Negara seperti
Amerika Latin, Afrika, bahkan Indonesia sendiri.
Di negara-negara Amerika Latin, diterapkan model semipresidensial yang
mempunyai lebih banyak karakteristik sistem parlementer seperti: (a) para menteri
dapat menghadiri sidang parlemen; (b) parlemen melakukan impeachment atau
memberi mosi tidak percaya kepada menteri atau kabinet; atau (c) perdana menteri
diangkat dari dan oleh parlemen. Kantor (Dlm DiBacco, ed., New York, Praeger,
1977) memperkenalkan varian sistem pemerintahan keempat, yang lebih banyak
mengandung ciri-ciri sistem parlementer, kecuali ada pemisahan kekuasaan dan
kepala negara yang terpilih untuk masa bakti tertentu, dan menamakannya sistem
semi-parlementer atau quasi parlementer.
Konsep dan bentuk pemerintahan semi-presidensial didefinisikan oleh isi
Undang-Undang Dasar. Rezim politik dapat dikatakan menganut sistem semi
presidensial dikatakan apabila didalam UUD nya dapat menyatukan 3 unsur yakni:
presiden dipilih berdasarkan hak universal/umum, ia memiliki kekuasaan yang cukup
besar, dan ia memiliki lawan politik, namun seorang perdana menteri atau para
menteri yang memegang kekuasaan eksekutif dan pemerintahan dapat tetap
memegang jabatan seandainya parlemen tidak menunjukan oposisi kepada mereka.
Para pendukung sistem semi presidensial ini berpendapat bahwa sistem semi
presidensial ini adalah bentuk pengambilan nilai-nilai positif dari sistem presidensial
murni dengan cara memberikan kesempatan kepada presiden, perdana menteri dan
kabinet untuk bersama-sama membentuk suatu koalisi.
Ciri-ciri dari sistem presidensial ini ditandai dengan adanya dualism eksekutif yaitu
presiden dan perdana menteri yang mana Presiden berperan sebagai kepala negara dan
Perdana Menteri berperan sebagai kepala pemerintahan. Presiden sebagai kepala
negara memiliki hak prerogatif untuk mengangkat menteri-menteri baik dari
departemen maupun non departemen. Dalam sistem semi presidensial ini, kekuasaan
eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh kekuatan legislatif namun presiden bertanggung
jawab pada kekuatan legislatif. Lamanya masa jabatan parlemen dalam hal ini juga
sudah ditentukan secara pasti oleh konstitusi.
Dalam prakteknya, sistem semi-presidensial ini memiliki beberapa macam praktek.
Yang pertama presiden hanya merupakan sebuah boneka. Contohnya Negara Austria,
Irlandia, dan Islandia misalnya, meskipun dalam teorinya mereka merupakan Negara
yang menganut system pemerintahan semi-presidensial namun dalam prakteknya,
peran presiden hanya sebagai boneka disini. Dalam hal ini presiden hanya memiliki
hak prerogatif untuk memilih perdana menterinya selama pilihannya itu tidak
ditentukan oleh hasil pemilu.
Macam praktek sistem presidensial yang kedua yaitu kekuatan presiden sangat
berkuasa. salah satu contoh Negara yang kedudukan presidennya sangat berkuasa
adalah Perancis. Dalam hal ini presiden Republik Perancis dapat membuat berbagai
keputusan, tanpa harus ditanda-tangani oleh Perdana Menteri dan tanpa persetujuan
suara pemerintah dan mayoritas parlemen. Misalnya saja dalam hal membubarkan
Majelis Nasional, menunjukan kepada Dewan Konstitusional undang-undang atau
komitmen internasional yang ia nilai bertentangan dengan UUD, presiden juga dapat
menolak menandatangani berbagai ordonasi atau dekrit yang dibahas oleh dewan
menteri.
Pada tanggal 31 Januari 1964, Jenderal De Gaulle menafsirkan UUD dengan
cara yang sangat membingungkan karena menyatakan kekuasaan Negara itu tidak
terbagi dan diserahkan sepenuhnya kepada presiden yang telah dipilih rakyat. Maka
dari itu hal ini menunjukan tidak ada kekuasaan lain seperti kekuasaan menteri, sipil,
militer maupun yudikatif dan lain-lain yang tidak dipegang oleh presiden. Dalam hal
ini presiden juga berhak menyamaratakan segala kedudukan yang tertinggi dengan
pejabat yang ada.
