Anda di halaman 1dari 7

Permasalahan 1

Rencana Judul Penelitian: "Fungsi Prolegnas dalam peta alur pembentukan hukum di Indonesia"
Buatlah Latar Belakang masalah singkat (300 – 500 Kata) dari rencana judul di atas?

Jawab:
Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-
undangan yang mencakup tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan dan pengundangan. Undang-Undang merupakan salah satu jenis peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan
bersama Presiden. Pembentukan Undang-Undang pada tahap perencanaan penyusunan
dilakukan melalui Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut prolegnas.
Program Legislasi Nasional selanjutnya disebut Prolegnas merupakan potret politik hukum
Indonesia yang berisi tentang rencana pembangunan peraturan perundang-undangan (Undang-
Undang) dalam periode tertentu. Dengan adanya program legislasi nasional, diharapkan
pembentukan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden,
maupun Dewan Perwakilan Daerah dapat dilaksanakan secara terencana, sistematis, terarah,
terpadu dan menyeluruh. Prolegnas menjadi acuan dalam proses perencanaan undang-undang
secara nasional dan memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan hukum secara
keseluruhan.
Upaya pembangunan sistem nasional sendiri mencakup beberapa hal. Pertama, pembangunan
substansi hukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis dengan mekanisme pembentukan
hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi
masyarakat, Kedua, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif, Ketiga, Pelibatan seluruh
komponen masyarakat dengan kesadaran hukum tinggi untuk mendukung sistem hukum
nasional yang dicita-citakan.
Prolegnas adalah instrumen perencanaan pembangunan peraturan perundang-undangan yang
disusun bersama oleh DPR RI dengan Pemerintah. Pasca amandemen UUD 1945, Prolegnas
semakin diperkuat dan ditegaskan keberadaannya, terutama sejak keluarnya Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Selain dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004, juga diatur dengan Peraturan Presiden
Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Prolegnas, baik yang
dilakukan penyusunannya oleh DPR (dikoordinasikan oleh Baleg) maupun penyusunan di
lingkungan Pemerintah (dikoordinasikan ole Menteri ). Persoalan yang dihadapi saat ini adalah,
tingkat keberhasilan sampai ditetapkan menjadi undang-undang sulit sekali ditentukan. Di
lingkungan Pemerintah, tidak ada jaminan RUU yang disampaikan ke DPR sesuai dengan urutan
atau rencana yang ditetapkan. Departemen pemerintahan kecenderungan melakukan kegiatan
sendiri-sendiri (meskipun sudah agak berkurang) untuk mempercepat penyampaian RUU ke DPR
tanpa memperhatikan urutan-urutan atau koordinasi dengan Departemen lain.
Dari uraian tersebut di atas, penulis memandang perlu untuk melakukan penelitian mengenai
Fungsi Prolegnas dalam peta alur pembentukan hukum di Indonesia.
Permasalahan 2

MENGHARMONISKAN UNDANG-UNDANG MELALUI OMNIBUS LAW MODEL INDONESIA

Setiap negara yang dibentuk, selalu memiliki tujuan. Indonesia salah satunya, dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, menjelaskan tujuan negara Indonesia, yaitu:

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia


memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia
Dari keempat tujuan negara Indonesia, upaya memajukan kesejahteraan umum, merupakan ide
Welfare State (negara kesejahteraan). Dengan begitu, negara mewujudkan kesejahteraan
masyarakat, melalui pemenuhan kebutuhan hidup sandang, pangan dan papan. Tentunya upaya
ini dilakukan dengan meningkatkan pembangunan ekonomi di segala bidang, dengan
mengupayakan peningkatan pendapatan negara.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 mengenai


kebijakan umum pembangunan nasional, menekankan pada visi “Terwujudnya Indonesia Yang
Berdaulat, Mandiri, Dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong”. Lebih lanjut
diaktualisasikan dengan 7 misi pembangunan, yang salah satunya “Mewujudkan kualitas hidup
manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera.” Guna mewujudkan hal tersebut, maka
dibentuklah NAWA CITA yang merupakan 9 agenda priotitas pembangunan, salah satunya
Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi
domestik. Upaya mewujudkan agenda priotitas Nawa Cita tersebut, dilakukan melalui
peningkatan investasi, guna mewujudkan kesejahteraan nasional.

Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat dengan UUD NRI 1945). Secara historis
diartikan dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen), sebagai Negara yang berdasar atas
Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Pemahaman akan
konsep negara hukum itu menjadi suatu pandangan bahwa segala tindakan dalam
penyelenggaraan negara haruslah berdasarkan hukum. Hal ini juga dikenal dengan asas legalitas
yang berarti keabsahan tindakan pemerintah harus dilihat dari acuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur. Sejarah Singkat Asas Legalitas berawal dari pungutan Pajak. Di AS
dikenal dengan istilah “taxation without representation is robbery” di Inggris dikenal dengan
istilah “no taxation without representation”.

Eksistensi asas legalitas, merupakan aktualisasi dari sistem hukum Eropa Kontinental
“Rechstaat”. Kemudian berdampak pada hadirnya setiap peraturan perundang-undangan
sebagai acuan dari setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Secara faktual di Indonesia,
Kementerian Hukum dan HAM RI pada akhir tahun 2016 lalu memberikan informasi mengenai
“obesitas” peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kurang lebih 62 ribu-an peraturan
tersebar di berbagai instansi berdampak pada hambatan percepatan pembangunan.482. Kondisi
ini juga memunculkan ketidakpastian hukum dalam menggunakan suatu peraturan perundang-
undangan sebagai dasar hukum oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Pasalnya, ketentuan
tersebut bertentangan dengan ketentuan yang sejajar atau dengan yang lebih tinggi.

Kenyataannya, banyak peraturan di level undang-undang yang tumpang tindih sehingga


mengubah satu undang-undang belum tentu kemudian akan bisa menyelesaikan suatu masalah.
Misalnya dalam hal penanaman modal, seorang investor tidak hanya terpaku dalam Undang
Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal saja, melainkan juga dengan Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (berkaitan perizinan oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap
penanaman modal), Undang-Undang yang menyangkut Perpajakan, serta Peraturan Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan perizinan. Hal ini menunjukkan bahwa suatu
undang-undang (UU Penanaman Modal) belum mampu memberikan kepastian usaha kepada
penanam modal (investor), melainkan juga harus menyesuaikan dengan aturan-aturan lain.
Mengingat jangka waktu aturan-aturan itu dibuat berbeda-beda, maka sudut pandang pemikiran
masing-masing undang- undang juga berbeda, antara undang-undang satu dengan yang lainnya.
Ditambah lagi, dasar filosofi dan sosiologis pembentukan masing-masing undang-undang
berbeda. Hal ini akan berdampak pada kemungkinan pertentangan diantara undang-undang
tersebut.

Selain itu ada pula undang-undang yang saling bertentangan, sehingga pemerintah daerah
menjadi kebingungan dalam implementasinya. Seperti halnya dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, b
dan c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
Dan Batubara, menentukan: Kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam
memberikan ijin usaha pertambangan (IUP) dan ijin pertambangan rakyat (IPR) serta pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota
dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil. Akan tetapi dalam bagian Lampiran CC.
Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral Undang-Undang No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tidak lagi memberikan kewenangan kepada
Kabupaten/Kota dalam mengeluarkan Izin, dan mengalihkan semuanya ke Pemerintah Daerah
Provinsi. Menariknya Undang- Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tidak
mencabut Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam
bagian ketentuan penutup. Sehingga memunculkan perdebatan sampai saat ini di daerah, terkait
dengan pemberian kewenangan terhadap ijin galian C, yang selama ini dilakukan oleh
kabupaten/kota.

Dari Abstrak diatas, silahkan anda rumuskan 2 (dua) Rumusan masalah apa yang bisa diangkat
dan jelaskan?

