Anda di halaman 1dari 10

POLITIK HUKUM PENGAWASAN PERDA DAN PERKADA OLEH PEMERINTAH

PUSAT SETELAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020


TENTANG CIPTA KERJA

(Dalam Rangka Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Politik Hukum)

Oleh :

Dedi Purwanto E2A022021

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
MAGISTER ILMU HUKUM
PURWOKERTO

2022
A. Pendahuluan
Otonomi daerah merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 18 Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam sejarah
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia pasca reformasi hingga saat ini
setidaknya terdapat 3 (tiga) undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan
Daerah. Saat ini berlaku Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang telah mengalami perubahan sebanyak 3 (tiga) kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebuah undang-undang yang
dibentuk dengan metode omnibuslaw yang mengubah banyak undang-undang dalam satu
undang-undang sesuai dengan tema yang ditetapkan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 masuk dalam klaster administrasi
pemerintahan.
Pemberlakuan otonomi daerah membuat daerah memiliki hak untuk mengurus
urusan rumah tangganya. Dibukanya kran otonomi daerah seluas-luasnya pasca
reformasi 1998, membuat hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
menjadi sangat longgar. Pemerintah Daerah merasa memiliki kewenangan untuk
mengatur apapun untuk mengelola daerahnya. Hal tersebut menimbulkan permasalahan
terutama terkait dengan pengawasan produk hukum daerah. Pemerintah Daerah dengan
dalih otonomi, berlomba-lomba membentuk Peraturan Daerah (Perda).
Kewenangan daerah menetapkan Perda dalam rangka melaksanakan fungsi
pemerintahan merupakan atribusi kewenangan berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUDNRI
Tahun 1945 dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Adanya Perda sebagai
Autonome Satzung sebagaimana diklasifikasi oleh Hans Nawiasky dibentuk sebagai
konsekuensi logis dari desentralisasi kekuasaan vertikal yang memberikan otonomi
kepada daerah1. Hal ini sesuai dengan perkembangan demokrasi di bidang pemerintahan,
di mana negara-negara modern banyak memberikan kekuasaan kepada daerah untuk
lebih bebas mengatur dirinya.
Ketentuan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan, khususnya Perda, di
era otonomi daerah ternyata tidak konsisten antara peraturan perundang-undangan yang
satu dengan yang lain. Perdebatan mengenai berlakunya excecutive review dan judicial
review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri di era otonomi daerah mengingat

1
Maria Farida Indrati memberikan makna Staatsgrundgesetz sebagai Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok
Negara pada bukunya yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta. 2007, hlm. 52
Perda merupakan produk hukum di daerah yang dibuat oleh kepala daerah dan DPRD di
suatu daerah yang bersifat otonom.
Berdasarkan uraian hal tersebut di atas penulis akan mengkaji Politik Hukum
Pengawasan Pembentukan Perda dan Perkada dalam UU Pemda Pasca UU Cipta Kerja.
Adapun Pendekatan yang digunakan guna mendapatkan informasi terkait dengan bahan-
bahan hukum dalam penelitian ini antara lain pendekatan undang-undang (statue
approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach).

