Anda di halaman 1dari 7

PENGERTIAN MACAM SISTEM PEMRINTAHAN

Sistem parlementer.
Sistem parlementer sebagaimana diterapkan di Inggeris tidak mengenal pemisahan
kekuasaan antara cabang eksekutif dan legislatif. Pada abad XVI sebagai reaksi terhadap
kekuasaan Raja James I yang hampir absolut, terbentuklah pemerintahan parlementer
diawali dengan berdirinya lembaga perwakilan rakyat (assembly) yang secara bertahap
mengambil alih kekuasaan legislatif dari tangan Raja. Tetapi, kekuasaan eksekutif tetap
berada pada Raja. Dalam perkembangan selanjutnya, kekuasaan eksekutif Raja mulai
diserahkan kepada menteri-menteri yang diangkat
Dari antara anggota-anggota badan perwakilan. Karena para menteri harus
betanggunjawab kepada badan perwakilan, lambat laun kekuasaan badan perwakilan
bertambah besar dan ditetapkan sebagai pemegang kedaulatan negara. Para menteri
secara kolektif, atau Kabinet, harus betanggungjawab kepada badan legislatif dan adalah
bagian dari badan tersebut. Karena itu dalam sistem parlementer tidak ada seperation of
power, tetapi yang ada adalah fusion of power antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
eksekutif. Dengan kata lain, sistem parlementer adalah sistem politik yang
menggabungkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif dalam suatu lembaga
pemengang kedaulatan rakyat yang bernama Parlemen. Pada sistem parlementer cabang
eksekutif dipimpin oleh Kepala Negara, seorang Raja dalam negara monarki
konstitusional atau seorang Presiden dalam republik, dan Perdana Menteri sebagai Kepala
Pemerintahan. Kepala Pemerintahan ditunjuk oleh Kepala Negara dan para menteri
diangkat oleh Kepala Negara atas usul Kepala Pemerintahan, Kabinet, yang terdiri dari
Perdana Menteri dan para menteri, adalah lembaga kolektif, karena perdana menteri
adalah orang yang pertama dari sesama (primus inter pares) sehingga tidak dapat
memberhentikan seorang menteri.
Tapi dalam kenyataannya perdana menteri selalu memilki kekuasaan yang lebih
besar dari para menteri. Perdana menteri dan para menteri biasanya adalah anggota
parlemen dan secara kolektif bertanggungjawab kepada badan legislatif. Pemerintah atau
cabinet secara politis bertanggungjawab kepada parlemen. Untuk menghindarkan
kekuasaan legislatif yang terlalu besar atau diktatorial partai karena mayoritas partai yang
terlalu besar, kepala pemerintahan dapat mengajukan usul kepada kepala negara untuk
membubarkan parlemen. Salah satu karakteristik utama sistem parlementer yang tidak
dimiliki oleh sistem presidensial adalah kedudukan parlemen sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi di atas badan perwakilan dan pemerintah (supremacy of parliament).
Dalam sistem parlementer pemerintah tidak berada diatas badan perwakilan, dan
sebaliknya badan perwakilan tidak lebih tinggi dari pemerintah. Karena perdana menteri
dan para anggota kabinet tidak dipilih langsung oleh rakyat, pemerintah parlementer
hanya bertanggungjawab secara tidak langsung kepada pemilih. Karena itu, dalam
pemerintahan parlementer tidak dikenal hubungan langsung antara rakyat dengan
pemerintah. Hubungan itu hanya dilakukan melalui wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat.
Parlemen sebagaipemegang kekuasaan tertinggi yang merupakan pusat kekuasaan dalam
sistem politik harus selalu mengusahakan agar tercapai dinamika hubungan politik yang
seimbang antara badan legislatif dan badan eksekutif. Dalam parlemen ini lah kaderkader pimpinan bangsa digembleng sebelum suatu hari mendapat kesempatan menjadi
pemimpin negara.

