Anda di halaman 1dari 8

TUGAS TUTORIAL I

HUKUM TATA NEGARA

Oleh :

Cahaya Gumelar Permana Kusumah

NIM. 043450043

UNIVERSITAS TERBUKA JAKARTA


Tugas.1

Tugas Tutorial ke-1 akan diselenggarakan setelah kegiatan Tutorial pada Sesi 3,
diharapkan mahasiswa bisa menyelesaikannya pada waktu dua minggu setelah
selesai tutorial di Sesi 3 ini.
Kerjakan soal di bawah ini dengan singkat dan jelas. Jawaban yang hanya
mengambil dari internet (plagiat) tidak akan mendapatkan nilai maksimal. Sertakan
referensi dalam mengutip.
Submit (unggah) pada tempat yang sudah disediakan dan tidak melebihi waktu yang
telah ditentukan.

Baca terlebih dahulu untuk menjawab pertanyaan.

Presidensial dan Parlementer

Merujuk pada pendapat Shugart dan Carey, W. Joseph Robbins (Ibid: 179) lebih
jauh menjabarkan atribut esensial yang melekat di dalam sistem presidensial
sebagai karakteristik yang sering kali ada (sekaligus membedakannya dengan
sistem parlementer), yaitu:

Pertama, adanya pemisahan kekuasaan diantara cabang-cabang pemerintahan.


Pemisahan kekuasaan disini merujuk pada pemisahan yang jelas di dalam
pertanggungjawaban, sebagaimana eksekutif bergerak dalam wilayah kerja
administrator atau pelaksana hukum, legislatif yang membuat hukum, serta lembaga
kehakiman yang berwenang menafsirkan dan memutuskan hukum.

Hal ini tentunya berbeda jika melihat pada sistem parlementer yang terjadi peleburan
antara lembaga eksekutif merupakan bagian dari legislatif.

Kedua, Presiden dipilih secara langsung dengan beberapa varian pemilihan di seisi
negara. Bukan semata-mata ditentukan formasinya oleh parlemen. Tentunya banyak
mekanisme berbeda-beda yang digunakan oleh masing-masing negara penganut
presidensial dalam menentukan presiden.

Ada yang simple hanya dengan kandidat yang memperoleh suara lebih banyak dari
yang lain, atau harus mendapatkan suara lebih dari 50% sebagaimana diterapkan di
Prancis. Beda lagi dengan Amerika Serikat dalam pemilihan presiden menggunakan
model electoral college.

Ketiga, masa jabatan presiden tidak bergantung pada dukungan legislatif. Bervariasi
antara 4-5 tahun. Jika ingin menjadi presiden lagi, maka dia harus mengikuti
pemilihan pada periode berikutnya. Terkait penurunan presiden di tengah jalan,
memang tidak memutus kemungkinan bisa terjadi, namun sistem presidensial
sangat mengamankan posisi presiden, sebab salah satunya presiden memiliki
sumber legitimasi tersendiri yang terpisah dari parlemen.
Sedangkan di dalam sistem parlementer, masa jabatan presiden dan juga kabinet
tergantung pada kepercayaan legislatif. Parlemen bisa mengajukan mosi tidak
percaya yang berakibat pada penurunan kepala pemerintahan dan juga kabinetnya.

Kelima, eksekutif memiliki otoritas untuk membuat hukum. Meskipun di beberapa


negara, misalnya di Amerika Serikat, sebetulnya eksekutif tidak memiliki
kewenangan untuk membuat hukum. Implikasi dari kewenangan pembuatan hukum
bagi eksekutif terkadang membuat tumpang tindih dengan lembaga eksekutif,
terlebih lagi jika eksekutif memiliki ambisi besar dalam mempersempit wilayah kerja
pembuatan hukum bagi eksekutif.

