Anda di halaman 1dari 5

TUGAS II

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

NAMA MAHASISWA : JAMALUDDIN FIDMATAN

NOMOR INDUK MAHASISWA/NIM : 042758191

KODE/NAMA MATA KULIAH : HKUM4403.19/ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

MASA TUGAS I : 16-30 MEI 2022

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS TERBUKA
TUGAS II
1. Soal Polemik Aset Akademi TNI, Pemkot Magelang Akan Ikuti Keputusan Presiden
Pemerintah Kota (Pemkot) Magelang, Jawa Tengah, akan mengikuti keputusan Presiden Joko
Widodo terkait polemik aset eks Mako Akabri. "Iya jelas. Kami menyerahkan kepada Bapak
Presiden, karena Bapak Presiden adalah kuasa pengelola aset negara, jadi semua aset negara
ini di bawah kewenangannya," kata Sekretaris Daerah Kota Magelang, Joko Budiyono,
kepada wartawan, Jumat (27/8/2021).
Joko mengaku telah melayangkan surat ke Istana tidak lama setelah logo TNI terpasang di
muka atas gedung kantor Wali Kota di Jalan Sarwo Edhie Wibowo Kota Magelang, Rabu
(26/8/2021) lalu. Surat itu juga ditujukan untuk Wakil Presiden, Ketua DPR RI, Menhankam,
Panglima TNI, Mendagri, Menkeu, Gubernur Jawa Tengah, DPRD Tingkat I dan
Kementerian Pertanahan. "Langsung kemarin tanggal 26 Agustus 2021 sudah kita kirim
langsung lewat kurir (utusan), langsung tidak via pos atau via jasa pengiriman, langsung kami
kirim kurir ke Bapak Presiden," kata Joko.
Joko mengungkapkan, surat yang ditujukan kepada presiden itu berisi permohonan bantuan
penyelesaian polemik aset yang melibatkan Akademi TNI tersebut. Dia berharap, pemerintah
pusat bisa turun tangan agar polemik ini tidak berkepanjangan.
Ia pun melampirkan dasar dan penjelasan historis bagaimana Pemkot Magelang bisa
menempati tanah dan bangunan eks Mako Akabri sejak 1 April 1985 itu. "Isi surat ke
presiden, mohon penyelesaian permasalahan aset ini, dimana permohonan kami ini
didasarkan kepada prasasti dan dokumen-dokumen serah terima aset dari Dephan ke
Mendagri pada tahun 1985 lalu," ujarnya. Joko menyatakan, siap dan menerima apa pun
keputusan Presiden nantinya.
Pertanyaan:
Bandingkanlah kekuatan hukum mengikat antara Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden.

2. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, MPR Dapat Berfungsi sebagai Penengah


Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) perlu berperan sebagai penengah dalam sengketa
kewenangan lembaga negara. Peran dan fungsi lembaga negara MPR tersebut menjadi salah
satu pokok bahasan dalam ujian promosi doktor Abdul Kholik, SH, MSi, di Fakultas Hukum
Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Sabtu (13/7/2019). Dalam disertasi berjudul
"Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dalam Penerapan Sistem Bikameral di Indonesia:
Studi Terhadap Sengketa Kewenangan DPD RI dengan DPR RI dalam Pelaksanaan Fungsi
Legislasi", Abdul Kholik meneliti soal sengketa kewenangan lembaga negara.
Sengketa kewenangan lembaga negara bisa saja terjadi, seperti antara DPR dan DPD.
Penyelesaian sengketa tersebut menjadi problem sistem ketatanegaraan.
Adapun Sekretaris Jenderal MPR, Dr. Ma'ruf Cahyono, SH, MH, menjadi salah satu anggota
dewan penguji. Ma'ruf mengakui, penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara
dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK). "Namun setelah diteliti oleh Abdul Kholik ternyata
penyelesaian oleh MK tidak efektif. Karena itu dicari jalan penyelesaian yang lain, yaitu
melalui non judicial," kata Ma'ruf dalam pernyataan tertulis, Sabtu (13/7/2019).
Dalam penelitian itu, penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara melalui jalur non
judicial, MPR sebagai penengah lembaga-lembaga negara. Peran MPR dapat difungsikan
sebelum lembaga-lembaga negara yang bersengketa menempuh penyelesaian sengketa
kewenangan melalui yudisial di MK. Penyelesaian di MPR adalah dengan model dialogis dan
musyawarah untuk mencapai mufakat. "Hasil penelitian untuk disertasi itu
merekomendasikan MPR sebagai penengah dalam sengketa kewenangan antar lembaga
negara. MPR menjadi mediator dan fasilitator. Namun disain ini akan disesuaikan tidak
seperti yang ada dalam penyelesaian sengketa kasus yang lain," kata dia.
Penguatan kelembagaan Oleh karena itu, MPR perlu diposisikan sebagai lembaga negara
yang lebih tinggi dibanding lembaga negara yang lain. Dengan kedudukan yang lebih tinggi
maka produk MPR dipatuhi lembaga negara lain. "Jika timbul persoalan pada saat semua
lembaga memiliki kewenangan yang sejajar maka sulit untuk diselesaikan," ujar dia.
Pertanyaan:
Uraikanlah Hubungan kelembagaan antara MPR dan Lembaga DPR/DPD dalam praktik
ketatanegaraan Indonesia?