Sistem presidensial
Diskusi tentang pemerintahan presidensial biasanya tidak selalu dikaitkan dengan
teori pemisahan keuasaan (seperation of powers) yang amat populer pada abad XVIII
ketika Konstitusi Amerika Serikat disusun. Dua ahli politik yang amat berpengaruh pada
masa itu adalah John Locke yang terkenal dengan pandangannya bahwa konflik
berkepanjangan antara raja Inggeris dengan parlemen adalah dengan memisahkan secara
tegas raja sebagai kekuasaan eksekutif dengan badan perwakilan sebagai kekuasaan
legislatif. Kedua kekuasaan itu harus dipisahkan dengan tegas dan masing-masing
mempunyai bidang kekuasaan masing-masing. Montesquieu, seorang pengamat sistem
pemerintahan Inggeris asal Prancis, ternyata membuat kesimpulan yang salah, dan

menyimpulkan bahwa sistem parlementer Inggeris adalah amat baik karena memisahkan
kekuasaan negara menjadi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan
seperti itulah yang disebutnya trias politica, yang selama 2 abad masih dipandang sebagai
bentuk pemisahan kekuasaan yang paling baik dan benar. Trias politica ini digunakan
oleh Panja Amandemen UUD 1945 yang dibentuk MPR sebagai landasan teoritis ketika
melakukan perubahan terhadap sistem pemerntahan negara Indonesia sebagaimana
ditetapkan pada Pasal 1 ayat (2). Dilandasi oleh teori pemisahan kekuasaan dan didorong
oleh keinginan yang kuat untuk menentang sistem parlementer yang dipandang sebagai
budaya Negara kolonial Inggris, sistem presidensial Amerika memisahkan secara tegas
tiga cabang kekuasaan. Karena itu karakteristik pertama sistem presidensial adalah badan
perwakilan tidak memiliki supremacy of parliament karena lem baga tersebut bukan
lembaga pemegang kekuasaan negara.
Untuk menjamin stabilitas sistem presidensial, presiden dipilih, baik secara
langsung atau melalui perwakilan, untuk masa kerja tertentu, dan presiden memengang
sekaligus jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan
dan satu-satunya kepala eksekutif, presiden mengangkat dan memberhentikan menterimenteri negara, yang berfungsi sebagai pembantu presiden dan memegang kekuasaan
eksekutif dalam bidang masing-masing. Dalam sistem presidensial, kabinet tidak
bertanggungjawab secara kolektif, tetapi tiap-tiap menteri bertanggungjawab secara
individual kepada presiden. Dalam sistem presidensial, anggota badan legislatif tidak
boleh merangkap jabatan cabang eksekutif, dan sebaliknya, pejabat eksekutif tidak boleh
merangkap menjadi anggota badan legislatif. Namun, pemisahan personala cabang
eksekutif dan legislatif tidak selalu diterapkan disemua negara yang menggunakan sistem
presidensial. Di beberapa negara menteri diangkat sebagai anggota parlemen. Pada
pemerintahan Orde Baru, para anggota Kabinet juga adalah anggota MPR, lembaga
pemegang kedaulatan negara yang lebih kurang sama dengan parlemen dalam sistem
parlementer. Presiden bertanggungjawab bukan kepada pemilih, tetapi kepada Konstitusi.
Dia dapat di-impeach apabila melangar konstitusi, tetapi tidak dapat diturunkan karena
tidak dapat memenuhi janjinya pada kampanye pemilu. Presiden dan badan perwakilan
rakyat mempunyai kedudukan yang setara, karena itu tidak dapat salaing menjatuhkan.
Dalam bahasa UUD 1945, Presiden adalah neben bukan geordenet dari DPR,
sehingga tidak dapat saling menjatuhkan. Dalam teori, sistem presidensial tidak mengenal
adanya supremasi satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya. Masingmasing kekuasaan, legislatif, eksekutif dan yudikatif melakukan pengawasan terhadap
cabang lainnya sesuai dengan ketentuan UUD. Karena itu yang berlaku adalah supremacy
of the constitution. Cuma, dalam praktek, legislatiflah yang nyatanya memegang
kekuasaan lebih tinggi.