Kasus penerapan sistem presidensial di Rusia dan Ukraina bisa menjadi contoh
yang baik, hal itu disebabkan karena presiden
memanfaatkan considerably power yang dimilikinya. Sedangkan di dalam sistem
parlementer, eksekutif hanyalah pelaksana dari garis besar halauan yang telah
ditentukan oleh parlemen.

Di sisi lain, ada sistem yang bernama parlementer, atau banyak yang menyebutnya
dengan istilah Westminster model, yang diawali dari sistem pemerintahan di
Inggris. Defisini mendasar dari karakteristik sistem parlementer adalah “peleburan
cabang eksekutif dan legislatif, dimana biasanya kepala negara dan kepala
pemerintahan dijabat oleh orang yang berbeda, lain dengan sistem presidensial
yang kerap kali dipegang oleh orang yang sama” (Ibid: 180).

Tahapan pemilihannya kira-kira ringkasnya begini: para pemilih memilih partai


atau perwakilian mereka yang duduk di parlemen, kemudian parlemen yang
terbentuk, setelah mendapatkan hasil dari alokasi kursi, merancang
atau membentuuk pemerintah. Legislatif lah yang menentukan siapa yang akan
melayani sebagai kepala pemerintahan, pemerintahan disini juga meliputi menteri
dan cabinet.

Di dalam sistem parlementer, jika memang ada suara mayoritas partai, maka biasanya
akan lebih mudah dan cepat dalam menyusun formatur pemerintahan dan tidak
membutuhkan koalisi. Sebaliknya, jika tidak ada partai yang memiliki mayoritas suara
di parlemen, maka partai akan mencari mitra koalisi di dalam mengusung formatur
pemerintahan.

Di sinilah nanti pembagian kursi di dalam kabinet pemerintahan yang akan datang
sangat jelas. Bagaimanapun juga, kerjasama antar politisi di dalam sistem
parlementer sangat penting.

Dalam buku “Demokrasi Elektoral: Sistem dan Perbandingan Pemerintahan” (2015)


dijelaskan, dalam sistem parlementer, eksekutif disebut sebagai eksekutif ganda,
yang berisi kepala negara dan kepala pemerintahan.

Yang telah disinggung sebelumnya bahwa sistem parlementer berakar dari tradisi
kerajaan Inggris. Dimana kepala negara dijabat oleh raja atau ratu dan secara formal
mengangkat Perdana Menteri, yang biasanya merupakan ketua partai pemegang
kursi terbesar di parlemen.
Semi

Di antara sistem presidensial dan parlementer, ada pula sistem semi presidensial.
Istilah “sistem “semi presidensialisme merupakan term dari
Maurice Duverger yan telah melakukan penelitian di Republik ke V Perancis sejak
1958. Menurut Duverger, semi presidensialisme adalah “sistem yang memadukan
tiga eleman, yaitu presiden dipilih langsung melalui pemilu seperti sistem presidensial,
yang mempunyai kekuasaan yang berarti (seperti di Amerika Serikat), lalu
berhadapan dengan menteri dan perdana menteri yang mengelola eksekutif dan
memiliki kekuasaan yang memerintah, serta tergantung pada mayoritas parlemen
sebagaimana di dalam sistem parlementer”. Sistem semi presidensialisme sendiri
masih diperdebatkan, sebagian menyatakan bahwa sistem ini adalah sistem dalam
fase alternatif, tergantung bagaimana kondisi di parlemen. “Jika
mayoritas dibelakang presiden, presidensial, namun jika bersebarangan,
parlementer”.

Sebagaimana yang telah dikatakan di awal tulisan, memang secara praktik sukar
ditemukan banyak negara yang menganut sistem pemerintahan baik presidensial
maupun parlementer secara murni.

Konsep in between atau semi ini bisa menjadi suatu penjembatan ketika ada suatu
negara yang menjalani beberapa model yang ada di presidensial sekaligus
parlementer. Meskipun, beberapa ilmuwan menyatakan tinggal lebih banyak
mengadopsi karakter yang mana, sehingga bisa disebut penganut presidensial atau
parlementer.