B. Pembahasan
Politik hukum merupakan kebijakan resmi (legal policy) negara tentang hukum yang
akan diberlakukan atau tidak akan diberlakukan (pembuat aturan yang baru atau
mencabut aturan yang lama) untuk mencapai tujuan negara.2 Politik hukum atau politik
perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan atau peraturan
perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga
politik (politic body).3 M. Mahfud MD mengemukakan bahwa politik hukum meliputi:
pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap
materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan
hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak
hukum.4
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memiliki tujuan yang
jelas yang hendak dicapai dan memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis
peraturan perundang-undangannya. Murphy memberikan pandangannya mengenai tujuan
hukum yaitu memberikan kebaikan bersama5. Selain itu, harus memperhitungkan
efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut dalam masyarakat, baik secara
filosofis, sosiologis maupun yuridis. Materi muatan peraturan perundang-undangan harus
dapat memberikan fungsi perlindungan dalam rangka menciptakan kebahagian hidup
dalam masyarakat, harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi
manusia dan martabat setiap warga yang diaturnya.
2
M. Mahfud MD. 2001. Politik Hukum di Indonesia (Cetakan II). Jakarta: LP3ES. Hlm. 9.
3
HM. Laica Marzuki. 2006. “Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-
Undang.” Jurnal Legislasi. Vol. 3 / No. 1. Hlm. 2.
4
Ibid. Hlm. 2.
5
Mark C. Murphy dalam Victor Juzuf Sedubun. 2011. “Pengawasan Preventif sebagai Bentuk
Pengujian Peraturan Daerah”. Jurnal Konstitusi Pusat Kajian Konstitusi Universitas Udayana. Volume I
Nomor 1, November 2012. hlm 5.
Perubahan Kedua menghasilkan adanya penambahan pasal terhadap Pasal 18
sehingga menjadi Pasal 18A, dan Pasal 18B. Dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat
(6), ditegaskan hal-hal sebagai berikut:
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Nomenklatur berhak menetapkan memiliki makna konstitusional bahwa


pemerintahan daerah tidak secara murni membentuk Perda berdasarkan prinsip otonomi
dan tugas pembantuan sesuai urusan pemerintahan yang merupakan kewenangannya,
tetapi penetapan atau berhak menetapkan ini merupakan hak pemerintahan daerah
terhadap urusan pemerintahan yang telah ditentukan norma, standar, prosedur dan kriteria
yang dipersyaratkan.
Pengawasan, menurut Lotulung, adalah upaya untuk menghindari terjadinya
kekeliruan-kekeliruan, baik sengaja maupun tidak disengaja, sebagai usaha preventif, atau
juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu, sebagai usaha represif.
Sedangkan menurut Victor Juzuf Sedubun, makna dasar dari pengawasan adalah(i)
pengawasan ditujukan sebagai upaya pengelolalaan untuk mencapai hasil dari tujuan; (ii)
adanya tolok ukur yang dipakai sebagai acuan keberhasilan; (iii) adanya kegiatan untuk
mencocokkan hasil yang dicapai dengan tolok ukur yang ditetapkan; (iv) mencegah
terjadinya kekeliruan dan menunjukkan cara dan tujuan yang benar; serta (v) adanya
tindakan koreksi apabila hasil yang dicapai tidak sesuai dengan tolok ukur yang
ditetapkan6.
Dinamika hukum dan politik mengharuskan Pemerintah Pusat mengubah beberapa
ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun Tahun 2014 melalui UU Nomor 11 Tahun 2020.
Penjelasan umum UU Nomor 11 Tahun 2020 memberikan keterangan bahwa regulasi
masih menjadi penghalang dan hambatan dalam kemudahan berusaha di Indonesia. Saat
ini terjadi kompleksitas dan obesitas regulasi. Regulasi tidak mendukung penciptaan dan