Sistem semipresidensial
Sistem semi-presidensial adalah bentuk pemrintahan negara yang mencoba
mengatasi kelemahan-kelemahan sistem parlementer mau pun sistem presidensial.
Kelemahan pokok sistem parlementer ialah sifatnya yang sangat tidak stabil karena setiap
saat pemerintah, baik seluruh kabinet mau pun setiap menteri, dapat menerima mosi tidak
percaya dari parlemen. Akibatnya pemerintah jatuh dan terjadi pergantian pemerintah.
Selama 4 tahun menggunakan sistem parlementer, Indonesia mengalami pergantian
pemerintah sebanyak 33 kali (Feith, 1962). Sistem presidensial mengandung
kecenderungan konflik permanen antara cabang legislatif dan cabang eksekutif, terutama
bila presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas yang berkuasa di parlemen.
Padahal negara-negara baru yang tradisi demokrasinya belum terkonsolidasi dengan
mantap selalu menghadapi kondisi seperti ini. Selain itu, kekuasaan yang besar ditangan
presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tunggal, selalu menggoda presiden untuk
memperpajang masa jabatannya, yang kemudian berkembang menjadi kekuasaan otoriter.
Ekses seperti itu dialami oleh banyak negara di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk
Indonesia yang menggunakan sistem presidensial. Untuk mengatasi kelemahankelemahan edua sistem tersebut, pada awal Abad 20 berkembang model ketiga sistem
pemerintahan yang oleh Duverger disebut sistem semi-presidensial. Sistem politik ketiga
ini memiliki beberapa karakteristik sistem parlementer dan sistem presidensial.

Ciri utama sistem semipresidensial adalah sebagai berikut: (a) pusat kekuasaan
berada pada suatu majelis perwakilan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi; (b)
penyelenggara kekuasaan legislative adalah suatu badan perwakilan yang merupakan
bagian dari majjelis perwakilan; (c) presiden dipilih secara langsung atau tidak langsung
untuk masa jabatan tertentu dan bertanggungjawab kepada majlelis perwakilan; (d) para
menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Kalau
kita perhatikan uraian yang diberikan oleh Dr. Sukiman pada rapat BPUPK pada tanggal
15 Juli 1945 dan keteranga Prof. Soepomo pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945
beberapa saat menjelang pengesahan UUD 1945, jelas sekali sistem pemerintahan negara
Indonesia yang diikuti oleh UUD pertama Indonesia tersebut adalah sistem
semipresidensial.
Menurut Blondel, pada pertengahan 1940-an, hanya ada 6 negara baru merdeka
yang menggunakan sistem semipresidensial ganda yang memiliki presiden sebagai
kepala negara dan perdana menteri atau menteri pertama sebagai kepala pemerintahan
yakni Finlandia, Lebanon, Siria, Peru, Indonesia, dan Korea Selatan. Sekarang model
tersebut semakin populer dan digunakan di banyak negara, karena dipandang sebagai
bentuk pemerintahan demokratis yang lebih stabil dan lebih efektif di
negara yang memiliki multi partai politik. Di negara-negara Amerika Latin, diterapkan
model semipresidensial yang mempunyai lebih banyak karakteristik sistem parlementer
seperti: (a) para menteri dapat menghadiri sidang parlemen; (b) parlemen melakukan
impeachment atau memberi mosi tidak percaya kepada menteri atau kabinet; atau (c)
perdana menteri diangkat dari dan oleh parlemen. Kantor (Dalam DiBacco, ed., New
York, Praeger, 1977) memperkenalkan varian sistem pemerintahan keempat, yang lebih
banyak mengandung ciri-ciri sistem parlementer, kecuali ada pemisahan kekuasaan dan
kepala negara yang terpilih untuk masa bakti tertentu, dan menamakannya sistem semiparlementer atau quasi parlementer.