1. Apakah sistem pemerintahan parlementer hanya digunakan pada negara


yang berbentuk monarki?

2. Berikan analisis anda mengapa sistem


pemerintahan presidensial memiliki stabiltas tinggi? Berikan alasannya.

3. Berikan analisis anda sistem pemerintahan semi apa yang pernah diterapkan
di Indonesia.

Jawab :

1. Yang dimaksud dengan sistem pemerintahan parlementer ialah sisitem


pemerintahn yang tugas pemerintannya dipertanggung jawabkan oleh para menteri
ke parlemen-parlemen dapat menjatuhkan mosi tidak percaya pada kabinet, tetapi
pemerintah juga tidak dapat membubarkan parlemen apabiala parlemen dianggap
tidak mewakili kehendak rakyat.

Untuk mendalami karakter sistem pemerintahn parlemen, tidak cukup dengan hanya
memperhatikan parlemen sebgai objek utama yang diperebutkan sistem parlementer
merupakan sistem dan menterinya bertanggung jawab kepada parlemen ditambah
dengan kekuasaan yang lebih kepada parlemen.9 Dengan argumentasi ini, sistem
pemerintahan parlementer , badan eksekutif dan badan legislatif bergantung satu
sama lain, kabinet sebagian dari badan eksekutif yang bertanggung jawab diharap
mencerminkan kekuatan- kekuatan politik dalam legislatif yang mendukungnya dan
mati-hidupnya kabinet bergantung kepada dukungan dalam badan legislatif.10 Dalam
perjalanannya, pemerintah bisa jatuh melalui mosi tidak percaya dari lembaga
legislatif. Dengan, kondisi itu dalam system parlementer, berkelanjutan pemerintah
sangat bergantung dengan dukungan parlemen.11 Dalam prakteknya, sifat serta
bobot ketergantugan tersebut sangat berbeda antara satu Negara dengan Negara
lain, akan tetapi umumnya dicoba untuk mencapai semacam keseimbangan antara
badan eksekutif dan legislative.

Monarki berasal dari kata monarch yang berarti raja yang berkembang menjadi cara
kerja negara. Sistem monarki berarti jenis kekuasaan politik di mana raja atau ratu
sebagai pemegang kekuasaan dominan negara (kerajaan). Menurut para pendukung
monarki, mereka berpendapat jika kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan lebih
efektif untuk menciptakan suatu stabilitas di dalam proses pembuatan kebijakan.
Selain itu perbedaan pendapat dan perdebatan, atau persaingan antar kelompok
menjadi relatif terkurangi karena hanya ada satu kekuasaan yang dominan.

Berikut penjelasan sistem monarki lebih detail

A. Jenis Sistem Monarki

Melansir dari buku Kewarganegaraan 3 oleh Chotib, dkk, berikut adalah jenis-jenis
sistem monarki:

1. Monarki mutlak

Monarki mutlak adalah bentuk pemerintahan yang seluruh kekuasaan


pemerintahannya bersifat tidak terbatas atau mutlak.

2. Monarki konstitusional

Monarki kontitusional adalah bentuk pemerintahan di mana kekuasaan raja dibatasi


oleh konstitusi atau undang-undang dasar. Maka, tindakan raja harus sesuai dengan
konstitusi.

3. Monarki parlementer

Monarki parlementer adalah sistem kerajaan yang di dalam pemerintahannya terdapat


parlemen atau dewan perwakilan rakyat. Para menteri, baik secara individu maupun
keseluruhan, bertanggung jawab kepada parlemen tersebut.