Jawaban :

1. Perbedaan Keputusan Dengan Peraturan, suatu keputusan (beschikking) selalu


bersifat individual, kongkret dan berlaku sekali selesai (enmahlig). Sedangkan, suatu
peraturan (regels) selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku secara terus menerus
(dauerhaftig). 
Dengan demikian, Keputusan Presiden (Keppres) berbeda dengan Peraturan Presiden
(Perpres). Keputusan Presiden adalah norma hukum yang bersifat konkret, individual, dan
sekali selesai (contoh: Keppres No. 6/M Tahun 2000 tentang Pengangkatan Ir. Cacuk
Sudarijanto sebagai Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Sedangkan
Peraturan Presiden adalah norma hukum yang bersifat abstrak, umum, dan terus-menerus
(contoh: Perpres No. 64 Tahun 2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan
Penetapan Harga Bahan Bakar Gas Untuk Transportasi Jalan).
Kecuali untuk Keputusan Presiden yang sampai saat ini masih berlaku dan mengatur hal
yang umum contohnya Keppres No. 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital
Nasional, maka berdasarkan Pasal 100 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”), Keppres tersebut harus dimaknai
sebagai peraturan.
Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 100 UU 12/2011 yang berbunyi:

“Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur,


Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum
Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.”
Jadi, Keputusan Presiden berbeda dengan Peraturan Presiden karena sifat dari Keputusan
adalah konkret, individual, dan sekali selesai sedangkan sifat dari Peraturan adalah
abstrak, umum, dan terus-menerus. Bila Keppres bersifat mengatur hal yang umum, maka
harus dimaknai sebagai Peraturan.
Mengenai kekuatan hukum dan pemberlakuan suatu Keputusan Presiden, kembali pada
materi yang diatur dalam Keputusan Presiden tersebut. Apabila Keppres tersebut bersifat
konkret, individual, sekali selesai, maka isi Keppres hanya berlaku dan mengikat kepada
orang atau pihak tertentu yang disebut dan mengenai hal yang diatur dalam Keppres
tersebut.
Beda halnya jika Keppres tersebut berisi muatan yang bersifat abstrak, umum, dan terus
menerus, maka Keppres tersebut berlaku untuk semua orang dan tetap berlaku sampai
Keppres tersebut dicabut atau diganti dengan aturan baru.
Jadi, Keppres berbeda dengan Perpres karena  sifat-sifat dari Keputusan Presiden
adalah konkret, individual, dan sekali selesai sedangkan sifat dari Peraturan Presiden
adalah abstrak, umum, dan terus-menerus. Isi Keppres berlaku untuk orang atau pihak
tertentu yang disebut dalam Keppres tersebut, sedangkan isi Perpres berlaku untuk umum.
Kecuali bila Keppres memiliki muatan seperti Perpres, maka keberlakuannya juga sama
seperti Perpres.

2. Dalam kasus diatas yang berkaitan dengan pengelola aset negara dimana terjadi polemik
antara Akademi TNI dan Pemkot Magelang. Hal ini melibatkan banyak lembaga
kenegaraan seperti MPR, DPR dan DPD. Namun keputusan tertinggi ada di presiden,
namun peran MPR disini sebagai penengah dan lembaga negara DPR dan DPD yang
berada di bawah MPR juga turut dalam penyelesaian kasus diatas.
DPD kepanjangan dari Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga perwakilan daerah
yang memiliki karakter keterwakilan berdasarkan daerah pada hakikatnya memiliki
karakter keterwakilan yang lebih luas dari DPR, karena dimensi keterwakilannya
berdasarkan seluruh rakyat yang terdapat pada daerah - daerah tersebut.

Kedudukan DPD dan hubungannya dengan DPR dan MPR, sebagaimana diatur dalam


UUD 1945 tidak sesuai dengan gagasan pembentukan DPD. Adanya DPD sebagai
lembaga legislatif tersendiri selain DPR, maka susunan MPR mengalami perubahan dari
susunan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang terdiri dari anggota DPR
ditambah utusan daerah dan golongan-golongan.

Perubahan tersebut merubah secara mendasar susunan MPR. MPR yang semula terdiri
atas anggota DPR, ditambah utusan-utusan dari daerah dan golongan-golongan, menjadi
MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Salah satu dari tugas dan
wewenang dari DPR adalah menetapkan APBN bersama presiden dengan memperhatikan
pertimbangan DPD atas RUU APBN.

Sumber :
1. Buku ilmu perundang-undangan,Maria Farida Indrati S., dkk, Universitas
terbuka,Modul 6.
2. http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/Kekuatan-Mengikat-dan-
Pelaksanaan.pdf

Anda mungkin juga menyukai