A. Konsep Konstitusi Afrika Selatan


Afrika Selatan sering disebut sebagai contoh pelaksanaan yang baik dalam usaha
pembuatan konstitusi. Dalam banyak kasus sering terjadi banyak ketegangan yang tajam
dan dapat meledak sewaktu waktu timbul berkaitan dengan proses pembuatan
konstitusi. Persoalannya adalah apakah proses tersebut harus memberikan kepentingan
yang sama terhadap pendapat masing masing kecenderungan politik ataukah
penghentian proses legitimasi atau diserahkan pada badan pembuat konstitusi yang
dipilih secara demokratis. Afrika Selatan menjalani proses ini dengan menjalani proses
pembuatan konstitusi dengan dua prinsip penting. Ada dua tahap pendekatan. Pada tahap
pertama, proses multi partai dimana semua partai diberikan kepentingan yang sama untuk
memformulasikan dan menyusun seperangkat prinsip prinsip konstitusi yang mengikat.
Prinsip prinsip konstitusi tersebut adalah mekanisme dimana hak hak minoritas
dijamin. Dalam tahap kedua, majelis konstitusi yang dipilih secara demokratis diberikan
kewenangan untuk merampungkan dan menyempurnakan penyusunan konstitusi yang
disesuaikan dengan prinsip prinsip konstitusi yang telah digariskan.
Setelah memutuskan metode bagaimana konstitusi seharusnya ditulis, pertanyaan
yang kemudian muncul adalah apakah majelis konstitusi (yang dipilih secara demokratis)
akan merancang konstitusi dengan menghentikan kepentingan lebih jauh atas partisipasi
publik dalam proses pembuatannya. Telah ditentukan bahwa proses ini tidak akan
melemahkan kemungkinan partisipasi publik dan bahwa ada suatu kebutuhan untuk
memajukan keterlibatan publik terus menerus dalam proses pembuatan konstitusi. Di
Afrika Selatan, seiring bertambahnya publikasi mengenai proses pembuatan konstitusi di
media termasuk isu isu yang dibahas, posisi masing masing partai dan beragam
formulasi rancangan maka diputuskan umtuk melibatkan rakyat secara langsung.
Partisipasi publik secara langsung diajukan pada awalnya oleh permusyawaratan rakyat
dimana para anggota majelis pembuat konstitusi mengunjungi setiap desa atau kota
dengan sikap bipartisan (yaitu dengan perwakilan paling sedikit dua partai berbeda) yang
tugasnya bukan memperdebatkan isu isu tertentu satu sama lain tapi hanya
mendengarkan apa yang masyarakat ingin sampaikan. Majelis tersebut berfungsi

menyerap kepentingan dan aspirasi rakyat. Proses berikutnya yang dilakukan adalah
pengumpulan pendapat tertulis dari rakyat tentang teks konstitusi. Masyarakat diminta
menyampaikan pendapat mereka tentang bagimana dan apa masalah masalah yang
harus diuraikan dalam konstitusi. Dalam proses ini diharapkan 100.000 ajuan pendapat
diterima. Namun dalam kenyataannya, lebih dari 2.000.000 ajuan pendapat diterima
mulai dari asosiasi organisasi bisnis sampai pada perseorangan dari kalangan petani
biasa.
Tentu saja tidak semua pendapat yang muncul berkaitan dengan pokok bahasan
konstitusi. Beberapa perempuan mengambil kesempatan ini untuk mengeluhkan
ketidakpedulian suami terhadap istri atau perlakuan kejam terhadap istri, dan para petani
mengeluhkan tentang pencurian ternak dan kurangnya tindakan polisi. Walaupun
persoalan persoalan yang muncul terlepas dari pertanyaan konstitusi, namun
kenyataannya masyarakat mengangkat isu penting tentang kesetaraan gender atau
kuarangnya tanggung jawab pejabat publik terhadap keprihatinan masyarakat. Dengan
mengembangkan proses partisipasi publik ini, konstitusi dirancang dalam suatu
lingkungan atau konteks dimana rakyat jelata merasa bahwa mereka mendapat
kesempatan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran mereka secara langsung.,
dan dalam prosesnya keprihatinan mereka didengarkan. Pada gilirannya rasa
kepemilikan terhadap produk konstitusi tersebut tumbuh dihati rakyat dan mereka sebut
ini adalah konstitusi kami, kami membantu membuatnya.