Dalam sistem pemerintahan monarki parlementer, raja merupakan lambang kesatuan


negara, tidak dapat diganggu gugat, dan kedudukannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud tidak dapat dipertanggungjawabkan adalah
the king can do no wrong atau raja tidak melakukan kesalahan.

jadi, sistem pemerintahan parlementer hanya digunakan pada negara yang berbentuk
monarki
2. Sistem presidensial atau disebut juga dengan sistem kongresional,
merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasaan eksekutif dipilih
melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasaan legislatif.
Untuk disebut sebagai sistem presidensial, bentuk pemerintahan ini harus memiliki
tiga unsur yaitu:

• Presiden yang dipilih rakyat


• Presiden secara bersamaan menjabat sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan dan dalam jabatannya ini mengangkat pejabat-pejabat
pemerintahan yang terkait.
• Presiden harus dijamin memiliki kewenangan legislatif oleh UUD atau
konstitusi.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat
dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih
ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran
konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi
presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran
tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.
Penerapan sistem pemerintahan presidensial di negara-negara dunia dapat berbeda-
beda, sebagian ada yang menerapkan sistem presidensial dikombinasikan dengan
sistem dwi partai, sebagian lagi ada yang menerapkan sistem presidensial
dikombinasikan dengan sistem multipartai. Dalam penerapan sistem pemerintahan
presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multipartai, maka yang perlu
dipahami bahwa sistem multipartai merupakan struktur politik, sedangkan sistem
presidensial merupakan struktur konstitusi. Kedua struktur ini berada pada level yang
sama dan setara. Implikasi utama penerapan sistem multipartai adalah tingkat
pelembagaan kepartaian rendah dan kekuatan politik di parlemen cenderung
terfragmentasi. Fragmentasi kekuatan politik sangat sulit dihindari dalam sistem
multipartai yang memiliki tingkat kemajemukan partai cukup tinggi. Sebab, kekuatan
politik di parlemen cenderung terdistribusi secara merata, sehingga akan sulit
memperoleh kekuatan mayoritas dalam parlemen.

Konsekuensinya, partai harus melakukan koalisi, baik di pemerintahan (kabinet)


maupun di parlemen. Di sisi yang lain ada institusi presiden (lembaga kepresidenan),
personalitas, dan gaya kepemimpinan presiden. Struktur politik (sistem multipartai)
dan struktur konstitusi (sistem presidensial) ini akan mempengaruhi corak dan perilaku
institusi kepresidenan dan personalitas presiden, dan sebaliknya. Idealnya, untuk
menjaga stabilitas pemerintahan dalam struktur politik presidensial, partai presiden
haruslah partai mayoritas, yaitu partai yang didukung suara mayoritas di parlemen.
Kekuatan mayoritas ini diperlukan dalam parlemen, untuk menjamin stabilitas
pemerintahan presiden terpilih agar presiden mudah mendapatkan dukungan secara
politik dari parlemen guna melancarkan kebijakan politik yang dibuat presiden.
Namun, suara mayoritas ini sulit diperoleh oleh partai presiden dalam situasi
multipartai, kecuali mengandalkan koalisi partai politik di parlemen dan kabinet agar
dapat meraih suara mayoritas untuk menjamin stabilitas pemerintahan. Kedua,
Indikator Sistem Presidensial yang Efektif.

Efektivitas Sistem Presidensial sebenarnya 2 ditentukan oleh dua dimensi :


1. Efektivitas Sistem ( Institusional ) : bahwa relasi antar aktor dan institusi
presidensialisme berjalan sesuai aturan.

2. Efektivitas Personalitas Presiden (Non Institusional ) : menyangkut kemampuan dan


karakter personal presiden dalam menerapkan presidensialisme sesuai rumusan
konstitusi.

3. Indonesia sebagai sebuah Negara kesatuan dalam perjalanannya telah


mempraktikkan tiga sistem politik dan pemerintahannya, baik itu parlemeneter,
presidensil, maupun semi presidensil. Namun demikian, tujuan yang dikehendaki agar
Indonesia menjadi salah satu negara yang lebih demokratis nyatanya berkata
sebaliknya. Hal ini dikarenakan, sistem politik dan pemerintahan yang diharapkan
mampu menaungi kepentingan seluruh rakyat Indonesia mengalami stagnansi pada
permasalahan mekanisme dan personal-personalnya itu sendiri yang belum
memaksimalkan kemampuannya. Hal ini bisa dibuktikan dengan tiga argumen
penting.

