Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ade Irawan Pulpaseda

NIM : 044007597
Mata Kuliah : HKUM4201 – Hukum Tata Negara

Presidensial dan Parlementer

Merujuk pada pendapat Shugart dan Carey, W. Joseph Robbins (Ibid: 179) lebih


jauh menjabarkan atribut esensial yang melekat di dalam sistem presidensial sebagai
karakteristik yang sering kali ada (sekaligus membedakannya dengan sistem
parlementer), yaitu: 

Pertama, adanya pemisahan kekuasaan diantara cabang-cabang pemerintahan.


Pemisahan kekuasaan disini merujuk pada pemisahan yang jelas di dalam
pertanggungjawaban, sebagaimana eksekutif bergerak dalam wilayah kerja
administrator atau pelaksana hukum, legislatif yang membuat hukum, serta lembaga
kehakiman yang berwenang menafsirkan dan memutuskan hukum. 

Hal ini tentunya berbeda jika melihat pada sistem parlementer yang terjadi
peleburan antara lembaga eksekutif merupakan bagian dari legislatif. 

Kedua, Presiden dipilih secara langsung dengan beberapa varian pemilihan di


seisi negara. Bukan semata-mata ditentukan formasinya oleh parlemen. Tentunya
banyak mekanisme berbeda-beda yang digunakan oleh masing-masing negara
penganut presidensial dalam menentukan presiden. 

Ada yang simple hanya dengan kandidat yang memperoleh suara lebih banyak


dari yang lain, atau harus mendapatkan suara lebih dari 50% sebagaimana diterapkan
di Prancis. Beda lagi dengan Amerika Serikat dalam pemilihan presiden menggunakan
model electoral college. 

Ketiga, masa jabatan presiden tidak bergantung pada dukungan legislatif.


Bervariasi antara 4-5 tahun. Jika ingin menjadi presiden lagi, maka dia harus mengikuti
pemilihan pada periode berikutnya. Terkait penurunan presiden di tengah jalan,
memang tidak memutus kemungkinan bisa terjadi, namun sistem presidensial sangat
mengamankan posisi presiden, sebab salah satunya presiden memiliki sumber
legitimasi tersendiri yang terpisah dari parlemen. 

Sedangkan di dalam sistem parlementer, masa jabatan presiden dan juga


kabinet tergantung pada kepercayaan legislatif. Parlemen bisa mengajukan mosi tidak
percaya yang berakibat pada penurunan kepala pemerintahan dan juga kabinetnya. 
Kelima, eksekutif memiliki otoritas untuk membuat hukum. Meskipun di beberapa
negara, misalnya di Amerika Serikat, sebetulnya eksekutif tidak memiliki kewenangan
untuk membuat hukum. Implikasi dari kewenangan pembuatan hukum bagi eksekutif
terkadang membuat tumpang tindih dengan lembaga eksekutif, terlebih lagi jika
eksekutif memiliki ambisi besar dalam mempersempit wilayah kerja pembuatan hukum
bagi eksekutif. 

Kasus penerapan sistem presidensial di Rusia dan Ukraina bisa menjadi contoh
yang baik, hal itu disebabkan karena presiden memanfaatkan considerably power yang
dimilikinya. Sedangkan di dalam sistem parlementer, eksekutif hanyalah pelaksana dari
garis besar halauan yang telah ditentukan oleh parlemen. 

Di sisi lain, ada sistem yang bernama parlementer, atau banyak yang
menyebutnya dengan istilah Westminster model, yang diawali dari sistem pemerintahan
di Inggris. Defisini mendasar dari karakteristik sistem parlementer adalah “peleburan
cabang eksekutif dan legislatif, dimana biasanya kepala negara dan kepala
pemerintahan dijabat oleh orang yang berbeda, lain dengan sistem presidensial yang
kerap kali dipegang oleh orang yang sama” (Ibid: 180). 

Tahapan pemilihannya kira-kira ringkasnya begini: para pemilih memilih partai


atau perwakilian mereka yang duduk di parlemen, kemudian parlemen yang terbentuk,
setelah mendapatkan hasil dari alokasi kursi, merancang
atau membentuuk pemerintah. Legislatif lah yang menentukan siapa yang akan
melayani sebagai kepala pemerintahan, pemerintahan disini juga meliputi menteri
dan cabinet. 

Di dalam sistem parlementer, jika memang ada suara mayoritas partai, maka
biasanya akan lebih mudah dan cepat dalam menyusun formatur pemerintahan dan
tidak membutuhkan koalisi. Sebaliknya, jika tidak ada partai yang memiliki mayoritas
suara di parlemen, maka partai akan mencari mitra koalisi di dalam mengusung
formatur pemerintahan. 

Di sinilah nanti pembagian kursi di dalam kabinet pemerintahan yang akan


datang sangat jelas. Bagaimanapun juga, kerjasama antar politisi di dalam sistem
parlementer sangat penting. 

Dalam buku “Demokrasi Elektoral: Sistem dan Perbandingan Pemerintahan”


(2015) dijelaskan, dalam sistem parlementer, eksekutif disebut sebagai eksekutif
ganda, yang berisi kepala negara dan kepala pemerintahan. 