1. Isi Konstitusi
Konstitusi menyatakan aspirasi bangsa, mengungkapkan konsensusnya,
menyampaikan sejarahnya dan masa depannya. Sering dikatakan bahwa konstitusi
merupakan biografi suatu bangsa yang merefleksikan masa lalu bangsa dan nilai nilai
yang dikandungnya. Namun, untuk menjadi landasan efektif bagi demokrasi
berkelanjutan yang harus dilakukan adalah lebih daripada itu. Konstitusi menetapkan
atauran aturan dasar untuk memfungsikan rakyat. Konstitusi harus membangun
kerangka untuk konteks politik dan juga menentukan imbalan (sesuatu yang dapat
diperoleh) atas kontes politik tersebut. Konstitusi tidak dimaksudkan untuk memecahkan
segala konflik dan persoalan dalam masyarakat. Tugas sebuah konstitusi adalah
menyediakan kerangka untuk menata konflik. Sebaiknya konstitusi tidaklah dibebani
dengan persoalan persoalan tambahan non-konstitusi meskipun hal itu mungkin
penting. Juga tidaklah perlu membahas hal hal detail dalam konstitusi mengenai cara
kerja parlemen, pelayanan umum ataupun sistem pemilihan. Hal-hal detail sebaiknya
dimasukkan dalam undang undang.

2. Sistem Pemilihan
Pada hakekatnya tugas pertama konstitusi adalah menetapkan kerangka untuk
politik yang demokratis. Konstitusi tersebut harus menyatakan bagaimana fungsi sistem
pemilihan, dengan kata lain bagaimana aspirasi rakyat diartikulasikan melalui sistem
politik. Untuk memberi keyakinan pada rakyat, dalam tugasnya merekan perlu disediakan
suatu sistem yang tidak memungkinan pelanggaran terhadap hak hak minoritas oposisi.
Dalam hal ini, pelaksanaan terbaik yang telah terjadi akhir akhir ini merefleksikan
perhatian bahwa sistem pemilihan harus menghasilkan legislatif yang menyeluruh dimana
seluruh pilihan politik rakyat secara proporsional terwakili) sementara dalam waktu yang
bersamaan memastikan adanya pemilihan yang reguler dan periodik. Dalam menentukan
aturan aturan kontes, konstitusi tidak menjadi undang undang pemilihan. Pemungutan
suara adalah salah satu tindakan warga negara yang paling ekspresif dan dengan
menjamin akses yang sama menuju tempat pemungutan suara dan nilai yang sama
terhadap suara seluruh warga negara, sistem pemilihan bias menyatakan atau meniadakan
nilai ini. Sebuah sistem seperti dalam
Pemilihan terakhir di Lesotho, yang memberikan hasil tak sepadan (suatu partai
yang memperoleh 40 % suara mendapatkan hanya 2% kursi) bias menuju ketidakstabilan
politik. Hal yang sangat lajim juga bahwa pemilihan diatur oleh badan yang secara jelas
tidak memihak atau komisi pemilihan. Ketika hasil pemilihan dicurigai atau

diperdebatkan, legitimasi seluruh struktur pemerintahan akan dipertanyakan.