6 Ibid hlm. 6
pengembangan usaha bahkan cenderung membatasi.7 Melalui UU Cipta Kerja ini,
pemerintah ingin melakukan deregulasi untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia.
Peraturan Daerah, dalam UU Cipta Kerja ternyata menjadi juga menjadi fokus
permasalahan yang ingin diatasi oleh Pemerintah Pusat. Peraturan Daerah, dianggap
menjadi salah satu regulasi yang tidak mendukung penciptaan dan pengembangan usaha
dan bahkan cenderung membatasi. Artinya, pemerintah melalui UU Cipta Kerja, ingin
untuk membenahi Perda-Perda yang bermasalah. Salah satu cara agar Pemerintah Pusat
dapat mengontrol Perda-Perda “bermasalah” ini adalah dengan menggunakan mekanisme
pengawasan.
Salah satu klaster yang diatur adalah klaster Pemerintahan Daerah. Pasal 176 UU
Cipta Kerja menjadi pasal yang dijadikan dasar perubahan pada pasal-pasal yang ada
pada UU Pemda. Beberapa pasal di antaranya adalah pasal-pasal yang memiliki relevansi
dengan kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengawasan Peraturan Daerah sebagai
produk hukum daerah. Pasal-pasal tersebut diantaranya adalah Pasal 251 dan Pasal 252.
Wewenang atributif pengawasan terhadap Perda oleh Pemerintah Pusat yang bersifat
represif, diberikan melalui Pasal 251 UU Pemda. Pasal 251 UU Pemda sebelum
perubahan, merupakan sebuah Pasal yang memuat terkait wewenang Pembatalan Perda
oleh Pemerintah Pusat (Executive Review). Wewenang yang diberikan melalui Pasal 251
UU Pemda tersebut, dalam perkembangannya dinyatakan inkonstitusional oleh
Mahkamah Konstitusi dengan Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK No.
56/PUU-XIV/2016. Artinya, Pemerintah Pusat kehilangan wewenangnya untuk
membatalkan suatu Perda dalam rangka pengawasan terhadap Peraturan Daerah, sejak
adanya putusan Mahkamah konstitusi tersebut.
Jika melihat pada ketentuan Pasal 251 UU Pemda sebelum perubahan, selain
mekanisme pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat, juga ditemukan mekanisme
keberatan terhadap daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda.
Namun, karena pasal yang berkaitan dengan mekanisme pembatalan Perda dinyatakan
inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, maka dengan sendirinya mekanisme
keberatan atas pembatalan Perda (Pasal 251 ayat (7) dan (8)) pun ikut dinyatakan
inkonstitusional karena kehilangan objek dan relevansinya dengan pasal yang berkaitan
dengan Pembatalan Perda.
Pada UU Cipta Kerja, ketentuan Pasal 251 UU Pemda diubah menjadi:

7
Enny Nurbaningsih. 2011. Berbagai Bentuk Pengawasan Kebijakan Daerah dalam Era Otonomi
Luas. Jurnal Mimbar Hukum Vol. 23, Nomor 1. Hal 187
“Agar tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas
materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan,
penyusunan Perda dan Perkada berkoordinasi dengan kementerian yang
membidangi urusan pemerintahan dalam negeri dan melibatkan ahli dan/atau
instansi vertikal di daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pembentukan peraturan perundang-undangan.”
Perubahan Pasal 251 UU Pemda dalam UU Cipta Kerja, menurut Penulis adalah
bentuk tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, menurut Penulis,
perubahan pasal tersebut juga merupakan bentuk mekanisme baru yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat dalam rangka menjalankan wewenang pengawasan terhadap Perda.
Mengingat, pada Pasal 251 sebelum perubahan, dalam penyusunan Perda, tidak ada
keharusan untuk berkoordinasi dengan kementerian yang membidangi urusan
pemerintahan dalam negeri dan melibatkan ahli dan/atau instansi vertikal di daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-
undangan. Hal ini, tentunya merupakan penguatan mekanisme pengawasan preventif
dalam penyusunan Perda pasca putusan Mahkamah Konstitusi.
Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK No. 56/PUU-XIV/2016,
memberikan kepastian hukum terhadap pengujian terhadap Perda. Pemerintah yang
sebelumnya memiliki wewenang untuk menguji/membatalkan suatu Perda (Executive
Review), menjadi kehilangan wewenangnya akibat dari kedua putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut. Wewenang pembatalan Perda ini telah dianggap bertentangan dengan
UUD NRI Tahun 1945, untuk itu upaya untuk menghidupkan kembali mekanisme
Executive Review, adalah sebuah upaya yang juga bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945. Mekanisme pembatalan Perda hanya boleh melalui lembaga Mahkamah Agung,
dan bukan lembaga lain termasuk lembaga eksekutif yang dalam hal ini adalah
Pemerintah Pusat (Presiden).
Putusan MK tersebut juga mempertegas apa yang sudah diatur dalam UU P3. Pasal-
pasal yang memberikan wewenang kepada pemerintah pusat untuk membatalkan suatu
Perda, jelas menyalahi bangunan hukum pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Kewenangan tersebut merupakan hal yang dibolehkan mengingat Pasal 215
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 telah mengatur mengenai kewenangan Mendagri
di dalam membatalkan suatu Perda. Hal tersebut dipertegas di dalam Pasal 2 dan 3
Perpres No. 11 Tahun 2015.8 Dari isi kedua peraturan tersebut kewenangan mengenai
pembatalan Perda provinsi dan/atau Perda Kabupaten/Kota oleh Mendagri memang sah
jika dilihat dari kacamata Hukum Pemerintahan Daerah, namun apabila dilihat dari
ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU P3 hal tersebut tersebut bertentangan.9 Sehingga
disimpulkan bahwa Kementrian Dalam Negeri sebenarnya tidak memiliki kewenangan
untuk membatalkan Perda secara sepihak.10 Apabila Perda dirasa patut untuk dibatalkan,
maka seharusnya melalui pintu Mahkamah Agung.
Saat ini ketentuan operasional dari Pasal 251 UU No. 23 Tahun 2014 tersebut
“diatur” dalam Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM Nomor : M.HH-01.PP.04.02
Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Prosedur Pengharmonisasian, Pembulatan, dan
Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Daerah dan Rancangan Peraturan Kepala
Daerah. Dalam surat edaran tersebut, ditetapkan bahwa setiap Raperda dan Raperkada
sebelum ditetapkan atau diundangkan wajib dilakukan pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan melalui rapat yang dipimpin oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan HAM yang melibatkan pejabat fungsional perancang peraturan perundang-
undangan.