Yang telah disinggung sebelumnya bahwa sistem parlementer berakar dari


tradisi kerajaan Inggris. Dimana kepala negara dijabat oleh raja atau ratu dan secara
formal mengangkat Perdana Menteri, yang biasanya merupakan ketua partai
pemegang kursi terbesar di parlemen. 
Semi

Di antara sistem presidensial dan parlementer, ada pula sistem semi


presidensial. Istilah “sistem “semi presidensialisme merupakan term dari
Maurice Duverger yan telah melakukan penelitian di Republik ke V Perancis sejak
1958. 

Menurut Duverger, semi presidensialisme adalah “sistem yang memadukan


tiga eleman, yaitu presiden dipilih langsung melalui pemilu seperti sistem presidensial,
yang mempunyai kekuasaan yang berarti (seperti di Amerika Serikat), lalu berhadapan
dengan menteri dan perdana menteri yang mengelola eksekutif dan memiliki kekuasaan
yang memerintah, serta tergantung pada mayoritas parlemen sebagaimana di dalam
sistem parlementer” (Ibid: 181). 

Sistem semi presidensialisme sendiri masih diperdebatkan, sebagian


menyatakan bahwa sistem ini adalah sistem dalam fase alternatif, tergantung
bagaimana kondisi di parlemen. “Jika mayoritas dibelakang presiden, presidensial,
namun jika bersebarangan, parlementer”. 

Sebagaimana yang telah dikatakan di awal tulisan, memang secara praktik sukar
ditemukan banyak negara yang menganut sistem pemerintahan baik presidensial
maupun parlementer secara murni. 

Konsep in between atau semi ini bisa menjadi suatu penjembatan ketika ada


suatu negara yang menjalani beberapa model yang ada di presidensial sekaligus
parlementer. Meskipun, beberapa ilmuwan menyatakan tinggal lebih banyak
mengadopsi karakter yang mana, sehingga bisa disebut penganut presidensial atau
parlementer.

1. Berikan analisis anda mengapa system pemerintahan presidensial memiliki


stabilitas tinggi? Berikan alasannya!

Sistem presidensi atau disebut juga dengan sistem kongresional,


merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasaan eksekutif dipilih
melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasaan legislatif.

Dalam sistem presidensial, presiden memiliki kedudukan yang relatif kuat dan
tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik.
Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan
pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal,
kedudukan presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-
pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya .

Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial:

 Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
 Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya,
masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Filipina
adalah enam tahun, dan Presiden Indonesia adalah lima tahun.
 Masa pemilihan umum lebih jelas dengan jangka waktu tertentu.
 Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa
jabatannya.
 Legislatif bukan tempat pengkaderan untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat
diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.

2. Jelaskan system pemerintahan yang pernah diterapkan di Indonesia!

1. Periode Berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1945)

Pemerintahan pada periode berlakunya UUD 1945 memiliki kurun waktu 18


Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949. Menurut UUD 1945 sistem
pemerintahan negara adalah presidensiil. Sistem pemerintahan yang ditetapkan
UUD 1945 belum dapat dijalankan secara baik. Pada masa itu, masih mengalami
mempertahankan kemerdekaan bangsa dari Belanda yang ingin kembali menjajah.
Segala daya diarahkan untuk mempertahankan kemerdekaan.

2. Periode berlakunya Konstitusi RIS (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950)

Dalam konstitusi RIS, sistem pemerintahan negara Indonesia adalah sistem


parlementer yaitu kabinet yang bertanggung jawab kepada parlementer (DPR).
Dengan demikian DPR dapat membubarkan kabinet.

3. Periode berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1945 – 5 Juli 1959)

Sistem pemerintahan Indonesia menurut UUDS 1950 adalah sistem


parlementer. Kabinet dipimpin oleh perdana mentri yang bertanggungjawab kepada
parlemen.

4. Sistem Pemerintahan RI (5 Juli 1959 – Pasca Dekrit Presiden)

Konstituante yang diharapkan dapat merumuskan UUD guna menggantikan


UUDS 1950 ternyata tidak mampu menyelesaikan tugasnya. Hal ini jelas akan
menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan
keselamatan negara. Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang
mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Isi dari Dekrit tersebut
salah satunya adalah memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlaku kembali
UUDS 1950.
5. Sistem Pemerintahan RI (Supersemar – Orde Baru Berakhir)

Orde baru lahir dengan diawali berhasilnya penumpasan terhadap G.30.S/PKI


pada tanggal 1 Oktober 1965. Orde baru sendiri adalah suatu tatanan perikehidupan
yang mempunyai sikap mental positif untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat,
dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk mencapai suatu
masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 melalui pembangunan di segala bidang kehidupan.

6. Periode Reformasi Berdasarkan UUD 1945

Sistem pemerintahan yang dipakai tetap sistem pemerintahan presidensial.


Namun, untuk mengembangkan sistem pemerintahan yang bersih adalah sistem
pemerintahan yang bersih adalah sistem pemerintahan yang demokratis maka UUD
1945 perlu diamandement.

Anda mungkin juga menyukai