Bagaimanapun sempurnanya konstitusi telah dirancang, tidaklah akan berhasil jika
kecurangan pemilihan terjadi menyeluruh. Selain tugas konstitusi dalam menentukan
aturan aturan dasar pemilihan atau kontes politik, konstitusi juga harus menetapkan dan
menentukan hadiah kontes tersebut. Salah satu poradoks yang harus dihadapi adalah
bahwa pemilihan demokratis sebagai mekanisme penting untuk perkembangan politik
yang damai sering diasosiasikan dengan kekerasan dan konflik, khususnya di negaranegara berkembang. Alasan atas hal tersebut adalah karena eksistensi arah yang salah
mengenai batasan-batasana ras, kesukuan,bahasa, agama dan daerah. Negara-negara
berkembang tidak memiliki homogenitas linguistik, budaya dan agama seperti
kebanyakan negara-negara barat miliki.
Lebih dari itu, politik kepartaian cenderung berkaitan dengan arah yang salah
tersebut yang menghasilkan politik kelompok, yaitu suatu kehidupan politik yang tidak
didasarkan kepentingan rakyat, tetapi kepentingan afiliasi kelompok yang menentukan
pilihan politik, lebih lanjut dibanyak negara berkembang, perebutan pemerintahan dalam
langkah langkah substansial termasuk juga perebutan ekonomi. Dalam sistem politik
tersebut pelaksanaan politik yang demokratis seperti itu bias mengarah pada
marginalisasi tiada henti terhadap kelompok-kelompok minoritas. Sangatlah penting
kemudain bagi konstitusi untuk menentukan sesuatu yang dapat diperoleh (hadiah) dalam
suatu cara tertentu dengan menjamin tidak adnya diskriminasi dalam struktur
pemetintahan, dan memastikan menejemen yang efektif terhadap kemungkinan konflik
antara kelompok dan daerah. Secara ringkas, konstitusi modern harus menentukan
sesuatu yang layak diperoleh oleh pemenang dalam kontes politik, dan juga aturan-aturan
yang harus dilakukan untuk meminimalkan resiko kekerasan sektarian dan
mengembangkan partisipasi yang lebih menyaluruh dalam kerangka tersebut.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menjamin tingkat partisipasi regional
yang lebih besar dalam management kemasyarakatan dan memberikan otonomi lokal dan
regional yang lebih luas berkaitan dengan masalah-masalah yang sebaiknya ditangani dan
diawasi oleh tingkat lokal dan regional tersebut, mekanisme yang lainnya adalah
terjaminnya partisipasi rakyat dalam struktur kenegaraan diseluruh sektor
kemasyarakatan dimana para pemegang jabatan politik dan partai harus memiliki
dukungan rakyat yang beragam secara regional; dan meminimalisir kesempatan satu
kelompok merebut pemerintahan dan memiliki akses terhadap hasil hegemoni politik,
juga memberikan peranan yang penuh dan berharga bagi partai oposisi.

3. Eksekutif dan Legislatif


Saah satu tugas konstitusi yang penting adalah menetapkan struktur kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif dan pemerintahan. Tugasnya adalah membangun
struktur dalam cara tertentu dengan jaminan pemerintahan yang terbuka, transparan dan
bertanggung jawab. Konstitusi juga menentukan secara ketat batasan-batasan dan
pemisahan tugas dari tiap-tiap pilar pemerintah. Pada dasarnya tugas legislatif adalah
merefleksikan aspirasi rakyat dengan membuat undang-undang sesuai dengan mandat
politik yang diberikan oleh pemilihnya. Kedua meminta pertanggungjawaban terhadap
eksekutif. Bukanlah tugas-tugas legislatif untuk melakukan fungsi-fungsi eksekutif dan
legislatif. Bagaimanapun ia harus bebas tekanan dari eksekutif. Mengenai eksekutif
fungsi yang penting dan utama adalah menjalankan undang-undang melaluai
pembentukan dan manajemen pelayanan masyarakat. Merupakan hal yang penting bagi
pemerintah memiliki kebebasan yang benar untuk bertindak demi kepentingan
Pemerintah yang efektif dan efisien. Salah satu tantang yang dihadapi oleh
demokrasi yang baru adalah kebutuhan dalam memenuhi kepentingan layanan
masyarakat. Hal ini berlaku pada setiap tingkat pemerintahan. Secara khusus hal ini
sangatlah penting dalam masyarakat yang sedang mengalami transformasi, dimana
keuntungan demokrasi (demokrasi dividen) harus diantarkan pada pemilih. Kegagalan
dalam melaksanakan hal tersebut akan menagkibatkan kekecewaan rakyat terhadap
pembangunan dan pengalaman demokrasi. Bagaimanapun kini semakin disadari bahwa
hal penting mengenai pemerintahan yang baik adalah pertanggungjawaban dan