Pertama, pada masa demokrasi liberal (pasca-kemerdekaan) sistem yang digunakan


adalah presidensil, tetapi dirubah oleh Moh. Hatta melalui Maklumat X sehingga
sistem yang digunakan menjadi parlementer. Akan tetapi, ekspektasi Presiden
Soekarno dengan adanya parlemen tidak memiliki imbas yang signifikan. Sebab,
parlemen seharusnya mampu mengimbangi kinerja eksekutif (sebagai checks and
balances) menghadapi pelbagai masalah, yaitu: dalam pengelolaan negara tidak
efektif. Artinya, parlemen hanya berfungsi sebagai pemelihara eksistensi kekuasaan
eksekutif dibandingkan berusaha untuk memperbaiki dan memajukan kinerja serta
posisinya sebagai lembaga perwakilan rakyat. Kemudian, sumbangsi parlemen
terhadap rakyat dalam memulihkan traumatik dan memperbaiki taraf kehidupannya
juga belum realistis. Dengan kata lain, hasil pemilu demokratis di tahun 1955 tidak
didampingi oleh kemampuan parlemen untuk mendorong kemajuan Indonesia.
Alhasil, presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden di tahun 1959 untuk
membubarkan parlemen sekaligus membangun sistem presidensil utuh meskipun
parlemen dibentuk kembali, tetapi kekuasaannya telah didistorsikan sedemikian rupa
menjadi terbatas.

Kedua, penerapan sistem presidensil penuh dimanfaatkan oleh pemerintahan


Soeharto dalam demokrasi ‘Pancasila’ dengan membatasi sekaligus memisahkan
parlemen dengan kekuasaan eksekutif. Dalam arti iini, parlemen posisinya tidak
ditiadakan –kekuasaan parlemen secara simbolik ada, tetapi kinerjanya hanya
sebagai pengabsah program atau rencana tindakan kekuasaan eksekutif. Oleh
karena itu, penerapan sistem presidensil pada akhirnya keluar dari eksistensinya
sendiri karena sistem presidensil seharusnya dapat memposisikan kekuasaan
eksekutif dan kekuasaan legislatif secara seimbang. Dengan kata lain, penerapan
sistem yang dimaksudkan dapat dikategorikan sebagai ‘semi presidensil’ bukan
presidensil secara utuh dan dalam hal ini juga pada kekuasaan di masa demokrasi
terpimpin.

Ketiga, pasca-rezim ‘semi presidensil’ dilengserkan di tahun 1998 yang mana


presiden Soeharto digantikan oleh presiden B.J Habibie mengambil sebuah tindakan
cepat dengan menguatkan parlemen sedemikian rupa sehingga ‘seolah olah’
menjadi sebuah ajang ‘balas dendam’ yang sebelumnya dimarjinalkan. Parlemen
yang dikuatkan berkorespondensi dengan penyelenggaraan pemilu yang demokratis
yang diikuti oleh beragam partai politik dalam arti sebagai ejawantah multikulturalisme
Indonesia baik suku, ras, agama, keyakinan, dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila peserta pemilu di tahun 1999 membludak hingga 48 peserta.

Sumber Referensi :

Buku Materi Pokok Hukum Tata Negara Universitas Terbuka

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5771168/apa-itu-sistem-monarki-ini-
penjelasan-jenis-dan-contoh-negaranya

https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_parlementer

https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_presidensial

Desain Sistem Pemerintahan Presidensial Yang Efektif Retno Saraswati Universitas


Diponogoro

Jurnal Semi Presidensil:Paradoks Sistem Pemerintahan di Indonesia Yulion Zalpa


UIN Raden Fatah

Anda mungkin juga menyukai