Jawab:
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan dijabarkan sebagai
berikut:
1. Bagaimana cara menyelesaikan konflik peraturan di level undang-undang yang tumpang
tindih?
Banyak peraturan di level undang-undang yang tumpang tindih sehingga mengubah satu
undang-undang belum tentu kemudian akan bisa menyelesaikan suatu masalah.
Mengingat jangka waktu aturan-aturan itu dibuat berbeda-beda, maka sudut pandang
pemikiran masing-masing undang- undang juga berbeda, antara undang-undang satu
dengan yang lainnya. Ditambah lagi, dasar filosofi dan sosiologis pembentukan masing-
masing undang-undang berbeda. Hal ini akan berdampak pada kemungkinan
pertentangan diantara undang-undang tersebut. Tema mengenai konflik peraturan di
level undang-undang yang tumpang tindih sangat penting dibicarakan dalam
pembahasan mengenai permasalahan Perundang-undangan. Ada 3 (tiga) alasan penting
yang melatarbelakangi hal tersebut. Pertama sampai saat ini pemahaman substantif
mengenai Konstitusi lebih banyak dibicarakan dalam pendekatan politik dan sangat
pragmatis. Orientasi pembicaraan tidak lebih dari akomodasi kebutuhan jangka pendek,
member legitimasi dalam pembentukan peraturan di bawahnya. Kedua, permasalahan
berlanjut dalam pembuatan UU sebab terdapat keinginan yang kuat bahwa semua hal
wajib diatur oleh UU sehingga tidak memfungsikan peraturan lain yang sesungguhnya
lebih mudah, cepat dan efisien dikerjakan. Ketiga, pemahaman terhadap konstitusi
seperti ini pada akhirnya memunculkan lahirnya peraturan - peraturan yang lebih
berdimensi normatif-positivistik kering dan kaku. Pada level yang lebih operasional dalam
teknis pembuatan peraturan perundang-undangan kemudian mendorong lahirnya
berbagai bentuk peraturan yang justru bertentangan bahkan memporak-porandakan
substansi Konstitusi, selain benturan, tumpang tindih dengan berbagai peraturan.
2. Bagaimana cara pemerintah daerah mengimplementasikan undang-undang yang saling
bertentangan?
Undang-undang yang saling bertentangan menyebabkan kebingungan di tingkat
pemerintah daerah dalam melakukan implementasinya. Seperti halnya dalam Pasal 8 ayat
(1) huruf a, b dan c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara, menentukan: Kewenangan pemerintah daerah
kabupaten/kota dalam memberikan ijin usaha pertambangan (IUP) dan ijin
pertambangan rakyat (IPR) serta pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang
kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4
(empat) mil. Akan tetapi dalam bagian Lampiran CC. Pembagian Urusan Pemerintahan
Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, tidak lagi memberikan kewenangan kepada Kabupaten/Kota
dalam mengeluarkan Izin, dan mengalihkan semuanya ke Pemerintah Daerah Provinsi.
Menariknya Undang- Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tidak
mencabut Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
dalam bagian ketentuan penutup. Sehingga memunculkan perdebatan sampai saat ini di
daerah, terkait dengan pemberian kewenangan terhadap ijin galian C, yang selama ini
dilakukan oleh kabupaten/kota.
Permasalahan 3

Dari Wacana pada Permasalahan ke 2, Tulislah secara ringkas 3 (tiga) Teori Hukum yang dapat
menjadikan Tinjauan Pustaka dalam menyelesaikan penelitian tersebut?