keterbukaan sebagai faktor pendorong dibelakang pemerintahan yang efektif dan


pelayanan publik yang layak, pertanggung jawaban dan transparansi adalah penangkal
terbaik terhadap korupsi dan pemerintahan yang buruk.
Dalam kontek Indonesia, kita memahami betapa pentingnya memiliki batasan
yang jelas antara legeslatif dan eksekutif, tugas konstitusi secara jelas menunjukan apa
kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing kekuasaan
pemerintah dan dalam hal apa, juga berapa, penting fungsi tanggung jawab antara
keduanya untuk dilaksanakan, batasan-batasan yang lemah tidak hanya mengarah pada
kebuntuan konstitusi tapi juga dapat menimbulkan ambiguitas dimana satu pilar
pemerintahan memberikan asumsi atau fungsi pilar pemerintah lainnya sehinga merusak
tatanan pemerintah yang terbuka, taransparan, dan bertanggung jawab. Sesungguhnya
pemerintah yang otoriter selalu disertai dengan sentralisasi kekuasaan biasanya berada
pada kekuasaan eksekutif yang mengorbankan kekuasaan pemerintahan lainya.

4. Yudikatif
Berkaitan dengan yudikatif perlu ditegaskan bahwa peran yudikatif adalah titik
berat dalam fungsi negara yang mempunyai konstitusi moderen. Dalam negara yang
berkoinstitusi, suatu badan dituntut untuk menegakan ketentuan-ketentuan konstitusi
berkaitan antara batasan-batasan antara eksekutif, legeslatif dan yudikatif anatara
wewenang pemerintah pusat dan daerah serta antara warga negara dan negara. Tugas
tersebut hanya dapat dijalankan oleh suatu badan yang independen terlepas dari
kekuasaan pemerintah lainnya, karena itulah hal paling penting dalam yudikatif moderen
yang mampu menopang demokrasi adalah independensi, ada bebrapa cara agar
independensi dapat terjamin, konstitusi moderen menekankan pada metode pengangkatan
hakim, kondisi jabatan mereka, periode pengangkatan atau wewenang pemberhentian
yudikatif yang bertugas menghindarkan hakim dalam pengaruh politik, semakin lama
kecendrungannya adalah mengganti kontrol langsung dari eksekutif terhadap yudikatif,
yaitu dengan membentuk suatu institusi khusus dimana para shareholders berpartisipasi
sebagai badan yang bertugas menjalankan pengawasan yang sangat ketat terhadap fungsi
yudikatif, dikatakan demikian karena hakimpun dituntut bertanggung jawab terhadap
publik, palingt idak dalam pelaksanaan fungsi penting mereka dan pengawasan ini
sebaiknya tidak diserahkan pada pengacara atau hakim semata.

5. Hak Asasai Manusia


Dalam dunia sekarang, kita tidak mmungkin membahas landasan konstitusi bagi
demokrasi berkelanjutan tanpa membicarakan tentang perlunya hak-hak asasi yang harus
dilaksanakan dan diabadikan dalam konastitusi. Hak-hak inilah yang menjamin
kebebasan asasi individu dan kelompok dan memberikan substansi kewarganegaranan
yang setara, hak-hak yang begitu terjaga tersebut dianggap essensi dan tidak ada satu
undang-undangpun boleh membatasinya, hak-hak tersebut harus berfungsi menjamin
kebebasan individu dan kebebasan politik, hak budaya dan minoritas, serta hak-hak
ekonomi kemasyarakat mendasar. Kondisi perkembangan sekarang ini konstitusi
moderen terus dibuat lebih jauh tanpa memuat pernyataan hak-hak asasi, mereka
membentuk institusi independen khusus yang memajukan hak asasi dari pada hanya
mengandalkan institusi pemerintahan untuk menegakannya hal ini dapat dilihat
pelaksanaan pembentukan komisi
Independen hak-hak asasi manusia, ombudsman, dan instansi-instansi serupa
secara konstitusional yang melakukan tugasnya terlepas dari pada pemerintah dalam
memajukan nilai-nilai konstitusi, konstitusi Nigeria, seperti yuang disampaikan diatas
sangat melindungi hak-hak wanita dan telah berjalan begitu lama meskipun berada
dibawah kekuasaan militer. Tetapi tidak satupun kasus pernah dibawa kehadapan
pengadilan demi menegakan hak-hak ini.