Macam praktek sistem semi presidensial yang ketiga adalah kekuatan presiden
terbagi dengan kekuasaan Perdana Menteri. Dalam praktek ini, Konstitusi mensahkan
kekuasaan presiden bersama perdana menteri memiliki yang bekerja secara bersama
dalam arti terjadi dualism dalam konstitusi ini. Presiden dan Perdanan Menteri
bersandar pada kekuatan parlemen dan diberikan kekuasaan eksekutif.
Kelebihan yang didapat dengan adanya sistem pemerintahan semi presidensial
ini adalah adanya penggabungan dari hal-hal positif dari sistem pemerintahan
presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Pemerintahan berjalan dengan
stabil karena adanya penyebaran pusat kekuasaan dan tidak mudah mengalami
perubahan secara tiba-tiba yang dapat merugikan rakyat. Sehingga proses
pemikirannya dapat dikatakan lebih matang. Namun disisi lain terdapat kelemahan
dari sistem presidensial ini yaitu sulitnya pengawasan terhadap penyelewengan yang
dilakukan oleh lembaga eksekutif karena kekuasaannya tersebar luas. Sekarang model
tersebut semakin populer dan digunakan di banyak negara, karena dipandang sebagai
bentuk pemerintahan demokratis yang lebih stabil dan lebih efektif di negara yang
memiliki multi partai politik.
Beberapa negara - negara yang menggunakan sistem semi-presidensial dan
prakteknya
1. Tiga negara dengan presiden sebagai suatu boneka: Austria, Irlandia, dan Islandia
Undang undang dasar Austria, Irlandi, dan Islandia adalah suatu negara bersistem
pemerintahan semi-presidensial, sedangkan dalam hal pratek politinya adalah
bersistem parlementer. Meskipun dalam hal ini dipilih secara umum dan telah
diberikan suatu kekuasaan pribadi oleh undang-undang, namun kepala ngaranya
biasanya tetap bertindak di setiap negara ini selayaknya seperti sebagai presiden
Itali dan Jerman model atau seperti Ratu Inggris. Dalam hal ini ia mengesahkan
semua keputusan yang telah diajukan oleh suatu pemerintah, dan hak
priogratifnya adalah hanya saat memilih perdana mentri selama pilihannya itu
tidak ditentukan oleh sebuah hasil pemilu. Namun menjadi beberapa perbedaan di
antara ketiga negara ini yang dapat diamati. Pada hal prakteknya, presiden
menggunakan lebih banyak kekuasaannya di Irlandia daripada di negara Islandia,
dan lebih banyak di Austria daripada di Irlandia.
2. Sebuah negara dengan kedudukan presiden yang sangat berkuasa : Perancis
Setelah mengalami perubahan pada tahun 1962 melalui sebuah pemberlakuan hak
pilih universal untuk pemilihan presiden, Undang undang perancis tahun 1958
tidak memberikan suatu kekuasaan pribadi yang besar kepada presiden republik,
kecuali yang ada dalam pasal 16 Undang undang dasar itu yang mana
mengizinkannya menjadi seorang pemimpin diktaktor sementara dalam keadaan
luar biasa jika suatu “ lembaga-lembaga pemerintahan, kemerdekaan bangsa,
integerasi wilayahnya atau pemenuhan komitmen internasionalnya mengalami
ancaman yang serius dan langsung serta jika pelaksanaanya suatu keputusan
pemerintahan mengalami gangguan.” kondisi - kondisi ini tadi tidak mudah
dilihat secara sekaligus, terutama dalam hal kondisi kedua dalam hal mendorong
ka arah hura - hura, invasi ataupun serangan bom atom. Dalam pasal 16 ini
pernah diberlakukan sekali saja, yaitu pada tahun 1961, setelah terjadi kudeta
militer di negara Aljazair oleh seorang Jenderal Challe. Pasal ini pun dapat
diabaikan, meskipun di dalamnya banyak perhatian telah tercurahkan pada nilai
simboliknya. Terlepas dalam pasal 16 ini, presiden Republik negara Perancis
dapat membuat berbagai keputusan, tanpa harus meminta ditandatangani oleh
seorang perdana menteri dan tanpa melalui suatu persetujuan dari pemerintah
ataupun mayoritas parlemen, dalam empat hal saja, yaitu 1. melakukan
pembubaran terhadap majelis Nasional, 2. menunjukkan kepada Dewan
Konstitusional Undang - undang atau komitmen internasional yang telah ia nilai
bertentangan dengan Undang - undang dasar. 3. mengangkat tiga anggota dan
kedua Dewan Konstitusional setelah masa jabatan pendahuluan mereka berakhi,
4. menyampaikan berbagai pesan kepada parlemen.

Anda mungkin juga menyukai