Jawab:
Menurut jenis, sifat dan tujuannya penelitian hukum secara umum dibedakan menjadi 2 (dua)
yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Namun demikian dalam praktek
penelitian hukum di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) jenis penelitian hukum yakni:
1. Penelitian hukum normatif;
Istilah penelitian hukum normatif berasal dari bahasa Inggris, normatif legal research, dan
bahasa Belanda yaitu normatif juridish onderzoek. Penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum doctrinal atau penelitian hukum dogmatik atau penelitian legistis yang
dalam kepustakaan Anglo America disebut sebagai legal research merupakan penelitian
internal dalam disiplin ilmu hukum. Penelitian hukum normatif (legal research) biasanya
“hanya” merupakan studi dokumen, yakni menggunakan sumber bahan hukum yang
berupa peraturan perundang-undangan, keputusan/ketetapan pengadilan,
kontrak/perjanjian/akad, teori hukum, dan pendapat para sarjana. Nama lain dari
penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktrinal, juga disebut sebagai
penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktrinal, karena
penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan- peraturan yang tertulis
atau bahan-bahan hukum. Disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi
dokumen, disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat
sekunder yang ada di perpustakaan. Dapat disimpulkan bahwa penelitian hukum normatif
adalah proses penelitian untuk meneliti dan mengkaji tentang hukum sebagai norma,
aturan, asas hukum, prinsip hukum, doktrin hukum, teori hukum dan kepustakaan lainnya
untuk menjawab permasalahan hukum yang diteliti. Oleh karena itu, berdasarkan
pendapat di atas, penelitian hukum normatif biasanya “hanya” merupakan studi
dokumen, yakni menggunakan sumber bahan hukum yang berupa peraturan perundang-
undangan, keputusan/ketetapan pengadilan, kontrak/ perjanjian/ akad, asas dan prinsip
hukum, teori hukum, dan doktrin/pendapat para ahli hukum.
2. Penelitian hukum empiris;
Penelitian hukum empiris, dalam bahasa Inggris, disebut empirical legal research, dalam
bahasa Belanda disebut dengan istilah empirisch juridisch onderzoek merupakan salah
satu jenis penelitian hukum yang menganalisis dan mengkaji bekerjanya hukum dalam
masyarakat. Penelitian hukum empiris mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai priaku
nyata (actual behavior), sebagai gejala sosial yang sifatnya tidak tertulis, yang dialami
setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, penelitian hukum empiris
disebut juga penelitian hukum sosiologis. Istilah penelitian hukum empiris diantaranya;
o empirical legal research,
o penelitian hukum sosiologis (empiris),
o penelitian sosio legal (socio legal research).
Penelitian hukum empiris merupakan salah satu jenis penelitian hukum yang
menganalisis dan mengkaji bekerjanya hukum dalam masyarakat. Bekerjanya hukum
dalam masyarakat dapat dikaji dari aspek:
✓ pembentukan hukum dalam prespektif sosiologis,
✓ nilai-nilai keadilan dalam penerapan hukum di masyarakat,
✓ sejarah hukum,
✓ penelitian hukum yang responsif,
✓ permasalahan hukum dalam masyarakat,
✓ efektifitas pelaksanaan aturan hukum,
✓ kemanfaatan hukum dalam masyarakat,
✓ kepatuhan atau ketaatan masyarakat, aparat, lembaga hukum terhadap hukum,
✓ peranan lembaga atau institusi hukum terhadap hukum,
✓ penegakan hukum (law enforcement),
✓ implementasi atau pelaksanaan aturan hukum di masyarakat atau lembaga
hukum,
✓ pengaruh aturan hukum terhadap masalah sosial tertentu,
✓ pengaruh masalah sosial tertentu terhadap hukum,
✓ hukum agama yanghidup dan berkembang dalam masyarakat,
✓ hukum kebiasaan dan hukum adat,
✓ dan lain-lain.
Dapat disimpulkan bahwa penelitian hukum empiris adalah “penelitian hukum yang
menganalisis tentang penerapan hukum dalam kenyataannya terhadap individu,
kelompok, masyarakat, lembaga hukum dalam masyarakat dengan menitikberatkan pada
perilaku individu atau masyarakat, organisasi atau lembaga hukum dalam kaitannya
dengan penerapan atau berlakunya hukum”.
3. Penelitian hukum normatif-empiris.
Hukum normatif-empiris merupakan suatu pemahaman hukum dalam arti norma
(aturan) dan pelaksanaan aturan hukum dalam prilaku nyata sebagai akibat keberlakuan
norma hukum. Perilaku tersebut dapat diobservasi dengan nyata dan merupakan bukti
apakah warga telah berperilaku sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum
normatif (peraturan perundang-undangan dan dokumen tertulis lainnya). Penelitian
hukum normatif-empiris (terapan), merupakan penelitian yang mengkaji pelaksanaan
atau implementasi ketentuan hukum positif (perundangundangan) dan dokumen tertulis
secara in action (faktual) pada suatu setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam
masyarakat. Pengkajian tersebut bertujuan untuk memastikan apakah hasil penerapan
hukum pada peristiwa hukum in concreto sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan. Atau dengan kata lain apakah ketentuan peraturan
perundang-undangan telah dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga pihak-pihak
yang berkepentingan mencapai tujuannya atau tidak. Dapat disimpulkan bahwa
penelitian hukum normatif-empiris adalah “penelitian hukum yang mengkaji tentang
hukum sebagai aturan atau norma dan penerapan aturan hukum dalam prakteknya di
masyarakat”.
Sumber:
Hartiwiningsih, dkk. HKUM4306 - Metode Penelitian Hukum. Penerbit Universitas Terbuka: 2015
Muhaimin. METODE PENELITIAN HUKUM. Mataram University Press: 2020
Barita Simanjuntak, Dr.,MH.,SH. Memaknai Konstitusi dalam Politik Perundang-undangan,
disampaikan pada acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Kemenko Polhukam
di Jakarta, 19 November 2014
https://pshk.or.id/media-rr/jokowi-ingin-bentuk-badan-regulasi-nasional-untuk-cegah-
peraturan-tumpang-tindih-perlukah/
http://scholar.unand.ac.id/71127/3/Bab%20I.pdf

Anda mungkin juga menyukai