6. Perencanaan Keuangan
Diakui bahwa persiapan politik untuk sebuah konstitusi mesti ditopang dengan
perhitungan dan pertimbangan mengenai keuangan, Contohnya dalam sistem otonomi

daerah haruslah disertai dengan pembagian sumber penghasilan yang adil dan tepat.
Hubungan antara legeslatif dan eksekutif juga harus didukung oleh otonomi keuangan
dan pertanggungjawabannya. Parlemen yang mengusulkan dana kepada eksekutif harus
memiliki mekanisme yang menjamin bahwa dana yang diusulkan digunakan sesuai dngan
anggaran, atas pertimbangan tersebut, setiap konstitusi sebaiknya memasukan financial
constisitution yang akan mampu mendukung ketetapan konstitusi dan menyelesaikan
konflik yang mungkin timbul dalam persaingan tak terelakan untuk perolehan sumber
penghasilan.

7. Pemerintahan Lokal dan Regional


Konstitusi harus menyatakan bukan hanya batasan vertikal antar kekuasaan
pemerintah (legeslatif, eksekutif dan yudikatif) tetapi juga harus menyusun batasan
horizontal antar tingkat pemerintahan. Dalam hal ini, konstitusi harus membahas
wewenang eksekutif dan legeslatif pada tingkat nasional, regional dan lokal. Banyak
konstitusi moderen mengakui pentingnya pemindahan kekuasaan pada tingakat tersebut
dimana wewenang dapat dilaksanakan dalam cara yang bertanggung jawab. Yang
termasuk hal pokok dalam penyerahan wewenang dari tingkat pusat ke tingkat daerah
adalah akuntabilitas yang tepat antara badan pemberi pelayanan dan orang-orang yang
mengkonsumsi dan membayar (melalui pajak) atas pelayanan tersebut. Penyediaan
keterangan terhadap tingkat daerah termasuk kekhususan demograpis, agama dan budaya;
perlunya mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya; dan yang paling penting
memberikan kelompok regional dan lokal bantuan nyata dalam melaksanakan seluruh
sistem pemerintahan. Ada beberapa cara mengatur penyerahan wewenang terhadap
tingkat daerah atau sistem pemerintahan lokal/ regional.
Daerah dapat mengembangkan usaha bermakna dalam sistem tersebut walaupun
mereka tidak dapat bantuan dari pemerintah yang sedang berkuasa yaitu dengan
memberikanya tanggung jawab dan kapasitas untuk mengatur dan mengkontrol aspekaspek pemerintahan secara tepat pada tingkat lokal atau regional. Perhatian yang
diberikan terhadap konstitusi tidak hanya mengenai cara penyerahan kekuasaan pada
tingkat lokal dan regional tapi juga cara pelaksanaanya dalam kerangka kerjasama dan
kolaborasi nasional. Hal ini perlu ditegaskan karena dinamika dalam sistem pemerintahan
regional adalah persaingan demi kepentingan pribadi, dimana daerah bersaing dengan
pemerintahan nasional dan juga daerah lainya dengan tidak mementingkan yang lainnya,
picik dan saling merusak misalnya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan air,
lingkungan atau hak-hak minoritas daerah. Kesempitan berpikir dalam pemerintahan
regional terasebut dapat diatasi dalam suatu sistem yang memberikan pemerintahan
regional beberapa pengaruh dan tanggung jawab untuk menentukan kerangka pemerintah
nasional secara menyeluruh - suatu fungsi yang secara khusus dijalankan oleh DPRD
seperti pada pada Bundesrat di Jerman.

Anda mungkin juga menyukai