C. Kesimpulan
Prosedur Executive Review ini dimaksudkan agar produk hukum daerah sinkron dan
harmonis baik dengan peraturan perundang-undangan yang sejajar maupun dengan yang
lebih tinggi. Sehingga di masa depan, tidak ada lagi produk hukum daerah yang telah
diberlakukan bertentangan atau tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan
lain. Selain itu, sesuai dengan tujuan pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 harapan
prosedur Executive Review ini produk hukum daerah tidak menjadi penghalang kegiatan
investasi.

8
Moch Thariq Shadiqin, 2020, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 137/PUUXIII/2015
dan No. 56/PUU-XIV/2016 Terhadap Mekanisme Pengawasan Perda, Al-Hakam Islamic Law & Contemporary
Issues, Volume 1 Edisi 1 March, Hlm. 20-21.
9
Ibid.
10
Ibid.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adnan Buyung Nasution, et.al., 2000, Federalisme untuk Indonesia, Penerbit Kompas,
Jakarta
Asmuni, Konsep Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara – Penundaan Pelaksanaan
Keputusan Tata Usaha Negara oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Malang :
Setara Press. 2017
Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Bimasakti, Muhammad Adiguna. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Oleh
Pemerintah/Onrechtmatige Overheidsdaad (OOD) Dari Sudut Pandang
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Yogyakarta: Deepublish, 2018.
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara, edisi revisi. Jakarta: Rajawali Press, 2018.
Hidayat Amir dalam Seri Analisis Kebijakan : Omnibus Cipta Kerja Harapan Menata
Masa Depan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2021.
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara:
Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2004.
Kusnardu, Moh & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta,
Pusat Studi HTN FH Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, 1988.
Manan, Bagir. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta.: Pusat Studi Hukum
(PSH) Fakultas Hukum UII. 2001.
M. Mahfud MD. 2001. Politik Hukum di Indonesia (Cetakan II). Jakarta:LP3ES
Mertokusumo, Sudikno, dan A. Pitlo. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum.
Bandung:Citra Aditya Bakti, 1993.
Muhammad Adiguna Bimasakti, Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Oleh Pemerintah/
Onrechtmatige Overheidsdaad (OOD) Dari Sudut Pandang Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan, Yogyakarta: Deepublish, 2018.
Ni’matul Huda. 2009. “Hubungan Pengawasan Produk Hukum Daerah antara
Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.” Jurnal Hukum. Vol. 16 / No. Edisi Khusus.
Rosdianasari, dkk, 2009, Dinamika Penyusunan, Substansi Dan Implementasi Perda
Pelayanan Publik, Bandung: YIPD, ADKASI, dan Justice For The Poor The
World Bank
Spelt, N.M. dan J.B.J.M. Ten Berge, Philipus M. Hadjon (editor). Pengantar Hukum
Perizinan. Surabaya: Yuridika, 1993.
Sudikno Mertokusumo. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta:
Liberty

Utrecht, E. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Surabaya: Pustaka Tinta Mas,


1986
Teddi Sudrajat & Endra Wijaya. Perlindungan Hukum Terhadap Tindakan
Pemerintahan. Jakarta : Sinar Grafika. 2020.
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986
_______. Hukum Acara dan Wacana Citizen Lawsuit di Indonesia Pasca Undang-
Undang Administrasi Pemerintahan: Sebuah Sumbangan Pemikiran.
Yogyakarta: Deepublish, 2019.
B. Jurnal
Djoko Imbawani Atmaja. November 2011. “Membangun Hukum Untuk
Kesejahteraan”. Jurnal Konstitusi. Publikasi FH Universitas Widyagama
Malang. Vol. IV. No 2.
HM. Laica Marzuki. 2006. “Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi
Terhadap Undang-Undang.” Jurnal Legislasi. Vol. 3 / No. 1. Hlm. 2.
Moch Thariq Shadiqin, 2020, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor
137/PUUXIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016 Terhadap Mekanisme
Pengawasan Perda, Al-Hakam Islamic Law & Contemporary Issues, Volume
1 Edisi 1 March, Hlm. 20-21.
Rauzatul Ulfah dkk. Oktober 2020. “Implementasi Pengawasan Pemerintah Oleh
Inspektorat Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh”. Jurnal Media Birokrasi.
Institus Pemerintahan Dalam Negeri. urauzatul18@gmail,com. Vol. 2. No 2.
Hlm. 110
Victor Juzuf Sedubun. 2011. “Pengawasan Preventif sebagai Bentuk Pengujian
Peraturan Daerah”. Jurnal Konstitusi Pusat Kajian Konstitusi Universitas
Udayana. Volume I Nomor 1, November 2012

C. Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
Pasal 245 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Putusan MK Nomor: 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK Nomor:
56/PUU-XIV/2016
Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015. Hlm. 287-288 dan Putusan MK
Nomor 56/PUU-XIV/2016. Hlm. 98.

A. Internet dan Lain-Lain


Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Administrasi
Pemerintahan dalam RUU Cipta Kerja : Nota Pengantar (Background Note)
Bagi Penyusunan Daftar Inventaris Masalah (DIM).
Tim Penyusun. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja Siaran Pers
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor :
HM.4.6/186/SET.M.EKON.3/07/2021 tanggal 21 Juli 2021
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM,
https://bphn.jdihn.go.id, diakses tanggal 10 Oktober 2022 pukul 20.24 WIB.
Asshiddiqie, Jimly. “UU Omnibus law Penyederhanaan Legislasi dan Kodifikasi
Administratif”, diakses dari: https://jimlyschool.com/baca/34/uu-omnibus-
omnibus-law-penyederhanaan legislasi-dan-kodifikasi-administratif, pada
tanggal 9 Oktober 2022 pukul 21.07 WIB.
MK: Inkonstitusional Bersyarat, UU Cipta Kerja Harus Diperbaiki dalam Jangka Waktu
Dua Tahun diakses dari:
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816, pada tanggal 9
Oktober 2022 pukul 21.59 WIB.

Anda mungkin juga menyukai